Cuplikan sebagian ( tidak
merubah makna ) :
Transkrip ceramah Prof. DR.
KH. Said Aqil Siradj (Ketua Umum PBNU saat ini) dalam acara Madrasah Karbala
dan Asyura di serambi Masjid al-Mukhlishin Bojonegoro Jatim tahun 2002. Acara
ini berlangsung selama sepuluh hari berturut-turut yang pada puncaknya yakni
pada malam kesepuluh (Asyura) diadakan di lapangan sepakbola Singonoyo Sukorejo
Bojonegoro. Inilah Madrasah Karbala dan Asyura pertama di Indonesia yang
diselenggarakan oleh masyarakat NU dan Syiah secara guyub, harmonis dan terbuka
untuk umum. Kami hadirkan Transkrip ini mudah-mudahan bermanfaat.
Bagi kita yang masih memiliki
hati nurani yang ikhlas dan iman yang cukup ideal, kita mencintai hari ini,
acara ini, bukan karena kepentingan, politik, target, atau apapun yang bersifat
duniawi, tapi kita betul-betul melihat peristiwa Karbala sebagai peristiwa ’adzim,
salah satu peristiwa agama. ‘Asyirul Karamah (hari berkeramat yang ke-10),
sejajar dengan hari-hari mulia lainnya seperti peristiwa lahirnya Nabi
Muhammad, Nuzulul Quran, Lailatul Qadr, Yaumil Arafah, Lailatul 'Idain (Idul
Fitri dan Idul Adha).
Kerajaaan Majapahit yang
awalnya dipertahankan oleh masyarakat Jawa akhirnya mereka tinggalkan. Sewaktu
Majapahit diserang oleh orang Islam, mereka bertahan, sehingga menyebabkan gugurnya
lima orang kyai di pintu gerbang Majapahit (Syekh Abdul Qadir Assini, Syekh
Ibrahim as-Samarkandi, Syekh Jumadil Qubra, Syekh Utsman al-Hamadani, Syekh
Marzuki). Mereka ingin menyerang Majapahit dengan kekerasan, tetapi gagal
karena rakyat mempertahankan Majapahit yang merupakan simbol kebesaran Jawa.
Tetapi, dengan pendekatan Ahlul Bait, dengan cara tsaqafah, pendidikan,
moral, pergaulan yang baik, akhlaqul karimah, bahkan melalui seni, akhirnya
lama-kelamaan tanpa paksaan masyarakat Majapahit berbondong-bondong masuk
Islam.
Sampai-sampai orang Jawa
sendiri mengakui, “suro diro joyoningrat lebur diningpangastuti”, keningratan
orang Jawa hancur lebur oleh kebersihannya orang santri.
“Sirno ilang kertaning bumi”, kebesaran
Jawa hilang ditelan bumi. Kerajaan Majapahit, imperium yang sangat besar bahkan
sampai ke Kolombo dan Philipina Selatan, kini tidak ada lagi, hanya sedikit
sekali peninggalannya Seluruh Jawa akhirnya masuk Islam. Sehingga Sunan Ampel
mengizinkan muridnya yaitu Raden Fatah mendirikan kerajaan Islam yang pertama
di Demak. Itulah hasil perjuangan dengan pendekatan moral, akhlak, dan
pendidikan, yang dilakukan oleh Ahlul Bait, dalam hal ini Wali Songo.
Coba bandingkan dengan
kerajaan Islam di Spanyol yang berkuasa selama 800 tahun dan sudah melahirkan
ulama-ulama besar seperti Ibnu Malik seorang pengarang Alfiyah, Ibnu Arabi
seorang sufi besar, Syathibi ahli qiraat, Ibnu Hazm, Ibnu Zaidun seorang
sastrawan, dan lain-lain. Kerajaan ini hilang dan tidak ada bekasnya sama
sekali, bahkan masjid yang terbesar, Cordoba, sudah kembali menjadi gereja.
Makam khalifah dan istrinya sudah digali dan tulang-tulangnya dibakar oleh
pasukan Isabela. Padahal kerajaan itu dahulu begitu besar dan kuat, melahirkan
suatu peradaban yang besar, bahkan menjadi pintu gerbang ke Eropa, dan banyak
kata-kata Arab yang masuk ke Eropa melalui Spanyol. Mengapa demikian? Setelah dianalisa
dan direnungkan, selama 800 tahun pemerintahan Bani Umayyah di Spanyol, tidak
pernah ada raja yang menghormati Ahlul Bait.
Sebaliknya, di Indonesia,
meskipun belum melahirkan ulama-ulama besar seperti di Spanyol, tetapi Islamnya
masih bertahan. Inilah bi barakati Ahlul Bait, karena umat Islam di
Indonesia masih menghormati Ahlul Bait. Tentu ini hanyalah tinjauan spiritual.
Analisa yang dilakukan bukan analisa rasional, tetapi analisa metafisis. Islam
saat ini sudah semakin mantap dan menyatu dengan kehidupan masyarakat.
Kita ketahui bahwa Dinasti
Bani Umayyah yang sudah begitu banyak merekayasa sejarah ( fitnah , tipikal syiah.red lamurkha ) hanya berkuasa selama
70 tahun, berakhir tahun 112 H dan diganti dengan dinasti Bani Abbasiyah. Dalam
masalah seperti ini, orang-orang yang rasional terkadang tidak percaya bahwa
ada barakah, ada faktor x yang bersifat metafisis dan supranatural, yang tidak
bisa dilihat dengan mata kasat ( ?! ). Hal itu tidak bisa dilihat dengan bashar tapi
harus dengan bashirah, tidak bisa dipikirkan tapi harus ditafakuri, tidak
bisa dengan akal tapi dengan ta’aqqul, tidak bisa dengan manthiq tapi
dengan dzauq, tidak bisa dengan logika tapi dengan intuisi. Kita harus
memahami itu semua ( kebanyakan baca filsafat ).
(Menghujat sahabat Muawiyah RA, membuat tasykik atau
keragu-raguan terhadap sunnah sebab Abu Hurairah
RA belasan tahun bersama Muawiyah RA. Bermuara pada eksistensi dan otoritas Bukhari; red. lamurkha )
Mudah-mudahan, dengan
berkumpulnya kita di tempat ini dengan niat yang tulus ikhlas, bukan karena
kepentingan apapun, kita semua mendapatkan barakah dan syafaat dari Ahlul Bait.
http://biografiulamahabaib.blogspot.co.id/2012/12/ceramah-prof-dr-kh-said-aqil-sirajd.html?m=0
http://biografiulamahabaib.blogspot.co.id/2012/12/ceramah-prof-dr-kh-said-aqil-sirajd.html?m=0
======================
Muawiyah
Dan Keutamaannya, Beliau Adalah Juru Tulis Rasulullah, Bahkan Dijanjikan Masuk
Surg
Keutamaan
Muawiyah, Kaum Anshar dan Siapa ( Dimana Posisi ) Kita ? ( Bagian Pertama )
Keutamaan
Muawiyah, Kaum Anshar dan Siapa ( Dimana Posisi ) Kita ? ( Bagian Kedua )
‘Aliy
bin Abi Thaalib : Mu’aawiyyah adalah Saudara Seiman, Sama dengan Dirinya
Imam
Ali: Andai Saja Muawiyah Mau Menukar 1 Orangnya Dengan 10 Syiahku
Fitnah
Terhadap Daulah Bani Umayyah
Meluruskan
Pemahaman Tentang Shahabat Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu
Sesungguhnya
Mu'awiyyah Radhiyallaahu 'Anhu Lebih Baik Bagiku Daripada Mereka Yang
Mengaku-Ngaku Sebagai Syi'ahku!!!!
Pembelaan
Salafi Ahlussunnah terhadap Kehormatan Shahabat Nabi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan
(1): SIAPA KITA, SIAPA MU’AWIYAH?
Pembelaan
Salafi Ahlussunnah terhadap Kehormatan Shahabat Nabi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan
(2): KONSPIRASI MENCABIK KEHORMATAN MU’AWIYAH BIN ABI SOFYAN
Pembelaan
Salafi Ahlussunnah Terhadap Kehormatan Shahabat Nabi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan
(3): KEUTAMAAN MU’AWIYAH KESEPAKATAN AHLUSSUNAH SEPANJANG ZAMAN
Muawiyah,
Gerbang Kehormatan Sahabat
[
Mengenang Kembali ] Muawiyyah Ibnu Abu Sofyan
Kitab
Syiah: Bagaimana pandangan Imam Ali terhadap Muawiyah?
Sikap
Ahlus Sunnah Terhadap Mu'awiyah Dan Pertikaiannya Dengan Ali
Tanggapan
Atas Artikel “Distorsi Sejarah dalam Serial Muawiyah, Hasan dan Husein”
Dialog
Indah antara Aisyah, Ali dan Muawiyah radhiyallahu anhum
Memandang
Perang Shiffin Bukan dari Mata Pendengki
Imam
Hasan, Imam Maksum Yang Dibenci Syiah, Mengapa Dia Membai'ah Muawiyah?
Surat
kepada Abu Hasan ( Penggugat ) : Muawiyah r.a – 1
Kisah
Tahkim Yang Palsu
Mengenal
Muawiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu 'anhuma
Majmu
Fatawa: Kedudukan Muawiyah dan Amr Bin Ash
Makam
Muawiyah Oleh Syi’ah Dianggap Tempat Pembuangan Sampah
Menghujat
Abu Hurairah, Syiah Menghujat Kitabnya Sendiri, Apakah Imam Syiah Menjadi Antek
Muawiyah?
Al
Isra’ Ayat 33: Muawiyah Menuntut Hukum Qisas Ke Atas Pembunuh Khalifah Usman.
Meneliti
5 Riwayat Hadits Yang Menghujat Sahabat Mu'awiyah
Tanya jawab Masalah 1:
Kita tidak pernah mengenal
Madrasah Karbala, Imam Husain, maupun keturunan Rasulullah lainnya yang menjadi
panutan para pencinta Ahlul Bait. Hal ini tidak terlepas dari proses sejarah,
ketika Dinasti Bani Umayyah selama 90 tahun melakukan rekayasa informasi
terhadap masyarakat Islam internasional, dengan memasukkan salah satu rukun
khutbah adalah mencaci maki Ahlul Bait. Dilanjutkan dengan Dinasti Abassiyah
selama 500 tahun yang juga membenci Ahlul Bait.
Di Indonesia kita mengenal
salah satu institusi yang sangat mengagungkan Rasulullah dan keluarganya, yaitu
Nahdhatul Ulama. Tetapi NU secara jam’iyah (keorganisasian) tidak pernah
melakukan revisi terhadap sejarah yang dibangun di madrasah-madrasahnya.
Sejarah yang diajarkan kepada kita tidak pernah sedikitpun menyangkut persoalan
Ahlul Bait. Kita hanya diajarkan tentang sejarah kekhalifahan, sejarah
Rasulullah dan sejarah lain yang sama sekali tidak menguatkan emosi kita. Oleh
karena itu, diharapkan NU mengadakan perombakan secara total terhadap visinya,
karena Ahlul Bait sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, berupa
tawasul, wirid, dan doa-doa.
Mengapa Ahlul Bait dikucilkan
di mata masyarakat Islam di Indonesia dan tidak mendapat tempat secara formal
dalam organisasi Islam?
Jawaban 1:
Kecemburuan, ketakutan, dan
kekhawatiran penguasa terhadap kelompok militan yang memegang Islam secara
disiplin, aqidah, sikap, pola pikir, dan perilaku sehari-hari, senantiasa
terjadi sepanjang sejarah. Dinasti Bani Umayyah memang merebut hak dari Ahlul
Bait secara dzalim, sedangkan Dinasti Bani Abbasiyah sebenarnya berasal dari
Ahlul Bait. Mereka
melakukan kampanye untuk menggulingkan Bani Umayyah, dan seorang tokoh Persia
yang berjasa besar mengkampanyekan Ahlul Bait adalah Abu Muslim al-Khurasani.
Jadi, Dinasti Bani Abbasiyah berdiri karena mengatasnamakan Ahlul Bait.
Muawiyah ketika berkuasa,
karena khawatir masyarakat akan memberontak, kemudian menyebarkan dan
mengharuskan ajaran Jabariyah (fatalisme). Para ulama diperintahkan untuk
menyebarkan ajaran tersebut, yaitu bahwa apa yang terjadi adalah kehendak
Allah. Kematian Sayyidina Ali dan keluarganya, berkuasanya Muawiyah, semua itu
merupakan kehendak Allah dan atas ridha Allah. Untuk meredam gejolak dalam
masyarakat, diajarkan khairihi wa syar’ihi minallah, baik dan buruk itu
adalah dari Allah. Tidak ada satupun ulama yang berani menentangnya, kecuali
Muhammad al- Hanafiah, putra Sayyidina Ali dari istri yang bernama Haulah binti
Ja’far dari suku Bani Hanifah. Beliau yang saat itu masih berusia 19 tahun, mengadakan majelis di
masjid Madinah, dan mengatakan bahwa perbuatan hamba Allah terhadap sesamanya
tidak tergantung qadha’ dan qodar. Apa yang terjadi adalah perbuatan Muawiyah,
tidak ada campur tangan Allah. Ajaran itu hanya merupakan manipulasi aqidah.
( ????? )
Pengikut Muhammad al-Hanafiah cukup banyak, terutama orang Persia, salah
satunya adalah Ma’bad al-Juhani. Dia bahkan mengatakan bahwa tidak ada qadha’
dan qadar, baik buruk manusia adalah dari manusia sendiri, tidak ada intervensi
dari Allah. Bahkan Allah baru mengetahuinya setelah suatu kejadian terjadi. ( ????? pemahaman sesat )
Pengikut Muhammad al-Hanafiah
yang lain adalah Wasil bin Atha’, seorang sastrawan yang cerdas. Dia adalah
pendiri mu’tazilah, yang rukunnya ada lima yaitu at-tauhid wal ‘adl, wa’du
wal wa’id, assulhu wal ashlah, al-manzilah bil manzilatain, al-amru anil ma’ruf
wannahyu ‘anil munkar. Dia
mengatakan, perbuatan hamba Allah terhadap sesamanya tidak tergantung qadha’
dan qadar, tetapi Allah mengetahuinya.
Wasil bin Atha kemudian
berguru kepada putra Muhammad al-Hanafi yang bernama Abu Hasyim, yang memegang
surat-surat rahasia berisi nama-nama yang memperjuangkan nasib Ahlul Bait. Abu
Hasyim meninggal dalam perjalanan, di rumah Ali bin Abdullah bin Abbas. Di dalam tas beliau terdapat
daftar nama-nama tokoh dari Khurasan, Persia, yang akan memperjuangkan
nasib Ahlul Bait. Surat tersebut dibawa oleh Ali bin Abdullah bin Abbas, dan
beliau menghubungi orang-orang tersebut untuk melanjutkan perjuangan Ahlul Bait
didukung oleh masyarakat Persia sehingga memperoleh kemenangan. Akhirnya lahirlah Bani
Abbasiyah yang raja pertamanya adalah Abu Abbas as-Saffah. Seluruh keluarga
Bani Umayyah dibantai kecuali satu yang lari ke Spanyol, Abdurrahman
ad-Dakhili. Jadi, sebenarnya Dinasti Abbasiyah lahir karena menggunakan Ahlul
Bait.
Disclaimer:
Panitia Madrasah Karbala
dan Peringatan Asyura, Masjid al-Mukhlishin Bojonegoro Jawa Timur, 2002.
Diposkan oleh Sya'roni
As-Samfuriy di 14.23
Oleh Maulana Mohd Asri Yusoff
Di antara tuduhan yang dilontarkan kepada
Sayyidina Muawiyah r.a ialah kononnya beliau telah melayani Bani Hasyim
terutamanya di kalangan Ahlul Bait dengan buruk dan telah bertindak kejam
terhadap mereka, selain daripada tidak pernah terjalinnya perhubungan yang
baik di antara mereka dengan Muawiyah dan seterusnya khulafa’ daripada kalangan
Bani Umaiyyah.
Alasan yang selalu dikemukakan ialah berpunca
daripada gambar sejarah yang sememangnya bercampur baur di antara kebenaran dan
kebatilan. Sebenarnya kita tidak hairan dengan riwayat sejarah yang
memuatkan cerita-cerita seumpama itu apabila kita memeriksa perawi-perawi
(pewarta-pewarta) yang merupakan sumber cerita-cerita itu.
Begitupun jika kita meneliti dengan cermat dan
saksama terhadap fakta-fakta yang terdapat di dalam kitab-kitab sejarah samada
ditinjau dari sudut riwayat mahupun dirayah dengan cepat akan teserlah di
hadapan kita kepalsuan tuduhan-tuduhan itu. Kenyataan yang dapat
disimpulkan daripada fakta-fakta sejarah itu amat bertentangan sekali dengan
tuduhan yang terdapat di dalamnya. Ini ialah kerana tak mungkin boleh
terjalinnya hubungan persemendaan sebagai menantu, besan, biras dan lain-lain
di antara dua keluarga yang bermusuhan begitu sekali seperti yang tersebut di
dalam kitab-kitab sejarah. Tidak mungkin juga orang-orang yang bermaruah
seperti individu-individu daripada kalangan Ahlul Bait terutama Hasan dan
Husain r.a boleh menerima hadiah-hadiah saguhati, cenderamata atau habuan
daripada orang yang zalim dan kejam yang sentiasa merendahkan kehormatan
mereka.
Begitu juga tidak masuk akal jika orang-orang
yang terhormat dan mulia seperti Sayyyidina Hasan dan Husain r.a boleh berulang
alik ke istana Muawiyah yang dikatakan sebagai penipu dan jahat itu kemudian
pulang dengan membawa hadiah-hadiah yang nilainya beratus-ratus ribu dirham,
kecuali jika diterima bahawa Sayyidina Hasan dan Husin dan juga Ahlul Bait yang
lain sebagai orang-orang yang gila dunia atau mata duitan.
Bagaimana mungkin kejam dan zalimnya orang yang
Sayyidina Hasan dan Husain turut serta di dalam jihad yang dilancarkannya di
samping menyandang pula jawatan-jawatan istimewa dalam kerajaan pimpinannya.
Di sini akan dikemukakan beberapa contoh dari
fakta sejarah untuk menghapuskan segala tuduhan-tuduhan palsu itu:
1) Hubungan
baik di antara Sayyidina Muawiyah dan Ahlul Bait terutama Sayyidina Hasan dan
Husain r.a.
Ibnu Katsir menulis, “Pada zaman
pemerintahannya, Sayyidina Muawiyah melayan Sayyidina Hasan dan Husin dengan
penuh mesra dan menghadiahkan kepada mereka hadiah-hadiah yang berharga. Pernah
pada suatu hari beliau menghadiahkan wang sebanyak dua ratus ribu dirham kepada
mereka berdua” (Al Bidayah wa An-Nihayah, jilid 8 m.s. 50).
Ibnu Abil Hadid menulis, “Muawiyah memberikan
habuan terutama kepada Hasan dan Husain sebanyak seratus ribu dirham. Anaknya
Yazid pula memberikan habuan tahunan kepada merka berdua sebanyak dua ratus
ribu dirham. Sebanyak itu juga diberinya kepada Abdullah bin Abbas dan Abdullah
bin Ja’afar (ipar Sayyidina Husain iaitu suami kepada Zainab, adiknya)” (Syarah
Nahjul Balaghah).
Selain daripada habuan tahunan sebanyak seratus
ribu dirham itu, Sayyidina Husain dikirimkan bermacam-macam cenderamata dan
hadiah-hadiah berharga oleh Muawiyah dan Sayyidina Husain menerimanya dengan
gembira sekali.
Sayyidina Husain berkunjung ke kediaman Muawiyah
seorang diri dan kadang-kadang bersama abangnya Hasan pada tiap-tiap tahun dan
Sayyidina Muawiyah melayani mereka dengan baik dan penuh penghormatan. Beliau
memberikan kepada mereka bermacam-macam hadiah. Selepas kewafatan Hasan,
Sayyidina Husain tetap berkunjung ke kediaman Muawiyah pada tiap-tiap tahun.
Beliau dilayani dengan baik dan penuh penghormatan oleh Muawiyah. (Al Bidayah
wa An-Nihayah, jilid 8, m.s. 150-151)
Pernah pada sutu ketika Sayyidina Hasan telah
dihadiahkan oleh Muawiyah wang sebanyak empat juta dan pada ketika yang lain
pula Sayyidina Hasan dan Husain telah dihadiahkan dua juta dirham. (Al Bidayah
wa An-Nihayah, jilid 8, m.s. 137).
Pernah Sayyidina ‘Aqil (abang Sayyidina Ali r.a)
memerlukan empat puluh ribu dirham maka beliau pergi menemui Muawiyah dan
menyatakan keperluan itu kepadanya. Muawiyah bermurah hati kepadanya dan terus
memberikan wang sebanyak lima puluh ribu dirham. (Usdul Ghabah, jilid 3, m.s.
223).
Sayyidatina Aisyah r.a pernah dikirimkan oleh
Muaiwiyah wang sebanyak seratus ribu dirham dan sebaik sahaja Aisyah
menerimanya dia terus membahagi-bahagikannya kepada orang-orang lain (yang memerlukannya)
pada hari itu juga.
Pada suatu ketika pernah Sayyidatina Aisyah
berhutang sebanyak 18 ribu dinar (Muawiyah mendapat tahu tentang itu ) maka
beliau pun menjelaskan kesemua hutang Aisyah itu.
Pernah juga Muawiyah mengirimkan seutas kalung
yang berharga seratus ribu dirham kepada Aisyah. Kiriman itu diterima oleh
Aisyah dengan gembira sekali.
Pernah Sayyidina Hussain dan Abdullah
Bin Ja’far At Thayyar menghantar utusannya kepada Muawiyah untuk meminta
bantuan kewangan daripada beliau, maka wang sebanyak sejuta dirham dikirimkan
kepada mereka. Pada ketika yang lain pula Muawiyah mengirimkan wang kepada
Sayyidina Hassan, Abdullah Bin Ja’far At Thayyar, Abdullah Bin Umar dan
Abdullah Bin Zubair sebanyak seratus ribu dirham.
Setelah mendapat tahu tentang kewafatan
Sayyidina Hassan, Muawiyah pergi menemui Abdullah bin Abbas untuk mengucapkan
takziah kepadanya. Muawiyah berkata kepada Abdullah Bin Abbas, “Semoga Allah
tidak menyedihkan dan menyusahkann hatimu atas kematian Hassan ini”. Ibnu Abbas
lantas menyahut, “Semoga Allah tidak menyedihkan dan menyusahkan hatimu selama
Allah memanjangkan umurmu”. (Al Bidayah Wa An Nihayah,jilid 8 m.s. 136 –
138.)
2) Menyandang
jawatan istimewa di dalam kerajaan Muawiyah.
Di antara individu dari Bani Hasyim ada yang
menyandang jawatan istimewa (seperti qadhi dan lain-lain) didalam pemerintahan
Muawiyah.
Di Madinah, Marwan Bin Al Hakam adalah gabenor
yang dilantik oleh Muawiyah. Ketika itu perlu adanya seorang qadhi (hakim) di
Madinah. Oleh itu, Marwan telah melantik Abdullah Bin Al Harith Bin Naufal Bin
Al Harith Bin Abdul Muttalib sebagai qadhi di Madinah. Lantaran itu sesetengah
golongan mengatakan itulah qadhi yang mula-mula dilantik di Madinah.
Ibnu Sa’ad menulis di dalam Thobaqatnya:
daripada Abi Al Ghaits, katanya: “Aku mendengar Abu Hurairah berkata”, “Setelah
Marwan Al Hakam dilantik sebagai gabenor bagi pihak Muawiyah di Madinah iaitu
pada tahun 42 Hijrah, beliau telah melantik Abdullah bin Al Harith sebagai
qadhi di Madinah. Abu Hurairah berkata, “Itulah qadhi yang mula-mula aku lihat
dalam Islam (di Madinah)”. Thobaqat Ibnu Sa’ad jilid 5 m.s. 13). Kenyatan yang
sama di dalam Tarikh At Thobari, jilid 6 m.s. 12 di bawah tajuk peristiwa yang
berlaku pada tahun 42 Hijrah.
3) Qustam
Bin Abbas r.a dan Sayyidina Hassan r.a ikut serta di dalam jihad yang
dilancarkan oleh Muwiyah di zaman pemerintahannya.
Qustam Bin Abbas terbilang di antara sahabat
kecil Rasullullah SAW. Beliau adalah saudara sesusu dengan Sayyidina Husin Bin
Ali. Beliau telah pergi ke Khurasan di zaman pemerintahan Muawiyah untuk tujuan
jihad. Kemudian beliau pergi pula ke Samarkand. Panglima perang yang beliau
ikuti di dalam peperangan itu ialah Said Bin Uthman Bin Affan. Akhirnya beliau
telah mendapat syuhada (syahid) dalam peperangan di Samarkand.
Demikian tersebut didalam Thobaqot Ibnu Sa’ad,
jilid 7, m.s. 101, Nasabu quraisyin, m.s. 27, Tahtazikri Auladi Abbas, Siaru
‘Alami An Nubala’, jilid 3 m.s. 292, Syarah Nahjul Balaghah Ibnu Abil Hadid,
jilid 5, m.s. 72.
Ahli-ahli sejarah menyebutkan dengan jelas
bahawa Sayyidina Hussin juga turut serta di dalam jihad yang dilancarkan di
zaman pemerintahan Muawiyah. Beliau menyertai jihad itu dengan suka cita dan
relahati, bukan dengan paksaan malah telah memberikan pertolongan yang
sepenuhnya dalam jihad itu.
Ibn Katsir menulis, “Setelah Sayyidina Hassan
wafat, Sayyidina Husain pada tiap-tiap tahun tetap mengunjungi Muawiyah. Beliau
dikurniakan dengan hadiah-hadiah dan dimuliakan oleh Muawiyah. Beliau pernah
menyertai angkatan tentera yang menyerang Constantinople di bawah pimpinan anak
Muawiyah iaitu Yazid pada tahun 51 H”. (Al Bidayah Wa An Nihayah, jilid 8, m.s.
151). Perkara yang sama termaktub di dalam Tahzibu Tarikhi Ibni Asakir, jilid
4, m.s. 311, Tazkirah Husain bin Ali.
4) Hubungan
persemendaan di antara Bani Umaiyyah dan Bani Hasyim
Hubungan persemendaan di antara Bani Hasyim dan
Bani Ummaiyah terjalin semenjak sebelum Islam lagi dan berterusan hingga ke
zaman-zaman pemerintahan Bani Umayyah. Daripada kenyataan-kenyataan sejarah
dapat dilihat betapa mesra dan eratnya hubungan di antara mereka.
Permusuhan dan perseteruan di antara mereka
tidak lebih daripada cerita-cerita rekaan yang dicipta oleh golongan
musuh-musuh Islam dengan tujuan membuktikan kepada dunia bahawa semangat
perkauman jahiliyah masih lagi menguasai mereka dan begitu tebal sehingga
kedatangan Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW sendiri masih gagal mencabut
sampai ke akar umbinya.
Sebaliknya daripada fakta-fakta sejarah yang
masih lagi boleh dirujuk dan dianggap muktabar samada daripada kalangan Ahli
Sunnah mahupun musuh mereka Syiah, dapat kita temui kenyataan-kenyataan yang
menyangkal dan mendustakan cerita-cerita rekaan itu.
Tidak mungkin terjadi hubungan persemendaan di
antara dua golongan yang bermusuhan dengan begitu banyak sekali dalam
keadaan perseteruan di antara mereka sampai menumpahkan darah dan
memaki hamun di antara satu sama lain di dalam khutbah-khutbah Jumaat .
Rasulullah SAW sendiri sebagai orang yang paling
terkemuka daripada Bani Hasyim telah mengahwinkan tiga orang daripada empat
orang anak perempuannya dengan Abul ‘Ash bin Ar-Rabii dan Uthman bin Affan,
iaitu dua orang yang ternama dari kalangan Bani Umayyah. (lihat Ansabul
Asraaf-Balezuri,jilid 5, ms 1,Thobaqotul Ibn Sa’ad, jilid 8, ms 166, Usdul
Al-Ghabah, jilid 5, ms 191, Al-Mustadrak, jilid 3, ms 96, Mumtahar Al Amal,
jilid 1 m.s. 9).
Aban, anak Sayyidina Uthman kemudiannya
berkahwin dengan Ummi Kulthum bt Abdullah bin Ja’far, cucu saudara Sayyidina
Ali sendiri. (Al-Ma’arif Ad-Dinawari, m.s. 86).
Sakinah, anak perempuan Sayyidina Husain dan
cucu kepada Sayyidina Ali adalah isteri kepada cucu Uthman iaitu Zaid bin Amar
bin Uthman. Bahkan beliau telah mewarisi Zaid selepas kematiannya. (Nasabu
Quraisyin Mus’ab Az- Zubairi, jilid 4, ms 120, Al-Ma’arif-Ibn Qutaibah,
m.s. 94, Jamharatu Ansabil Arab,jilid 1, m.s. 86, Thobaqat Ibn
Sa’ad, jilid 6, m.s. 349).
Cucu Sayyidina Ali iaitu Fatimah anak perempuan
Sayyidina Husain merupakan isteri kepada cucu Sayyidina Uthman yang lain
bernama Abdullah dan mereka mendapat cahaya mata bernama Muhammad hasil
dari perkahwinan itu. Perkahwinan di antara mereka berdua berlangsung
setelah Fatimah menjadi janda kepada Hassan bin Hassan bin Ali. (Lihat Thobaqat
Ibn Sa’ad, jilid 8, ms 348, Al-Ma’arif, ms 93, Nasabu Quraisyin, jilid 4, ms
114, Maqaatilu At-Tholibiyyin Al-Isfahani, m.s. 203, Nasikuh At Tawarikh, jilid
6, m.s. 534).
Kemudian cucu Sayyidina Hassan iaitu anak
Sayyidina Hassan Al-Mutsanna berkahwin pula dengan cucu Marwan bin Aban bin
Uthman. Bahkan ahli-ahli sejarah menyebutkan bahawa anak Hassan Al-Mutsanna
yang dikenali dengan Ummul Qasim ini telah mendapat cahaya mata hasil
perkahwinannya dengan Marwan tersebut, iaitu Muhammad. (Nasabu Quraisyin, jilid
2, m.s. 53, Jamharatu Ansabil Arab, jilid 1, m.s. 85, Al-Muhabbar Al-Baghdadi,
m.s. 438).
Cucu saudara Sayyidina Ali iaitu Ramlah bt
Muhammad bin Ja’far At-Thoyyar bin Abi Thalib mula-mula menjadi isteri kepada
Sulaiman bin Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan. Kemudian menjadi pula isteri
kepada Abul Qasim bin Wahid bin Uthbah bin Abi Sufian (Kitabu Al-Muhabbar, ms
449).
Ramlah anak perempuan Sayyidina Ali sendiri telah
berkahwin dengan anak Marwan bin Al-Hakam yang bernama Muawiyah. Sebelum
itu Ramlah adalah isteri kepada Abi Al-Hayyaj (Nasabu Quraisyin, ms 45,
Jamharatu Ansabil Arab, m.s. 87).
Sementara Zainab anak perempuan Hasan
Al-Mutsanna pula menjadi isteri kepada Walid bin Abdul Malik bin Marwan
Al-Umawi. (Nasabu Quraisyin, ms 52, Jamharatu Ansabil Arab, m.s. 228.
Selain daripada cicit kepada Sayyidina Ali,
Hafisah bt Zaid bin Al-Hasan bin Ali adalah isteri kepada cucu Marwan iaitu
Al-Walid bin Abdul Malik bin Marwan dan wafat sebagai isterinya. Ibunya ialah
Lubabah bt Abdullah bin Abbas. (Thobaqat Ibn Sa’ad, jilid 5, ms 234, ‘ Umdatu
At-Thalib fi ansabi’ah Abi Thalib, m.s. 70).
Hasil perkahwinan Sayyidina Husain dengan Laila
bt Abi Muruah bin ‘Urwah bin Mas’ud At-Tsaqafi telah melahirkan Ali yang
dikenali dengan Al-Ahbar yang kemudiannya terbunuh syahid bersama beliau di
Karbala. Ibu kepada Laila ini ialah Maimunah bt Abu Sufian bin Harb bin
Umayyah. Ini bererti Sayyidina Muawiyah adalah bapa saudara kepada Laila, iaitu
isteri kepada Sayyidina Husain itu. (Nasabu Quraisyin, ms 57, Tarikh Khalifah
bin Khayyat, jilid 1, m.s. 255).
Apa yang disebut ini adalah sebahagian daripada
hubungan persemendaan di antara Bani Umaiyyah dan Bani Hasyim. Itu pun sudah mencukupi
untuk menolak kekeliruan yang telah ditimbulkan. Cerita-cerita yang direka oleh
musuh-musuh Islam ini mengatakan bahawa di antara dua keluarga ini telah
tertanam permusuhan dan dendam kesumat yang amat mendalam sehingga akhirnya
mencetuskan peperangan di antara Ali dan Muawiyah, Husain, Yazid dan
seterusnya. Tetapi apabila kita melihat kepada hubungan persemendaan di antara
mereka seperti yang tersebut tadi, jelaslah bahawa cerita-cerita
yang memburukkan perhubungan mereka itu tidak berasas sama sekali.
5) Ahlil Bait berimamkan
pemimipin-pemimpin dari kalangan Bani Umayyah di dalam sembahyang
mereka
Semasa Marwan bin Al-Hakam menjadi gabenor
bagi pihak Muawiyah, beliau mengimamkan sembahyang lima waktu
di masjid. Di antara ahli jamaah yang berimamkan beliau ialah Sayyidina Hasan
dan Sayyidina Husain.
Fakta ini dapat dilihat dengan jelas di dalam
riwayat seperti di bawah ini bahkan daripada riwayat ini dapat difahami bahawa
Sayyidina Hasan dan Husain tidak mengulangi sembahyang yang telah ditunaikan
secara berjamaah di masjid dengan berimamkan Marwan bin Al-Hakam. Muhammad
Al-Baqir juga telah bersumpah bahawa mereka berdua tidak mengulangi sembahyang
yang ditunaikan secara berjamaah itu sebagai menyangkal dakwaan
setengah-setengah kalangan Syiah yang mengatakan mereka berjamaah dengan Marwan
secara taqiyyah, kemudian mengulangi sembahyang yang telah dikerjakan itu di
rumah pula.
Perhatikan riwayat ini :
Diriwayatkan daripada Ja’far As-Syadiq daripada
ayahnya, katanya, “Hasan bin Ali dan Husain selalu bersembahyang di belakang
Marwan.”. Ja’far berkata, “Kerana itu ayahnya ditanya: “Tidakkah
mereka bersembahyang semula setelah pulang ke rumah?”. Beliau menjawab, “Tidak!
Demi Allah mereka tidak melebihkan sembahyang daripada sembahyang yang telah
dilakukan dengan berimamkan para pemimpin itu”. (Al-Musannaf Ibn Abi Syaibah,
jilid 2, m.s. 378, Al-Bidayah Wa An-Nihayah, jilid 8, m.s .258).
Imam Bukhari di dalam Tarikh Soghirnya
mengemukakan riwayat tentang selalunya Sayyidina Hasan dan Husain
bersembahyang di belakang Marwan dengan berimamkannya. (At-Tarikh As-Soghir,
m.s. 57).
Ibn Sa’ad pula mengemukakan pengakuan Imam
Muhammad Al-Baqir tentang beliau dan ayahnya, Ali Zainal Abidin
sentiasa bersembahyang dengan berimamkan pemimpin-pemimpin daripada kalangan
Bani Umaiyyah. Beliau berkata, “Sesungguhnya kami bersembahyang dengan
berimamkan mereka tanpa taqiyyah dan aku bersaksi bahawa Ali bin Husain
(ayahnya) selalu bersembahyang berimamkan mereka tanpa taqiyyah’. (Thabaqat Ibn
Sa’ad, jilid 5, m.s. 158).
Kitab-kitab Syi’ah pula menjadi saksi di dalam
perkara ini. Di antaranya ialah kitab Biharu Al-Anwar apabila ia mengemukakan
riwayat-riwayat yang seerti dengan yang dikemukakan oleh kitab-kitab Ahli
Sunnah Wal Jamaah. Antara lain riwayat itu bermaksud : Daripada Musa bin Jaafar
daripada ayahnya, katanya : “Hasan dan Husain selalu bersembahyang
di belakang dengan berimamkan Marwan bin Al Hakam. Maka mereka (Syiah) bertanya
beliau, “Adakah datuk dan nenek tuan bersembahyang semula apabila pulang ke
rumah?” Beliau menjawab, “Tidak! Demi Allah mereka tidak menambah lagi
sembahyang yang telah dikerjakan”. (Biharu Al Anwar, Al Majlisi, jilid 10, m.s
.139-141).
Selain daripada sembahyang fardhu yang lima itu,
pemimpin-pemimpin daripada kalangan Bani Umaiyyah juga mengimamkan sembahyang
jenazah daripada kalangan Ahlul Bait yang telah meninggal dunia. Perkara
ini tersebut dengan jelas di dalam kitab-kitab sejarah, antaranya ialah
Al-Bidayah Wa An Nihayah, Al Isti’aab, Al Isabah dan Thabaqat Ibn Sa’ad.
Sejarah membuktikan bahawa Aban bin Uthman
ketika menjadi gabenor di Madinah bagi pihak Abdul Malik bin Marwan pernah
diminta menyembahyangkan jenazah Muhammad bin Ali yang terkenal dengan Muhammad
bin Al Hanafiah oleh anaknya sendiri iaitu Abu Hasyim Ali. (Thabaqat Ibn Sa’ad,
jilid 5, m.s. 86). Selain itu beliau juga pernah menyembahyangkan jenazah anak
saudara Sayyidina Ali, iaitu Abdullah bin Jaafar At Thoyar. (Al Isobah, jilid
2, m.s. 281, Al Isti’aab, jilid 2, m.s. 287 dan Usdu Al Ghobah, jilid 3, m.s.
135)
Penerimaan baik pemimpin-pemimpin daripada
kalangan Bani Umaiyyah oleh pihak Bani Hasyim bukanlah suatu yang baru ketika
itu kerana sebelum itu pun ayahanda kepada Aban iaitu Sayyidina Uthman bin
Affan telah mengimamkan sembahyang jenazah bapa saudara Rasulullah SAW dan juga
bapa saudara kepada Sayyidina Ali iaitu Abbas bin Abdul Mutalib. (Al Bidayah Wa
An Nihayah, jilid 2, ms 162, Al Isti’aab, jilid 3, ms 100).
Itulah sedikit daripada
gambaran hubungan baik di antara Bani Umaiyyah dan Bani Hasyim. Mereka
sebenarnya merupakan dahan-dahan dan ranting-ranting daripada pohon yang sama.
Mereka telah bekerjasama dan berganding bahu dalam menegakkan dan menyebarkan
Islam. Jikalau ada pun permusuhan di antara mereka , itu adalah permusuhan di
zaman jahiliyyah tetapi setelah kedatangan Islam, api permusuhan yang
bernyala-nyala di zaman jahiliyyah itu terpadam oleh limpahan cahaya Islam yang
mencurah-curah yang turun dari Tuhan Semesta Alam.
http://www.darulkautsar.net/article.php?ArticleID=177
http://www.darulkautsar.net/article.php?ArticleID=177
Islam Timur Tengah vs Mahabharata versi Jawa
Zulkarnain El Madury
Menyimak cerita putra Pandu, yg melahirkan
kisah Pandawa lima dari negeri asalnya jauh berbeda dengan putra pandu versi
jawa manakala dikemas dialektika jawa. Kalau versi negeri asalnya (india) putra Pandu yg dimainkan oleh para aktor India, filmnya menggambarkan
tokoh tokoh mahabarata secara narsis, antagonis dan egois,
namun beda dengan versi Jawa, yg muncul adalah aktor aktor
yang menampilkan sosok dan karakter lembut para tokoh mahabarata, seperti
Bisma, Yudistira, arjuna, juga bentuk cerita yg diolah dengan
kebiasaan jawa, jauh berbeda dengan negeri asalnya yg pemerannya menggarbarkan
tokoh tokoh dalam cerita Mahabarata secara Narsis. Ini juga Islam yg lahir di
Arab, yg bisa kita baca dalam sejarah Islam. Sejarawan Indonesia berusaha menampilkan
Islam dengan sosok Islam dengan sosok dan karakter jawa. berbagai peristiwa
penting yg terjadi di jaman Rasulullah yg berkaitan dengan wahyu Allah kepada
Nabi Muhammadiyah diadopsi untuk melahirkan Islam walisongo, yg jauh berbeda
denga retorika sejarah Islam versi arab. Para sejarawan jawa berusaha
menampilkan Nabi dan sahabatnya menurut versi mereka, sehingga dibuat
berbagai tasir terhadap kisah kisah nabi Muhammad dan para Sahabatnya. Sebagai
sebab reduksi sejarah asal, terjadi dialektika sejarah yg berbeda,
baik karakter para tokoh atau cara mensikapi ceritanya Tidak heran bila
kemudian cerita Islam tidak sama dengan karakter Islam yg sebenarnya, membuat
Islam lahir di Indonesia berbeda beda versi menurut karakter daerahnya. Yang
biasa nonton Film Mahabharata atau Bharata yuda versi Jawa, coba
bandingkan dengan film versi India, akan banyak prilaku yg tidak sama dalam
memerankan tokoh cerita, meskipun ceritanya sama. Begitulah Islam Timur
Tengah, atau agama apapun yg asalnya diluar negeri, ketika
diperankan oleh orang indonesia, terutama jawa, maka yg mencuat
kepermukaan adalah pemeran agama yg berobsesi agama harus di Indonesiakan.
Tidak heran kalau muncul berbagai label Islam berlatar belakang kesukuan yang
ada di Indonesia. Akibatnya Islam di Indonesia terdiri dari beberapa versi,
sesuai dengan pemeluk Islam dimana dilahirkan.
http://www.kompasiana.com/iskandariyah/islam-timur-tengah-vs-mahabharata-versi-jawa_5621722b5b7b61740d21466a
KH Said Aqil Siradj: Karakter Bangsa Indonesia Lebih Baik
Dibanding Timur Tengah
Selasa, 17/05/2016 08:56:37
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH
Said Aqil Siradj mengatakan, para kyai memiliki peran besar dalam membangun
karakter bangsa. Ini terbukti, kata Said, meskipun memasuki era globalisasi
tetapi budaya bangsa Indonesia tidak banyak yang berubah.
Menurut dia kondisi tersebut sangat jauh berbeda
dengan ulama Timur Tengah, begitu memasuki era globalisasi para pemuda bangsa
Arab yang sekolah di Amerika Serkat dan Eropa saat pulang ke negerinya
masing-masing mereka berubah.
"Namun, bangsa Indonesia tidak. Memang juga ada
yang berubah tetapi sedikit. Mereka pulang sekolah dari luar negeri tetap
memiliki karakter sebagai bangsa Indonesia," kata Said dalam pengajian
umum dalam rangka haul dan khataman di Pondok Pesantren Raudhatut Thullab, Wonosari,
Tempuran, Kabupaten Magelang, Jateng, Senin malam (16/05/2016).
Menurut Said Aqil, karakter bangsa Indonesia masih
lebih baik dibanding Timur Tengah yang budayanya hancur.
Sebelumnya, Said Aqil memaparkan bila kyai kampung
memiliki peran besar terhadap pembangunan karakter bangsa. "Para kiai
memiliki andil besar dalam pembangunan karakter, jati diri, dan kepribadian
bangsa ini," katanya
Ia mengatakan pertahanan dan ketahanan budaya harus
diperkuat dalam menghadapi era globalisasi.
Ia menuturkan para ulama, kiai terutama kiai kampung
setiap malam ceramah, mengaji jangan dikira kecil peranannya.
"Mereka ikut membangun karakter bangsa Indonesia
sehingga dalam memasuki era globalisasi yang sangat ekstrem ini masih banyak
umat Islam yang tidak terpengaruh arus globalisasi hasil andil para kyai
membangun masyarakat," katanya.
red: farah abdillah
sumber: antara