Pendahuluan
Salah satu faktor munculnya aliran aliran sesat dalam tubuh umat islam adalah
faktor eksternal. Yaitu berupa usaha dan konspirasi dari musuh musuh islam
untuk melemahkan umat islam. Salah satu caranya adalah dengan memunculkan
aliran aliran yang menyimpang. Sehingga dengan adanya aliran aliran tersebut
umat islam akan menjadi lemah karena jauh dari ajarannya, sekaligus umat islam
akan terpecah belah. Terkhusus aliran syiah, selain usaha kaum yahudi yang
dipelopori oleh abdullah bin saba[1], kemunculannya juga tidak lepas dari usaha
orang orang persia yang ingin balas dendam terhadap umat islam atas runtuhnya
impremium persia.
Sebagaimana kita ketahui
bersama, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di utus, ada dua
impremium besar yang disegani oleh bangsa arab. Yaitu impremium Romawi yang
beragama nashrani, dan Impremium persia yang beragama majusi. Agama majusi
merupakan agama terakhir di persia yang menggabungkan ajaran ajaran agama agama
persia sebelumnya seperti mazda, manawiyah, mazdikiyah dan yang lainnya[3].
Ajaran agama majusi dikenal
dengan penyembahannya kepada matahari, bulan, air, dan api. Mereka meyakini
bahwa tuhan pencipta ada dua; tuhan yang menciptakan kebaikan yaitu cahaya dan
yang menciptakan keburukan yaitu kegelapan. Kedua tuhan tersebut selalu
bermusuhan hingga hari kiamat. Namun mereka mengatakan bahwa tidak mungkin
kedua duanya azali atau tanpa permulaan, yang azali hanyalah cahaya, sedang
kegelapan adalah tuhan yang diciptakan oleh cahaya.[4] Mereka juga meyakini
adanya hulul[5] dan tanasukhul arwah (reinkarnasi). Dan begitulah, keyakinan
mereka penuh dengan takhayul dan khurofat.
Keyakinan orang orang persia
juga terpengaruhi dengan keyakinan orang orang yahudi, nashrani, dan budha yang
dalam beberapa periode sejarah mereka banyak yang tinggal di negara persia.
Diantara pengaruh yahudi paling menonjol adalah gerakan rahasia atau gerakan
bawah tanah dan taqiyyah (menyembunyikan keyakinan). Semua agama agama di
persia, baik itu mazdikiyah, manawiyah, Zardisytiun menyebarkan ajaran mereka
lewat gerakan bawah tanah, maka tidak heran jika kita juga melihat orang orang
syiah sekarang begitu lihai dalam menyebarkan ajarannya melalui gerakan yang
terselubung, dan kita juga mengenal ajaran taqiyah yang begitu erat dipegang
oleh orang orang syiah.
Adapun pengaruh agama nashroni yang paling menonjol adalah keyakinan trinitas
dan hulul. Begitu juga dengan agama budha, pengaruh sangat terlihat sekali dari
penyembahan terhadap berhala yang menjadi ciri hal agama orang orang persia
yang juga merupakan ajaran agama budha.
Para pemuka agama di persia
dibagi menjadi kabilah kabilah. Yang mana tiap kabilah memiliki pemuka masing
masing. Bahkan mereka menjadikan para pemuka mereka sebagai wakil Allah di muka
bumi, yang mana mereka diciptakan untuk membantu tuhan tuhan mereka. Maka
mereka pun mengkultuskan pemuka kabilah mereka, bahkan meyakini bahwa dzat
ketuhanan telah menyatu dalam jasad pemuka kabilah mereka.
Hal inilah yang mendorong
mereka untuk mengkultuskan ahlul bait, bukan karena cinta dengan ahli bait
keturunan Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tapi karena merupakan
pradigma berfikir mereka yang mengkultuskan kabilah.
Kemudian kalau kita melihat
sejarah persia, kehidupan orang orang persia sangat penuh dengan fitnah dan
banyaknya demonstrasi, kudeta, perang saudara dan revolusi berdarah. Dan tidak
jarang dalam sengketa tersebut seorang saudara membunuh saudaranya sendiri,
seorang ayah membunuh anaknya tanpa kasih sayang, hanya karena masalah yang
sepele. Maka tidak heran jika hari ini kita juga melihat hal yang serupa.
Bagaimana suatu negri yang disitu banyak orang orang syiah, selalu terjadi
keributan dan kekacauan disana. Lihat saja contoh di suriah, libanon, yaman,
irak, dan negri negri lainnya.
Kerajaan persia dan umat
islam.
Di hadapan impremium persia
ketika itu, bangsa arab merupakan bangsa yang rendah. Mereka melihat bangsa
arab
sebagai budak, yang tidak
bermartabat sama sekali. Maka ketika Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
diutus, dan beliau mengirim surat kepada kisra atau raja persia, dia pun tanpa
ragu menyobek surat tersebut dengan penuh penghinaan dan perendahan kepada
Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kisra menyobek surat tersebut sambil
berkata, “bagaimana dia menulis surat ini kepadaku padahal dia adalah
budakku?”. Maka Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun berdoa semoga Allah
menyobek kerajaan kisra.
Waktu terus berjalan dan
agama islam kian menyebar menguasai jazirah arabia, hingga tiba waktunya umat
islam untuk menaklukan negri persia. Ketika itu Sa’ad bin Abi Waqos merupakan
pemimpin yang ditunjuk oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai pemimpin pasukan
umat islam untuk menaklukan persia. Dan merupakan kebiasaan ketika itu diantara
dua pasukan yang hendak bertempur untuk saling mengirim utusan untuk berdialog.
Maka Sa’ad pun mengutus beberapa orang dari sahabat untuk menghadap kisra
menawarkan ajaran islam.
Ketika para utusan itu datang
menjumpai raja persia (Yazdajird), orang orang pun keluar melihat mereka dengan
penampilannya yang sangat sederhana. Mereka heran, bagaimana orang orang arab
pedalaman dengan penampilan seperti itu menantang impremium persia dengan
segala kekuatan adidayanya?!
Maka terjadilah dialog seru
yang panjang antara yazdajird dengan utusan kaum muslimin yang diwakili oleh
Nu’man bin Muqrin.[6] Terlihat sekali dalam dialog tersebut bagaimana pandangan
yazdajird yang penuh peremehan terhadap kaum muslimin. Kemudian dialog pun
diakhiri dengan kemarahan yazdajird hingga terjadinya pertempuran dahsyat yang
dinamakan perang Qodisiyah[7], yang akhirnya menjadi parit kuburan kerajaan
persia!!
Tuduhan orientalis[8]
Orang orang orientalis barat
merasa heran dengan keruntuhan bangsa persia di bawah kaum muslimin. Mereka pun
berusaha mencari sebab kekalahan bangsa persia. Hingga akhirnya mereka
mengatakan bahwa bangsa persia runtuh karena banyaknya konflik internal yang
menyebabkan kelemahan dalam tubuh mereka. Mereka mengatakan bahwa bangsa persia
sudah tua dan diambang keruntuhannya ketika berhedapan dengan kaum muslimin.
Padahal kalau kita melihat
sejarah, justru ketika kaum muslimin berhadapan dengan bangsa persia, mereka
sedang dalam kondisi kuat kuatnya, yaitu setelah kembali mereka bersatu dalam
satu pemimpin yaitu yazdajir setelah sebelumnya mereka diperselisihkan dengan
kepemimpinan yang berbeda. Mereka justru memiliki kekuatan tempur yang tangguh
yang ditakuti oleh musuh musuh mereka. Bahkan kaum muslimin pun benci untuk
bertempur melawan mereka. Kaum muslimin lebih memilih untuk berhadapan dengan
bangsa arab atau bangsa romawi ketimbang berhadapan dengan bangsa persia.
Hal ini juga terlihat dari
peperangan kaum muslimin melawan persia yang memakan waktu lebih dari tujuh
tahun lamanya. Dan telah syahid dari kaum muslimin dua puluh ribu lebih. Khalid
bin Walid pun telah menyaksikan kehebatan orang orang persia dalam pertempuran.
Beliau berkata, “sungguh aku telah berperang pada hari mu’tah, dan telah
terpotong di tanganku sembilan pedang, dan aku tidak melihat suatu kaum yang
seperti orang orang persia, dan tidak aku jumpai dari orang orang persia yang
seperti bangsa ulayis[9]”
Maka kita katakan bahwa tidak
ada sebab kemenangan kaum muslimin atas bangsa persia kecuali karena faktor
keimanan. Kaum muslimin menghancurkan mereka dengan penuh kesabaran sambil
berharap salah satu dari dua kebaikan; kemenangan atau mati syahid!!
Pasca kekalahan telak persia
di hadapan kaum muslimin, tidak ada pilihan lain bagi orang orang persia
kecuali menyerah dan masuk islam. Namun ternyata tidak banyak dari mereka yang
bagus keislamannya. Sebagian besar masuk islam karena terpaksa, bahkan
sebagian dari mereka masuk islam dengan rencana membuat makar dan menusuk islam
dari dalam.
Pembunuhan umar bin Khattab
Radhiyallahu ‘Anhu[10]
Orang orang persia begitu
paham, bahwa tokoh utama di balik kehancuran kerajaan mereka adalah Amirul
Mu’minin Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu. Mereka pun -bekerjasama dengan
orang romawi dan yahudi- berencana untuk membunuh Amirul Mu’minin Umar bin
Khattab Radhiyallahu ‘Anhu.
Untuk melancarkan rencananya,
orang orang persia selalu berusaha untuk bisa tinggal di kota madinah, tempat
keberadaan Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu. Awalnya Khalifah
selalu menolak karena tidak suka dengan keberadaan orang persia dan romawi yang
tinggal di madinah. Namun mereka selalu mencari cara dan berusaha keras untuk
bisa tinggal di madinah, hingga akhirnya ada sebagian dari orang orang persia
dan romawi yang di izinkan untuk bisa tinggal di madinah.
Diantara mereka yang
diizinkan tinggal di madinah adalah Hurmuzan salah satu mantan komandan perang
persia yang terkenal. Juga Fairuz atau yang lebih dikenal dengan julukan Abu
Lu’luah Al Majusi. Abu Lu’luah pada asalnya merupakan salah satu tawanan perang
kaum muslimin yang dijadikan budak oleh Mughiroh bin Syu’bah Radhiyallahu
‘Anhu. Dikarenakan kemahirannya dalam berbagai bidang, Mughiroh bin Syu’bah
Radhiyallahu ‘Anhu meminta izin kepada Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu
‘Anhu untuk mengizinkannya supaya dia bisa tinggal di Madinah. Tentu dengan
harapan kaum muslimin mendapatkan banyak manfaat dari kemahirannya. Karena
alasan ini maka Khalifah pun memberikan Izin kepadanya untuk tinggal di
Madinah. Namun ternyata, justru Abu Lulu’ah inilah yang nantinya menjadi tokoh
utama pembunuhan Khalifah.
Setelah mereka di izinkan
untuk tinggal di madinah, mereka pun tinggal menunggu waktu untuk menjalankan
rencana mereka, membunuh Khalifah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu. Hingga
pada tahun 23 Hijriyah, pada saat sholat subuh terjadilah pembunuhan Khalifah
oleh Abu Lu’lu’ah Al Majusi.
Ketika itu baru saja Khalifah
Umar bin Khattab bertakbir, hingga tiba tiba Abu Lu’lu’ah menusukkan belati
bermata dua ke tubuh beliau. Kemudian tidak cukup disitu, dia pun menyerang
para sahabat yang lain dengan belati tersebut hingga tertusuk tiga belas
sahabat dan meninggal tujuh diantaranya. Ketika para sahabat akhirnya berhasil
menangkapnya, Abu Lu’luah pun menusukan belati tersebut ke tubuhnya sendiri,
dan dia pun mati bunuh diri.
Adapun Khalifah Umar bin
Khattab Radhiyallahu ‘Anhu, ketika tertusuk langsung mengambil tangan
Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu ‘Anhu untuk menggantikan beliau menjadi imam
sholat. dan setelah sholat diselesaikan dengan ringan, Khalifah pun meminta
kepada Ibnu Abbas
Rodhiyallahu ‘Anhum untuk melihat siapa yang telah membunuhnya. Setelah ibnu
Abbas Radhiyallahu Anhuma melihatnya, beliaupun segera kembali dan mengabarkan
kepada Khalifah bahwa yang membunuhnya adalah Abu Lu’luah al Majusi. Khalifah
Umar pun berkata, “Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di
tangan seorang yang sujud kepada Allah”
Kemudian Khalifah Umar
Radhiyallahu ‘Anhu di bawa ke rumah dan diberi minum. Namun ternyata, setiap
kali air diminum langsung keluar lagi melalui luka tusukannya. Maka beliau pun
mengetahui bahwa ajal beliau sudah dekat. Orang orang pun mendatangi beliau dan
memberikan pujian yang baik kepada beliau. Adapun beliau setelah mengetahui
ajalnya sudah semakin dekat, meminta kepada para sahabat untuk dihitung hutang
hutangnya dan segera dilunasi. Beliaupun juga meminta izin kepada Ummul
Mu’minin Aisyah Radhiyallahu ‘Anha untuk diperbolehkan dikuburkan di samping
kuburan Rosulullah Shallalllahu Alaihi Wasallam dan Abu Bakar Radhiyallahu
Anhu, maka beliaupun di izinkan.
Selain Abu Lu’luah, para
sahabat pun mengetahui siapa saja dalang pembunuh khaliafah. Yaitu melalui
kesaksian seorang sahabat Abdurrahman bin Abi Bakar Radhiyallahu ‘Anhu. Pagi
hari sebelum pembunuhan Khalifah, Abdurrahman melihat Abu Lu’lu’ah, Hurmuzan,
dan Jafinah seorang nashroni sedang berunding dengan berbisik bisik. Yang
ketika mereka tiba tiba melihat Abdurrahman terjatuh dari mereka belati yang
memiliki dua mata. Maka setelah apa yang terjadi dengan Khalifah,
para sahabat pun menindak mereka semua.
Umar bin Khattab Radhiyallahu
‘Anhu dan Abu Lu’luah Al Majusi di mata Syiah
Setelah meninggalnya Umar bin
Khattab Radhiyallahu ‘Anhu, ternyata orang orang syiah majusi belum juga
berhenti memerangi beliau. Hingga saat ini kita masih saja menyaksikan
kebiasaan mereka mencela dan menghina Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu.
Bahkan kalau kita membaca
kitab kitab mereka, kita akan menemukan banyak sekali hujatan kepada dan
pengkafiran kepada para sahabat nabi secara umum dan khusunya kepada Abu Bakar
dan Umar bin Khattab Radhiyallahu Anhum Ajma’in. Sebagai contoh, disebutkan
dalam Roudhotul Kafi[11], “Dua orang tersebut (yaitu Abu Bakar dan Umar bin
Khattab Rodhiyallahu ‘Anhuma) meninggalkan dunia dan belum bertaubat serta
tidak mengingat apa yang telah mereka lakukan terhadap Amirul Mu’minin (Ali Bin
Abi Thalib) –(yaitu berupa merampas kekuasaan menurut mereka), maka bagi mereka
berdua laknat Allah, malaikat, dan semua orang”[12]
Disisi lain, kita justru
menyaksikan bagaimana mereka bagitu bersimpati kepada pembunuh Khalifah Umar
bin Khattab, yaitu Abu Lu’luah. Bahkan mereka memberikan gelar kepadanya
sebagai As Syahid (seorang yang mati syahid) dan Baba Syuja’ud Din (tokoh
pemberani). Merekapun menjadikan kuburannya -yang bertempat di kota Kasyan
negara Iran- sebagai tempat ibadah yang dikeramatkan.[13]
Fakta bahwa orang orang syiah
begitu membenci Amirul Mu’minin Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu dan justru
membela Abu Lu’luah seorang majusi menambah keyakinan kita bahwa Syiah bukan
bagian dari agama Islam. Namun merupakan sempalan dari agama majusi yang
menyusup dalam tubuh umat islam.
Setelah orang orang majusi
berhasil membunuh Khalifah Umar bin Khattab melalui tangan Abu Lu’luah, mereka
belum berhenti sampai disitu. Di setiap waktu mereka selalu mencari celah untuk
berbuat makar. Hingga akhirnya mereka pun menemukan kesempatan emas untuk
kembali menjalankan aksinya. Yaitu pada saat terjadinya sengketa politik antara
Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan pada tahun 36 hijriah.
Namun sebelum kita membahas lebih lanjut bagaimana aksi orang orang
majusi memanfaatkan momentum tersebut untuk berbuat makar, terlebih dahulu kita
membahas hakekat fitnah pada masa sahabat. Terutama perang Siffin yang
seriangkali dijadikan ajang oleh orang orang syiah untuk mencela para sahabat
secara umum dan Muawiyah bin Abi Sufyan Rodhiyallahu ‘Anhu secara khusus.
Fitnah pada masa sahabat
Fitnah yang terjadi pada masa
sahabat merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri. Bahkan Rosulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam -melalui bimbingan wahyu tentunya- jauh jauh hari
sudah memprediksikan akan munculnya fitnah tersebut. Dan dengan terbunuhnya
Umar bin Khattab pintu fitnah pun terbuka[14]. Dimulai dengan pembunuhan Utsman
oleh para pemberontak, kemudian terjadinya sengketa antara kubu Ali bin Abi
Thalib dan Ummul Mu’minin Aisyah yang berujung dengan perang jamal, diteruskan
dengan perang siffin antara kubu Ali dan Muawiyah, hingga munculnya orang orang
khowarij yang kemudian di perangi oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib Radhiyahhalu
Anhum Ajma’iin.
Pada dasarnya membicarakan
fitnah yang terjadi di antara para sahabat bukan merupakan manhaj Ahlusunnah
Wal Jama’ah. Karena ditakutkan akan menjurus kepada penurunan derajat para
sahabat yang telah di muliakan oleh Allah ta’ala. Ketika Umar bin Abdul Aziz
ditanya tentang peperangan yang terjadi di antara para sahabat, beliau
menjawab, “Allah ta’ala telah mensucikan tangan kita dari pertumpahan darah
tersebut, kenapa kita tidak mensucikan lisan kita dari membicarakannya”[15]
Namun jika memang dibutuhkan untuk membicarakan tentang fitnah tersebut maka
hendaknya dilakukan dengan benar. Harus bersandar kepada riwayat riwayat yang
sahih dengan pemahaman yang benar. Jikapun ditemukan riwayat yang sohih menurut
timbangan ilmu hadits, namun secara dhohir isi dari riwayatnya memojokan para
sahabat, maka hendaklah maknanya dibawa ke pemahaman yang sebaik mungkin
terhadap para sahabat.[16]
Perang siffin[17]
Salah satu bentuk fitnah yang
terjadi pada masa sahabat adalah peperangan yang melibatkan dua kelompok besar
dari kaum muslimin. Yaitu perang antara kubu Ali bin Abi Thalib dengan
pasukannya dari Hijaz yang ditambah dengan pasukan dari Irak melawan kubu
Muawiyah bin Abi Sufyan dan pengikutnya penduduak Syam. Perang ini
dikenal dengan perang Siffin, dinisbatkan kepada tempat dimana terjadinya
peperangan.
Mayoritas sahabat melihat
bahwa perang ini merupakan fitnah. Yang mana berdiam diri dan tidak terlibat lebih
baik serta lebih selamat.[18] Sehingga karenanya dari sekian banyak jumlah
pasukan yang terlibat peperangan, hanya sedikit diantara mereka yang merupakan
sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Berkata Ibnu Sirin Rahimahullah,
“ketika fitnah bergejolak, jumlah sahabat Nabi ketika itu berjumlah sepuluh
ribuan orang, namun tidak ada yang terlibat ke dalamnya (fitnah) kecuali
seratus, atau bahkan tidak sampai tiga puluh”[19]
Sebab terjadinya perang
siffin[20]
Pasca tragedi pembunuhan
Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu oleh para pemberontak, kaum
muslimin pun membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah pengganti Utsman bin Affan. Ketika itu para sahabat seluruhnya
bersepakat untuk menindak para pembunuh khalifah Utsman bin Affan, namun mereka
berselisih pendapat kapan waktu yang tepat untuk menindak mereka.
Sebagian
sahabat yang dipelopori oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, Ubadah bin Shamit, Abu
Darda dan yang lainnya berpendapat bahwa Khalifah harus menuntut balas atas
kematian Utsman saat itu juga. Sementara Ali bin Abi Thalib selaku khalifah dan
mayoritas sahabat berpendapat bahwa saat itu bukan waktu yang tepat untuk
menuntut balas atas pembunuhan Utsman bin Affan. Mereka memandang ada hal yang
lebih urgent untuk terlebih dahulu dilakukan. Yaitu menyatukan kembali kaum
muslimin dan menciptakan keamanan kembali yang hampir hilang di kota madinah
ketika itu.
Apalagi menangani para pelaku atas pembunuhan Utsman bukan perkara yang mudah.
Perlu tinjauan yang mendalam. Sementara para pelaku pembunuhan belum diketahui
secara rinci tiap person dari mereka. Ditambah sebagian pelaku sudah kabur dari
kota madinah. Maka terburu buru dalam menyikapi hal ini hanya akan menambah
kekacauan dalam kota madinah.
Terjadinya
perang siffin
Akibat
perselisihan ini maka beberapa bulan kemudian terjadilah perang Siffin.
Muawiyah bersikeras tidak mau membaiat Ali bin Abi Thalib hingga menindak para
pembunuh Utsman bin Affan, dengan hujjah bahwa beliau adalah Wali Utsman bin
Affan. Sedangkan khalifah Ali pun tetap keukeuh dengan pendapatnya. Beliau
meminta kepada Muawiyah untuk membaiat terlebih dahulu baru kemudian
membicarakan pembunuhan Utsman bin Affan.
Maka
terjadilah peperangan besar antara kedua pasukan. Peperangan pun
berlangsung cukup lama dan memakan jumlah korban yang tidak sedikit. Hingga
ketika pasukan Muawiyah mulai terlihat lemah, mereka pun meminta untuk berdamai
dan memutuskan perkara mereka (tahkim) dengan Al Qur’an. Khalifah Ali pun
menyetujuinya. Maka mereka pun berkumpul di suatu tempat bernama Daumatul
Jandal untuk mencari kata sepakat dengan berhukum kepada Al Qur’an. Namun
ternyata mereka tidak juga mencapai kata sepakat. Hingga perang usai pun,
Muawiyah masih belum mau membaiat Ali dan tetap bersama pengikutnya penduduk
syam. Begitu juga dengan Ali bin Abi Thalib yang kemudian kembali disibukan
dengan perkara lain. Yaitu munculnya fitnah khawarij.
Perang
Siffin merupakan hasil Ijtihad
Sesungguhnya
apa yang dilakukan oleh Muawiyah dengan menyelisihi Ali bin Abi Thalib bukanlah
karena beliau haus kekuasaan. Bukan juga karena beliau merasa lebih baik dari
pada Ali bin Abi Thalib. Beliau sebagai Wali dari Utsman bin Affan hanya ingin
agar Khalifah menindak para pembunuh Utsman pada saat itu juga. Dan ini murni
merupakan ijtihad beliau. Yang mana seorang mujtahid jika dia benar
mendapat dua pahala, dan jika salah dia mendapat satu pahala.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika Abu Muslim Al Khaulani dan
beberapa orang datang kepada Muawiyah. Mereka berkata, “anda menyelisihi Ali,
apakah anda merasa sebanding dengannya?” Muawiyah pun menjawab, “demi Allah
tidak! sesungguhnya aku tahu bahwasanya Ali lebih utama dariku, dan beliau
lebih berhak mengambil urusan (khilafah) ini daripadaku, akan tetapi bukankah
kalian mengetahui bahwasanya Utsman terbunuh secara Dhalim, sementara saya
adalah sepupunya, sesungguhnya saya hanya ingin menuntut atas darah utsman
…”[21]
Maka
meskipun mereka saling berperang, namun mereka tidak saling membenci atau
bahkan mengkafirkan. Masih ada rasa kasing sayang diantara mereka. Diriwayatkan
bahwa ketika peperangan berlangsung, ada beberapa orang dari pihak Ali yang
mencela penduduk syam, maka Ali pun mengingkari perbuatan mereka dan berkata, “jangan
kalian mencela penduduk syam, mereka sangat banyak jumlahnya, dan sesungguhnya
diantara mereka ada orang orang mulia, diantara mereka ada orang orang mulia,
diantara mereka ada orang orang mulia”[22]
Bahkan
mereka sedih dan menyesal ketika melihat jumlah korban yang begitu banyak dari
kedua belah pihak. Ali bin Abi Thalib berkata kepada putra beliau Hasan, “wahai
hasan bapakmu tidak menyangka bahwa urusannya akan sampai seperti ini, bapakmu
ini ingin sekirannya mati dua puluh tahun sebelum kejadian ini”[23]
Dan
ketika nantinya Khalifah Ali meninggal di tangan seorang khawarij Abdullah bin
Muljam, Muawiyah pun yang mendengar berita tersebut menangis. Ketika istri
beliau bertanya, “engkau kemarin memeranginya dan sekarang engkau
menangisinya?” beliau pun menjawab, “sesungguhnya aku menangis karena manusia
kehilangan ilmu, kelembutan, keutamaan, dan kebaikannya”[24]
Pada tulisan yang lalu kita
telah membahas bagaimana terjadinya polemik antara para sahabat yang berujung
dengan peperangan antara dua kelompok besar dari kaum muslimin. Kita pun
melihat bagaimana persaudaraan tetap terjaga diantara mereka. Bahwa peperangan
yang terjadi tidak membuat mereka saling mencela apalagi saling mengkafirkan.
Terjadinya polemik tersebut tentunya merupakan hal yang lumrah terjadi, melihat bahwa para sahabat -dengan segala kemuliaan dan keutamaan yang diberikan kepada mereka-, tetap merupakan manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Namun kita meyakini bahwa dosa yang mereka lakukan telah dihapuskan oleh Allah ta’ala. Entah karena mereka sudah bertaubat, atau karena kebaikan yang mereka lakukan, atau karena keutamaan mereka sebagai orang orang yang terdahulu masuk agama islam, atau bisa juga terhapuskan oleh syafaat Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mana tentu saja para sahabat adalah orang yang paling berhak mendapatkannya.[25]
Itu berlaku untuk kesalahan yang berujung dosa. Lalu bagaimana dengan kesalahan yang sifatnya ijtihad sebagaimana yang terjadi pada perang siffin? Yang mana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjanjikan dua pahala bagi yang ijtihadnya benar dan satu pahala bagi yang ijtihadnya salah?!
Orang majusi mengambil kesempatan[26]
Namun pandangan tersebut akan berbeda jika yang melihat adalah orang orang picik yang memang ingin berbuat jahat. Orang orang majusi persia melihat bahwa perselisihan yang terjadi adalah kesempatan emas untuk kembali menjalankan aksi mereka. Mereka pun memutuskan untuk berada di pihak Ali bin Abi Thalib. Bukan karena mereka memandang kebenaran berada di pihak Ali! Bukan! Mereka mendukung Ali karena mereka ingin menggunakan posisi Ali sebagai menantu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Yang dengan itu mereka ingin memunculkan propoganda berupa cinta kepada Ahlul Bait, yaitu keluarga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Siapa diantara kaum muslimin yang tidak mencintai keluarga Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?!
Dari konsep cinta ahlul bait ini mereka ingin menghidupkan kembali ajaran majusi yang mengkultuskan sebuah keluarga. Sebagaimana kita ketahui, salah satu ajaran agama majusi adalah keharusan adanya sebuah keluarga yang berisi orang orang ma’shum, yang terbebas dari dosa baik yang besar maupun kecil. Keluarga inilah yang mengatur urusan agama rakyatnya. Maka dengan konsep cinta ahlul bait, mereka pun bisa menghidupkan ajaran lama mereka. Makanya konsep ahlul bait bukan hanya sekedar mencintai ahlu bait saja, tapi juga mengkultuskan dan menganggap bahwa para imam imam mereka yang merupakan keturunan Rosulullah Shallallalhu ‘Alaihi Wasallam adalah sebuah kultur keluarga (Ahlu bait) yang memiliki sifat ishmah (terjaga dari dosa). Perkataan mereka pun dianggap laksana wahyu yang harus diikuti.
Hal ini bertambah kuat dengan menikahnya cucu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yaitu Husain bin Abi Thalib dengan putri Yazdajir (raja persia). Yazdajir dan putrinya ketika itu telah menjadi tawanan kaum muslimin. Karena putri dari seorang raja, kaum muslimin pun menikahkannya dengan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dengan pernikahan tersebut tentunya akan lahir orang orang yang berdarah persia dari keturunan Husain Radhiyallahu ‘Anhu. Sementara orang orang majusi adalah orang orang yang sangat fanatik dengan bangsa mereka. Maka selain menghidupkan kembali ajaran Majusi, berdirinya mereka di sisi Ali bin Abi Thalib dan putranya Husain tentunya juga didasarkan kefanatikan mereka kepada darah persia.
Peran orang yahudi
Ternyata bukan hanya orang orang majusi saja yang berdiri di barisan Ali untuk berbuat makar. Di saat yang sama orang orang yahudi yang dipelopori Abdullah bin Saba pun berdiri di satu barisan. Merekapun bersekongkol dan bekerja sama untuk melakukan konspirasi di tubuh kaum muslimin.
Setelah syahidnya Ali bin Abi Thalib ditangan seorang khawarij Abu Muljam, orang orang majusi dan yahudi terus menerus dengan gigih memprovokasi para pendukung Ali untuk memerangi bani Umayyah dengan dalih cinta kepada Ahlu bait. Mereka juga terus berusaha memunculkan aliran aliran kebatinan yang sesuai dengan ideologi majusi persia. Hingga merekapun berhasil memunculkan aliran Sabaiyah dan Kisaniyah.
Sabaiyah[27] dinisbatkan kepada Abdulllah bin Saba yang mengajak kepada penuhanan kepada Ali bin Abi Thalib. Ketika Ali bin Abi Thalib masih hidup, sebagian mereka berkata kepada Ali, “engkau adalah engkau”. Ali pun bertanya, “siapa saya?”, mereka menjawab, “engkau adalah pencipta”. Maka ali pun menyuruh mereka bertaubat, namun mereka tidak mau bertaubat. Maka Ali pun membuat api yang sangat besar dan membakar mereka. Sementara Abdullah bin Saba, sebagian sejarawan mengatakan bahwa dia tidak ikut dibakar, namun diasingkan ke negri Madain. Dan setelah Ali bin Abi Thalib syahid terbunuh, dia pun menyatakan bahwa Ali tidaklah meninggal dunia.
Selain meyakini ketuhanan Ali bin Abi Thalib, orang orang sabaiyah juga meyakini bahwasanya Ali adalah orang yang telah mendatangkan awan untuk menurunkan hujan. Bahwa halilintar pada hakekatnya merupakan suara Ali, dan kilatannya merupakan senyuman Ali. Mereka juga mengatakan bahwasanya Ali akan kembali lagi turun ke bumi untuk mengisi bumi dengan keadilan.
Adapun kisaniyah[28] adalah para pengikut kisan yang merupakan budak dari Ali bin Abi Thalib. Mereka memiliki keyakinan tanashukul arwah, hulul, dan raj’ah[29] setelah kematian. Mereka juga mengatakan bahwa ilmu kaisan mencakup seluruh ilmu. Dan kaisan telah mengambil ilmu tersebut dari dua penghulu yaitu Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu dan putra beliau Muhammad bin Hanafiyah Rahimahullah.
Melalui dua aliran kebatinan tersebut lahirlah aliran aliran kebatinan yang lain, seperti mukhtariyah, hasyimiyah, bayaaniyah, dan romaziyah[30]. Yang mana meskipun nama mereka bermacam macam, pada hakekatnya ajaran mereka sama.
Pada masa Bani Umayyah aliran aliran tersebut diberantas oleh tangan kekuasaan Bani Umayyah. Orang orang pun mengira bahwa mereka telah punah dan tidak akan muncul kembali. Namun hal tersebut ternyata keliru. Karena jangan lupa, bahwa orang orang persia sangat mudah memainkan gerakan bawah tanah. Jikapun gerakan yang muncul dipermukaan telah habis, maka masih ada gerakan bawah tanah yang akan kembali muncul jika saatnya telah tiba.
Terjadinya polemik tersebut tentunya merupakan hal yang lumrah terjadi, melihat bahwa para sahabat -dengan segala kemuliaan dan keutamaan yang diberikan kepada mereka-, tetap merupakan manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan. Namun kita meyakini bahwa dosa yang mereka lakukan telah dihapuskan oleh Allah ta’ala. Entah karena mereka sudah bertaubat, atau karena kebaikan yang mereka lakukan, atau karena keutamaan mereka sebagai orang orang yang terdahulu masuk agama islam, atau bisa juga terhapuskan oleh syafaat Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mana tentu saja para sahabat adalah orang yang paling berhak mendapatkannya.[25]
Itu berlaku untuk kesalahan yang berujung dosa. Lalu bagaimana dengan kesalahan yang sifatnya ijtihad sebagaimana yang terjadi pada perang siffin? Yang mana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menjanjikan dua pahala bagi yang ijtihadnya benar dan satu pahala bagi yang ijtihadnya salah?!
Orang majusi mengambil kesempatan[26]
Namun pandangan tersebut akan berbeda jika yang melihat adalah orang orang picik yang memang ingin berbuat jahat. Orang orang majusi persia melihat bahwa perselisihan yang terjadi adalah kesempatan emas untuk kembali menjalankan aksi mereka. Mereka pun memutuskan untuk berada di pihak Ali bin Abi Thalib. Bukan karena mereka memandang kebenaran berada di pihak Ali! Bukan! Mereka mendukung Ali karena mereka ingin menggunakan posisi Ali sebagai menantu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Yang dengan itu mereka ingin memunculkan propoganda berupa cinta kepada Ahlul Bait, yaitu keluarga Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Siapa diantara kaum muslimin yang tidak mencintai keluarga Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam?!
Dari konsep cinta ahlul bait ini mereka ingin menghidupkan kembali ajaran majusi yang mengkultuskan sebuah keluarga. Sebagaimana kita ketahui, salah satu ajaran agama majusi adalah keharusan adanya sebuah keluarga yang berisi orang orang ma’shum, yang terbebas dari dosa baik yang besar maupun kecil. Keluarga inilah yang mengatur urusan agama rakyatnya. Maka dengan konsep cinta ahlul bait, mereka pun bisa menghidupkan ajaran lama mereka. Makanya konsep ahlul bait bukan hanya sekedar mencintai ahlu bait saja, tapi juga mengkultuskan dan menganggap bahwa para imam imam mereka yang merupakan keturunan Rosulullah Shallallalhu ‘Alaihi Wasallam adalah sebuah kultur keluarga (Ahlu bait) yang memiliki sifat ishmah (terjaga dari dosa). Perkataan mereka pun dianggap laksana wahyu yang harus diikuti.
Hal ini bertambah kuat dengan menikahnya cucu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yaitu Husain bin Abi Thalib dengan putri Yazdajir (raja persia). Yazdajir dan putrinya ketika itu telah menjadi tawanan kaum muslimin. Karena putri dari seorang raja, kaum muslimin pun menikahkannya dengan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dengan pernikahan tersebut tentunya akan lahir orang orang yang berdarah persia dari keturunan Husain Radhiyallahu ‘Anhu. Sementara orang orang majusi adalah orang orang yang sangat fanatik dengan bangsa mereka. Maka selain menghidupkan kembali ajaran Majusi, berdirinya mereka di sisi Ali bin Abi Thalib dan putranya Husain tentunya juga didasarkan kefanatikan mereka kepada darah persia.
Peran orang yahudi
Ternyata bukan hanya orang orang majusi saja yang berdiri di barisan Ali untuk berbuat makar. Di saat yang sama orang orang yahudi yang dipelopori Abdullah bin Saba pun berdiri di satu barisan. Merekapun bersekongkol dan bekerja sama untuk melakukan konspirasi di tubuh kaum muslimin.
Setelah syahidnya Ali bin Abi Thalib ditangan seorang khawarij Abu Muljam, orang orang majusi dan yahudi terus menerus dengan gigih memprovokasi para pendukung Ali untuk memerangi bani Umayyah dengan dalih cinta kepada Ahlu bait. Mereka juga terus berusaha memunculkan aliran aliran kebatinan yang sesuai dengan ideologi majusi persia. Hingga merekapun berhasil memunculkan aliran Sabaiyah dan Kisaniyah.
Sabaiyah[27] dinisbatkan kepada Abdulllah bin Saba yang mengajak kepada penuhanan kepada Ali bin Abi Thalib. Ketika Ali bin Abi Thalib masih hidup, sebagian mereka berkata kepada Ali, “engkau adalah engkau”. Ali pun bertanya, “siapa saya?”, mereka menjawab, “engkau adalah pencipta”. Maka ali pun menyuruh mereka bertaubat, namun mereka tidak mau bertaubat. Maka Ali pun membuat api yang sangat besar dan membakar mereka. Sementara Abdullah bin Saba, sebagian sejarawan mengatakan bahwa dia tidak ikut dibakar, namun diasingkan ke negri Madain. Dan setelah Ali bin Abi Thalib syahid terbunuh, dia pun menyatakan bahwa Ali tidaklah meninggal dunia.
Selain meyakini ketuhanan Ali bin Abi Thalib, orang orang sabaiyah juga meyakini bahwasanya Ali adalah orang yang telah mendatangkan awan untuk menurunkan hujan. Bahwa halilintar pada hakekatnya merupakan suara Ali, dan kilatannya merupakan senyuman Ali. Mereka juga mengatakan bahwasanya Ali akan kembali lagi turun ke bumi untuk mengisi bumi dengan keadilan.
Adapun kisaniyah[28] adalah para pengikut kisan yang merupakan budak dari Ali bin Abi Thalib. Mereka memiliki keyakinan tanashukul arwah, hulul, dan raj’ah[29] setelah kematian. Mereka juga mengatakan bahwa ilmu kaisan mencakup seluruh ilmu. Dan kaisan telah mengambil ilmu tersebut dari dua penghulu yaitu Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu dan putra beliau Muhammad bin Hanafiyah Rahimahullah.
Melalui dua aliran kebatinan tersebut lahirlah aliran aliran kebatinan yang lain, seperti mukhtariyah, hasyimiyah, bayaaniyah, dan romaziyah[30]. Yang mana meskipun nama mereka bermacam macam, pada hakekatnya ajaran mereka sama.
Pada masa Bani Umayyah aliran aliran tersebut diberantas oleh tangan kekuasaan Bani Umayyah. Orang orang pun mengira bahwa mereka telah punah dan tidak akan muncul kembali. Namun hal tersebut ternyata keliru. Karena jangan lupa, bahwa orang orang persia sangat mudah memainkan gerakan bawah tanah. Jikapun gerakan yang muncul dipermukaan telah habis, maka masih ada gerakan bawah tanah yang akan kembali muncul jika saatnya telah tiba.
[1] Tentang abdullah bin saba insya Allah akan dibahas dalam tulisan yang lain
[2] Penjelasan lengkapnya bisa di lihat di Wa Jaa’a Daurul Majuus, Muhammad Surur Zainal Abidin, (Dar Al Jaabiyah, London, cet. 10; 1430 H) hal, 50-53
[3] Mazda, manawiyah, dan mazdakiyah merupakan agama agama yang pernah berkembang di persia.
[4] Lihat As Syahrstani, Al Milal Wan Nihal (Muassasah Ar Risalah, cet 1; 1434 H) Hal, 257
[5] Hulul adalah keyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluknya. (Mustholahat fie kutubil Aqoid, Dr Muhammad bin Ibrohim Al Hamd, hal. 40)
[6] Rincian dialog bisa dilihat di al bidayah Wan Nihayah, Ibnu Katsir (7/41)
[7] Merupakan peperangan puncak antara kaum muslimin dengan bangsa persia, yang berakibat runtuhnya kerajan persia (kisah selengkapnya bisa dibaca di tarikh khulafaur rosyidin, Dr. Muhammad Abdul Khoil, hal.138-152)
[8] Lihat :Wa Jaa’a Daurul Majuus, hal. 67-70
[9] Nama sebuah tempat di sebelah barat eufrat, salah satu peperangan yang terjadi antara kaum muslimin dengan persia di tempat tersebut. (lihat tarikh khulafaur rosyidin, hal 95)
[10] Lihat Wa Jaa’a Daurul
Majus hal. 73-75, Tarikh Khulafaur Rosyidin, hal. 257-259
[11] Roudhotul Kaafi merupakan bagian dari kitab Al Kaafi karya Al Kulaini, merupakan salah satu kitab pokok ajaran syiah.
[12] Roudhotul Kaafi (12/323), dinukil dari Mas’alatut Taqrib, Dr. Nasir Al Kifari, Cet. 10, Dar Thayibah (2/365)
[13] Bisa dilihat foto kuburannya di http://alburhan.com/main/articles.aspx?article_no=2224
[14] Sebagaimana disebutkan dalam Hadits Hudzaifah Bin Yaman tentang fitnah bahwa antara para sahabat dengan fitnah ada pintu yang tertutup yaitu Umar bin Khattab. Ketika Umar bin Khattab terbunuh maka pintu fitnah pun pecah dan fitnah pun muncul bergantian. (lihat Sohih Bukhori (525 dan 3586), dan Muslim (144)
[15] Dinukil dari Fitnah Bainas Sohabah, Muhammad Hasan (Maktabah Fayyadh, Cet 1; 1428 H), Hal. 342
[16] Tarikh Khuafaur Rosyidin, 326
[17] Lihat Tarikh Khulafaur Rosyidin hal. 384-386 dan Fitnah bainas Shohabah hal. 235-270
[18] Tarikh Khulafaur Rosyidin hal. 393
[19] Ibid, hal 392
[20] ibid 369
[21] Ibid, 388
[22] ibid
[23] Ibid, 326
[24] Ibid, 327
(nisyi/syiahindonesia.com)
[11] Roudhotul Kaafi merupakan bagian dari kitab Al Kaafi karya Al Kulaini, merupakan salah satu kitab pokok ajaran syiah.
[12] Roudhotul Kaafi (12/323), dinukil dari Mas’alatut Taqrib, Dr. Nasir Al Kifari, Cet. 10, Dar Thayibah (2/365)
[13] Bisa dilihat foto kuburannya di http://alburhan.com/main/articles.aspx?article_no=2224
[14] Sebagaimana disebutkan dalam Hadits Hudzaifah Bin Yaman tentang fitnah bahwa antara para sahabat dengan fitnah ada pintu yang tertutup yaitu Umar bin Khattab. Ketika Umar bin Khattab terbunuh maka pintu fitnah pun pecah dan fitnah pun muncul bergantian. (lihat Sohih Bukhori (525 dan 3586), dan Muslim (144)
[15] Dinukil dari Fitnah Bainas Sohabah, Muhammad Hasan (Maktabah Fayyadh, Cet 1; 1428 H), Hal. 342
[16] Tarikh Khuafaur Rosyidin, 326
[17] Lihat Tarikh Khulafaur Rosyidin hal. 384-386 dan Fitnah bainas Shohabah hal. 235-270
[18] Tarikh Khulafaur Rosyidin hal. 393
[19] Ibid, hal 392
[20] ibid 369
[21] Ibid, 388
[22] ibid
[23] Ibid, 326
[24] Ibid, 327
[25] Akidah Wasathiyah, Ibnu
Taimiyah
[26] Lihat Wa Jaa’a Daurul Majuus, hal. 76-79
[27] Tentang sabaiyab bisa dilihat di Al Mausuu’ah Al Muyassaroh, hal . 1067-1068 dan Al Milal Wan Nihal, hal. 192
[28] Tentang kisaniyah bisa dilihat di Al Milal Wan Nihal. Hal. 168
[29] Kembalinya nyawa ke dalam kehidupan di dunia.
[30] Lihat tentang ajaran aliran aliran tersebut dalam Al Milal Wan Nihal, hal. 168-173
Penullis adalah Mahasiswa Fakultas Dakwah wa Ushuluddin, Universitas Islam
Madinah, Saudi Arabia.[26] Lihat Wa Jaa’a Daurul Majuus, hal. 76-79
[27] Tentang sabaiyab bisa dilihat di Al Mausuu’ah Al Muyassaroh, hal . 1067-1068 dan Al Milal Wan Nihal, hal. 192
[28] Tentang kisaniyah bisa dilihat di Al Milal Wan Nihal. Hal. 168
[29] Kembalinya nyawa ke dalam kehidupan di dunia.
[30] Lihat tentang ajaran aliran aliran tersebut dalam Al Milal Wan Nihal, hal. 168-173
(nisyi/syiahindonesia.com)