Ternyata, ramainya isu “anti-Wahabi” dalam
beberapa tahun terakhir adalah ulah Syi’ah . Kelompok
sesat Syiah kerap menggunakan terminologi Wahabi dalam dialektikanya untuk
memecah belah umat Islam di Indonesia. Perselisihan antara Wahabi
(Salafi) dengan kelompok Aswaja merupakan propaganda Syi’ah untuk memecah-belah
keluarga besar umat Islam di Indonesia. Seringkali
Syiah mengatakan bahwa yang memusuhi mereka adalah Wahabi. Tentunya hal ini
adalah perkataan dusta dan harus diwaspadai.
Demikian diungkap oleh Wakil
Sekretaris Komisi Litbang Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Dr Fahmi Salim
dalam acara bedah buku MUI “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di
Indonesia” yang berlangsung di Masjid An-Nuur, Mahogany Residence, Cibubur,
Jakarta Timur, Ahad (6/4/2014).
Tim penulis buku MUI tentang
kesesatan Syiah ini juga mengimbau umat Islam, baik itu Salafy, Muhammadiyah,
Aswaja dan lain sebagainya agar bersatu serta meninggalkan perselisihan dalam
masalah furu’iyyah. “Yang penting kita satu koridor, Ahlussunnah wal Jama’ah,” tegasnya.
Menurut Fahmi Salim, yang
paling beruntung dalam perselisihan antara sesama Muslim adalah Syiah. “Yang
paling mendapat keuntungan dari perselisihan antara Salafy-Wahabi dan Aswaja
adalah Syi’ah,” ujarnya.
Sementara pembicara lain,
Ustadz dr. Haidar Bawazier juga menjelaskan, walaupun Aswaja dan Salafy
berselisih, namun rujukan mereka satu, yakni Al-Qur’an dan hadits.
Perbedaan-perbedaan dalam
masalah furu’iyyah, kata dr. Haidar, bisa didudukkan oleh orang-orang ‘alim (para ulama) di antara
mereka, bukan bawahan-bawahannya. Sedangkan perselisihan dengan Syi’ah adalah
perselisihan yang tidak akan pernah bersatu. Ajakan ukhuwah Islamiyah kaum
Syiah hanya akan merugikan kaum Muslimin. (azm/maududi/arrahmah.com)
BUKAN WAHABI TAPI SYIAH!
Saudaraku
ahlussunnah, Kalau kita sudah mengetahui bahwa NU, Muhamadidiyyah, Irsyad,
Persis, SI, NW, Washliyyah dan wahhabi adalah ahlussunnah maka yang wajib
diwaspadai oleh ulama, umara, aparat, dan umat adalah aliran sesat yang sudah
difatwakan sesat oleh MUI dan dikukuhkan oleh pergub Jatim nomor 55/2012; yaitu
syiah dan aliran-aliran sesat lainnya, bukan wahabi.
Mengapa demikian?
Sebab Wahhabi
termasuk ahlussunnah (walaupun ada perbedaan misalnya, tapi itu internal antar
ahlussunnah)
Wahhabi tidak
difatwakan sesat oleh MUI Jatim dan MUI Pusat
Wahhabi bebas dari
10 kriteria aliran sesat yang ditetapkan MUI Pusat
Wahhabi tidak
dimaksudkan oleh pergub Jatim
Jadi yang harus
diwaspadai adalah syiah rafidhah:
Kover buku Fatwa MUI Jatim: Kover budu Panduan MUI
Pusat
Kalau kita
bersatu mewaspadai syiah maka kita telah melaksanakan amanah yang jelas dan
tepat. Kita akan selamat dari konflik berdarah sunni syiah, ingat kasus
sampangdan jember!! Itu terjadi antara aswaja dan syiah, bukan antara aswaja
dan wahhabi!
Berbeda dengan wahhabi,
meskipun ada perbedaan antara NU dan Wahhabi misalnya, namun hal itu tidak akan
membawa kepada konflik, kecuali kalau diprovokasi oleh orang yang tidak
bertanggung jawab, maka bisa jadi konflik, jangankan antara NU dan Wahhabi
antara sesame NU saja bisa berantem kalau ada yg menghasut, dan orangnya mau
dihasut.
Oleh karena itu. Mari
saudara-saudaraku ahlussunnah dari manapun ormas Anda atau jamaah Anda, kita
bersatu pada dalam tali agama Allah alQuran dan ass-sunnah untuk membangun
negri ini dan menyelamatkan dari ancaman ekspansi revolusi iran.
Untuk saudara-saudaraku di
Malang, silakan baca makalah berikut
“Wahabi”, Black Propaganda dan
Aroma “Syiah Rafidhah”
Kamis,
4 April 2013 - 22:39 WIB
Tentang aliansi
Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Muhammad Al Saud tahun 1744 terus berlaku
sampai sekarang. Hal ini dipertanyakan, sebab Kerajaan Saudi itu sifatnya
jatuh-bangun hingga tiga kali.
Oleh: AM Waskito
DI POJOK kawasan Tebet,
bermarkas sebuahmedia online, namanya Merdeka.com. Media apa ini ya? Ia media online umum yang
memuat aneka macam berita, mulai dari politik, kasus sosial, gossip artis, gaya
hidup, olah-raga, otomotif, bisnis, dan lain-lain. Pokoknya sejenis media
online umum, tanpa ciri keislaman tertentu.
Tetapi anehnya, media online yang koordinator liputannya bernama Anwar Khumaini ini sepertinya
memiliki kavling khusus untuk membahas isu-isu seputar “Wahabi” dari perspektif
orang-orang yang anti “Wahabi”. Banyak artikel yang berbicara tentang isu
“Wahabi” dengan nada nyinyir, ketus, stigmatif, dan semacam black
propaganda.
Uniknya, berita-berita
instan dari Merdeka.commenjadi rujukan banyak orang
untuk memandang isu “Wahabi”. Dalam sebuah perdebatan dengan seorang penganut
Syiah, dia merujuk berita dari situs online itu. Di forum FB ada yang
memberikan link ke sumber yang sama. Melalui email juga ada yang memberikan
link ke situs tersebut.
Di sini terasa dilematik.
Kalau kita anggap besar situs Merdeka.com ini, nanti akan menjadi promo
tersendiri. Tetapi kalau didiamkan saja fitnah-fitnah atau black propaganda yang disebarkan, itu juga tidak benar. Mungkin sekali waktu kita perlu
mengingatkan kaum Muslimin akan bahaya situs “recehan” semacam ini.
Salah satu artikel yang
dimuat dalam situs itu judulnya: “Persekongkolan Bedebah Wahabi dan Bani Saud.” Dari model judulnya saja, kita bisa mencium aroma permusuhan layaknya
kaum Syiah Rafidhah di balik tulisan ini.
Syiah Rafidhah dunia memang
merasa perlu untuk memerangi dakwah Salafiy sebab mereka ini dianggap sebagai
musuh paling sengit bagi Syiah Rafidhah. Agenda Syiah Rafidhah untuk menguasai
negeri-negeri Muslim akan selalu terhalang, selama masih bercokol “Wahabi”
disana.
Sayyid M. Saidi, seorang
tokoh Syiah Iran, pernah terus-terang menunjukkan kebenciannya kepada “Wahabi”.
Dia mengatakan: “Kami menghormati semua mazhab Islam kecuali Wahabi karena
mereka menentang dialog ilmiah, logis dan argumentatif. Mereka membunuh Muslim
tak berdosa dan merusak masjid-masjid dengan mengatasnamakan Islam. Pesan kami
kepada kaum Wahabi adalah jika mereka memiliki dalil untuk membuktikan
kebenaran mereka, maka sampaikan kepada orang lain sesuai dengan logika,
prinsip-prinsip, dan argumentasi, bukan dengan radikalisme dan pembunuhan
massal.” (hidayatullah.com, 23 September 2013).
Omongan sejenis ini kan
tidak ada buktinya kalau dikaitkan dengan tulisan-tulisan stigma yang terus
diproduksi oleh kaum Syiah seputar isu “Wahabi dan Saudi”.
Secara teori, mereka seperti
pro dialog ilmiah dan argumentatif; tetapi secara kenyataan mereka menghalalkan
penghancuran Ahlus Sunnah secara massif di negeri-negeri Muslim, seperti di
Iran, Iraq, Suriah, Afghanistan, dan lain-lain.
Sayyid Husein Al Mausawi,
tokoh ulama Syiah yang bertaubat, mereka bunuh. Dr. Ihsan Ilahi Zhahir asal
Pakistan yang sangat anti Syiah, juga mereka bunuh. Banyak ulama/da’i Ahlus
Sunnah juga mereka bunuh, pasca Revolusi Khomeini tahun 1979.
Kembali ke artikel
Merdeka.com di atas. Di sana dijelaskan beberapa poin, antara lain:
Muhammad bin Abdul Wahhab
(sering dinisbatkan pendiri “Wahabi”) oleh gurunya disebut bodoh, arogan, suka
melawan; Muhammad bin Abdul Wahhab menjalin aliansi dengan Muhammad bin Saud,
aliansinya berlaku sampai sekarang; Kerajaan Saudi menyokong penyebaran dakwah
“Wahabi” US$ 2 miliar setiap tahun; dan menyebutkan beberapa pendapat sumir
dari sebagian ulama-ulama “Wahabi”.
Gaya tulisan demikian persis
sekali seperti model tulisan Idahram lewat buku-bukunya. Tidak ada niat dialog
atau diskusi, selain menyebarkan propaganda hitam belaka.
Nanti ujungnya mempromokan
akidah Syiah Rafidhah; supaya umat manusia kembali ke zaman penyembahan manusia
kepada manusia lainnya (baca: imam dan ulama Syiah), setelah Allah anugerahkan
Tauhid kepadanya.Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.
Pendapat-pendapat yang sumir
harus dilihat konteksnya secara lengkap, tidak bisa “main crop” begitu saja.
Ada kaidah yang berlaku, bahwa pendapat yang mengandung syak (keraguan) harus dipulangkan ke pendapat yang tsabit (teguh).
Kemudian tentang tuduhan
bahwa Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah itu bodoh, arogan, keras
kepala. Ya, tergantung siapa yang memandang. Seorang ulama biasanya gurunya
banyak; bisa puluhan, bisa ratusan. Kalau ada satu guru yang mencela, mungkin
guru-guru yang lain memuji.
Lalu aliansi Muhammad bin
Abdul Wahhab dengan Muhammad Al Saud pada tahun 1744 terus berlaku sampai
sekarang. Hal ini dipertanyakan, sebab Kerajaan Saudi itu sifatnya jatuh-bangun
hingga tiga kali.
Ketika Saudi Jilid I
dilenyapkan, maka semua perjanjian yang berlaku saat itu otomatis berakhir.
Begitu juga ketika Saudi Jilid II dilenyapkan, maka perjanjian-perjanjian di
dalamnya juga berakhir.
Sebenarnya, dukungan
Kerajaan Saudi kepada dakwah “Wahabi”, hal ini semata karena kesadaran mereka
saja (atau pertimbangan politik karena melihat besarnya pendukung dakwah
Salafiy di Saudi). Jadi tidak mesti dikaitkan dengan aliansi 1744 tersebut,
sebab bukan rahasia lagi bahwa seringkali terdapat perbedaan persepsi antara
ulama “Wahabi” dengan kebijakan kerajaan.
Sedangkan nilai dukungan
Kerajaan Saudi hingga US$ 2 miliar (setara Rp. 18 triliun) per tahun; ya itu
perlu dijelaskan kalkulasi keuangannya secara rinci, tidak bisa “main teplok”
begitu saja.
Mungkin situs Merdeka.com mau berbagi kepada masyarakat tentang kalkulasi keuangan yang mereka
ketahui. Termasuk juga mereka perlu membuat perbandingan kalkulasi keuangan
anggaran-anggaran dari Iran untuk membiayai dakwah Syiah Rafidhah di Indonesia.
Kalau mau fair, begitu kan?
Ya akhirnya, black propaganda seputar dakwah “Wahabi” ini perlu kita jawab dengan komitmen “Laa ilaha
illallah” yaitu untuk menghidupan peradaban Tauhid dan membersihkan dunia dari
segala bentuk paganisme (kemusyrikan); dan “Muhammad Rasulullah” yaitu
menghidupkan Sunnah Nabi Saw dan menjauhi ajaran-ajaran bid’ah yang berpotensi
merusak Sunnah-nya. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.*
AM Waskito, penulis buku
“Bersikap Adil Kepada Wahabi”
Buya Hamka: Mereka Memusuhi Wahabi Demi Penguasa Pro Penjajah
Oleh: Zulkarnain Khidir
Belakangan ketika
isu terorisme kian dihujamkan di jantung pergerakan Ummat Islam agar iklim
pergerakan dakwah terkapar lemah tak berdaya. Nama Wahabi menjadi salah satu
faham yang disorot dan kian menjadi bulan-bulanan aksi “tunjuk hidung,” bahkan
hal itu dilakukan oleh kalangan ustadz dan kiyai yang berasal dari tubuh Ummat
Islam itu sendiri.
Beberapa buku
propaganda pun diterbitkan untuk menghantam pergerakan yang dituding Wahabi, di
antaranya buku hitam berjudul “Sejarah Berdarah Sekte Salafi-Wahabi: Mereka
Membunuh Semuanya Termasuk Para Ulama.” Bertubi-tubi, berbagai tudingan
dialamatkan oleh alumnus dari Universitas di Bawah Naungan Kerajaan Ibnu Saud
yang berhaluan Wahabi, yaitu Prof. Dr. Said Siradj, MA. Tak mau kalah, para
kiyai dari pelosok pun ikut-ikutan menghujat siapapun yang dituding Wahabi.
Kasus terakhir adalah statement dari kiyai Muhammad Bukhori Maulana dalam
tabligh akbar FOSWAN di Bekasi baru-baru ini turut pula menyerang Wahabi dengan
tudingan miring. Benarkah tudingan tersebut?
Menarik memang
menyaksikan fenomena tersebut. Gelagat pembunuhan karakter terhadap dakwah atau
personal pengikut Wahabi ini bukan hal baru, melainkan telah lama terjadi. Hal
ini bahkan telah diurai dengan lengkap oleh ulama pejuang dan mantan ketua MUI
yang paling karismatik, yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang biasa
disapa Buya HAMKA. Siapa tak mengenal Buya HAMKA? Kegigihan, keteguhan dan
independensinya sebagai seorang ulama tidak perlu diragukan lagi tentunya.
Dalam buku “Dari
Perbendaharaan Lama,” Buya HAMKA dengan gamblang beliau merinci berbagai fitnah
terhadap Wahabi di Indonesia sejatinya telah berlangsung berkali-kali. Sejak
Masa Penjajahan hingga beberapa kali Pemilihan Umum yang diselenggarakan pada
era Orde Lama, Wahabi seringkali menjadi objek perjuangan yang ditikam fitnah
dan diupayakan penghapusan atas eksistensinya. Mari kita cermati apa yang
pernah diungkap Buya Hamka dalam buku tersebut:
“Seketika
terjadi Pemilihan Umum , orang telah menyebut-nyebut kembali yang baru lalu,
untuk alat kampanye, nama “Wahabi.” Ada yang mengatakan bahwa Masyumi itu
adalah Wahabi, sebab itu jangan pilih orang Masyumi. Pihak komunis pernah
turut-turut pula menyebut-nyebut Wahabi dan mengatakan bahwa Wahabi itu dahulu
telah datang ke Sumatera. Dan orang-orang Sumatera yang memperjuangkan Islam di
tanah Jawa ini adalah dari keturunan kaum Wahabi.
Memang
sejak abad kedelapan belas, sejak gerakan Wahabi timbul di pusat tanah
Arab, nama Wahabi itu telah menggegerkan dunia. Kerajaan Turki yang sedang
berkuasa, takut kepada Wahabi. Karena Wahabi adalah, permulaan kebangkitan
bangsa Arab, sesudah jatuh pamornya, karena serangan bangsa Mongol dan Tartar
ke Baghdad. Dan Wahabi pun ditakuti oleh
bangsa-bangsa penjajah, karena apabila dia masuk ke suatu negeri, dia akan
mengembangkan mata penduduknya menentang penjajahan. Sebab faham Wahabi
ialah meneguhkan kembali ajaran Tauhid yang murni, menghapuskan segala sesuatu
yang akan membawa kepada syirik. Sebab itu timbullah perasaan tidak ada tempat
takut melainkan Allah. Wahabi adalah menentang keras kepada Jumud, yaitu
memahamkan agama dengan membeku. Orang harus kembali kepada Al-Qur’an dan
Al-Hadits.
Ajaran
ini telah timbul bersamaan dengan timbulnya kebangkitan revolusi Prancis di
Eropa. Dan pada masa itu juga “infiltrasi” dari gerakan ini telah masuk ke
tanah Jawa. Pada tahun 1788 di zaman pemerintahan Paku Buwono IV, yang
lebih terkenal dengan gelaran “Sunan Bagus,” beberapa orang penganut faham
Wahabi telah datang ke tanah Jawa dan menyiarkan ajarannya di negeri ini. Bukan
saja mereka itu masuk ke Solo dan Yogya, tetapi mereka pun meneruskan juga
penyiaran fahamnya di Cirebon, Bantam dan Madura. Mereka mendapat sambutan
baik, sebab terang anti penjajahan.
Sunan
Bagus sendiri pun tertarik dengan ajaran kaum Wahabi. Pemerintah Belanda
mendesak agar orang-orang Wahabi itu diserahkan kepadanya.Pemerintah Belanda
cukup tahu, apakah akibatnya bagi penjajahannya, jika faham Wahabi ini dikenal
oleh rakyat.
Padahal
ketika itu perjuangan memperkokoh penjajahan belum lagi selesai. Mulanya Sunan
tidak mau menyerahkan mereka. Tetapi mengingat akibat-akibatnya bagi
Kerajaan-kerajaan Jawa, maka ahli-ahli kerajaan memberi advis kepada Sunan,
supaya orang-orang Wahabi itu diserahkan saja kepada Belanda. Lantaran
desakan itu, maka mereka pun ditangkapi dan diserahkan kepada Belanda. Oleh
Belanda orang-orang itu pun diusir kembali ke tanah Arab.
Tetapi
di tahun 1801, artinya 12 tahun di belakang, kaum Wahabi datang lagi. Sekarang
bukan lagi orang Arab, melainkan anak Indonesia sendiri, yaitu anak
Minangkabau. Haji Miskin Pandai Sikat (Agam) Haji Abdurrahman Piabang (Lubuk
Limapuluh Koto), dan Haji Mohammad Haris Tuanku Lintau (Luhak Tanah Datar).
Mereka
menyiarkan ajaran itu di Luhak Agam (Bukittinggi) dan banyak beroleh murid dan
pengikut. Diantara murid mereka ialah Tuanku Nan Renceh Kamang. Tuanku Samik
Empat Angkat. Akhirnya gerakan mereka itu meluas dan melebar, sehingga
terbentuklah “Kaum Paderi” yang terkenal. Di antara mereka ialah Tuanku Imam
Bonjol. Maka terjadilah “Perang Paderi” yang terkenal itu. Tiga puluh tujuh
tahun lamanya mereka melawan penjajahan Belanda.
Bilamana
di dalam abad ke delapan belas dan Sembilan belas gerakan Wahabi dapat
dipatahkan, pertama orang-orang Wahabi dapat diusir dari Jawa, kedua dapat
dikalahkan dengan kekuatan senjata, namun di awal abad kedua puluh mereka
muncul lagi!
Di
Minangkabau timbullah gerakan yang dinamai “Kaum Muda.” Di Jawa datanglah K.H.
A. Dahlan dan Syekh Ahmad Soorkati. K.H.A. Dahlan mendirikan “Muhammadiyah.”
Syekh Ahmad Soorkati dapat membangun semangat baru dalam kalangan orang-orang
Arab. Ketika dia mulai datang, orang Arab belum pecah menjadi dua, yaitu
Arrabithah Alawiyah dan Al-Irsyad. Bahkan yang mendatangkan Syekh itu ke mari
adalah dari kalangan yang kemudiannya membentuk Ar-Rabithah Adawiyah.
Musuhnya dalam kalangan Islam sendiri, pertama ialah Kerajaan
Turki. Kedua Kerajaan Syarif di Mekkah, ketiga Kerajaan Mesir. Ulama-ulama
pengambil muka mengarang buku-buku buat “mengafirkan” Wahabi. Bahkan ada di
kalangan Ulama itu yang sampai hati mengarang buku mengatakan bahwa Muhammad
bin Abdul Wahab pendiri faham ini adalah keturunan Musailamah Al Kazhab!
Pembangunan
Wahabi pada umumnya adalah bermazhab Hambali, tetapi faham itu juga dianut oleh
pengikut Mazhab Syafi’i, sebagai kaum Wahabi Minangkabau. Dan juga penganut
Mazhab Hanafi, sebagai kaum Wahabi di India.
Sekarang
“Wahabi” dijadikan alat kembali oleh beberapa golongan tertentu untuk menekan
semangat kesadaran Islam yang bukan surut ke belakang di Indonesia ini,
melainkan kian maju dan tersiar. Kebanyakan orang Islam yang tidak tahu di
waktu ini, yang dibenci bukan lagi pelajaran wahabi, melainkan nama Wahabi.
Ir.
Dr. Sukarno dalam “Surat-Surat dari Endeh”nya kelihatan bahwa fahamnya dalam
agama Islam adalah banyak mengandung anasir Wahabi.
Kaum
komunis Indonesia telah mencoba menimbulkan sentiment Ummat Islam dengan
membangkit-bangkit nama Wahabi. Padahal seketika terdengar kemenangan
gilang-gemilang yang dicapai oleh Raja Wahabi Ibnu Saud, yang mengusir
kekuasaan keluarga Syarif dari Mekkah. Ummat Islam mengadakan Kongres Besar di
Surabaya dan mengetok kawat mengucapkan selamat atas kemenangan itu (1925).
Sampai mengutus dua orang pemimpin Islam dari Jawa ke Mekkah, yaitu H.O.S.
Cokroaminoto dan K.H. Mas Mansur. Dan Haji Agus Salim datang lagi ke Mekkah
tahun 1927.
Karena
tahun 1925 dan tahun 1926 itu belum lama, baru lima puluh tahun lebih saja,
maka masih banyak orang yang dapat mengenangkan bagaimana pula hebatnya reaksi
pada waktu itu, baik dari pemerintah penjajahan, walau dari Ummat Islam sendiri
yang ikut benci kepada Wahabi, karena hebatnya propaganda Kerajaan Turki dan
Ulama-ulama pengikut Syarif.
Sekarang
pemilihan umum yang pertama sudah selesai. Mungkin menyebut-nyebut “Wahabi” dan
membusuk-busukkannya ini akan disimpan dahulu untuk pemilihan umum yang akan
datang. Dan mungkin juga propaganda ini masuk ke dalam hati orang, sehingga
gambar-gambar “Figur Nasional,” sebagai Tuanku Imam Bonjol dan K.H.A. Dahlan
diturunkan dari dinding. Dan mungkin perkumpulan-perkumpulan yang memang nyata
kemasukan faham Wahabi seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, Persis dan lain-lain
diminta supaya dibubarkan saja.
Kepada
orang-orang yang membangkit-bangkit bahwa pemuka-pemuka Islam dari SUmmatera
yang datang memperjuangkan Islam di Tanah Jawa ini adalah penganut atau
keturunan kaum Wahabi, kepada mereka orang-orang dari SUmmatera itu mengucapkan
banyak-banyak terima kasih! Sebab kepada mereka diberikan kehormatan yang
begitu besar!
Sungguh
pun demikian, faham Wahabi bukanlah faham yang dipaksakan oleh Muslimin, baik
mereka Wahabi atau tidak. Dan masih banyak yang tidak menganut faham ini dalam
kalangan Masyumi. Tetapi pokok perjuangan Islam, yaitu hanya takut semata-mata
kepada Allah dan anti kepada segala macam penjajahan, termasuk Komunis, adalah
anutan dari mereka bersama!”
Dari paparan
tersebut, jelaslah bahwa Buya HAMKA berhasil menelisik akar terjadinya fitnah
yang dialamatkan kepada Wahabi. Ini menandakan vonis “Faham Hitam” yang
dituduhkan kepada Wahabi pada dasarnya adalah modus lama namun didesain dengan
gaya baru yang disesuaikan dengan kepentingan dan arahan yang disetting oleh
para Think
Tank “Gurita Kolonialisme Abad 21.”
Maka perhatikanlah
apa yang pernah diutarakan oleh Buya HAMKA dalam pembahasan Islam dan Majapahit
berikut ini:
“Memang,
di zaman Jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita tidak bersatu! Islam
kemudiannya adalah sebagai penanam pertama dari jiwa persatuan. Dan Kompeni
Belanda kembali memakai alat perpecahannya, untuk menguatkan kekuasaannya.”
“Tahukah
tuan, bahwasanya tatkala Pangeran Dipenogero, Amirul Mukminin Tanah Jawa telah
dapat ditipu dan perangnya dikalahkan, maka Belanda membawa Pangeran Sentot Ali
Basyah ke Minangkabau buat mengalahkan Paderi? Tahukah tuan bahwa setelah
Sentot merasa dirinya tertipu, sebab yang diperanginya itu adalah kawan
sefahamnya dalam Islam, dan setelah kaum Paderi dan raja-raja Minangkabau
memperhatikan ikatan serbannya sama dengan ikatan serban Ulama Minangkabau,
sudi menerima Sentot sebagai “Amir” Islam di Minangkabau? Teringatkah tuan,
bahwa lantaran rahasia bocor dan Belanda tahu, Sentot pun diasingkan ke
Bengkulu dan di sana beliau berkubur buat selama-lamanya?”
“Maka
dengan memakai faham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia
terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus
kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana!”
Kiranya,
sepeninggal HAMKA, alangkah laiknya jika Ummat Islam masih kenal dan bisa
mengimplementasikan apa yang diutarakan Buya HAMKA dalam bukunya tersebut.
Dengan demikian, niscaya Ummat Islam tidak perlu sampai menjadi keledai yang
terjerembab dalam lubang yang dibuat oleh musuh-musuh Islam dengan modus yang
sama tetapi dalam nuansa yang berbeda. Wallahu A’lam