Kekurangcakapan Dr. Quraish Shihab di bidang hadits semakin
tampak, ketika beliau justru menjadikan buku Mahmud Abu Rayyah, Adhwa’ ‘alas
Sunnah al-Muhammadiyah, sebagai rujukan dalam upaya menurunkan reputasi Abu
Hurairah r.a. Padahal, semua pakar hadits kontemporer paham betul akan status
dan pemikiran Abu Rayyah dalam hadits.” (hal. 322-323, Buku Mungkinkah
Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab “Sunnah-Syiah
Bergandengan Tangan! Mungkinkah?”).
1. A. Nawawi Abdul Djalil, pengasuh Pesantren Sidogiri: “Mungkin
saja, Syiah tidak akan pernah habis sampai hari kiamat dan menjadi tantangan
utama akidah Ahlusunnah. Oleh karena itu, kajian sungguh-sungguh yang dilakukan
anak-anak muda seperti ananda Qusyairi dan kawan-kawannya ini, menurut saya
merupakan langkah penting untuk membendung pengaruh aliran sesat semacam
Syiah.”
Inilah sorotannya.
PANJIMAS.COM – AHAD, 29
JUMADIL TSANIYAH 1436H / APRIL 19, 2015
Jauh sebelum orang-orang ramai
meributkan ketidakberesan pemikiran ulama Metro TV Prof. Dr. Quraish Shihab di
kalangan liberal di Indonesia, Sudah jamak diketahui beliau sebagai seorang
yang bermasalah.
“Jilbab tidak wajib” dan “Tak ada
jaminan Rasulullah SAW masuk surga”hanyalah dua hal kontroversi beliau yang
mengemuka ke publik. Dan terakhir adalah kajian tafsir di Metro TV membolehkan
“ucapan selamat natal”.
Beliau pernah menulis buku, “Sunnah
-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” Buku ini diterbitkan oleh Penerbit
Lentera Hati pada Maret 2007.Di antara yang ditegaskan QS di buku ini bahwa
perbedaan sunni dan syi’ah bukan pada ushul. QS juga menyanggah keberadaan
Abdullah bin Saba’. Beliau menyebut Abdullah bin Saba’ sebagai tokoh fiktif.
Dalam buku ini QS juga ingin mendegradasi posisi Abu Hurairah RA sebagai
sahabat Rasulullah SAW yang paling banyak meriwayatkan hadis.
Menanggapi buku tersebut, teman-teman
santri Pondok Pesantren Sidogiri (Jawa Timur) menulis buku bantahan,
“Mungkinkah Sunnah Syiah Bersatu Dalam Ukhuwah?” Semua pembelaan Quraish Shihab
terhadap Syiah telah dimentahkan santri-santri Sidogiri di buku ini.
Dari Jakarta, QS mengirim pesan
ketidaksukaannya terhadap buku yang telah membantah bukunya. Santri (pelajar)
gitu loh, membantah bukunya profesor. Dari pelosok Pasuruan, teman-teman
Sidogiri pun merespon, “Kalau memang sanggahan kami ada yang perlu disanggah
balik, silakan saja. Atau mari kita ketemu, kita duduk dalam satu majelis, kita
bedah bareng buku kita masing-masing!”
Namun ajakan para santri ini sampai
sekarang belum dipenuhi oleh Sang Profesor. Pada Haul Habib Muhammad bin Salim
al Aththas di Masjid Baalawi, Singapura, Quraish Shihab pernah berceramah.
Dalam ceramahnya, beliau mengkritisi kitab maulid, Diba’. Tepatnya pada bait:
“Mauliduhu bi Makkah, wa hijratuhu bil Madinah wa shulthonuhu bis-Syam.”
Salah seorang yang hadir ketika itu
adalah Habib Umar bin Muhsin Al Aththas, Lawang. Habib Umar sebenarnya
bermaksud mendebat QS. Namun Habib Hasan Al Aththas sebagai tuan rumah mencegah
beliau.
Berikut Pengakuan Dr Adian Husaini Terhadap Buku Pesantren
Sidogiri
Di tengah malasnya tradisi ilmiah, buku
terbitan Pesantren Sidogiri tentang “ukhuwah” Sunni-Syiah patut diacungi
jempol.Belum lama ini saya menerima kiriman berupa sebuah buku terbitan Pondok
Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Judulnya cukup panjang: “Mungkinkah
Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah
Bergandengan Tangan! Mungkinkah?)”. Penulisnya adalah Tim Penulis Buku Pustaka
Sidogiri, Pondok Pesantren Sidogiri, yang dipimpin seorang anak muda bernama
Ahmad Qusyairi Ismail.
Membaca buku ini halaman demi halaman,
muncul rasa syukur yang sangat mendalam. Bahwa, dari sebuah pesantren yang
berlokasi di pelosok Jawa Timur, terlahir sebuah buku ilmiah yang bermutu
tinggi, yang kualitas ilmiahnya mampu menandingi buku karya Prof. Dr. Quraish
Shihab yang dikritik oleh buku ini. Buku dari Pesantren Sidogiri ini terbilang
cukup cepat terbitnya. Cetakan pertamanya keluar pada September 2007. Padahal,
cetakan pertama buku Quraish Shihab terbit pada Maret 2007. Mengingat banyaknya
rujukan primer yang dikutip dalam buku ini, kita patut mengacungi jempol untuk
para penulis dari Pesantren tersebut.
Salah satu kesimpulan Quraish Shihab
dalam bukunya ialah, bahwa Sunni dan Syiah adalah dua mazhab yang berbeda.
“Kesamaan-kesamaan yang terdapat pada kedua mazhab ini berlipat ganda
dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan dan sebab-sebabnya. Perbedaan antara
kedua mazhab – dimana pun ditemukan – adalah perbedaan cara pandang dan
penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul (prinsip-prinsip dasar) keimanan, tidak
juga dan Rukun-rukun Islam.” (Cetakan II, hal. 265).
Berbeda dengan Quraish Shihab, pada
bagian sampul belakang buku terbitan Pesantren Sidogiri, dikutip sambutan KH.
A. Nawawi Abdul Djalil, pengasuh Pesantren Sidogiri yang menegaskan: “Mungkin
saja, Syiah tidak akan pernah habis sampai hari kiamat dan menjadi tantangan
utama akidah Ahlusunnah. Oleh karena itu, kajian sungguh-sungguh yang dilakukan
anak-anak muda seperti ananda Qusyairi dan kawan-kawannya ini, menurut saya
merupakan langkah penting untuk membendung pengaruh aliran sesat semacam Syiah.”
Sebagian kritik dari Pesantren Sidogiri terhadap Quraish Shihab
Berikut ini kita kutip sebagian kritik
dari Pesantren Sidogiri terhadap Quraish Shihab (selanjutnya Quraish Shihab
disingkat “QS” dan Pondok Pesantren Sidogiri disingkat “PPS”). Kutipan dan
pendapat QS dan PPS diambil dari buku mereka masing-masing.
1. Tentang
Abdullah bin Saba‘.
QS: “Ia adalah tokoh fiktif yang
diciptakan para anti-Syiah. Ia (Abdullah bin Saba’) adalah sosok yang tidak
pernah wujud dalam kenyataan. Thaha Husain – ilmuwan kenamaan Mesir – adalah
salah seorang yang menegaskan ketiadaan Ibnu Saba’ itu dan bahwa ia adalah
hasil rekayasa musuh-musuh Syiah.” (hal. 65).
PPS: Bukan hanya sejarawan Sunni yang
mengakui kebaradaan Abdullah bin Saba’. Sejumlah tokoh Syiah yang diakui ke-tsiqah-annya
oleh kaum Syiah juga mengakui kebaradaan Abdullah bin Saba’. Sa’ad al-Qummi,
pakar fiqih Syiah abad ke-3, misalnya, malah menyebutkan dengan rinci para
pengikut Abdullah bin Saba’, yang dikenal dengan sekte Saba’iyah. Dalam
bukunya, al-Maqalat wa al-Firaq, (hal. 20), al-Qummi menyebutkan, bahwa
Abdullah bin Saba’ adalah orang memunculkan ide untuk mencintai Sayyidina Ali
secara berlebihan dan mencaci maki para sahabat Nabi lainnya, khususnya Abu
Bakar, Umar, dan Utsman r.a. Kisah tentang Abdullah bin Saba’ juga dikutip oleh
guru besar Syiah, An-Nukhbati dan al-Kasyi, yang menyatakan, bahwa, para pakar
ilmu menyebutkan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang Yahudi yang kemudian
masuk Islam. Atas dasar keyahudiannya, ia menggambarkan Ali r.a. setelah
wafatnya Rasulullah saw sebagai Yusya’ bin Nun yang mendapatkan wasiat dari
Nabi Musa a.s. Kisah Abdullah bin Saba’ juga ditulis oleh Ibn Khaldun dalam
bukunya, Tarikh Ibn Khaldun. (hal. 44-46).
2. Tentang
hadits Nabi saw dan Abu Hurairah r.a.:
QS: “Karena itu, harus diakui bahwa
semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, semakin besar potensi
kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari
Abu Hurairah merupakan satu keharusan. Disamping itu semua, harus diakui juga
bahwa tingkat kecerdasan dan kemampuan ilmiah, demikian juga pengenalan Abu
Hurairah r.a. menyangkut Nabi saw berada di bawah kemampuan sahabat-sahabat
besar Nabi saw, atau istri Nabi, Aisyah r.a.” (hal. 160).
QS: “Ulama-ulama Syiah juga berkecil
hati karena sementara pakar hadits Ahlusunnah tidak meriwayatkan dari imam-imam
mereka. Imam Bukhari, misalnya, tidak meriwayatkan satu hadits pun dari Ja’far
ash-Shadiq, Imam ke-6 Syiah Imamiyah, padahal hadits-haditsnya cukup banyak
diriwayatkan oleh kelompok Syiah.” (hal. 150).
PPS: “Sejatinya, melancarkan
suara-suara miring terhadap sahabat pemuka hadits sekaliber Abu Hurairah r.a.
dengan menggunakan pendekatan apa pun, tidak akan pernah bisa meruntuhkan
reputasi dan kebesaran beliau, sebab sudah pasti akan bertentangan dengan
dalil-dalil hadits, pengakuan para pemuka sahabat dan pemuka ulama serta
realitas sejarah. Jawaban untuk secuil sentilan terhadap Abu Hurairah r.a.
sejatinya telah dilakukan oleh para ulama secara ilmiah dan rasional. Banyak
buku-buku yang ditulis oleh para ulama khusus untuk membantah tudingan miring
terhadap sahabat senior Nabi saw tersebut, diantaranya adalah al-Burhan fi
Tabri’at Abi Hurairah min al-Buhtan yang ditulis oleh Abdullah bin Abdul Aziz
bin Ali an-Nash, Dr. Al-A’zhami dalam Abu Hurairah fi Dhau’i Marwiyatih,
Muhammad Abu Shuhbah dalam Abu Hurairah fi al-Mizan, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib
dengan bukunya Abu Hurairah Riwayat al-Islam dan lain-lain.”
Dalam Bidayah wa an-Nihayah, Ibn Katsir
mengatakan, bahwa Abu Hurairah r.a. merupakan sahabat yang paling kuat
hafalannya, kendati beliau bukan yang paling utama. Imam Syafii juga
menyatakan, “Abu Hurairah r.a. adalah orang yang memiliki hafalan paling
cemerlang dalam meriwayatkan hadits pada masanya.” (hal. 320-322).
Karena kuatnya bukti-bukti keutamaan
Abu Hurairah, maka PPS menegaskan: “Dengan demikian, maka keagungan, ketekunan,
kecerdasan dan daya ingat Abu Hurairah tidak perlu disangsikan, dan karena
itulah posisi beliau di bidang hadits demikian tinggi tak tertandingi. Yang
perlu disangsikan justru kesangsian terhadap Abu Hurairah r.a. seperti ditulis
Dr. Quraish Shihab: “Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang
disampaikan seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula
kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan satu
keharusan.” (hal. 322).
“Pernyataan seperti yang dilontarkan
oleh Dr. Quraish Shihab tersebut sebetulnya hanya muncul dari asumsi-asumsi
tanpa dasar dan tidak memiliki landasan ilmiah sama sekali. Sebab jelas sekali
jika beliau telah mengabaikan dalil-dalil tentang keutamaan Abu Hurairah dalam
hadits-hadits Nabi saw, data-data sejarah dan penelitian sekaligus penilaian
ulama yang mumpuni di bidangnya (hadits dan sejarah). Kekurangcakapan Dr.
Quraish Shihab di bidang hadits semakin tampak, ketika beliau justru menjadikan
buku Mahmud Abu Rayyah, Adhwa’ ‘alas Sunnah al-Muhammadiyah, sebagai rujukan
dalam upaya menurunkan reputasi Abu Hurairah r.a. Padahal, semua pakar hadits
kontemporer paham betul akan status dan pemikiran Abu Rayyah dalam hadits.”
(hal. 322-323).
Tentang banyaknya hadits yang
diriwayatkan Abu Hurairah r.a., Dr. al-A’zhami melakukan penelitian, bahwa
jumlah 5.000 hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah adalah jika dihitung hadits
yang substansinya diulang-ulang. Jika penghitungan dilakukan dengan mengabaikan
hadits-hadits yang diulang-ulang substansinya, maka hadits dari Abu Hurairah
yang ada dalam Musnad dan Kutub as-Sittah tinggal 1336 saja. “Nah, kadar ini,
kata Ali as-Salus, bisa dihafal oleh pelajar yang tidak terlalu cerdas dalam
waktu kurang dari satu tahun. Bagaimana dengan Abu Hurairah, yang merupakan
bagian dari mu’jizat kenabian?” (hal. 324).
Memang dalam pandangan Syiah, seperti
dijelaskan oleh Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha’ (tokoh Syiah kontemporer yang
menjadi salah satu rujukan kaum Syiah masa kini), yang juga dikutip oleh QS:
“Syiah tidak menerima hadits-hadits Nabi saw kecuali yang dianggap sah dari
jalur Ahlul bait. Sementara hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi
semacam Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, Amr bin Ash dan sesamanya, maka dalam
pandangan Syiah Imamiyah, mereka tidak memiliki nilai walau senilai nyamuk
sekalipun.” (hal. 313).
PPS juga menjawab tuduhan bahwa
Ahlusunnah diskriminatif, karena tidak mau meriwayatkan hadits dari Imam-imam
Syiah. Pernyataan semacam itu hanyalah suatu prasangka belaka dan tidak
didasari penelitian ilmiah apa pun. Dalam kitab-kitab Ahlusunnah,
riwayat-riwayat Ahlul Bait begitu melimpah. Imam Bukhari memang tidak
meriwayatkan hadits dari Imam Ja’far ash-Shadiq, dengan berbagai alasan,
terutama karena banyaknya hadits palsu yang disandarkan kaum Syiah kepada
Ja’far ash-Shadiq. Bukan karena Imam Bukhari membencinya. Bukhari juga tidak
meriwayatkan hadits dari Imam Syafii dan Ahmad bin Hanbal, bukan karena beliau
membenci mereka. (hal. 324-330).
3. Tentang
pengkafiran Ahlusunnah:
QS: “Apa yang dikemukakan di atas
sejalan dengan kenyataan yang terlihat, antara lain di Makkah dan Madinah, di
mana sekian banyak penganut aliran Syiah Imamiyah yang shalat mengikuti shalat
wajib yang dipimpin oleh Imam yang menganut mazhab Sunni yang tentunya tidak
mempercayai imamah versi Syiah itu. Seandainya mereka menilai orang-orang yang
memimpin shalat itu kafir, maka tentu saja shalat mereka tidak sah dan tidak
juga wajar imam itu mereka ikuti.” (hal. 120).
PPS: “Memperhatikan tulisan Dr. Quraish
Shihab di atas, seakan-akan Syiah yang sesungguhnya memang seperti apa yang
digambarkannya (tidak menganggap Ahlusunnah kafir dan najis). Akan tetapi siapa
mengira bahwa faktanya tidak seperti penggambaran Dr. Quraish Shihab? Jika kita
merujuk langsung pada fatwa-fatwa ulama Syiah, maka akan tampak bahwa
sebetulnya Dr. Quraish Shihab hendak mengelabui pemahaman umat Islam akan
hakikat Syiah. Bahwa sejatinya, Syiah tetap Syiah. Apa yang mereka yakini hari
ini tidak berbeda dengan keyakinan para pendahulu mereka. Dalam banyak
literatur Syiah dikemukakan, bahwa orang-orang Syiah yang shalat di belakang
(menjadi makmum) imam Sunni tetap dihukumi batal, kecuali dengan menerapkan
konsep taqiyyah… “Suatu ketika, tokoh Syiah terkemuka, Muhammad al-Uzhma Husain
Fadhlullah, dalam al-Masa’il Fiqhiyyah, ditanya: “Bolehkah kami (Syiah) shalat
bermakmum kepada imam yang berbeda mazhab dengan kami, dengan memperhatikan
perbedaa-perbedaan di sebagian hukum antar shalat kita dan shalat mereka?”
Muhammad Husain Fadhlullah menjawab: “Boleh, asalkan dengan menggunakan
taqiyyah.” (348-349).
Seorang dai Syiah, Muhammad Tijani,
mengungkapkan, bahwa “Mereka (orang-orang Syiah) seringkali shalat bersama
Ahlusunnah wal Jama’ah dengan menggunakan taqiyyah dan bergegas menyelesaikan
shalatnya. Dan barangkali kebanyakan mereka mengulangi shalatnya ketika
pulang.” (hal. 350-351).
Banyak sekali buku-buku referensi utama
kaum Syiah yang dirujuk dalam buku terbitan PPS ini. Karena itu, mereka juga
menolak pernyataan Dr. Quraish Shihab bahwa yang mengkafirkan Ahlusunnah
hanyalah pernyataan orang awam kaum Syiah. PPS juga mengimbau agar umat Islam
berhati-hati dalam menerima wacana “Persatuan umat Islam” dari kaum Syiah.
Sebab, mereka yang mengusung persatuan, ternyata dalam kajiannya justru
memojokkan Ahlusunnah dan memposisikannya di posisi zalim, sementara Syiah
diposisikan sebagai “yang terzalimi”.
Buku terbitan PPS ini memang banyak
memuat fakta dan data tentang ajaran Syiah, baik klasik maupun kontemporer.
Terhadap Imam mazhab yang empat, misalnya, dikutip pendapat dalam Kitab
Kadzdzabu ‘ala as-Syiah, “Andai para dai Islam dan Sunnah mencintai Ahlul Bait,
niscaya mereka mengikuti jejak langkah Ahlul Bait dan tidak akan mengambil
hukum-hukum agama mereka dari para penyeleweng, seperti Abu Hanifah,
asy-Syafii, Imam Malik dan Ibnu Hanbal.” (hal. 366).
Terlepas dari fakta tentang Syiah dan
kritik terhadap Quraish Shihab, terbitnya buku ini telah menjadi momen penting
bagi PPS untuk turut berkiprah dalam peningkatan khazanah keilmuan Islam di
Indonesia. PPS memang telah didirikan pada tahun 1745. Jadi, usianya kini telah
mencapai lebih dari 260 tahun. Jumlah muridnya kini lebih dari 5000 orang.
Sejumlah prestasi ilmiah tingkat nasional juga pernah diraihnya. Diantaranya,
pada Ramadhan 1425 H, PPS berhasil meraih juara I dan III lomba karya ilmiah
berbahasa Arab yang diselenggarakan oleh Depdiknas RI.
Dalam Jurnal Laporan Tahunan 1425/1426
H, disebutkan bahwa PPS juga cukup sering mendapat kunjungan tamu-tamu dari
luar negeri. Termasuk dari kedutaan Australia dan Amerika Serikat. Mereka
selalu menerima tamunya dengan baik. Tetapi, dengan sangat berhati-hati, selama
ini, PPS senantiasa menolak dana bantuan dan hibah dari Australia dan Amerika.
PPS juga termasuk salah satu pesantren
di Jawa Timur yang sangat gigih dalam melawan penyebaran paham Liberal. Ditulis
dalam Laporan Tahunan tersebut: “Tahun ini, PPS menggerakkan piranti dunia maya
untuk melestarikan dan menyelamatkan ajaran Ahlusunnah dari serbuan berbagai
aliran sesat. Di website www.sidogiri.com secara
khusus disediakan rubrik “Islam Kontra Liberal”. Rubrik ini digunakan oleh
Pondok Pesantren Sidogiri untuk meng-counter wacana-wacana pendangkalan akidah
yang ramai berkembang saat ini. Liberalisme, humanisme, rasionalisme,
pluralisme, feminisme, sekularisme, dekonstruksi syariah dan paham-paham
destruktif modern lainnya, menjadi bidikan yang terus ditangkal dengan
wacana-wacana salaf yang dipegang Pondok Pesantren Sidogiri.”
Kita berdoa, mudah-mudahan akan terus
lahir karya-karya ilmiah yang bermutu tinggi dari PPS. Begitu juga dari
berbagai pesantren lainnya.
JUDUL BUKU: MUNGKINKAH SUNAH SYIAH DALAM UKHUWAH?
Tak ada maksud lain dari kehadiran buku
ini, selain sebagai upaya mendudukkan dua faham yang memang berbeda ini
(Sunni-Syiah) secara proporsional. Menegaskan perbedaan, tidak berarti menutup
ruang untuk saling menghormati dan bertoleransi. Justru adalah absurd, jika
mimpi persatuan itu diharapkan muncul dari ranah yang memang berhadap-hadapan
secara diametral.
Ajakan untuk menjalin ukhuwah adalah baik, namun jika harus mengorbankan akidah, maka itu akan menjadi musibah. Mari kita bangun ukhuwah, dengan tanpa mengorbankan akidah. [AW/NU Garis Lurus]/ PANJIMAS.COM
Ajakan untuk menjalin ukhuwah adalah baik, namun jika harus mengorbankan akidah, maka itu akan menjadi musibah. Mari kita bangun ukhuwah, dengan tanpa mengorbankan akidah. [AW/NU Garis Lurus]/ PANJIMAS.COM
(nahimunkar.com)