Oleh: Mamduh Farhan al-Buhairi
Syubhat: Nabi baru saja wafat, tetapi Abu Bakar malah pergi untuk
mengurus kekuasaan, bukan mengurus jenazah Nabi. Begitu rendahnya akhlaq Abu
Bakar!! Hanya orang-orang tolol yang menjadikannya petunjuk.
Jawab: Sesungguhnya kami tidak heran, saat hakikat kebenaran itu
berputar balik dari orang-orang semacam Anda. Anda adalah sebuah biji yang
telah dirawat dan disiram oleh para pendosa yang tujuannya adalah memisahkan
para sahabat dari Islam, serta melenyapkan peran mereka sebagai bentuk balas
dendam terhadap penaklukan mereka terhadap negeri Persia. Seandainya mereka
berfikir sedikit, maka pastilah mereka akan mengetahui bahwa orang yang
menyebabkan mereka muslim adalah para sahabat Radhiallahu ‘Anhum.
Termasuk di antara pemutar balikan fakta adalah persangkaan
kalian akan kesibukan Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu dari jenazah Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Di sini, saya harus merinci dengan ringkas agar Anda bisa
memahami fakta sebagaimana apa adanya. Di saat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam wafat, seluruh manusia tergoncang dan terkejut. Di antara mereka ada yang
terduduk dan tidak mampu untuk berdiri. Ada yang kelu lisannya dan tidak bisa
berbicara, ada yang mengingkari kematian beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
secara mutlak, dan mengambil pedang atas setiap orang yang mengumumkan kematian
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Pada keadaan genting yang dilalui umat kala itu, Abu Bakar
Radhiallahu ‘Anhu berdiri dengan keberanian dan keyakinan seorang mukmin seraya
berkata kepada manusia:
مَنْ
كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّداً فَإنَّ مُحَمَّداً قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ
اللهَ فَإِنَّ اللهَ حَيٌّ لاَ يَمُوْتُ
“Barangsiapa menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah
wafat, dan barangsiapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah Maha hidup
tidak akan mati.”
Itu adalah sikap kepahlawanan satu-satunya di antara sikap para
pemimpin umat. Dialah yang telah membangunkan kaum muslimin dan mengembalikan
mereka kepada petunjuk setelah sebelumnya mereka menolak untuk membenarkan
hakikat kematian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dengan sikap agung dari
Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu ini, terjagalah manusia dari dahsyatnya tragedi
kala itu. Terutama setelah dia membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَمَا
مُحَمَّدٌ إِلاَّ رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِن مَّاتَ أَوْ
قُتِلَ انقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَن يَنقَلِبْ عَلَىَ عَقِبَيْهِ فَلَن
يَضُرَّ اللّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللّهُ الشَّاكِرِينَ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah
berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh
kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka
ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan
memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”(QS. Ali ‘Imran: 144)
Maka kuam muslimin pun menyadari bahwa harus menanggung beban
kesabaran. Diantaranya adalah pengangkatan khalifah (pengganti) Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam atas musibah mereka, dan penguburan Nabi mereka
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Dan yang harus pertama kali dilakukan adalah
mengangkat Khalifah pengganti beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sekalipun
demikian para sahabat Radhiallahu ‘Anhum kala itu mereka dalam keadaan
menangis, berdo’a, berdzikir, dan membaca al-Qur`an, dan segala yang serupa
dengan kondisi manusia saat terjadi satu musibah besar yang menimpa mereka.
Alih-alih mereka menjadikan sikap
pahlawan ini termasuk bagian dari manaqib (karamah) Abu bakar Radhiallahu ‘Anhu, musuh-musuh Allah dan
Rasul-Nya itu malah ingin menjadikan sikap itu sebagai sisi negatif dari Abu
Bakar Radhiallahu ‘Anhu.
Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu, dan para sahabat besar, saat mereka
sibuk memilih Khalifah, karena pemilihan Khalifah lebih utama daripada
memakamkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sekalipun penguburan mayat
adalah wajib, tetapi pengangkatan seorang khalifah lebih wajib daripadanya.
Yang menguatkan hal itu adalah bahwa para sahabat yang sibuk mengurus jenazah
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak mengingkari mereka sama sekali, bahkan
mereka berbaiat saat pemilihan Khalifah selesai. Maka jadilah hal itu sebagai
ijma’ (kesepakatan) bahwa pengangkatan Khalifah lebih didahulukan daripada
perkara lain. Dan hal ini karena banyak sebab;
Misal, seandainyanya orang-orang murtad dan lainnya menyerang
Madinah disela-sela hari itu, maka siapakah yang akan menyatukan manusia dan
mengatur barisan mereka?
Misal lain, seandainya terjadi permasalahan di antara
masing-masing suku di Madinah, siapakah yang akan menyelesaikan permasalahan
itu di antara mereka dan siapakah yang akan ditaati perintahnya?
Misal lain, prosesi penyelenggaraan jenazah Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan menshalatinya, serta mengebumikannya membutuhkan seorang
pemimpin yang ucapannya menjadi rujukan jika mereka berselisih pendapat
terhadap sesuatu dari perkara penyelenggaraan jenazah, shalat, dan
mengebumikannya, yang kemudian mereka akan menuruti perintahnya? Barangkali
perkara ini akan menghantarkan kepada persengketaan dan perselisihan ucapan, maka
jadilah pekrara ini menjadi perkara yang terpenting.
Adalah manusia kala itu menshalati Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam sendiri-sendiri; sekelompok orang masuk kemudian shalat sendiri-sendiri
lalu keluar, kemudian masuk lagi sekelompok orang, kemudian masuklah kaum
wanita setelah kaum laki-laki, kemudian anak-anak.
Di saat sebagian sahabat tidak sibuk dalam penyelenggaraan
jenazah Nabi, maka sebabnya adalah karena ada orang lain selain mereka yang
mempersiapkan penyelenggaraan jenazah. Maka telah diketahui oleh bangsa Arab
dan selainnya, bahwa yang menyelenggarakan jenazah adalah kerabatnya.
Sebagaimana tidak mungkin secara akal, ribuan orang ikut sibuk mengurusi
jenazah, terutama tempat yang di sana terdapat jenazah itu sempit sebagaimana
diketahui, sebagaimana pula difahami bahwa menyelenggarakan jenazah hukumnya
adalah fardhu kifayah. Kemudian, bahwa para sahabat tidak bermaksud
mengakhirkan pengebumian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, akan tetapi itu
adalah sebuah kesempatan bagi orang-orang yang datang dari segenap tempat untuk
menshalati beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dan tidaklah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dikebumikan
kecuali setelah pemilihan Khalifah selesai. Di sana, saya menantang Anda, dan
setiap orang yang memperdayakan Anda untuk mendatangkan satu dalil akan
tuntutan Ali Radhiallahu ‘Anhu, atau salah satu putra paman Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan kerabatnya untuk menguburkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam sebelum pengangkatan khalifah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan
bahwa pengebumian beliau lebih wajib daripada pengangkatan Khalifah. Atau dalil
yang menunjukkan pengingkaran dan kemarahan mereka. Lihat, saya hanya meminta
satu dalil saja, tidak dua.
Berdasarkan keyakinan saya, bahwa Anda tidak akan bisa menemukannya,
maka saya bertanya kepada Anda, apakah Anda sekalian lebih berambisi untuk
menyelenggarakan jenazah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Ali
Radhiallahu ‘Anhu?
Sesungguhnya kalian ingin membangunkan api fitnah
ditengah-tengah umat dengan tuntutan kalian untuk mengembalikan sejarah dengan
cara yang difahami oleh musuh-musuh umat ini setelah 1400 tahun. Perkara ini
menjadikan saya bertanya kepada orang-orang berakal dari Anda sekalian dengan
sebuah pertanyaan hipotesis; seandainya kita berfikir sama dengan cara
akal-akal Anda sekalian yang menyimpang, dan kami menerima bahwa Ali
Radhiallahu ‘Anhu marah terhadap pengangkatan Khalifah sebelum pengebumian Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi beliau mendiamkannya serta tidak
menyatakannya demi menjaga persatuan umat, maka saya bertanya kepada Anda
sekalian, ‘Mengapa Anda sekalian tidak diam juga demi menjaga persatuan umat
sebagaimana dilakukan oleh Ali Radhiallahu ‘Anhu?! Maka jka Ali Radhiallahu ‘Anhu diam,
sementara dia ma’shum menurut Anda sekalian, maka mengapa kalian semua
berbicara pada hari ini? Apa yang Anda sekalian inginkan dibalik penghidupan
api fitnah tersebut? Apakah diamnya Ali Radhiallahu ‘Anhu, yang beliau adalah
Imam ma’shum disisi Anda sekalian adalah satu perbuatan yang salah?, sementara
perbuatan kalian yang tidak ma’shum telah berbuat benar?
Kemudian, apakah Anda sekalian lebih banyak
keberaniannya daripada Ali Radhiallahu ‘Anhu, dan ahlul bait?
Anda dan selain Anda, dari orang-orang yang sok alim, tidak
mengetahui bahwa dengan syubhat ini, Anda telah menafikan sikap jantan, dan
ucapan hak dari Sang Pahlawan Pemberani Ali Radhiallahu ‘Anhu. Jika tidak
demikian, bagaimana dia diam dari penundaan penyelenggaraan jenazah, dan
bagaimana dia diam dengan kesibukan mereka untuk mengangkat Khalifah jika dia
menyatakan kesalahan perbuatan itu?
Terakhir, bukanlah orang tolol yang menjadikan Abu Bakar sebagai
petunjuk, akan tetapi yang tolol adalah orang yang menyia-nyiakan nikmat akal
dan menjual agamanya karena untuk mendapatkan sedikit nasi, minyak, dan mie.
Bagaimana pendapat Anda? daripada Anda
sibuk mencaci para sahabat dan isteri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
lebih baik Anda mencari seseorang yang mau berdialog damai dengan majalah Qiblati. (AR)*