[ IT : Interlude of topics ]
Artikel terkait :
Apa dan Siapa disebut Zalim (ظلم). [ IT ]
[ Out Of Topics ] Tidak Semua Muslim Layak Dijadikan
Guru Atau Ustadz
“Hindari Yang Allah Larang/haramkan,
sekalipun dalam keadaan terdesak “
Bahaya Menggunjing
( Ghibah )
( Ghibah )
Muqoddimah
Sesungguhnya lisan merupakan organ tubuh yang sangat
penting karena ialah yang menta’bir (mengungkapkan) apa yang terdapat dalam
hati seseorang. Lisan tidak mengenal lelah dan tidak pernah bosan berucap, jika
seseorang membiarkannya bergerak mengucapkan kebaikan maka ia akan memperoleh
kebaikan yang banyak, adapun jika ia membiarkannya mengucapkan keburukan-keburukan
maka ia akan ditimpa dengan bencana dan malapetaka, dan inilah yang lebih
banyak terjadi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
أكْثَرُ خَطَايَا ابْنِ آدَمَ فِي لِسَانِهِ
Mayoritas dosa
seorang anak Adam adalah pada lisannya[1]
Oleh karena itu lisan
merupakan salah satu sebab yang paling banyak menjerumuskan umat manusia ke
dalam api neraka.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و
الْفَرَجُ
Yang paling banyak memasukkan
manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan.[2]
Sesungguhnya
penyakit-penyakit yang timbul karena lisan yang tidak terkendali sangatlah
banyak, namun di sana ada sebuah penyakit yang paling merajalela dan
menjangkiti kaum muslimin. Penyakit tersebut terasa sangat ringan di mulut,
lezat untuk diucapkan, dan nikmat untuk didengarkan[3] (bagi orang-orang yang
jiwa mereka telah terasuki hawa syaitan), namun dosanya sangatlah
besar….penyakit tersebut adalah ghibah (menyebut kejelekan saudara sesama
muslim)[4]
Betapa banyak
persahabatan dua sahabat karib yang akhirnya terputus karena diakibatkan
ghibah…???
Betapa banyak
kedengkian yang tumbuh dan berkobar di dada-dada kaum muslimin dikarenakan
ghibah...???
Betapa banyak
permusuhan terjadi diantara kaum muslimin diakibatkan sebuah kalimat ghibah…???
Dan betapa banyak
pahala amalan seseorang yang sia-sia dan gugur diakibatkan oleh ghibah yang
dilakukannya…???
Serta betapa banyak
orang yang disiksa dengan siksaan yang pedih dikarena ghibah yang
dilakukannya…???
Namun perkaranya
adalah sangat menyedihkan sebagaimana perkataan Imam An-Nawawi, “Ketahuilah
bahwasanya ghibah merupakan perkara yang terburuk dan terjelek serta perkara
yang paling tersebar di kalangan manusia, sampai-sampai tidaklah ada yang
selamat dari ghibah kecuali hanya sedikit orang”.[5] -Semoga Allah menjadikan
kita menjadi “sedikit orang” tersebut yang selamat dari penyakit ghibah.
Amiiin-
Banyak kaum muslimin
yang mampu untuk menjalankan perintah Allah ta'ala dengan baik, bisa
menjalankan sunnah-sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mampu untuk
menjauhkan dirinya dari zina, berkata dusta, minum khomer, bahkan mampu untuk
sholat malam setiap hari, senantiasa puasa senin kamis, namun…..mereka tidak
mampu menghindarkan dirinya dari ghibah. Bahkan walaupun mereka telah tahu
bahwasanya ghibah itu tercela dan merupakan dosa besar namun tetap saja mereka
tidak mampu menghindarkan diri mereka dari ghibah
Berkata Ibnul Qoyyim,
“Dan merupakan perkara yang aneh adalah mudah bagi seseorang untuk menjaga
dirinya dari memakan makanan yang haram, menjauhkan dirinya dari perbuatan
dzolim, zina, mencuri, memimum minuman keras, memandang pada perkara-perkara
yang diharamkan baginya, dan perkara-perkara haram yang lainnya, namun sulit
baginya untuk menjaga gerak-gerik lisannya. Sampai-sampai ada diketahui orang
yang terpandang dan merupakan contoh dalam permasalahan agama, zuhud, dan
ibadah, namun ia mengucapkan sebuah kalimat yang menyebabkan kemurkaan Allah
dan dia tidak perduli dengan ucapannya tersebut sehingga iapun terperosok ke
neraka lebih jauh dari jarak antara timur dan barat hanya dikarenakan satu
kalimat. Betapa banyak orang yang engkau lihat bersikap wara’ dalam menjauhi
perbuatan-perbuatan keji, perbuatan dzolim namun lisannya ceplas-ceplos
menjatuhkan harga diri orang-orang yang masih hidup maupun yang telah wafat dan
dia tidak perduli dengan ucapannya tersebut.”[6]
Berkata Al-Ghozaali,
“Dan sebagian mereka berkata, “Kami mendapati para salaf, dan mereka tidaklah
memandang sebuah ibadah (yang hakiki) pada puasa dan tidak juga pada sholat,
akan tetapi mereka memandangnya pada sikap menahan diri dari (melecehkan)
harkat dan harga diri manusia”[7]
Sebagian orang yang
dikenal berpegang teguh dengan sunnah dan berdakwah menyeru kepada sunnah,
serta memiliki semangat untuk membantah ahlul bid’ah –yang hal ini merupakan
perkara yang sangat dituntut dalam syariat- namun yang sangat disayangkan,
mereka tatkala terbiasa membantah ahlul bid’ah dan membicarakan
kejelekan-kejelekan mereka, akhirnya terbiasa pula dengan bergihbah ria
membicarakan kejelekan-kejelekan saudara-saudara mereka sendiri sesama ahlus
sunnah. Sebagaimana perkara mengghibah ahlul bid’ah merupakan hal yang biasa
akhirnya menggibah saudara-saudara merekapun sesama ahlus sunnah menjadi hal
yang lumrah dan biasa, seakan-akan bukanlah sesuatu yang berbahaya. Mereka lupa
bahwa mengghibah ahlul bid’ah merupakan rukhsoh yang diberikan oleh syari’at
karena ada kemaslahatan yang diperoleh dan itupun harus sesuai dengan kaidah-kaidah
syari’at, dan hal ini tidaklah bisa disamakan dengan mengghibah sesama Ahlus
sunnah.
Oleh karena itu
penulis mencoba untuk menjelaskan bahaya penyakit ini dan hukum-hukum seputar
penyakit ini untuk mengingatkan penulis pribadi akan bahaya ghibah dan juga
mengingatkan para saudaraku kaum muslimin.
Allah ta'ala
benar-benar telah mencela penyakit ghibah dan telah menggambarkan orang yang
berbuat ghibah dengan gambaran yang sangat hina dan jijik. Berkata Syaikh Nasir
As-Sa’di : “Kemudian Allah ta'ala menyebutkan suatu permisalan yang membuat
(seseorang) lari dari gibah. Allah ta'ala berfirman :
وَلاَ يغتبَْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ
أَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ
إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ
Dan janganlah
sebagian kalian mengghibahi sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari
kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian
membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima
taubat dan Maha Pengasih. (Al Hujurat 12)
Allah ta'ala telah
menyamakan mengghibahi saudara kita dengan memakan daging saudara (yang
digibahi tadi) yang telah menjadi bangkai yang (hal ini) sangat dibenci oleh
jiwa-jiwa manusia sepuncak-puncaknya kebencian. Sebagaimana kalian membenci
memakan dagingnya -apalagi dalam keadaan bangkai, tidak bernyawa- maka demikian
pula hendaklah kalian membenci mengghibahinya dan memakan dagingnya dalam
keadaan hidup”.[8] Memakan bangkai hewan yang sudah busuk saja menjijikkan,
namun hal ini masih lebih baik daripada memakan daging saudara kita.
Sebagaimana dikatakan oleh ‘Amru bin Al-‘Ash radliyallahu ‘anhu:
عنْ قَيْسٍ قَالَ : مَرَّ عَمْرُو بْنُ العَاصِ عَلَى بَغْلٍ مَيِّتٍ,
فَقَال: وَاللهِ لأََنْ يَأْكُلَ أَحَدُكُمْ مِنْ لَحْمِ هَذَا (حَتَّى يمْلَأََ
بَطْنَهُ) خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ (الْمُسْلِم)
Dari Qois berkata :
‘Amru bin Al-‘Ash radliyallahu ‘anhu melewati bangkai seekor begol (hasil
persilangan kuda dan keledai), maka beliau berkata :”Demi Allah, salah seorang
dari kalian memakan daging bangkai ini (hingga memenuhi perutnya) lebih baik
baginya daripada ia memakan daging saudaranya (yang muslim)”[9]. Syaikh Salim
Al-Hilaly berkata : “..Sesungguhnya memakan daging manusia merupakan sesuatu
yang paling menjijikan untuk bani Adam secara tabi’at walaupun (yang dimakan
tersebut) orang kafir atau musuhnya yang melawan, bagaimana pula jika (yang
engkau makan adalah) saudara engkau seagama ?, sesungguhnya rasa kebencian dan
jijiknya semakin bertambah. Dan bagaimanakah lagi jika dalam keadaan bangkai?
karena sesungguhnya makanan yang baik dan halal dimakan, akan menjadi
menjijikan jika telah menjadi bangkai…” [10]
Definisi ghibah
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله
عنه أَنَّ رَسُوْلَ اللهِصلى الله عليه و سلم
قَالَ : أَتَدْرُوْنَ مَا الْغِيْبَةُ ؟ قَالُوْا : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ
أَعْلَمُ، قَالَ : ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ، فَقِيْلَ : أَفَرَأَيْتَ إِنْ
كَانَ فِيْ أَخِيْ مَا أَقُوْلُ ؟ قَالَ : إِنْ كَانَ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدِ
اْغْتَبْتَهُ, وَ إِنْ لَمْ يَكُنْ فِيْهِ مِا تَقُوْلُ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu Huroiroh
radliyallahu ‘anhu bahwsanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: Tahukah kalian apakah ghibah itu? Sahabat menjawab : Allah dan Rosul-Nya yang
lebih mengetahui. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Yaitu engkau
menyebutkan sesuatu yang tidak disukai oleh saudaramu”, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ditanya : Bagaimanakah pendapatmu jika itu memang benar ada
padanya ? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Kalau memang sebenarnya
begitu berarti engkau telah mengghibahinya, tetapi jika apa yang kau sebutkan
tidak benar maka berarti engkau telah berdusta atasnya”.[11]
Hal ini juga telah
dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu:
عَنْ حَمَّاد عَنْ إبْرَاهِيْمَ قَالَ : كَانَ اِبْنُ مَسْعُوْدٍ tيَقُوْلُ : الْغِيْبَةُ أَنْ تَذْكُرَ مِنْ أَخِيْكَ مَا تَعْلَمُ فِيْهِ.
وَإِذَا قُلْتَ مَا لَيْسَ فِيْهِ فَذَاكَ الْبُهْتَانُ
Dari Hammad dari
Ibrohim berkata : Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata :”Ghibah adalah engkau
menyebutkan apa yang kau ketahui pada saudaramu, dan jika engkau mengatakan apa
yang tidak ada pada dirinya berarti itu adalah kedustaan” [12]
Dari hadits ini para
ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ghibah adalah :”Engkau menyebutkan
sesuatu yang ada pada saudaramu yang seandainya dia tahu maka dia akan
membencinya”. Dan hadits ini umum mencakup apa saja yang dibenci oleh
saudaramu[13]. Sama saja apakah yang engkau sebutkan adalah kekurangannya yang
ada pada badannya atau nasabnya atau akhlaqnya atau perbuatannya atau pada
agamanya atau pada masalah duniawinya, tentang anaknya, saudaranya, atau
istrinya. Dan engkau menyebutkan aibnya dihadapan manusia dalam keadaan dia
goib (tidak hadir). Berkata Syaikh Salim Al-Hilali :”Ghibah adalah menyebutkan
aib (saudaramu) dan dia dalam keadaan goib (tidak hadir dihadapan engkau), oleh
karena itu saudaramu) yang goib tersebut disamakan dengan mayat, karena si goib
tidak mampu untuk membela dirinya. Dan demikian pula mayat tidak mengetahui
bahwa daging tubuhnya dimakan sebagaimana si goib juga tidak mengetahui gibah
yang telah dilakukan oleh orang yang mengghibahinya ”[14].
Adapun menyebutkan
kekurangannya yang ada pada badannya, misalnya engkau berkata pada saudaramu
itu : “Dia buta”, “Dia tuli”, “Dia sumbing”, “Perutnya besar”, “Pantatnya
besar”, “Kaki meja (jika kakinya tidak berbulu)”, “Dia juling”, “Dia hitam”,
“Dia itu orangnya bodoh”, “Dia itu agak miring sedikit”, “Dia kurus”, “Dia
gendut”, “Dia pendek” dan lain sebagainya.
عَنْ أَبِيْ حُذَيْفَةَ عَنْ عَائِشَةَ, أَنَّهَا ذَكَرَتِ امْرَأَةً
فَقَالَتْ :إِنَّهَا قَصِيْرَةٌ....فَقَالَ النَّبِيُّ r: اِغْتَبْتِيْهَا
Dari Abu Hudzaifah
dari ‘Aisyah bahwasanya beliau (‘Aisyah) menyebutkan seorang wanita lalu beliau
(‘Aisyah) berkata :”Sesungguhnya dia (wanita tersebut) pendek”….maka Nabi
shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata :”Engkau telah mengghibahi wanita tersebut” [15]
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قُلْتُ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه و سلمحَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّة
كَذَا وَ كَذَا قَالَ بَعْضُ الرُّوَاةُ : تَعْنِيْ قَصِيْرَةٌ, فَقَالَ : لَقَدْ
قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ.
Dari ‘Aisyah beliau
berkata : Aku berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Cukup bagimu
dari Sofiyah ini dan itu”. Sebagian rowi berkata :”’Aisyah mengatakan Sofiyah
pendek”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :”Sungguh engkau telah
mengucapkan suatu kalimat yang seandainya kalimat tersebut dicampur dengan air
laut niscaya akan merubahnya” [16]
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ حَازِمٍ قَالَ : ذَكَرَ ابْنُ سِيْرِيْنَ رَجُلاً
فَقَألَ : ذَاكَ الرَّجُلُ الأَسْوَدُ. ثُمَّ قَالَ : أَسْتَغْفِرُ اللهَ, إِنِّيْ
أَرَانِيْ قَدِ اغْتَبْتُهُ
Dari Jarir bin Hazim
berkata : Ibnu Sirin menyebutkan seorang laki-laki kemudian dia berkata :”Dia
lelaki yang hitam”. Kemudian dia berkata :”Aku mohon ampunan dari Allah”,
sesungguhnya aku melihat bahwa diriku telah mengghibahi laki-laki itu”[17]
Ibnu Sirin pernah
berkata, “Jika seseorang benci jika engkau berkata kepadanya, “Rambutmu
keriting” maka janganlah engkau menyebutkan hal itu”[18]
Adapun pada nasab
misalnya engkau berkata :”Dia dari keturunan orang rendahan”, “Dia keturunan
maling”, “Dia keturunan pezina”, “Bapaknya orang fasik”, dan lain-lain. Adapun
pada akhlaknya, misalnya engkau berkata :”Dia akhlaqnya jelek…orang yang pelit”,
“Dia sombong, tukang cari muka (cari perhatian)”, “Dia penakut”, “Dia itu
orangnya lemah”, “Dia itu hatinya lemah”, “Dia itu tempramental”.
Adapun pada agamanya,
misalnya engkau berkata :”Dia pencuri”, “Dia pendusta”, “Dia peminum khomer”,
“Dia pengkhianat”, “Dia itu orang yang dzolim, tidak mengeluarkan zakat”, “Dia
tidak membaguskan sujud dan ruku’ kalau sholat”, “Dia tidak berbakti kepada orang
tua”, dan lain-lain. Dan menggibahi seseorang dengan menyebutkan
perkara-perkara yang berkaitan dengan agamanya merupakan ghibah yang sangat
keji.
Berkata Al-Qurthubhi,
“..Para ulama sejak masa awal dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para tabi’in setelah mereka, tidak ada ghibah yang lebih
parah menurut mereka dari ghibah yang berkaitan dengan agama (seseorang),
karena aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib yang terberat. Setiap
orang mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya daripada jika
disinggung (cacat) tubunya”[19]
Adapun pada
perbuatannya yang menyangkut keduniaan, misalnya engkau berkata : “Tukang
makan”, “Tidak punya adab”, “Tukang tidur”, “Tidak ihtirom kepada manusia”,
“Tidak memperhatikan orang lain”, “Jorok”, “Si fulan lebih baik dari pada dia”
dan lain-lain.
Imam Baihaqi
meriwayatkan dari jalan Hammad bin Zaid berkata :Telah menyampaikan kepada kami
Touf bin Wahbin, dia berkata : “Aku menemui Muhammad bin Sirin dan aku dalam
keadaan sakit. Maka dia (Ibnu Sirin) berkata :”Aku melihat engkau sedang
sakit”, aku berkata :”Benar”. Maka dia berkata :”Pergilah ke tabib fulan,
mintalah resep kepadanya”, (tetapi) kemudian dia berkata :”Pergilah ke fulan
(tabib yang lain) karena dia lebih baik dari pada si fulan (tabib yang
pertama)”. Kemudian dia berkata : “Aku mohon ampun kepada Allah, menurutku aku
telah mengghibahi dia (tabib yang pertama)”. [20]
Termasuk ghibah yaitu
seseorang meniru-niru orang lain, misalnya berjalan dengan pura-pura pincang atau
pura-pura bungkuk atau berbicara dengan pura-pura sumbing, atau yang selainnya
dengan maksud meniru-niru keadaan seseorang, yang hal ini berarti merendahkan
dia. Sebagaimana disebutkan dalam suatu hadits :
قَالَتْ : وَحَكَيْتُ لَهُ إِنْسَانًا فَقَالَ : مَا أُحِبُّ أَنِّيْ
حَكَيْتُ إِنْسَانًا وَ إِنَّ لِيْ كَذَا
‘Aisyah berkata :
“Aku meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam ”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata :”Saya tidak suka
meniru-niru (kekurangan/cacat) seseorang (walaupun) saya mendapatkan
sekian-sekian” [21]
Termasuk ghibah yaitu
seorang penulis menyebutkan seseorang tertentu dalam kitabnya seraya berkata
:”Si fulan telah berkata demikian-demikian”, dengan tujuan untuk merendahkan
dan mencelanya. Maka hal ini adalah harom. Jika si penulis menghendaki untuk
menjelaskan kesalahan orang tersebut agar tidak diikuti, atau untuk menjelaskan
lemahnya ilmu orang tersebut agar orang-orang tidak tertipu dengannya dan
menerima pendapatnya (karena orang-orang menyangka bahwa dia adalah orang yang
‘alim –pent), maka hal ini bukanlah ghibah, bahkan merupakan nasihat yang wajib
yang mendatangkan pahala jika dia berniat demikian.
Demikian pula jika
seorang penulis berkata atau yang lainnya berkata : “Telah berkata suatu kaum
-atau suatu jama’ah- demikian-demikian…, dan pendapat ini merupakan kesalahan
atau kekeliruan atau kebodohan atau keteledoran dan semisalnya”, maka hal ini
bukanlah ghibah. Yang disebut ghibah jika kita menyebutkan orang tertentu atau
kaum tertentu atau jama’ah tertentu. [22]
Ghibah itu bisa
dengan perkataan yang jelas atau dengan yang lainnya seperti isyarat dengan
perkataan atau isyarat dengan mata atau bibir dan lainnya, yang penting bisa
dipahami bahwasanya hal itu adalah merendahkan saudaranya yang lain.
Diantaranya yaitu jika seseorang namanya disebutkan di sisi engkau lantas
engkau berkata: “Segala puji bagi Allah ta'ala yang telah menjaga kita dari
sifat pelit”, atau “Semoga Allah ta'ala melindungi kita dari memakan harta manusia
dengan kebatilan”, atau yang lainnya, sebab orang yang mendengar perkataan
engkau itu faham bahwasanya berarti orang yang namanya disebutkan memiliki
sifat-sifat yang jelek.[23] Bahkan lebih parah lagi, perkataan engkau tidak
hanya menunjukkan kepada ghibah, tetapi lebih dari itu dapat menjatuhkan engkau
ke dalam riya’. Sebab engkau telah menunjukan kepada manusia bahwa engkau tidak
melakukan sifat jelek orang yang disebutkan namanya tadi.
Ghibah dilakukan
dalam hati ??!!
Berkata Al-Ghozaali
–dalam sub judul “penjelasan pengharaman ghibah dengan hati”-,
((Ketahuilah
bahwasanya berprasangka buruk merupakan perkara yang haram sebagaimana
perkataan yang buruk. Sebagaimana haram bagimu untuk menyampaikan kepada orang
lain tentang kejelekan-kejelekan saudaramu dengan lisanmu maka demikian juga
tidak boleh bagimu untuk menyampaikan kepada hatimu (tentang
kejelekan-kejelekan saudaramu) dan engkau berprasangka buruk terhadap
saudraramu itu. Bukanlah maksudku dengan prasangka di sini melainkan adalah
menekankan hati dan menghukumi orang lain dengan kejelekan. Adapun hanya
sekedar lintasan pikiran maka dimaafkan oleh Allah. Bahkan keraguan juga
dimaafkan oleh Allah akan tetapi yang dilarang adalah (jika sampai pada
tingkat) prasangka. Dan prasangka merupakan sesuatu keadaan dimana hati telah
condong dan cenderung meyakininya.
Allah berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ
بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ (الحجرات : 12 )
Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka
itu adalah dosa (QS. 49:12)
Dan sebab
pengharamannya adalah karena rahasia-rahasia hati tidaklah diketahui kecuali
oleh Yang Maha Mengetahui hal-hal ghoib. Maka tidak boleh engkau meyakini
kejelekan pada diri orang lain kecuali jika engkau mengungkapnya dengan melihat
dengan dua matamu sehingga tidak bisa ditakwil lagi. Maka tatkala itu tidak
mungkin bagimu untuk meyakini kecuali apa yang engkau ketahui dan engkau lihar.
Adapun apa yang tidak engkau lihat dengan mata kepalamu dan tidak engkau dengar
langsung dengan telingamu kemudian terlintas di hatimu (tentang kejelekan
saudaramu) maka ini berasal dari syaitan yang telah melemparkan prasangka
tersebut kepadamu. Oleh karena itu hendaknya engkau mendustakan syaitan karena
dia adalah makhluk yang paling fasiq.
Allah telah beriman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ
فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ (الحجرات : 6 )
Hai orang-orang yang
beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah
dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya (QS. 49:6)
Maka tidak boleh
bagimu untuk membenarkan iblis. Jika disana ada indikasi yang menunjukan akan
keburukan (saudaramu) namun masih ada kemungkinan selain itu maka tidak boleh
bagimu untuk membenarkannya karena orang fasik meskipun memang bisa jujur dalam
menyampaikan berita akan tetapi tidak boleh bagimu untuk membenarkannya. Bahkan
barangsiapa yang mencium bau mulut orang lain kemudian ia mendapatkan bau khomr
(bir) maka tidak boleh baginya kecuali hanya berkata, “Mungkin orang ini hanya
sekedar berkumur-kumur dengan khomr kemudian ia membuangnya dan tidak
meminumnya”, atau “Mungkin ia dipaksa untuk meminum khomr”, dan hal ini
menunjukan akan indikasi-indikasi yang masih mengandung kemungkinan-kemungkinan
maka tidak boleh dibenarkan dengan hati dan berprasangka buruk kepadanya…. Maka
tidak dibolehkan prasangka buruk kecuali dengan perkara-perkara yang dengannya
dihalalkan harta[24], yaitu dengan melihatnya secara langsung atau adanya
persaksian dari orang-orang yang adil. Jika ia tidak memiliki perkara-perkara
tersebut kemudian terlintas dalam benakmu was-was prasangka buruk maka
hendaknya engkau menolaknya dari dirimu dan engkau menekankan pada hatimu
bahwasanya (hakikat) keadaan saudaramu masih tertutup (tidak engkau ketahui)
sebagaimana sebelumnya. Adapun keburukan yang engkau lihat pada dirinya masih
mengandung kemungkinan-kemungkinan baik dan buruk.
Jika engkau berkata,
“Bagaimana diketahui perbedaan antara prasangka buruk dengan hanya sekedar ragu
atau sekedar lintasan pikiran…??”. Kita katakan bahwasanya tanda adanya
prasangka buruk yaitu berubahnya hatimu terhadap orang yang engkau prasangka
buruk tersebut. Hatimu lari darinya dan merasa berat, dan malas untuk
memperhatikannya atau mengecek keadaannya, memuliakannya, sedih dengannya. Ini
merupakan tanda-tanda bahwa hatimu telah sampai pada tahap prasangka
buruk.))[25]
Namun bagaimanapun
juga penjelasan Al-Ghozali ini masih perlu diteliti kembali sebab sebagaimana
yang telah lalu penjelasannya bahwasanya definisi ghibah adalah mencakup
pengungkapan kejelekan saudara (baik dengan lisan ataupun dengan isyarat apapun
yang bisa dipahami maksudnya) dihadapan orang lain tanpa sepengatahuan atau
tanpa kehadiran saudaranya tersebut. Dan pernyataan bahwa prasangka buruk
termasuk ghibah perlu ditinjau kembali, mengingat penulis belum menemukan
perkataan ulama selain Al-Ghozaali yang memasukkan prasangka buruk dalam ghibah.
Tentunya dosa ghibah tidak sama dengan dosa prasangka buruk. Wallahu A’lam
bisshowaab
Model-model para
pengghibah
Ibnu Taimiyah berkata
-tatkala menjelaskan model-model para pengghibah-,
1. Ada orang yang mengghibah untuk
menyesuaikan diri (agar obrolannya nyambung) dengan teman-teman duduknya, para
sahabatnya, atau karib kerabatnya.
Padahal ia mengetahui bahwasanya orang yang dighibahi berlepas diri dari apa
yang mereka katakan. Atau memang benar pada dirinya sebagian apa yang mereka
katakan akan tetapi ia melihat kalau ia mengingkari (ghibah yang) mereka
lakukan maka ia akan memutuskan pembicaraan, dan para sahabatnya akan bersikap
berat (tidak enak) kepadanya dan meninggalkannya. Maka iapun memandang bahwa
sikapnya yang menyesuaikan diri dengan mereka merupakan sikap yang baik kepada
mereka dan merupakan bentuk hubungan pergaulan yang baik. Bisa jadi mereka
marah –jika ia mengingkari mereka- maka iapun akan balas marah karena hal itu.
Karenanya iapun tenggelam bersama mereka untuk berghibah ria
2. Diantara mereka (para tukang ghibah) ada
yang bergibah ria dengan model yang bermacam-macam. Terkadang menampakkan
ghibah dalam bentuk agama dan kebaikan, maka ia berkata, “Bukanlah kebiasaanku
menyebutkan seorangpun kecuali hanya menyebutkan kebaikan-kebaikannya, dan aku
tidak suka ghibah, tidak juga dusta. Hanya saja aku kabarkan kepada kalian
tentang kondisinya”. Atau ia berkata, “Kasihan dia…”, atau “Ia orang yang baik
namun pada dirinya ada begini dan begitu”. Dan terkadang ia berkata, “Jauhkanlah
kami dari (pembicaraan) tentangnya, semoga Allah mengampuni kita dan dia”,
namun niatnya adalah untuk merendahkannya dan menjatuhkannya. Mereka membungkus
ghibah dengan label-lebel kebaikan dan label-lebel agama, mereka hendak menipu
Allah dengan perbuatan mereka tersebut sebagaimana mereka telah menipu makhluk
(manusia). Dan sungguh, kami telah melihat dari mereka model-model yang banyak
seperti ini dan yang semisalnya[26].
3. Diantara mereka ada yang menjatuhkan
orang lain karena riya’ dalam rangka untuk mengangkat dirinya sendiri. Ia
berkata, “Kalau seandainya tadi malam aku berdoa dalam sholatku untuk si fulan
tatkala sampai kepadaku kabar tentang dirinya begini dan begitu…”, untuk
mengangkat dirinya dan menjatuhkan orang itu di sisi orang yang menganggap
orang itu baik. Atau ia berkata, “Si fulan itu pendek akalnya, telat mikirnya”,
padahal maksudnya adalah untuk memuji dirinya, untuk menunjukan bahwa dirinya
pandai dan lebih baik dari orang tersebut.
4. Diantara mereka ada yang berghibah karena
hasad (dengki), maka ia telah menggabungkan dua perkara buruk, ghibah dan
hasad. Dan jika ada seseorang yang dipuji maka berusaha sekuat-kuatnya untuk
menghilangkan (menangkis) pujian itu dengan merendahkannya dengan berkedok
agama dan kebaikan, atau mewujudkan ghibah dalam bentuk hasad, kefajiran, dan
celaan agar orang tersebut jatuh di hadapan matanya.
5. Diantaranya ada yang mewujudkan ghibah
dalam bentuk ejekan dan menjadikannya bahan mainan agar membuat yang lainnya
tertawa karena ejekannya atau ceritanya (sambil meniru-niru gaya orang yang
dihina) tersebut, serta perendahaannya terhadap orang yang ia ejek tersebut.
6. Diantaranya ada yang menampakkan ghibah
dalam bentuk sikap ta’jub (heran). Dia berkata, “Aku heran dengan si fulan,
bagaimana ia sampai tidak mampu melakukan ini dan itu…”, “Aku heran dengan si
fulan, kenapa bisa timbul darinya ini dan itu…kenapa bisa melakukan demikian
dan demikian…”. Maka ia menampkan nama saudaranya (yang ia ghibahi tersebut)
dalam bentuk sikap keheranannya.
7. Diantaranya ada yang mewujudkan ghibah
dalam bentuk rasa sedih. Ia berkata, “Si fulan kasihan dia, sungguh aku sedih
dengan apa yang telah dilakukannya dan yang telah terjadi pada dirinya..”. Maka
orang lain yang mendengar perkataannya itu bahwa ia sedang sedih dan
menyayangkan saudaranya itu, padahal hatinya penuh dengan rasa dendam. Jika ia
mampu maka ia akan menambah-nambah lebih dari kejelekan yang terdapat pada
saudaranya itu. Bahkan terkadang ia menyebutkan hal itu dihadapan musuh-musuh
saudaranya tersebut agar mereka bisa membalasnya (menghabisinya). Model yang seperti ini dan juga yang lainnya
merupakan penyakit-penyakit hati yang paling parah, dan juga merupakan bentuk
usaha untuk menipu Allah dan para hamba-hambaNya.
8. Diantara mereka ada yang menampakkan
ghibah dalam bentuk marah dan mengingkari kemungkaran. Dia menampakkan kata-kata
yang indah (untuk mengghibahi saudaranya) dengan cara seperti ini (dengan
alasan mengingkarai kemungkaran), padahal maksudnya bertentangan dengan apa
yang ia nampakkan. Hanya Allahlah tempat meminta pertolongan[27]
Bagaimana jika yang
dighibahi adalah orang kafir ?
Berkata As-Shon’ani :
“Dan perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam hadits Abu
Huroiroh di atas) أَخَاكَ (saudaramu)
yaitu saudara seagama merupakan dalil bahwasanya selain mukmin boleh
mengghibahinya”. Berkata Ibnul Mundzir :”Dalam hadits ini ada dalil bahwasanya
barang siapa yang bukan saudara (se-Islam) seperti yahudi, nasrani, dan seluruh
pemeluk agama-agama (yang lain), dan (juga) orang yang kebid’ahannya telah
mengeluarkannya dari Islam, maka tidak ada (tidak mengapa) ghibah terhadapnya”.
[28]
Bagaimana jika kita
memberi laqob (julukan) yang jelek kepada saudara kita, namun saudara kita
tersebut tidak membenci laqob itu, apakah tetap termasuk ghibah?
Berkata As-Shon’ani :
“ Dan pada perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam بِمَا يَكْرَهُ (dengan apa yang dia benci),
menunjukan bahwa jika dia (saudara kita yang kita ghibahi tersebut) tidak
membencinya aib yang ditujukan kepadanya, seperti orang-orang yang mengumbar
nafsunya dan orang gila, maka ini bukanlah ghibah”.[29]
Berkata Syaikh Salim
Al-Hilali :”Jika kita telah mengetahui hal itu (yaitu orang yang dipanggil
dengan julukan-julukan yang jelek namun dia tidak membenci julukan-julukan
jelek tersebut –pent) bukanlah suatu ghibah yang harom, sebab ghibah adalah
engkau menyebut saudaramu dengan apa yang dia benci, tetapi orang yang
memanggil saudaranya dengan laqob (yang jelek) telah jatuh di dalam larangan
Al-Qur’an (yaitu firman Allah:ولاَ تَنَابَزُوْا بِالأَلْقَابِ Dan janganlah kalian saling-
panggil-memanggil dengan julukan-julukan yang buruk. (Al-Hujurot: 11)-pent)
yang jelas melarang saling panggil-memanggil dengan julukan (yang jelek)
sebagaimana tidak samar lagi (larangan itu)”. [30]
Bagaimana jika yang
dighibahi tidak diketahui orangnya?.
Imam An-Nawawi
menjelaskan bahwasanya ghibah yang haram adalah jika orang yang dighibahi
tersebut jelas diketahui. Adapun jika tidak diketahui orangnya maka bukanlah
merupakan ghibah yang haram karena hanyalah yang merasa tersakiti tatkala
dighibahi adalah orang yang diketahui. Adapun jika tidak diketahui maka yang
dighibahi tidak akan tersakiti dan tidak ada orang yang akan mengabarkan
ghibahnya tersebut kepadanya karena ia tidak diketahui.[31]
Al-A’masy berkata,
“Mereka (salaf) tidaklah memandang ghibah jika tidak disebutkan nama orang yang
sedang disebutkan kejelekannya”[32]
Faktor-faktor
pendorong timbulnya ghibah:
Berkata Al-ghozaali:
((Ketahuilah
bahwasanya faktor-faktor yang memotivasi timbulnya ghibah banyak akan tetapi
semuanya terkumpul pada sebelas faktor. Delapan diantaranya berlaku pada
orang-orang awam dan yang tiga sisanya berlaku pada orang-orang taat beragama
dan orang-orang khusus.
Adapun yang delapan
maka sebagai berikut:
1. Untuk memuaskan kemarahan. Hal ini
terjadi jika kemarahan mengalir pada seseorang terhadap saudaranya. Tatkala
kemarahan tersebut bergelora maka secara tabi’at (wajar) jika ia tidak memiliki
(ghiroh) agama yang kuat maka kemarahan tersebut akan terlampiaskan dengan
menyebutkan keburukan-keburukan saudaranya tersebut. Terkadang ia tidak
melampiaskan kemarahannya tatkala sedang marah (terhadap saudaranya) maka
akhirnya kemarahan tersebut terpendam di dalam batinnya kemudian berubah
menjadi kedengkian yang menetap. Akhirnya kedengkian ini menjadi sebab yang
selalu membuatnya menyebutkan keburukan-keburukan (saudaranya). Kedengkian dan
kemarahan merupakan faktor yang besar yang memotivasi timbulnya ghibah
2. Untuk menyesuaikan diri dengan para
sahabat dan sikap basa-basi terhadap mereka serta ikut andil bersama mereka
dalam berghibah ria. Jika para sahabatnya sedang berasyik-asyik menyebutkan
kejelekan-kejelekan orang lain maka ia memandang seandainya ia mengingkari
perbuatan mereka tersebut atau memutuskan pembicaraan mereka maka mereka akan
bersikap berat (tidak enak) kepadanya dan akan meninggalkannya. Maka iapun
mendukung mereka dan ia memandang bahwa sikapnya merupakan bentuk hubungan
pergaulan yang baik. Dia menyangka sikapnya tersebut merupakan bentuk basa-basi
dalam pergaulan. Terkadang sahabat-sahabatnya tersebut marah (terhadap orang
yang sedang mereka ghibahi) maka ia butuh untuk ikut-ikutan marah bersama
mereka sebagai untuk menunjukan bahwasanya ia ikut andil bersama mereka dalam
kesenangan dan kesulitan akhirnya iapun tenggelam bersama mereka dalam
menyebtukan aib-aib dan keburukan-keburukan saudara mereka.
3. Ia merasa bahwa ada seseorang yang
sentimen kepadanya dan menjelek-jelekannya dan keadaannya di sisi orang yang
pemalu, atau orang tersebut bersaksi akan kejelekannya maka iapun segera
menjelek-jelekan orang tersebut sebelum dia yang dijelek-jelekan dan mencelanya
agar pengaruh persaksian orang tersebut menjadi tidak bernilai. Atau terlebih
dahulu ia menyebutkan kejelekan orang tersebut dengan jujur lantas kemudian ia
menjelek-jelekannya dengan berdusta tentangnya sehingga kebohongannya inipun
laris diterima karena kejujurannya di awal celaannya. Kemudian diapun
menjadikan kejujurannya pada awal celaannya itu sebagai dalil (untuk melariskan
kebohongan-kebohongannya) seraya berkata, “Dusta bukanlah merupakan sifatku,
aku telah mengabarkan kepada kalian tentang kejelekannya tersebut dan
kenyataannya sebagaimana yang telah aku kabarkan kepada kalian”
4. Ia dituduh telah melakukan suatu
keburukan maka ia hendak menyatakan bahwa dirinya berlepas diri dari tuduhan
tersebut maka iapun menyebutkan pelaku sebenarnya. Sebenarnya merupakan haknya
untuk membela diri namun tanpa menyebutkan pelaku sebenarnya. Maka janganlah ia
menyandarkan tuduhan tersebut terhadap orang lain atau ia menyatakan bahwa ia
tidak sendiri melakukan perkara tersebut akan tetapi ia menyebutkan orang lain
yang ikut serta bersamanya melakukan perkara tersebut dengan maksud sebagai
pembukaan agar udzurnya diterima (karena yang melakukan bukan hanya dia
sendiri).
5. Keinginan untuk menampilkan diri dan
menyaingi orang lain. Caranya yaitu dengan mengangkat dirinya dengan
merendahkan orang lain seraya berkata, “Si fulan jahil (goblik), pemahamannya
lemah, perkataannya lemah”, padahal tujuannya adalah untuk menunjukan kemuliaan
dirinya di balik pencelaan-pencelaan tersebut atau ia kawatir orang tersebut
akan diagungkan seperti diagungkannya (dihormatinya) dirinya sehingga iapun
mencela orang tersebut.
6. Hasad (dengki) yaitu terkadang ia dengki
kepada seseorang yang dipuji oleh masyarakat, dicintai, dan dimuliakan oleh
mereka. Maka iapun ingin agar kenikmatan yang dikaruniakan kepada suadaranya
itu segera hilang dan ia tidak menemukan cara untuk mencapai tujuannya kecuali
dengan mencela suadaranya itu. Ia ingin menjatuhkan kemuliaan saudaranya itu
dihadapan masyarakat agar masyarakat berhenti memuji saudaranya karena ia
merasa berat jika mendengar pujian
orang-orang terhadap saudaranya pemuliaan mereka terhadapnya. Inilah yang disebut hasad, dan hal ini
berbeda dengan kemurkaan dan amarah yang terpendam, karena amarah akan
mendorong si pemarah untuk berbuat tindakan lalim (kriminal) kepada orang yang
ia murkai, adapun hasad terkadang timbul dari seorang sahabat yang berbuat baik
dan teman yang sejalan.
7. Bercanda dan bergurau serta mengisi waktu
dengan tertawa lalu menyebutkan aib-aib orang lain sehingga membuat orang-orang
tertawa (contohnya) dengan cara meniru-niru gaya orang tersebut. Yang
menjadikannya berbuat demikian adalah sifat sombong dan ‘ujub (kagum dengan
diri sendiri).
8. Mengejek dengan tujuan untuk merendahkan
saudaranya. Hal ini bisa terjadi dihadapan orang yang diejek dan juga bisa
terjadi tidak dihadapannya (dan inilah yang termasuk ghibah). Sebab timbulnya ini
adalah rasa angkuh dan perendahan terhadap orang yang ia ejek.
Adapun tiga sebab
yang lain yang menjangkiti orang-orang yang khusus maka perkaranya sangatlah
pelik dan rumit. Hal ini karena ketiga perkara tersebut merupakan kejelekan
yang disembunyikan oleh syaitan dan dinampakan dalam bentuk kebaikan. Ada
kebaikan namun syaitan mencampurnya dengan kejelekan.
1. Dikarenakan ghiroh terhadap agama maka
muncul dari diri seseorang pendorong rasa kaget dan heran tatkala bernahi
mungkar terhadap pelaku kemungkaran. Maka iapun berkata, “Aku sungguh heran
dengan apa yang aku lihat dari perbuatan si fulan?”. Memang bisa jadi ia jujur
dalam keheranannya (dia memang benar-benar heran) dan keheranannya itu karena
melihat kemungkaran tersebut akan tetapi semestinya ia tidak perlu menyebutkan
nama pelaku kemungkaran tersebut. Namun syaitan menjadikannya mudah untuk
menyebutkan nama pelaku kemungkaran tersebut yang terbungkus dalam label
keheranan. Akibatnya jadilah ia seorang penggunjing dan berdosa tanpa ia sadari.
Contohnya adalah perkataan seseorang, “Aku heran dengan si fulan, bagaimana
bisa ia mencintai budak wanitanya padahal budaknya tersebut jelek” dan, “Aku
heran dengan si fulan bagaimana bisa ia duduk di hadapan si fulan padahal ia
adalah seorang yang jahil”
2. Perasaan sayang dan kasihan terhadap
seseorang dikarenakan aib yang dimiliki oleh orang tersebut. Maka iapun berkata, “Si fulan
kasihan, kondisinya dan aib yang ada padanya telah menyedihkanku”. Dan ia
memang jujur tatkala mengungkapkan kesedihannya tersebut akan tetapi
kesedihannya itu telah melalaikannya untuk berhati-hati untuk tidak menyebutkan
nama orang tersebut. Maka jadilah ia telah berghibah ria dan kasih sayangnya
dan perasaan kasihannya merupakan kebaikan baginya. Demikian juga rasa
ta’jubnya, akan tetapi syaitan membawakan perasaannya itu kepada kejelekan
tanpa ia sadari. Sesungguhnya perasaan cinta kasih serta ikut sedih bisa
diungkapkan tanpa harus menyebutkan nama fulan tersebut untuk menghancurkan
pahala perasaan kasih sayangnya dan ikut sedihnya itu.
3. Kemarahan karena Allah. Karena seseorang
bisa jadi marah terhadap kemungkaran yang dilakukan oleh seseorang, jika ia
melihatnya langsung atau mendengarnya maka iapun menampakkan kemarahannya serta
menyebutkan nama orang tersebut. Sesungguhnya yang wajib adalah ia menampakan
kemarahannya langsung kepada pelaku kemungkaran tersebut dengan cara menegakkan
Al-Amr bin Ma’ruf dan An-Nahyu ‘anil mungkar tanpa menampakkan kemarahannya
tersebut kepada selain pelaku atau dengan menyembunyikan nama orang tersebut
dan tidak menyebut nama-nama tersebut dengan kejelekan.
Inilah tiga perkara
yang bagi para ulama sangat detail dan mendalam pembahasannya serta sangat
samar. Apalagi terhadap orang-orang awam. Mereka (orang awam) menyangka bahwa
sikap ta’jub dan perasaan sayang (kasihan) dan kemarahan jika dilakukan karena
Allah maka hal ini merupakan alasan untuk bolehnya menyebutkan nama padahal
persangkaan mereka ini merupakan kesalahan…)) [33]
Hukum ghibah
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Setiap muslim
terhadap muslim yang lain adalah haram, darahnya, hartanya, dan harga
dirinya[34]
((فَإِنّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ
عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي
شَهْرِكُمْ هَذَا)) فَأَعَادَهَا مِرَارًا
((Sesungguhnya darah
kalian, harta kalian, dan harga diri kalian adalah haram atas kalian
sebagaimana haramnya hari kalian ini, di negeri kalian ini, di bulan kalian
ini)). Berkata Ibnu Abbas, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengulang-ngulangi perkataan beliau ini”[35]
Berkata
Al-Mubarokfuri, “Yaitu haramnya sebagian kalian melakukan pelanggaran terhadap
jiwa sebagian yang lain, terhadap harta, dan harga diri pada hari-hari yang
lain sebagaimana haramnya kalian melakukan pelanggaran pada hari ini di tanah
ini (tanah suci Mekah)…”[36]
Berkata Imam
An-Nawawi, “…Maksud dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini
semua adalah untuk menjelaskan penekanan akan kerasnya pengharaman harta, jiwa
(harta), dan kehormatan, dan untuk memperingatkan akan hal ini”[37]
Berkata Al-Munawi,
“Islam yang paling mulia adalah manusia selamat dari lisanmu (ucapanmu) maka
janganlah engkau mengumbar lisanmu dengan ucapan-ucapan yang memberi mudhorot
kepada mereka”[38]
Sebagaimana kita
tidak boleh melanggar hak orang lain yang berkaitan dengan harta (seperti
mencurinya) maka kita juga tidak boleh melanggar hak orang lain yang berkaitan
dengan harga dirinya. Orang yang mengghibah berati dia telah mengganggu
kehormatan saudaranya, karena yang dimaksud dengan kehormatan adalah sesuatu
yang ada pada manusia yang bisa dipuji dan dicela.
Hukum ghibah adalah
haram berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah dan ijma’ kaum muslimin.
Asy-Syaukani berkata
-setelah menjelaskan pengharaman ghibah berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan
ijmak-, “Jika telah jelas perkaranya bagimu maka engkau telah mengetahui
bahwasanya ghibah termasuk kemungkaran yang paling keras dan keharaman yang
paling besar. Oleh karenanya mengingkari pelaku ghibah adalah wajib bagi setiap
muslim”[39]
Berkata As-Shon’aani,
“Dan hadits-hadits yang memperingatkan akan bahaya ghibah sangatlah banyak
sekali yang hal ini menunjukan akan kerasnya pengharaman ghibah”[40]
Namun terjadi khilaf
diantara para ulama, apakah ghibah termasuk dosa besar atau termasuk dosa
kecil?. Imam Al-Qurthubi menukilkan ijma’ bahwasanya ghibah termasuk dosa
besar. Sedangkan Al-Gozhali dan penulis Al-‘Umdah dari Syafi’iyah berpendapat bahwasanya
ghibah termasuk dosa kecil. Berkata Al-Auza’i : “Aku tidak mengetahui ada orang
yang jelas menyatakan bahwa ghibah termasuk dosa kecil selain mereka berdua”.
Az-Zarkasyi berkata : “Dan sungguh aneh orang yang menganggap bahwasanya
memakan bangkai daging (manusia) sebagai dosa besar (tetapi) tidak menganggap
bahwasanya ghibah juga adalah dosa besar, padahal Allah menempatkan ghibah
sebagaimana memakan bangkai daging manusia.” [41]
Berkata Syaikh Nasir
As-Sa’di :”Dalam ayat ini (Al-Hujurot :12) ada peringatan keras terhadap gibah
dan bahwasanya gibah termasuk dosa-dosa besar karena diserupakan dengan memakan
daging bangkai (manusia) dan hal itu (memakan daging bangkai) termasuk dosa
besar”. [42]
Alasan mereka yang
menyatakan bahwa ghibah adalah dosa kecil diantaranya perkataan mereka :”Kalau
seandainya ghibah itu bukan dosa kecil maka sebagian besar manusia tentu
menjadi fasik, atau seluruh manusia menjadi fasik, kecuali hanya sedikit sekali
yang bisa lolos dari penyakit ini. Dan hal ini adalah kesulitan yang sangat
besar”. Namun alasan ini terbantahkan, karena bahwasanya tersebarnya suatu
kemaksiatan dan banyak manusia yang melakukannya tidaklah menunjukan bahwa
kemaksiatan tersebut adalah dosa kecil. Dan alasan ini juga tertolak sebab
tersebarnya kemaksiatan ini hanya kalau ditinjau pada zaman sekarang. Adapun
pada zaman dahulu (zaman para salaf) kemaksiatan-kemaksiatan (termasuk ghibah)
tidak tersebar sebagaimana sekarang. Justru yang tersebar adalah kebaikan.
Perkara-perkara yang
menunjukan bahwa ghibah merupakan dosa besar
(I) Ghibah termasuk riba yang paling parah,
dan riba merupakan dosa besar
Imam Abu Dawud
As-Sajistaani meriwayatkan dalam sunannya dalam bab في الغيبة (tentang ghibah)[43] sebuah hadits
yang diriwayatkan oleh hadits Sa’id bin Zaid radliyallahu ‘anhu bahwasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَرْبَى الرِّبَا الاِسْتِطَالَةُ فِي عِرْضِ الْمُسْلِمِ
بِغَيْرِ حَقٍّ
Sesungguhnya termasuk
riba yang paling parah adalah mengulurkan lisan terhadap kehormatan seorang
muslim tanpa hak[44]
Berkata Syamsul Haq
Al-‘Azhim Aabaadi, أَرْبَى الرِّبَا “Yaitu riba yang paling besar bahayanya dan
yang paling keras pengharamannya” , الاِسْتِطَالَةُ Yaitu mengulurkan lidah terhadap kehormatan seorang muslim,
maksudnya yaitu merendahkannya dan merasa tinggi atasnya serta mengghibahnya,
semisal menuduhnya berzina atau mencelanya. Hanyalah hal ini merupakan riba
yang paling keras pengharamannya karena kehormatan merupakan perkara yang
paling mulia bagi seseorang, lebih daripada harta” [45]
Berkata Ibnul Atsir,
“Mengulurkan lisan pada harga diri manusia yaitu merendahkan mereka dan merasa
tinggi dihadapan mereka serta menggibahi mereka”[46]
Berkata Al-Baidhowi,
“الاستطالة (Mengulurkan lisan) pada kehormatan
seorang muslim yaitu dengan menjelekkannya lebih dari yang seharusnya
sebagaimana perkataannya kepadanya[47], atau lebih dari yang rukhsoh yang
diberikan[48]. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memisalkannya dengan riba dan memasukkannya dalam bagian riba, kemudian
menjadikannya riba yang paling besar, karena hal ini lebih berbahaya dan
kerusakannya lebih parah. Karena kehormatan (harga diri) -baik meurut syari’at
ataupun menurut akal- adalah lebih mulia pada diri seseorang dibanding hartanya
dan lebih besar bahayanya dari pada harta” [49] Pelanggaran yang berkaitan
dengan harga diri lebih berat daripada yang berkaitan dengan harta, oleh karena
seseorang lebih terasa sakit tatkala harga dirinya dijatuhkan, direndahkan, dan
dihinakan, apalagi dihadapan khalayak ramai daripada jika hartanya dicuri atau
diambil dengan tanpa hak.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ، أَشَدُّ عِنْدَ اللهِ
مِنْ سِتَّةٍ وَ ثَلاَثِيْنَ زِنْيَةً
"Satu dirham
karena hasil riba yang dimakan oleh seseorang padahal dia tahu, lebih berat di
sisi Allah dibandingkan tiga puluh perzinahan." (Hadits shahih
diriwayatkan oleh Ahmad dan At-Thabrani, lihat Goyatul Marom :172, Ar-Roudl
An-Nadzhir: 459, As-Shahihah 1033, Shahih Al-Jami' 3375)
Asy-Syaukani
mengomentari hadits ini, “Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
((lebih berat di sisi Allah dibandingkan tiga puluh perzinahan….dan
seterusnya)), menunjukan bahwa maksiat riba termasuk maksiat yang paling parah.
Karena maksiat yang senilai maksiat zina yang
merupakan maksiat yang paling jelek dan jijik dengan jumlah yang banyak
(36 kali zina), bahkan (maksiat riba) lebih parah dari zina-zina tersebut, maka
tidak diragukan lagi bahwa maksiat tersebut telah melampaui ambang batas
keburukan. Dan yang lebih buruk dari ini adalah mengulurkan lisan pada harga
diri saudaranya sesama muslim. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjadikan hal ini (mengulurkan lisan untuk mencela kehormatan orang
lain) merupakan riba yang paling parah. Dan sungguh jauh (dari rahmat Allah)
orang yang mengucapkan suatu kalimat yang ia tidak menemukan keledzatan dalam
ucapannya tersebut dan tidak menambah hartanya serta tidak juga meninggikan
kedudukannya, lantas dosanya di sisi Allah lebih besar dari pada dosa orang
yang berzina sebanyak tiga puluh enam zina. Ini adalah perbuatan yang tidak
dilakukan oleh orang yang berakal. Kita memohon kepada Allah keselamatan (dari
hal ini)....amin..amin.” (Nailul Author V/297)
(II) Pelaku ghibah
disiksa dengan adzab yang sangat pedih
Anas bin Malik
radliyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِيْ عَلَى قَوْمٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ
بِأَظَافِرِيْهِمْ, فَقُلْتُ : يَا جِبْرِيْلُِ مَنْ هَؤُلآءِ؟ قَالَ : الَّذِيْنَ
يَغْتَابُوْنَ النَّاسَ, وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ
”Pada malam isro’ aku
melewati sebuah kaum yang mereka melukai (mencakar) wajah-wajah mereka dengan
kuku-kuku mereka”, lalu aku berkata :”Siapakah mereka ya Jibril?”, Beliau
berkata :”Yaitu orang-orang yang mengghibahi manusia, dan mereka mencela
kehormatan-kehormatan manusia”.
Dalam riwayat yang
lain :
قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم : لَمَّا عُرِجَ بِيْ, مَرَرْتُ
بِقَوْمٍ لَهُمْ أَظْفَارٌ مِنْ نُحَاسٍ يَخْمِشُوْنَ وُجُوْهَهُمْ وَ
صُدُوْرَهُمْ فَقُلْتُ : مَنْ هَؤُلآء يَا جِبْرِيْلُِ؟ قَالَ : هَؤُلآء
الَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ لُحُوْمَ النَّاسَ وَيَقَعُوْنَ فِيْ أَعْرَاضِهِمْ
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Ketika aku dinaikkan ke langit, aku
melewati suatu kaum yang memiliki kuku-kuku dari tembaga, mereka melukai
(mencakari) wajah-wajah mereka dan dada-dada mereka. Maka aku bertanya
:”Siapakah mereka ya Jibril?”, beliau berkata :”Mereka adalah orang-orang yang
memakan daging-daging manusia dan mereka mencela kehormatan-kehormatan
manusia”. (Riwayat Ahmad (3/223), Abu Dawud (4878,4879), berkata Syaikh Abu
ishaq Al-Huwaini : Isnadnya shohih, lihat kitab As-Somt hadits no 165 dan 572)
(III) Ghibah merupakan penyebab siksa kubur
Imam Al-Bukhari
membawakan sebuah hadits dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu di bawah bab
Ghibah, beliau (Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhu) berkata,
مَرَّ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ
إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ، أَمَّا هَذَا فَكَانَ
لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ وَأَمَّا هَذَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةِ
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati dua kuburan lalu ia berkata,
“Sesungguhnya keduanya sedang di adzab, dan tidaklah keduanya disiksa karena
perkara yang besar. Adapun yang ini ia tidak bersih tatkala buang air kecil,
dan adapun yang ini ia berjalan sambil bernamimah” ( HR Al-Bukhari V/2249 no
5705 باب الغيبة)
Meskipun hadits ini
tidak meyebutkan ghibah namun Imam Al-Bukhari membawakannya di bawah bab
ghibah. Berkata Ibnut Tin, “Imam Al-Bukhari menyebutkan hadits ini di bawah
judul ghibah padahal yang disebutkan dalam hadits ini adalah namimah karena
keduanya sama-sama merupakan bentuk penyebutan sesuatu yang dibenci oleh orang
yang sedang dibicarakan dan dia sedang tidak hadir” (Sebagaimana dinukil oleh
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari X/470).
Berkata, “Al-Kirmani,
“Ghibah merupakan salah satu bentuk dari namimah, karena jika orang yang sedang
dinukil perkataannya mendengar perkataan yang dinukil darinya maka akan
menyedihkannya”(Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari X/470).
Ibnu Hajar berkata,
((Ghibah terkadang terdapat dalam sebagian bentuk-bentuk namimah, yaitu jika ia
menyebutkan saudaranya -dan ia tidak hadir- tentang perkara yang tidak disukai
oleh saudaranya tersebut dengan maksud untuk menyebarkan kerusakan. Maka ada
kemungkinan bahwa kisah tentang orang yang di adzab di kuburnya demikian
kisahnya (yang disebutkan hanyalah namimah), dan ada kemungkinan juga bahwa
Imam Al-Bukhari memberi isyarat kepada lafal yang terdapat pada beberapa jalan
hadits yaitu lafal “ghibah” yang sangat jelas…[50],))[51]
(IV) Pelaku ghibah
puasanya sia-sia.
Rasulullah bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ
لِلَّهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan
dusta dan mengamalkannya[52] serta berbuat kebodohan[53] maka Allah tidak butuh
kepada puasanya dari meninggalkan makan dan minumnya” (HR Al-Bukhori no 1903,
6057. Hadits ini diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud
II/572 no 1200 pada bab الْغِيْبَةُ
لِلصَّائِمِ
“Ghibah yang dilakukan oleh orang yang berpuasa”)
Berkata Ibnu
At-Thin,” Zohir hadits menunjukkan bahwa barangsiapa yang berbuat ghibah
tatkala sedang puasa maka puasanya batal, demikianlah pendapat sebagian
salaf[54]. Adapun jumhur ulama berpendapat sebaliknya (yaitu puasanya tidak
batal), namun menurut mereka makna dari hadits ini bahwasanya gibah termasuk
dosa besar dan dosanya tidak bisa sebanding dengan pahala puasanya maka
seakan-akan dia seperti orang yang batal puasanya”.[55]
Abul ‘Aaliyah
berkata, الصَّائِمُ فِي
عِبَادَةٍ مَالَمْ يَغْتَبْ وَإِنْ كَانَ نَائِمًا عَلىَ فِرَاشِهِ “Orang yang
berpuasa berada dalam ibadah bahkan meskipun ia sedang tidur selama tidak
berbuat ghibah”[56]
Hukum mendengarkan
ghibah
Berkata Imam Nawawi
dalam Al-Adzkar :”Ketahuilah bahwasanya ghibah itu sebagaimana diharamkan bagi
orang yang menggibahi, diharamkan juga bagi orang yang mendengarkannya dan
menyetujuinya. Maka wajib bagi siapa saja yang mendengar seseorang mulai
menggibahi (saudaranya yang lain) untuk melarang orang itu kalau dia tidak
takut kepada mudhorot yang jelas. Dan jika dia takut kepada orang itu, maka wajib
baginya untuk mengingkari dengan hatinya dan meninggalkan majelis tempat ghibah
tersebut jika memungkinkan hal itu.
Jika dia mampu untuk
mengingkari dengan lisannya atau dengan memotong pembicaraan ghibah tadi dengan
pembicaraan yang lain, maka wajib bagi dia untuk melakukannya. Jika dia tidak
melakukannya berarti dia telah bermaksiat.
Jika dia berkata
dengan lisannya :”Diamlah”, namun hatinya ingin pembicaraan gibah tersebut
dilanjutkan, maka hal itu adalah kemunafikan yang tidak bisa membebaskan dia
dari dosa. Dia harus membenci gibah tersebut dengan hatinya (agar bisa bebas
dari dosa-pent).
Jika dia terpaksa di
majelis yang ada ghibahnya dan dia tidak mampu untuk mengingkari ghibah itu,
atau dia telah mengingkari namun tidak diterima, serta tidak memungkinkan
baginya untuk meninggalkan majelis tersebut, maka harom baginya untuk
istima’(mendengarkan) dan isgo’ (mendengarkan dengan saksama) pembicaraan
ghibah itu. Yang dia lakukan adalah hendaklah dia berdzikir kepada Allah ta'ala
dengan lisannya dan hatinya, atau dengan hatinya, atau dia memikirkan perkara
yang lain, agar dia bisa melepaskan diri dari mendengarkan gibah itu. Setelah
itu maka tidak mengapa baginya untuk mendengar ghibah (yaitu sekedar mendengar
namun tidak memperhatikan dan tidak faham dengan apa yang didengar –pent),
tanpa mendengarkan dengan baik ghibah itu jika memang keadaannya seperti ini
(karena terpaksa tidak bisa meninggalkan majelis gibah itu –pent). Namun jika
(beberapa waktu) kemudian memungkinkan dia untuk meninggalkan majelis dan
mereka masih terus melanjutkan ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan
majelis”[57]. Allah ta'ala berfirman :
وَإذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَخُوْضُوْنَ فِيْ آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ
عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوْضُوْا فِيْ حَدِيْثٍ غَيْرِهِ, وَ إِمَّ يُنْسِيَنَّكُمُ
الشَّيْطَانُ فَلاَ تَقْعُدْ بَعْدَ الذِكْرِ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ
Dan apabila kalian
melihat orang-orang yang mengejek ayat Kami, maka berpalinglah dari mereka
hingga mereka mebicarakan pembicaraan yang lainnya. Dan apabila kalian dilupakan
oleh Syaithon, maka janganlah kalian duduk setelah kalian ingat bersama kaum
yang dzolim. (Al-An’am 68)
Benarlah perkataan
seorang penyair…
وَسَمْعَكَ صُنْ عَنْ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ كَصَوْنِ اللِّسَانِ عَنِ النُّطْقِ بِهْ
فَإِنَّكَ عِنْدَ سَمَاعِ الْقَبِيْحِ شَرِيْكٌ لِقَائِلِهِ
فَانْتَبِهْ
Dan pendengaranmu,
jagalah dia dari mendengarkan kejelekan
Sebagaimana menjaga
lisanmu dari mengucapkan kejelekan itu.
Sesungguhnya ketika
engkau mendengarkan kejelekan,
Engkau telah sama
dengan orang yang mengucapkannya, maka waspadalah
Dan meninggalkan
mejelis ghibah merupakan sifat-sifat orang yang beriman, sebagaimana firman
Allah ta'ala:
وَإِذَا سَمِعُوْا اللَّغْوَ أَعْرَضُوْا عَنْهُ
Dan apabila mereka
mendengar lagwu (kata-kata yang tidak bermanfaat) mereka berpaling darinya.
(Al-Qosos : 55)
وَالَّذِيْنَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ
Dan orang-orang yang
menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (Al-Mu’minun
:3)
Bahkan sangat
dianjurkan bagi seseorang yang mendengar saudaranya dighibahi bukan hanya
sekedar mencegah gibah tersebut tetapi untuk membela kehormatan saudaranya
tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِيْ الدَّرْدَاءِ رضي الله
عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم قَالَ : مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ
أَخِيْهِ, رَدَّ اللهُ وَجِهَهُ النَّارَ
Dari Abu Darda’
radliyallahu ‘anhu berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Siapa yang mempertahankan kehormatan saudaranya yang akan dicemarkan orang,
maka Allah akan menolak api neraka dari mukanya. (Riwayat At-Tirmidzi 1931 dan
Ahmad 6/450, berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Shohih atau hasan”)
Dan demikinlah
pengamalan para salaf ketika ada saudaranya yang digibahi mereka membelanya,
sebagaimana dalam hadits-hadits berikut :
عَنْ عِتْبَانَ بْنِ مَالِكٍ رضي
الله عنه قَالَ : قَامَ النَّبِيُّ صلى
الله عليه و سلم يُصَلِّي فَقَالَ : أَيْنَ مَلِكُ بْنُ الدُّخْشُمِ؟ فَقَالَ
رَجُلٌ : ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ, فَقَالَ النَّبِيُّ
صلى الله عليه و سلم: لاَ تَقُلْ ذَالِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ لاَ إِلِهَ
إِلاَّ اللهُ يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَإِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ عَلَى
الَّنارِ مَنْ قَالَ لاَ إِلِهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِيْ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ
Dar ‘Itban bin Malik
radliyallahu ‘anhu berkata : Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegakkan
sholat, lalu (setelah selesai sholat) beliau berkata : “Di manakah Malik bin
Addukhsyum?”, lalu ada seorang laki-laki menjawab :”Ia munafik, tidak cinta
kepada Allah dan Rosul-Nya”, Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
Janganlah engkau berkata demikian, tidakkah engkau lihat bahwa ia telah
mengucapkan la ila ha illallah dengan ikhlash karena Allah ?, dan Allah telah
mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan
ikhlash karena Allah (Bukhori dan Muslim)
عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكً رضي الله
عنه قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صلى الله
عليه و سلم وَهُوَ جَالِسٌ فِيْ الْقَوْمِ بِتَبُوْكَ : مَا فَعَلَ كَعْبُ بْنُ
مَالِكٍ؟ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَنِى سَلَمَةَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ حَبَسَهُ
بُرْدَاهُ وَ النَّظَرُ فِيْ عِطْفَيْهِ. فَقَالَ لَهُ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ رضي
الله عنه: بِئْسَ مَا قُلْتَ, وَاللهِ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ
إِلاَّ خَيْرًا, فَسَكَتَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم
Ka’ab bin Malik
radliyallahu ‘anhu berkata : Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
sampai di Tabuk, dan dia sambil duduk bertanya : “Apa yang dilakukan Ka’ab ?”,
maka ada seorang laki-laki dari bani Salamah menjawab :”Wahai Rasulullah, ia
telah tertahan oleh mantel dan selendangnya”. Lalu Mu’adz bin Jabal
radliyallahu ‘anhu berkata : “Buruk sekali perkataanmu itu, demi Allah wahai
Rasulullah, kami tidak mengetahui sesuatupun dari dia melainkan hanya
kebaikan”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun diam. (Bukhori dan
Muslim)
Bertaubat dari ghibah
Berkata Syaikh
Utsaimin : “…Yaitu engkau membicarakan dia dalam keadaan dia tidak ada, dan
engkau merendahkan dia dihadapan manusia dan dia tidak ada. Untuk masalah ini
para ulama berselisih. Diantara mereka ada yang berkata (bahwasanya) engkau
(yang menggibah) harus datang ke dia (yang digibahi) dan berkata kepadanya
:”Wahai fulan sesungguhnya aku telah membicarakan engkau dihadapan manusia,
maka aku mengharapkan engkau memaafkan aku dan merelakan (perbuatan)ku”.
Sebagian ulama (yang lainnya) mengatakan (bahwasanya) engkau jangan datang ke
dia, tetapi ada perincian : Jika yang digibahi telah mengetahui bahwa engkau
telah mengghibahinya, maka engkau harus datang kepadanya dan meminta agar dia
merelakan perbuatanmu. Namun jika dia tidak tahu, maka janganlah engkau
mendatanginya (tetapi hendaknya) engkau memohon ampun untuknya dan engkau
membicarakan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat engkau mengghibahinya.
Karena sesungguhnya kebaikan-kebaikan bisa menghilangkan kejelekan-kejelekan.
Dan pendapat ini lebih benar, yaitu bahwasanya ghibah itu, jika yang dighibahi
tidak mengetahui bahwa engkau telah mengghibahinya maka cukuplah engkau
menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat kamu mengghibahinya dan
engkau memohon ampun untuknya, engkau berkata :”Ya Allah ampunilah dia”
sebagaimana yang terdapat dalam hadits :
كَفَّارَةُ مَنِ اغْتَبْتَهُ أَنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُ
Kafarohnya orang yang
kau ghibahi adalah engkau memohon ampunan untuknya[58]
Berkata Ibnu Katsir
:”…Berkata para ulama yang lain :”Tidaklah disyaratkan dia (yang mengghibah)
meminta penghalalan (perelaan dosa ghibahnya-pent) dari orang yang dia ghibahi.
Karena jika dia memberitahu orang yang dia ghibahi tersebut bahwa dia telah
mengghibahinya, maka terkadang malah orang yang dighibahi tersebut lebih
tersakiti dibandingkan jika dia belum tahu, maka jalan keluarnya yaitu dia (si
pengghibah) hendaknya memuji orang itu dengan kebaikan-kebaikan yang dimiliki
orang itu di tempat-tempat dimana dia telah mencela orang itu…”[59]
Berkata Ibnul Qoyyim,
“Yang benar yaitu tidak perlu untuk memberitahu kepada yang dighibahi, akan
tetapi cukup dengan beristighfar (bagi yang dighibahi) dan menyebutkan
kebaikan-kebaikannya di tempat-tempat yang dulu ia menghibahinya. Dan ini
adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah[60] dan yang lainnya[61]. Mereka
yang berpendapat harus mengabarkan orang yang dighibahi (bahwa ia telah
menggibahnya) menjadikan ghibah seperti hak-hak yang berkaitan dengan harta,
padahal perbedaan antara keduanya jelas. Hak-hak yang berkaitan dengan harta,
orang yang dizholimi akan mendapatkan manfaat dengan kembalinya haknya
kepadanya, jika dia ingin maka bisa ia ambil atau ia sedekahkan. Adapun ghibah
maka hal ini tidaklah mungkin, dan hal ini terwujudkan dengan mengabarkan
kepada yang dighibahi kecuali akibatnya bertolak belakang dengan tujuan
Syari’at. Karena pengabaran ini akan memanaskan hatinya dan menyakitinya jika
ia mendangar tuduhan-tuduhan yang terlontarakan kepadanya. Bahkan bisa jadi
akan mengobarkan permusuhan dan tidak akan hilang selama-lamanya. Maka keadaan
yang seperti ini tidak akan diperbolehkan oleh syari’at yang bijaksana dan
tidak akan dibenarkan, apalagi sampai diperintahkan dan diwajibkan. Dan tujuan
syari’at berputar sekitar peniadaan
mafsadah-masadah dan meminimalisirnya, bukan untuk menimbulkan mafsadah dan
menyempurnakannya”[62]
Berkata Al-Hasan
Al-Bashri, كَفَّارَةُ الْغِيْبَةِ
أَنْ تَسْتَغْفِرَ لِمَنِ اغْتَبْتَهُ “Penebus dosa ghibah adalah engkau
meminta ampunan bagi orang yang engkau ghibahi”[63]
Cara menghindarkan
diri dari ghibah
Untuk menghindari
ghibah kita harus sadar bahwa segala apa yang kita ucapkan semuanya akan
dicatat dan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ta'ala. Allah ta'ala
berfirman :
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ
Tiada suatu ucapanpun
yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu
hadir.(Q 18)
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ
وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُوْلاً
Dan janganlah kalian
mengikuti apa yang kalian tidak mengetahuinya, sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati itu semua akan ditanyai (dimintai pertanggungjawaban)
(Al-Isro’ 36)
Hendaknya sebelum
berucap kita renungkan dahulu akibat yang timbul dari ucapan-ucapan kita. Ibnul
Qoyyim berkata, “Adapun menjaga ucapan-ucapan maka caranya adalah janganlah
seseorang sampai mengeluarkan sebuah lafalpun dengan sia-sia. Bahkan janganlah
ia berbicara kecuali tentang sesuatu yang mendatangkan keuntungan atau tambahan
bagi agamanya. Jika ia hendak mengucapkan suatu perkataan maka hendaknya ia
renungkan terlebih dahulu, apakah perkataan tersebut mendatangkan keuntungan
dan berfaedah atau tidak?. Jika tidak ada untungnya maka hendaknya ia menahan
lisannya dan tidak mengucapkannya. Kemudian jika pada perkataan tersebut ada
keuntungannya maka ia renungkan lagi apakah ia bisa mengungkapkannya dengan
perkataan lain yang lebih baik dan berfaedah daripada perkataan yang pertama?,
jika ada maka janganlah sia-siakan perkataan tersebut dan lantas mengucapkan
perkataan pertama (yang kurang faedahnya)..”[64].
Dan jika kita tidak
menjaga lisan kita -sehingga kita bisa berbicara seenak kita tanpa kita
timbang-timbang dahulu yang akhirnya mengakibatkan kita terjatuh pada ghibah
atau yang lainnya- maka hal ini akibatnya sangat fatal. Sebab lisan termasuk
sebab yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka. Sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
وَ هَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِيْ النَّارِ عَلَى وُجُوْهِهِمْ إِلاَّ
حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ ؟
Bukankah tidak ada
yang menjerumuskan manusia ke dalam neraka melainkan akibat lisan-lisan mereka
?
Demikian juga sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ الأَجْوَفَانِ : الفَمُ و
الْفَرَجُ
Yang paling banyak
memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, mulut dan kemaluan.[65]
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله
عنه أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ : إِنَّ الْعَبْدَ
لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَة مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ يُلْقِيْ لَهَا بَالاً يَهْوِيْ
بِهَا فِيْ جَهَنَّمَ
Dari Abu Huroiroh
radliyallahu ‘anhu bahwasanya beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :”Sungguh seorang hamba benar-benar akan mengatakan suatu
kalimat yang mendatangkan murka Allah yang dia tidak menganggap kalimat itu,
akibatnya dia terjerumus dalam neraka jahannam gara-gara kalimat itu”.
(Bukhori)
Sehingga karena
saking sulitnya menjaga lisan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersabda :
عَنْ سَهْلٍ بْنِ سَعْدٍ رضي الله
عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله ِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ يَضْمَنْ لِيْ مَا
بَيْنَ لِحْيَيْهِ وَ مَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ
Dari Sahl bin Sa’d
radliyallahu ‘anhu dia berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :”Barangsiapa yang menjamin kepadaku (keselamatan) apa yang ada
diantara dagunya (yaitu lisannya) dan apa yang ada diantara kedua kakinya
(yaitu kemaluannya) maka aku jamin baginya surga”. (Bukhori dan Muslim)
Berkata Imam Nawawi :
“Ketahuilah, bahwasanya ghibah adalah seburuk-buruknya hal yang buruk, dan
ghibah merupakan keburukan yang paling tersebar pada manusia sehingga tidak ada
yang selamat dari ghibah ini kecuali hanya segelintir manusia” [66]
Berkata Imam Syafi’i
:
اِحْفَظْ لِسَانَكَ أَيُّهَا الإِنْسَـانُ لاَ يَـلْدَغَنَّكَ فَإِنـَّهُ ثُعْـبَانٌ
كَمْ فِيْ الْمَقَايِرِ مِنْ قَتِيْلِ لِسَانِهِ كَانَتْ تَهَابُ لِقَائَهُ الشُّجْعَانُ
Jagalah lisanmu wahai
manusia
Janganlah lisanmu
sampai menyengat engkau, sesungguhnya dia seperti ular
Betapa banyak
penghuni kubur yang terbunuh oleh lisannya
Padahal dulu
orang-orang yang pemberani takut bertemu dengannya
Sebagian orang tidak
bisa mengendalikan lisannya, tidak peduli dengan apa yang diucapkannya, tidak
peduli siapapun yang sedang ia bicarakan, yang sedang ia rendahkan, yang ia
jatuhkan harga dirinya, tidak peduli siapa yang sedang ia ghibahi.
Apalagi ghibah yang
ia lakukan berkaitan dengan agama seseorang.
Berkata Al-Qurthubhi,
“..Para ulama sejak masa awal dari kalangan para sahabat Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para tabi’in setelah mereka, tidak ada ghibah yang lebih
parah menurut mereka dari ghibah yang berkaitan dengan agama (seseorang),
karena aib yang berkaitan dengan agama merupakan aib yang terberat. Setiap
orang mukmin lebih benci jika disinggung kejelekan agamanya daripada jika
disinggung (cacat) tubuhnya”[67]
Bahkan para ulamapun
tidak selamat dari lisannya. Tidak hanya ulama di masanya yang tidak selamat
dari lisannya bahkan ulama masa lalupun tidak selamat dari lisannya.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللهِ لاَ
يُلْقِي لَهَا بَالاً يَهْوِى بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Sesungguhnya seorang
hamba mengucapkan suatu kalimat yang menjadikan Allah murka dan ia tidak
perduli dengan perkataan tersebut maka iapun terjerumus dalam neraka
Jahannam”[68]
Dia tidak tahu
bahwasanya bisa jadi orang yang ia ghibahi atau yang ia rendahkan dan ia lecehkan kedudukannya disisi Allah
sangatlah agung. Ia tidak menyangka bahwa ucapannya tersebut yang terasa
sangatlah ringan di lisannya ternyata sangatlah berat di sisi Allah.
وَتَحْسَبُونَهُ هَيِّناً وَهُوَ عِندَ اللَّهِ عَظِيمٌ (النور : 15 )
Dan kamu
menganggapnya suatu yang ringan saja, padahal dia pada sisi Allah adalah besar.
(QS. 24:15)
Ia tidak tahu bahwa
satu kalimat yang ia keluarkan untuk menggibahi orang tersebut atau merendahkan
kedudukannya dan harga dirinya bisa menghancurkan kabaikan-kebaikannya yang
banyak yang seukuran gunung yang telah ia kumpulkan bertahun-tahun dengan penuh
perjuangan dan keletihan…
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَتَدْرُوْنَ مَا الْمُفْلِسُ؟ قَالُوْا الْمُفْلِسُ فِيْنَا مَنْ لاَ
دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي
يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكاَةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا
وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا
فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ
حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ
فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
“Tahukah kalian apa
yang disebut dengan orang yang bangkrut?”, mereka (para sahabat) berkata,
“Orang bangkrut yang ada diantara kami adalah orang yang tidak ada dirhamnya
dan tidak memiliki barang”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat
dengan membawa amalan sholat, puasa, dan zakat. Dia datang dan telah mencela si
fulan, telah menuduh si fulan (dengan tuduhan yang tidak benar), memakan harta
si fulan, menumpahkan darah si fulan, dan memukul si fulan. Maka diambillah
kebaikan-kebaikannya dan diberikan kepada si fulan dan si fulan. Jika
kebaikan-kebaikan telah habis sebelum cukup untuk menebus
kesalahan-kesalahannya maka diambillah kesalahan-kesalahan mereka (yang telah
ia dzolimi) kemudian dipikulkan kepadanya lalu iapun dilemparkan ke neraka”[69]
Dikatakan kepada
Al-Hasan Al-Bashri bahwasanya si fulan telah mengghibahmu. Maka beliaupun
mengirim sepiring makanan yang manis kepada orang yang telah mengghibahnya
tersebut lalu berkata kepadanya, “Telah sampai kabar kepadaku bahwasanya engkau
telah menghadiahkan (pahala) kebaikan-kebaikanmu kepadaku maka aku ingin
membalas kebaikanmu tersebut”[70]
Berkata seorang
penyair:
يُشَارِكُ لَكَ الْمُغْتَابُ فِي حَسَنَاتِهِ وَيُعْطِيْكَ أَجْرَ صَوْمِهِ وَصَلاَتِهِ
فَكَافِهِ بِالْحُسْنَى وَقُلْ رَبِّ جَازِهِ بِخَبْرٍ وَكَفِّرْ عَنْهُ
سَيِّئَاتِهِ
فَيَا أَيُّهَا الْمُغْتَابُ زِدْنِي فَإِنْ بَقِيَ ثَوَابُ صَلاَةٍ أَوْ زَكاَةٍ فَهَاتِهِ
Orang yang
mengghibahmu bersamamu bersyerikat dalam memiliki kebaikan-kebaikannya
Dan ia menghadiahkan
kepadamu pahala puasa dan sholatnya
Maka hendaklah engkau
membalasnya dengan kebaikan dan katakanlah, “Wahai Tuhanku balaslah dia dengan
kebaikan dan hapuslah dosa-dosanya”
Wahai orang yang
menggibahku tambahlah hadiahmu kepadaku…
Jika masih tersisa
pahala solatmu dan zakatmu maka berikanlah kepadaku.
Orang yang menyadari
akan berharganya sebuah kebaikan di akhirat kelak tatkala amalannya ditimbang
dihadapan Allah Yang Maha Adil maka ia tidak akan rela satu kebaikannyapun
diambil oleh orang lain pada hari kiamat kelak, apalagi banyak
kebaikan-kebaikannya yang diambil !!. Oleh karena itu ia tidak akan rela
mengghibah saudaranya yang mengakibatkan kebaikan-kebaikannya diambil oleh
saudaranya yang ia ghibahi tersebut pada hari kiamat.
Dari Al-Hasan
Al-Bashri bahwasanya ada seseorang yang berkata kepadanya, “Sesungguhnya engkau
telah mengghibahku!”. Maka beliau berkata, ماَ بَلَغَ قَدْرُك عِنْدِي أَنْ أُحَكِّمَكَ فِي حَسَنَاتِي “Kedudukanmu
tidaklah cukup di sisiku sehingga aku membiarkan engkau berhukum (seenaknya)
pada (pahala) kebaikan-kebaikanku”[71]
Berkata Imam
An-Nawawi, “Kami telah meriwayatkan dari Ibnul Mubarok bahwasanya ia berkata, لَوْ كُنْتُ مُغْتَاباً أَحَداً لاَغْتَبْتُ
وَالِدَيَّ لأَنَّهُمَا أَحَقُّ بِحَسَنَاتَي “Kalau seandainya aku mengghibahi
seseorang maka aku akan menggibahi kedua orangtuaku karena mereka berdualah
yang lebih berhak (untuk memeperoleh) kebaikan-kebaikanku”[72]
Kalau maksiat yang ia
lakukan berkaitan antara ia dan Allah maka Allah Maha Pengampun dan Maha
Pemurah, mudah bagi Allah untuk mengampuninya jika Ia menghendaki. Namun jika
kedzoliman berkaitan dengan hak manusia….ketahuilah bahwa semuanya membutuhkan
hasanaat (kebaikan) pada hari kiamat…, semuanya butuh untuk menyelamatkan
dirinya dari api neraka…
Berkata Ibnu
Taimiyah, “Adapun hak orang yang terdzolimi maka tidaklah gugur hanya dengan
sekedar bertaubat…barangsiapa yang bertaubat dari kedzoliman maka tidaklah
gugur hak orang yang terdzolimi dengan taubatnya tersebut, akan tetapi
merupakan kesempurnaan taubatnya hendaknya ia mengganti hak tersebut dengan
yang seperti kedzoliman yang dilakukannya. Jika ia tidak mengganti hak tersebut
di dunia maka ia pasti akan menggantinya di akhirat. Maka wajib bagi orang yang
berbuat dzolim yang telah bertaubat untuk memperbanyak perbuatan-perbuatan baik
hingga jika orang-orang yang didzoliminya telah mengambil kebaikan-kebaikannya
(kelak diakhirat sebagai penebus hak-hak mereka) maka ia tidak jadi orang yang
bangkrut (yaitu masih tersisa kebaikan-kebaikannya). Meskipun demikian jika
Allah menghendaki untuk menebus hak orang yang terdzolimi dari sisiNya maka
tidak ada yang menolak karuniaNya, sebagaimana jika Allah menghendaki untuk
mengampuni dosa-dosa yang dibawah kesyirikan bagi siapa yang ia kehendaki…
Dan ghibah merupakan
kedzoliman yang berkaitan dengan kehormatan. Allah berfirman
} أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيْهِ
مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيْمٌ{
Sukakah salah seorang
dari kalian memakan daging bangkai saudaranya yang telah mati, pasti kalian
membencinya. Maka bertaqwalah kalian kepada Allah, sungguh Allah Maha Menerima
taubat dan Maha Pengasih. (Al Hujurat 12)
Allah telah
memperingatkan kaum mukminin untuk bertaubat dari ghibah dan ia merupakan
kedzoliman…”[73]
Tidakkah ia tahu
bahwasanya ia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, Hakim yang Maha Adil, yang tidak ada
sesuatupun yang tersembunyi bagiNya?, tidakkah ia tahu bahwasanya bahwa orang
yang ia ghibahi dan ia lecehkan tersebut akan menuntut haknya di hadapan Allah
para hari kiamat kelak…??
Bagaimana lagi jika
ia telah mengghibah orang banyak…??
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتُؤَدُنَّ الْحُقُوْقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى
يُقَادُ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنَ الشَّاةِ الْقُرَنَاءِ
“Kalian akan
menunaikan hak-hak kepada para pemiliknya pada hari kiamat, hingga kambing yang
bertanduk diqishos untuk kambing yang tidak bertanduk”[74]
Tidakkah ia tahu
bahwa…
إِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya
kedzoliman adalah kegelapan-kegelapan pada hari kiamat”[75]
Oleh karena itu
karena besarnya bahaya menjatuhkan harga diri seorang muslim tanpa hak maka
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَحَدٍ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ
فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُوْنَ دِيْنَارٌ وَلاَ
دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدَرِ مَظْلَمَتِهِ
وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِّلَ
عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang
melakukan kedzoliman kepada seseorang baik berkaitan dengan harga dirinya atau
yang lainnya maka hendaknya ia memintanya untuk menghalalkannya pada hari ini
sebelum datang hari yang tidak ada dinar dan tidak juga dirham. Jika ia
memiliki amalan sholeh maka akan diambil darinya sesuai dengan ukuran
kedzolimannya. Dan jika ia tidak memiliki kebaikan maka akan diambil
kejelekan-kejelekan orang tersebut dan dipikulkan kepadanya”[76]
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengkhususkan penyebutan harga diri pada hadits
ini menunjukan bahwa perkara melecehkan harga diri orang lain tanpa alasan yang
dibenarkan merupakan perbuatan yang berbahaya.
Berkata Sufyan bin
Husain, “Aku menyebutkan kejelekan seseorang dihadapan Iyas bin Mu’awiyah, maka
iapun memandang ke wajahku dan berkata, “Apakah engkau telah berjihad melawan
negeri Romawi?”, aku berkata, “Tidak”, beliau berkata, “Engkau telah berjihad
melawan Sind, India, dan Turki?”, aku berkata, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah
(orang-orang kafir) dari Romawi, Sind, India, dan Turki selamat dari
(kejahatanmu) dan saudaramu sesama muslim tidak selamat dari kejahatan
(lisan)mu?”. Berkata Sufyan, “Maka aku tidak pernah menggibah lagi setelah
itu”.[77]
Renugkanlah perkataan
Ibnul Haaj Al-Faasi Al-Maliki berikut ini, “Ketahuilah bahwasanya penyebab
timbulnya ghibah adalah karena tazkiyatun nafs (merasa diri sudah suci) dan
ridho dengan diri. Karena engkau hanyalah merendahkan orang lain (saudara)
karena ada keutamaan yang kau dapati pada dirimu (dan tidak terdapat pada saudaramu
itu). Engkau hanya menggibahnya dengan menyebutkan perkara-perkara kejelekan
yang engkau berlepas diri dari perkara-perkara tersebut, dan engkau tidak akan
menggibahnya dengan menyebutkan aibnya kecuali aib-aib yang terdapat pada
dirimu lebih banyak. Dan ghibahmu itu tidaklah diterima (didengar dan
disetujui) kecuali oleh orang-orang yang juga semisalmu. Jika seandainya engkau
memikirkan bahwasanya kekurangan yang terdapat pada dirimu lebih banyak maka
engkau akan meninggalkan mengghibahnya dan engkau akan merasa malu kalau sampai
mengghibahnya karena aib yang terdapat pada dirimu lebih banyak daripada aib
yang engkau sebutkan pada saudaramu itu. Kalau engkau mengetahui bahwasanya
dosa yang kau lakukan merupakan dosa yang besar karena telah mengghibahnya dan
engkau menyangka bahwa engkau bebas dari aib-aib maka niscaya engkau tidak akan
mengghibahnya dan engkau akan sibuk memikirkan aib-aibmu sendiri dan tidak
sibuk mengurusi aib-aibnya…maka berhati-hatilah wahai saudaraku dari penyakit
ghibah sebagaimana engkau berhati-hati dari malapetaka ang sangat besar yang
akan menimpamu. Karena sesungguhnya ghibah jika datang menimpa seseorang dan
mengakar di hati serta pemiliknya mengizinkan dirinya untuk membiarkan ghibah
menempati hatinya maka ghibah tidaklah akan ridho (rela) untuk tinggal
sendirian di hatinya hingga sang hati memperluas tempat tinggal untuk
saudara-saudara ghibah yaitu namimah, al-baghyu, berprasangka buruk, dusta, dan
kesombongan. Orang yang cerdas tidak akan membiarkan hal ini menimpa dirinya,
orang yang bijak tidak akan ridho dengan hal seperti ini. Seorang wali Allah
tidak akan membiarkan penyakit ghibah bercokol di hatinya…”[78]
Ghibah yang
dibolehkan
Berkata Syaikh Salim
Al-Hilali : “Ketahuilah bahwasanya ghibah dibolehkan untuk tujuan yang benar
yang syar’i yang tidak mungkin bisa dicapai tujuan tersebut kecuali dengan
ghibah itu” [79]
Dan hal-hal yang
dibolehkan ghibah itu ada enam (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi dalam
Al-Adzkar), sebagaimana tergabung dalam suatu syair :
الـذَّمُّ لَيْـسَ بِغِيْبَةٍٍ فِيْ سِتـَّةٍ مُتَظَلِّمٍ وَ مـُعَرِّفٍ وَ
مُـحَذَِّرٍ
وَ لِمُظْهِرٍ فِسـْقًا وَ مُسْتَفْـتٍ وَمَنْ طَلَبَ الإِعَانَةِ فِيْ
إِزَالَةِ مُنْكَرٍ
Celaan bukanlah
ghibah pada enam kelompok
Pengadu, orang yang mengenalkan,
dan orang yang memperingatkan
Dan terhadap orang
yang menampakkan kefasikan, dan peminta fatwa
Dan orang yang
mencari bantuan untuk mengilangkan kemungkaran
Pertama : Pengaduan,
maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada sultan (penguasa) atau
hakim dan yang selainnya yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili
orang yang menganiaya dirinya. Maka dia (boleh) berkata : “Si fulan telah
menganiaya saya demikian-demikian”. Dalilnya firman Allah :
لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ
Allah tidak menyukai
ucapan yang buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang
dianiyaya. (An-Nisa’ 148).
Pengecualian yang
terdapat dalam ayat ini menunjukan bahwa bolehnya orang yang didzholimi
mengghibahi orang yang mendzoliminya dengan hal-hal yang menjelaskan kepada
manusia tentang kedzoliman yang telah dialaminya dari orang yang mendzoliminya,
dan dia mengeraskan suaranya dengan hal itu dan menampakkannya di tempat-tempat
berkumpulnya manusia. Sama saja apakah dia nampakkan kepada orang-orang yang
diharapkan bantuan mereka kepadanya, atau dia nampakkan kepada orang-orang yang
dia tidak mengharapkan bantuan mereka.[80]
Kedua : Minta bantuan
untuk mengubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku kemaksiatan kepada
kebenaran. Maka dia (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya
bisa menghilangkan kemungkaran : “Si fulan telah berbuat demikian, maka
hentikanlah dia dari perbuatannya itu” dan yang selainnya. Dan hendaknya
tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran, jika niatnya
tidak demikian maka hal ini adalah harom.
Ketiga : Meminta
fatwa : Misalnya dia berkata kepada seorang mufti : “Bapakku telah berbuat
dzolim padaku, atau saudaraku, atau suamiku, atau si fulan telah mendzolimiku,
apakah dia mendapatkan hukuman ini?, dan bagaimanakah jalan keluar dari hal
ini, agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kedzoliman?”, dan yang
semisalnya. Tetapi yang lebih hati-hati dan lebih baik adalah hendaknya dia
berkata (kepada si mufti) : “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang atau
seorang suami yang telah melakukan demikian ..?”. Maka dengan cara ini tujuan
bisa diperoleh tanpa harus menyebutkan orang tertentu, namun menyebutkan orang
tertentupun boleh sebagaimana dalam hadits Hindun.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : قَالَتْ هِنْدُ امْرَأَةُ أَبِيْ سُفْيَانَ
لِلنَّبِيِّ
r: إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ
شَحِيْحٌ وَلَيْسَ يُعْطِيْنِيْ مَا يَكْفِيْنِيْ وَوَلَدِِيْ إِلاَّ مَا أَخَذْتُ
مِنْهُ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ, قَالَ : خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدِكِ
بِالْمَعْرُوْفِ
Dari ‘Aisyah berkata
:Hindun istri Abu Sofyan berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam:”Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir dan tidak mempunyai cukup
belanja untukku dan unutuk anak-anakku, kecuali jika saya ambil diluar
pengetahuannya”. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : “Ambillah apa
yang cukup untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik” (jangan terlalu
banyak dan jangan terlalu sedikit)”. [81]
Keempat : Memperingatkan
kaum muslimin dari kejelekan. Hal ini diantaranya :
Apa yang telah
dilakukan oleh para Ahlul Hadits dengan jarh wa ta’dil. Mereka berdalil dengan
ijma’ akan bolehnya bahkan wajibnya hal ini. Karena para salaf umat ini
senantiasa menjarh orang-orang yang berhak mendapatkannya dalam rangka untuk
menjaga keutuhan syari’at.[82] Seperti perkataan ahlul hadits :”Si fulan
pendusta”, “Si fulan lemah hafalannya”, “Si fulan munkarul hadits”, dan
lain-lainnya.
Contoh yang lain
yaitu mengghibahi seseorang ketika musyawarah untuk mencari nashihat. Dan tidak
mengapa dengan menta’yin (menyebutkan dengan jelas) orang yang dighibahi
tersebut. Dalilnya sebagaimana hadits Fatimah binti Qois.
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ قَالَتْ : أَتَيْتُ النَّبِيَّ r فَقُلْتُ : إِنَّ أَبَا الْجَهْمِ وَ مُعَاوِيَةَ
خَطَبَانِ, فَقَالَ رَسُوْلُ الله r: أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ مَالَ لَهُ. وَأَمَّا أَبُوْا
الْجَهْمِ فَلاَ يَضَعُ الْعَصَا عَنْ عَاتِقِهِ.(وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ :
وَأَمَّا أَبُوْا الْجَهْمِ فَضَرَّابُ لِلنِّسَاءِ)
Fatimah binti Qois
berkata : Saya datang kepada Nabi r dan berkata :Sesungguhnya Abul Jahm dan
Mu’awiyah meminang saya. Maka Nabi r berkata : “Adapun Mu’awiyah maka ia
seorang miskin adapun Abul Jahm maka ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari
bahunya”. (Bukhori dan Muslim). Dan dalam riwayat yang lain di Muslim (no 1480)
:”Adapun Abul Jahm maka ia tukang pukul para wanita (istri-istrinya)”[83]
Dan jika nasehat
hukumnya wajib untuk memperoleh kemaslahatan yang sifatnya khusus bagi
orang-orang tertentu (sebagaimana pada hadits-hadits di atas) maka bagaimanakah
dengan nasehat yang berkaitan dengan banyak orang?, tidak diragukan lagi maka
hukumnya lebih wajib lagi. Contohnya seperti menjelaskan kesalahan-kesalahan para
perawi hadits. Berkata Yahya bin Sa’id, “Aku bertanya kepada Malik, Ats-Tsauri,
dan Al-Laits bin Sa’ad –dan aku rasa- juga Al-Auza’i tentang seseorang yang
tertuduh berdusta dalam hadits atau seorang perawi yang tidak hafal?”, mereka
berkata, بَيِّنْ أَمْرَهُ “Jelaskanlah
perkaranya”. Ada orang berkata kepada Imam Ahmad bin Hanbal, “Aku merasa berat
untuk berkata si fulan demikian, si fulan demikian…”. Maka Imam Ahmad
berkata, إِذَا سَكَتَّ أَنْتَ وَسَكَتُّ أَنَا فَمَتَى يَعْرِفُ الْجَاهِلُ
الصَّحِيْحَ مِنَ السَّقِيْمِ “Jika engkau diam (tidak menjelaskan) dan aku juga diam (tidak
menjelaskan) maka kapankah orang jahil membedakan antara yang benar dari yang
salah?!”.
Contohnya juga (yang
berkaitan dengan kemaslahatan orang umum) adalah menjelaskan kesalahan-kesalahan
pemuka-pemuka bid’ah, para pencetus pemikiran-pemikiran dan model-model ibadah
baru yang bertentangan dengan Al-Kitab dan Al-Hadits maka menjelaskan kesalahan
mereka dan memperingatkan umat dari bahaya mereka hukumnya adalah wajib berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin.[84]
Berkata Ibnul Qoyyim,
“Perbedaan antara nasehat dan gibah adalah tujuan dari nasehat adalah untuk
memperingatkan seorang muslim dari (bahaya) seorang mubtadi’,….maka engkau
menjelaskan kondisi mubtadi’ tersebut (kepadanya) jika ia meminta pendapatmu
karena ingin bersahabat dengan mubtadi’ tersebut atau ingin bermu’amalah
dengannya atau ingin berhubungan dengannya, sebagaimana Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata kepada Fathimah binti Qois….
Jika ghibah
disampaikan dalam bentuk nasehat untuk Allah, RasulNya, dan hamba-hambaNya kaum
muslimin maka jadilah ghibah tersebut merupakan qurbah (ibadah) kepada Allah
yang merupakan sebuah kebaikan. Dan jika ghibah disampaikan dalam bentuk celaan
terhadap saudaramu dan untuk mengoyak kehormatannya dan bersenang-senang
memakan daging (tubuhnya) serta untuk merendahkan dirinya agar kedudukannya
jatuh di hati orang-orang maka ini merupakan penyakit yang bahaya dan api yang
membakar kebaikan-kebaikan sebagaimana api yang membakar kayu bakar”[85]
Kelima : Ghibah
dibolehkan kepada seseorang yang terang-terangan menampakkan kefasikannya atau
kebid’ahannya. Seperti orang yang terang-terangan meminum khomer, mengambil
harta manusia dengan dzolim, dan lain sebagainya. Maka boleh menyebutkan
kejelekan-kejelekannya. Dalilnya :
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلاً اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ فَقَالَ
ائْذَنُوْا لَهُ, بِئْسَ أَخُوْا الْعَشِيْرَةِ
‘Aisyah berkata :
Seseorang datang minta idzin kepada Nabi r, maka Nabi r bersabda
:”Izinkankanlah ia, ia adalah sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya”. [86]
Namun diharomkan
menyebutkan aib-aibnya yang lain yang tidak ia nampakkan, kecuali ada sebab
lain yang membolehkannya.[87]
Keenam : Untuk
pengenalan. Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti
Al-A’masy (si rabun) atau Al-A’aroj (si pincang) atau Al-A’ma (si buta) dan
yang selainnya maka boleh untuk disebutkan. Dan diharomkan menyebutkannya dalam
rangka untuk merendahkan. Adapun jika ada cara lain untuk mengenali mereka
(tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara tersebut lebih baik.
Perhatian
Berkata Syaikh Salim
Al-Hilali :
1. Bolehnya ghibah untuk hal-hal di atas
adalah sifat yang menyusul (bukan hukum asal), maka jika telah hilang ‘illahnya
(sebab-sebab yang membolehkan ghibah -pent), maka dikembalikan hukumnya kepada
hukum asal yaitu haromnya ghibah.
2. Dibolehkannya ghibah ini adalah karena
darurat. Oleh karena itu ghibah tersebut diukur sesuai dengan ukurannya
(seperlunya saja –pen). Maka tidak boleh berluas-luas terhadap bentuk-bentuk di
atas (yang dibolehkan ghibah). Bahkan hendaknya orang yang terkena darurat ini
(sehingga dia dibolehkan ghibah –pent) untuk bertaqwa kepada Allah dan
janganlah dia menjadi termasuk orang-orang yang melampaui batas. [88]
Kota Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, 27 Dzulhijjah 1426 (27 Januari 2006)
Abu Abdilmuhsin
Firanda Andirja
Maroji’:
1. Kitab As-Somt,
karya Ibnu Abi Dunya tahqiq Syaikh Abu Ishaq Al-Huwainy
2. Syarah Riadlus
Solihin, karya Syaikh Utsaimin, jilid 1, Bab Taubat
3. Taisir Karimir
Rohman, karya Syaikh Nasir As-Sa’di
4. Bahjatun Nadzirin
syarah riadlus sholihin, Karya Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly, jilid 3
5. Tafsir Ibnu
Katsir, jilid 4, tafsir surat Al-Hujurot
6. Al-Muntaqo
Al-Mukhtar min kitab Al-Adzkar (Nawawi), karya Muhammad Ali As-Shobuni, bab
tahrimul ghibah
7. Tuhfatul Ahwadzi
8. Kitabuz Zuhud,
karya Imam Waki’ bin Jarroh, tahqiq Abdul Jabbar Al-Fariwai, jilid 3
9. Majmu’ Fatawa,
karya Ibnu Taimiyah
10. Fat-hul Bari,
karya Ibnu Hajar, tahqiq Muhibbuddin Khathib, Darul Ma’rifah
11. Nailul Author,
karya As-Syaukani, Darul Jil Beiruth
12. Subulus Salam,
karya As-Shon’ani, tahqiq Muhammad bin Yusuf Al-Khowali, cetakan ke empat Dar
Ihyaa At-Turots Al-‘Aroni.
13. Taudlihul Ahkam,
karya Syaikh Ali Bassam, jilid 6
14. Hajrul Mubtadi’,
karya Syaikh Bakr Abu Zaid
15. Ar-Ruuh, Ibnul Qoyyim, Darul Kutub
Al-‘Ilmiyah
16. Wafayaatul A’yaan wa Anbaa’ Abanaaiz zamaan, karya Ibnu
Khallikaan, tahqiq Ihsan Abbas, Daruts Tsaqoofah Lubnan
17. Al-Bidayah wan Nihayah, karya Ibnu Katsir,
Maktabah Ma’arif Beiruut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah- Beiruut
18. Al-Jawab Al-Kaafi, Ibnul Qoyyim
19. Az-Zuhud, Hannad bin As-Sari Abus Sari,
tahqiq Abdurrahman Abdul Jabbar Al-Firyawaa’i, cetakan peratama Darul Khulafaa’
lilkitaab al-Islaami
20. Ihyaa’ Ulumiddiin, Abu Hamid Al-Ghozaali,
Darul Ma’rifah
21. As-Sailul Al-Jarror, Asy-Syaukaani tahqiq
Mahmud bin Ibrohim Zayid, cetakan pertama Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah
22. Al-Madkhol, Ibnul Haaj Al-Faasi Al-Maliki,
Darul Fikr
23. Al-Furuq, Al-Qorofi, tahqiq Kholil
Al-Manshur, cetakan pertama Darul Kutub Al-‘Ilmiyah
Catatan Kaki:
[1] Hadits Shahih
dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (As-Shahihah no 534)
[2] Riwayat Thirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292),
dan lain-lain. Berkata Syaikh Salim Al-Hilali : “Isnadnya hasan”
[3] Sebagaimana yang bisa kita saksikan
bersama, jika ada sebuah majelis yang dibumbui dengan ghibah maka majelis
tersebut terasa semarak dan asyik didengarkan oleh para hadirin, Wal’iyadzu
billah
[4] Sebagaimana akan datang definisinya
[5] Sebagaimana dinukil oleh Al-Mubarokfuuri
dalam Tuhfatul Ahwadzi VI/54
[6] Al-Jawaabul Kaafii hal 111
[7] Ihyaa Ulumiddiin III/143
[8] Taisir karimir Rohman tafsir surat
Al-Hujurot :12
[9] Riwayat Bukhori dalam Al-adab Al-Mufrod no
736, lihat Kitab As-Somt no 177, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini:
"Isnadnya shohih", sedangkan tambahan yang ada dalam dua tanda kurung
terdapat dalam kitab Az-Zuhud hal 748
[10] Bahjatun Nadzirin 3/6
[11] Muslim no 2589, Abu Dawud no 4874,
At-Tirmidzi no 1999 dan lain-lain
[12] Lihat Kitab As-Somt no 211, berkata
Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini : “Rijalnya tsiqoh”
[13] Berkata Al-Qorofi, “lafal مَا (pada hadits ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ ) termasuk bentuk yang memberikan
faedah keumuman maka mencakup seluruh
yang dibenci oleh saudaramu” (Al-Furuuq IV/359)
[14] (Bahjatun Nadzirin 3/6)
[15] (Riwayat Abu Dawud no 4875 dan Ahmad
(6/189,206), berkata Syaikh Abu Ishaq : “Isnadnya shohih”)
[16] yaitu merubah rasanya atau baunya karena
saking busuk dan kotornya perkataan itu –pent, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Syaikh Salim Al-Hilali dalam Bahjatun Nadzirin 3/25, dan hadits ini shohih,
riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi 2502 dan Ahmad 6/189
[17]
Kitab As-Somt no 213,753, berkata Syaikh Abu Ishaq Al-Huwwaini:
“Rijalnya tsiqoh”
[18] Diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari
dalam kitabnya Az-Zuhud II/567 pada bab “Al-Ghibah” no 1186
[19] Tafsir Al-Qurthubhi XVI/337
[20] Kitabuz Zuhud jilid 3 hal 748
[21] maksudnya walaupun saya mendapatkan
keduniaan yang banyak. (Hadits Shohih, riwayat Abu Dawud no 4875, At-Thirmidzi
2502 dan Ahmad 6/189)
[22] Bahjatun Nadzirin 3/26
[23]
(Bahjatun Nadzirin 3/27)
[24] Maksudnya yaitu seseorang tidak bisa
menyatakan bahwa harta yang berada pada orang lain adalah miliknya kecuali jika
mendatangkan persaksian orang-orang yang adil.
[25] Ihyaa’ Ulumiddiin III/150-151
[26] Ini di zaman Ibnu Taimiyah, bagaimana
lagi jika Ibnu Taimiyah hidup di zaman kita dan melihat apa yang kita
lakukan??? Allahul musta’aan
[27] Majmu’ fatawa XXVIII/236-238
[28] (Subulus salam 4/299 dan Taudhilhul Ahkam
6/328).
[29] (Subulus salam 4/299)
[30] (Bahjatun Nadzirin 3/47)
[31] Lihat penjelasan Imam An-Nawawi dalam
Al-Minhaj XV/222, tatkala beliau menyarah hadits Ummu Zar’
[32] Sebagaimana diriwayatkan oleh Hannad bin
As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud II/567 no 1187
[33] Ihyaa’ Ulumiddiin III/146-148
[34] HR Muslim IV/1986 no 2564
[35] HR Al-Bukhari II/619 no
[36] Tuhfatul Ahwadzi VI/313
[37] Al-Minhaj (Syarh An-Nawawi) XI/169
[38] Faidhul Qodiir I/523
[39] As-Sail Al-Jarror IV/595
[40] Subulus Salam IV/194
[41] (Subulus Salam 4/193)
[42] (Taisir karimir Rohman, tafsir surat
Al-Hujurot 12)
[43] Demikian juga diriwayatkan oleh Hannad
bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud pada bab “Ghibah”. (Az-Zuhud II/563)
[44] HR Abu Dawud IV/269 no 4876. Berkata Ibnu
Hajar, “Dan hadits Sa’id bin Zaid…dikeluarkan oleh Abu Dawud dan ia memiliki
syahid sebagaimana dikeluarkan oleh Al-Bazzar dan Ibnu Abid Dunya dari hadits
Abu Hurairah, dan dikeluarkan oleh Abu Ya’la dari hadits Aisyah” (Al-Fath
X/470). Dan hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah no
3950
[45] ‘Aunul Ma’bud XIII/152
[46] An-Nihayah fi Goribil Hadits III/145
[47] Maksudnya jika orang muslim tersebut
mencelanya maka hendaknya ia membalas dengan semisalnya tanpa menambah lebih
dari itu, karena itu berarti ia seperti telah melakukan riba karena mengmbil
lebih banyak daripada yang diterimanya.
[48] Yaitu syari’at memberi beberapa rukhsoh
(keringanan) untuk melakukan ghibah atau untuk mencela harga diri seseorang,
namun ini adalah merupakan keringanan yang keluar dari hukum asal. Maka
tidaklah boleh bagi seseorang mengambil lebih dari batasan keringanan yang
diizinkan oleh Syari’at.
[49] Sebagaimana dinukil oleh Al-Munawi dalam
Faidhul Qodiir II/531
[50] Ibnu Hajar melanjutkan perkataannya:
“…yaitu yang dikeluarkan oleh beliau (Imam
Al-Bukhari) di kitab Al-Adab Al-Mufrod dari hadits Jabir y, beliau berkata,
“Kami bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau melewati dua buah
kuburan…lalu ia menyebutkan seperti hadits Ibnu Abbas y…lalu Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Adapun salah satu dari keduanya mengghibahi
orang-orang…”. Imam Ahmad dan Ath-Thobroni mengeluarkan dengan isnad yang
shahih dari Abi Bakroh, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melewati dua buah kubur lalu berkata, “Sesungguhnya mereka berdua sedang
disiksa, dan tidaklah mereka berdua diazab karena perkara yang besar”, lalu
beliau menangis…dan dalam hadits tersebut beliau berkata, وما يعذبان إلا في الغيبة والبول
“Dan tidaklah mereka berdua disiksa kecuali karena ghibah dan kencing”.
Ahmad dan At-Thobroni juga mengeluarkan hadits dari Ya’la bin Syababah
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati sebuah kuburan yang
penghuninya sedang disiksa lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, إن هذا كان يأكل لحوم الناس “Sesungguhnya ini dahulunya memakan
daging manusia …dan para perawinya tepercaya. Dan Abu Dawud At-Thoyalisi
mengeluarkan semisalnya dari Ibnu Abbas t dengan sanad yang jayyid (baik), dan
juga dikeluarkan oleh At-Thobroni dan ada syahidnya dari Abu Umamah sebagaimana
dikeluarkan oleh Abu Ja’far At-Thobari di tafsirnya. Dan memakan daging manusia
cocok untuk namimah dan ghibah. Dan yang dzohir adalah kisahnya terjadi satu
kali dan ada kemungkinan kisahnya terjadi beruang-ulang” (Fathul Bari X/470-471)
[51] Fathul Bari X/470-471
[52] Yaitu mengamalkan konsekuensi dari
kedustaan tersebut (Al-Fath 4/151)
[53] Syaikh Abdullah Al-Fauzan
menjelasakan,”Yaitu melakukan sesuatu yang merupakan tindakan orang-orang budoh
seperti berteriak-teriak dan hal-hal yang bodoh lainnya” (Ahaditsu siyam hal
74)
[54] Diantaranya adalah Anas bin Malik
sebagaimana diriwayatkan oleh Hannad bin As-Sari dalam kitabnya Az-Zuhud II/573
no 1204. Anas berkata, “Jika seseorang yang berpuasa berbuat ghibah maka ia
telah berbuka”
[55] Fathul Bari X/473, meskipun Ibnu Hajar
kurang setuju dengan pendalilan Ibnu At-Tin dengan hadits ini (karena hadits
ini tidak menyebutkan tentang ghibah akan tetapi hanya menyebutkan perkataan
dusta), namun Ibnu Hajar setuju tentang hukum yang disebutkan oleh Ibnu At-Thin
bahwasanya orang yang berpuasa dan berghibah maka ia tidak mendapatkan pahala
puasanya karena dosa ghibahnya tidak sebanding dengan pahala puasa yang
diraihnya. (Fathul Bari X/473). Hal ini jalas menunjukan bahwa dosa ghibah
sangatlah besar hingga memakan pahala puasa yang sangat besar !!!
[56] Diriwayatkan oleh Hannad dalam kitabnya
Az-Zuhud II/573 no 1201
[57] (Bahjatun Nadzirin 3/29,30)
[58] (Syarah Riyadlus Sholihin 1/78)
(Sedangkan hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab Ash-Shomt no
291, berkata Syaikh Abu Ishaq : “Maudlu”, berkata As-Subki :”Dalam sanad hadits
ini ada rowi yang tidak bisa dijadikan hujjah, dan kaidah-kaidah fiqh telah
menolak (isi) hadits ini karena dia adalah (menyangkut) hak seorang manusia
maka tidak bisa gugur kecuali dengan berlepas diri, oleh karena itu dia (si
pengghibah) harus meminta penghalalan/perelaan dari yang dighibahi. Namun jika
yang dighibahi telah mati dan tidak bisa dilaksanakan (permohonan penghalalan
tersebut), maka berkata sebagian ulama : “Dia (si pengghibah) memohon ampunan
untuk yang dighibahi”).
[59] (Tafsir Ibnu Katsir 4/276)
[60] Lihat Majmu’ Fatawa III/291
[61] Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ini
merupakan pendapat mayoritas ulama (Majmu’ fatawa XVIII/189)
[62] Wabilus Shoyyib 219, Pasal 65
[63] Majmu’ fatawa XVIII/189
[64] Al-Jawab Al-Kaafi hal 110-111
[65]
(Riwayat Thirmidzi 2004, Ahmad (2/291,292), dan lain-lain. Berkata
Syaikh Salim Al-Hilali : “Isnadnya hasan”)
[66] (Tuhfatul Ahwadzi hal 63)
[67] Tafsir Al-Qurthubhi XVI/337
[68] HR Al-Bukhari V/2377 no 6113
[69] HR Muslim IV/1997 no 2581
[70] Wafayaatul A’yaan wa anbaa’ abnaauz
zamaan II/71
[71] Al-Adzkaar hal 791
[72] Al-Adzkaar hal 791
[73] Majmu’ fatawa XVIII/187-189
[74] HR Muslim IV/4997 no 2582
[75] HR Muslim IV/1996 no 2579
[76] HR Al-Bukhari II/856 no 2317, lihat juga
V/2394 no 6169
[77] Al-Bidayah wan Nihayah IX/336
[78] Al-Madkhol III/69
[79] (Bahjatun Nadzirin 3/33).
[80] Ini adalah perkataan As-Syaukani. Namun
hal ini dibantah oleh Syaikh Salim, yaitu bahwasanya ayat ini (An-Nisa’ 148)
menunjukan hanyalah dibolehkan orang yang didzolimi mencela orang yang
mendzoliminya jika dihadapan orang tersebut. Adapun mengghibahnya (mencelanya
dihadapan manusia, tidak dihadapannya) maka ini tidak boleh karena bertentangan
dengan ayat Al-Hujurot 12 dan hadits-hadits yang shohih yang jelas melarang ghibah.
Karena ghibah hanya dibolehkan jika dalam dhorurot. (Bahjatun Nadzirin 3/36,37)
[81] (Riwayat Bukhori dalam Al-Fath 9/504,507, dan Muslim no 1714)
[82] Sebagaimana yang dilakukan oleh para
salaf ketika memperingatkan umat dari bahayanya para ahlul bid’ah, berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang penjelasan wajibnya nasihat untuk
memperbaiki Islam dan kaum muslimin :”..Seperti para imam kebid’ahan yaitu
orang-orang yang mengucapkan perkataan-perkataan yang menyimpang dari Kitab dan
Sunnah atau yang telah melakukan ibadah-ibadah yang menyimpang dari Kitab dan
Sunnah, maka menjelaskan keadaan mereka dan memperingatkan umat dari (bahaya)
mereka adalah wajib dengan kesepakatan kaum muslimin. Hingga dikatakan kepada
Imam Ahmad :.”Seorang laki-laki puasa dan sholat dan beri’tikaf lebih engkau
sukai atau membicarakan tentang (kejelekan) ahlul bid’ah ?”. Maka beliau
menjawab :” Jika laki-laki itu sholat dan i’tikaf maka hal itu
(kemanfaaatannya) adalah untuk dirinya sendiri, dan jika dia membicarakan
(kejelekan) ahlul bid’ah maka hal ini adalah demi kaum muslimin, maka hal ini
(membicarkan kejelekan ahlul bid’ah) lebih baik.” Maka Imam Ahmad telah menjelaskan
bahwasanya hal ini (membicarakan ahlul bid’ah) bermanfaat umum bagi kaum
muslimin dalam agama mereka dan termasuk jihad fi sabilillah dan pada agama-Nya
dan manhaj-Nya serta syari’at-Nya. Dan menolak kekejian dan permusuhan ahlul
bid’ah atas hal itu adalah wajib kifayah dengan kesepakatan kaum muslimin.
Kalaulah bukan karena orang-orang yang telah Allah tegakkan untuk menghilangkan
kemudhorotan para ahlul bid’ah ini maka akan rusak agama ini, yang kerusakannya
lebih parah dari pada kerusakan (yang timbul) akibat dikuasai musuh dari ahlul
harbi (orang kafir yang menyerang-pent). Karena musuh-musuh tersebut tidaklah
merusak hati dan agama yang (telah tertanam) dalam hati kecuali hanya
belakangan. Sedangkan para ahlul bid’ah mereka merusak hati sejak semula.
(Al-fatawa 26/131,232, lihat Hajrul Mubtadi’ hal 9)
[83] Dan ini merupakan tafsir dari riwayat
:(ia tidak pernah melepaskan tongkatnya dari bahunya)
[84] Lihat penjelasana Ibnu Taimiyah dalam
Majmu’ Fatawa XXVIII/230-231
[85] Ruh hal 240
[86] (Riwayat Bukhori dan Muslim no 2591),
As-Syaukani menjelaskan bahwasanya dalil ini tidaklah tepat untuk membolehkan
menggibahi orang yang menampakkan kefasikannya. Sebab ucapan (ia adalah
sejahat-jahat orang yang ditengah kaumnya) berasal dari Nabi r, kalau benar ini
adalah ghibah maka tidak boleh kita mengikutinya sebab Allah dan Nabi r telah
melarang ghibah dalam hadits-hadits yang banyak. Dan karena kita tidak
mengetahui hakikat dan inti dari perkara ini. Dan juga, pria yang disinggung
oleh Nabi r tersebut ternyata hanya Islam secara dzohir sedangkan keadaannya
goncang dan masih ada atsar jahiliah pada dirinya. (Penjelasan yang lebih
lengkap lihat Bahjatun Nadzirin 3/46)
[87] (Bahjatun Nadzirin 3/35). As-Syaukani
menjelaskan :Jika yang tujuan menyebutkan aib-aib orang yang berbuat dzolim ini
untuk memperingatkan manusia dari bahayanya, maka telah masuk dalam bagian ke
empat. Dan kalau tujuannya adalah untuk mencari bantuan dalam rangka
menghilangkan kemungkaran, maka inipun telah masuk dalam bagian ke dua. Sehingga
menjadikan bagian kelima ini menjadi bagian tersendiri adalah kurang
tepat.(Bahjatun Nadzirin 3/45,46)
[88] (Bahjatun Nadzirin 4/35,36)