(tanggapan atas HRS)
Alhamdulillah was shalaatu was salaamu ‘ala Rasuulillaah, ‘amma ba’du:
Sebelum memberikan tanggapan, alangkah baiknya jika kita merenungkan sejenak firman Allah berikut:
{وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ} [التوبة: 71]
Kaum mukminin dan mukminat satu sama lain saling menjadi wali. Mereka ber-amar ma’ruf nahi munkar, mendirikan shalat, membayar zakat, serta menaati Allah dan RasulNya. Merekalah yang kelak akan dirahmati Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Bijaksana (At Taubah: 71).
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan sejumlah karakter yang dimiliki orang-orang beriman (baik laki-laki maupun perempuan). Pertama: bahwa mereka saling menolong, loyal, membela, dan melindungi sesama mukmin/muslim. Itulah kira-kira makna dari ‘saling menjadi wali’.
Kedua: mereka saling ber-amar ma’ruf nahi munkar. Artinya, yang mengetahui adanya suatu kema’rufan di antara kaum mukminin, menyampaikan hal tersebut kepada saudaranya sesama mukmin, agar lebih banyak orang yg berbuat ma’ruf. Sedangkan bila ada di antara mereka yang mengetahui adanya perbuatan munkar yg dilakukan oleh orang lain, maka ia mengingatkan, meluruskan, dan mencegah orang tersebut agar menghentikan kemunkarannya.
Inilah dua pijakan utama saya dalam menulis tanggapan berikut, yaitu sebagai bentuk amar ma’ruf nahi munkar, dan juga pembelaan terhadap HRS sendiri!
Lho koq bisa begitu?
Ya. Bukankah Rasulullah kekasih kita semua menyuruh kita untuk membela saudara kita, baik ia sebagai pihak yg zhalim maupun yg dizhalimi?! Simaklah hadits berikut:
عن أنس رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنْصُرُهُ إِذَا كَانَ مَظْلُومًا أَفَرَأَيْتَ إِذَا كَانَ ظَالِمًا كَيْفَ أَنْصُرُهُ قَالَ تَحْجُزُهُ أَوْ تَمْنَعُهُ مِنْ الظُّلْمِ فَإِنَّ ذَلِكَ نَصْرُهُ. رواه البخاري (6952)
Anas bin Malik –radhiyallaahu ‘anhu- mengatkan bahwa Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, bersabda: “Tolonglah saudaramu (seiman) saat ia berbuat zhalim maupun terzhalimi”. Beliau lantas ditanya oleh seseorang:
“Wahai Rasulullah, aku akan menolongnya saat ia dizhalimi. Tapi bagaimana menurutmu jika ia yang berbuat zhalim, bagaimana aku menolongnya?
“Cegahlah –atau laranglah- ia dari perbuatan zhalim tersebut. Demikianlah cara menolongnya” jawab Rasulullah –shallaallaahu ‘alaihi wa sallam-.
(HR. Bukhari dlm Shahihnya, kitab al-ikraah, bab yg terakhir, hadits no 6952).
Hadits yg senada juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (no 2584) dari sahabat Jabir bin Abdillah –radhiyallaahu ‘anhuma-.
Perlu diketahui, bahwa seseorang dinyatakan zhalim bilameletakkan sesuatu tidak pada tempatnya (وضع الشيء في غير موضعه)[1]; demikian menurut mayoritas ahli bahasa. Selain itu, seseorang dinyatakan zhalim bila ia berbuat sesuatu terhadap milik orang lain, atau bertindak yang melampaui batas[2].
Termasuk perbuatan zhalim ialah tidak menganggap kafir orang yang mestinya dianggap kafir. Atau mengkafirkan orang yang semestinya tidak dikafirkan. Atau bersikap lunak terhadap kelompok yang mestinya disikapi keras. Atau sebaliknya. Karena itu semua berarti meletakkan sesuatu yang tidak pada tempatnya, dan termasuk tindakan melampaui batas, baik batas minimal maupun batas maksimal.
Nah, sebagai penutup mukaddimah ini, saya ajak pembaca untuk merenungkan dialog singkat yang penuh makna berikut. Dialog ini terjadi antara Abu Shalih Al Farra’ dengan Imam Yusuf bin Asbaath. Abu Shalih Al Farra’ pernah menceritakan sejumlah hal tentang fitnah khawarij yang ia dengar dari Wakie’ kepada Yusuf bin Asbaath. Maka Imam Yusuf bin Asbaath berkomentar: “Orang itu (Wakie’) memang mirip dengan gurunya –yaitu Hasan ibnu Hayy (yg terkenal berpemikiran khawarij)-!”.
“Apa kamu tidak takut jika ucapanmu ini termasuk ghibah?”, tanya Abu Shalih.
“Dasar lugu… memangnya kenapa?” sanggah Yusuf bin Asbaath. “Justru aku lebih berbakti kepada mereka (orang-orang yang terjebak dalam bid’ah) daripada orang tua mereka sendiri. Aku melarang orang-orang untuk mengikuti bid’ah yang mereka ciptakan, sehingga mereka tidak memikul dosa orang-orang tsb. Sedangkan orang yang memuji mereka justru lebih berbahaya bagi diri mereka” lanjut Yusuf bin Asbaath.[3]
Renungilah jawaban Imam Yusuf bin Asbaath yang demikian penuh makna ini…
Yang beliau bicarakan disini bukanlah orang biasa, akan tetapi seorang tokoh ahli hadits, ahli ibadah, ahli zuhud, dan luar biasa dalam banyak hal; akan tetapi ia memiliki pemikiran yang berbahaya. Ia berpendapat bolehnya memberontak dan mengangkat senjata kepada penguasa muslim yang berbuat zhalim yang tidak sampai ke tingkat kufur (murtad). Itulah bid’ahnya khawarij. Pemikiran tersebut cukup berbahaya walaupun yg bersangkutan sendiri tidak pernah mengangkat senjata secara langsung. Ia sekedar memberi dukungan dan keberpihakan terhadap mereka yang memberontak, alias membenarkan sikap kaum khawarij. Hal ini di mata para salaf merupakan bahaya besar, sebab seorang tokoh semacam Hasan bin Shalih bin Hayy yang demikian dikagumi banyak orang karena ilmu, kezuhudan, dan keshalihannya tsb akan banyak menyesatkan manusia melalui pemikirannya yang keliru tadi, bila tidak ada yang menjelaskan kekeliruannya tsb secara ilmiah. Yang dengan demikian, maka yang bersangkutan akan turut memikul dosa banyak orang yang mengikuti pemikirannya tersebut.
Apalagi bila ia kemudian dipuji-puji oleh tokoh lainnya, maka akan semakin banyak umat yang tersesat karenanya, sehingga semakin banyak dosa yang dipikul oleh si pencetus pemikiran tadi. Sebab Rasulullah ‘alaihis shalaatu was salaam bersabda:
وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ (رواه مسلم رقم 1017).
Siapa yang membikin suatu ajaran buruk dalam Islam, maka ia akan memikul dosanya dan dosa setiap orang yang mengamalkannya setelah itu; tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun (HR. Muslim dalam Shahihnya, no 1017).
Jadi, maksud saya menulis tanggapan ini ialah demi mengamalkan dalil-dalil yang saya sebutkan tadi, dan demi berbakti kepada HRS –saddadahullaah- agar kekeliruan beliau sebagai tokoh yang dikagumi banyak orang, jangan sampai diikuti.
Baiklah, sekarang saya akan mulai menanggapi apa yang saya dapatkan dari statemen HRS –yg selanjutnya saya singkat HRS-. Berikut ini adalah copas dari blog satuislam yg memberitakan secara singkat ceramah HRS Dituliskan disana sbb:
Sementara itu, menanggapi tudingan sekelompok takfiri yang mengkafirkan dirinya akhir-akhir ini hanya karena beliau tidak mau mengkafirkan semua penganut Syi’ah, HRS menjelaskan bahwa dalam kitab-kitab hadis utama rujukan Ahlusunnah, banyak sekali perawi dari kalangan ulama Syi’ah. Karena itu jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak.
Lebih jauh HRS menegaskan bahwa dirinya tidak sedang membela Syi’ah. Justru ia sedang membela Ahlusunnah wal Jama’ah. “Orang yang mengkafirkan Syi’ah, berarti dia sedang menyerang (kitab shahih) Bukhari Muslim, ia menyerang periwayatan Bukhari Muslim. Ia sedang menghancurkan Ahlusunnah wal Jama’ah!”[4] –selesai-
Dalam cuplikan di atas, ada beberapa poin yang perlu diperjelas agar tidak menjadi syubhat bagi orang awam.
Pertama: HRS mengatakan bahwa dirinya dikafirkan oleh kelompok takfiri karena tidak mau mengkafirkan semua penganut syi’ah.
Pertanyaannya: Siapa kelompok takfiri yang dimaksud? Bisakah HRS menyebutkan nama mereka satu persatu, atau minimal ciri-ciri mereka agar ucapan HRS bernilai ilmiah dan bukan sekedar melempar tuduhan?
Perlu diketahui, bahwa takfir (menjatuhkan vonis kafir) sesuai aturan dan secara proporsional, merupakan salah satu akidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Sebagai orang yang beriman, kita harus mengkafirkan SEMUA yang dikafirkan oleh Allah dan RasulNya. Baik dikafirkan dengan menyebut nama mereka, seperti kafirnya Fir’aun, Abu Jahal, Abu Lahab, Abdullah bin Ubay bin Salul dan lain-lain. Atau dikafirkan berdasarkan sifat-sifatnya, seperti kaum musyrikin secara umum, kaum Yahudi, kaum Nasrani, Majusi, dll. Ini yang pertama.
Yang kedua: perlu kita ketahui bahwa penjatuhan vonis kafir –alias takfir- ada dua macam. Takfir ‘aam dan takfir khaash. Pengkafiran secara umum dan pengkafiran secara khusus (personal/individu). Ketika ada yang mengatakan bahwa kelompok syi’ah itsna ‘asyariyah itu kafir karena mereka meyakini hal-hal yang membatalkan keislaman, seperti meyakini ketidakotentikan Al Qur’an yg ada hari ini, karena diotak-atik oleh para sahabat. Atau sikap ghuluw mereka terhadap ahli bait Nabi hingga menyematkan sifat-sifat uluhiyyah kepada mereka. Dan banyak hal lainnya…[5]
Nah, ketika ada yang mengatakan bahwa syi’ah adalah kelompok kafir, tidak berarti bahwa setiap orang yang diindikasikan syi’ah harus dikafirkan secara personal, dengan mengatakan si A, si B, si C dst kafir. Tidak demikian. Sebab yang seperti ini adalah takfir khaash yang hanya berhak dijatuhkan oleh para qadhi (hakim) atau ulama yg terkenal dengan kedalaman ilmunya serta kehati-hatian mereka dalam berfatwa, sebab menjatuhkan vonis kafir secara tertentu kepada seseorang memiliki konsekuensi hukum yang berat, seperti halalnya darah orang tersebut, terputusnya hubungan suami-istri, batalnya hak waris mewarisi, tidak halalnya sembelihan dia, dst. yang dibahas oleh para ulama dalam bab riddah (murtad) dalam kitab-kitab fiqih.
Di samping itu, untuk menjatuhkan vonis kafir secara tertentu kepada orang-perorang haruslah memperhatikan terpenuhinya beberapa hal dan ternafikannya beberapa hal pula, yaitu:
- Ybs haruslah akil baligh alias bukan anak kecil dibawah usia, atau tidak waras akalnya. Karena hukum syariat baru mengikat seseorang bilamana ia tergolong mukallaf, yaitu baligh dan berakal sehat.
- Ybs haruslah tahu bahwa perkataan/sikap/perbuatan/keyakinan tsb hukumnya kufur akbar, alias bukan orang yg jahil terhadap hal tsb karena baru masuk islam, atau belum sempat mempelajarinya karena udzur tertentu yang bisa diterima oleh syariat. Bukan semata-mata jahil karena tidak peduli dengan ajaran agama dan tidak mau belajar. Sebab yg demikian ini namanya bukan lagi jahil (tidak tahu) tapi mu’ridh alias berpaling dari agama (tidak mau tahu).
- Bila kekafiran tersebut berupa perkataan/sikap/perbuatan, maka hal tsb dilakukannya secara suka rela atas pilihan pribadi, tanpa ada paksaan. Sebab bila ia dipaksa utk berbuat/berkata kufur sedangkan hatinya tetap beriman; maka ia tidak dianggap kafir. Sebagaimana firman Allah yang artinya: “Barangsiapa kafir terhadap Allah setelah beriman, maka ia mendapat murka Allah, kecuali bila dirinya dipaksa sedangkan hatinya tetap mantap dengan keimanan. Akan tetapi bila hatinya ikut merasa tentram dengan kekafiran tersebut, maka bagi mereka murka Allah dan siksa yg pedih” (An Nahl: 107).
- Adanya kesengajaan dalam perkataan/perbuatan/sikap kufur tersebut, dan bukan dilakukan karena kelalaian atau ketidak sengajaan.
- Jika yg melakukan/mengatakan kekufuran tadi tergolong orang yang layak berijtihad, maka harus dipastikan bahwa ia tidak memiliki syubhat yang mendorongnya berbuat/berkata kufur tsb. Jika Ybs masih memiliki syubhat (ta’wil), maka syubhat ini harus dihilangkan melalui penjelasan terlebih dahulu. Akan tetapi tidak semua pena’wilan bisa diterima dalam hal ini. Hanya pena’wilan yg memenuhi syarat saja yang bisa dianggap sebagai udzur. Yaitu pena’wilan yang bisa diterima secara bahasa walaupun maknanya lemah dalam konteks tersebut. Adapun penakwilan yg serampangan dan tidak bisa diterima secara bahasa, maka tidak dianggap sebagai udzur.
Kedua: HRS mengatakan [bahwa dalam kitab-kitab hadis utama rujukan Ahlusunnah, banyak sekali perawi dari kalangan ulama Syi’ah. Karena itu jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak.]
Pernyataan ini juga melahirkan beberapa pertanyaan:
- Berapakah jumlah perawi yg diklaim oleh HRS sebagai ulama syi’ah dalam kitab-kitab hadits utama rujukan Ahlussunnah tsb? Bisakah HRS menyebutkan angkanya? Perlu diketahui, bahwa Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani telah merangkum secara singkat biografi para perawi yang terdapat dalam kitab-kitab hadits utama rujukan Ahlussunnah, yaitu dlm kitab beliau yg berjudul Taqriebut Tahdzieb yang jumlahnya mencapai 8826 perawi. Dan ini belum seluruhnya.
- Apa saja yang dimaksud dengan kitab-kitab hadits utama rujukan Ahlussunnah tsb? Apakah semua kitab hadits yg ditulis oleh ulama ahlussunnah harus diperlakukan sebagai kitab rujukan? Kalau ini yang dimaksud maka keliru-lah dia. Sebab tidak ada kitab selain As Shahihain yang hadits-haditsnya otomatis shahih dan menjadi pijakan dalam beragama menurut Ahlussunnah. Selain As Shahihain tetap harus melewati verifikasi sanad, karena para ulama senantiasa meriwayatkan hadits dengan sanadnya, yang dari situ bisa dikenali manakah yg sahih, mana yg hasan, mana yg dha’if, batil, palsu, dst. Artinya, kalau dalam hadits yg diriwayatkan oleh selain Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dalam sanadnya terdapat perawi syi’ah rafidhah, maka hadits ini tidak bisa dijadikan alasan; sebab Ahlussunnah tidak menganggap harusnya menerima setiap hadits yg ada, namun hanya yg disepakati sebagai hadits-hadits yg maqbul (shahih atau hasan) saja, dan ini hanya berlaku secara umum dalam As Shahihain, adapun selain Shahihain maka tetap melalui verifikasi sanad.
- Tahukah HRS siapa sejatinya mereka yang dianggap sebgai perawi syi’ah tersebut? Adakah diantara mereka yang keyakinannya sama dengan keyakinan syi’ah itsna asyriah (rafidhah) hari ini, yang telah keluar dari Islam?
Ataukah HRS tidak memahami hakikat istilah syi’ah/tasyayyu’ yang sering dipakai oleh para ahli hadits dalam mengritik perawi tertentu, dan menganggap bahwa istilah tersebut sama dengan istilah syi’ah yang populer hari ini? Kalau memang demikian menurut HRS, maka saya bisa memaklumi kesalahan tersebut mengingat HRS bukanlah ahli hadits, dan tidak berlatarbelakang ilmu hadits.
Oleh karenanya, saya akan menjelaskan kerancuan pemahaman ini dalam beberapa poin:
Pertama: Istilah tasyayyu’ dan syi’ah yang digunakan oleh para ulama salaf dalam mengritisi perawi hadits, jauh berbeda dengan istilah syi’ah hari ini yang terkenal suka mencaci maki, melaknat dan memurtadkan sahabat Nabi… atau mereka yang kerap menuduh istri-istri Nabi dengan tuduhan keji, dan menisbatkan berbagaimacam kedustaan atas nama ahli bait kepada para sahabat.
Hal ini telah dijelaskan oleh Imam Adz Dzahabi (wafat 748 H) tatkala membahas biografi salah seorang perawi syi’ah yang haditsnya tercantum dalam Shahih Muslim. Perawi tsb bernama Aban bin Tighlab Al Kufy[6]. Imam Adz Dzahabi menyifatinya dengan kata-kata (شِيْعِيٌّ جَلْدٌ، لكنه صدوق، فلنا صدقه وعليه بدعته) artinya: Ia seorang syi’i tulen, akan tetapi shaduq (jujur). Maka kita ambil kejujurannya, dan biarkan dia menanggung akibat buruk bid’ahnya.
Beliau lantas menyebutkan bahwa Aban bin Tighlab ini dianggap tsiqah oleh Imam Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’ien dan Abu Hatim Ar Raazi. Namun Ibnu ‘Adiy menyebutkannya dalam kitab Dhu’afa –yg berisi para perawi lemah-, dan mengatakan (وكان غاليا في التشيع) artinya, ia bersikap ghuluw dalam kesyi’ahannya (tasyayyu’). Sedangkan As Sa’dy menyifatinya dengan ungkapan (زائغ مجاهر), artinya: orang sesat yang menampakkan kesesatannya.
Lalu Imam Dzahabi berkomentar: “Boleh jadi kita bertanya-tanya: Bagaimana mungkin seorang ahli bid’ah dianggap tsiqah, padahal definisi tsiqah meliputi sifat ‘adaalah dan itqaan? Bagaimana mungkin seorang penganut faham bid’ah dianggap ‘aadil?[7]
(berikut ini saya nukilkan teks jawaban beliau beserta terjemahnya)
وجوابه ان البدعة على ضربين، فبدعة صغرى كغلو التشيع او كالتشيع بلا غلو ولا تحرُّف؛ فهذا كثير في التابعين وتابعيهم مع الدين والورع والصدق. فلو رُد حديث هؤلاء لذهب جملة من الاثارالنبوية وهذه مفسدة بينة. ثم بدعة كبرى كالرفض الكامل والغلو فيه والحط على أبي بكر وعمر – رضي الله عنهما – والدعاء إلى ذلك، فهذا النوع لا يحتج بهم ولا كرامة.
وايضا فما استحضر الان في هذا الضرب رجلا صادقا ولا مامونا بل الكذب شعارهم والتقية والنفاق دثارهم فكيف يقبل نقل من هذا حاله حاشا وكلا
فالشيعي الغالي في زمان السلف وعرفهم هو من تكلم في عثمان والزبير وطلحة ومعاوية وطائفة ممن حارب عليا – رضي الله عنه وتعرض لسبهم والغالي في زماننا وعرفنا هو الذى يكفر هؤلاءالسادة ويتبرأ من الشيخين ايضا فهذا ضال معثر ولم يكن ابان بن تغلب يعرض للشيخين اصلا بل قد يعتقد بأن عليا أفضل منهما (ميزان الاعتدال 1/118).
Jawabnya adalah bahwa bid’ah itu terbagi dua. Ada bid’ah sughra (kecil) seperti sikap tasyayyu’ yg ekstrim, atau tasyayyu’ yg tidak ekstrim dan tidak diiringi dengan penyimpangan keyakinan. Yang seperti ini banyak dijumpai di kalangan tabi’in dan tabi’it tabi’ien, akan tetapi mereka juga memiliki kualitas agama yang baik, sikap wara’ (hati-hati dan takut kpd Allah), serta kejujuran. Bila hadits mereka kita tolak, maka akan hilanglah sejumlah besar hadits Nabi, dan ini merupakan mafsadat yang jelas.
Kemudian ada pula bid’ah kubra (besar), seperti sikap rafdh secara total (bid’ahnya syi’ah rafidhah hari ini –pentj), rafidhah ekstrim, menghina Abu Bakar dan Umar –radhiyallaahu ‘anhuma-, dan mengajak orang untuk berpemahaman demikian (alias menjadi da’i rafidhah); maka yang seperti ini riwayatnya tidak menjadi hujjah dan tidak ada nilainya.
Lagi pula, saat ini aku tidak mengingat ada seorang pun dengan kriteria seperti ini (rafidhah) yang bersifat jujur dan bisa dipercaya, namun justru mereka terkenal sebagai tukang dusta, dan ahli bermuka dua dan bersikap munafik. Lantas bagaimana mungkin orang yg spt ini keadaannya bisa diterima riwayatnya? Sama sekali tidak mungkin.
Jadi, seorang syi’i ekstrim di zaman para salaf dan menurut definisi mereka, ialah orang yang mengritik dan mencaci Utsman, Zubeir, Thalhah, Mu’awiyah dan sejumlah kalangan yang memerangi Ali –radhiyallaahu ‘anhum-. Sedangkan syi’i ekstrim di zaman kita dan menurut definisi kita, ialah mereka yang mengkafirkan tokoh-tokoh tersebut dan bersikap bara’ (memusuhi) pula terhadap Abu Bakar dan Umar. Nah, orang seperti ini jelas sesat dan tergelincir. Sedangkan Aban bin Tighlab tidak pernah mengritik Abu Bakar dan Umar, namun boleh jadi ia sekedar meyakini bahwa Ali lebih mulia dari mereka berdua.
Sedangkan Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (wafat 852 H) mengatakan:
التشيع في عرف المتقدمين هو اعتقاد تفضيل علي على عثمان وأن عليا كان مصيبا في حروبه وأن مخالفه مخطئ مع تقديم الشيخين وتفضيلهما وربما اعتقد بعضهم أن عليا أفضل الخلق بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم وإذا كان معتقد ذلك ورعا دينا صادقا مجتهدا فلا ترد روايته بهذا لاسيما إن كان غير داعية وأما التشيع في عرف المتأخرين فهو الرفض المحض فلا تقبل رواية الرافضي الغالي ولا كرامة
Istilah tasyayyu’ dalam pengertian para ulama terdahulu (salaf), maksudnya ialah meyakini bahwa Ali lebih afdhal dari Utsman, atau bahwa Ali senantiasa benar dalam semua peperangannya, dan bahwasanya pihak yang menyelisihinya adalah keliru; yang disertai dengan sikap mendahulukan Asy Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) serta lebih memuliakan mereka di atas Ali. Boleh jadi ada sebagian dari kaum syi’ah (tempo dulu) yang menganggap Ali sebagai manusia paling mulia setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan bilamana yang berkeyakinan seperti itu adalah seorang yang wara’, taat beragama, jujur, dan berangkat dari hasil ijtihad; maka hadits yang diriwayatkannya tidaklah ditolak semata-mata karena keyakinan tsb. Lebih-lebih bila ia tidak mengajak orang lain kepada pemikirannya.
Sedangkan istilah tasyayyu’ menurut pengertian ulama mutaakhkhirin (ulama setelah generasi salaf); maka maksudnya adalah rafidhah tulen. Maka seorang rafidhi ekstrem tidak bisa diterima riwayatnya, dan tidak bernilai sama sekali.[8]
Kedua: Imam Bukhari dan Imam Muslim sangat jarang meriwayatkan dari orang-orang syi’ah, kecuali dalam hadits-hadits yang tidak menjadi hujjah secara independen. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
البخاري يرى أن الانقطاع علة فلا يخرج ما هذا سبيله إلا في غير أصل موضوع كتابه كالتعليقات والتراجم
Imam Bukhari berpendapat bahwa terputusnya sanad merupakan ‘illah (cacat yg melemahkan suatu hadits). Oleh karenanya, ia tidak meriwayatkan hadits-hadits yang kondisinya seperti itu, kecuali bila hadits tersebut diluar topik utama kitab beliau, seperti hadits-hadits yang mu’allaq, atau perkataan yang beliau sisipkan di bawah judul-judul bab.[9]
Artinya, Imam Bukhari tidak meriwayatkan hadits dengan sanad bersambung dari beliau hingga Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam-, yang dalam sanad tersebut terdapat perawi rafidhi; dan tidak ada perawi lain yang menyertainya dalam riwayat tersebut; kemudian tidak ada hadits lain dalam bab yang sama.
Namun bila hadits yg dimaksud adalah hadits-hadits mu’allaq, atau sekedar perkataan sampingan yang beliau sisipkan di bawah judul-judul bab; maka ini tidak mengurangi nilai shahih Bukhari sama sekali. Sebab maksud utama penyusunan kitab ini adalah mengumpulkan hadits-hadits shahih yg bersambung sanadnya tentang Rasulullah dan ajaran beliau; sebagaimana yg dapat difahami dari judul asli shahih Bukhari itu sendiri, yaitu (الجامع المسند الصحيح المختصر من أمور رسول الله وسننه وأيامه).
Jadi, perkataan HRS: [jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak.] adalah perkataan yang batil. Batil karena syi’ah hari ini jauh berbeda dengan syi’ah tempo dulu. Para perawi syi’ah yg tercantum dalam shahihain adalah ‘manusia-manusia purba’ yg sudah punah sejak ratusan tahun lalu, menurut pengakuan Imam Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar…. dan tentunya mereka lebih paham tentang rijaalul hadits daripada HRS.
Perkataan ini juga batil karena tidak ada hadits syi’ah rafidhah -syi’ah hari ini- yang diriwayatkan secara independen oleh Imam Bukhari dan Muslim. Sama sekali tidak ada.
Saya berani mengajak HRS untuk mubahalah dalam hal ini.Silakan buktikan jika ada perawi yang akidahnya seperti Khomeini, atau Kang Jalal, atau dedengkot rafidhah lainnya hari ini, yang haditsnya tercantum dalam Shahihain –dengan syarat yg telah dijelaskan oleh Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar tadi-!!
Ketiga: [Lebih jauh Habib Rizieq menegaskan bahwa dirinya tidak sedang membela Syi’ah. Justru ia sedang membela Ahlusunnah wal Jama’ah. “Orang yang mengkafirkan Syi’ah, berarti dia sedang menyerang (kitab shahih) Bukhari Muslim, ia menyerang periwayatan Bukhari Muslim. Ia sedang menghancurkan Ahlusunnah wal Jama’ah!].
Ini sungguh aneh bin ajaib… dan ini adalah kesalahan fatal yang dibangun diatas kesalahan pertama, yaitu tidak bisa membedakan antara syi’ah tempo dulu (muslimin ahli bid’ah) dengan syi’ah hari ini (musyrikin munafikin).
Kalau HRS ingin membela ahlussunnah wal jama’ah, ya ikutilah cara-cara ulama Ahlussunnah yang menjelaskan kebatilan syi’ah dan kekufuran mereka. Bukan dengan bermanuver seperti itu… Lantas bagaimana jika yg mengkafirkan syi’ah rafidhah adalah Imam Bukhari sendiri?Apakah HRS akan mengatakan bahwa Imam Bukhari menyerang kitabnya sendiri dan menghancurkan Ahlussunnah wal Jama’ah???
Padahal dalam kitab beliau yang berjudul Khalqu Af’aalil ‘Ibaad (nas nomor 40), disebutkan:
قال أبو عبد الله: ما أبالي صليتُ خلف الجهمي والرافضي أم صليت خلف اليهود والنصارى؛ ولا يسلَّم عليهم ولا يعادون ولا يناكحون ولا يشهدون ولا تؤكل ذبائحهم
Abu Abdillah berkata: “Aku tidak membedakan apakah aku shalat bermakmum di belakang seorang Jahmi dan Rafidhi, ataukah bermakmum di belakang Yahudi dan Nashara. Mereka tidak boleh disalami, tidak boleh dibesuk ketika sakit, tidak boleh dinikahi (wanitanya), tidak dilayat jenazahnya, dan tidak boleh dimakan sembelihannya”.
Abu Abdillah adalah kun-yah atau sapaan akrab dari Imam Bukhari itu sendiri. Lihatlah bagaimana beliau menyamakan antara seorang jahmi dan rafidhi dengan orang kafir seperti yahudi dan nasrani!!! Dan itu beliau sebutkan dalam salah satu kitab tulisan beliau, bukan dinukil oleh orang lain.
Bukan hanya Imam Bukhari yang menganggap kafirnya Syi’ah Rafidhah (Syi’ah itsna ‘asyariyah/syi’ah di Iran, Irak, Lebanon, termasuk di Indonesia hari ini). Namun juga Imam Ahmad bin Hambal, yang dijuluki sebagai Imam Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dalam Kitab As Sunnah (1/493-494), Abu Bakar Al Khallal meriwayatkan dengan sanadnya sbb:
عن عبدالله بن أحمد قال: سألت أبي عن رجل شتم رجلاً من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فقال: ( ما أراه على الإسلام )
Dari Abdullah putera Imam Ahmad, katanya: Aku bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang mencaci salah seorang sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Maka kata ayah: “Menurutku ia tidak berada di atas Islam”.
وعن أبي بكر المروذي قال: سألت أبا عبدالله عن من يشتم أبا بكر وعمر وعائشة؟ قال: ( ما أراه على الإسلام )
Dari Abu Bakar Al Marrudzi, katanya: Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad) tentang orang yang mencaci Abu Bakar, Umar dan Aisyah? Kata beliau: “Menurutku ia tidak berada di atas Islam”.
وعن إسماعيل بن إسحاق أن أبا عبدالله سُئل: عن رجل له جار رافضي يسلم عليه؟ قال: (لا، وإذا سلم عليه لا يرد عليه )
Dari Isma’il bin Ishaq, bahwa Abu Abdillah (Imam Ahmad) pernah ditanya tentang seseorang yang memiliki tetangga seorang rafidhi, bolehkah ia disalami? Kata beliau: “Tidak. Dan bila si rafidhi menyalaminya, jangan dijawab”.
Kalau yang mencaci salah seorang sahabat saja –belum sampai melaknat dan mengkafirkan- sudah dianggap bukan muslim lagi oleh Imam Ahmad, lantas bagaimana gerangan dengan mereka yang mengkafirkan seluruh sahabat Nabi selain beberapa gelintir saja???
Nah, kalau Imamnya Ahlussunnah wal Jama’ah saja mengkafirkan syi’ah rafidhah; pantaskah HRS yang mengakusedang membela ahlussunnah wal jama’ah justru tidak mau mengkafirkan syi’ah; bahkan menganggap orang yang mengkafirkan syi’ah sedang menghancurkan Ahlussunnah wal Jama’ah?? Bukankah konsekuensinya berarti Imamnya Ahlussunnah wal jama’ah sedang menghancurkan Ahlussunnah wal Jama’ah ??!!
[1] Lihat: Mu’jam Maqa-yiesul Lughah oleh Ibnu Faris (3/468), Lisaanul ‘Arab oleh Ibnu Manzhur (12/373), Al Qomus Al Muhieth oleh Al Fairuzabadi (hal 1464), dan Taajul ‘Aruus oleh As Sayyid Murtadha Az Zabiedi (33/33).
[2] Lihat: Lisaanul ‘Arab (12/373) dan Taajul ‘Aruus (33/32-33).
[3] Dialog ini diriwayatkan dgn sanad yg bersambung oleh Imam Abu Ja’far Al ‘Uqaily dalam kitab Adh Dhu’afa’ Al Kabir (1/232) saat menceritakan biografi Hasan bin Shalih bin Hayy. Disebutkan pula oleh Adz Dzahabi, Ibnu Hajar Al Asqalani, dll.
[4] http://satuislam.wordpress.com/2013/12/02/habib-rizieq-shihab-mengkafirkan-syiah-berarti-menyerang-dan-menghancurkan-ahlussunnah/
[5] Untuk mengetahui apa saja keyakinan syi’ah itsna ‘asyariyah (rafidhah), yg dianut oleh mayoritas orang Iran, Hizbullah, dan sejumlah besar orang Irak hari ini; silakan merujuk ke kitab “Ushuul Madzhab Asy Syi’ah” oleh DR. Nashir bin Abdillah Al Qifaari. Kitab ini sarat dengan nukilan langsung dari literatur2 syi’ah.
[6] Lihat: Miezanul I’tidal 1/118.
[7] Maksud dari ‘adaalah (عدالة) ialah suatu perangai yang mendorong seseorang selalu bertakwa, menghindari dosa besar, dan menghindari hal-hal yang menodai norma kesopanan (muru-ah). Sedangkan maksud dari ‘itqaan artinya jago dalam menghafal dan meriwayatkan hadits.
[8] Tahdziebut Tahdzieb 1/93, oleh Ibnu Hajar Al Asqalani.
[9] Lihat: Hadyus Saari (muqaddimah Fathul Baari) 1/8, oleh Ibnu Hajar.
Berikut ini adalah salah satu bukti bhw perawi syi’ah yg terdapat dalam shahihain bukanlah syi’ah yg kita kenal hari ini.
Dalam Shahih-nya (كتاب الإيمان، باب الدليل على أن حب الأنصار وعلي رضي الله عنهم من علامات الإيمان، وبعضهم من علامات النفاق، رقم 78) Imam Muslim meriwayatkan sbb:
صحيح مسلم (1/ 86)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، وَأَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، ح وَحَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، وَاللَّفْظُ لَهُ، أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ، عَنْ زِرٍّ، قَالَ: قَالَ عَلِيٌّ: وَالَّذِي فَلَقَ الْحَبَّةَ، وَبَرَأَ النَّسَمَةَ، إِنَّهُ لَعَهْدُ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيَّ: «أَنْ لَا يُحِبَّنِي إِلَّا مُؤْمِنٌ، وَلَا يُبْغِضَنِي إِلَّا مُنَافِقٌ»
Imam Muslim mengatakan: Abu Bakr bin Abi Syaibah mengabarkan kepada kami, katanya: Waki’ dan Abu Mu’awiyah mengabarkan kpd kami dari Al A’masy;
Imam Muslim lantas meriwayatkan dari jalur lain, kata beliau: Yahya bin Yahya juga mengabarkan kepada kami -dan berikut ini adalah lafazhnya-, katanya: Abu Mu’awiyah mengabarkan kepada kami dari Al A’masy; (inilah titik temu dari kedua jalur tadi), dari ‘Adiy bin Tsabit dari Zirr bin Hubaisy, katanya: Ali berkata: “Demi (Allah) Dzat yang membelah biji dan menciptakan manusia; sungguh, Nabi yang buta huruf itu (maksudnya Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam) pernah mengikat janji kepadaku, bahwa tidak ada yg mencintaiku melainkan orang mukmin; dan tidak ada yang membenciku melainkan orang munafik” (HR. Muslim nomor 78).
Hadits ini sering dijadikan dalil oleh orang-orang syi’ah… dan memang ia adalah hadits shahih. Ahlussunnah mencintai Ali bin Abi Thalib secara baik dan benar, dan bisa dipastikan hanya Ahlussunnah yg mencintai Ali secara baik dan benar.
Nah, hadits ini diriwayatkan oleh seorang tabi’in bernama Adiy bin Tsabit, yang oleh Ibnu Hajar dalam Taqribut Tahdzieb(biografi no 4539) disebutkan sbb (ثقة رمي بالتشيع) artinya, “Dia tsiqah, namun tersangka berpemikiran syi’ah”. Sedangkan Adz Dzahabi dalam Al Kaasyif (biografi no 3758) mengatakannya (ثقة لكنه قاص الشيعة، وإمام مسجدهم بالكوفة) artinya, “Dia tsiqah, tapi dia adalah tukang dongengnya syi’ah dan imam mesjidnya syi’ah di Kufah”.
Bahkan bila ditelaah lebih jauh, ternyata Imam Ad Daruquthni menyifatinya sebagai orang yg ekstrim dalam berpemahaman syi’ah (كان غاليا في التشيع), demikian pula dengan Ibnu Ma’ien yg mengatakan (شيعي مفرط) “orang syi’ah yg kebablasan”.
Tapi, dalam kitab dan bab yg sama, Imam Muslim telah meriwayatkan terlebih dahulu -sebelum meriwayatkan hadits di atas-, juga dari jalur ‘Adiy bin Tsabit, sbb:
صحيح مسلم (1/ 85)
(75) وَحَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ، ح وَحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ مُعَاذٍ، وَاللَّفْظُ لَهُ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ، قَالَ: سَمِعْتُ الْبَرَاءَ يُحَدِّثُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ فِي الْأَنْصَارِ: «لَا يُحِبُّهُمْ إِلَّا مُؤْمِنٌ، وَلَا يُبْغِضُهُمْ إِلَّا مُنَافِقٌ، مَنْ أَحَبَّهُمْ أَحَبَّهُ اللهُ وَمَنْ أَبْغَضَهُمْ أَبْغَضَهُ اللهُ» قَالَ شُعْبَةُ: قُلْتُ لِعَدِيٍّ: سَمِعْتَهُ مِنَ الْبَرَاءِ؟، قَالَ: إِيَّايَ حَدَّثَ
Zuhair bin Harb mengabarkan kepadaku, katanya: Mu’adz bin Mu’adz mengabarkan kepadaku ;
Demikian pula ‘Ubeidullah bin Mu’adz mengabarkan kepadaku -dan ini adalah lafazhnya-, katanya: Ayahku (Mu’adz bin Mu’adz) mengabarkan kepadaku (inilah titik temu kedua sanad tadi), katanya: Syu’bah mengabarkan kepada kami dari ‘Adiy bin Tsabit, katanya: Aku mendengar Al Bara’ (bin ‘Azib) meriwayatkan dari Rasulullah -shallallaahu ‘alaihi wa sallam- yang bersabda TENTANG KAUM ANSHAR: “TIDAK ADA YG MENCINTAI MEREKA MELAINKAN ORANG MU’MIN, DAN TIDAK ADA YG MEMBENCI MEREKA MELAINKAN ORANG MUNAFIK. SIAPA YG MENCINTAI MEREKA MAKA ALLAH MENCINTAINYA, DAN SIAPA YG MEMBENCI MEREKA MAKA ALLAH MEMBENCINYA”. Syu’bah lantas bertanya kepada ‘Adiy bin Tsabit: “Apa kamu benar-benar mendengar hadits ini dari Al Bara’?”. Jawab ‘Adiy: “(Ya) Justru Al Bara’ yg menyampaikannya kepadaku”.
Lihatlah, bagaimana orang yg dinyatakan syi’ah ekstrim oleh Imam Ad Daruquthni dan Ibnu Ma’ien ini menyampaikan sebuah hadits yang menghancurkan madzhab syi’ah hari ini. Ya. Sebab syi’ah telah mengkafirkan seluruh sahabat Nabi -termasuk kaum Anshar- kecuali beberapa gelintir saja… spt Abu Dzar, ‘Ammar, Salman, dan Miqdad.
Ini membuktikan bahwa cap syi’ah atau tasyayyu’ yg sering dilabelkan kepada para perawi hadits dlm Shahihain tsb, tidak keluar dari apa yg telah dijelaskan oleh imam Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar tsb.
Jadi, seorang imam syi’ah yang merangkap sebagai tukang dongeng mereka -artinya yg gemar menceritakan kepahlawanan dan hikayat-hikayat kaum syi’ah kepada para pengikutnya- di masa itu (1200 tahun silam), memang benar-benar sudah punah dan tidak pernah muncul lagi… karena jangankan imam syi’ah, keroco-keroco syi’ah yang masih ingusan saja hari ini sudah gemar melaknat, mencaci-maki, dan mengkafirkan seluruh sahabat Nabi. Apalagi imam-imamnya..!!??
Apakah ulama syi’ah spt ini masih kita jumpai hari ini?? Bisakah HRS mencontohkan seorang saja dari ulama syi’ah hari ini yg dengan sengaja dan sukarela menyebarluaskan keutamaan para sahabat Nabi tanpa bertakiyyah??
Berikut ini adalah bukti ketiga bahwa Syi’ah tempo dulu benar-benar berbeda dengan syi’ah hari ini, dan tidak ada kemiripannya sama sekali kecuali dari namanya saja.
Sebagai pemerhati hadits, tentu sosok Abdurrazzaq As Shan’ani bukanlah orang asing. Beliau adalah salah seorang ulama ahli hadits asal Yaman (Shan’a) yang haditsnya banyak terdapat dalam Shahihain, bahkan beliau menyusun kitab berjudul Al Mushannaf setebal 11 jilid dengan jumlah hadits dan atsar lebih dari 21000 butir !! alias lebih banyak dari gabungan antara shahih Bukhari dan shahih Muslim.
Bila kita perhatikan dan telaah biografinya, maka kita dapati bahwa Imam Ibnu Ma’ien (wafat 233 H), Imam Al ‘Ijly (wafat 261 H), Imam Al Bazzar (wafat 292 H), Imam Ibnu Hibban (wafat 354 H) dan Imam Abu Ahmad ibnu ‘Adiy (wafat 365 H) sepakat mengatakan bahwa Abdurrazzaq condong ke pemikiran syi’ah (كان يتشيع), dan hal ini memang dikenal pada sosok Abdurrazzaq, sehingga dalam Taqriebut Tahdzib-nya (no 4064), Ibnu Hajar menyimpulkan berbagaimacam kritikan dan pujian yg disematkan kepada Abdurrazzaq bin Hammam Ash Shan’ani tsb dalam untaian kalimat berikut:
(ثقة حافظ مصنف شهير، عمي فى آخر عمره فتغير ، و كان يتشيع) “Dia seorang yg tsiqah, hafizh, dan pengumpul hadits terkenal. Ia buta di akhir usianya, sehingga kualitas hafalannya menurun. Dan dia juga berpemahaman syi’ah (tasyayyu’)”.
Akan tetapi bila ditelaah lebih jauh, kita dapati dalam biografi Abdurrazzaq dalam kitab Tahdziebut Tahdzieb (jilid 18 hal 60) karya Al Hafizh Abul Hajjaj Al Mizzy (wafat 742 H), maka akan kita temui sbb:
قال عبد الله أيضا : سمعت سلمة بن شبيب يقول : سمعت عبد الرزاق يقول : والله ما انشرح صدرى قط أن أفضل عليا على أبى بكر و عمر ، رحم الله أبا بكر ورحم الله عمر ورحم الله عثمان ورحم الله عليا ، من لم يحبهم فما هو مؤمن، وقال : أوثق عملى حبى إياهم .
Abdullah bin Ahmad mengatakan: Aku mendengar Salamah bin Syabieb berkata: Aku mendengar Abdurrazzaq mengatakan: “Demi Allah, Aku tak pernah merasa lapang dada untuk melebihkan Ali di atas Abu Bakar dan Umar. Semoga Allah merahmati Abu Bakar, Semoga Allah merahmati Umar, semoga Allah merahmati Utsman, dan Semoga Allah merahmati Ali. Siapa yang tidak mencintai mereka, berarti dia bukanlah orang mukmin
Abdurrazzaq juga berkata: “Amalanku yang paling kuat ialah kecintaanku kepada mereka”. Di halaman yg sama juga disebutkan
وقال أبو الأزهر أحمد بن الأزهر النيسابورى : سمعت عبد الرزاق يقول : أفضل الشيخين بتفضيل على إياهما على نفسه ، و لو لم يفضلهما لم أفضلهما ، كفى بى أزرا أن أحب عليا ثم أخالف قوله .
Sedangkan Abul Azhar Ahmad bin Azhar An Nisaburi mengatakan: Aku pernah mendengar Abdurrazzaq berkata: “Aku mengutamakan Syaikhain -yaitu Abu Bakar dan Umar- karena Ali mengutamakan mereka berdua diatas dirinya. Andai Ali tidak mengutamakan keduanya, maka aku tidak mengutamakan mereka. Cukuplah celaan bagiku bila aku mencintai Ali kemudian menyelisihi pendapatnya”. -selesai
Subhaanallaah, inilah potret satu dari sekian ulama syi’ah yang haditsnya banyak tersebar dalam kitab-kitab rujukan Ahlussunnah seperti Shahihain dan sunan yg empat… adakah ulama syi’ah hari ini yg berpendapat demikian? Inilah bukti nyata bahwa Syi’ah tempo doeloe yang riwayatnya banyak terdapat dalam kitab-kitab hadits Ahlussunnah memang sudah punah dan takkan pernah muncul lagi kecuali dalam khayalan HRS saja
Ditulis oleh Sufyan bin Fuad
Baswedan, MA
Mahasiswa Doktoral Prog. Ilmu Hadits, Univ. Islam Madinah
Madinah, 2 Shafar 1435 H
Madinah, 2 Shafar 1435 H
Artikel terkait :
jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis
Shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak adalah perkataan yang batil
Konsep Batil Hadits Syiah, dari Cacat Ruwat hingga Cacat Sanad
Menyoal Validitas Hadits Syi’ah
Benarkah Imam Bukhari Mengambil Riwayat Dari Kaum Syiah?
Sekilas tentang Perawi Utama Syi’ah : Jaabir Al-Ju’fiy,
Zuraarah, dan Muhammad bin Muslim
http://lamurkha.blogspot.com/2014/11/sekilas-tentang-perawi-utama-syiah.htmlComments
Abu Hudzaifah Al Atsary
Alhamdulillah, sudah ana baca. Sayangnya,
pernyataan HRS dengan sikap Orgnya di lapangan terhadap syi’ah yg berkembang di
Indonesia plus tokoh-tokohnya masih ‘abu-abu’. Klaim HRS sbg ahlussunnah,
bermadzhab syafi’i dan berakidah asy’ari (alhamdulillah ndak ngaku sebagai ahlussunnah
juga dlm masalah akidah) tidak berarti semua sikap beliau terhadap syi’ah bisa
dibenarkan. Hatta kalau HRS seorang salafi yg berakidah salafi, namun dia
keliru dlm menyikapi ahli bid’ah menurut manhaj salaf, maka kekeliruannya tetap
dinyatakan sebagai kekeliruan. Tidak ada basa-basi dlm hal ini.
Diundangnya HRS ke Iran jelas merupakan
syubhat besar bagi ke ‘aswaja-an’ HRS. Makanya sampai hari ini sikap HRS
terhadap gerakan syi’ah Rafidhah Itsna ‘Asyariyah Al Kaafirah yg berkembang di
Indonesia -termasuk tokoh-tokohnya yg banyak dari kalangan habaib juga- masih
adem-ayem… bahkan dia ngaku bisa jalan bareng dgn si Hasan Daliel yg diakuinya
sendiri sbg syi’ah. Salah siapa kalau kemudian dia dituding pro syi’ah?
Abu Hudzaifah Al Atsary
Wa fiikum. Namun lebih baik kita doakan agar
HRS dan Org-nya rujuk dari kekeliruannya, dan kembali ke pangkuan Ahlussunnah
wal jama’ah, serta menjauhi segala bid’ah dan khurafat. Serta benar-benar
menjadi ‘Pembela Islam’ sesuai manhaj Salafus Shalih.
Hermawan
Setahu saya memang HRS
membagi Syi’ah menjadi tiga kelompok. Pertama Syi’ah ghulat, kedua syi’ah
rafidhoh, dan yang ketiga syi’ah mu’tadilah (moderat/yang tidak memcaci apalagi
mengkafirkan para shahabat. Saya berkhusnudzon bahwa yang dimaksud HRS
tersebuat adalah kelompok syi’ah yang tidak sampai mencaci dan mengkafirkan
shahabat. Tapi masalahnya tidak lantas selesai berhenti sampai di sini, karena
masih menyisakan pertanyaan. Menurut HRS, Syi’ah yang berkebang di
Indonesia saat ini (beberapa tokohnya diantaranya Kang Jalal, dll) termasuk
kelompok yang mana? Silakan bagi HRS sendiri untuk menjawabnya. Rasanya
terlalu naif jika menggolongkan syi’ah yang berkembang di Indonesia dan di
dunia saat ini adalah Syiah mu’tadilah. Belum lagi sikap HRS yang menjadi
pemateri di Radio Silatu***** yang sangat terasa aroma syi’ahnya walaupun radio
tsb berusaha mengelak. Apakah ringan saja dalam pandangan HRS ketika salah
satu pemateri dalam radio tsb menyebarkan tasyqiq terhadap periwayatan shahabat
yang mulia Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dan celaan terhadap shahabat Muawiyah
radhiallahu ‘anhu. Silakan bagi HRS untuk menjawabnya. Allahu a’lam
abdullah -
ustadz,
jawaban orang Orgnya
Ahmad
Assalamaualaykum wr wb,
afwan Ustadz sedikit menanggapi, sebelum terlalu jauh kita membahas, perlu
diketahui apa yang sebenarnya disampaikan oleh HRS agar kita tidak
salah dalam menyikapi. Saya sendiri kebetulan hadir dalam pengajian. Beberapa
poin yang disampaikan beliau antara lain :
1. Beliau mengatakan bahwa Syiah terbagi berbagai kelompok. Ada yang sampai
pada tahap kafir, sesat atau biasa.
2. Beliau mengatakan bahwa ada riwayat Syiah yang diambil oleh bukhari, tapi
bukan Syiah yang ghulat, juga bukan Syiah yang suka mencaci maki shahabat Nabi
SAW.
Saya harap poin yang kedua ini tidak luput dari penilaian Ustadz Sufyan
Basweidan. Jadi ajakan mubahalah antum dalam artikel diatas menurut saya malah
tidak perlu, karena bisa jadi dalam hal tersebut malah Ustadz Sufyan satu
pendapat dengan HRS WaLlahua’lam. Afwan. Wassalam.
Abu Hudzaifah Al Atsary
Wa’alaikumussalaam warahmatullah wabarakaatuh.
Alhamdulillah kalau memang HRS berpendapat seperti itu, berarti mungkin ada
pemberitaan yg tidak akurat (entah disengaja atau tidak), karena acuan saya
dalam menulis tanggapan adalah apa yg diberitakan oleh situs “satuislam”.Yang tetap jadi pertanyaan adalah apakah
Syi’ah yg berkembang di dunia saat ini, khususnya yg berpusat di Iran, Irak,
Lebanon, dan sedang marak-maraknya di Indonesia ini, adalah syi’ah yg
ghulat/rafidhah (yg sampai pada tahap kafir) ataukah bukan menurut HRS? Itu
saja. Kalau bukan, berarti HRS tidak mengkafirkan orang-orang yg dikafirkan
oleh para ulama ahlussunnah karena penyimpangan akidah mereka yg demikian jauh.
Sehingga tidak ada manfaatnya shahih Bukhari dan Shahih Muslim dibawa-bawa
dalam hal ini. Karena syi’ah yg riwayatnya ada dlm shahihain adalah kelompok yg
sdh punah sejak ratusan tahun lalu menurut kesaksian Imam Adz Dzahabi dan Ibnu
Hajar.
Kemudian berhubung Antum turut hadir dlm acara
tsb, maka saya ingin bertanya dan minta kesaksian Antum akan kebenaran statemen
yg dinisbatkan kpd HRS oleh situs “satuislam” tsb, Apakah benar HRS mengatakan
bhw mengkafirkan semua syi’ah sama dengan menghancurkan ahlussunnah, dst…??
Kalau tidak benar, maka mohon sertakan statemen HRS selengkapnya. Atau rekaman
suara/video jika ada. Jazaakallaahu khairan.
Abu Humaidah
Ustadz mungkin link youtube ini bisa dijadikan
masukan sikap HRS terhadap syiah saat tablighnya di Palembang.http://www.youtube.com/watch?v=sinaxWRy_eU
Abu Hudzaifah Al Atsary
Iya, ghulaatusy syi’ah ana
sepakat. Tapi mengapa rofidhoh hanya dianggap sesat? Padahal Imam Bukhari,
Ahmad bin Hambal, dan banyak ulama lainnya menganggap mrk kafir?!! Adapun yg
ketiga maka inilah musibahnya… dia merujuk kepada tokoh-tokoh yg dianggap sbg
ulama besar (Said Ramadhan Al Buthi, Ali Jum’ah, Yusuf Qardhawi) yg semuanya
bukan Ahlussunnah. Adapun Al Buthi maka dialah ulama suu’ yg berada di pihak
Bashar Assad dlm pembantaian ahlussunnah di Suriah. Adapun Ali Jum’ah, maka
permusuhannya thd akidah salafus shalih dan sikap ekstrimnya dalam tasawwuf
bukan hal baru bagi org yg mengenalnya. Sedangkan Yusuf Qardhawi adalah lulusan
Azhar yg ditokohkan oleh IM dan terkenal dgn fatwa2nya yg kontroversial,
termasuk hobinya mendengarkan musik, bolehnya jabat tangan dgn wanita, alias
ulama fasik. Nah, kalau rujukannya saja spt itu, maka ya maklum saja…
Pun begitu, Yusuf Qardhawi yg awalnya gencar menyerukan pendekatan antara Sunni
dgn Syi’ah, belum lama ini menyatakan bhw sikapnya keliru dan sikap ulama
saudi-lah yg benar. ia pun rujuk dari seruannya tsb…
simak di sini:https://www.youtube.com/watch?v=sWBF9Pd3A04
dan baca di sini:http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/06/10/mo5iod-ketika-syekh-qardhawi-akui-kesalahan-fatwanya
Nah, apa HRS juga mau rujuk???
Siapa yg lebih alim Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar, ataukah HRS?? Keduanya
mengatakan bahwa syi’ah di zaman mereka (lebih dari 700 th lalu) hakikatnya
adalah Rafidhah; sedangkan HRS masih ngotot mengatakan ada jenis ketiga (siapa
mrk?).
Hammad
untuk akh ahmad, maksud poin ke-2 dari
keimpulan antum.ada riwayat syiah yang diambil oleh Imam Bukhori, siapa saja
mereka?tolong disebutkan. trim’s
yudistira
Ustad, berarti penyebutan
syiah, kurang tepat. lebih tepatnya Rofidhoh?
ulama sering menyebutkan
rofidhoh, untuk merujuk pada kelompok sesat pencela sahabat?
termasuk ulama “Syeikh Hasyim Asy’ari” ketika berfatwa tentang syiah.
Abu Hudzaifah Al Atsary
Betul
sekali. Mereka akan marah ketika disebut sebagai Rofidhoh, yg dengan demikian
kita melakukan dua kebaikan: menyebut mereka dengan hakikat yg ada pada mereka,
dan membikin marah musuh-musuh Allah. Nah, ini adalah amal shalih sebagaimana
yg termaktub dalam ayat berikut:
{وَلَا يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلًا إِلَّا كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ
إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ} [التوبة: 120]
Dan tidaklah mereka menyakiti musuhnya dalam bentuk apa pun, melainkan itu
tercatat sebagai amal shalih. Sesungguhnya Allah tidaklah menyia-nyiakan pahala
orang yg berbuat baik (At Taubah: 120).
Abu Hudzaifah Al Atsary
Wa fiika, aamiin.
Wa fiika, aamiin.
Ralat: yg benar bukan Ajja wazalla (artinya kacau, karena zalla itu berarti
tergelincir,
Abu Hudzaifah Al Atsary
Wa’alaikumussalaam warahmatullah… wa iyyaakum.
Mempersatukan Sunnah dgn Rafidhah adalah spt mempersatukan Islam dengan
Yahudi/Nasrani. Hanya orang yg sangat jahil terhadap islam atau rafidhah
berbulu ahlussunnah saja yang berusaha melakukannya.