Bismillahirrahmaanirrahiim.
Dalam
even Yogya Islamic Book Fair,
pada tanggal 29 Desember 2012, diadakan bedah buku “Mendamaikan Ahlus Sunnah di
Nusantara”. Bertempat di panggung pameran, GOR Universitas Negeri Yogyakarta.
Bertindak sebagai pembicara pembanding, Prof. Yunahar Ilyas, dari PP
Muhammadiyah. Dalam paparannya –semoga Allah selalu menjaga beliau dalam
kebaikan- Prof. Yunahar banyak mengemukakan informasi atau pandangan menarik
seputar Ahlus Sunnah di Nusantara.
Disini
coba saya sampaikan sebagian dari isi paparan beliau, sebatas informasi yang
mampu diingat, karena selama acara berlangsung kami tidak merekamnya. Semoga
paparan ini bermanfaat menambah pengetahuan dan wawasan kita, serta mendekatkan
antara elemen-elemen Ahlus Sunnah di Nusantara yang selama ini terlibat
perselisihan.
[1].
Prof. Yunahar menolak pandangan sebagian orang, bahwa masalah politik itu tidak
penting. Menurut beliau, munculnya sekte-sekte menyimpang dalam Islam, seperti
Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, dan lain-lain, hal itu tidak lepas dari
latar-belakang persoalan politik (kekuasaan) di zamannya. Disini beliau
jelaskan latar-belakang historis munculnya sekte-sekte sesat tertentu.
[2].
Menurut beliau, perselisihan antara kalangan Asy’ariyah (tradisionalis) dan
Wahabiyah (modernis) sudah lama mereda. Namun akhir-akhir ini muncul kembali,
sehingga perlu ada upaya mendamaikan antar sesama Ahlus Sunnah.
[3].
Beliau membenarkan kesimpulan penulis (baca: saya), bahwa Muhammadiyah itu
tidak murni Wahabi, sebab juga mendapat pengaruh dari pemikiran Muhammad Abduh
dan Syaikh Rasyid Ridha; tetapi Muhammadiyah juga tidak lepas dari pengaruh
dakwah tauhid yang diserukan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Menurut
beliau, pengaruh Kitabut Tauhid sangat meluas di seluruh dunia Islam.
[4].
Menurut beliau, para pendukung dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak
menyebut dirinya sebagai Wahabi atau Salafi; tetapi menyebut diri sebagai Al
Muwahhidun (orang-orang bertauhid). Dakwah tauhid ini berpengaruh ke Sumatera
Barat, dibawa oleh tiga orang Haji yaitu: Haji Sumanik, Haji Miskin, Haji
Piobang. Bahkan ketiganya sempat menjadi tentara di Najd, membela gerakan
tauhid disana.
[5].
Dalam risalah-risalah resmi Muhammadiyah, tidak ada istilah Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Istilah yang
digunakan ialah Firqatun Najiyyah. Muhammadiyah dalam konteks di Indonesia
tidak mengklaim diri secara verbal sebagai Ahlus Sunnah Wal Jamaah; tetapi jika
dikaitkan dengan ajaran Syiah, Muhammadiyah jelas memposisikan diri sebagai
Ahlus Sunnah Wal Jamaah.
[6].
Mengingati banyaknya perselisihan-perselisihan pendapat, seringkali Muhammadiyah
menempuh metode netral, yaitu: merujuk kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
Tafsirnya, sesuai Al Qur’an dan Sunnah; fiqihnya sesuai Al Qur’an dan Sunnah;
akidahnya sesuai Al Qur’an dan Sunnah; akhlaknya sesuai Al Qur’an dan Sunnah;
dan sebagainya. Konsep ini serupa dengan pemikiran yang dikembangkan oleh
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha.
[7].
Beliau membenarkan, bahwa salah satu pangkal perselisihan di kalangan Ahlus
Sunnah di Indonesia ialah berebut klaim Ahlus Sunnah. Disini ada fenomena
identifikasi, bahwa istilah tertentu identik dengan pihak tertentu. Di Jawa,
yang dikenal sebagai Ahlus Sunnah adalah ormas NU; di Sumatera Barat yang
dikenal sebagai Ahlus Sunnah adalah Persatuan Tarbiyah Islamiyyah (Perti); di
Sumatera Utara yang dikenal sebagai Ahlus Sunnah adalah Al Washliyah.
[8].
Menurut beliau, di kalangan Muhammadiyah tidak ada larangan berceramah dengan
menyebut istilah “Sayyidina Muhammad”. Tetapi kalau dalam shalat, Muhammadiyah
tidak membaca kata “Sayyidina”; karena berpendapat doa dalam shalat tidak boleh
ditambah-tambahi. Dalam ceramah, Muhammadiyah juga tidak keberatan dengan
perkataan “Sayyidina Muhammad”, tetapi hal itu di mata masyarakat identik
dengan ceramah muballigh NU.
[9].
Istilah Ahlus Sunnah identik dengan ormas NU. Disana dikenal istilah Aswaja atau Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Dalam
diskusi di kalangan MUI, ada kesepakatan di antara ormas-ormas Islam, untuk
menerima istilah: Ahlus Sunnah
Wal Jamaah dalam Pengertian Luas. Istilah ini diusulkan oleh Prof. Dr. Yunahar
Ilyas. Dengan istilah demikian, maka ormas-ormas Islam di Indonesia secara
mayoritas masuk dalam cakupan Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Ketika NU memiliki
kekhususan dalam pemaknaannya atas istilah Aswaja, hal itu sudah
terwadahi disana.
[10].
Beliau mengingat pesan Pak Natsirrahimahullah, sekitar tahun 80-an. Pak Natsir
pernah mengingatkan, bahwa gerakan Syiah itu bisa menjadi bom waktu. Beliau
tidak yakin Sunni dan Syiah bisa disatukan. Beliau mengingatkan tentang gerakan
politik Syiah. Karena seperti di Suriah, kaum Syiah Alawit (Nusairiyah)
meskipun jumlahnya kecil tetapi menguasai politik dan militer, sehingga bisa
mendominasi kaum Sunni.
[11].
Beliau mengaku pernah diberi kiriman sebuah buku tertentu yang menjelaskan
seputar manhaj Salaf. Namun ketika baru membacanya sejenak, lalu beliau melihat
dalam buku itu banyak menyesat-nyesatkan orang lain, beliau segera menutup buku
itu, lalu meletakkannya di rak. Menurut beliau, daripada emosi dengan isi
sebuah buku, lebih baik tidak perlu dibaca.
Apa
yang disebutkan di atas adalah butir-butir pandangan yang disampaikan oleh
Prof. Yunahar Ilyas tentang Ahlus Sunnah di Nusantara. Mungkin disini ada
bagian-bagian tertentu yang terlewat. Jika membutuhkan kejelasan, silakan
dikonfirmasi ulang ke narasumber.
Dalam
sessi pembicaraan pribadi dengan penulis (saya), Prof. Yunahar sempat bertanya
tentang buku, Bersikap Adil
Kepada Wahabi. Beliau bertanya, apakah sosok Syaikh Idahram, penulis buku Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi ada? Katanya, nama asli si penulis
buku itu adalah kebalikan dari “Idahram” (alias Marhadi). Saya menanggapi
beliau dengan senyum; sebab bingung bagaimana mesti menanggapinya. Saya
meyakinkan beliau, bahwa si penulis itu memang ada orangnya.
Demikian
di antara pandangan-pandangan Prof. Dr. Yunahar Ilyas tentang perkembangan
Ahlus Sunnah di Indonesia. Semoga pandangan seperti ini bermanfaat bagi
perbaikan kehidupan masyarakat Ahlus Sunnah Wal Jamaah di Nusantara. Amin ya
Rabbal ‘alamiin.
Jakarta,
3 Januari 2013.
(Abu Muhammad Waskito).
Yunahar Ilyas: Jangan Menganggap Enteng Masalah Syiah,
Kalau Tidak Mau Menyesal
Jelas Sudah, Ini Sikap Resmi Muhammadiyah Tentang
Syiah, Bagaimana Dengan NU ?
Syiah Tidak Pernah Membantah Pendapat Ulama/Kitab
Rujukannya Yang Nyeleneh/Konyol Secara Tertulis/Ilmiyyah, Hanya Lisan Saja.
Inilah Taqiyah !