Setelah membahas
syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh para pengekor hawa nafsu dan orang-orang
yang bodoh tentang hakikat dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikh
Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir menutup kitabnya yang penuh manfaat dengan
mencamtumkan salah satu dari risalah-risalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
yang beliau kirimkan kepada penduduk Al-Qashim, tatkala mereka bertanya kepada
beliau tentang aqidah beliau. Agar mereka bisa tenang mengikutinya atau agar
mereka bisa membantahnya jika pada kenyataannya aqidah beliau tersebut
bertentangan dengan aqidah yang diyakini oleh para ulama Ahlussunnah Wal
Jama’ah.
Perlu Anda ketahui, bahwa
penduduk Al-Qashim tidaklah menerima dakwah beliau kecuali setelah adanya
pembahasan dan pemeriksaan. Dan inilah hendaknya yang dilakukan oleh para ulama
atau orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu dalam menyingkap hakikat
sebenarnya dari setiap berita yang sampai kepada mereka tentang seorang atau
sebuah jama’ah yang dituduh dengan kesesatan oleh manusia. Agar orang-orang
yang ingin mencari kebenaran dapat berjalan dengan isitqomah diatas kebenaran.
Berikut nukilannya..
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Saya mempersaksikan kepada
Allah dan kepada siapa yang hadir bersamaku dari para malaikat, dan saya mempersaksikan
kepada kalian bahwasanya:
Saya meyakini apa yang
diyakini oleh Al-Firqah An-Najiah (kelompok yang selamat) yaitu Ahlussunnah
wal Jama’ah, berupa keimanan kepada
Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, kebangkitan setelah
kematian, dan beriman kepada apa yang ditakdirkan, yang baik maupun yang buruk.
Termasuk bentuk beriman
kepada Allah adalah mengimani semua yang Dia sifatkan diri-Nya dengannya dalam
kitab-Nya melalui lisan Rasul-Nya tanpa melakukan tahrif (pemalingan
makna atau huruf) dan tidak pula ta’thil (mengingkari sifat).
Bahkan saya meyakini
bahwasanya tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan Allah dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. Maka saya tidak menafikan dari-Nya apa yang Dia
sifatkan untuk diri-Nya dan saya tidak memalingkan kata-kata (sifat Allah) dari
makna sebenarnya. Saya tidak melakukan penyimpangan dalam nama-nama dan
ayat-ayat-Nya, saya tidak melakukan takyif (membagaimanakan sifat Allah), dan saya tidak memisalkan sifat-sifat
Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Karena Allah tidak ada yang setinggi
dengan-Nya, tidak ada yang setara dengan-Nya, dan tidak boleh dikiaskan dengan
makhluk-Nya. Karena Allah paling mengetahui tentang diri-Nya dan selain-Nya,
paling jujur ucapan-Nya, dan paling baik perkataan-Nya. Dia menyucikan diri-Nya
dari apa yang disifatkan oleh para penentang dari kalangan pelakutakyif dan tamtsil (menyerupakan Allah dengan makhluk). Dia berfirman:
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ
“Maha Suci Tuhanmu Yang
mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan
dilimpahkan atas para rasul.” (Ash-Shaffat: 180-181)
Al-Firqah An-Najiyah berada di pertengahan -dalam
masalah perbuatan Allah- antara Al-Qadariyah dengan AI Jabariyah. Mereka berada di pertengahan—dalam masalah ancaman Allah—antara Al-Murji`ah dan Al-Wa’idiyyah. Mereka
berada di pertengahan—dalam masalah iman dan agama-antara AI-Haruriah (Khawarij) dan Mu’tazilah dengan Al-Murji’ah dan Al-Jahmiyyah. Dan mereka
berada di pertengahan-dalam masalah sahabat Rasulullah—antara Ar-Rafidhah (Syi’ah) denganAl-Khawarij.
Saya meyakini bahwa
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan, bukan makhluk, dari-Nya berasal
dan kepada-Nya akan kembali. Dan bahwa Dia berfirman dengannya secara hakiki.
Dia menurunkannya kepada hamba, Rasul-Nya, orang kepercayaan-Nya dalam wahyu-Nya,
dan perantara antara Dia dengan hamba-hamba-Nya [dalam risalah, bukan dalam
ibadah –ed], yaitu Nabi kita Muhammad.
Saya juga meyakini bahwa
Allah Maha Berbuat apa yang Dia kehendaki, tidak ada sesuatu pun yang akan
terjadi kecuali dengan kehendak-Nya, tidak ada satu pun yang keluar dari
keinginan-Nya.
Tidak ada satu pun dalam
alam ini yang keluar dari ketetapan-Nya, tidak akan ada satu pun yang lahir
kecuali atas pengaturan-Nya, dan tidak ada jalan keluar bagi seorang pun dari
taqdir yang telah dibatasi dan tidak ada sesuatu pun yang bisa melampaui apa
yang ditetapkan untuknya dalam Al-Lauh Al-Mahfuzh.
Saya meyakini keimanan
kepada semua yang dikabarkan oleh Nabi berupa semua perkara yang terjadi
setelah kematian. Maka saya mengimani adanya fitnah(ujian) dalam kubur dan kenikmatannya, dan dikembalikannya roh-roh
kepada jasad jasad, sehingga seluruh manusia akan berdiri untuk Rabb semesta alam dalam keadaan
tidak beralas kaki, telanjang, lagi tidak berkhitan, sementara matahari
mendekat kepada mereka. Mizan-mizan (timbangan amalan) ditegakkan, yang padanya semua amalan hamba akan
ditimbang. Barang siapa yang berat timbangan kebaikannya maka mereka itulah
orang-orang yang beruntung, dan barang siapa yang ringan timbangan kebaikannya
maka mereka itulah orang-orang yang merugikan diri-diri mereka sendiri, kekal
di dalam Jahannam. Buku-buku catatan amalan akan disebarkan, maka di antara
manusia ada yang menerimanya dengan tangan kanannya dan ada juga yang
menerimanya dengan tangan kirinya.
Saya mengimani adanya telaga
Nabi kita Muhammad di pelataran Hari Kiamat. Airnya lebih putih daripada susu,
lebih manis daripada madu, bejana-bejana sebanyak jumlah bintang-bintang
langit, dan barang siapa yang minum darinya sekali niscaya dia tidak akan
merasakan haus setelahnya selama-lamanya.
Saya juga mengimani adanya sirath (titian) yang
akan dipasang di atas pinggir Jahannam, yang seluruh manusia akan melewatinya
sesuai dengan kadar amalan-amalan mereka.
Saya mengimani adanya syafa’at Nabi dan
bahwasanya beliau adalah pemberi syafa’at pertama dan yang pertama kali
diberikan izin untuk memberi syafa’at. Tidak ada yang rnengingkari adanya syafa’at Nabi kecuali para
penganut bid’ah dan kesesatan. Hanya saja syafa’at beliau ini tidak akan
terwujud kecuali setelah adanya izin dan keridhaan dari Allah. Sebagaimana pada
firman Allah:
وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى
“Dan mereka tiada memberi
syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (Al-Anbiya’ : 28)
Allah
berfirman:
مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tiada yang dapat memberi
syafa’at di sisi Allah taripa izin-Nya.” (Al-Baqarah: 255)
Allah
berfirman:
وَكَم مِّن مَّلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئاً إِلَّا مِن بَعْدِ أَن يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَن يَشَاءُ وَيَرْضَى
“Dan berapa banyaknya
malaikat di langit, syafa’at mereka sedikit pun tidak berguna, kecuali sesudah
Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai-Nya” (An-Najm: 26)
Semetara Dia tidak meridhai
kecuali tauhid dan tidak mengizinkan kecuali kepada yang memiliki tauhid.
Adapun kaum musyrikin maka mereka tidak punya sedikit pun bagian dari syafa’at.
Sebagaimana pada firman Allah:
فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ
“Maka tidak berguna lagi
bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at.” (Al-Muddatstsir: 48)
Saya mengimani bahwa Surga
dan Neraka adalah makhluk, keduanya sudah ada sekarang, dan keduanya tidak akan fana.
Saya mengimani bahwa kaum
mukminin akan melihat Rabb mereka dengan penglihatan mereka pada Hari Kiamat
sebagaimana mereka melihat Bulan pada Malam Purnama, mereka tidak akan
kesulitan dalam melihat-Nya.
Saya mengimani bahwa Nabi
kita Muhammad adalah penutup para nabi dan rasul. Dan tidak sah keimanan
seorang hamba hingga dia beriman kepada risalah beliau dan mempersaksikan
kenabian beliau.
Saya mengimani bahwa manusia
paling utama dari umat beliau adalah Abu Bakr Ash-Shiddiq, kemudian Umar
A1Faruq, kemudian Utsman Dzu An-Nurain, kemudian Ali Al-Murtadha, kemudian
sisanya dari kesepuluh orang lainnya yang sudah dijamin masuk surga , kemudian
mereka yang ikut Perang Badr, kemudian mereka yang membai’at Nabi di bawah
pohon, yang mengikuti bai’at Ridhwan, kemudian sahabat lainnya
Saya berloyal kepada para
sahabat Rasulullah menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, mendoakan untuk mereka,
dan meminta ampunan untuk mereka, serta saya menahan diri dari menyebutkan
kejelekan-kejelekan mereka dan diam pada perkara yang mereka berselisih
padanya.
Saya meyakini keutamaan
(keistimewaan kedudukan mereka) mereka sebagai pengamalan dari firman Allah ;
وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang
sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri
ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami,
dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hat/ kami ter¬hadap orang-orang
yang beriman; Ya Rabb kami, Se¬sungguhnya Engkau Maha Penyantun lag/ Maha
Penyayang” (AI-Hasyr: 10)
Saya mendoakan kepada
ibu-ibu kaum mukminin (isteri-isteri Rasulullah ) radhiallahu anhunna yang disucikan
dari berbagai kejelekan.
Saya mengakui karamah para
wali dan mukasyafah(kejadian-kejadian luar biasa) yang terjadi pada mereka, hanya saja
mereka tidak pantas mendapatkan sedikit pun apa yang menjadi hak Allah dan
tidak boleh diminta dari mereka sesuatu yang tidak ada yang bisa memenuhinya
kecuali Allah.
Saya tidak memastikan untuk
seorang Muslimin bahwa dia masuk Surga dan tidak pula memastikan akan masuk
Neraka, kecuali orang yang telah dipastikan oleh Rasulullah . Akan tetapi saya
mengharapkan orang-rang yang berbuat baik bisa masuk Surga dan mengkhawatirkan
orang-orang yang berbuat jelek akan masuk Neraka.
Saya tidak mengkafirkan
seorang pun dari kaum Muslimin karena suatu dosa yang dia perbuat, dan saya
tidak mengeluarkan dia dari lingkup Islam.
Saya memandang jihad tetap
berlaku bersama setiap pemimpin yang baik maupun yang fajir, dan shalat
berjama’ah di belakang mereka adalah boleh.
Jihad tetap berlaku semenjak
Allah mengutus Muhammad hingga akhir umat ini memerangi Dajjal, jihad ini tidak
dibatalkan oleh kejahatan seorang imam yang fajir dan tidak pula dibatalkan
oleh keadilan seorang imam yang adil.
Saya menilai wajibnya
mendengar kepada imam-imam kaum Muslimin,-yang baik maupun yang fajir di antara
mereka-, selama mereka tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah. Siapa
saja yang memegang khilafah, manusia sudah sepakat akan kepemimpinannya dan
mereka ridha kepadanya, ataukah orang itu menundukkan mereka dengan pedangnya
hingga dia bisa menjadi khalifah (secara paksa) maka tetap wajib untuk taat
kepadanya dan haram untuk keluar dari ketaatan kepadanya.
Saya memandang
disyari’atkannya memboikot para penganut bid’ah dan menjauhi mereka hingga
mereka bertaubat. Saya menghukumi mereka dengan agama (yang bersifat lahiriyah)
dan menyerahkan rahasia-rahasia mereka kepada Allah.
Dan saya meyakini bahwa
semua perkara ibadah yang di-buat-buat dalam Islam adalah bid’ah.
Saya meyakini bahwa `iman’
itu adalah ucapan dengan lisan, amalan dengan anggota tubuh, dan keyakinan
dengan hati, dia bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.
Dia terdiri dari 73 sampai 79 cabang, di mana cabang tertingginya adalah
syahadat ‘Laa ilaha illallah’ (kesaksian bahwa: tidak ada
yang berhak diibadahi selain Allah), dan cabangnya yang paling rendah adalah
menyingkirkan segala gangguan dari jalanan.
Saya memandang wajibnya amar
ma’ruf dan nahi mungkar sesuai dengan apa yang diwajibkan oleh syari’at
Muhammadiyah yang suci.
Ini adalah aqidah ringkas
yang saya tuliskan dalam keadaan pikiran saya sedang sibuk, agar kalian bisa
mengetahui apa yang ada pada saya dan Allah yang menjadi tempat bersandar atas
apa yang kami katakan.
Kemudian tidak samar bagi
anda bahwa telah sampai kepadaku kabar bahwa risalah Sulaiman bin Suhaim telah
sampai kepada anda, dan bahwa risalah tersebut telah diterima dan dibenarkan
oleh sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu di negeri anda. Dan
Allah mengetahui bahwa orang ini (Ibnu Suhaim) telah membuat banyak perkara
dusta atas nama saya yang tidak pernah saya ucapkan, dan kebanyakannya tidak
pernah terbetik di dalam pikiranku.
Di antara bentuk kedustaan
tersebut adalah dia mengatakan bahwasanya saya tidak menggunakan kitab-kitab
mazhab yang empat, dan bahwasanya saya mengatakan bahwa manusia tidak berada di
atas aqidah yang benar sejak 600 tahun yang lalu, dan bahwasanya saya mengklaim
diri saya sebagai orang yang mampu berijtihad (memunculkan mazhab baru),
dan bahwasanya saya tidak mengikuti para ulama, dan bahwasanya saya mengatakan
bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama itu adalah siksaan, dan bahwasanya
saya mengkafirkan orang yang bertawassul melalui orang-orang shalih, dan
bahwasanya saya mengkafirkan Al-Bushiri karena ucapannya, “Wahai makhluk yang
paling mulia,” dan bahwasanya saya mengatakan bahwa jika seandainya saya
sanggup untuk merobohkan kubah (yang berada di atas kubur) Rasulullah niscaya
saya akan merobohkannya dan seandainya saya yang berkuasa atas Ka’bah maka saya
akan mengganti saluran airnya dengan saluran air yang terbuat dari kayu, dan
bahwasanya saya mengharamkan ziarah ke kubur Nabi, dan bahwasanya saya
mengingkari ziarah ke kubur kedua orang tua dan selain keduanya, dan bahwasanya
saya mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain nama Allah, dan bahwasanya
saya mengkafirkan Ibnu Al-Faridh dan Ibnu Arabi, dan bahwasanya saya membakar
kitab Dala’il Al-Khairat dan Raudh Ar-Riyahin dan saya menamakannya Raudh
Asy-Syayathin. Jawaban saya atas semua tuduhan di atas adalah, “Maha Suci
Engkau ya Allah, itu sungguh merupakan kedustaan yang besar.” Muhammad dahulu
telah dituduh bahwa beliau mencela Isa bin Maryam dan bahwa beliau mencela
orang-orang shalih. Maka hati-hati para penuduh ini mirip dengan mengarang
kebohongan dan ucapan dusta. Allah berfirman:
إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللّهِ وَأُوْلـئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ
“Sesungguhnya yang
mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada
ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta”. (An-Nahl: 105)
Mereka menuduh beliau dengan
kedustaan bahwasanya beliau mengatakan bahwa para malaikat, Isa, dan Uzair
berada dalam Neraka. Maka Allah menurunkan ayat dalam masalah ini:
إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُم مِّنَّا الْحُسْنَى أُوْلَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ
“Bahwasanya orang-orang yang
telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari
neraka” (Al-Anbiya’ : 101)
Adapun masalah-masalah lain,
yaitu bahwa saya mengatakan, “Islam seseorang tidak akan sempurna hingga dia
mengetahui makna kalimat `laa ilaha
illallah’,” bahwa saya
men-jelaskannya kepada siapa yang datang kepada saya dengan mengetahui
maknanya, bahwa saya mengkafirkan orang yang bernazar jika dia menginginkan
dengan nazarnya untuk bertaqarrub kepada selain Allah dan membuat nazar untuk
itu, dan bahwa menyembelih untuk selain Allah adalah kekafiran dan
sembelihannya haram dimakan. Maka masalah-masalah ini adalah benar dan saya
mengucapkannya. Saya mempunyai dalil dari kalam Allah dan sabda Rasul-Nya yang
menunjukkan apa yang saya katakan ini, dan juga dari perkataan para ulama
panutan seperti Imam Empat. Jika Allah memudahkan maka saya akan memaparkan
jawabannya secara panjang lebar dalam risalah tersendiri insya Allah.
Kemudian pelajarilah dan
ambillah pelajaran dari firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat: 6)
Sumber : Tash-hiih Khatha’
Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah Oleh Syaikh Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir |
Edisi Indonesia : “Wahabi dan Imperialisme” | Penterjemah : Abu Muawiyyah
Hammad | Penerbit: Griya Ilmu. Juli 18, 2011