Membongkar Hakekat Syi’ah – Imam
syi’ah yang konon memiliki banyak mukjizat, ternyata masih harus bertaqiyah,
menyembunyikan kebenaran karena takut. Apa yang ditakutkan oleh Imam Syi’ah
yang konon adalah manusia paling pemberani di jamannya? Al Mufid [seorang ulama
Syi’ah] mengatakan: seorang imam harus bersifat paling pemberani di antara
umatnya [Al Iqtishad hal 312]
Para pemalsu riwayat dari
ahlulbait membuat ajaran baru yang dapat menjaga dan memelihara kebohongan
mereka. Tetapi sebenarnya ajaran ini dapat menghancurkan/mengungkap kebatilan
prinsip imamah, bahkan membuat agama menjadi batil, ajaran ini adalah taqiyah,
atau kebohongan yang dilakukan dengan sengaja.
Mereka yang memalsu riwayat dari
para imam tidak tinggal di tempat yang sama, juga hidup pada jaman yang
berbeda-beda, juga tidak sepakat atas satu pendapat, jika ada seseorang
memalsukan riwayat dari imam, ada juga orang lain yang memalsu riwyat dari
imam, yang mana dua riwayat tu aling bertentanga, jalan keluar sudah siap:
salah satu yang berbohong melakukan taqiyyah
Taqiyyah dalam Islam
Taqiyyah dalam terminologi syi’ah
bukanlah taqiyyah yang diperbolehkan oleh Allah pada saat dalam ketakutan
–Allah tidak mewajibkan taqiyah-, tetapi syi’ah beranggapan bahwa taqiyah
adalah wajib, yang meningaglkan taqiyah sama dengan meninggalkan agama –menurut
riwayat yang ada-.
Sedangkan taqiyah yang sah dalam
Islam, bisa jadi seorang muslim hidup hingga meninggal dunia sedangkan dia
belum pernah melakukan taqiyah, karena hukumnya mubah, bukan sebuah kewajiban.
Allah berfirman:
Barangsiapa yang kafir kepada
Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orangyang
dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa),
akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan
Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. (QS. 16:106)
Thabari menukil riwayat dari Ibnu
Abbas, dia mengatakan : Allah memberitahukan bahwa orang yang kafir setelah
beriman, maka dia akan terkena murka dari Allah dan siksa yang pedih, tetapi
siapa yang dipaksa dan mengucapkan kekafiran tetapi hatinya tetap beriman, agar
bisa selamat dari musuh, maka hal itu tidak mengapa, karena Allah hanya menilai
seorang hamba dengan apa yang diyakini oleh hati. Dari Tafsir Thabari
Allah berfirman:
Janganlah orang-orang mu’min
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mu’min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya
kepada Allah kembali (mu). (QS. 3:28)
Thabari juga menukil riwayat dari
Ibnu Abbas: Allah berfirman () Allah melarang orang beriman untuk berlemah
lembut terhadap orang kafir, atau menjadikan mereka sebagai teman dekat,
bukannya orang beriman, kecuali ketika orang kafir dalam kondisi kuat, maka
boleh memperlihatkan sikap lemah lembut pada mereka, dengan tetap menyelisihi
agama mereka, inilah yang dimaksud dalam firman Allah : ()
Kedua ayat di atas menjelaskan
hukum asal, lalu menambahkan perkecualian, maka menunjukkan hukum perbuatan itu
adalah mubah, bukanlah sebuah perintah dan ajaran agama yang diwajibkan,
seperti jelas dimaksud dalam ayat di atas
Inilah taqiyah dalam Islam.
Taqiyah menurut syi’ah
Menurut syi’ah, taqiyyah adalah
agama itu sendiri, terdapat banyak riwayat yang konon bersumber dari ahlul
bait, di antaranya:
Ja’far As Shadiq mengatakan:
taqiyah adalah 9 dari 10 bagian agama.
Ja’far juga mengatakan: tidak ada
agama bagi yang tidak bertaqiyyah,
Begitu juga riwayat dari Abu
Ja’far, yang mengatakan: Taqiyyah adalah agamaku dan agama kakek-kakekku.
Riwayat-riwayat ini tercantum dalam kita Al kafir, Bab Taqiyyah, jilid 2 hal
217. Tidak mungkin ahlul bait mengucapkan demikian.
Ulama syi’ah telah sepakat
menekankan ajaran ini, bahkan menganggapnya sebuah rukun yang harus dikerjakan,
seperti halnya shalat.
Ibnu Babawaih Al Qummi, salah
seorang ulama besar syi’ah, mengatakan: kami meyakini bahwa taqiyah adalah
wajib, siapa yang meninggalkannya sama seperti meninggalkan shalat. [Al
I’tiqadat hal 114]
Begitulah, taqiyah yang berarti
menipu dijadikan sebagai ajaran agama yang
dapat mendekatkan diri pada Allah, bahkan menipu ini menjadi 90% dari agama,
ini artinya orang yang selalu berbohong dan menipu dalam ucapan dan
perbuatannya setiap hari maka telah melakukan 90% ajaran agama.
Celakanya lagi, menipu seperti
ini bukan hanya ajaran dari seorang imam saja, bahkan telah menjadi agama
seluruh keluarga Nabi, termasuk di dalamnya Nabi sendiri, seperti tercantum
dalam riwayat mereka, akan lain persoalannya jika para imam tidak mengaitkan
ajaran itu dengan ajran Nabi, dan menganggap ajaran agama mereka bukan agama
yang dibawa oleh Nabi, inilah yang kita pahami dari ucapan imam syi’ah: [dan
agama kakek kakek saya].
Apakah ad orang berakal yang
dapat menerima hal ini dan menganggap taqiyah atau menipu adalah ajaran Allah
yang diturunkan untuk memperbaiki akhlak dan menanamkan nilai kejujuran, sikap
terus terang dan memperlakukan manusia dengan jujur, dalam perilaku manusia
agar kehidupan menjadi tenteram dan berkembang dalam kerangka amanat, kejujuran
dan terus terang?
Anggap saja kita percaya dengan
riwayat di atas, apa konsekuensinya?
Meyakini hal di atas memiliki
beberapa konsekuensi :
1. berarti agama yang diturunkan oleh Allah
adalah agama taqiyah atau menipu
menipu adalah perbuatan tercela
yang dibeni oleh seluruh agama dan masyarakat di dunia ini, bahkan pada jaman
jahiliyah sekalipun, yang mana pada jaman jahiliyah seseorang merasa gengsi
untuk menipu, apalagi menjadikan menipu dalam rangka untuk mencari pahala,
apakah masuk akal Allah menurunkan ajaran agama yang mana 90% dari ajaran itu
adalah menipu?
2. jika memang taqiyah adalah ajaran agama,
orang yang tidak bertaqiyah tidak beragama alias kafir, juga taqiyah adalah
ajaran selurhu ahlulbait, dan taqiyah adalah 9 dari 10 ajaran agama, bagaimana
kita bisa percaya bahwa Nabi telah menyampaikan seluruh ajaran agama, bisa jadi
Nabi menyembunyikan sebagian ajaran agama karena bertaqiyah, karnea taqiyah
adalah ajaran agama Nabi, seperti tercantum dalam riwayat syi’ah,
astaghfirullah, tidak mungkin Nabi dan ahlul bait meyakini seperti itu.
3. jika memang taqiyah adalah ajaran agama apa
yang menjamin segala sabda Nabi bukan merupakan taqiyah? Padahal yang benar
adalah berlawanan dari yang disabdakan oleh Nabi?
4. jika memang taqiyah adalah ajaran agama,
siapa yang menjamin bahwa para imam tidak bertaqiyah?
5. jika memang taqiyah adalah ajaran agama,
lalu apa gunanya imam? Karena tujuan dari adanya imam adalah untuk menyampaikan
kebenaran kepada umat manusia, tetapi jika imam malah menyembunyikan kebenaran
dan meremehkan agama untuk keselamatan pribadinya lalu apa gunanya dia menjadi
imam?
6. jika memang taqiyah adalah ajaran agama
lalu bagaimana kita bisa membedakan bahwa imam melakukan suatu perbuatan dalam
keadaan bertaqiyah atau tidak? Bagaimana kita bisa menyelesaikan perselisihan
dan perbedaan pendapat yang timbul akibat perbuatan imam?
Sedangkan menurut syi’ah, salah
satu fungsi dari keberadaan imam adalah untuk menyelesaikan perbedaan pendapat
dan perselisihan, tetapi imam malah dengan sengaja menimbulkan perbedaan
pendapat baru, karena mengajarkan ajaran atau melakukan perbuatan yang tidak
sesuai dengan kebenaran –karena bertaqiyah- akhirnya membuat pengikutnya
menjadi bingung dan bersilang selisih.
Imam memerlukan pengikutnya untuk
menyelesaikan perbedaan.
Maka imam memerlukan pengikutnya
agar mereka dapat meramalkan ucapan imam, mana yang taqiyah dan mana yang
tidak, maka pengikut para imam menyusun kitab yang menerangkan bahwa ini adalah
taqiyah dan ini adalah tidak, seperti At Thusi yang menyusun dua judul kitab;
tahzzhib dan istibshar, yang disusun khusus untuk tujuan di atas.
Pengikut imam memiliki keberanian
lebih daripada para imam, karena si pengikut berani berterus terang mengucapkan
apa yang tidak berani diucapkan oleh para imam, dan para pengikut itulah yang
dapat memberi manfaat pada umat daripada imam, karena merekalah yang
menyelesaikan perbedaan pendapat, bukannya para imam.
At Thusi –yang juga dijuluki oleh
syiah dengan syaikhut tha’ifah- menuliskan pada pengantar kitab Tahzibul Ahkam:
Kawan-kawan yang memiliki hak
yang harus kami tunaikan pada mereka, mereka menyebutkan perbedaan dan
kontradiksi yang ada pada hadits-hadits mazhab kami, sampai setiap hadits yang
ada pasti ada hadits lain yang membantahnya, dan hal itu dijadikan sebagai
bahan untuk menyerang mazhab kami, bahkan membuat musuh dapat menerangkan
kebatilan mazhab kami, …..
Beberapa baris kemudian At Thusi
menambahkan:
Dia menemui beberapa kelompok
yang tidak memiliki pemahaman yang kuat tentang hadis dan makna-makna lafal
hadits, banyak dari mereka keluar dari mazhab yang benar ini, karnea mereka
tidak dapat memecahkan keraguan yang ada akibat kontradiksi itu, saya mendengar
syaikh Abu Abdullah menyebutkan bahwa Abu Husein Al Harudi Al Alawi dia memeluk
mazhab kebenaran –syi’ah- dan beriman pada imamah, lalu keluar dari mazhab
karena tidak bisa memecahkan keraguan yang timbul akibat kontradiksi hadits
yang ada pada kami, dia meninggalkan mazhab kebenaran dan memeluk mazhab lain
karena tidak bisa memecahkan kontradiksi yang ada [tahzibul ahkam jilid 1 hal
2-3]
Lihatlah bagaimana syaikh thaifah
mengakui bahwa setiap riwayat pasti ada riwayat yang membantahnya, yang membuat
akal sebagian syi’ah bekerja kembali lalu meninggalkan mazhab syi’ah, seperti
dijelaskan di atas.
Mengapa imam yang datang kemudian
tidak menjelaskan taqiyah yang dilakukan oleh imam sebelumnya?
Jika seorang imam yang terdahulu
mengeluarkan sebuah fatwa atau keputusan yang mengandung taqiyah mengapa imam
yang datang kemudian tidak memberitahukan pada pengikut syi’ah bahwa fatwa atau
ucapan ayahnya itu adalah taqiyah? Mengapa tetap ada riwayat yang kontradiktif?
Padahal imam yang datang setelah imam yang terdahulu dan tidak menjelaskan
taqiyah yang dilakukan oleh imam sebelumnya, hingga kemudian ulama syi’ah
menyimpulkan sendiri tanpa adanya bukti otentik dari para imam, hanya
menggunakan perkiraan, kita tidak tahu apakah ucapan ulama ini benar atau
tidak.
Dari keterangan di atas, kita
bisa amenyimpulkan bahwa ulama syi’ah lah yang sebenarnya layak disebut sebagai
imam, karena dialah yang menyelesaikan perselisihan yang timbul akibat fatwa
imam yang kontradiktif. Bahkan ulama syi’ah bisa disebut sebagai “imam nya para
imam” karena menyelesaikan kontradiksi yang timbul dari ucapan seluruh imam
syi’ah.
Para imam syi’ah yang membuat
orang jadi bingung, hingga sebagian pengikut syi’ah keluar dari syi’ah karena
kontradiksi dari para imam, sebenarnya mereka tidak layak disebut imam.
Kami ahlussunnah meyakini bahwa
para imam syi’ah terlepas dari seluruh kebohongan yang kontradiktif di atas,
tetapi kami hanya mengomentari riwayat dari kitab-kitab syi’ah.
7. mana sifat berani para imam, yang konon
salah satu syarat imam adalah orang yang paling pemberani? Seperti sifat imam
menurut syi’ah.
Al Mufid mengatakan: seorang imam
harus bersifat paling pemberani di antara umatnya [Al Iqtishad hal 312]
Apakah imam yang menyembunyikan
kebenaran bisa dianggap pemberani?
Apakah kita bisa mempercayai
ucapan imam Syi’ah? Jangan-jangan dia bertaqiyah? Bagaimana cara membedakan
ucapan imam yang diucapkan saat bertaqiyah dan tidak?
Taqiyah dan Ilmu Ghaib
Banyak riwayat syi’ah menyatakan
bahwa para imam memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal ghaib?
Imam menjawab pertanyaan dengan
taqiyah karena takut fatwanya didengar oleh mata-mata, akhirnya imam berbohong
dalam fatwanya untuk menipu si penanya seolah-olah dia bukanlah imam atau
ulama, tapi orang jahil atau pengikut ahlussunah.
Kitab syi’ah memuat ratusan
riwayat yang menegaskan bahwa para imam syiah mengetahui apa yang ghaib,
mengetahui apa yang sudah terjadi dan apa yang terjadi di masa depan, jika dia
ingin mengetahui sesuatu maka dapat segera mengetahui, apakah imam tidak tahu
apakah orang yang datang bertanya apakah dia merupakan pengikutnya atau bukan?
Al Kulaini dalam Al kafi
menjelaskan : Bab Jika para imam ingin mengetahui hal ghaib maka mereka pasti
mengetahui [Al Kafi jilid 1 hal 258]
Bab para imam alaihimussalam
mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang akan terjadi, tidak ada sesuatu yang
tidak mereka ketahui [Al Kafi jilid 1 hal 260]
Bab para imam jika mereka
dihalangi mereka akan memberitahu tentang pribadi setiap orang, positif dan
negatifnya [AL Kafi jilid 1 hal 264]
Lalu kemana ilmu yang mereka
miliki, karena para imam memberi fatwa bohong pada penanya karena takut
jangan-jangan si penanya adalah mata-mata.
Imam sengaja menyembunyikan
kebenaran
Si penanya yang ditipu oleh imam
dengan jawabannya tadi, dia beribadah pada Allah dengan kebohongan yang
diyakininya sebagai kebenaran, karena jawaban itu keluar dari imam yang
ditunjuk langsung oleh Allah. Lalu apa dosa si penanya, dia telah datang kepada
imam dengan niat untuk bertanya tentang ajaran agamanya, dia ingin meribadah
pada Allah dengan mengikuti kebenaran yang diturunkan oleh Allah, yang hanya
ditanyakan kepada imam maksum yang terjaga dari kebohongan, kesalahan, baik
sengaja maupun tidak –seperti diyakini syi’ah- tapi ternyata sang imam menipu
si penanya dengan sengaja dan memberitahukan jawaban yang batil –karena
taqiyah-.
Jika imam tidak bisa mengucapkan
kebenaran lebih baik diam saja Lalu jika memang imam tidak dapat mengucapkan
kebenaran lebih baik diam saja, dan tidak mengucapkan hal yang batil. Allah
berfirman:
Katakanlah:”Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung”.
(QS. 10:69)
(Bagi mereka) kesenangan
(sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami
rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka. (QS.
10:70)
Katakanlah:”Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung”.
(QS. 10:69)
(Bagi mereka) kesenangan
(sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami
rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka. (QS.
10:70)
Sesungguhnya yang mengada-adakan
kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan
mereka itulah orang-orang pendusta. (QS. 16:105)
Mereka yang berdusta atas nama
Allah dan mengatakan bahwa ini adalah ajaran agama Allah, hanya untuk
menyelamatkan jiwanya, padahal mereka diperintahkan untuk menyampaikan ajaran
agama, mereka adalah orang yang berbohong atas nama Allah, hendaknya mereka
bersenang-senang sebentar saja lalu mereka akan kembali kepada Allah menghadapi
ancaman siksa yan gpedih. – sudah pasti ahlulbait tidaklah demikian-
Nabi Muhammad saw mensabdakan :
barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir, hendaknya mengatakan yang baik
atau lebih baik diam saja. Riwayat Bukhari hadits no : 55559, Riwayat Muslim,
hadits no 67.
Kontradiksi dari imam maksum
Mari kita simak bersama kisah
yang diriwayatkan oleh An Naubakhti –seorang ulama syi’ah- dari salah seorang
imam syiah, :
Seseorang dari syi’ah bernama
Umar bin Riyah pergi menghadap imamnya untuk bertanya, setelah diberi fatwa
Umar kembali pada sang imam keesokan harinya dan menanyakan padanya pertanyaan
yang sama dengan yang ditanyakan kemarin, teapi sang imam menjawabnya dengan
jawaban yang berbeda, lalu Umar mengatakan pada sang imam: jawaban ini berbeda
dengan jawaban engkau tahun lalu
Lalu Imam berkata: jawabanku
adalah karena taqiyah, lalu Umar mulai meragukan kedudukannya sebagai imam,Lalu
dia pergi dan menemui salah seorang penganut syi’ah yang bernama Muhammad bin
Qais, dan menceritakan apa yang dialaminya: Allah mengetahui bahwa saya hanya
bertanya karena berniat untuk beribadah kepada Allah dengan jawaban itu, maka
tidak ada alasan baginya untuk bertaqiyah kepadaku, Muhammad bin Qais bertanya:
barangkali ada orang lain yang ada bersamamu, barangkali dia bertaqiyah karena
ada orang itu.
Umar menjawab: tidak ada orang
lain saat aku bertanya pada imam, tetapi imam menjawab pertanyaanku dengan
ngawur, dia tidak ingat jawabannya saat kutanya tahun lalu, lalu Umar tidak
lagi percaya bahwa imam itu benar-benar imam, lalu mengatakan: tidak mungkin
imam memfatwakan hal yang keliru.
[Firaqus Syi’ah hal 59-61]
Demi Allah, sungguh benar, tidak
mungkin seorang imam mengeluarkan fatwa yang batil,apakah syi’ah menyadari hal
ini dan mengingkari riwayat yang menjelek-jelekkan keluarga Nabi?
Kulaini telah meriwayatkan dari
Zurarah bin A’yun; saya bertanya pada Abu Ja’far tentang sebuah masalah, lalu
dia menawab pertanyaanku, lalu datang seseorang menanyakan padanya pertanyaan
yang sama dengan pertanyaanku, tapi Abu Ja’far memberikan jawaban berbeda dari
jawabanku, lalu datang lagi seseorang dan menanyakan pertanyaan yang sama, lalu
Abu Ja’far menjawabnya dengan jawaban yang berbeda dengan jawaban bagiku dan orang
yang pertama, setelah dua orang itu keluar, saya bertanya: Wahai Putra
Rasulullah, dua orang penduduk Irak, keduanya adalah syi’ahmu, mereka bertanya
mengapa engkau jawab dengan jawaban yang berbeda?
Imam menjawab: wahai Zurarah, ini
lebih baik bagi kami dan kalian, jika kalian sepakat atas sebuah perkara, maka
manusia akan mengenal hakekat kami, akhirnya kami dan kalian akan cepat punah
[Ushul Al Kafi, jilid 1 hal 65]
Ini adalah satu contoh dari
puluhan kontradiksi dalam fatwa. Apakah benar para imam berbohong?
Tidak mungkin para imam
berbohong, itu bukanlah akhlak para imam keluarga Nabi
Lalu jika orang tahu bahwa
taqiyah adalah ajaran agama, maka bagaimana mereka bisa percaya pada ucapan
imam mereka, bagaimana mereka bisa mengetahui apakah imam sedang bertaqiyah
atau tidak saat berfatwa.
Syi’ah yang tidak mengetahui
kebenaran mengamalkan yang berbeda dari ajaran ahlussunnah.
Lau mereka yang memalsu riwayat
ingin memisahkan syi’ah dari umat Islam lainnya, mereka membuat riwayat palsu
yang memberi jalan keluar bagi mereka yang tidak dapat bertanya pada imam, atau
tidak mengetahui mana yang benar dari dua jawaban , mereka harus melihat amalan
ahlussunnah, lalu mengerjakan amalan yang menyelisihi mereka.
Mereka meriwayatkan dari Ja’far
As Shadiq, ada orang yang bertanya padanya: jika kami mendapati salah satu dari
dua hadits yang sesuai dengan ajaran kaum awam (ahlussunnah) dan satu riwayat
lagi berlawanan dengan amalan mereka, riwayat mana yang kami amalkan? Ja’far As
Shadiq menjawab: yang menyelisihi kaum awam (ahlussunnah) adalah kebenaran
[Ushul Al kafi jilid 1 hal 67-68, Man La Yahhuruhul Faqih jilid 3 hal 5, At
Tahzhib jilid 6 hal 103, Al Ihtijaj hal 194, Wasa’ilu As Syi’ah jilid 18 hal
75-76]
Ini adalah kaedah yang aneh dari
mazhab syi’ah, Allah dan keluarga Nabi terlepas dari hal ini.
Kata saya: lalu apa perlunya
penanya pergi bertanya pada imam? Dia hanya perlu melihat amalan ahlussunnah,
lalu mengamalkan amalan yang berbeda dari ahlussunnah.
Taqiyah membuat imam tidak
diperlukan lagi
Lalu jika imam memang ditunjuk
oleh Allah langsung untuk mengawal agama dan menyampaikannya pada manusia,
mengapa imam perlu bertaqiyyah? Jika syi’ah menganggap imam perlu bertaqiyah
agar tidak dibunuh, tidak dipenjara dan disiksa, bukankah ini adalah misi imam
yang harus disampaikan kepada manusia seperti dilakukan oleh para Nabi walaupun
memiliki konsekuensi berat seperti dibunuh dan disiksa karena Nabi dilarang
meninggalkan perintah hanya karena takut pada manusia(yaitu) orang-orang yang
menyampaikan risalah-risalah Allah mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada
merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah
sebagai Pembuat Perhitungan. (QS. 33:39)
Apakah disebutkan dalam Al Qur’an
ada seorang Nabi yang melakukan taqiyah dan tidak menjelaskan risalah Allah
pada kaumnya?
Padahal syi’ah menganggap jabatan
imamah sama seperti jabatan kenabian –mestinya imam sama seperti Nabi dalam hal
keberanian dan kesabaran- maka imam harus menyampakan kebenaran walaupun
berakibat dia dibunuh karena agama dan ekeridhoan Allah lebih berharga dari
dirinya, apa gunanya Nabi –atau imam- hidup sedangkan agama Allah tidak
tersampaikan?
Jika memang imam sama seperti
pengikutnya, tidak bertanggung jawab atas penyampaian agama lalu apa gunanya
jadi imam?
Juga mengapa imam perlu
bertaqiyah padahal imam memiliki kekuatan yang luar biasa yang tidak
terbayangkan, bahkan seluruh alam adalah di bawah kekuasaannya? Seperti
anggapan syi’ah.
Terakhir, silahkan telaah kitab
Madinatul Ma’ajiz, karangan Sayid Hasyim Al Bahrani, anda akan terheran-heran
karena dalam kitab itu disebutkan bahwa Ali memiliki lebih dari lima ratus
mu’jizat. Mengapa mu’jizat itu tidak digunakan untuk memenangkan agama?
Orang-orang yang dianggap oleh
syi’ah sebagai imam adalah manusia biasa, mereka hidup sebagaimana orang
beriman lainnya, merka adalah orang shaleh dan ahli ibadah, merka tidak ada
hubungannya dengan imamah dan tidak pernah mengaku-aku menjadi imam, hanya ada
orang-orang yang menjual mereka dan padahal mereka tidak pernah mengatakan hal
itu, juga mereka tidak memiliki mu’jizat, jika memang mereka memiliki mu’jizat
maka keadaannya akan berbeda, sudah pasti mereka akan melawan mereka yang
mengganggu dan menjual omongan mereka, kelak nanti di hari kiamat apa yang ada
dalam dada akan dibongkar,mereka yang mati akan dibangkitkan, ornag yang
pembohong dan pendosa akan dihukum.
Akhirnya, bagaimana sikap ulama
syi’ah yang memberikan fatwa pada umat syi’ah?
Apakah mereka akan bertaqiyah
seperti imam mereka? Jika mereka bertaqiyah bagaimana kita bisa percaya pada
ucapan mereka? Jika mereka tidak bertqiyah mengapa mereka tidak melakukannya?
Apakah mereka lebih berani daripada para imam, ataukah mereka tidak meyakini
kewajiban taqiyah?
Jika mereka tidak meyakini
kewajiban taqiyah, para imam melakukannya, mengapa ulama syi’ah mengaku sebagai
pengikut imam ahlulbait lalu tidak bertaqiyah seperti mereka?
Kita ketahui dalam sejarah bahwa
syi’ah selalu hidup dalam ketakutan, kecuali pada masa kerajaan Bani Buwaih dan
dinasti Shafawi serta masa sekarang ini, selama kurang lebih tiga puluh tahun
terakhir?
Padahal taqiyyah adalah ajaran
agama, seperti tercantum dalam riwayat dari para imam dan pernyataan ulama
syi’ah. Taqiyah akan menjatuhkan kehormatan para ulama dan membuat manusia ragu
atas fatwa mereka. Jika ulam asyi’ah tidak bertaqiyah maka hal adalah pelecehan
terhadap apra imam, karena ternyata pengikut para imam lebih pemberani
dibanding para imam itu sendiri yang melakukan taqiyah untuk menyelamatkan jiwa
mereka.
Kita memohon pada Allah agar
membuat kita melihat kebenaran sebagai kebenaran serta memberi karunia pada
kami agar dapat mengikutinya, dan agar membuat kita melihat kebatilan sebagai
kebatilan, dan memberi karunia pada kami agar menghindarinya.
Sumber: arrahmah.com