Oleh: Muhajirin, LC
SETIAP 18 Dzulhijjah H, kaum Syiah seluruh dunia memperingati Ghadir Khum (Hari Raya Idul Ghadir), yakni sebuah peyaraan sebagai anggapan pengangkatan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu sebagai khalifah di kebun Ghadir Khum.
Kaum Syiah menjadikan Ghadir Khum melebihi Idul Fithri dan Idul Adha, padahal merayakan hari tersebut saja tidak ada dasarnya
Perayaan Ghadir Khum adalah perayaan yang tidak ada dasarnya di dalam Islam. Perayaan ini dibuat oleh seorang raja bernama Abu Al-Hasan Ahmad bin Buwaih Al-Dailami bergelar Mu’izzu Al-Daulah dari Dinasti Buwaihiyah yang bermadzhabkan Syiah Itsna Asyariyah di Iraq, seorang raja yang pernah memerintahkan dan memaksa rakyatnya –baik Syiah maupun Sunni di Baghdad pada tahun 351 H– sebelum munculnya perayaan Ghadir Khum pada tahun 352 H untuk melaknat tiga Khulafa` Al-Rasyidin Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhum ajma’in dan Mu’awiyah Radhiyallahu Anhu pada setiap hari besar Islam dan Syiah di masjid-masjid dan jalan raya. [Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah].
Ibnu Katsir mengkisahkan salah satu peristiwa yang terjadi di tahun 352 H :
وفي عشر ذي الحجة منها أمر معز الدولة بن بويه بإظهار الزينة في بغداد ، وأن تفتح الأسواق بالليل كما في الأعياد ، وأن تضرب الذبابات والبوقات، وأن تشعل النيران في أبواب الأمراء ، وعند الشرط ، فرحاً بعيد الغدير – غدير خم – فكان وقتاً عجيباً مشهوداً ، وبدعة شنيعة ظاهرة منكرة
“Pada tanggal 18 Dzulhijjah Muizzu Ad-Daulah bin Buwaih memerintahkan untuk memeriahkan dan menghiasi Baghdad, membuka pasar-pasar di malam hari seperti halnya hari raya, menabuh gendang dan rebana, meniup terompet, menyalakan unggun di depan pintu para pejabat pemerintahan dan aparat, sebagai bentuk ungkapan gembira atas perayaan Ghadir Khum, maka ini adalah peristiwa aneh yang disaksikan oleh sejarah dan bid’ah buruk yang sangat jelas serta perbuatan munkar.” [Kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah 165]
Berkata Al-Maqrizi :
اعلم أن عيد الغدير لم يكن عيداً مشروعاً ، ولا عمله أحد من سالف الأمة المقتدى بهم ، وأول ما عرف في الإسلام بالعراق أيام معز الدولة على بن بويه ، فإنه أحدثه في سنة اثنتين وخمسين وثلاثمائة فاتخذه الشيعة من حينئذٍ عيداً
“Ketahuilah Hari Raya Ghadir Khum bukan perkara yang disyariatkan dan tidak pernah ada praktiknya di kalangan salaful ummah yang menjadi panutan, diketahui perayaan Ghadir Khum diperkenalkan pertama kali di Iraq saat Mu’izzud daulah bin Buwaih berkuasa, dia membuat-buat perayaan tersebut pada tahun 352 H, maka dari sejak itu umat Syiah menjadikannya sebagai hari raya.” [Dalam Al-Khuthath Wal Atsar karya Al-Maqrizi, 1/388]
Perayaan Ghadir Khum memiliki sejarah dan arti sendiri bagi umat Syiah. Menurut mereka, perayaan Ghadir Khum ini berangkat dari peristiwa kepulangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya Radhiyallahu Anhum dari haji Wada’ pada tanggal 18 Dzulhijjah di mana beliau dan sahabatnya berhenti di sebuah muara (Ghadir) bernama Khum dan di situ beliau bersabda tentang Ali:
من كنت مولاه فعلي مولاه ، اللهم وال من والاه ، وعاد من عاداه
“Barang siapa yang aku adalah walinya maka Ali adalah walinya, ya Allah berwala`lah kepada orang yang berwala` kepada Ali, dan musuhilah orang yang memusuhi Ali.” [HR Ahmad]
Dan dalam riwayat lain Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menekankan untuk berpegang dengan Kitab Allah kemudian bersabda: “Dan Ahlu Baitku, aku ingatkan kalian tentang Ahlu Baitku, aku ingatkan kalian tentang Ahlu Baitku.” [HR Muslim]
Dalam konteks hadits ini, umat Syiah menganggap sangat sacral. Di mana menurut anggapannya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dengan nash hadits ini telah resmi memandatkan amanat dan jabatan khilafah kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu dan keturunannya.
Di sisi lain, mereka menganggap hadits-hadits Ahlus Sunnah tidak valid dan tertolak.
Tidak cukup di situ, klaim Syiah atas maksud hadits Ghadir Khum berupa wasiat resmi imamah untuk Ali yang menjadi ajaran dan doktrin utamanya, melahirkan doktrin-doktrin lain yang melukai hati umat Islam.
Di antaranya; penistaan terhadap simbol-simbol penting Islam terutama tiga Khulafa’ur Rasyidin; Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu Anhum Ajma’in karena dianggap telah merampas mandat dan jabatan Khilafah dari Ali Radhiyallahu Anhu dan mengkhianati amanat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Dampak pemahaman ini memang tidaklah sedikit. Kaum Syiah akhirnya banyak mencela para Sahabat besar Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tersebut serta sahabat lainnya, karena dianggap menyeleweng dari wasiat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.*
Sebagai bukti dalam buku “Mafatih Al-Jinan” karya Abbas Al-Qummi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama, dan diterbitan oleh pustakan Al-Huda atau ICC Jakarta, teraktub pada hal 150 dan 172 tentang doa dan adab ziyarah ke maqbarah Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu :
Hal 150 :
لعن الله جاحد ولايتك بعد الإقرار، وناكث عهدك بعد الميثاق
“Semoga Allah melanat orang yang membangkang dari berwilayah kepadamu (Ali) setelah sebelumnya dia mengkuinya, dan melanggar sumpahnya kepadamu setelah dia mengikat sumpah.”
Yang dimaksud dalam doa laknat ini menurut Syiah tentu para Sahabat yang mengetahui peristiwa Ghadir Khum namun justru mereka melanggarnya dengan mengabaikan Ali Radhiyallahu Anhu pasca wafatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam terutama Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallah Anhum Ajma’in.
Pada halaman 172 :
والعن من غصب وليك حقه وأنكر عهده وجحده بعد اليقين والإقرار……..اللهم العن أول ظالم ظلم آل محمد ومانعيهم حقوقهم، اللهم خص أول ظالم وغاصب لآل محمد باللعن
“Ya Allah laknatlah orang yang merampas hak walimu (Ali) dan dan mengingkari janjinya serta membangkang darinya setelah sebelumnya yakin dan mengakuinya ………… ya Allah laknatlah orang zhalim pertama yang mezhalimi keluarga Muhammad dan menghalangi dari mendapatkan haknya, ya Allah khususkan laknat kepada orang zhalim pertama dan yang telah merampas hak keluarga Muhammad.”
Maksud dalam doa laknat ini tentu Abu Bakar Radhiyallahu Anhu yang dianggap syiah sebagai orang pertama yang merampas hak khilafah Ali Radhiyallahu Anhu dan menghalangi Fatimah Radhiyallahu Anha dari mendapatkan warisan tanah Fadak, dan sesungguhnya Abu Bakar bersih dari segala tuduhan mereka.
Dan sayangnya buku tersebut belum ada revisi dari pihak ABI (Ahlu Bait Indonesia) yang sering menggaungkan persatuan sunni Syiah dan masih belum ditarik dari percetakan dan penjualan.
Sikap ekstrim
Perayaan Ghadir Khum –baik disadari atau tidak disadari– menyakiti hati dan perasaan mayoritas umat Islam. Ini hal yang wajar, mengingat, perayaan Ghadir Khum melebihi Idul Fitri dan Idul Adlha, dua syariat hari raya yang dikenal dalam Islam.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
“Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mendatangi kota Madinah, para sahabat memiliki dua hari raya yang padanya mereka bersenang-senang. Maka beliau bersabda: Dua hari apa ini? Mereka menjawab: Dua hari yang sudah biasa kami bersenang-senang padanya di masa Jahiliyah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengganti kedua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu idul adha dan idul fitri.” [HR. Abu Daud, Shahih Abi Daud: 1039]
Karenanya, selain dua hari raya tersebut (Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha) peristiwa-peristiwa besar dan penting di zaman Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, seperti; peristiwa hijrah dan kemenangan dalam peperangan, peristiwa Fathu Makkah dan beberapa peristiwa besar lainnya tidak dijadikan sebagai hari raya karena memang tidak ada nash baik sharih (terang-terangan) atau muawwal bil qaraa`in (yang tersirat dengan indikasi lain yang menyertainya) memerintahkan untuk menjadikannya sebagai hari raya.
Sementara kaum Syiah menjadikan Ghadir Khum bahkan meyakininya lebih baik dan utama dari pada Idul Fithri dan Idul Adha, padahal merayakan hari tersebut saja tidak ada dasarnya dalam Islam sebagaimana dijelaskan sebelumnya.*
Rep: Admin Hidcom
Editor:
Penulis peminat masalah keagamaan
Aswaja Haram Hadir Idul Ghadir, Buya Yahya:
Jika Ada Ustadz Ikut Dia Munafik, Jangan Ikuti Pengajiannya!
Mon 5 October 2015
NUGarisLurus.Com – Ulama
kharismatik asal Cirebon, Buya Yahya angkat bicara soal perayaan Idul Ghadir
yang diselenggarakan oleh kaum Syiah. Menurut Buya, perayaan tersebut
bertentangan dengan akidah Ahlusunnah wal Jamaah (aswaja).
“Kalau ada orang yang katanya
Aswaja kok ikut perayaan Idul Ghadir maka ia langsung dicoret dari barisan
Aswaja. Biarpun dia orang yang pernah mengajar kita, tinggalkan. Hati-hati,
karena ini masalah akidah,” ujar Buya dikutip Suara Islam Online dari sebuah
video ceramahnya.
Pelarangan tersebut, menurut
Buya, karena ini dilakukan oleh orang-orang yang ingin menghapus kepemimpinan
Sayidina Abu Bakar Shiddiq. “Kalau kita Aswaja itu mencintai Ahlul Bait
(keluarga) Rasulullah, mencintai sahabat Nabi Saw termasuk Sayidina Abu Bakar.
Namun menurut Syiah, mereka ini mengingkari Abu Bakar, dianggap telah merampok
kekuasaan. Dan terhadap Sayidina Umar pun demikian,” katanya.
“Dan kalau kita lihat
buku-buku pegangan yang paling dipercaya oleh mereka (Syiah) seperti kitab
Alkafi, sungguh itu bukan kitab yang baik, karena mencaci maki, kerjaannya
mengolok-olok. Sampai dikatakan Nabi Saw itu kemasukan pelacur-pelacur. Jadi
Sayidina Abu Bakar punya anak pelacur, Sayidina Umar punya anak pelacur,
disusupkan untuk bersama Nabi Saw. Jadi Sayidah Aisyah dan Sayidah Hafsoh
dianggap pelacur, itu ditulis dalam kitab asas mereka,” ungkap pengasuh Pondok
Pesantren Al Bahjah Cirebon itu.
Jadi, kata Buya, kalau sudah
Idul Ghadir dibesarkan, akhirnya akan banyak orang yang mempercayai seolah-olah
itu benar. Berikutnya meniadakan kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman,
kemudian merusak dan menghapus hadits-hadits Bukhari dan Muslim, riwayat para
sahabat Nabi Saw sehingga nantinya Islam akan hilang.
Jadi, lanjut Buya, Idul
Ghadir itu tidak ada. Adapun sanjungan untuk Sayidina Ali, kemuliaan beliau itu
luar biasa, beliau itu orang yang sangat dicintai Rasulullah sampai dipilih
untuk menjadi menantunya, Imam Ali salah seorang yang diberi kabar akan masuk
syurga, dan dengan Imam Ali-lah Rasulullah memiliki cucu-cucu yang mulia.
Beliau dekat dengan Rasulullah, sejak kecil bersama Rasulullah dan tidak pernah
menemukan kekafiran artinya tidak pernah menyembah berhala.
“Akan tetapi, bukan berarti
setelah itu khalifah lainnya harus kita pangkas, ini masalah akidah jangan
main-main,” tegas Buya.
Selain itu, Buya juga
berpesan untuk berhati-hati kepada orang orang yang mengikuti Idul Ghadir. “Ini
membahayakan akidah, jangan dianggap main-main, tolong dicatat namanya siapa
yang hadir, itu munafik. Jadi, kalau ada Ustadz yang ikut Idul Ghadir maka
langsung besok jangan ikut lagi pengajiannya,” pesannya.
Kembali ia menegaskan,
masalah Idul Ghadir ketahuilah bahwa itu penyesatan dan harus hati-hati. Idul
Ghadir tidak ada, yang ada itu kemuliaan Sayidina Ali.
“Jadi awas hati-hati, yang
mengajarkan Idul Ghadir itu nanti akan membawa kita kepada pencaci-makian
terhadap orang- orang mulia yang selama ini dimuliakan oleh Rasulullah,
dimuliakan para sahabat, dan dimuliakan oleh umat Nabi saw,” pungkas Buya
Yahya. [SuaraIslam/NUgl]