Oleh M. Sholich Mubarok - Jun 30, 2016
Ilustrasi: hdfreewallpaper.net
Tanpa terasa, tahun demi tahun
berlalu cepat melewati rumah tangga Muhammad bin Abdullah. Anaknya yang tertua
telah menjadi putri remaja, berkembang sebagai bunga mawar mengorak kelopak
dengan indahnya. Sehingga pemuda-pemuda putra para bangsawan Mekah tergiur
hendak memetiknya. Mengapa tidak? Bukankah Zainab gadis Quraisy keturunan
bangsawan murni yang berakar dalam. Sebagai putri dari ibu bapak yang mulia,
dia beradab dan berakhlak tinggi. Tetapi, bagaimana mereka akan dapat
memetiknya? Di antara mereka telah hadir putra bibi Zainab sendiri, seorang
pemuda ganteng dan rupawan, yaitu Abul Ash Ibnu Rabi yang tidak asing lagi.
Belum begitu lama, baru beberapa
tahun, berlangsung perkawinan Zainab binti Muhammad dengan Abul Ash, nur ilahi
yang cemerlang memancar di kota Mekah yang diselimuti kesesatan. Allah
Subhanahu wa ta’ala mengutus Muhammad sebagai nabi dan rasul-Nya dengan agama
yang hak. Pada tahapan pertama Allah memerintahkan Nabi SAW. supaya mengajak
keluarga terdekat. Maka, wanita yang pertama-tama beriman, ialah istrinya,
Khadijah binti Khuwailid, dan putri-putrinya: Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsum,
dan Fathimah, sekalipun ketika itu Fathimah masih kecil, kecuali menantunya,
Abul Ash. Dia enggan berpisah dengan agama nenek moyangnya dan enggan pula menganut
agama istrinya, Zainab. Meski demikian, Abul Ash tetap mencintai istrinya.
Cintanya kepada Zainab tetap tulus dan murni.
Ketika pertentangan antara
Rasulullah dengan kaum kafir Quraisy semakin meningkat, mereka saling
menyalahkan, “Celaka kalian ..! sesungguhnya kalianlah yang membawa kesusahan.
Kalian nikahkan putra-putri kalian dengan putri-putri Muhammad. Seandainya
kalian kembalikan putri-putri Muhammad itu kepadanya, kita tidak akan
memikirkannya lagi.”
Jawab yang lain, “Itu suatu
pemikiran yang bagus!” Lalu, mereka pergi menemui Abul Ash!
Kata mereka, “Hai Abul Ash,
ceraikan isterimu! Kembalikan dia ke rumah bapaknya! Kami sanggup dan bersedia
mengawinkanmu dengan siapa yang engkau sukai dari segudang wanita Quraisy yang
cantik-cantik.”
Jawab Abul Ash, “Tidak! aku tidak
akan menceraikannya. Aku tidak hendak menggantikannya dengan wanita mana pun di
seluruh dunia ini.”
Dua orang putri Rasulullah,
Ruqayah dan Ummu Kaltsum telah dicerai oleh suaminya dan diantar kembali ke
rumah bapaknya. Rasulullah gembira menerima kedua putrinya itu. Bahkan, beliau
ingin kiranya Abul Ash mmelakukan pula hal yang sama terhadap istrinya, Zainab.
Tetapi apa boleh buat, beliau tidak kuasa untuk memaksakan keinginannya itu. Di
samping itu, ketika itu hukum Islam belum mengharamkan perkawinan wanita
mukminah dengan pria musyrik.
Zainab Menebus Suaminya
Setelah Rasulullah SAW. hijrah ke
Madinah, kaum Quraisy memerangi beliau di Badar. Abul Ash terpaksa ikut
berperang di pihak Quraisy, memerangi Rasulullah dan kaum muslimin. Dia memang
sungguh-sungguh terpaksa karena tidak ada sedikit pun keinginan berperang
dengan Rasulullah dan kaum muslimin. Dan, tidak ada satu kepentingan yang akan
diperolehnya dengan memerangi mereka. Hanya, karena ia berdomisili bersama kaum
yang memerangi Muhammad SAW.
Perang Badar membawa kekalahan
besar yang memalukan bagi kaum Quraisy, sehingga menundukkan puncak kesombongan
kemusyrikan, keangkuhan, keganasan, dan kekejaman mereka. Di antaranya ada yang
terbunuh, ada yang tertawan, dan ada pula yang melarikan diri. Abul Ash, suami
Zainab binti Muhammad, termasuk kelompok orang yang tertawan.
Rasulullah mewajibkan setiap
tawanan menebus diri mereka dengan uang tebusan, jika mereka ingin bebas.
Beliau menetapkan uang tebusan itu antara seribu sampai dengan empat ribu
dirham, sesuai dengan kedudukan dan kekayaan tawanan itu dalam kaumnya. Maka,
berdatanganlah para utusan pulang dan pergi antara Mekah dan Madinah membawa
uang untuk menebus orang-orang yang tertawan.
Zainab binti Muhammad mengutus
utusan ke Madinah dengan uang tebusan untuk menebus suaminya, Abul Ash. Dalam
uang tebusan itu terdapat antara lain sebuah kalung milik Zainab, hadiah dari
ibunya, Khadijah binti Khuwailid, pada hari perkawinan Zainab dengan Abul Ash.
Ketika Rasulullah melihat kalung tersebut, wajah beliau berubah sedih dengan
kesedihan yang sangat mendalam, membayangkan rindu kepada anaknya, Zainab, atau
mungkin teringat dengan almarhumah istrinya, Khadijah binti Khuwailid.
Rasulullah menoleh kepada para
sahabat seraya berkata, “Harta ini dikirim oleh Zainab untuk menebus suaminya,
Abul Ash. Jika tuan-tuan setuju, saya harap tuan-tuan bebaskan tawanan itu
tanpa uang tebusan. Uang dan harta Zainab kirimkan kembali kepadanya.” Jawab
para sahabat, “Baik, ya Rasulullah! Kami setuju!”
Rasulullah Membebaskan Abul Ash
Rasulullah membebaskan Abul Ash
dengan syarat dia mengantarkan Zainab kepada beliau. Maka, setibanya di Mekah,
Abul Ash segera berbuat sesuatu untuk memenuhi janjinya kepada Rasulullah.
Diperintahkan istrinya agar segera bersiap untuk melakukan perjalan jauh ke
Madinah. Para utusan Rasulullah menunggu tidak jauh dari luar kota Mekah. Abul
Ash menyiapkan perbekalan dan kendaraan untuk kepergian istrinya. Abul Ash
menyuruh adiknya, Amr bin Rabi, mengantar Zainab dan menyerahkannya kepada
utusan Rasulullah.
Amr bin Rabi menyandang busur dan
membawa sekantong anak panah. Zainab dinaikkannya ke Haudaj. Mereka pergi ke
luar kota tengah hari, di hadapan orang banyak kaum Quraisy. Melihat mereka
pergi, orang-orang Quraisy bangkit marahnya dan heboh. Lalu, mereka susul
keduanya dan mereka dapatkan belum jauh dari kota. Zainab mereka takut-takuti
dan mereka ancam. Tetapi, Amr telah siap dengan busur panah dan meletakkan
kantong anak panah di hadapannya. Kata Amr, “Siapa mendekat, aku panah batang
lehernya.”
Amr menang, terkenal dengan
pemanah jitu yang tidak pernah gagal bidikannya. Di tengah-tengah suasana
tegang seperti itu, tibalah Abus Sufyan bin Harb yang sengaja dihubungi mereka.
Kata Abu Sufyan, “Hai, anak saudaraku! letakkan panahmu!Kami akan bicara
denganmu.”
Amr meletakkan panahnya. Kata Abu
Sufyan, “Perbuatanmu ini tidak betul, hai Amr. Engkau membawa Zainab keluar
dengan terang-terangan di hadapan orang banyak dan di depan mata kami. Orang
Arab seluruhnya tahu akan kekalahan mereka di Badar dan musibah yang ditimpakan
bapak Zainab kepada kami. Bila engkau membawa Zainab secara terang-terangan
begini, berarti engkau menghina seluruh kabilah ini sebagai penakut, lemah dan
tidak berdaya. Alangkah hinanya itu. Karena itu, bawalah Zainab kembali kepada
suaminya untuk beberapa hari. Setelah penduduk tahu kami telah berhasil
mencegah kepergiannya, engkau boleh membawanya secara diam-diam dan
sembunyi-sembunyi, jangan dia siang bolong seperti ini. Engkau boleh mengantarkannya
ke bapaknya. Kami tidak mempunyai kepentingan apa-apa untuk menahannya.”
Ketika Dicegah Pasukan Patroli
Rasulullah
Amr setuju dengan saran Abu
Sufyan. Dibawanya Zainab kembali ke rumah suaminya di Mekah. Sesudah beberapa
hari kemudian Amr membawa Zainab ke luar kota dengan sembunyi-sembunyi pada
tengah malam, dan menyerahkannya kepada para utusan bapaknya dari tangan ke
tangan, sebagaimana dipesankan abangnya, Abul Ash bin Rabi.
Sesudah berpisah dengan istrinya,
Abul Ash tetap tinggal di Mekah beberapa waktu hingga menjelang pembebasan kota
Mekah. Dia berdagang ke Syam seperti yang biasa dilakukannya sebelumnya.
Pada suatu hari dalam perjalanan
pulang ke Mekah, dia menggiring seratus ekor unta sarat dengan muatan, dan
seratus tujuh puluh personel yang menggiring unta tersebut. Di tengah jalan,
dekat Madinah, kafilahnya dicegah oleh pasukan patroli Rasulullah. Unta-untanya
dirampas dan orang-orang yang menggiringnya ditawan. Tetapi, mujur bagi Abul
Ash, dia lolos dari tangkapan dan bersembunyi. Setelah malam tiba dan hari
sudah gelap, dia masuk ke kota Madinah dengan sembunyi-sembunyi dan hati-hati
sekali. Sampai di kota dia mendatangi rumah Zainab, minta bantuan dan
perlindungan kepadanya. Zainab melindunginya.
Ketika Rasulullah SAW. keluar
hendak salat subuh, beliau berdiri di mihrab, dan takbir ihram. Jamaah pun
takbir mengikuti beliau. Zainab berteriak dari shuffah (tempat para wanita).
Katanya, “Hai, manusia! saya Zainab binti Muhammad! Abul ‘Ash minta
perlindungan kepada saya. Karena itu, saya melindunginya!”
Setelah selesai salat, Rasulullah
berkata kepada jamaah, “Adakah tuan-tuan mendengar teriakan Zainab?”
Jawab mereka, “Ada …! Kami
mendengarnya, ya Rasulullah!”
Kata Rasulullah, “Demi Allah yang
jiwaku dalam genggaman-Nya! Saya tidak tahu apa-apa tentang hal ini, kecuali
setelah mendengar teriakan Zainab.”
Kemudian Rasulullah pergi ke
rumah Zainab. Katanya, “Hormatilah Abul Ash! Tetapi, ketahuilah, engkau tidak
halal lagi baginya.”
Lalu, beliau memanggil pasukan
patroli yang bertugas semalam, dan menangkap unta-unta serta menahan
orang-orang dari kafilah Abul Ash. Kata beliau kepada mereka, “Sebagaimana
kalian ketahui, orang ini (Abul Ash) adalah famili kami. Kalian telah merampas
hartanya. Jika kalian ingin berbuat baik, kembalikanlah hartanya. Itulah yang
kami sukai. Tetapi, jika kalian enggan menggembalikan, itu adalah hak kalian,
karena harta itu adalah rampasan yang diberikan Allah untuk kalian. Kalian
berhak mengambilnya.”
Jawab mereka, “Kami kembalikan,
ya Rasulullah!” Ketika Abul Ash datang mengambil hartanya, mereka berkata
kepadanya, “Hai Abul Ash! Engkau adalah seorang bangsawan Quraisy. Engkau anak
paman Rasulullah dan menantu beliau. Alangkah baiknya kalau engkau masuk Islam.
Kami akan serahkan harta ini semuanya kepadamu. Engkau akan dapat menikmati
harta penduduk Mekah yang engkau bawa ini. Tinggallah bersama kami di Madinah.”
Jawab Abul Ash, “Usul kalian
sangat jelek dan tidak pantas. Aku harus membayar utang-utangku segera.” Abul
Ash berangkat ke Mekah membawa kafilah dan barang-barang dagangannya. Sampai di
Mekah dibayarnya seluruh utang-utangnya kepada setiap orang yang berhak
menerimanya. Kemudian dia berkata, “Hai kaum Quraisy! Masih adakah orang yang
belum menerima pembayaran dariku?”
Jawab mereka, “Tidak! Semoga
engkau dibalasi Tuhan dengan yang lebih baik. Kami telah menerima pembayaran
darimu secukupnya.”
Sebuah Jawaban dan Keputusan
Kata Abul Ash, “Sekarang
ketahuilah! Aku telah membayar hak kamu masing-masing secukupnya! Maka, kini
dengarkan! Aku mengaku tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad sesungguhnya
Rasulullah! Demi Allah! tidak ada yang menghalangiku untuk menyatakan Islam
kepada Muhammad ketika aku berada di Madinah, kecuali kekhawatiranku
kalau-kalau kalian menyangka aku masuk Islam karena hendak memakan harta
kalian. Kini setelah Allah membayarnya kepada kamu sekalian dan tanggung
jawabku telah selesai, aku menyatakan masuk Islam.”
Abul Ash keluar dari Mekah, pergi
menemui Rasulullah SAW. Beliau menyambut mulia kedatangannya, dan menyerahkan
istrinya Zainab kembali ke pangkuannya.
Rasulullah berkata, “Dia
berbicara kepadaku, aku mempercayainya. Dia berjanji kepadaku, dia memenuhi
janjinya.”