Jangan Terkesima Dengan Banyaknya
Pengikut
Al ‘Allamah Al Albani berkata :
أن كثرة الأتباع وقلتهم ، ليست معيارا لمعرفة كون
الداعية على حق أو باطل ، فهؤلاء الأنبياء عليهم الصلاة والسلام مع كون دعوتهم
واحدة ، ودينهم واحدا ، فقد اختلفوا من حيث عدد أتباعهم قلة وكثرة ، حتى كان فيهم
من لم يصدقه إلا رجل واحد ، بل ومن ليس معه أحد !
Bahwa banyak atau sedikitnya jumlah
pengikut bukanlah ukuran untuk mengetahui apakah seorang da’i itu berada di
atas kebenaran ataukah kesesatan. Sebab para nabi ‘alaihimus sholaatu was
salaam walaupun dakwah mereka sama dan agama mereka sama namun berbeda-beda
dalam banyak dan sedikitnya jumlah pengikut mereka. Sampai-sampai ada di antara
mereka yang hanya diimani oleh satu orang saja. Bahkan ada yang tidak ada
seorang pun yang mengikutinya.
ففي ذلك عبرة بالغة للداعية والمدعوين في هذا
العصر ، فالداعية عليه أن يتذكر هذه الحقيقة ،ويمضي قدما في سبيل الدعوة إلى الله
تعالى ، ولا يبالي بقلة المستجيبين له ،لأنه ليس عليه إلا البلاغ المبين ، وله
أسوة حسنة بالأنبياء السابقين الذين لم يكن مع أحدهم إلا الرجل والرجلان !
Dalam paparan di atas terdapat pelajaran
yang berharga bagi para da’i dan orang-orang yang didakwahi di masa ini.
Seorang da’i harus memperhatikan kenyataan ini. Dia harus terus berjalan di
jalan dakwah kepada Allah Ta’ala. Dia tidak perlu mempedulikan bila jumlah
orang yang menyambut seruan dakwahnya itu sedikit. Sebab kewajiban baginya
hanyalah menyampaikan (dakwah) dengan jelas. Hendaknya dia meneladani para nabi
terdahulu yang hanya memiliki pengikut seorang atau dua orang saja.
والمدعو عليه أن لا يستوحش من قلة المستجيبين
للداعية ، ويتخذ ذلك سببا للشك في الدعوة الحق وترك الإيمان بها ، فضلا عن أن يتخذ
ذلك دليلا على بطلان دعوته بحجة أنه لم يتبعه أحد ، أو إنما اتبعه الأقلون ! ولو
كانت دعوته صادقة لاتبعه جماهير الناس ! والله عز و جل يقول : \” ومَا أَكْثَرُ
النَّاسِ ولَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ (103) سورة يوسف .الألباني في \”السلسلة
الصحيحة\” 1/684.
Sedangkan bagi orang yang didakwahi
hendaknya dia tidak menjauh hanya karena melihat sedikitnya jumlah orang yang
menyambut seruan dakwah sang da’i. Lalu menjadikannya sebab untuk meragukan
kebenaran dakwah tersebut yang pada gilirannya meninggalkan keimanan pada
dakwah tersebut. Lebih parah lagi jika dia menjadikan hal itu sebagai dasar
untuk menyatakan sesatnya dakwah tersebut dengan alasan karena pengikutnya
hanya seorang atau sedikit orang. (Dia beranggapan 🙂 kalau dakwah tersebut adalah dakwah yang benar
tentu banyak orang yang akan mengikutinya !.
Padahal Allah Azza wa Jalla berfirman :
ومَا أَكْثَرُ النَّاسِ ولَوْ حَرَصْتَ
بِمُؤْمِنِينَ
“Dan tidaklah kebanyakan manusia itu –
walaupun kamu sangat menginginkannya – akan beriman. ” (Surat Yusuf)
كان علماء السلف رضوان الله عليهم وصالحيهم
يخافون على قلوبهم من فتنة الشهرة، وسحر الجاه والصيت، ويحذرون من ذلك تلاميذهم،
بل ويخشون على أنفسهم من كثرة الأتباع وتزاحم التلاميذ ,
Para ulama dan orang-orang shalih terdahulu
ridlwaanallaahu ‘alaihim takut hatinya akan terjerumus (dalam kesesatan) karena
popularitas, kedudukan, dan ketenaran. Mereka pun memperingatkan murid-muridnya
terhadap hal itu. Mereka pun takut akan hal-hal yang akan menimpa diri mereka
dengan banyaknya jumlah pengikut dan membludaknya jumlah murid.
Dari Habib bin Abi Tsabit beliau berkata
:
تَبعَ ابْنَ مَسْعُودٍ نَاسٌ فَجَعَلُوا
يَمْشُونَ خَلْفَهُ فَقَالَ : أَلَكُمْ حَاجَةٌ ؟ قَالُوا : لاَ ، قَالَ :
ارْجِعُوا فَإِنَّهَا ذِلَّةٌ لِلتَّابِعِ فِتْنَةٌ لِلْمَتْبوعِ
“Orang-orang mengikuti Ibnu Mas’ud dan
berjalan di belakangnya. Ibnu Mas’ud pun berkata : “Apakah kalian ada
keperluan? “. mereka menjawab : “Tidak”. Ibnu Mas’ud berkata : “Kembalilah
kalian! Karena ini adalah kehinaan bagi yang mengikuti dan sesuatu yang
menjerumuskan bagi yang diikuti.”
Dari Sulaim bin Handhalah beliau berkata
:
أَتَيْنَا أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ لِنَتَحَدَّثَ
عَندَهُ ، فَلَمَّا قَامَ قُمْنَا نَمْشِي مَعَهُ ، فَلَحِقَهُ عُمَرُ فَرَفَعَ
عَلَيْهِ الدِّرَّةَ فَقَالَ : يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ ، اعْلَمْ مَا تَصْنَعُ
؟ قَالَ : إنَّمَا تَرَى فِتْنَةً لِلْمَتْبُوعِ ذِلَّةً لِلتَّابِعِ.المصنف لابن
أبي شيبة 9/20.
“Kami datang kepada Ubay bin Ka’ab untuk
berbicara dengan beliau. Pada saat beliau berdiri kami pun ikut berdiri lalu
berjalan mengikuti beliau. Ternyata Umar membuntuti beliau sambil
mengacung-acungkan tongkatnya [1] kepada beliau. Beliau pun bertanya : “Wahai
Amirul Mukminin, beritahukanlah kepada saya tentang apa yang Anda lakukan .”
Umar menjawab : “Sesungguhnya yang kau lihat tadi adalah sesuatu yang dapat
menjerumuskan bagi orang yang diikuti dan kehinaan bagi orang yang mengikuti.”
«Al Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah 9/20»
Ada yang berkata kepada Imam Ahmad :
إن الناس يدعون لك فقال: أخشى أن يكون هذا
استدراج , وكان يكره أن يمشي خلفه أحد من الناس.بل كان بعض السلف إذا اجتمع عنده
فوق العشرة ترك المجلس وقام , وقال بعضهم: إذا طال المجلس كان للشيطان فيه نصيب،
أي مدخل للغرور أو للرياء أو لنحو ذلك من المداخل.
“Orang-orang mendoakan Anda kebaikan.”
Beliau menjawab : “Saya takut bahwa ini hanyalah jebakan.” Beliau juga tidak
suka bila ada seorang pun yang berjalan mengikuti beliau dari belakang.
Bahkan beberapa ulama terdahulu apabila
ada lebih dari sepuluh orang berkumpul di dekatnya maka segera saja dia berdiri
meninggalkan kumpulan tersebut. Ada juga yang berkata : “Apabila perkumpulan
itu terlalu lama maka setan akan punya bagian padanya.” Artinya : kesempatan
untuk memasukkan rasa terkesima atau rasa ingin dilihat orang pada diri
seseorang serta kesempatan-kesempatan lainnya. ”
[1] الدِرَّةُ yaitu alat yang
digunakan untuk memukul baik itu berupa cambuk atau tongkat «Musthafa Al Bagha»
Diterjemahkan oleh Abû Azizah al-Atsari
Jumlah Banyak Bukan Barometer Kebenaran
Ustadz Abu Minhal, Lc
Jika ada seseorang menyaksikan banyak
manusia mengucapkan satu pendapat yang sama atau meyakini sesuatu yang serupa,
kondisi demikian akan mudah mendorongnya untuk mengikuti ucapan dan keyakinan
mereka. Sebab, seperti diungkapkan pepatah Arab, manusia itu bak gerombolan
burung, sebagian akan mengikuti lainnya. Dan pada gilirannya, akan menanamkan
kesan pada benak orang tersebut bahwa pendapat yang menyalahi mereka merupakan
pendapat yang keliru dan salah, dan otomatis orang-orang yang tidak sejalan
dengan mereka pun ia anggap kumpulan orang yang salah jalan (baca: sesat). Ya,
apapun pendapat, keyakinan dan kebiasaan mayoritas manusia, kendatipun salah,
keliru dan menyimpang.
Dengan melihat fakta di atas, maka
tidaklah adil dan ilmiah bila kuantitas dijadikan sebagai barometer al-haq
(kebenaran). Bila mayoritas manusia memang berada di atas al-haq, dengan
mengagungkan nash-nash al-Qur`ân dan Sunnah shahîhah serta berkomitmen tinggi
untuk mengamalkannya secara keseluruhan dan mendakwahkannya, maka itulah
kondisi yang ideal bagi manusia untuk mengenal kebenaran. Komunitas sosial yang
lurus tersebut akan menjadi media yang kondusif bagi perkembangan anak-anak dan
generasi selanjutnya. Mereka akan memiliki teladan baik dan contoh luhur dalam
aqidah, akhlak, ibadah dan muamalah serta aspek-aspek keagamaan lainnya.
Namun, persoalan akan muncul bila
mayoritas berada dalam kondisi sebaliknya; ideologi yang berkembang tidak
pernah dikenal di masa Salafush-Shâlih, taklid buta menjadi dasar agama,
tradisi lokal sangat diagungkan, hadits-hadits palsu diamalkan, kaifiyah ibadah
baru lagi tak berdasar menjadi ‘sunnah’ yang mesti dipertahankan. Pengaruh
mayoritas ini dalam masyarakat tersebut akan menyeret anak-anak, generasi muda
Islam dan orang-orang jahil serta orang muallaf memahami Islam tidak
sebagaimana mestinya. Mungkin saja, mereka menjadi pihak yang superior, tapi
yang pasti, standar al-haq (kebenaran) bukanlah berdasarkan besarnya jumlah
massa suatu kelompok dan kekuatan otot mereka.
Menurut al-qur`ân, kebanyakan manusia
tidak berada di atas jalan lurus
Melalui beberapa ayat, justru al-Qur`ân
yang merupakan pedoman hidayah umat Islam mencela jumlah manusia yang mayoritas
dan memberitahukan bahwa kebanyakan manusia berada dalam kesesatan dan
kebatilan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ
يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ
إِلَّا يَخْرُصُونَ ﴿١١٦﴾ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ
سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan
Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka
tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allâh). Sesungguhnya Rabbmu, Dia-lah
yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih
mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk. [al-An’âm/6:116-117].
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah mengatakan,
“(Dalam ayat ini) AllâhTa’ala mengabarkan kondisi kebanyakan penduduk muka bumi
dari anak keturunan Adam, sesungguhnya (mereka berada) dalam kesesatan”.
[Tafsîru al-Qur`ânil-‘Azhîm, 3/322].
Dan Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي
بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
وَقَلِيلٌ مَا هُمْ
Dan sesungguhnya kebanyakan dari
orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zhalim kepada sebagian
yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh;
dan amat sedikit lah mereka ini. [Shâd/38:24].
Bukankah jumlah kaum Muslimin lebih
sedikit dibandingkan bilangan orang-orang yang kafir? Dan umat Islam yang taat
menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya lebih sedikit ketimbang orang-orang
yang mengabaikannya?
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata,
“Kaum Mukminin berjumlah sedikit di tengah manusia. Dan ulama berjumlah sedikit
di tengah kaum Mukminin”.[1]
Maka, untuk mengelabui orang, klaim
jumlah yang banyak dijadikan oleh ahli batil untuk menegaskan kebenaran jalan
dan keyakinan mereka. Karenanya, para pengusung kebatilan, penyeru kepada
bid’ah, penjaja liberalisme dan orang-orang yang memusuhi kebenaran al-Qur`ân
dan Sunnah shahîhah berusaha melariskan ‘dagangan’ mereka dengan
menyebarluaskan klaim banyaknya para pengikut dan pendukung mereka. Misi-misi
dan doktrin mereka suarakan melalui berbagai media massa agar terbentuk opini.
Betapa banyak orang yang mengikuti mereka, kemauan merekalah yang diinginkan
oleh publik dan selanjutnya klaim bahwa mereka berada di atas jalur yang benar
dan lurus. Bukankah bila satu golongan menyimpang yang memiliki cabang di
mana-mana, sedikit banyak akan mempengaruhi pandangan miring orang terhadap
golongan itu?
Dalam kitab Masâilu al-Jâhiliyyah, Syaikh
Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb rahimahullah menyebutkan salah satu ciri jahiliyah,
“Berhujjah dengan apa yang dipegangi kebanyakan orang tanpa menengok dasarnya”.
Parameter Kebenaran
Dengan demikian, parameter kebenaran
bukanlah berdasarkan kuantitas, banyak atau sedikit. Akan tetapi, “kebenaran itu
(disebut kebenaran) tatkala sesuai dengan dalil tanpa perlu menengok banyaknya
orang yang menerima atau minimnya penolakan orang. Antipati manusia atau respon
positif mereka tidak otomatis menunjukkan kebenaran atau penyimpangan satu
pendapat. Tiap pendapat dan perbuatan haruslah berdasarkan dalil (yang shahîh)
kecuali pendapat (ucapan) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena ucapan
beliau sudah menjadi hujjah (dasar, dalil)”[2].
Allâh Azza wa Jalla telah mengabarkan
tentang umat terdahulu bahwa kaum minoritas bisa saja berada di atas al-haq.
Allâh Azza wa Jalla berfirman:
وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu
kecuali sedikit. [Hûd/11:40].
Maka, siapa saja berada di atas al-haq
yang berlandaskan dalil yang shahîh dan lurus, berkomitmen kuat dengannya dalam
ucapan, perbuatan, keyakinan, meskipun ia sendirian, dialah orang yang benar
dan lurus, dan selanjutnya pantas diikuti oleh orang lain.
Bahkan, seandainya pun tidak ada seorang
pun yang berpegang teguh dengan al-haq, selama itu merupakan kebenaran,
tetaplah merupakan kebenaran dan menjadi sumber keselamatan.
Apabila kebanyakan orang hanyut dalam
kebatilan dengan melanggar syariat, tidak konsisten dengan ajaran Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diutus untuk menyampaikan ilmu dan hidayah
kepada semua manusia, mengadakan hal-hal baru dalam agama Islam yang tidak ada
dasarnya yang jelas dan tidak pernah dikenal oleh generasi terbaik umat Islam;
dalam kondisi demikian, pendapat mereka harus ditolak dan tidak boleh terpedaya
dengan jumlah mereka yang ada di mana-mana.
Sahabat ‘Abdullâh bin Mas’ud Radhiyallahu
anhu pernah berkata:
لاَ يَكُنْ أَحُدُكُمْ إِمَّعَةً يَقُوْلُ:
“أَنَا مَعَ النَّاسِ”. لِيُوَطِّنَ أَحَدُكُمْ عَلَى أَنْ يُؤْمِنَ وَلَوْ كَفَرَ
النَّاسُ
[Janganlah seseorang dari kalian menjadi
latah (dengan) mengatakan, ‘Aku bergabung dengan (arus) manusia (saja)’.
Hendaknya ia melatih diri untuk beriman walaupun orang-orang telah kafir].
Atas dasar nasihat berharga di atas, mari
kita tanamkan pada diri kita, “Hendaklah kita melatih diri (dan berusaha keras)
untuk berkomitmen dengan petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
walaupun banyak orang telah mengabaikan petunjuk beliau dan mengadakan hal-hal
baru dalam Islam”. Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan hidayah, rasyâd dan
taufik-Nya kepada kita semua.
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah juga telah
menggariskan pesan pentingnya, “Janganlah engkau (mudah) tertipu dengan apa
yang mengelabui orang-orang jahil. Mereka itu mengatakan, ‘Jika orang-orang itu
(yang berada di atas al-haq) betul-betul di atas kebenaran, mestinya jumlah
mereka tidak akan sedikit. Sementara manusia lebih banyak yang tidak sejalan
dengan mereka’. Ingatlah bahwa sesungguhnya orang-orang (yang berada di atas
al-haq) itulah manusia (sebenarnya). Sedangkan orang-orang yang bertentangan
dengan mereka hanyalah serupa dengan manusia, bukan manusia. Manusia
(sebenarnya) hanyalah orang-orang yang mengikuti al-haq meskipun mereka
berjumlah paling sedikit”.[4]
Syaikh Shâlih al-Fauzân hafizhahullâh
mengatakan, “Memang betul, bila mayoritas (manusia) di atas kebenaran dan
al-haq, maka itu bagus sekali. Akan tetapi, sunnatullâh (ketetapan Allâh Azza
wa Jalla ) yang berjalan bahwa kuantitas yang besar berada di atas kebatilan.
(Ketetapan Ilahi ini berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla.
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ
بِمُؤْمِنِينَ
Dan sebagian besar manusia tidak akan
beriman – walaupun kamu sangat menginginkannya [Yûsuf/12 : 103]
Dan firman-Nya:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ
يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ
إِلَّا يَخْرُصُونَ
Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan
Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka
tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allâh). [al-An’âm/6 ayat 116][5].
Benarkah Mayoritas Kaum Muslimin Pada
Masa Sekarang Beraqidah Asy’ariyah?
Kaum Asya’irah (yang beraqidah
Asy’ariyah) adalah orang-orang yang berintisab (menisbatkan diri) kepada
Abul-Hasan al-Asy’ari, yaitu ‘Ali bin Ismâ’îl yang wafat pada tahun 330H.
Sebenarnya, melalui aspek historis, dapat diketahui bahwa sosok yang terkenal
ini mengarungi tiga fase dalam aqidahnya: bermadzhab Mu’tazilah, kemudian
berada dalam fase antara pengaruh aqidah Mu’tazilah dan mengikuti Sunnah dengan
menetapkan sebagian sifat Allâh, namun masih menakwilkan sebagian besarnya.
Fase ini yang kemudian dikenal dengan aqidah Asy’ariyah. Lalu keyakinannya yang
terakhir, meyakini aqidah yang dipegangi dan diyakini oleh generasi Salaf umat
Islam. Sebab, ia telah menegaskan dan memaparkannya dalam kitabnya al-Ibânah
yang termasuk karya terakhir beliau. Di dalamnya, beliau menjelaskan bahwa
dirinya mengikuti aqidah yang dipegangi oleh Imam Ahli Sunnah, Imam Ahmad bin
Hanbal rahimahullah dan Ulama Ahli Sunnah lainnya. Yaitu, menetapkan semua nama
dan sifat yang ditetapkan Allâh Azza wa Jalla bagi Dzat-Nya dan ditetapkan oleh
Rasûlullâh bagi-Nya, sesuai dengan keagungan dan kemuliaan Allâh Azza wa Jalla
, tanpa takyîf, tamtsîl, tahrîf dan takwîl. Berdasarkan firman Allâh Azza wa
Jalla.
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan
Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat. [asy-Syûrâ/42:11].
Dikala panutan dan tokoh utama
Asy’ariyah, Abul-Hasan al-Asy’ari rahimahullah telah meninggalkan aqidah 20
sifatnya, para penganut aqidah Asy’ariyah masih bertahan dengan pemikiran
Abul-Hasan al-Asy’ari rahimahullah sebelum meninggalkan aqidah yang digagasnya
menuju aqidah Ahli Sunnah wal-Jama’ah. Belakangan, ada ungkapan populer di
tengah sebagian masyarakat bahwa golongan Asy’ariyah di masa ini
merepresentasikan 95% dari jumlah kaum muslimin. Artinya, yang memegangi aqidah
Asy’ariyah di dunia Islam merupakan kaum mayoritas.
Syaikh ‘Abdul Muhsin al-‘Abbad menyanggah
pendapat tersebut, melalui, dengan beberapa tinjauan, sebagai berikut:[6]
1. Bahwa penetapan prosentase di atas
haruslah berdasarkan penghitungan detail yang menghasilkan data empiris yang
valid. Dan ternyata tidak ada sensus untuk menghitung jumlah penganutnya, hanya
sekedar klaim kosong belaka.
2. Anggap saja prosentasi itu benar,
namun tidak otomatis jumlah yang banyak mengindikasikan lurus dan benarnya
aqidah tersebut. Sebab, aqidah yang benar dan lurus hanya dapat digapai dengan
mengikuti aqidah yang diyakini oleh generasi Salaf dari kalangan Sahabat Nabi
dan insan-insan yang berjalan di atas manhaj mereka dengan baik. Bukan dengan
mengikuti aqidah yang penggagasnya baru wafat pada abad empat hijriyah, apalagi
yang bersangkutan telah meninggalkan aqidah (yang salah) itu. Selain itu,
secara logika, tidak mungkin ada kebenaran yang tertutup dan tersembunyi bagi
para Sahabat Nabi, generasi Tabi’in dan para pengikut mereka dengan baik, dan
kemudian kebenaran itu baru diketahui oleh orang yang kelahirannya setelah masa
generasi terbaik umat Islam.
3. Selain itu, aqidah Asy’ariyah hanyalah
diyakini oleh orang-orang yang mendalaminya di lembaga pendidikan Asy’ariyah
atau mereka mempelajarinya dari tangan guru-guru berkeyakinan Asy’ariyah.
Sedangkan orang-orang awam yang jumlahnya sangat banyak itu tidaklah mengenal
Asy’ariyah. Aqidah mereka masih di atas fitrah.
4. Syaikh Bakr Abu Zaid dalam at-Ta’âlum
menambahkan bahwa aqidah orang-orang dari tiga generasi terbaik; dari generasi
Sahabat dan dua generasi selanjutnya sejalan dengan Kitâbullâh dan Sunnah
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dalam perjalanan sejarah dikenal
dengan Aqidah Salaf.
Maka, Bersabarlah Dan Tetaplah Komitmen
Dengan Al-Haq
Dengan melihat fakta lapangan, orang yang
tidak dan belum komitmen dengan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam jumlahnya lebih banyak bahkan dominan di tengah masyarakat, maka seorang
Muslim yang taat kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidak perlu merasa cemas, resah dan terasing lantaran tidak
“memiliki” teman banyak atau bahkan tidak punya teman sama sekali. Sebab,
hatinya ingin bersama dengan “orang-orang orang-orang yang dianugerahi nikmat
oleh Allâh, yaitu: nabi-nabi, para shiddîqîn, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”.[8]
Apabila kesabaran dan keyakinannya
menipis, maka ia akan meninggalkan kebenaran itu, tidak sanggup menanggung
beban (untuk menjalankan)nya, apalagi bila ia tidak memiliki teman dan merasa
resah dengan kesendiriannya. Akhirnya, ia akan berkata, “Kemana manusia pergi,
maka aku mengikuti mereka”.[9]
Mari Sebarkan Ajaran Ahli Sunnah
Wal-Jamaah!
Tersebarnya ajaran dan petunjuk yang
bersumber dari al-Qur`ân dan Sunnah yang shahîhah di tengah satu masyarakat,
dari masyarakat terkecil seperti keluarga, hingga masyarakat berskala besar
seperti negara, akan mendatangkan kebaikan demi kebaikan bagi mereka semua.
Oleh karena itu, sepatutnya penyeru kepada perbaikan berusaha keras untuk
memperbanyak jumlah ahlul-haq. Sebab, para nabi pun memperoleh kedudukan yang
berbeda-beda juga berdasarkan sedikit banyaknya pengikut mereka. Oleh sebab
itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنِّي لَأَرْجُوْ أَنْ تَكُونُوْا أَكْثَرَ
أَهْلَ الْجَنَّةِ
Sesungguhnya aku benar-benar berharap
kalian menjadi penghuni terbanyak di dalam surga. [HR al-Bukhâri dan Muslim
dari hadits Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu][10].
Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
05/Tahun XVII/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Miftâhu Dâris-Sa’âdah, 1/147.
[2]. Lihat Manhajul-Istidlâl, 2/695.
[3]. Syarhu Masâili al-Jâhiliyyah, hlm.
61.
[4]. Miftâhu Dâris-Sa’âdah, 1/147.
[5]. Syarhu Masâili al-Jâhiliyyah, Shâlih
al-Fauzân, hlm. 62.
[6]. Lihat Qathfu Jana ad-Dânî,
Darul-Fadhîlah, Cet. I Th. 1423H-2002M, hlm35-36
[7]. At-Ta’âlum, hlm. 121-122.
[8]. an-Nisâ/4 ayat 69. Lihat keterangan
ini dalam ash-Shawâriwu ‘anil-Haqq, hlm. 109.
[9]. Syarhu al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyah,
2/361.
[10]. Ash-Shawâriwu ‘anil-Haqq, hlm.
106-112.
Nabi Saja Ada Yang Tidak Punya Follower
“MasyaAllah, pasti Ustadz tenar ni,
followernya banyak sekali”
“Ini baru ustadz yang bener, followernya
aja segitu banyaknya”
Sebagian (kecil) ustadz dan aktifis
dakwah ada yang tujuan utamanya adalah menjadi terkenal dan mengumpulkan massa,
pengikut atau follower. Tentunya agar lebih mudah menggandeng follower dan
meraih massa dengan cepat harus tahu apa yang “diinginkan oleh pasar”.
Karenanya tidak heran kalau ustadz yang agak laku sekarang adalah:
– ustadz yang bisa melucu, kalau bisa
melawak yang membuat terpingkal-pingkal walaupun wibawa jatuh
-ustadz yang bisa nyanyi juga kalau perlu
-ustadz yang, ehem agak ganteng dan muka menjual sedikit
-ustadz yang doyan cerita-cerita yang membuat
takjub, merasa aneh, pintar memotivasi walaupun bahannya ceramah tidak Islami
-dll
Dan yang perlu kita perhatikan bersama
adalah, keberhasilan dakwah bukan dengan banyaknya pengikut atau banyaknya yang
berhasil kita dakwahi. Akan tetapi bukan berarti juga ustadz atau aktifis
dakwah yang banyak diikuti adalh sesat. Akan tetapi cara dan niatnya yang perlu
diperhatikan.
Berikut sedikit pembahasan mengenai hal
ini.
Ada nabi yang tidak punya
follower/pengikut sama sekali
Keberhasilan dakwah bukan dilihat dari
banyaknya pengikut, jika tolak ukurnya adalah keberhasilan dalam segi jumlah,
maka nabi yang hanya punya pengikut satu orang atau tidak punya pengikut sama
sekali bisa dibilang dakwahnya gagal.
Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallampernah bersabda,
مَا صُدِّقَ نَبِيٌّ (مِنَ الأَنْبِيَاءِ) مَا
صُدِّقْتُ، إِنَّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ مَنْ لَمْ يُصَدِّقْهُ مِنْ أُمَّتِهِ إِلاَّ
رَجُلٌ وَاحِدٌ
“Tidaklah seorang Nabi (dari para Nabi)
dibenarkan sebagaimana aku dibenarkan, sesungguhnya diantara para Nabi ada yang
tidak dibenarkan oleh ummatnya kecuali hanya oleh satu orang.”[1]
Bahkan ada yang tidak punya pengikut sama
sekali.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam
bersabda,
…عرضت
علي الأمم، فرأيت النبي و معه الرهط، والنبي و معه الرجل والرجلان والنبي ليس معه
أحد
“Diperlihatkan kepadaku umat-umat, lalu
aku melihat seorang Nabi bersamanya ar-rahth (sekelompok orang yang terdiri
dari 3-10 orang), dan seorang Nabi bersamanya seorang dan dua orang, dan
seorang Nabi tidak ada bersamanya seorangpun…..”.[2]
Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata,
وفي الحديث دليل واضح على أن كثرة الأتباع وقلتهم
، ليست معيارا لمعرفة كون الداعية على حق أو باطل ، فهؤلاء الأنبياء عليهم الصلاة
والسلام مع كون دعوتهم واحدة ، ودينهم واحدا ، فقد اختلفوا من حيث عدد أتباعهم قلة
وكثرة
“Kandungan hadits menunjukkan dalil yang
tegas bahwa banyak dna sedikitnya pengikut bukanlah tolak ukur untuk mengetahui
apakah seorang dai di atas kebenaran atau di atas kebatilan. Mereka para nabi
saja, dawakh dan agama mereka satu (sama), akan tetapi berbeda dalam jumlah
pengikut mereka.”[3]
Banyaknya jumlah bukanlah tolak ukur
kebenaran
Bahkan jumlah yang banyak dan kata-kata
banyak dalam syariat mayoritasnya kurang baik. Jika kita mengikuti kebanyakan
manusia maka kita bisa “terpleset”.
Allah Ta’ala berfirman :
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ
بِمُؤْمِنِينَ
“Dan tidaklah kebanyakan manusia itu
beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya”(QS. Yusuf : 103)
Dan firman Allah Ta’ala,
وَ إْن تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأَرْضِ
يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ
“ Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang
di muka bumi Ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah “. (Al
An’am : 116).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata
menafsirkan,
يخبر تعالى عن حال أكثر أهل الأرض من بني آدم أنه
الضلال، كما قال تعالى: {ولقد ضل قبلهم أكثر الأولين} [الصافات: 71]
“Allah memberitakan bawah keadaan
mayoritas penduduk bumi dari anak Adam adalah dalam kesesatan (tidak mendapat
petunjuk yang benar) sebagaimana pula firman Allah “Sungguh Telah sesat juga
kebanyakn orang sebelum kalian” (as-Shaffat: 71)”[4]
Demikian semoga bermanfaat
@gedung Radiopoetro, FK UGM, Yogyakarta
tercinta
Penyusun: Raehanul Bahraen
[1] as-Silsilah ash-Shahihah 1/684
[2] HR. Bukhari dan Muslim
[3] as-Silsilah ash-Shahihah 1/684
[4] Tafsir Ibni Katsir 3/322, Darut
Thayyibah, 1420 H, syamilah
Ketenaran dan Popularitas Adalah Ujian,
Hindari Jika Mampu
Mendewakan dan memburu ketenaran,
bagaikan semut yang melihat genangan madu, terpukau. Semakin ia meraihnya ke
tengah semakin tenggelam dalam genangan madu”
Para ulama dan penuntut ilmu juga tidak
terlepas dari penyakit ini. Karenanya Asy-Syathibi rahimahullah berkata,
آخر الأشياء نزولا من قلوب الصالحين : حب السلطة
والتصدر! .
“Hal yang paling terakhir luntur dari
hatinya orang-orang shalih: cinta kekuasaan dan cinta eksistensi
(popularitas)” (Al-I’tisham
Asy-Syathibi)
Akan tetapi jika ketenaran itu datang
tanpa dicari maka tidak mengapa dan tidak tercela.
Al-Ghazali rahimahullah mengatakan,
“Yang tercela adalah apabila seseorang
mencari ketenaran. Namun jika ia tenar karena karunia Allah tanpa ia cari-cari,
maka itu tidaklah tercela.”
Semoga kita selamat dari ujian ketenaran
dan kita hanya menjadi tokoh di belakang layar yang tenar dan populer di langit
@Markaz YPIA, Yogyakarta tercinta
Penyusun: Raehanul Bahraen
Merasa Berjasa Dalam Dakwah
Terkadang kita sudah berusaha ikhlas
sudah berusaha melawan keinginan lain di
balik dakwah
melawan keinginan mendapatkan mendapatkan
ketenaran dalam dakwah
melawan keinginan mendapatkan bagian
dunia dari dakwah (mukafaah)
dan kita sudah yakin insyaAllah akan
mendapat pertolongan dunia-akhirat jika kita menolong agama Allah, sebagaimana
firman-Nya.
يا أيها الذين آمنوا إن تنصر الله ينصركم
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu
menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu.” ( Muhammad: 7).
Akan tetapi tetap saja setan berusaha
menjerumuskan manusia dalam kelalaian dan kebinasaan. Sebagaimana janji Iblis
laknatullah,
قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَأُغْوِيَنَّهُمْ
أَجْمَعِينَ , إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ
Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau
aku akan menyesatkan mereka semuanya kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di
antara mereka.” (Shaad: 79-83)
Cara yang ditempuh Iblis itu adalah
membuat aktifis dakwah “merasa memiliki jasa dalam dakwah”
“Kalau bukan saya, dakwah di kita ini
tidak jalan”
“Saya yang menggagas dakwah di ma’had
ini”
“saya yang membimbing ia agar mendapat
hidayah”
“Saya pencetus dan penggerak program
hapalan ini”
Hal ini mengingatkan kita bersama dengan
kisah Arab badui yang datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia
mengaku dan menampakkan diri bahwa dirinyalah yang telah berjasa menolong
beliau, berjasa telah membantu Islam dan Nabi, akan tetapi ini sungguh
terbalik. Akhirnya diabadikan dalam Al-Quran,
يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُل لّا
تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلامَكُم بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ
لِلإِيمَانِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Mereka merasa telah berjasa kepadamu
dengan keIslaman mereka. Katakanlah, “Janganlah kamu merasa berjasa kepadaku
dengan keIslamanmu, sebenarnya Allah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan
menunjukkan kamu kepada keimanan, jika kamu orang yang jujur.” ( Al-Hujurat:
17)
At-Thabari rahimahullah berkata,
وذُكر أن هؤلاء الأعراب من بني أسد, امتنوا على
رسول الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم, فقالوا: آمنا من غير قتال, ولم نقاتلك
كما قاتلك غيرنا, فأنـزل الله فيهم
“Disebutkan bahwa mereka adalah Arab
badui dari bani Asad yang menyebut-nyebut (jasa) kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam , mereka berkata, kami masuk Islam tanpa peperangan, kami
tidak memerangimu sebagimana orang yang lain. Maka Allah menurunkan Ayat
ini.”[1]
Dalam Tafsir Al-Muyassar dijelaskan,
يَمُنُّ هؤلاء الأعراب عليك -أيها النبي- بإسلامهم
ومتابعتهم ونصرتهم لك، قل لهم: لا تَمُنُّوا عليَّ دخولكم في الإسلام؛ فإنَّ نفع
ذلك إنما يعود عليكم، ولله المنة عليكم فيه أنْ وفقكم للإيمان به وبرسوله، إن كنتم
صادقين في إيمانكم.
“Orang Arab Badui (bani Asad)
menyebut-nyebut (jasa) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan masuk
Islamnya mereka, mengikuti dan menolong. Maka katakan kepada mereka, jangan
sebut jasa kalian dengan masuk Islam karena manfaatnya kembali kepada kalian.
Allah yang memberikan kenikmatan kepada kalian yaitu memberikan taufik dalam
keimanan. Jika iman kalian benar.”[2]
Semoga kita sadar..
Bahwa bisa saja Allah meolong agama ini
bukan dari tangan kita, melainkan tangan orang lain, atau bahkan bisa jadi dari
tangan orang yang fasik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
وَأَنَّ اللهَ يُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ
بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ
“Terkadang/boleh jadi Allah menolong
agama ini dengan orang yang fajir/pelaku maksiat”[3]
Kita tidak perlu kaget dengan hadits ini,
karena bahkan terkadang Allah menolong agama ini dengan orang kafir seperti Abu
Thalib paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ibnu Batthal rahimahullah berkata
menjelaskan hadits ini,
وقوله: (إن الله يؤيد هذا الدين بالرجل الفاجر)
يشتمل على المسلم والكافر، فيصح أن قوله: (لا نستعين بمشرك) خاص فى ذلك الوقت
“Sabda beliau, ‘Terkadang/boleh jadi
Allah menolong agama ini dengan orang yang fajir alias pelaku maksiat’,
mencakup orang muslim dan orang kafir, sabda beliau shohih yaitu ‘kita tidak
perlu meminta bantuan kepada orang musyrik”, maka hadits ini khusus pada waktu
tersebut [tidak bertentangan, pent]”[4]
Ibnu Hajar Al-Asqalaniy rahimahullah
menjelaskan hadits ini,
جزم بن المنير والذي يظهر أن المراد بالفاجر أعم
من أن يكون كافرا أو فاسقا ولا يعارضه قوله صلى الله عليه وسلم إنا لا نستعين
بمشرك
“Ibnul Munir menegaskan bahwa pendapat
terkuat yang dimaksud Al-fajir adalah lebih umum dari kafir atau fasik dan
tidak bertentangan dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ‘kita
tidak perlu meminta bantuan kepada orang musyrik.”[5]
Semoga kita tersadar
Dan Allah selalu menjaga hati kita.
Wallahu musta’an.
@Pogung-Lor, Yogyakarta tercinta
penyusun: Raehanul Bahraen
Jika Beragama Mengikuti Kebanyakan Orang
Ustadz Said Yai Ardiansyah Lc, MA
Tolok Ukur Kebenaran Adalah Secara Syar'i
Siapakah yang Pantas Disebut Ulama (
Orang Alim ) ?
Kebodohan Akan Menghalangi Seseorang
Untuk Menerima Kebenaran. Bahwasanya Hati Nurani Setiap Orang Lebih Menyukai
Dan Menginginkan Kebenaran Ketimbang Kebathilan.
Kebenaran Tidak Diukur Dengan Banyaknya Orang
Yang Mengikutinya.Berpegang Pada Suara Mayoritas Adalah Kaidah Kaum Jahiliyah.
Membahas Politik Di Hadapan Masyarakat
Awam
Ciri-ciri Ulama Ahlusunnah Dan Ulama
Rabbani Pelita Ummat
Dakwah Bil Kitabah, Bukan Dominan Bil
Lisan. Dakwah Bil Youtube, Berpotensi Negatif Untuk Jadi Alat Provokasi.
Rahasia Produktivitas Menulis Para Ulama Salaf.
Belajar Agama Hanya Untuk (Profesi
Dakwah,Ustadz) Mencari Dunia ?
[IT]
Azab Para Da’i yang Tidak Menjalankan Nasihatnya Sendiri,
4 Tipe Ustadz Dalam Berdakwah. 4 Tipe
Manusia Dalam Beramal
Zuhud, Bayaran Dalam Dakwah, Dan Upah
Khatib Jum’at
[OOT] Kaidah dan Landasan Para Juru
Dakwah