Salafi
Meruntuhkan Khilafah Islam???
Ada-ada saja… Sejumlah orang yang telah
putus asa dalam perdebatan secara ilmiah dalam soal agama, berusaha
mendelegitimasi manhaj salaf dengan melemparkan fitnah, bahwa kemunculannya
yang bergandengan tangan dengan kemunculan dinasti Ibnu Saud, adalah tidak sah
karena dituding turut menyumbang pada proses keruntuhan Khilafah Islam Turki Utsmaniyah,
berkolaborasi dengan Inggris dan “menjual” Palestina.
Insya Allah dengan mudah kami akan
menyingkap kedustaan ini. Akan tetapi, terlebih dahulu kami ingin mengajak para
pembaca mengenali faktor-faktor yang menyumbang pada keruntuhan Khilafah Utsmaniyah
tersebut, yang sekaligus merupakan gambaran dunia Islam pada periode tersebut.
Kemudian kami akan tampilkan keprihatinan dari seorang mualaf terkemuka akan
aqidah umat Islam pada masa kontemporer ini.
Faktor-faktor yang menyebabkan keruntuhan
Khilafah Utsmaniyah [“Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah” (terjemahan)
oleh Dr. Ali Muhammad Ash-Shalibi, Pustaka Al-Kautsar, 2002]:
(1) Pemahaman akan wala’ (loyalitas) dan
bala’ (disloyalitas) telah menyimpang dari pemahaman yang benar.
“Orientasi berpikir yang sangat berbahaya
ini, tampak sekali dari apa yang dikatakan Sultan Mahmud II (w. 1839 M) sendiri
di mana dia mengatakan: ‘Sesungguhnya saya tidak mau – mulai sekarang – untuk
membedakan antara kaum Muslimin kecuali di dalam Masjid, dan orang-orang
Kristen kecuali di dalam gereja, dan orang-orang Yahudi kecuali di dalam
sinagog. Saya ingin selama mereka menyatakan hormat pada saya, mereka semua
bisa menikmati persamaan dalam hak-hak mereka dan mendapat perlindungan
serupa’…” (hal. 658)
(2) Penyempitan makna ibadah.
“Sesungguhnya kemajuan yang dicapai
pemerintah Utsmaniyah pada masa awal keemasannya mencakup semua bidang ilmu
pengetahuan, kebangsaan, pemerintahan, dan militer. Gerakan pemerintah dan umat
merupakan refleksi nyata dari pemahaman akidah mereka yang menyeluruh.
Sedangkan pada masa-masa akhir pemerintah Ustmani, pemahaman ibadah semakin
disempitkan hanya pada masalah-masalah ibadah ritual yang dilakukan sebagai
tradisi yang diwarisi secara turun-temurun dan tidak memiliki pengaruh apa-apa
terhadap pelakunya…Dengan demikian, maka jadilah proses isolasi ibadah ritual
dari sisi Islam yang lain terasing dari bagian Islam lainnya seperti jihad,
hukum-hukum mu’amalat keuangan…” (hal. 667)
(3) Menyebarnya fenomena syirik, bid’ah
dan khurafat.
“Semua wilayah kaum Muslimin seperti
Hijaz, Yaman, Afrika, Mesir, Maroko, Irak, Syam, Turki, Iran, Turkistan, dan
India, berlomba-lomba untuk membangun kubah-kubah di atas kuburan. Mereka
saling berlomba untuk mengagungkannya…” (hal. 676)
“Tempat-tempat ziarah dan kuburan itu
menjadi tempat untuk meminta-minta dan memohon pertolongan. Kemusyrikan
merajalela di mana-mana, seperti menyembelih binatang yang tidak ditujukan
untuk mencari ridha Allah dan bernadzar untuk kuburan. Banyak orang yang
meminta-minta disembuhkan penyakitnya di kuburan dan meminta perlindungan
padanya...” (hal. 676)
(4) Sufi yang menyimpang.
“Sesungguhnya penyimpangan terbesar yang
terjadi dalam sejarah umat ini adalah munculnya kaum Sufi yang menyimpang yang
kemudian menjadi sebuah kekuatan yang terorganisir di dalam masyarakat Islam
yang mengusung pemikiran, akidah, dan ibadah yang sangat jauh dari Al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah SAW. Kekuatan dan pengaruh kalangan Sufi yang menyimpang
in demikian kuat pada akhir masa pemerintahan Utsmani…” (hal. 679)
(5) Gerakan aktivitas kelompok-kelompok
menyimpang.
“Gerakan kelompok menyimpang ini seperti
Syi’ah Itsna Asyariyah, Druz, Nushairiyyah, Ismailiyah, Qadiyani, Bahai, dan
sekte-sekte agama sesat lainnya yang telah mencemarkan nama Islam.
Gerakan ini menampakkan batang hidungnya,
khususnya sejak kedatangan penjajah salibis yang telah menaklukkan umat Islam.
Mereka, sebagaimana biasa, selalu bersekutu dengan musuh kaum Muslimin, menjadi
pembantu dan tentara yang patuh di bawah kepemimpinan mereka...” (hal. 688)
(6) tidak adanya pemimpin rabbani; (7)
penolakan dibukanya pintu ijtihad; (8) menyebarnya kezaliman dalam pemerintahan
Utsmani; (9) foya-foya dan tengelam dalam syahwat; (10) perselisihan dan
perpecahan.
Situasi dunia Islam kontemporer
Jika pada beberapa abad menjelang
keruntuhan Khilafah Utsmaniyah telah sedemikian parah keadaan kaum Muslimin,
pada hari ini pun penyimpangan itu masih menyebar dan terlihat sangat nyata,
bahkan teramati oleh seorang mualaf (Dr. Murad Wilfred Hoffman, mantan Dubes
Jerman di negara-negara Arab Maghribi, mantan Direktur Penerangan NATO di dalam
“Trend Islam 2000, GIP, 1997, hal. 91-94).
“Pembicaraan tentang sihir, khurafat, dan
membaca nasib – setelah pembicaraan kita tadi – menjadi masalah remeh, karena
ia memang remeh. Akan tetapi, hal itu menyebabkan timbulnya banyak kejijikan
Barat terhadap Islam. Jika seseorang pernah melihat apa yang terjadi seputar
makam Murabithin di Maghribi, ia dengan mudah akan menarik kesimpulan bahwa
Islam adalah agama a-rasional yang dianut hanya oleh orang-orang terbelakang…
Penyimpangan-penyimpangan ini – terjadi
dalam Islam melalui beberapa kelompok tasawwuf – terutama semenjak abad XIII.
Tarikat-tarikat sufi mengajarkan agar sang murid secara bulat menyerahkan
dirinya kepada syakihnya. Masalah ini membuat Barat merasa jijik…Sikap
berlebihan dalam menghormati wali-wali menunjukkan kebutuhan masyarakat akan
sesuatu yang suci yang bisa disentuh manusia, atau dengan kata lain: mewujudkan
yang suci. Umat Islam di negara-negara Kristen menciptakan Almasih mereka yang
bisa dicium, seperti para darwisy, para wali shalih, dan para sufi.
Hal seperti ini tidak bisa ditolerir.
Pencarian perantara (antara hamba dan Tuhannya) bertentangan dengan prinsip
akidah Islam yang terpenting.
Aku mengusulkan agar dunia Islam – dalam
masalah ini – untuk kembali ke pokoknya yang bersih, yang tidak mensakralkan
wali-wali. Juga perlu ditulis sejarah Nabi SAW yang bersih dari mitos dan
khurafat, untuk turut berperan dalam lingkup dakwah…”
Di negeri kita, fenomena kesyirikan
semakin menjadi-jadi sejak ditetapkannya demokrasi liberal sebagai platform
resmi negara ini.
Pergantian kekuasaan untuk sebuah misi
baru
Penyakit kronis yang menghinggapi kaum
Muslimin, khususnya pada pemerintahan Khilafah Utsmaniyah, membuatnya
kehilangan kapasitas dan kapabilitasnya untuk terus mengemban tugas dakwah,
sebuah tugas pokok bagi sebuah khilafah Islam. Maka wajar saja jika Allah
menyiapkan sebuah kekuatan baru untuk menggantikannya, sebuah kekuatan yang
masih murni, dengan misi memurnikan kembali agama Islam dan melanjutkan tugas
dakwah; ia adalah kaum Wahhabi!!!
Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam telah bersabda (artinya),
“Sesungguhnya Islam bermula dengan asing
dan akan kembali asing sebagaimana ia bermula. Maka berbahagialah orang-orang
yang asing.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Di tengah mayoritas kaum Muslimin yang
tidak lagi mengenal bentuk asli dari agama Islam, maka wajar saja ketika bentuk
asli itu ditampilkan kembali, ia terlihat asing!
Kini di seluruh dunia, dan di dunia Islam
khususnya, dakwah Wahhabi telah dikenal, baik untuk diterima maupun untuk
dihina dan ditolak. Di Arab Saudi masyarakatnya adalah masyarakat dengan
tatanan Wahhabi. Praktis pada setiap negeri Muslim ada masyarakat Wahhabi, baik
dominan maupun minoritas. Kini tak ada seorang Muslim pun yang dapat berhujjah
di akhirat kelak, bahwa ia tidak menemukan rujukan agama Islam yang murni!
Setiap misi mempunyai (sekelompok)
pemimpin yang khusus untuk mengemban misi tersebut. Jika jeli, niscaya kita
akan melihat bahwa misi yang diembankan ke pundak Keluarga Al-Saud ini, yang
telah dibekali dengan modal kekayaan berlimpah, hampir berakhir. Jihad dengan
pena, sebagai sebuah periode konsolidasi, hampir berakhir untuk digantikan dengan
jihad dengan pedang. Analisis situasi kami menunjukkan, wallahua’lam, bahwa
Khalifah kaum Muslimin, Imam Mahdi, insya Allah akan segera muncul untuk
memimpin Jihad Akbar sebagai bab penutup dari perjalanan hidup kaum Muslimin di
dunia ini!
Menjawab tuduhan
OK, sekarang waktu untuk menanggapi
tuduhan.
Pertama-tama kita perlu mengetahui
teritorial Khilafah Islam Turki Utsmaniyah dari masa ke masa.
Perubahan teritorial Turki Utsmaniyah
sejak awal berdirinya dapat dilihat pada peta berikut ini. Perhatikanlah bahwa
pada Jazirah Arab hanya tepian baratnya saja yang mereka akui dan kuasai.
Pada abad 19 M hingga khilafah tersebut
runtuh pada 1924, situasi di Jazirah Arab tidak berubah, yakni mereka hanya
mengakui dan menguasai tepian barat dari Jazirah Arab. Perhatikanlah peta
berikut ini.
Oleh karena itu, setiap suku yang berada
di luar teritorial ini, khususnya di wilayah Najd, berhak menegakkan
otoritasnya sendiri. Dalam hal ini otoritas tersebut akan dilegitimasi dengan
kekuatan senjata; siapa yang kuat dialah yang menjadi penguasa.
Sekarang waktunya untuk melihat
kronologis berdirinya Kerajaan Arab Saudi (Wikipedia: Saudi Arabia – kami
terjemahkan)
“Pada abad ke-16, Utsmani menambahkan
pantai Laut Merah dan Teluk Persia ke dalam imperiumnya dan mengklaim kekuasaan
atas wilayah tersebut. Tingkat pengendalian atas wilayah-wilayah ini
berubah-ubah selama empat abad selaras dengan berubahnya kekuatan atau
kelemahan otoritas pusat Imperium. Kemunculan apa yang kini dikenal sebagai
keluarga kerajaan Saudi, dikenal sebagai Al-Saud, dimulai di Najd di Arabia
tengah pada 1744, ketika Muhammad bin Saud, pendiri dinasti tersebut,
bekerjasama dengan ulama Muhammad bin Abdul al-Wahhab, gerakan pemurnian Islam
yang ketat dari Islam Sunni. Aliansi ini yang terbentuk pada abad ke-18
memberikan cikal bakal ideologis bagi perluasan Saudi dan merupakan basis dari
penguasa dinasti Arab Saudi saat ini. Negara Saudi pertama berdiri pada 1744 di
daerah sekitar Riyadh, secara cepat meluas dan mengendalikan sebagian besar wilayah
yang kini merupakan wilayah Arab Saudi, tetapi telah dihancurkan pada 1818 oleh
penguasa Utsmani di Mesir, Muhammad Ali Pasha. Sebuah negara Saudi kedua yang
jauh lebih kecil, berlokasi terutama di Najd, berdiri pada 1824. Sepanjang abad
ke-19, Al-Saud menantang kendali bagian dalam (interior) wilayah yang akan
menjadi Arab Saudi dengan keluarga penguasa Arab lainnya, Al-Rashid. Pada 1891,
Al-Rashid menang dan Al-Saud dikirim ke pengasingan.
Pada permulaan abad-20, Imperium Utsmani
melanjutkan kendali atau penguasaan (walaupun nominal) atas sebagian besar
jazirah Arab. Tunduk terhadap kekuasaan ini, Arabia diperintah oleh berbagai
pemimpin suku (termasuk Keluarga Al-Saud yang telah kembali dari pengasingan
pada 1902) dengan Sharif Mekkah yang unggul dan memerintah Hijaz. Pada 1916,
dengan dorongan dan dukungan Inggris (yang tengah berperang dengan Utsmani pada
Perang Dunia I), Sharif Mekkah, Hussein bin Ali, memimpin suatu revolusi
pan-Arab melawan Imperium Utsmani untuk membentuk sebuah negara Arab bersatu.
Walaupun Revolusi Arab pada 1916 s/d 1918 gagal mencapai tujuannya, Arabia
merdeka dari kekuasaan Utsmani setelah kekalahan Utsmani pada Perang Dunia I.
Arab pada 1923: Wilayah Abdul Aziz pada
warna biru dengan tanggal penaklukan. Kerajaan Hijaz ditaklukkan pada 1925,
yaitu berwarna hijau muda. (Kerajaan bani Hasim di Irak dan Transjordan juga
berwarna hijau)
Pada 1902, Abdul Aziz bin Saud, pemimpin
Keluarga Al-Saud, telah menduduki Riyadh di Najd dari Al-Rashid – seri pertama
dari penaklukan yang berujung pada terbentuknya negara modern Arab Saudi pada
1932. Senjata utama dalam meraih penaklukan ini adalah ikhwan, tentara suku
badui-wahhabi yang dipimpin oleh Sultan bin Bijad dan Faisal al-Dawish. Dari
jantung Saudi di Najd, dan dibantu oleh keruntuhan Imperium Utsmani setelah
Perang Dunia I, Ikhwan telah menyelesaikan penaklukan wilayah yang menjadi Arab
Saudi pada akhir 1925. Pada 10 Januari 1926 Abdul Aziz mendeklarasikan dirinya
sebagai Raja Hijaz dan pada 27 Januari 1927 ia mengambil gelar Raja Najd (gelar
sebelumnya adalah Sultan).
Setelah penaklukan Hijaz, para pemimpin
Ikhwan ingin melanjutkan perluasan kekuasan wahhabi ke wilayah protektorat
Inggris di Transjordan, Irak dan Kuwait, dan mulai bergerak ke wilayah-wilayah
itu. Namun demikian, Abdul Aziz menolak menyetujui hal ini, karena mencium
bahaya konflik langsung dengan Inggris. Ikhwan kemudian melakukan revolusi
tetapi dikalahkan dalam Pertempuran Sabilla pada 1930, di mana pemimpin Ikhwan
dibunuh.
Pada 1932, kedua kerajaan Hejaz dan Najd
disatukan menjadi Kerajaan Arab Saudi.”
Informasi di atas menunjukkan bahwa
satu-satunya kontak antara Keluarga Al-Saud dan Khilafah Utsmani terjadi pada
1818 di mana mereka dihancurkan oleh Gubernur Mesir Muhammad Ali Pasha. Perang
antar penguasa telah menjadi hal yang biasa dalam sejarah Islam dalam
memperebutkan wilayah. Setiap kemenangan dan kekalahan dapat ditelusuri dari
amal-amal kedua belah pihak, karena - sebagaimana dijelaskan oleh Khalifah Umar
bin Khathtab - ketika dua pihak berperang, sesungguhnya yang berperang adalah
amal-amalnya. Barangkali ketika itu Keluarga Al-Saud memiliki tujuan politik,
berupa perluasan wilayah kekuasaan, yang jauh lebih dominan daripada tujuan
agama, sehingga Allah menimpakan kekalahan telak kepada mereka. Wallahua’lam.
Perang antara Khilafah Turki Utsmaniyah
dengan Kerajaan Al-Saud generasi pertama pada 1818 tidak dapat disebut sebagai
pemberontakan karena Al-Saud mendirikan kerajaannya di luar kekuasaan
Utsmaniyah (lihat kembali peta di atas). Peperangan itu sendiri adalah adu
kekuatan untuk memperluas wilayah kekuasaan bagi Al-Saud dan mempertahankan
wilayah kekuasaan bagi Khilafah Turki Utsmaniyah, sebagaimana Sultan Salim I
dari Kerajaan Utsmaniyah mengadu kekuatan pada perang 1517 guna memperluas
wilayahnya dengan berupaya merebut Mesir yang berusaha dipertahankan oleh
Kerajaan Mamluk yang berkedududkan di Mesir.
Sesungguhnya misi dari dakwah Wahhabi
adalah misi agama. Oleh karena itu tujuan-tujuan agama mesti berada di depan
daripada gerakan politiknya. Apa untungnya menantang Inggris pada 1930, jika
itu hanya akan menyibukkan mereka dalam peperangan yang akan menghilangkan
kestabilan politik, lalu hilang pula kestabilan dalam berdakwah, lalu
terhentilah misi pemurnian Islam? Inilah di antara hikmah dari penolakan Raja
Ibnu Saud untuk menantang Inggris di wilayah protektoratnya. Wallahua’lam.
Sebuah pertanyaan penting yang patut
diajukan adalah: Siapakah orang paling berhak untuk menilai situasi di
teritorial Khilafah Turki Utsmaniyah pada periode di pergantian abad yang
kritis tersebut? Tak lain dan tak bukan, dia adalah khalifah itu sendiri. Pada
masa-masa yang kritis tersebut berkedudukan sebagai khalifah adalah Sultan
Abdul Hamid II yang berkuasa dari 1876 M s/d 1909 M, yaitu sampai dengan ketika
ia dicopot dari kedudukannya oleh bangsa Turki sendiri.
Kalau begitu, sebaiknya kita periksa saja
catatan harian yang beliau tinggalkan, barangkali ia ada sedikit bercerita
tentang “pemberontakan” di Jazirah Arab.
Buku “Catatan Harian Sultan Abdul Hamid
II” (terjemahan dari buku aslinya berjudul “Mudzakkiratu as-Sulthan ‘Abdul
Hamid” oleh Dr. Muhammad Harb, Penerbit Pustaka Thariqulizzah, 2004), berisi
semua kenangan dan analisis oleh Sultan Abdul Hamid II tentang situasi ketika
ia masih menjadi khalifah hingga hari-hari terakhir menjelang wafatnya, yang
ditulisnya di istana tempat ia diasingkan.
Catatan harian tersebut terdiri dari 82
subjudul, sesuai dengan pokok-pokok pikiran yang hendak ia tulis. Dari jumlah
subjudul tersebut kebanyakan adalah mengenai pergolakan politik di wilayah
Turki (pada masa pemerintahan beliau dan sesudahnya) serta perang dengan
bangsa-bangsa Eropa. Ketika kami coba mencari tema tentang Jazirah Arab, yang
ditemukan adalah subjudul “Jamaluddin al-Afghani” pada hal. 125. Isinya adalah
sebagai berikut:
“Telah sampai kepadaku sebuah tulisan
yang dipersiapkan oleh Kementrian Luar Negeri Inggris tentang seorang pelawak
yang bernama Jamaluddin al-Afghani. Inggris mengklaim bahwa orang tersebut
bersama dengan Blant telah membuat pernyataan untuk menjauhkan Khilafah dari
bangsa Turki. Dia juga mengusulkan kepada Inggris untuk segera mengumumkan
Gubernur Makkah, Syarif Husain, sebagai Khalifah bagi kaum Muslimin.
Aku sendiri sangat mengenal Jamaluddin
al-Afghani. Dia tinggal di Mesir dan dia adalah seorang manusia yang berbahaya.
Suatu saat dia mengusulkan kepadaku – dia menamakan dirinya sebagai al-Mahdiyah
– bahwa dia akan menggerakkan seluruh kaum Muslimin Asia Tengah. Aku tahu bahwa
dia tidak akan mampu melakukannya. Dia adalah kaki tangan Inggris, dan sudah
pasti Inggris telah mempersiapkan orang tersebut sebagai sumber informasinya.
Aku menolak usulannya, maka dia pun bersekutu dengan Blant…”
Pernyataan Khalifah tersebut
dikukuhkannya kembali pada hal. 133 sebagai berikut:
“Aku tahu sebelumnya bahwa eksplorasi
minyak bumi di al-Aflaq, Rumania, para ahli geologi telah melakukan pengeboran
sejumlah sumur, dan mereka memperoleh minyak.
Tidak lama setelah itu, Duta Besar
Inggris mengunjungiku, dengan alasan ingn mengatakan kepadaku berita yang lainnya.
Dia berkata bahwa bagian terbesar daratan Suriah dan Hijaz adalah gurun pasir,
kondisinya kering kerontang karena tidak ada sumber air. Oleh sebab itu dia
menemui kesulitan untuk mengembangkan dan memakmurkan daerah tersebut.
Karenanya pemerintah Inggris – jika aku menyetujuinya – atas nama kemanusiaan
bersedia untuk membuka sejumlah sumur air di sana. Namun untuk hal itu ada
sejumlah syarat, yaitu apabila selesai penggalian air dan terbentuk dam, maka
mereka memperbolehkan penggunaan air itu untuk para penduduk, namun mereka
tetap sebagai pemilik sumber air itu.
Sesungguhnya, kesepakatan itu sendiri
tidak seperti yang aku inginkan.
Aku menolak usulan tersebut, sekaligus
secara resmi sumur-sumur yang telah mereka buka di daerah Moshul dan Baghdad
harus dittutup kembali. Inggris sangat kecewa dan marah, seraya meninggalkan
sumur-sumur tersebut begitu saja. Namun mereka mulai memusatkan perhatiannya
untuk merecoki urusan Khilafah dengan menjadikan Jamaluddin al-Afghani sebagai
perantara untuk merealisir cita-cita mereka, dan meraih tujuan pokoknya, yaitu
dengan menempatkan seorang Amir di wilayah Hijaz.”
Di dalam catatan hariannya, tidak sekali
pun Khalifah membicarakan soal Najd atau pun gerakan Ibnu Saud dan Wahhabi. Hal
ini menunjukkan bahwa Najd, Ibnu Saud, dan Wahhabi sama sekali bukan masalah
bagi Khilafah Islam pada masa pemerintahannya.
Sebaliknya, sekarang kita mengetahui,
bahwa yang menjadi masalah sebenarnya adalah poros Jamaluddin al-Afghani –
Gubernur Mekkah Syarif Hussain – Inggris.
Sebelum melanjutkan analisis kita perlu
mengklarifikasi Jamaluddin al-Afghani. Sepak terjangnya dan tudingan Khalifah
Abdul Hamid II membuat kita layak waspada, barangkali ia seorang Syi’ah yang
memang sepanjang sejarah kaum Muslimin terbiasa menikam kaum Muslimin dari
belakang.
Dari Wikipedia (Jamal-al-Din al-Afghani)
kita mendapatkan klarifikasi (kami terjemahkan) sebagai berikut:
“Sayyid Muḥammad ibn Ṣafdar Husaynī ,
yang lebih dikenal sebagai Sayyid Jamāl-ad-Dīn al-Afghān dan Sayyid
Jamal-ad-Din Asadabadi (lahir 1838, w. 9 Maret 1897), adalah seorang aktivis
politik dan ideologis Islam di dunia Islam selama akhir abad ke-19, khususnya
di Timur Tengah, Asia Selatan dan Eropa. Salah satu pendiri modernisme Islam
dan pembela kesatuan pan-Islamisme, ia telah digambarkan sebagai “kurang
tertarik pada teologi daripada mengorganisir tanggapan Muslim terhadap tekanan
Barat.”
Awal kehidupannya dan asal-usulnya
Ia mengklaim sebagai seorang berasal dari
Afghanistan selama sebagian hidupnya, tetapi bukti-bukti menunjukkan bahwa ia
lahir di Iran. Walaupun beberapa sumber lama mengklaim bahwa Asadabadi lahir di
distrik Propinsi Kunar di Afghanistan yang juga disebut Asadabad, terdapat
dokumentasi yang berlimpah (khususnya koleksi surat-surat yang ada di Iran
mengenai pengusirannya pada 1891) kini membuktikan bahwa ia lahir di Iran, di
desa Asadabad dekat kota Hamadan dari keluarga Sayyid. Catatan-catatan
menunjukkan bahwa ia menghabiskan masa kecilnya di Iran dan dibesarkan sebagai
Muslim Syi’ah. Menurut bukti yang ditinjau ulang oleh Nikki Keddie, ia
pertama-tama dididik di rumah kemudian dibawa oleh ayahnya untuk pendidikan
lanjutan ke Qazvin, ke Teheran, dan akhirnya, selagi ia masih muda, ke kota
suci Syi’ah di Irak. Diyakini bahwa pengikut pembaharu Syi’ah Syaikh Ahmad
Ahsa’i mempunyai pengaruh pada dirinya. Sebagai etnis Persia, al-Afghan
mengklaim sebagai seorang Afghan agar dapat menampilkan dirinya sebagai seorang
Muslim Sunni dan terhindar dari tekanan oleh penguasa Iran Nashiruddin Shah.
Salah satu dari pesaing utamanya, Syaikh Abul-Huda, menyebutnya Muta’afghin
(orang yang mengklaim sebagai Afghan) dan mencoba membuka akar Syi’ahnya.
Nama lain yang digunakan oleh al-Afghan
adalah al-Kabuli dan al-Istanbuli. Khususnya dalam tulisannya yang
dipublikasikan di Afghanistan, ia juga menggunakan nama samara al-Rumi.”
Benar saja! Sekarang semuanya menjadi
jelas, mengapa Sayyid Jamaluddin al-Farisi bersedia menjadi calo dalam
memuluskan Sayyid Hussein sebagai Khalifah kepada Inggris meskipun dengan
mengkhianati Khilafah Islam. Ia ingin menegakkan Khilafah Islam versinya
sendiri dengan Khalifah yang seideologi dengannya. Sebagai seorang politikus
tentu ia dapat membaca arah angin, bahwa telah berdiri sebuah kekuatan baru di
Najd dengan misi pemurnian Islam. Ide-ide “pemurnian Islam” tentu sangat
meresahkan dirinya, dan ia tahu “apa yang harus ia lakukan.”
Dalam “Hussein bin Ali, Sharif of Mecca” pada
Wikipedia dimuat (kami terjemahkan):
“Sayyid Hussein bin Ali (1854 – 4 Juni
1931) adalah Sharif Mekkah dan Amir Mekkah, dari 1908 hingga 1917, ketika ia
memproklamirkan dirinya sebagai Raja Hijaz, yang mendapat pengakuan
internasional. Ia memulai Revolusi Arab pada 1916 melawan Imperium Utsmaniyah
yang semakin menjadi nasionalistik selama berjalannya Perang Dunia Pertama.
Pada 1924, ketika Khilafah Ustmaniyah dibubarkan, ia selanjutnya
memproklamirkan dirinya sebagai Khalifah bagi seluruh kaum Muslimin. Ia
memerintah Hijaz hingga 1924, ketika, dikalahkan oleh Abdul Aziz al-Saud, ia
menyerahkan kerajaan dan semua gelarnya kepada anak lekakinya yang tertua Ali.”
Jelas sekali, selaras dengan catatan
harian Khalifah Abdul Hamid II, Sharif - Sayyid Hussein adalah seorang
pemberontak. Ia dikalahkan oleh Ibnu Saud pada 1924, tepat ketika Khilafah
Utsmaniyah telah runtuh.
Mata-mata penghubung antara dunia Arab
dan Inggris
Pada masa Revolusi Arab untuk melepaskan
dirinya dari Khilafah Islam, terdapat seorang agen rahasia Inggris yang sangat
terkenal, T. E. Lawrence. Kita akan memeriksa, kepada siapa ia berhubungan
selama periode perang tersebut.
(Wikikedia: T.E. Lawrence – kami
terjemahkan)
“Selama perang, Lawrence berperang
bersama tentara lokal Arab di bawah komando Amir Faisal, putera dari Sharif
Hussein di Mekkah, dalam operasi-operasi gerilya yang berkepanjangan melawan
angkatan bersenjata dari Imperium Utsmaniyah. Ia membujuk orang-orang Arab agar
tidak melakukan serangan frontal pada kubu Utsmaniyah di Madinah, melainkan
cukup dengan membiarkan tentara Turki terikat di garnizun kota tersebut.
Kemudian orang-orang Arab bebas mengerahkan sebagian besar upaya mereka pada
titik terlemah Turki, yaitu jalur kereta api Hijaz yang memasok kebutuhan
garnizun tersebut. Hal ini sangat memperluas medan pertempuran dan mengikat
lebih banyak lagi tentara Utsmaniyah, yang kemudian terpaksa menjaga jalur
kereta api dan memperbaiki kerusakan yang terus-menerus muncul…”
Jelas sekali, T.E. Lawrence adalah sekutu
dan penasihat Sayyid Hussein dalam upaya meruntuhkan Khilafah Islam.
[Pesta Amir Faisal di Versailes, selama
Konperensi Damai Paris 1919. Kiri hingga kanan: Rustum Haidar, Nuri as-Said,
Pangeran Faisal (depan), Kapten Pisani (belakang), T.E. Lawrence, budak hitam Faisal
(nama tidak diketahui), Kapten Hassan Khadri.]
Informasi yang selaras kita dapati pada
artikel Wikipedia berjudul “Siege of Medina” (Pengepungan Madinah – kami
terjemahkan)
“Kejadian
Pada Juni 1916 Sharif Hussein, penguasa
kota Mekkah dari bani Hashim, melakukan revolusi terhadap Imperium Utsmaniyah
yang, di bawah penguasa Turki Muda, ketika itu telah memulai gerakan ke arah
nasionalisme etnis dan tengah mengecilkan kekuasaan Khalifah. Hussein ingin
bergerak ke utara dan menciptakan sebuah negara Arab dari Yaman hingga Damaskus
dan memapankan Khilafah bani Hashim. Ketika itu Madinah sangatlah penting dan
terhubung dengan Imperium Utsmaniyah melalui jalur kereta api. Pasukan Hussein
mengepung Madinah, mulai dari 1916 hingga Januari 1919.
Dengan dukungan Inggris, sebuah serangan
awal dipimpin oleh Faisal, anak lelaki Hussein, dilancarkan terhadap Madinah
pada Oktober 1916; namun demikian, pasukan Arab dipukul mundur dengan kerugian
besar oleh pasukan Turki, yang memiliki kubu perlindungan yang baik dan
diperlengkapi dengan artileri, yang tidak dimiliki pasukan Arab. Ketika
Revolusi Arab secara perlahan-lahan menyebar ke arah utara sepanjang Laut Merah
(yang berujung pada pendudukan Aqabah), strategi Inggris dan Arab untuk
menaklukkan Madinah berubah, dan Faisal dan para penasihatnya menetapkan bahwa
orang-orang Arab akan mendapatkan keuntungan dengan meninggalkan Madinah yang
tak terduduki; hal ini akan memaksa Turki mempertahankan tentaranya untuk
mempertahankan Madinah, dan melindungi jalur kereta api Hijaz, satu-satunya
cara untuk memasok kota tersebut.
Untuk tujuan ini, Nuri as-Said mendirikan
kamp pelatihan militer di Mekkah di bawah pengawasan Aziz al-Masry. Dengan
menggunakan kombinasi sukarelawan Badui, perwira Arab dan desertir Arab
Ustmaniyah yang ingin bergabung dalam Revolusi Arab, Al-Masry menciptakan tiga
brigade infanteri, sebuah brigade berkuda, sebuah brigade zeni, dan tiga
kelompok artileri yang berbeda yang terdiri dari berbagai meriam dan senapan
mesin kaliber berat. Dengan total kekuatannya sebanyak 30.000 orang, Al-Masry
mengusulkan agar ia dibagi menjadi tiga kesatuan tentara:
Tentara Wilayah Timur, di bawah komando
Pangeran Abdullah bin Hussein, akan bertanggung jawab pada pengepungan Madinah
dari timur.
Tentara Wilayah Selatan, di bawah komando
Pangeran Ali bin Hussein, akan memastikan terbentuknya sabuk pengepungan di
sekitar Madinah dari selatan.
Tentara Wilayah Utara, di bawah komando
Pangeran Faisal, akan membentuk sabuk pengepungan di sekitar Madinah dari
utara.
Tentara-tentara ini mempunyai campuran
perwira Inggris dan Perancis yang diperbantukan kepada mereka untuk memberikan
saran-saran taktis militer. Salah satu perwira tersebut adalah T.E. Lawrence.
Komandan tentara Utsmaniyah di Madinah
adalah Fakhri Pasha. Ia tidak menyerah bahkan setelah akhir dari peperangan
walaupun ada permintaan (menyerah) dari Sultan Utsmaniyah. Pada akhirnya
anggota pasukannya mengalami kelaparan akibat kekurangan pasokan dan tentara
yang tersisa termasuk Fakhri Pasha ditangkap.”
Perjanjian rahasia pengaplingan wilayah
Khilafah Utsmaniyah
Sekarang kita sampai pada poin: adakah
dokumen yang menjelaskan perjanjian rahasia yang berupaya mengapling-ngapling
wilayah Khilafah Utsmaniyah? Ya, ada, yaitu Sykes-Picot Agreement.
Mari kita telanjangi Perjanjian
Sykes–Picot tersebut! (Wikepedia: Sykes–Picot Agreement – kami terjemahkan)
“Perjanjian Sykes-Picot pada 1916, yang
secara resmi dikenal sebagai ‘Perjanjian Asia Kecil’ (Asia Minor Agreement),
adalah sebuah kesepakatan rahasia antara pemerintahan Inggris dan Perancis,
dengan persetujuan Rusia, yang menggambarkan pengaruh global dan pengendalian
masing-masing negara tersebut di Asia Barat setelah perkiraan keruntuhan
Imperium Utsmaniyah selama Perang Dunia I. Secara efektif ia membagi-bagi
provinsi-provinsi Arab Utsmaniyah di luar Jazirah Arab menjadi wilayah-wilayah
di bawah pengaruh dan kendali Inggris dan Perancis di masa depan. Persetujuan
tercapai pada 16 Mei 1916. Pasal-pasal dinegosiasikan oleh diplomat Perancis
Francois Georges-Picot dan diplomat Inggris Sir Mark Sykes. Pemerintahan Tsar
Rusia merupakan pihak minoritas dalam perjanjian Sykes-Picot dan ketika,
mengikuti Revolusi Rusia pada Oktober 1917, kaum Bolsheviks mengungkapkan
perjanjian tersebut sebagai: ‘Inggris dipermalukan, Arab cemas dan Turki
gembira.’
Penjatahan Wilayah
Inggris diberi jatah kendali wilayah yang
secara garis besar terdiri dari tepi pantai antara laut dan Sungai Yordania,
Yordania, selatan Irak, dan sebuah wilayah kecil termasuk pelabuhan Haifa dan
Akre, agar mendapatkan jalan tembus ke Mediterania. Perancis diberi jatah
kendali atas Turki tenggara, Irak utara, Suriah dan Libanon. Rusia akan
mendapatkan Istambul, Selat Turki dan wilayah Armenia Utsmaniyah. Para negara
Adi kuasa itu dibiarkan bebas untuk memutuskan batas-batas negara di dalam
wilayah-wilayah tersebut. Negosiasi lebih lanjut diharapkan dapat menentukan
adminstrasi internasional yang belum dikonsultasikan dengan Rusia dan
kekuatan-kekuatan lainnya, termasuk Sharif Mekkah.
Janji-janji yang bertentangan
Lord Curzon mengatakan bahwa negara adi
daya masih setia dengan Perjanjian Reglement Organique yang menyangkut wilayah
Libanon pada Juni 1861 dan September 1864, dan bahwa hak yang diberikan kepada
Perancis di wilayah biru pada Perjanjian Sykes-Picot tidak sesuai dengan
perjanjian tersebut. Perjanjian Reglement Organique adalah perjanjian
internasional menyangkut pemerintahan dan non-intervensi pada masalah Maronit,
Ortodoks, Druze, dan masyarakat Muslim.
Pada Mei 1917, Ormsby-Gore menulis
“Tujuan Perancis di Suriah tidak cocok dengan tujuan perang Sekutu sebagaimana
yang disampaikan kepada Pemerintah Rusia. Jika penentuan nasib sendiri dari
warga negara adalah merupakan prinsipnya, campur tangan Perancis dalam
pemilihan para penasihat kepada Pemerintahan Arab dan usulan Perancis mengenai
para amir yang akan dipilih oleh orang-orang Arab di Mosul, Alepo, dan Damaskus
akan terlihat tidak cocok dengan ide kami dalam memerdekakan negara-negara Arab
dan memapankan sebuah negara Arab yang bebas dan merdeka. Pemerintah Inggris,
dalam mengukuhkan surat-surat yang dikirimkan kepada Raja Husssein sebagai
kepala negara Arab konsisten dengan keinginan Perancis untuk membuat tidak
hanya Suriah melainkan Mesopotamia sebelah utara sebagai semacam Tunis lain.
Jika dukungan kami kepada Raja Hussein dan para pemimpin Arab lainnya yang
asal-usul dan prestisenya kurang dikenal mempunyai arti, ini berarti bahwa kami
bersiap untuk mengakui kemerdekaan penuh dari orang-orang Arab di Arabia dan
Suriah. Nampaknya kini waktunya untuk memberitahu Pemerintah Perancis mengenai
pernyataan terperinci kami kepada Raja Hussein, dan untuk menjelaskan kepada
Raja Hussein apakah ia atau orang lain yang akan menjadi penguasa Damaskus,
yang mungkin akan menjadi ibu kota negara Arab, yang dapat memerintah Amir-amir
Arab lainnya.”
Banyak sumber melaporkan bahwa perjanjian
ini bertentangan dengan Korespondensi Hussein-McMahon pada 1915-1916. Juga
telah dilaporkan bahwa publikasi Perjanjian Sykes-Picot menyebabkan pengunduran
diri Sir Henry McMahon. Namun demikan, rencana Sykes-Picot itu sendiri
menyatakan bahwa Perancis dan Inggris Raya bersiap-siap menerima dan melindungi
sebuah negara Arab merdeka, atau Konfederasi Negara-negara Arab, di bawah
kekuasaan seorang pemimpin Arab di dalam wilayah bertanda A dan B pada peta.
Tak ada rencana menghindari pemerintahan raja-raja Arab di wilayah-wilayah yang
tersisa.
Pertentangan berasal dari Penyelesaian
secara pribadi Inggris-Perancis, pasca-perang, 1-4 Desember 1918. Penyelesaian
tersebut dinegosiasikan antara Perdana Menteri Inggris Lloyd George dan Perdana
Menteri Perancis Geoges Clemenceau dan menyebabkan banyak dari garansi dalam
perjanjian Hussein-McMahon menjadi tidak sah. Penyelesaian tersebut bukan
merupakan bagian dari Perjanjian Sykes-Picot. Sykes tidak berhubungan dengan
kantor (Inggris di) Kairo yang telah berkorespondensi dengan Sharif Hussein bin
Ali, tetapi ia (Sykes) dan Picot mengunjungi Hijaz pada 1917 untuk
mendiskusikan perjanjian dengan Hussein. Pada tahun yang sama ia dan seorang
dari perwakilan Kementrian Luar Negeri Perancis menyerahkan sebuah pernyataan
publik kepada Kongres Suriah di Paris mengenai unsur-unsur non-Turki dari
Imperium Utsmaniyah, termasuk membebaskan Yerusalem. Ia menyatakan bahwa fakta
dari kemerdekaan Hijaz menyebabkannya hampir tidak mungkin menolak adanya suatu
otonomi yang efektif dan nyata untuk Suriah.
Sumber konflik terbesar adalah Deklarasi
Balfour 1917. Lord Balfour menulis sebuah memorandum dari Konperensi Perdamaian
Paris yang menyatakan bahwa sekutu-sekutu lainnya telah secara implisit menolak
perjanjian Sykes-Picot dengan mengadopsi sistem mandat. Ini membolehkan bagi
non-aneksasi, preferensi perdagangan, atau keuntungan-keuntungan lainnya. Ia
juga menyatakan bahwa Sekutu tetap setia dengan Zionisme dan tidak mempunyai
maksud untuk menghormati janji-janji mereka kepada pihak Arab…
Kejadian-kejadian setelah pengungkapan
rencana tersebut kepada publik
Klaim-klaim Rusia pada Imperium
Utsmaniyah telah disangkal dengan terjadinya Revolusi Bolshevik, dan kaum Bolshevik
membuka ke publik salinan Perjanjian Sykes-Picot (demikian pula
perjanjian-perjanjian lainnya). Mereka mengungkapkan teksnya secara lengkap di
koran Izvestia dan Pravda pada 23 November 1917, diikuti oleh the Manchester
Guardian yang mencetak teks-teks tersebut pada 26 November 1917. Hal ini
menyebabkan rasa malu yang sangat besar antara pihak sekutu dan timbulnya rasa
saling tidak percaya di antara mereka dan pihak Arab. Kaum Zionis juga sama
kesalnya dengan Perjanjian Sykes-Picot dibuka ke publik hanya tiga minggu
setelah Deklarasi Balfour.
Deklarasi Inggris-Perancis November 1918
menyatakan bahwa Inggris Raya dan Perancis akan membantu dalam menyusun
pemerintahan dan administrasi lokal di Suriah dan Mesopotamia dengan
“menyiapkan pemerintahan dan administrasi nasional berdasarkan otoritas mereka
memilih penduduk lokal.” Perancis dengan enggan menyetujui penerbitan deklarasi
tersebut atas desakan Inggris. Catatan dari rapat Kabinet Perang Inggris
mengungkapkan bahwa Inggris telah menyebutkan hukum penaklukan dan pendudukan
militer untuk menghindari pembagian pemerintahan tersebut dengan Perancis di
bawah sebuah rezim sipil. Inggris menekankan bahwa pasal-pasal deklarasi
Inggris-Perancis telah menggantikan Perjanjian Sykes-Picot agar dapat menjustifikasi
negosiasi yang baru atas penjatahan wilayah Suriah, Mesopotamia, dan Palestina.
Pada 30 September 1918 para pendukung
Revolusi Arab di Damaskus menyatakan loyalitasnya kepada Sharif Mekkah. Ia
telah dinyatakan sebagai ‘Raja Arab’ oleh sebagian kecil pemimpin agama dan
para pemuka lainnya di Mekkah. Pada 6 Januari 1920 Faisal (putera Hussein)
memulai suatu perjanjian dengan Clemenceau yang mengakui ‘hak Suriah untuk
bersatu dan pemerintahan sendiri sebagai sebuah negara merdeka.’ Sebuah rapat
Kongres Pan-Suriah di Damaskus telah mendeklarasikan suatu negara Suriah yang
merdeka pada 18 Maret 1920. Negara baru tersebut meliputi bagian-bagian dari
Suriah, Palestina, dan Mesopotamia utara. Raja Faisal dideklarasikan sebagai
kepala negara. Pada saat yang sama Pangeran Zaid, saudara Faisal,
dideklarasikan sebagai penguasa dari Mesopotamia.
Konperensi San Remo dengan terburu-buru
diselenggarakan. Inggris Raya dan Perancis serta Belgia kesemuanya menyetujui
untuk mengakui kemerdekaan sementara Suriah dan Mesopotamia, seraya mengklaim
memiliki mandat bagi pemerintahan mereka. Palestina terdiri dari distrik Suriah
selatan pemerintahan Utsmaniyah. Di bawah hukum internasional yang lazim,
pengakuan terlalu awal dari kemerdekaannya akan merupakan penghinaan kasar terhadap
pemerintahan dari negara yang baru saja dideklarasikan. Ia dapat saja
ditafsirkan sebagai pernyataan campur tangan akibat kurangnya sanksi Liga
Bangsa-bangsa (cikal bakal PBB) terhadap mandat tersebut. Pada setiap kejadian,
kemerdekaan sementaranya tidak disebutkan, walaupun kemudian berlanjut untuk
ditunjuk sebagai Mandat Kelas A.
Perancis telah memutuskan untuk
memerintah Suriah secara langsung, dan melakukan aksi untuk memaksakan mandat
Perancis terhadap Suriah sebelum pasal-pasal (perjanjian) diterima oleh Dewan
Liga Bangsa-bangsa. Perancis mengeluarkan ultimatum dan mengintervensi secara
militer pada Pertempuran Maysalun pada Juni 1920. Mereka mendepak pemerintahan
lokal Arab, dan menyingkirkan Raja Faisal dari Damaskus pada Agustus 1920. Inggris
Raya juga menunjuk Pengawas Tinggi dan menetapkan rezim kemandatan mereka
sendiri di Palestina, tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Dewan
Liga Bangsa-bangsa atau mendapat wilayah yang melepaskan diri dari negara yang
berdaulat sebelumnya, yaitu Turki.
Upaya-upaya untuk menjelaskan
tindakan-tindakan Sekutu dilakukan pada Konferensi San Remo dan pada Kertas
Putih Churchill 1922. Kertas Putih tersebut menyatakan posisi Inggris bahwa
Palestina merupakan bagian dari wilayah-wilayah yang dikeluarkan dari ‘Suriah
yang membentang ke barat dari Distrik Damaskus.’
Pengungkapan catatan-catatan rahasia ke
publik
Lord Grey telah menjadi Menteri Luat
Negeri selama negosiasi McMahon-Hussein. Berbicara di House of Lords pada 27
Maret 1923, ia menjelaskan bahwa, untuk bagiannya, ia merasakan keragu-raguan
yang serius atas keabsahan penafsiran Pemerintahan Inggris (pemerintahan
Churchill) atas pernyataannya, sebagai Menteri Luar Negeri, yang telah ia
berikan kepada Sharif Hussein pada 1915. Ia meminta agar semua perundingan
rahasia yang menyangkut Palestina dibuka ke publik.
Banyak dari dokumen-dokumen yang relevan
di Arsip Nasional kemudian dinyatakan bukan lagi rahasia dan dipublikasikan. Di
antaranya adalah berbagai jaminan kemerdekaan Arab yang diberikan oleh Menteri
Peperangan, Lord Kitchener, Kuasa Muda India, dan lain-lainnya di Kabinet
Perang. Catatan dari rapat Kabinet Komite Ketimuran, yang diketuai oleh Lord
Curzon, diselenggarakan pada 5 Desember 1918 untuk mendiskusikan berbagai
penanganan Palestina menjadi jelas bahwa Palestina belum dikeluarkan dari
persetujuan dengan Hussein. Jenderal Jan Smuts, Lord Balfour, Lord Robert
Cecil, Jenderal Sir Henry Wilson, Ketua Staf Jenderal Imperial dan perwakilan
dari Kantor Luar Negeri, Kantor (urusan) India, Departemen Angkatan Laut,
Kantor Peperangan, dan Departemen Keuangan hadir. T.E Lawrence juga hadir
berdasarkan catatan yang dijelaskan oleh Lord Curzon:
“Posisi Palestina adalah ini. Jika kita
bekerja sesuai dengan komitmen kita, pertama terdapat pernyataan umum kepada
Hussein pada Oktober 1915, yang memasukkan Palestina ke dalam wilayah-wilayah
yang Inggris Raya sendiri menyatakan bahwa mereka harus merupakan negara Arab
dan merdeka di kemudian hari….Inggris Raya dan Perancis – Italia selanjutnya
setuju – memberikan komitmen mereka bagi suatu pemerintahan internasional di
Palestina dengan berkonsultasi dengan Rusia, yang merupakan sekutu pada waktu
itu…Suatu corak baru dimasukkan pada November 1917, ketika Tuan Balfour, dengan
otoritas Kabinet Perang, menerbitkan deklarasinya yang terkenal kepada Zionis
bahwa Palestina harus merupakan rumah nasional bagi kaum Yahudi, tetapi bahwa
tidak ada yang harus dilakukan – dan ini, tentu saja, merupakan suatu syarat
yang penting – untuk mencurigai hak-hak sipil dan keagamaan dari masyarakat
non-Yahudi di Palestina. Semua itu, sejauh yang saya ketahui, adalah
perjanjian-perjanjian yang kita lakukan menyangkut Palestina.”
Pada 17 April 1964, The Times London
memublikasikan potongan dari suatu memorandum rahasia yang telah dipersiapkan
oleh Departemen Intelejen Politik dari Kantor Kementrian Luar Negeri untuk
delegasi Inggris ke konperensi perdamaian Paris. Rujukan bagi Palestina
disebutkan:
“Menyangkut Palestina. H.M.G dijanjikan
oleh surat Sir Henry McMahon kepada Sharif pada 24 Oktober 1915, yang
memasukkannya dalam batas-batas wilayah kemerdekaan Arab…tetapi mereka telah
menyatakan kebijakan mereka menyangkut Tanah Suci Palestina dan kolonisasi
Zionis dalam pesan mereka kepadanya pada 4 Januari 1918.”
Dokumen lain, yang merupakan sebuah
pernyataan sementara untuk diajukan pada konperensi perdamaian, tetapi tidak
pernah diajukan, mencatat:
“Seluruh Palestina…terletak di dalam
batas-batas yang telah dinyatakan sendiri oleh H.M.G kepada Sharif Hussein
bahwa mereka akan mengakui dan menjunjung tinggi kemerdekaan negara-negara
Arab.”
Penjelasan Lloyd George
Catatan yang dibuat Inggris selama
Konperensi Dewan Empat yang berlangsung di apartemen Perdana Menteri di 23 Rue
Nitot, Paris, pada Kamis, 20 Maret 1919, jam 3 sore memberikan kejelasan lebih
lanjut. Catatan tersebut mengungkapkan bahwa:
§ Wilayah biru yang “memperbolehkan
Perancis untuk menetapkan pemerintahan atau pengendalian langsung maupun tidak
langsung sebagaimana yang mereka kehendaki yang mungkin dapat diatur dengan
negara Arab atau Konfederasi Negara-negara Arab” tidak termasuk Damaskus, Homs,
Hama, atau Aleppo. Pada wilayah A. Perancis bersiap-siap untuk mengakui dan
mendukung sebuah negara Arab yang merdeka atau Konfederasi Negara-negara Arab.’
§ Sejak Perjanjian Sykes-Picot 1916,
semua sistem kemandatan telah diterapkan. Jika sebuah mandat dijaminkan oleh
Liga Bangsa-bangsa atas wilayah-wilayah ini, semua yang diminta Perancis adalah
bahwa Perancis seharusnya menyisihkan bagian itu untuknya.
§ Lloyd George mengatakan bahwa ia tidak
dapat melakukannya. Liga Bangsa-bangsa tidak dapat dipergunakan untuk
menyisihkan tawar-menawar kami dengan Raja Hussein. Ia menanyakan kalau M.
Pichon berminat untuk menduduki Damaskus dengan tentara Perancis? Jika ya, ini
akan jelas merupakan pelanggaran terhadap Kesepakatan dengan pihak Arab. M.
Pichon mengatakan bahwa Perancis tidak memiliki perjanjian dengan Raja Hussein.
Lloyd George mengatakan bahwa kesemua perjanjian 1916 (Sykes-Picot), didasarkan
pada surat dari Sir Henry McMahon kepada Raja Hussein.
§ Lloyd George, melanjutkan, mengatakan
bahwa dengan dasar surat yang dikutip di ataslah bahwa Raja Hussein telah
mengerahkan semua sumber dayanya ke medan (perang) yang telah menolong kita
untuk mencapai kemenangan. Perancis untuk tujuan-tujuan praktis telah menerima
upaya kita terhadap Raja Hussein dalam menandatangi perjanjian 1916. Ini
bukanlah M. Pichon, melainkan para pendahulunya. Ia terhalang untuk mengatakan
bahwa jika Pemerintah Inggris sekarang menyetujui bahwa Damaskus, Homs, Hama,
dan Aleppo harus dimasukkan ke dalam wilayah pengaruh langsung Perancis, ini
akan memutuskan saling percaya dengan orang Arab, dan mereka tidak dapat
menerima ini.
§ Lloyd George secara khusus khawatir
bahwa M. Clemenceau mengikuti ini. Perjanjian 1916 telah ditandatangani sebagai
kelanjutan dari surat kepada Hussein. Dalam penyaringan berikutnya dari
perjanjian 1916 Perancis mengakui kemerdekaan Arab: “Telah dipahami bersama
antara Pemerintah Perancis dan Inggris – (1) bahwa Perancis dan Inggris Raya
bersiap-siap untuk mengakui dan menjunjung tinggi kemerdekaan negara Arab atau
Konfederasi Negara-negara Arab di wilayah A dan B yang ditandai pada lampiran
peta di bawah penguasaan seorang Ketua Arab.” Jadi Perancis, dengan aksi ini,
praktis mengakui perjanjian kita dengan Raja Hussein dengan mengeluarkan
Damaskus, Homs, Hama, dan Aleppo dari wilayah biru dari pemerintahan langsung,
untuk peta yang dilampirkan pada perjanjian memperlihatkan bahwa Damaskus,
Homs, Hama dan Aleppo dimasukkan, tidak di dalam wilayah pemerintahan langsung,
melainkan dalam negara Arab merdeka. M. Pichon mengatakan bahwa ini belum
pernah digugat, tetapi bagaimana Perancis bisa diikat oleh sebuah perjanjian
yang benar-benar nyata dan diketahuinya pada waktu ketika perjanjian 1916
tersebut ditantangani? Dalam perjanjian 1916 Perancis belum mengakui Hijaz
dalam bentuk apa pun. Ia telah melakukan dukungan “suatu negara Arab atau
Konfederasi Negara-negara Arab yang merdeka,” tetapi tidak untuk Raja Hijaz.
Jika Perancis dijanjikan sebuah mandat untuk Suriah, ia akan melakukan sesuai
perjanjian dengan negara Arab atau Konfederasi Negara-negara Arab. Inilah peran
yang diinginkan Perancis di Suriah. Jika Inggris Raya hanya akan menjanjikan
kepada Perancis kantor yang baik, ia percaya bahwa Perancis akan mencapai
kesepakatan dengan Faisal.
Konsekuensi dari perjanjian tersebut
Perjanjian tersebut dilihat oleh banyak
kalangan sebagai titik balik dalam hubungan Barat/Arab. Perjanjian tersebut
mengabaikan janji-janji yang diberikan kepada pihak Arab melalui T.E. Lawrence
bagi sebuah tanah air Arab di wilayah Suriah Raya, sebagai imbalan atas
keberpihakan mereka dengan kekuatan Inggris melawan Imperium Utsmaniyah.
Pasal-pasal penting dalam perjanjian
tersebut dikukuhkan kembali dalam konperensi antar-Sekutu di San Remo pada
19-26 April 1920 dan ratifikasi mandat Liga Bangsa-bangsa yang dihasilkan oleh
Dewan Liga Bangsa-bangsa pada 24 Juli 1922.”
Selesai dari Wikipedia.
Sekarang kita tahu siapa “badut”
sebenarnya yang telah memberontak kepada Khilafah Islam yang menaunginya dan
“menjual dirinya” kepada Inggris serta melakukan tawar-menawar untuk
mengapling-ngapling wilayah Khilafah Islam!
Wallahua’lam
Mengenal
'Arab Revolt' (Pemberontakan Keluarga Sufi Melawan Turki Utsmani)
Semasa Perang Dunia I, Kekaisaran Ottoman
atau Turki Utsmaniyah itu memihak Blok Sentral yang dimotori oleh Jerman, yang
berperang melawan Sekutu. Adapun Inggris yang berada di pihak Sekutu saat itu
mulai melancarkan strategi mengalahkan Turki Utsmaniyah dari dalam.
Sementara itu pemerintahan pusat Turki
pun mulai menimbulkan berbagai ketidakpuasan dari daerah-daerah kekuasaan
mereka, termasuk bangsa Arab. Ini dimulai pada tahun 1908, ketika Gerakan Turki
Muda (Young Turks) menumbangkan kekuasaan Sultan Hamid II. Young Turks yang
kebanyakan anggotanya adalah Donmeh/ crypto Jew, itu sendiri awalnya sebagai
organisasi rahasia Zionis - B’nai B‘rith, yang didirikan oleh Yahudi Italia
Emmanuel Carasso sejak 1890 di Salonika, bagian dari Turki, sekarang Yunani.
Carasso adalah pemimpin Italian Free Masonic Lodge, dengan nama “Macedonia
Resurrected”.
Sejak saat itu Kekaisaran Turki Usmaniyah
yang semula kosmopolitan dan toleran, dalam pengaruh Young Turks yang dikontrol
Rothschild, mulai secara terang-terangan melakukan diskriminasi terhadap
penduduk “non-Turki-nya”. Bangsa Arab khususnya dihadapkan dengan penganiayaan
politik, budaya dan bahasa. [Bangsa Armenia di genosida, 1915 oleh crypto Jew
Young Turks, bukan oleh Turki Usmaniyah]. Ketika memasuki Perang Dunia I di
sisi Blok Sentral pada tahun 1914, Kekaisaran Turki telah melarang keras
penggunaan bahasa Arab maupun mengajarkannya di sekolah-sekolah, juga menangkap
banyak tokoh nasionalis Arab di Damaskus dan Beirut. [Apalagi setelah crypto
Jew agen Rothschild lainnya, yaitu Mustafa Kemal Ataturk menjadi presiden
Turki, 1923].
Orang Arab juga memandang pembangunan
Hijaz Railway, yang menghubungkan Damaskus dan Makkah, sebagai ancaman yang
dimaksudkan untuk memfasilitasi mobilitas pasukan Turki ke jantung Arab.
Syarif Husein
Pada bulan Juni 1916, Syarif Husein
sebagai kepala nasionalis Arab, bersekutu dengan Inggris dan Perancis,
memprakarsai pemberontakan besar 'Arab Revolt' melawan kekuasaan Turki
Utsmaniyah. Syarif Husein sendiri, seorang Sufi Hasyimiyah, penguasa wilayah
Hijaz (Makkah dan Madinah), memiliki cita-cita membebaskan bangsa Arab dari
“penindasan” Kekhalifahan Turki Utsmaniyah yang memang sudah dianggap “sakit”.
Syarif Husein menjadi konseptor
kebangkitan nasionalisme Arab, bertujuan untuk mendirikan sebuah negara tunggal
bangsa Arab dari Aleppo hingga Aden. Putra-putra Syarif Husein, Abdullah dan
Faisal, juga turun memimpin pasukan Arab menyerang hingga ke Aleppo.
Satu nama terkenal yang menjadi penasehat
militer sekaligus sponsor atau kepanjangan tangan sekutu bagi keluarga
Hasyimiyah melawan Kekaisaran Ottoman adalah agen Inggris (Rothschild) di
Mesir, seorang crypto Jew, Thomas Edward Lawrence atau dikenal sebagai
“Lawrence of Arabia”.
Faisal bin Husein (depan) dan T.E.
Lawrence
dalam suatu pertemuan Paris 1919
Sedikit demi sedikit pemberontakan
keluarga Hasyimiyah berhasil menaklukkan pasukan Turki di tanah Arab. Pasukan
Faisal bin Husein dan sekutu Eropanya akhirnya berhasil membebaskan Damaskus
dari pemerintahan Utsmani pada tahun 1918. Selain itu, Turki Utsmaniyah juga
menderita kekalahan dalam Perang Dunia I.
Pemberontakan ini dimulai dengan
penguasaan kota suci Mekah oleh Syarif Husein melalui pertempuran yang
berlangsung mulai 10 Juni hingga 4 Juli, tahun 1916 melawan Ghalib Pasha
(gubernur Turki Usmaniah wilayah Hijaz). Pertempuran berlangsung cukup singkat
karena sebagian besar tentara Ottoman berada di Thaif, yang menjaga kota suci
Mekah hanya sejumlah 1.000 orang, melawan 5.000 pasukan Syarif Husein plus
bantuan Inggris Sir Reginald Wingate yang mengirimkan dua artileri dari Sudan
melalui Jeddah dengan penembak terlatih dari Mesir.
Setelah Mekah dikuasai, kemudian
dilanjutkan dengan pertempuran merebut Madinah. Kota suci kedua umat Islam ini
dikepung oleh 30.000 tentara Syarif Husein dari tiga arah. Ini menjadi salah
satu pengepungan terpanjang dalam sejarah yang berlangsung bahkan setelah akhir
perang, yaitu selama dua tahun dan empat bulan (Oktober 1916 sampai 10 Januari
1919). Fakhruddin Pasha adalah pembela Madinah mewakili Turki Usmaniyah. Ia
dijuluki sebagai "Singa Gurun" oleh Inggris untuk patriotisme di
Madinah.
Madinah dikepung dari tiga arah (hm..
jadi ingat perang kandhaq). Dari arah timur di bawah komando Abdullah bin
Husein, arah selatan diperintahkan oleh Ali bin Husein, dan dari arah utara,
dipimpin oleh Faisal bin Husein, masing-masing sebanyak 10.000 tentara. Tentara
ini memiliki campuran perwira Inggris dan Perancis yang menyertainya, yang
memberikan bantuan teknis militer. Salah satu perwira ini adalah T. E.
Lawrence.
Umar Fakhruddin Pasha
Garnisun Ottoman di Madinah, yang
dipimpin Umar Fahruddin Pasha dengan gigih membela kota suci ini. Fahruddin
Pasha tidak hanya harus mempertahankan kota suci Madinah, tetapi juga
melindungi single-track yang sempit dari Hijaz Railway dari serangan sabotase
oleh T.E. Lawrence dan pasukannya, di mana seluruh logistiknya tergantung jalur
kereta api ini. Garnisun Turki terisolasi di stasiun kereta kecil dan bertahan
dalam serangan malam secara terus menerus dan harus menjaga lintasan rel ini
terhadap meningkatnya jumlah sabotase (sekitar 130 serangan besar pada tahun
1917 dan ratusan tahun 1918 termasuk peledakan lebih dari 300 bom pada 30 April
1918).
Saat Kekaisaran Ottoman mengundurkan
diri dari perang dengan Gencatan Senjata
Mudros (30 Oktober 1918), diharapkan bahwa Fahreddin Pasha juga akan menyerah.
Ia menolak dan tidak menyerah bahkan setelah akhir perang meskipun ada
permohonan dari Sultan Ottoman. Namun akhirnya, orang-orangnya menghadapi
kelaparan karena kurangnya pasokan, sehingga garnisun yang tersisa termasuk
Fahreddin Pasha menyerah pada tanggal 10 Januari 1919. Mulai saat inilah
terbentuk kerajaan Hijaz, dipimpin Raja Syarif Husein (1919-1923).
Pemicu 'Arab Revolt' selain hal di atas,
terlebih juga sangat dipengaruhi oleh lobi Inggris (Rothschild) dalam
meyakinkan Syarif Husein untuk segera memberontak melawan Turki. Dalam
korespondensi antara Sir Henry McMahon (pejabat Inggris di Mesir) dan Syarif
Husein, pada tahun 1915-1916, Inggris terus membujuk pemberontakan Arab dan
berjanji akan mendukung semuanya, hingga Arab memperoleh kedaulatan setelah
merdeka dari Turki. Ketidaksepakatan keduanya hanya soal wilayah-wilayah mana
yang akan menjadi milik pasukan Arab nanti.
Inggris dan Perancis sendiri sudah
memiliki agenda rahasia untuk memecah-mecah wilayah Utsmaniyah, yaitu melalui
perjanjian rahasia Sykes-Picot (1916). Melibatkan kekaisaran Rusia, mereka
sepakat berbagi wilayah Turki yang digariskan batas-batasnya. Untuk kawasan
Arab, Inggris akan mendapatkan Trans Jordan dan Irak, sementara Perancis
mendapat Suriah dan Lebanon. Serta satu wilayah khusus yang disebut Palestina
di bawah pengawasan internasional.
Tentu saja isi perjanjian Sykes-Picot ini
bertentangan dengan janji-janji Inggris sebelumnya terhadap pihak Syarif
Husein, bahkan dinilai menguntungkan Zionis. Apalagi muncul deklarasi Balfour
(1917), dimana menteri luar Inggris Arthur James Balfour mengirimkan surat
kepada Rothschild, menjanjikan tanah bagi Yahudi (Zionis) di wilayah Palestina.
Pasca kalahnya Turki, perjanjian
Sykes-Picot direalisasikan dengan sedikit perubahan dalam prakteknya. Kemudian
di tahun 1919, diadakan perjanjian Faisal-Weizzman (tokoh Zionis), yang intinya
bahwa melalui dirinya (Faisal bin Husein), bangsa Arab setuju masuknya orang
Yahudi ke kawasan Palestina untuk memajukan perekonomian setempat.
Keluarga Hasyimiyah di bawah Faisal bin
Husein sempat mengklaim pemerintahan kerajaan Arab pada tahun 1918 yang
berpusat di Damaskus, Suriah. Namun kerajaan ini tidak disukai Perancis,
sehingga pada tahun 1920 Suriah direbut oleh Perancis dalam perang Misalun.
Suriah ditetapkan sebagai mandat Perancis di Suriah dan Lebanon oleh Liga
Bangsa-Bangsa (LBB). Saudara Faisal, Abdullah bin Husein, sempat berencana
untuk merebut kembali Suriah, namun diurungkan karena mandat Perancis diakui
dunia Barat (saat itu).
Setelah digusur di Suriah oleh Perancis,
Faisal kemudian diberi kekuasaan di wilayah Irak yang telah berada di bawah
mandat Inggris, dimana Inggris adalah sekutunya. Penguasaan wilayah di Irak
oleh Faisal dan keluarganya ini berstatus semi otonom, hingga selanjutnya
merdeka dari Inggris pada tahun 1932. Tetapi setelah kematiannya (8/9/1933,
usia 48, bukan karena serangan jantung, tetapi karena racun Arsenik saat
melakukan general medical chekup yang disarankan oleh Rothschild, di Bern,
Switzerland) kondisi politik di Irak mulai memanas. Akhirnya, jejak kerajaan
Hasyimiyah di Irak tak tersisa setelah kekuasaan Faisal II dihancurkan oleh
kaum nasionalis kiri pada 1958.
Hampir bersamaan dengan Irak yang
diberikan kepada Faisal, Inggris juga menyerahkan wilayah Trans Jordan kepada
Abdullah bin Husein. Hingga mandat Inggris berakhir, Yordania sepenuhnya di
bawah keluarga raja Abdullah I. Sekarang keluarga Hasyimiyah hanya berkuasa
atas negara Yordania.
Perbandingan Luas Wilayah antara Kerajaan
Hijaz dan Saudi Arabia
Adapun Hijaz (Makkah dan Madinah),
Alhamdulillah! telah disatukan dengan wilayah yang lebih luas dan sangat kaya
minyak bumi, yaitu Riyadh (Nejd) sehingga membentuk sebuah negara yang sangat
luas dan makmur, Arab Saudi, sejak tahun 1925 oleh dinasti Saud (gambar di
atas). Luas dan kaya rayanya negeri Arab Saudi ini sangat menguntungkan umat
Islam di seluruh dunia, terutama terkait dengan pelaksanaan berbagai ibadah di
tanah suci, di negeri yang berpaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah-Salafiyah
(Hanabilah-Wahhabiyah) ini.
Syarif Husein sebagai sang pencetus 'Arab
Revolt' melawan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah saat itu meninggalkan Hijaz
(1924), setelah terdesak oleh pasukan muwahhid Ibnu Saud. Saat itu Inggris
tidak membantunya (Inggris terikat dengan Treaty of Darin, 1915 dengan Ibnu
Saud, dilanjutkan dengan Treaty of Jeddah, 1927). Syarif Husein meninggalkan putranya,
yaitu Ali atas kontrol Makkah, dan ia pergi terasing ke Siprus dan kemudian
wafat (1931) di Amman, Yordania. (Sumber: http://www.kinghussein.gov.jo/his_arabrevolt.html
etc.).
Perjanjian
Sykes-Picot 1916 dan Skenario Barat Menguasai Timur Tengah
May 25, 2016 By Muhammad Zulifan
Seratus tahun yang lalu di bulan ini, di
tengah-tengah Perang Dunia Pertama, perjanjian rahasia ditetapkan antara
Inggris dan Perancis untuk menguasai
wilayah Kekaisaran Ottoman, yang telah memberikan pengaruh buruk pada dunia
Arab sampai hari ini.
Kedua diplomat junior, Mark Sykes atas
nama Inggris dan François Georges-Picot untuk Perancis, membagi tanah Arab
menjadi dua wilayah pengaruh: area untuk Perancis ( termasuk Suriah dan
Lebanon), serta Area untuk Inggris (termasuk
Irak, Yordan dan Palestina). Di wilayah tersebut, Inggris dan Prancis yang akan
diizinkan untuk membangun pemerintah langsung atau tidak langsung atau kontrol
atas wilayah.
Perjanjian Sykes-Picot 1916 harus
dirahasiakan karena sepenuhnya bertentangan dengan janji-janji yang diberikan kepada Amir
Makkah, Hashemite Hussain Bin Ali, bahwa orang Arab akhirnya akan mendapat
kemerdekaan jika mereka mendukung Sekutu melawan Kekhalifahan Ottoman.
Sir Mark Sykes (kiri), François
Georges-Picot (kanan)
Janji Sekutu tersebut diberikan atas
tindakan Emir Hussain mengerahkan
pasukan Arab untuk berjuang bersama Inggris selama dua tahun ke depan dan
membantu mengakhiri kekuasaan Ottoman di
Arab dan Timur Tengah.
Perjanjian Sykes-Picot diketahui oleh
masyarakat umum ketika Bolshevik merebut
kekuasaan pada tahun 1917 dan menemukan salinan dari dokumen “berbahaya” yang
mereka ungkapkan kepada dunia, dan membuktikan orang-orang Arab yang bermuka
dua.
Lahir dari imperialisme Barat dan
kolonialisme, perjanjian Sykes-Picot menjadi dasar dari mandat PBB setelah
perang berakhir, dan membantu menentukan batas-batas masa depan negara bangsa
(nation state) Arab yang tetap berada di bawah pemerintahan kolonial Inggris
atau Prancis, yang pada gilirannya menjadi faktor utama di balik munculnya kediktatoran militer di tahun 1950-an dan
1960-an.
Peta Mandat PBB 1920
Sepanjang dekade, perjanjian Sykes-Picot
menjabat sebagai pengingat untuk orang-orang Arab dari campur tangan Barat
secara terus-menerus dalam urusan mereka.
Warisan Sykes-Picot bisa dirasakan saat
ini di beberapa negara – termasuk Irak, Suriah dan paling sangat terasa adalah
Palestina. Selain itu, kekuatan Barat yang kembali terlibat di Suriah,
menjadikan kenangan Sykes-Picot membentuk kekhawatiran Arab bahwa Barat masih
belum selesai dengan campur tangannya di wilayah tersebut.
Kronologi
Juli 1914: Perang Dunia Pertama pecah. Kekuatan Eropa
terbagi ke dalam dua kubu: Sekutu, terutama terdiri dari Inggris, Perancis dan
Rusia, versus Blok Sentral – Jerman dan Austria-Hungary.
Kekhalifahan Ottoman segera bergabung
perang dan berpihak ke Jerman, Hal itu
salah satunay disebabkan karena Turki sadar akan ambisi Sekutu yang berusaha
untuk mengontrol semua wilayah Ottoman, termasuk wilayah Arab dari Suriah,
Mesopotamia, Saudi, Mesir dan Afrika Utara.
Sultan Hamid II,Penguasa Kekhalifahan
Turki Ottoman
Maret 1915: Inggris menandatangani
perjanjian rahasia dengan Rusia, yang akan memungkinkan kedua belah pihak untuk
mencaplok ibukota Ottoman dan menguasai daerah strategis lainnya.
November 1915: Inggris dan Prancis mulai
negosiasi dengan sungguh-sungguh, bertujuan untuk membagi warisan wilayah
Kekhalifahan Ottoman yang menguntungkan mereka. Rusia dibuat sadar akan
perjanjian, dan mengiyakan untuk ketentuannya.
Dengan demikian, peta yang ditandai
dengan garis lurus pensil chinagraph telah menentukan nasib orang-orang Arab, membagi mereka
berdasar asumsi serampangan atas garis
suku dan sektarian.
Penjarahan Wilayah Kekhalifahan: Biru,
Merah dan Coklat
Negosiasi atas nama Inggris dipimpin Mark
Sykes, dan mewakili Prancis oleh
François Georges-Picot. Para diplomat memutuskan bahwa setelah Ottoman
dikalahkan, Prancis akan menerima area yang ditandai (a) meliputi: Wilayah
Turki tenggara, Irak utara, termasuk Mosul, sebagian besar Suriah dan Lebanon.
Daerah (b) ditandai sebagai wilayah yang
dikuasai Inggris, yang meliputi: Jordan, Irak selatan, Haifa dan Acre di
Palestina dan jalur pantai antara Laut Tengah dan Sungai Yordan.
Rusia di sisi lain, akan diberikan:
Istanbul, Armenia dan Selat strategis Turki.
Peta penjarahan wilayah terdiri dari
garis, juga warna, bersama dengan bahasa yang dibuktikan dengan fakta bahwa
kedua negara melihat kawasan Arab secara
materialistik, tanpa memperhatikan sedikit pun untuk kemungkinan akibat
dari pecah-belah tersebut akan dampak
peradaban, sejarah dan konflik.
Perjanjian tersebut sebagian terbaca:
“… Di daerah biru Perancis, dan di area
merah Inggris, akan diizinkan untuk membangun administrasi langsung atau tidak
langsung atau kontrol yang mereka inginkan dan mereka anggap cocok untuk
mengatur dengan negara Arab atau konfederasi negara-negara Arab.”
Daerah coklat, namun ditunjuk sebagai
administrasi internasional, sifat yang diputuskan setelah konsultasi lebih
lanjut antara Inggris, Perancis dan Rusia.
Negosiasi Sykes-Picot selesai pada Maret
1916 dan sudah resmi, meskipun diam-diam ditandatangani pada 19 Mei 1916.
Dokumen
asli peta pembagian wilayah yang ditandatangani Sykes-Picot (BBC.com)
Mengapa Perjanjian Harus Rahasia?
Perang Dunia Pertama berakhir pada
tanggal 11 November 1918, setelah pembagian Kekaisaran Ottoman mulai
digalakkan.
Mandat Inggris dan Perancis telah
menguasai entitas Arab yang dibagi,
sedangkan Palestina diberikan kepada gerakan Zionis di mana sebuah negara
Yahudi didirikan tiga dekade kemudian.
Perjanjian yang menyeluruh dirancang
untuk memenuhi kepentingan kolonial Barat, meninggalkan warisan perpecahan,
kekacauan dan perang.
Sementara status quo telah menciptakan
hegemoni negara-negara Barat atas nasib Timur Tengah, gagal untuk menjamin
setiap tingkat stabilitas politik atau menimbulkan kesetaraan ekonomi.
Perjanjian Sykes-Picot berlangsung secara
rahasia untuk alasan tertentu: bertentangan sepenuhnya dengan janji-janji yang
dibuat untuk orang-orang Arab selama Perang Besar (Great War). Kepemimpinan
Arab di bawah komando Sharif Hussain dijanjikan kemerdekaan penuh setelah
perang, sebagai imbalan karena mendukung Sekutu melawan Kekhalifahan Ottoman.
Butuh waktu bertahun-tahun dan
pemberontakan berturut-turut bagi negara-negara Arab untuk mendapatkan
kemerdekaan mereka. Konflik antara orang-orang Arab dan kekuasaan kolonial
mengakibatkan bangkitnya nasionalisme Arab yang lahir di tengah-tengah
kekerasan dan permusuhan, atau lebih tepatnya, sebagai hasil dari Barat.
Amir mekah, Syarif Hussein
Ketika Palestina yang dijanjikan oleh
Inggris sebagai rumah bagi orang-orang
Yahudi pada awal November 1917, dan kemudian menjadi Israel, tuan penjajah
sebagian besar Eropa, nasib wilayah timur Arab Mediterania berubah menjadi basis konflik abadi dan antagonisme.
Kesimpulan
100 tahun setelah dua diplomat Inggris
dan Perancis membagi Arab ke dalam wilayah jajahan mereka, Perjanjian
Sykes-Picot tetap menjadi realitas
dominan di Timur Tengah.
Lima tahun setelah Suriah jatuh ke
konflik , tanda-tanda Sykes-Picot yang sekali lagi dirasakan sebagai campur
tangan Perancis, Inggris, Rusia, dan sekarang Amerika Serikat sebagaimana yang
baru-baru ini dikemukakan Menteri Luar Negeri AS John Kerry sebagai ‘Plan B’ – membagi Suriah berdasarkan garis
sektarian, mungkin sesuai dengan penafsiran baru Barat atas ‘lingkungan yang
berpengaruh. “
Logika yang sama juga diterapkan ke
Libya, yang sampai saat ini pada dasarnya diperintah oleh tiga pemerintah dan
beberapa milisi.
Memang, peta Sykes-Picot merupakan visi mentah yang ditarik buru-buru selama
perang global, namun sejak saat itu telah menjadi kerangka acuan utama
yang Barat gunakan untuk menyetir dunia
Arab serta mengontrol sesuai kemauan mereka.
– Dr Ramzy Baroud telah menulis tentang
Timur Tengah selama lebih dari 20 tahun. Dia adalah seorang kolumnis
internasional, konsultan media, seorang penulis beberapa buku dan pendiri
PalestineChronicle.com. Buku-bukunya antara lain: ‘Searching Jenin’, ‘The Second Palestinian
Intifada’ and his latest ‘My Father Was a Freedom Fighter: Gaza’s Untold Story’
diterjemahkan dari: gulfnews.com
Tuduhan
Terhadap Kerajaan Arab Saudi
Oleh Asy- Syaikh Muhammad bin Umar bin
Salim Bazmul
“Arab Saudi asalnya adalah kelompok
pemberontak (Khawarij), karena dulu mereka berada dibawah kekuasaan Kesultanan
Turki Utsmani.”
Untuk membantah tuduhan itu, yang dari
situ juga Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Su’ud kemudian di
anggap sebagai dua orang pemberontak terhadap turki Utsmani, saya katakan bahwa
daerah Nejed sama sekali tidak pernah berada di bawah kekuasaan Turki Utsmani secara
langsung.(2) Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah pernah
mengatakan.
“Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak
pernah memberontak kepada Turki Utsmani sesuai dengan apa yang saya ketahui dan
yang saya yakini. Tidak ada di daerah Nejed kekuasaan dan kepemimpinan Turki
Utsmani. Bahkan, di daerah Nejed itu yang ada hanya pemerintahan-pemerintahan
kecil berikut daerah-daerah yang terpencar-pencar. Setiap daerah itu, sekecil
apapun, ada seorang pemimpin yang berdiri sendiri. Karena itu, Nejed terdiri
dari pemerintahan-pemerintahan kecil yang berdiri sendiri. Karena itu, Nejed
terdiri dari pemerintahaan-pemerintahan kecil yang disana sering terjadi
berbagai peperangan dan pertikaian antara mereka. Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab sendiri tidak memberontak kepada Turki Utsmani. Yang beliau lakukan
sekedar memerangi perbuatan-perbuatan hina dan rusak yang ada di negerinya.
Beliau berjihad karena Allah dengan sebenar-benar jihad di jalanNya dan
benar-benar bersabar serta tetap teguh di jalan itu sampai cahaya dakwahnya
kemudian memancar ke negeri-negeri yang lain. (3)
Demikianlah keadaan yang sebenarnya.
Selain itu, ditambah keterangan yang ada dalam sejarah, Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhad adalah orang yang memuliakan pemerintahan para syarif yang ada di
Hijaz.(4)
Doktor Shalih bin Abdillah Al-‘Abud juga
pernah menulis,
“Apa yang dikatakan orang-orang baik dulu
maupun sekarang bawah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pemimpin
Dinasti Saudi (periode pertama) telah memberontak kepada pemerintahan kaum
muslimin (Turki Utsmani),maka itu tidak benar. Sebab, sebenarnya Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab dan pemimpin Dinasti Saudi, Muhammad bin Su’ud, serta
orang-orang yang membantu mereka mendapatkan ada orang yang berjuang dalam
rangka menegakkan kalimat syahadat la ilaha illallah dan Muhammad rasulullah.
Bukan selain itu. Seandainya mereka mendapatkan ada orang yang berjuang dalam
rangka menegakkan kalimat itu dibawah naungan pemerintahan Turki Utsmani,
niscaya mereka akan tunduk dan taat kepadanya. Sungguh, Abdul Aziz bin Muhammad
penakluk mekkah dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab meminta Syarif mekkah
berjuang menolong agama kakeknya, Nabi Muhammad shalallahu’alaiwasalam. Dalam
pidatonya, Abdul Aziz menggelari Syarif Mekkah dengan gelar Al-Khadim dan akan
kami sebutkan satu contoh akan hal itu. Syaikh Husain bin Ghanam menyebutkan di
dalam Tariknya pada tahun 1185,(5) bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan
Abdul Aziz telah mengirim beberapa hadiah kepada salah seorang Syarif mekkah,
Ahmad bin Sa’id. Tidak dapat ditolak bahwa sebelumnya Syarif Mekkah itu
melakukan surat –menyurat dan meminta kepada mereka agar mengirim seorang yang
paham dan berilmu terhadap agama dari kelompok mereka yang akan menjelaskan
kepada penduduk mekkah tentang hakekat dakwah yang mereka serukan sekaligus
mendampingi ulama-ulama mekkah. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Abdul Aziz
mengutus kepada Syarif mekkah Syaikh Abdul Aziz Al-Hushain. Bersamanya
dibawahkan sepucuk surat untuk Syarif mekkah yang tertulis.
‘Bismillahirahmanirrahim.
Surat ini ditujukan kepadamu, Syarif
Ahmad bin Syarif said yang mudah-mudahan Allah Subhanallahuwata’ala
melanggengkan keutamaan nikmat-nikmatNya untuk mu dan mudah-mudahan juga
melalui perantaraanya Allah Subhanallahuwata’ala muliakan agama kakeknya
pemimpin jin dan manusia.
Sungguh, ketika surat ini sampai kepada
Al-Khadim kemudian ia perhatikan apa yang ada di dalamnya berupa kalimat yang
baik, niscaya ia akan angkat kedua tangannya berdoa kepada Allah
Subhanallahuwata’ala agar Dia menguatkan Al-Khadim ketika tujuannya adalah
menolong syariat Nabi Muhammad Sholallahualaiwasalam serta orang-orang yang
mengikutinya, memusuhi orang-orang yang keluar darinya, dan ini adalah wajib
bagi para penguasa. Ketika kalian meminta kami seorang yang berilmu, maka kami
pun melaksanakan perintah tersebut. Dan orang yang dimaksud telah sampai kepada
kalian. Mudah-mudahan Allah muliakan Syarif mekkah dan para ulamanya. Jika
mereka telah sepakat, maka segala puji hanya bagi Allah atas hal itu. Jika mereka
berbeda pendapat, maka aku akan hadirkan kepada paduka, Syarif mekkah,
kitab-kitab hukum mereka dan kitab-kitab hukum mazhab Hanbali. Wajib bagi
masing-masing kita untuk menolong rasulNya sebagaimana yang Allah Azza wajalla
firmankan,
وَإِذْ أَخَذَ ٱللَّهُ مِيثَٰقَ ٱلنَّبِيِّۦنَ
لَمَآ ءَاتَيْتُكُم مِّن كِتَٰبٍۢ وَحِكْمَةٍۢ ثُمَّ جَآءَكُمْ رَسُولٌۭ
مُّصَدِّقٌ
مَا مَعَكُمْ لَتُؤْمِنُنَّ بِهِۦ
وَلَتَنصُرُنَّهُ
‘Dan ingatlah,ketika Allah mengambil
perjanjian dari para nabi, sungguh, apa saja yang Aku berikan kepada kalian
berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepada kalian seorang Rasul yang
membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh
beriman kepadanya dan menolongnya.’ (QS.Ali’Imran :81)
karena itu, jika Allah Azza Wajalla telah
mengambil perjanjian kepada para nabi bahwa jika mereka menjumpai Nabi Muhammad
shalallahu’alaiwasalam agar beriman kepadanya dan menolongnya,maka bagaimana
dengan kitra, wahai umatnya? Wajib bagi kita mengimaninya. Wajib pula menolongnya.
Tidak cukup hanya salah satu. Orang-orang yang paling berhak dan utama akan hal
itu adalah ahlul bait yang Allah telah memilih utusaNya dari tengah mereka dan
Allah telah memuliakan mereka di atas penduduk bumi yang lain. Mereka itu
adalah keturunan Rasulullah shalallahu’alaiwasalam orang-orang yang diketahui
sebagai syarif, termasuk juga anak –keturunan mereka. Mudah-mudahan Allah Azza
Wajalla selalu memuliakan mereka dan menjadikan mereka tergolong sebagai
al-khadim al-haramyn serta mendapat penjagaan dan pengawasan Allah’.’’
Ibnu Ghanam Rahimahullah pernah menulis,
“Ketika sampai kepada mereka Syaikh Abdul
Aziz Al-Husain yang disebutkan tadi, maka ia pun dating kepada Syarif mekkah
yang bergekar Al Fa’r. Bertemulah Syaikh Abdul Aziz dengan sebagian ulama
mekkah. Di antara memreka adalah Yahya bin Shalih Al-Hanafi, Abdul Wahhab bin
Hasan At-Turki seorang mufti penguasa, dan Abdul Ghani bin Hilal. Mereka
kemudian berdiskusi tentang (1) bahwa kami dituduh mengkafirkan orang, (2)
bahwa kami menghancurkan kubah-kubah yang ada di atas kuburan, dan (3) bahwa
kami mengingkari bolehnya meminta syafaat kepada orang-orang shalih yang telah
meninggal dunia. Syaikh Abdul Aziz pun menjelaskan kepada mereka bahwa tuduhan
pengkafiran secara umum kepada kami adalah kedustaan dan kebohongan atas kami.
Adapun penghancuran kubah-kubah, maka itu betul. Perkara tersebut adalah
sesuatu yang benar, sebagaimana yang tertulis dalam kitab-kitab para ulama, dan
tidak ada keraguan ataupun kebimbangan sedikit pun di tengah para ulama dalam
permasalahan itu. Adapun berdoa kepada orang-orang shaleh yang telah meninggal
dunia dan meminta syafaat kepada mereka serta beristighasah kepada mereka
ketika banyak musibah datang, maka sungguh para imam mazhab telah menegaskan
dan menetapkan bahwa hal itu termasuk kesyirikan yang telah dilakukan oleh kaum
musyrikin dulu. Tidak ada yang mendebat hal itu kecuali setiap orang menyimpang
dan bodoh. Syaikh Abdul Aziz dan ulam-ulama mekkah akhirnya mendatangkan
kitab-kitab mazhab hanbali, seperti Al-Iqna. Di dalamnya mereka mereka
mendapatkan istilah Al-Wasa’ith dan keterangan ijma’ tentangnya. Dengan itulah
kemudian mereka puas. Mereka pun membuat kesepakatan bahwa itu (larangan
meminta syafaat kepada orang-orang saleh yang telah meninggal dunia-penerj.)
adalah agama Allah yang telah diketahui dan di umumkan oleh banyak orang.
Ulama-ulama mekkah yang bersama Syaikh Abdul Aziz mengakui, ini adalah mazhab
imam yang agung. Dengan penghormatan dan pemuliaan dari para ulama mekkah,
Syaikh Abdul Aziz pulang meninggalkan mereka.”(6)
---------
(1) Kitab Tarikh Mamlakah Al-‘Arabiyah
As-su’udiyyah karya Doktor Abdullah Shalih Al-Utsaimin hal (38-39)
(2)Lihat Aqidah As-Syaikh Muhammad bin
Abdil Wahhab wa Atsaruha fil ‘Alamil Islami (1/27) karya Dr. Shalih Al-Abud dan
Kitab Muhammad bin Abdil Wahhab wa Fikruh (hal.11)
(3) Nadwah Musajjalah ‘alllal Asyrithah
dengan perantara “Da’awal Munawi’in (hl.237)
(4) Lihat :Markiz Al-Fatwa dengan
bimbingan/pengawasan Dr. Abdullah Al-Faqih. www.islamweb.net
(5) (2/80 -81)
(6) “Al-Murad Asy-Syar’I bil Jama’ah wa
Atsaru Haqiqatihi fi Itsbatil Hawiyyah Al-Islamiyyah Amama ‘Uulamatil Irhab wal
Fitnah” dicetak dari Fa’aliyyat Hamalatit Tadhamun Al-Wathani Dhidd Al-Irhab,
cetakan kedua tahun 1426 H di Al-Jami’ah Al-Islamiyyah di Al-Madinah
An-Nabawiyyah (hal.45-46)
Menyingkap
Tabir Foto Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab
Kenalkah anda dua sosok dlm gambar foto
ini?
1. Foto pertama
Lelaki tua berjubah itu ialah Syarif
Hussein bin Ali (Gubernur Makkah).
2. Foto ke dua.
Sosok lelaki bersurban pada gambar
sebelah bawah itu ialah Faisal bin Hussein bin Ali (Gubernur/Raja Iraq) yang
juga anak Syarif Hussien bin Ali.
Siapakah Syarif Husain bin Ali ?
Syarif Hussein lahir 1854 dan meninggal
1931. Sejarah telah membuktikan bahwa Syarif Hussien bin Ali telah mengkhianati
Turki Uthmaniyyah sehingga tercetusnya pemberontakkan Arab yang membawa
kejatuhan kesultanan Turki. Bersama bantuan Inggris, Syarif Hussien bersama
keluarganya dan pengikutnya berhasil membuat masyarakat Arab bangkit untuk
melawan kesultanan Turki.
Beliau bukan Wahhabi, bukan juga keluarga
Saud. Beliau adalah Gubernur Makkah yang dilantik Sultan Abdul Hamid (Turki)
dan beliau bermazhab Asya'irah.
Apa kaitan Wahhabi dalam cerita kejatuhan
Kesultanan Turki?
Jawaban:
-------------------
'Wahhabi' hanyalah 'kambing hitam'
belaka. Perhatikan pada gambar kedua, lelaki kulit putih yang berdiri di
barisan tengah, dua dari kanan, namanya T.E Lawrence (Lawrence Of Arabia).
Dialah utusan Inggris sekaligus dalang utama pemberontakan Arab atas
Kekhilafaan Turki Utsmaniyah.
Jadi syiah dan sekutunya mengambil foto
ini lalu mengatakan ini adalah sosok syeikh "Muhammad bin Abdul
Wahab" yang mereka sebut sebagai Wahabi, untuk memadamkan cahaya Tauhid
dan Sunnah yg diajarkan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Sekali lagi ini bukan foto syekh
"Muhammad bin Abdul Wahhab" melainkan ini foto Syarif Husein bin Ali.
Semoga tidak ada lagi yg tertipu oleh
bualan kaum syiah berkenaan dgn foto ini yg beredar luas.
Nota: Sejarah ini juga pernah difilemkan.
dapat ditonton film Lawrence The Arabia, ada di Youtube kok ;-)
============
Oleh : Fanpage Anti-Syiah Nusantara
Dengan sedikit perubahan bahasa oleh CWP
Source: Facebook Fadlan Akbar
Benarkah Khawarij Muncul Dari Najd Arab
Saudi?? Di Manakah Najd? Fitnah Masyriq – Kemunculan Tanduk Setan.
[Bagian Pertama]
Benarkah Khawarij Muncul Dari Najd Arab
Saudi?? Di Manakah Najd? Fitnah Masyriq – Kemunculan Tanduk Setan.
[Bagian Kedua]
Benarkah Khawarij Muncul Dari Najd Arab
Saudi?? Di Manakah Najd? Fitnah Masyriq – Kemunculan Tanduk Setan.
[Bagian Ketiga]
Benarkah Khawarij Muncul Dari Najd Arab
Saudi?? Di Manakah Najd? Fitnah Masyriq – Kemunculan Tanduk Setan.
[Bagian Keempat]
Benarkah Khawarij Muncul Dari Najd Arab
Saudi?? Di Manakah Najd? Fitnah Masyriq – Kemunculan Tanduk Setan.
[Bagian Kelima]
(Bantahan) Mengungkap Tipu Muslihat Abu
Salafy CS (bag 1) : Ternyata Tuhan Tidak Di Langit !
(Bantahan) Sekali lagi : Tipu muslihat
Abu Salafy CS (bag 2)
Biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Bukti Sejarah: Benarkah
"Wahabi" Membahayakan NKRI ? Paranoid (Halusi) Segelincir Ulama Su’
(Berhati Syi’ah) Mengkambing Hitamkan Wahabi. Kebohongan Publik Tipikal Syiah
(Bagian 1)
Bantahan ilmiyyah terhadap
Website/blogger “gelap” syi’ah ( tidak berani menampakan identitasnya)
Dongeng
"Sejarah Berdarah Sekte Salafy Wahabi, Mereka Telah Membunuh Semuanya,
Termasuk Para Ulama", Ternyata Berisi Terlalu Banyak Kedustaan Dan
Manipulasi (Membongkar Koleksi Dusta Idahram 10)
Dakwah Tauhid Pondasi Kemuliaan Politik
Negara Islam, Kontribusi Wahabi Terhadap Kekuatan Arab Saudi
Dakwah Salafiyyah Dan Daulah Su’udiyyah
Fakta Mengejutkan ! Pengkhiatan Syiah di
balik runtuhnya kekhilafahan Islam ( Utsmaniyah )
KERANCUAN SEJARAH WAHHABI : Sebuah kritik
atas pertentangan memoar Hempher dalam Buku Catatan Harian Seorang Mata-Mata:
Kisah Penyusupan Mata-Mata Inggris untuk Menghancurkan Islam
Mengenal Hempher Dan Fitnahnya Terhadap
Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahab
‘Muhammad Bin Abdul Wahab Mencoba
Mengembalikan Karakter Muslim’
Membongkar Kebohongan & Penyesatan
Buku ”Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi”
Membongkar Koleksi Dusta Idahram (8) :
Siapa Sebenarnya Yang Takfiri, Wahhabi atau Idahram ???!!!
Mengapa Mereka Menyerang Dakwah Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab?
Meluruskan Pemahaman Keliru Tentang
Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab(Penulis: Asy Syaikh Shalih bin Abdul Aziz
As Sindi)
Muhammad bin Abdul Wahhab: Fitnah Nejed?
Mata Satu Adalah Simbol Dajjal? Betulkah?
Otak Atik Gathuk !
Nabi SAW Menyebut Munculnya “Tanduk Setan
Dari Timur”, Apa Maksudnya?
Negeri NEJED, Sumber FITNAH, Dimanakah
Letak Negeri Dua Tanduk
Perjanjian Faisal Bin Husein (Putra
Syarif Mekkah Husein Bin Ali, Penganut Sufisme, Keluarga Hasyimiyah) -Weizmann,
Pintu Masuk Yahudi Eropa Miliki Tanah Di Palestina. 'Arab Revolt', Pemberontakan
Keluarga Sufi Melawan Turki Utsmani
Siapakah Yang Menjadi Agen Inggris?
Siapakah Yang Meruntuhkan Daulah Utsmaniyah?
Studi Kritis Atas Buku “Sejarah Berdarah
Sekte Salafi Wahabi” [2]
Syubhat Syaikh Sulaiman Bin Abdul Wahhab
Menjawab Syubhat Seputar Al Mujaddid Asy Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab *
Silahkan buka bebarapa video terkait
“wahhabi” di halaman muka video ( you tube ) dibawah ini :
Sejarah Dan Penyebab Runtuhnya Khilafah
Turki Utsmani, banyak yang tidak mengetahui sejarah sebenarnya
Tentang Ahmad Zaini Dahlan Dan Sikap
Ulama Ahlu Sunnah Terhadapnya
Tuduhan Palsu Seputar Wahabi. Wahhabi..
Wahhabi.. Faktanya ?
Ustadz Firanda:ISIS Memang Berbahaya,
Tapi Syiah Jauh Lebih Berbahaya
Wahabi ( Muhammad Bin Abdul Wahab )
Memberi Nama Anaknya Dengan Nama-Nama Keluarga Nabi, Yaitu Ali, Fathimah, Hasan
Dan Husein.
100 Tahun Perjanjian Sykes-Picot Yang
Pecah Belah Bumi Syam Dan Turki Utsmani