101 Perkataan Ulama Salaf Dan Ulama Al-Syafi‘Iyyah
Serta 2000 Dalil Yang Meyatakan Allah ﷻ Di Atas ‘Arsy.
Sebagian ahli bid’ah pula ada yang mengatakan
tanpa rasa malu dan dosa, sebagaimana kawan sejawat mereka sebelumnya yang
mengatakan Allah ada di mana-mana, bahwa Allah tidak layak dikatakan apakah di
atas, di bawah, atau di arah tertentu yang diketahui manusia. Bahkan mereka
katakan, tidak layak dikatakan Allah berada di dalam atau di luar alam semesta!
Salah seorang imam mereka, yaitu Ibnu Faurak,
pernah terjebak debat terkait masalah ini dengan seorang ulama Ahlussunnah yang
sekaligus panglima perang terkenal bernama Mahmud bin Subuktikin. Di antara
yang dikatakan Ibnu Faurak ialah, “Saya tidak mengatakan bahwa Allah ada di
atas, tidak pula di bawah, tidak pula di kanan, dan tidak pula di sebelah
kiri.” Mendengar itu, Mahmud bin Subuktikin menimpali, “Sesungguhnya Tuhanmu tidak ada!” [Majmu’ Al-Fatawa (III/37)]
Sebagaian ulama ada yang menyatakan bahwa Ibnu
Faurak inilah sosok di balik semakin runyamnya akidah Asy’ariyyah. Sebab sekte
Asy’ariyyah generasi awal masih meyakini Allah berada di atas ‘Arsy, bukan di
mana-mana apalagi seperti keyakinan Ibnu Faurak di atas. Namun setelah Ibnu
Faurak memodifikasi ‘aqidah Asy’ariyyah, pengikut sekte ini di kemudian hari
justru lebih mengikutinya daripada mengikuti Abul Hasan Al-Asy’ari sendiri
selaku ‘pendiri’ sekte Asy’ariyyah ini. (safinah.id)
Daftar Isi :
● “Tidak
ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib,
kecuali Allah”
● Bantahan
Pokok Subhat Mereka Yang Mengatakan Bahwa Dzat Alloh Tidak Bertempat
● 101 Perkataan
Ulama Salaf Tentang Allah Di Atas Arsy (Seri Allah Di Atas Arsy)
● Ulama
al-Syafi‘iyyah Menegaskan Allah di Atas ‘Arsy
●Ajaran-Ajaran Madzhab Syafi’i Yang Dilanggar
Oleh Sebagian Pengikutnya 5 – Keyakinan Bahwa Allah Di Atas Langit
●Aqidah Asyaa’irah = Syi’ah Rafidhah Dalam Masalah Dimana Allah (Isu Allah Tanpa Bertempat), Pendustaan Terhadap Ali Bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu
●Aqidah Asyaa’irah = Syi’ah Rafidhah Dalam Masalah Dimana Allah (Isu Allah Tanpa Bertempat), Pendustaan Terhadap Ali Bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu
● Beberapa Artikel dan Video Terkait
●Benarkah Al Bukhari telah mentakwil sifat
wajah dengan kerajaan, dan sifat tertawa dengan rahmat?
Katakanlah: Aku tidak mengatakan
kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku
mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku
seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.
Katakanlah: “Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?” Maka apakah kamu
tidak memikirkan(nya)?” [surah / surat : Al-An’am Ayat : 50]
Katakanlah: “Tidak ada seorangpun
di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan
mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.[ surah / surat : An-Naml
Ayat : 65 ]
dalil di atas memberi penjelasan
bahwa setiap kabar dari langit adalah termasuk ghoib hanya ALLOH
subhana wa ta’ala saja yang mengetahui-Nya
rosululloh shalallohu alaihi wa salam pada asalnya tidak
mengetahui tentang keadaan di langit hingga wahyu datang kepadanya berserta
ILMU pengatahuan ini menunjukkan tidak ada yang mengetahui kehendak ALLOH azza
wa jalla yang mengatur alam semesta dan makluq2-Nya baik rosululloh shalallohu
alaihi wa salam dan para malaikat malaikat-Nya
lihatlah mereka kaum ASWAJA berkata di bawah ini
Dia tidak membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas Arsy
bantahan subhat pertama :
bagaimana mereka aswaja bisa
mengetahui tentang perkara ini,sedangkan perkara ini adalah perkara ghoib tidak
di ketahui oleh seluruh mahkluq baik manusia atau para malaikat jangankan apa
yang ALLOH azza wa jalla pikirkan sedangkan pikiran sesama manusia tidak di
ketahui karena bagian kasyaf yaitu alam pikiran termasuk ghoib ?
apakah mereka aswaja mendapatkan
wahyu hingga mereka mengetahui apa apa yang ALLOH azza wa jalla pikirkan ?
Allah ada tanpa bertempat
bantahan subhat kedua :
kalimat bahasa indonesia seperti ini ” ALLAH
ADA TANPA BERTEMPAT ” secara bahasa indonesia ini termasuk hakekat sebenarnya
adalah ” ALLAH TIDAK ADA KARENA TIDAK DI KETAHUI KEBERADAAn-Nya ”
mereka berkata tentang ISTAWA :
Sedangkan makna tersirat atau makna majaz (makna kiasan) dari
bersemayam adalah terkait dengan hati, terpendam dalam hati, tersimpan (kata
kiasan); Sudah lama pendam itu bersemayam di hatinya atau cinta bersemayam di
hatinya.
Termasuk bid’ah menjelaskan tentang istawa-Nya
para ulama umat dan tokoh tokoh imam dan kalangan salaf
rohimahumulloh tak pernah berselisih pendapat,bahwa ALLOH azza wa jalla di atas
arsy-Nya,dan sesungguhnya Arsy-Nya itu di atas tujuh lapis langit.karena
itu,mereka menetapkan segala di tetapkan oleh alloh,mengimaninya,dan
membenarkan alloh azza wa jalla dalam setiap berita-Nya.mereka mengemukakan apa
yang di kemukakan alloh mengenai semayam-Nya alloh di atas arsy-Nya.mereka
membiarkan pengertian ayat itu sebagai makna dzahirnya.sementara mereka
menyerahkan hakikat yang sesungguhnya kepada allah azza wa jalla.mereka berkata
:
surah / surat : Ali Imran
Ayat : 7
inilah s7. Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al-Qur’an) kepada
kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat [183], itulah
pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat [184].
Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari
sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal.
sebagaimana alloh ungkapkan berkenaan dengan orang orang yang
mendalami ilmunya ” Ar-Rosikhuun ” bahwa mereka menyatakan seperti itu. Alloh
pun meridhoinya dan menyanjung mereka atas perbuatan tersebut.
dari ummu salamah rodhiyallohu anha tentang firman-Nya :
surah / surat : Thaahaa
Ayat : 5
(Yaitu) Tuhan Yang Maha
Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Ars
beliau berkata : ” kata Al-istawa ” ( bersemayam ) bukanlah makna
yang asing,hakikatnya tak usah di pikirkan mengakui hal itu adalah
keimanan,mengingkari bearti kekufuran. [ di keluarkan Al-laalika’i seperti
fathul bari ( XIII ; 406 ) Dari jalan yang sama di sebut oleh azd-Dzahabi Dalam
Al-Uluww ( hal.65.). di keluarkan juga oleh ibnu qudamah Al-maqdisi
dalam kitabnya Al-uluww ( 87 )
jafar bin abdillah ia berkata : ada seseorang lelaki datang
menemui imam malik bin anas, bertanya tentang firman Alloh azza wa jalla
” surat : Thaahaa Ayat : 5 Alloh bersemayam di atas
‘Arsy,bagaimana Istiwa Alloh ? ” maka ( perawi ) berkata : belom pernah aku
melihat beliau [ imam malik ] marah sedemikian rupa marahnya beliau terhadap
orang itu.tubuhnya berkeringat,orang orangpun terdiam.mereka terus menantikan
apa yang akan terjadi.kemudian setelah keadaan imam malik kembali normal,beliau
berucap : hakikatnya tidak mungkin di ketahui ” tapi apa kata Istiwa ” bukanlah
asing,mengimaninya adalah kewajiban,menyoal hakikatnya adalah kebid’ahan,dan
aku khawatir kamu berada dalam kesesatan kemudian beliau memerintahkan orang
tersebut untuk di keluarkan [ saya katakan : mahdi bin ja’far adalah orang
jujur,namun memiliki banyak kekeliruan penukilan sebagaimana di jelaskan dalam
” At-taqrieb ” di keluarkan abu nuaim ( VI : 325 – 326 ),juga dari Al- qadhi
Abu umayyah Al-Ghallaabi ,dari salamah bin syabib dengan pengertian yang
sama,namun berbunyi lafazhnya berbeda,terkadang dalam beberapa jalur riwayat di
sebutkan secara ringkas ]
Telah masyhur riwayat Al-Imam Maalik bin Anas rahimahullah
sebagai berikut :
ذكره علي بن الربيع التميمي المقري
قال ثنا عبد الله ابن أبي داود قال ثنا سلمة بن شبيب قال ثنا مهدي بن جعفر عن جعفر
بن عبد الله قال جاء رجل إلى مالك بن أنس فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش
استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء
يعني العرق قال واطرق القوم وجعلوا ينتظرون ما يأتي منه فيه قال فسرى عن مالك فقال
الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة فإني
أخاف أن تكون ضالا وامر به فأخرج
Telah menyebutkan kepadanya ‘Aliy bin Ar-Rabii’ At-Tamimiy
Al-Muqri’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Abi Dawud,
ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Salamah bin Syabiib, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin Ja’far, dari Ja’far bin ‘Abdillah, ia
berkata : Datang seorang laki-laki kepada Malik bin Anas. Ia berkata : “Wahai
Abu ‘Abdillah, ‘Ar-Rahman yang beristiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy’;
bagaimana Allah beristiwaa’ ?”. Perawi berkata : “Belum pernah aku melihat
beliau (Malik) marah sedemikian rupa seperti marahnya beliau kepada orang itu.
Tubuhnya berkeringat, orang-orang pun terdiam. Mereka terus menantikan apa yang
akan terjadi. Maka keadaan Al-Imam Malik kembali normal, beliau berkata :
“Kaifiyah-nya tidaklah dapat dinalar, istiwaa’ sendiri bukan sesuatu yang
majhul, beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid’ah.
Dan sesungguhnya aku khawatir kamu berada dalam kesesatan”. Kemudian beliau
memerintahkan orang tersebut untuk dikeluarkan dari majelisnya. [Syarh
Ushuulil-I’tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, hal. 398, tahqiq : Ahmad bin Mas’ud
bin Hamdaan; desertasi S3].
Makna “istiwaa’ itu bukan sesuatu yang majhuul” adalah bahwa
istiwaa’ itu diketahui maknanya secara hakiki sebagaimana dhahir bahasa Arab
yang jelas.
Talbis ASWAJA merancukan antara langit dan arsy membuat bingung
orang awam
bantahan subhat ketiga :
tidaklah perkataan LANGIT bertentangan dengan ARSY di atas langit
ketujuh sebagaimana dalil dalil di bawah ini
surah / surat : Yunus Ayat : 3
Sesungguhnya Rabb kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan
bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur
segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada
izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Rabb kamu, maka sembahlah Dia.
Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?
surah / surat : Ar-Ra’d Ayat : 2
Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang
kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy, dan menundukkan matahari
dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur
urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu
meyakini pertemuan (mu) dengan Rabbmu.
surah / surat : Al-Mulk Ayat : 16
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit
bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba
bumi itu bergoncang?,
Alloh azza wa jalla memberitakan tentang fir’aun,yang
terlaknat.Bahwasanya ia pernah berkata kepada ( pembantunya ) Haman :
surah / surat : Al-Mu’min Ayat : 36
Dan berkatalah Fir’aun: “Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah
bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu,
surah / surat : Al-Mu’min Ayat : 37
(yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa
dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta”. Demikianlah dijadikan
Fir’aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan dia dihalangi dari jalan
(yang benar); dan tipu daya Fir’aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.
dari dalil di atas ini menjelaskan bahwa fir’aun mengetahui bahwa
Alloh azza wa jalla adalah ILA nabi musa alaihi wa salam berada di langit lalu
di ingkari oleh fir’aun memutar balikkan dengan tuduhan dusta
hadits hadits dan ucapan ucapan para imam salaf tentang langit dan
arsy di bawah ini
Dari Abu Razin berkata: Saya pernah
bertanya: “Ya Rasulullah, dimana Allah sebelum menciptakan makhlukNya?” Nabi
menjawab: “Dia berada di atas awan, tidak ada udara di bawahnya maupun di
atasnya, tidak makhluk di sana, dan ArsyNya di atas air”. [HR. Tirmidzi (2108),
Ibnu Majah (182), Ibnu Hibban (39 -Al-Mawarid), Ibnu Abi Ashim (1/271/612),
Ahmad (4/11,12) dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/137). Lihat As-Shahihah
6/469)].
Abu Bakar ash Shidiq radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Barang siapa yang menyembah Allah maka Allah berada di langit, ia hidup dan
tidak mati.” [Riwayat Imam ad Darimiy dalam Ar Radd ‘Alal Jahmiyah].
Dari Zaid bin Aslam, dia berkata,
مر ابن عمر براع فقال هل من جزرة
فقال ليس هاهنا ربها قال ابن عمر تقول له أكلها الذئب قال فرفع رأسه إلى
السماء وقال فأين الله فقال ابن عمر أنا والله أحق أن أقول أين الله واشترى الراعي
والغنم فأعتقه وأعطاه الغنم
“(Suatu saat) Ibnu ‘Umar melewati seorang pengembala. Lalu beliau
berkata, “Adakah hewan yang bisa disembelih?” Pengembala tadi mengatakan,
“Pemiliknya tidak ada di sini.” Ibnu Umar mengatakan, “Katakan saja pada
pemiliknya bahwa ada serigala yang telah memakannya.” Kemudian pengembala
tersebut menghadapkan kepalanya ke langit. Lantas mengajukan pertanyaan pada
Ibnu Umar, ”Lalu di manakah Allah?” Ibnu ‘Umar malah mengatakan, “Demi Allah,
seharusnya aku yang berhak menanyakan padamu ‘Di mana Allah?’.”
Kemudian setelah Ibnu Umar melihat keimanan pengembala ini, dia
lantas membelinya, juga dengan hewan gembalaannya (dari Tuannya). Kemudian Ibnu
Umar membebaskan pengembala tadi dan memberikan hewan gembalaan tadi pada
pengembara tersebut. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 311. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini jayyid sebagaimana dalam Mukhtashor
Al ‘Uluw no. 95, hal. 127].
Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata:
والعرش على الماء والله عز وجل على
العرش يعلم ما أنتم عليه
“Arsy berada di atas air, dan Allah ‘azza wa jalla berada di atas
‘Arsy, yang mengetahui apa-apa yang kalian lakukan” [HR. Ath-Thabarani dalam
Al-Kabiir; shahih].
Ibnu Abbas menemui ‘Aisyah ketika ia baru saja
wafat. Ibnu Abbas berkata padanya,
كنت أحب نساء رسول الله صلى الله
عليه وسلم ولم يكن يحب إلا طيبا وأنزل الله براءتك من فوق سبع سموات
“Engkau adalah wanita yang paling dicintai oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah engkau dicintai melainkan kebaikan
(yang ada padamu). Allah pun menurunkan perihal kesucianmu dari atas langit
yang tujuh.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 335].
Dari Ka’ab Al Ahbar [meninggal pada
tahun 32 atau 33 H] berkata bahwa Allah ‘azza wa jalla dalam taurat berfirman,
أنا الله فوق عبادي وعرشي فوق جميع
خلقي وأنا على عرشي أدبر أمور عبادي ولا يخفى علي شيء في السماء ولا في الأرض
“Sesungguhnya Aku adalah Allah. Aku berada di atas seluruh
hamba-Ku. ‘Arsy-Ku berada di atas seluruh makhluk-Ku. Aku berada di atas
‘Arsyku. Aku-lah pengatur seluruh urusan hamba-Ku. Segala sesuatu di langit
maupun di bumi tidaklah samar bagi-Ku. ” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar
no. 315. Adz Dzahabi mengatakan bahwa sanadnya shahih. Begitu pula Ibnul
Qayyim dalam Ijtima’ul Juyusy Al Islamiyah mengatakan bahwa riwayat ini
shahih].
Penjelasan Al-Imam Mujahid rahimahullah
[dilahirkan pada tahun 21 Hijrah dan meninggal pada tahun 103 Hijrah] – murid
Ibnu ‘Abbas – mengenai firman Allah istawaa ‘alal-‘Arsy :
علا على العرش
“Ia berada tinggi di atas ‘Arsy.” [HR. Al-Bukhari].
Imam Adh-Dhahhaak [wafat th. 102 H].
Ahmad (bin Hanbal) meriwayatkan dengan sanadnya sampai
Adh-Dhahhaak tentang ayat (yang artinya) : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara
tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara)
lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya’ (QS. Al-Mujaadalah : 7); maka
Adh-Dhahhaak berkata :
هو على العرش وعلمه معهم
“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya bersama mereka”.
[As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal hal. 80 – melalui perantaraan
Al-Masaail war-Rasaail Al-Marwiyyatu ‘anil-Imam Ahmad bin Hanbal fil-‘Aqiidah
oleh ‘Abdullah bin Sulaimaan Al-Ahmadiy, 1/319; Daaruth-Thayyibah, Cet.
1/1412].
Harun bin Ma’ruf mengatakan, Dhomroh mengatakan pada kami dari
Shodaqoh, dia berkata bahwa dia mendengar Sulaiman At Taimiy berkata,
لو سئلت أين الله لقلت في السماء
“Seandainya aku ditanyakan di manakah Allah, maka aku menjawab
(Allah berada) di atas langit.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 357.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa periwayat riwayat ini tsiqoh/terpercaya.
Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 133].
Ayyub As Sikhtiyani [wafat th. 131 H].
Hamad bin Zaid mengatakan bahwa ia mendengar Ayyub As Sikhtiyani
berbicara mengenai Mu’tazilah,
إنما مدار القوم على أن يقولوا ليس
في السماء شيء
“Mu’tazilah adalah asal muasal kaum yang mengatakan bahwa di atas
langit tidak ada sesuatu apa pun.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no.
354].
Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman [Wafat tahun 136 H
].
Sufyan Ats Tsauriy mengatakan bahwa ia pernah suatu saat berada di
sisi Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman kemudian ada seseorang yang bertanya pada
beliau,
الرحمن على العرش استوى كيف استوى
“Ar Rahman (yaitu Allah) beristiwa’ (menetap tinggi) di atas
‘Arsy, lalu bagaimana Allah beristiwa’?” Robi’ah menjawab,
الإستواء غير مجهول والكيف غير
معقول ومن الله الرسالة وعلى الرسول البلاغ وعلينا التصديق
“Istiwa’ itu sudah jelas maknanya. Sedangkan hakikat dari istiwa’
tidak bisa digambarkan. Risalah (wahyu) dari Allah, tugas Rasul hanya
menyampaikan, sedangkan kita wajib membenarkan (wahyu tersebut).” [Lihat Al
‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 352. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat
ini shahih. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 132].
Imam Abu Hanifah (tahun 80-150 H) mengatakan
dalam Fiqhul Akbar,
من انكر ان الله تعالى في السماء
فقد كفر
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan Allah di atas langit,
maka ia kafir.” [Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, hal.
116-117, Darus Salafiyah, Kuwait, cetakan pertama, 1406 H. Lihat pula Mukhtashor
Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal.
137, Al Maktab Al Islamiy].
Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al
Fiqhul Akbar-, beliau berkata,
سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف
ربي في السماء أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش
استوى وعرشه فوق سمواته فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا
يدري العرش في السماء أو في الأرض قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها
صاحب الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم
Aku bertanya pada Abu Hanifah mengenai
perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah Rabbku,
di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang tersebut
telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ
اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”. [QS. Thaha: 5] Dan ‘Arsy-Nya
berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa
Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di
manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika
orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.” [Lihat Al
‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf,
Riyadh, cetakan pertama, 1995].
Imam Malik bin Anas (tahun 93-179 H),
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Ar-Radd
‘alal-Jahmiyyah : Telah menceritakan ayahku, kemudian ia menyebutkan sanadnya
dari ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : Telah berkata Malik bin Anas :
الله في السماء، وعلمه في كل مكان،
لا يخلو منه شيء.
“Allah berada di atas langit, dan ilmu-Nya berada di setiap
tempat. Tidak ada terlepas dari-Nya sesuatu”. [Diriwayatkan oleh
‘Abdullah dalam As-Sunnah hal. 5, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal. 263,
Al-Aajuriiy hal. 289, dan Al-Laalikaa’iy 1/92/2 dengan sanad shahih – dinukil
melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 140 no. 130].
Tanbih untuk aswaja di bawah ini
1. menolak keberadaan dzat ALLOH
2. menolak nash nash al quran dan
hadits hadits shohih tentang istawa di atas arsy
3. meselewengkan makna istawa
kepada makna yang tidak di kenal para salaf baik segi lughoh atau kebiasaan
orang arab yaitu para sahabat nabi
4. aswaja keluarga dari lingkup
agama islam lebih kafir daripada fir’aun karena fir’aun tahu rabb nabi musa di
atas langit sedangkan ASWAJA tidak mengetahui dan mengingkari keberadaan ALLOH
azza wa jalla
BAHKAN KAMI KATAKAN ASWAJA
LEBIH KAFIR DARIPADA IBLIS SECARA DZOHIR KARENA IBLIS PERNAH MENJADI PENGHUNI
SURGA KARENA IBLIS MENGETAHUI DIMANA ALLOH WALAUPUN YANG SEBENARNYA HAKEKATNYA
IBLIS ADALAH MAHKLUQ ALLOH YANG PALING KAFIR DI ALAM SEMESTA INI !!!
selesai alhamdulillah
Bantahan Pokok Subhat Mereka Yang Mengatakan
Bahwa
Dzat Alloh Tidak Bertempat
Dzat Alloh Tidak Bertempat
oleh abuhurairohjakarty
بسم الله الرحمن الرحيم
BAB : bahwa ALLOH azza wa jalla di langit
dari Mu’awiyah bin Al-Hakam radhiyallahu ‘anhu, suatu saat Mu’awiyah mengadukan
kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam perihal dirinya yang memukul budak wanitanya
karena marah. Mu’awiyah menceritakan perihalnya:
وَكَانَتْ لِى جَارِيَةٌ تَرْعَى
غَنَمًا لِى قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا
الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِى آدَمَ
آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ لَكِنِّى صَكَكْتُهَا صَكَّةً فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَىَّ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ
أَفَلاَ أُعْتِقُهَا قَالَ « ائْتِنِى بِهَا ». فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَقَالَ لَهَا
« أَيْنَ اللَّهُ ». قَالَتْ فِى السَّمَاءِ. قَالَ « مَنْ أَنَا ». قَالَتْ
أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ. قَالَ « أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ »
“Dulu saya memiliki budak perempuan yang menggembala kambingku di
arah Gunung Uhud dan Jawâniyyah. Dia pun pergi pada suatu hari, ternyata ada
serigala yang membawa domba dari kambingnya. Dan, saya adalah seorang dari Bani
Adam, saya pernah merasa menyesal sebagaimana mereka juga menyesal. Akan
tetapi, saya pun memukulnya sekali. Aku pun mendatangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun menganggap besar hal
ini atasku. Aku pun mengatakan, ‘wahai Rasulullah, apakah saya harus
membebaskannya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun
mengatakan, ‘Hadapkanlah dia kepadaku.’ Aku pun mendatangkannya di hadapan
Rasulullah. Beliau pun bersabda, ‘Di mana Allah?’ Budak itu mengatakan, ‘Di
langit.’ Beliau bertanya kembali, ‘Siapa saya?’ Dia menjawab, ‘Anda utusan
Allah.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan,
‘Bebaskanlah dia karena dia adalah seorang wanita mukmin.’” [H.R.
Muslim, Abu Dawud, An-Nasa`i, Ahmad dan lainnya].
BAB : ALLOH subhana wa ta’ala bersemayam di atas arsy
Dalil Sifat Istiwa’
Sifat istiwa’ adalah salah satu sifat Allah yang telah Allah
Ta’ala tetapkan untuk diriNya dalam tujuh ayat Al-Quran, yaitu Surat Al-A’raf:
54, Yunus: 3, Ar-Ra’d: 2, Al-Furqan: 59, As-Sajdah: 4 dan Al-Hadid: 4, semuanya
dengan lafazh:
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Artinya:
“Kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).”
Dan dalam Surat Thaha 5 dengan lafazh:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ
اسْتَوَى
Artinya:
“Yang Maha Penyayang di atas ‘Arsy (singgasana) berada.”
Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam juga
telah menetapkan sifat ini untuk Allah dalam beberapa hadits, diantaranya:
1. Hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu,
ia berkata: Aku mendengar Rasulullah
bersabda:
لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ
كَتَبَ فِي كِتَابِهِ -فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ- إِنَّ رَحْمَتِي
غَلَبَتْ غَضَبِي
“Ketika Allah menciptakan makhluk (maksudnya menciptakan jenis
makhluk), Dia menuliskan di kitab-Nya (Al-Lauh Al-Mahfuzh) – dan kitab itu
bersama-Nya di atas ‘Arsy (singgasana) – : “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan
kemarahan-Ku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
2. Hadits Abu Hurairah rodiallahu’anhu bahwa
Nabi shollallahu’alaihiwasallam memegang
tangannya (Abu Hurairah) dan berkata:
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، إِنَّ اللهَ
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرَضِيْنَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ،
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya Allah menciptakan langit dan
bumi serta apa-apa yang ada diantara keduanya dalam enam hari, kemudian Dia
berada di atas ‘Arsy (singgasana).” (HR. An-Nasai dalam
As-Sunan Al-Kubra, dishahihkan Al-Albani dalam Mukhtasharul ‘Uluw)
3. Hadits Qatadah bin An-Nu’man rodiallahu’anhu bahwa ia berkata: Aku mendengar
Rasulullahshollallahu’alaihiwasallam bersabda:
لَمَّا فَرَغَ اللهُ مِنْ خَلْقِهِ
اسْتَوَى عَلَى عَرْشِهِ.
“Ketika Allah selesai mencipta, Dia berada di atas ‘Arsy
singgasana-Nya.” (Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam
As-Sunnah, dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dan Adz-Dzahabi berkata: Para
perawinya tsiqah)
Arti Istiwa’
Lafazh istawa ‘ala (اِسْتَوَى عَلَى) dalam bahasa Arab – yang dengannya Allah
menurunkan wahyu – berarti (عَلاَ وَارْتَفَعَ), yaitu berada di atas (tinggi/di
ketinggian). Hal ini adalah kesepakatan salaf dan ahli bahasa. Tidak ada yang
memahaminya dengan arti lain di kalangan salaf dan ahli bahasa.
Adapun ‘Arsy, secara bahasa artinya Singgasana kekuasaan.
‘Arsy adalah makhluk tertinggi. Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam bersabda:
فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ
فَاسْأَلُوهُ الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ
وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
“Maka jika kalian meminta kepada Allah, mintalah Al-Firdaus,
karena sungguh ia adalah surga yang paling tengah dan paling tinggi. Di atasnya
singgasana Sang Maha Pengasih, dan darinya sungai-sungai surga mengalir.” (HR.
Al-Bukhari)
‘Arsy juga termasuk makhluk paling besar. Allah menyifatinya
dengan ‘adhim (besar)
dalam Surat An-Nahl: 26. Ibnu Abbas rodiallahu’anhu berkata:
الْكُرْسِيُّ مَوْضِعُ
الْقَدَمَيْنِ ، وَالْعَرْشُ لاَ يَقْدِرُ قَدْرَهُ إِلاَّ اللهُ تعالى.
“Kursi adalah tempat kedua kaki (Allah), dan ‘Arsy (singgasana)
tidak ada yang mengetahui ukurannya selain Allah Ta’ala.” (Hadits
mauquf riwayat Al-Hakim dan dishahihkan Adz-Dzahabi dan Al-Albani)
Allah juga menyifatinya dengan Karim (mulia) dalam Surat Al-Mukminun: 116
dan Majid (agung)
dalam Surat Al-Buruj: 15.
Dalam suatu hadits shahih riwayat Al-Bukhari dan Muslim dijelaskan
bahwa ‘Arsy memiliki kaki, dan dalam surat Ghafir: 7 dan Al-Haaqqah: 17
disebutkan bahwa ‘Arsy dibawa oleh malaikat-malaikat Allah.
Ayat dan hadits yang menjelaskan tentang istiwa’ di atas ‘Arsy
menunjukkan hal-hal berikut:
1.Penetapan sifat istiwa di
atas ‘Arsy bagi Allah, sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya.
2.Bahwa Dzat Allah berada di
atas.
Beberapa Peringatan Penting
Pertama:
Istiwa’ adalah hakikat dan bukan majas.
Kita bisa memahaminya dengan bahasa Arab
yang dengannya wahyu diturunkan. Yang tidak kita ketahui
adalah kaifiyyah (cara/bentuk) istiwa’ Allah, karena Dia tidak
menjelaskannya. Ketika ditanya tentang ayat 5 Surat Thaha (الرحمن
على العرش استوى), Rabi’ah bin Abdurrahman
dan Malik bin Anas mengatakan:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ،
وَاْلكَيْفُ مَجْهُوْلٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ.
“Istiwa’ itu diketahui, kaifiyyahnya tidak diketahui, dan
mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil I’tiqad,
Al-Ghazali)
Kedua:
Wajib mengimani dan menetapkan sifat istiwa’ tanpa merubah (ta’wil/tahrif)
pengertiannya, juga tanpa menyerupakan (tasybih/tamtsil)
sifat ini dengan sifat istiwa’ makhluk.
Ketiga:
Menafsirkan istawa (اِسْتَوَى)
dengan istawla (اِسْتَوْلَى)
yang artinya menguasai adalah salah satu bentuk ta’wil
yang bathil. Penafsiran ini tidak dikenal di kalangan generasi awal umat
Islam, tidak juga di kalangan ahli bahasa Arab. Abul Hasan Al-Asy’ari
menyebutkan bahwa penafsiran ini pertama kali dimunculkan oleh orang-orang
Jahmiyyah dan Mu’tazilah. Mereka ingin menafikan sifat keberadaan Allah di atas
langit dengan penafsiran ini. Kita tidak menafikan sifat kekuasaan bagi Allah,
tapi bukan itu arti istiwa’.
Keempat:
Penerjemahan kata istawa (اِسْتَوَى) dengan “bersemayam” perlu di tinjau ulang, karena dalam kamus
bahasa Indonesia disebutkan bahwa bersemayam berarti duduk, tinggal,
berkediaman. Padahal arti istawa bukanlah ini, sebagaimana telah dijelaskan.
Kelima:
Istiwa’ Allah di atas ‘Arsy tidak berarti bahwa Allah
membutuhkannya, tapi justru ‘arsy yang membutuhkan Allah seperti
makhluk-makhluk yang lain. Dengan hikmah-Nya Allah menciptakan ‘Arsy untuk
istiwa’ diatasnya, dan Allah Maha Kaya dan tidak membutuhkan apapun. Wallahu a’lam.
D. Faedah Mempelajari Asma dan Sifat Allah
Semoga Allah merahmati Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi yang berkata:
“……Ilmu ushuluddin (pokok-pokok agama) adalah ilmu paling mulia, karena
kemulian suatu ilmu tergantung pada apa yang dipelajarinya. Ia adalah Fiqih
Akbar dibandingkan dengan Ilmu Fiqih
furu’ (cabang-cabang agama). Karenanya Imam Abu Hanifah
menamakan apa yang telah beliau ucapkan dan beliau kumpulkan dalam
lembaran-lembaran berisi pokok-pokok agama sebagai “Al-Fiqhul Akbar“.
Kebutuhan para hamba kepadanya melebihi semua kebutuhan, dan keterdesakan
mereka kepadanya di atas semua keterdesakan, karena tiada kehidupan untuk hati,
juga tidak ada kesenangan dan ketenangan, kecuali dengan mengenal Rabbnya,
Sesembahan dan Penciptanya, dengan Asma’, Sifat dan Af’al (perbuatan)-Nya,
dan seiring dengan itu mencintaiNya lebih dari yang lain, dan berusaha
mendekatkan diri kepadaNya tanpa yang lain……”
***
Referensi:
1. Al-Mausu’ah
Asy-Syamilah, dikeluarkan oleh Divisi Rekaman Masjid Nabawi.
2. Syarah
‘Aqidah Thahawiyyah, Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi.
3.Mudzakkirah
Tauhid, Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
101 Perkataan Ulama Salaf Tentang Allah
Di Atas Arsy (Seri Allah Di Atas Arsy)
Dari Abu Razin berkata: Saya
pernah bertanya: “Ya Rasulullah, dimana Allah sebelum menciptakan makhlukNya?”
Nabi menjawab: “Dia berada di atas awan, tidak ada udara di bawahnya maupun di
atasnya, tidak makhluk di sana, dan ArsyNya di atas air”. [HR. Tirmidzi (2108),
Ibnu Majah (182), Ibnu Hibban (39 -Al-Mawarid), Ibnu Abi Ashim (1/271/612),
Ahmad (4/11,12) dan Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (7/137). Lihat As-Shahihah
6/469)].
Sudah banyak pembahasan mengenai aqidah
tentang ‘Allah di Atas ‘Arsy’ yang ditulis oleh para asatidz sampai ulama, baik
dikupas dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al Qur’an maupun Hadits-hadits
shahih yang jumlahnya mencapai puluhan dalil. Namun untuk pembahasan kali ini
hanya mengupas tentang perkataan-perkataan yang keluar dari para ulama Salaf
mengenai Allah di atas ‘Arsy. Saya hanya mengumpulkan sedikit dari
perkataan-perkataan mereka yaitu hanya berjumlah 101 perkataan, padahal jika
kita merujuk kepada kitab-kitab ulama Salaf terdahulu, maka akan terkumpul
banyak sekali perkataan mereka mengenai Allah diatas ‘Arsy yang jumlahnya bisa
mencapai ratusan bahkan ribuan, Wallahu a’lam. Berikut perkataan-perkataan
mereka:
01. Abu Bakar ash
Shidiq radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barang siapa yang menyembah Allah maka
Allah berada di langit, ia hidup dan tidak mati.” [Riwayat Imam ad Darimiy
dalam Ar Radd ‘Alal Jahmiyah].
02. Dari Zaid bin Aslam, dia
berkata,
مر ابن عمر براع فقال هل من جزرة فقال ليس هاهنا
ربها قال ابن عمر تقول له أكلها الذئب قال فرفع رأسه إلى السماء وقال فأين
الله فقال ابن عمر أنا والله أحق أن أقول أين الله واشترى الراعي والغنم فأعتقه
وأعطاه الغنم
“(Suatu saat) Ibnu ‘Umar melewati seorang
pengembala. Lalu beliau berkata, “Adakah hewan yang bisa disembelih?”
Pengembala tadi mengatakan, “Pemiliknya tidak ada di sini.” Ibnu Umar
mengatakan, “Katakan saja pada pemiliknya bahwa ada serigala yang telah
memakannya.” Kemudian pengembala tersebut menghadapkan kepalanya ke langit.
Lantas mengajukan pertanyaan pada Ibnu Umar, ”Lalu di manakah Allah?” Ibnu
‘Umar malah mengatakan, “Demi Allah, seharusnya aku yang berhak menanyakan
padamu ‘Di mana Allah?’.”
Kemudian setelah Ibnu Umar melihat
keimanan pengembala ini, dia lantas membelinya, juga dengan hewan gembalaannya
(dari Tuannya). Kemudian Ibnu Umar membebaskan pengembala tadi dan memberikan
hewan gembalaan tadi pada pengembara tersebut. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghoffar no. 311. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini jayyid
sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 95, hal. 127]
03. Ibnu Mas’ud radhiyallaahu
‘anhu berkata:
والعرش على الماء والله عز وجل على العرش يعلم ما
أنتم عليه
“Arsy berada di atas air, dan Allah ‘azza
wa jalla berada di atas ‘Arsy, yang mengetahui apa-apa yang kalian lakukan”
[HR. Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir; shahih].
04. Ibnu Abbas menemui ‘Aisyah
ketika ia baru saja wafat. Ibnu Abbas berkata padanya,
كنت أحب نساء رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم
يكن يحب إلا طيبا وأنزل الله براءتك من فوق سبع سموات
“Engkau adalah wanita yang paling
dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah engkau
dicintai melainkan kebaikan (yang ada padamu). Allah pun menurunkan perihal
kesucianmu dari atas langit yang tujuh.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar
no. 335].
05. Dari Ibnul Mubarok, dari
Sulaiman At Taimi, dari Nadhroh, Ibnu ‘Abbasradhiyallahu ‘anhuma
mengatakan,
ينادي مناد بين يدي الساعة أتتكم الساعة – فيسمعه
الأحياء والأموات – ثم ينزل الله إلى السماء الدنيا
“Ketika hari kiamat ada yang menyeru,
“Apakah datang pada kalian hari kiamat?” Orang yang hidup dan mati pun
mendengar hal tersebut, kemudian Allah pun turun ke langit dunia.” [Lihat Al
‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 296. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad
riwayat ini shahih sesuai syarat Muslim sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw
no. 94, hal. 126].
Dalam riwayat lainnya, Ibnu
‘Abbas mengatakan,
إذا نزل الوحي سمعت الملائكة صوتا كصوت الحديد
“Jika wahyu turun, aku mendengar malaikat
bersuara seperti suara besi.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 295.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa periwayat hadits ini tsiqoh (terpercaya)
sebagaimana dalam Mukhtashor Al ‘Uluw no. 93, hal. 126].
Jika dikatakan bahwa wahyu itu turun dan
wahyu itu dari Allah, ini menunjukkan bahwa Allah berada di atas karena sesuatu
yang turun pasti dari atas ke bawah.
06. Dari Ka’ab Al
Ahbar [meninggal pada tahun 32 atau 33 H] berkata bahwa Allah ‘azza wa
jalla dalam taurat berfirman,
أنا الله فوق عبادي وعرشي فوق جميع خلقي وأنا على
عرشي أدبر أمور عبادي ولا يخفى علي شيء في السماء ولا في الأرض
“Sesungguhnya Aku adalah Allah. Aku
berada di atas seluruh hamba-Ku. ‘Arsy-Ku berada di atas seluruh makhluk-Ku.
Aku berada di atas ‘Arsyku. Aku-lah pengatur seluruh urusan hamba-Ku. Segala
sesuatu di langit maupun di bumi tidaklah samar bagi-Ku. ” [Lihat Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghoffar no. 315. Adz Dzahabi mengatakan bahwa sanadnya shahih.
Begitu pula Ibnul Qayyim dalam Ijtima’ul Juyusy Al Islamiyah mengatakan bahwa
riwayat ini shahih].
07. Masruq rahimahullah
[wafat tahun 63 H] menceritakan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
حدثتني الصديقة بنت الصديق حبيبة حبيب الله،
المبرأة من فوق سبع سموات.
“’Aisyah -wanita yang shidiq anak dari
orang yang shidiq (Abu Bakar), kekasih di antara kekasih Allah, yang disucikan
oleh Allah yang berada di atas langit yang tujuh.” [Lihat Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghoffar no. 317. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shohih
berdasarkan syarat Bukhari Muslim dan sanadnya sampai pada Abu Shofwan itu
shahih. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 128].
08. ‘Ubaid bin
‘Umair rahimahullah mengatakan,
ينزل الرب عزوجل شطر الليل إلى السماء الدنيا
فيقول من يسألني فأعطيه من يستغفرني فأغفر له حتى إذا كان الفجر صعد الرب عزوجل
أخرجه عبد الله بن الإمام أحمد في كتاب الرد على الجهمية تصنيفه
“Allah ‘azza wa jalla turun ke langit
dunia pada separuh malam. Lalu Allah berkata, “Siapa saja yang memohon
kepada-Ku, maka akan Kuberi. Siapa saja yang meminta ampun kepada-Ku, maka akan
Kuampuni.” Jika fajar telah terbit, Allah pun naik.”
Dikeluarkan oleh ‘Abdullah bin Imam Ahmad
dalam kitab karyanya yang berisi bantahan terhadap Jahmiyah. [Lihat Al ‘Uluw
lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 320].
09. Penjelasan Al-Imam
Mujahid rahimahullah [dilahirkan pada tahun 21 Hijrah dan meninggal pada
tahun 103 Hijrah] – murid Ibnu ‘Abbas – mengenai firman Allah istawaa
‘alal-‘Arsy :
علا على العرش
“Ia berada tinggi di atas ‘Arsy.” [HR.
Al-Bukhari].
10. Imam Adh-Dhahhaak [wafat
th. 102 H].
Ahmad (bin Hanbal) meriwayatkan dengan
sanadnya sampai Adh-Dhahhaak tentang ayat (yang artinya) : ‘Tiada pembicaraan
rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada
(pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya’ (QS.
Al-Mujaadalah : 7); maka Adh-Dhahhaak berkata :
هو على العرش وعلمه معهم
“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya
bersama mereka”. [As-Sunnah oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal hal. 80 –
melalui perantaraan Al-Masaail war-Rasaail Al-Marwiyyatu ‘anil-Imam Ahmad bin
Hanbal fil-‘Aqiidah oleh ‘Abdullah bin Sulaimaan Al-Ahmadiy, 1/319;
Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412].
11. Qotadah rahimahullah
[wafat tahun 118 H] mengatakan bahwa Bani Israil berkata,
يا رب أنت في السماء ونحن في الأرض فكيف لنا أن
نعرف رضاك وغضبك قال إذا رضيت استعملت عنكم عليكم خياركم وإذا غضبت إستعلمت عليكم
شراركم هذا ثابت عن قتادة أحد الحفاظ الكبار
“Wahai Rabb, Engkau di atas langit dan
kami di bumi, bagaimana kami bisa tahu jika Engkau ridho dan Engkau murka?”
Allah Ta’ala berfirman, “Jika Aku ridho, maka Aku akan memberikan kebaikan pada
kalian. Dan jika Aku murka, maka Aku akan menimpakan kejelekan pada kalian.”
[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 336. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
sanad riwayat ini hasan. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 131].
12. Dari Malik bin
Dinar [wafat pada tahun 130 H], beliau berkata,
خذوا فيقرأ ثم يقول : إسمعوا إلى قول الصادق من
فوق عرشه
“Ambillah (Al Qur’an) ini. Lalu beliau
membacanya, kemudian beliau mengatakan, ‘Hendaklah kalian mendengar perkataan
Ash Shodiq (Yang Maha Jujur yaitu Allah) dari atas ‘Arsy-Nya’.” [Lihat Al ‘Uluw
lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 348. Adz Dzahabi mengatakan diriwayatkan dalam Al
Hilyah dengan sanad yang shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa mengatakan
riwayat ini hasan saja termasuk murah hati. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal.
131].
13. Harun bin Ma’ruf mengatakan,
Dhomroh mengatakan pada kami dari Shodaqoh, dia berkata bahwa dia
mendengar Sulaiman At Taimiy berkata,
لو سئلت أين الله لقلت في السماء
“Seandainya aku ditanyakan di manakah
Allah, maka aku menjawab (Allah berada) di atas langit.” [Lihat Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghoffar no. 357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa periwayat riwayat
ini tsiqoh/terpercaya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 133].
14. Ayyub As Sikhtiyani [wafat
th. 131 H].
Hamad bin Zaid mengatakan bahwa ia
mendengar Ayyub As Sikhtiyani berbicara mengenai Mu’tazilah,
إنما مدار القوم على أن يقولوا ليس في السماء شيء
“Mu’tazilah adalah asal muasal kaum yang
mengatakan bahwa di atas langit tidak ada sesuatu apa pun.” [Lihat Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghoffar no. 354].
15. Robi’ah bin Abi
‘Abdirrahman [Wafat tahun 136 H ].
Sufyan Ats Tsauriy mengatakan bahwa ia
pernah suatu saat berada di sisi Robi’ah bin Abi ‘Abdirrahman kemudian ada
seseorang yang bertanya pada beliau,
الرحمن على العرش استوى كيف استوى
“Ar Rahman (yaitu Allah) beristiwa’
(menetap tinggi) di atas ‘Arsy, lalu bagaimana Allah beristiwa’?” Robi’ah
menjawab,
الإستواء غير مجهول والكيف غير معقول ومن الله
الرسالة وعلى الرسول البلاغ وعلينا التصديق
“Istiwa’ itu sudah jelas maknanya.
Sedangkan hakikat dari istiwa’ tidak bisa digambarkan. Risalah (wahyu) dari
Allah, tugas Rasul hanya menyampaikan, sedangkan kita wajib membenarkan (wahyu
tersebut).” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar no. 352. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa riwayat ini shahih. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 132].
16. Imam Abu
Hanifah (tahun 80-150 H) mengatakan dalam Fiqhul Akbar,
من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر
“Barangsiapa yang mengingkari keberadaan
Allah di atas langit, maka ia kafir.” [Lihat Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu
Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah, Kuwait, cetakan pertama,
1406 H. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, Adz Dzahabiy, Tahqiq: Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani, hal. 137, Al Maktab Al Islamiy].
17. Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin
Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar-, beliau berkata,
سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء
أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق
سمواته فقلت إنه يقول أقول على العرش استوى ولكن قال لا يدري العرش في
السماء أو في الأرض قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب الفاروق
بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم
Aku bertanya pada Abu
Hanifah mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak
mengetahui di manakah Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah
lantas mengatakan, “Orang tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy”.
[QS. Thaha: 5] Dan ‘Arsy-Nya berada di atas langit.” Orang tersebut mengatakan
lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang
ini tidak mengetahui di manakah ‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah
lantas mengatakan, “Jika orang tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka
dia kafir.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, Adz Dzahabi, hal. 135-136,
Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh, cetakan pertama, 1995].
18. Imam Malik bin
Anas (tahun 93-179 H),
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah : Telah menceritakan ayahku, kemudian ia
menyebutkan sanadnya dari ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : Telah berkata
Malik bin Anas :
الله في السماء، وعلمه في كل مكان، لا يخلو منه
شيء.
“Allah berada di atas langit, dan
ilmu-Nya berada di setiap tempat. Tidak ada terlepas dari-Nya sesuatu”.
[Diriwayatkan oleh ‘Abdullah dalam As-Sunnah hal. 5, Abu Dawud dalam Al-Masaail
hal. 263, Al-Aajuriiy hal. 289, dan Al-Laalikaa’iy 1/92/2 dengan sanad shahih –
dinukil melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 140 no. 130].
19. Telah masyhur
riwayat Al-Imam Maalik bin Anas rahimahullah sebagai berikut :
ذكره علي بن الربيع التميمي المقري قال ثنا عبد
الله ابن أبي داود قال ثنا سلمة بن شبيب قال ثنا مهدي بن جعفر عن جعفر بن عبد الله
قال جاء رجل إلى مالك بن أنس فقال يا أبا عبد الله الرحمن على العرش استوى كيف
استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه الرحضاء يعني العرق
قال واطرق القوم وجعلوا ينتظرون ما يأتي منه فيه قال فسرى عن مالك فقال الكيف غير
معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة فإني أخاف أن
تكون ضالا وامر به فأخرج
Telah menyebutkan kepadanya ‘Aliy bin
Ar-Rabii’ At-Tamimiy Al-Muqri’, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdullah bin Abi Dawud, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Salamah
bin Syabiib, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mahdiy bin Ja’far,
dari Ja’far bin ‘Abdillah, ia berkata : Datang seorang laki-laki kepada Malik
bin Anas. Ia berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, ‘Ar-Rahman yang beristiwaa’
(bersemayam) di atas ‘Arsy’; bagaimana Allah beristiwaa’ ?”. Perawi berkata :
“Belum pernah aku melihat beliau (Malik) marah sedemikian rupa seperti marahnya
beliau kepada orang itu. Tubuhnya berkeringat, orang-orang pun terdiam. Mereka
terus menantikan apa yang akan terjadi. Maka keadaan Al-Imam Malik kembali
normal, beliau berkata : “Kaifiyah-nya tidaklah dapat dinalar, istiwaa’ sendiri
bukan sesuatu yang majhul, beriman kepadanya adalah wajib, dan bertanya
tentangnya adalah bid’ah. Dan sesungguhnya aku khawatir kamu berada dalam
kesesatan”. Kemudian beliau memerintahkan orang tersebut untuk dikeluarkan dari
majelisnya. [Syarh Ushuulil-I’tiqad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah, hal. 398, tahqiq
: Ahmad bin Mas’ud bin Hamdaan; desertasi S3].
Makna “istiwaa’ itu bukan sesuatu yang
majhuul” adalah bahwa istiwaa’ itu diketahui maknanya secara hakiki sebagaimana
dhahir bahasa Arab yang jelas.
20. Abu Abdillah Muhammad bin Idris
Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’I, tahun 150-204 H).
Syaikhul Islam berkata bahwa telah
mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Kholil bin Abdullah Al Hafizh, beliau
berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qosim bin ‘Alqomah Al
Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Roziyah telah
memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, beliau berkata,
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا
عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار
بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه
في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء
وذكر سائر الاعتقاد
“Perkataan dalam As Sunnah yang aku dan
pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini oleh Sufyan,
Malik dan selainnya : “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan yang berhak
disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa Muhammad adalah
utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya Allah berada di
atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun begitu Allah pun
dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah Ta’ala turun ke
langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau rahimahullah
menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqod) lainnya. [Lihat Itsbatu Shifatul
‘Uluw, hal. 123-124. Disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar,
hal.165]
21. Imam Ahmad bin
Hambal (tahun 164-241 H).
Beliau pernah ditanya,
ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من
نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد
علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض
“Apa makna firman Allah,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dan Allah bersama kamu di mana saja kamu
berada.” [QS. Al Hadiid: 4]
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ
رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga
orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” [ QS. Al Mujadilah: 7]
Yang dimaksud dengan kebersamaan tersebut
adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghoib dan yang nampak. Ilmu Allah
meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita tetap
menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi
dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi
langit dan bumi.” [Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116].
22. Imam Adz Dzahabiy rahimahullah
mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmadmengenai ketinggian Allah di atas
seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar
menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad
mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana
telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya
sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw
(ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal.
176. Lihat pula Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 189]
23. Diriwayatkan dari Yusuf bin
Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,
قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق
السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و
لايخلو منه مكان
Imam Ahmad bin Hambal pernah
ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas
‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di
setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah
berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.” [ Lihat
Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116].
24. Al Auza’i Abu ‘Amr ‘Abdurrahman
bin ‘Amr [hidup sebelum tahun 157 H], Seorang Alim di Negeri Syam di
Masanya Berbicara Mengenai Keyakinannya:
قال أبو عبد الله الحاكم أخبرني محمد بن علي
الجوهري ببغداد قال حدثنا إبراهيم بن الهيثم البلدي قال حدثنا محمد بن كثير
المصيصي قال سمعت الأوزاعي يقول كنا والتابعون متوافرون نقول إن الله عزوجل فوق
عرشه ونؤمن بما وردت به السنة من صفاته
Abu ‘Abdillah Al Hakim mengatakan,
Muhammad bin Ali Al Jauhari telah mengabarkan kepadaku di Bagdad. Ia
mengatakan, Ibrahim bin Al Haitsam Al Baladi telah menceritakan pada
kami. Ia mengatakan, Muhammd bin Katsir Al Missisiy telah menceritakan
pada kami. Ia berkata, aku mendengar Al Auza’i mengatakan, “Kami dan pengikut
kami mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy-Nya. Kami
beriman terhadap sifat-Nya yang ditunjukkan oleh As Sunnah.” [Dikeluarkan oleh
Al Baihaqi dalam Kitab Al Asma’ wa Ash Shifat. Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghoffar, 136. Ibnu Taimiyah sebagaimana dalam Al Aqidah Al Hamawiyah menyatakan
bahwa sanadnya shahih, sebagaimana pula hal ini diikuti oleh muridnya (Ibnul
Qayyim) dalam Al Juyusy Al Islamiyah].
25. Diriwayatkan dari Abu Ishaq Ats
Tsa’labi –seorang pakar tafsir, ia berkata, “Al Auza’i pernah ditanya
mengenai firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Kemudian Allah menetap tinggi di atas
‘Arsy-Nya”. Al Auza’iy mengatakan, “Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana
yang Dia sifati bagi Diri-Nya.” [ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137].
26. Muqaatil bin Hayyaan (semasa
dengan Imam Al Auza’i, beliau hidup sebelum tahun 150 H).
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad,
dari ayahnya, dari Nuuh bin Maimuun, dari Bukair bin Ma’ruuf, dari Muqaatil bin
Hayyaan tentang firman Allah ta’ala : ‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga
orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya’ (QS. Al-Mujaadalah : 7), ia berkata :
هو على عرشه، وعلمه معهم.
“Allah berada di atas ‘Arsy, dan ilmu-Nya
bersama mereka”. [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah hal.
71, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal. 263, dan yang lainnya dengan sanad
hasan melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 138 no. 124].
27. Diriwayatkan dari Al Baihaqi
dengan sanad darinya, dari Muqotil bin Hayyan. Ia berkata, “Allah-lah yang
lebih memahami firman-Nya:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآَخِرُ
Huwal awwalu wal akhiru … (Allah adalah
Al Awwal dan Al Akhir …) (QS. Al Hadiid: 3). Makna Al Awwalu adalah sebelum
segala sesuatu. Al Akhir adalah setelah segala sesuatu. Azh Zhohir adalah di
atas segala sesuatu. Al Bathin adalah lebih dekat dari segala sesuatu.
Kedekatan Allah adalah dengan ilmu-Nya. Sedangkan Allah sendiri berada di atas
‘Arsy-Nya.”
Adz Dzahabi mengatakan, “Muqotil adalah
ulama yang tsiqoh dan dia adalah imam besar yang semasa dengan Al Auza’i.” [
Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
dalam sanad yang disebutkan oleh Al Baihaqi (hal. 430-431) terdapat Ismail bin
Qutaibah. Ibnu Abi Hatim tidak memberikan penilaian positif (ta’dil) atau
negatif (jarh) terhadapnya. Telah diriwayatkan pula oleh Abu Muhammad Abdullah
bin Muhammad bin Musa Al Ka’bi, rowi dari atsar ini darinya. Beliau merupakan
guru dari Al Hakim. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 138].
28. Sufyan Ats Tsauri [hidup
pada tahun 97-161 H].
روى غير واحد عن معدان الذي يقول فيه ابن المبارك
هو أحد الأبدال قال سألت سفيان الثوري عن قوله عزوجل وهو معكم أينما كنتم قال علمه
Diriwayatkan lebih dari satu orang dari
Mi’dan, yang Ibnul Mubarok juga mengatakan hal ini. Ia mengatakan bahwa ia
bertanya pada Sufyan Ats Tsauri mengenai firman Allah ‘azza wa jalla,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dia (Allah) bersama kalian di mana saja
kalian berada.” (QS. Al Hadid: 4). Sufyan Ats Tsauri menyatakan bahwa yang
dimaksudkan adalah ilmu Allah (yang berada bersama kalian, bukan dzat Allah,
pen). [ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 137-138].
29. Abdullah bin Al
Mubarok [Seorang Alim Besar Negeri Khurosan tahun 118 – 181 H], Menyatakan
Allah Berada di Atas Langit Ketujuh,
صح عن علي بن الحسن بن شقيق قال قلت لعبد الله بن
المبارك كيف نعرف ربنا عزوجل قال في السماء السابعة على عرشه ولا نقول كما تقول
الجهمية إنه هاهنا في الأرض فقيل هذا لأحمد بن حنبل فقال هكذا هو عندنا
Telah shahih dari ‘Ali bin Al Hasan bin
Syaqiq, dia berkata, “Aku berkata kepada Abdullah bin Al Mubarok, bagaimana
kita mengenal Rabb kita ‘azza wa jalla. Ibnul Mubarok menjawab, “Rabb kita
berada di atas langit ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy. Tidak boleh kita
mengatakan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Jahmiyah yang mengatakan
bahwa Allah berada di sini yaitu di muka bumi.” Kemudian ada yang menanyakan
tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal mengenai hal ini. Ibnul Mubarok
menjawab, “Begitulah Imam Ahmad sependapat dengan kami.” [Lihat Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghoffar, 149. Riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Al
Hamawiyah dan Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal.
152].
30. Abu Bakr Al Atsrom mengatakan
bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qoisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam
Ahmad bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarok ketika ada yang
bertanya padanya,
كيف نعرف ربنا
“Bagaimana kami bisa mengetahui Rabb
kami?” Ibnul Mubarok menjawab,
في السماء السابعة على عرشه
“Allah di atas langit yang tujuh, di atas
‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,
هكذا هو عندنا
“Begitu juga keyakinan kami.” [ Lihat Itsbat
Sifatil ‘Uluw, hal. 118].
31. Diriwayatkan dari Abdullah bin
Ahmad ketika membantah pendapat Jahmiyah dan beliau membawakan sanadnya
dari Ibnul Mubarok. Ia ceritakan bahwa ada seseorang yang mengatakan pada
Ibnul Mubarok, “Wahai Abu ‘Abdirrahman (Ibnul Mubarok), sungguh pengenalan
tentang Allah menjadi samar karena pemikiran-pemikiran yang diklaim oleh
Jahmiyah.” Ibnul Mubarok lantas menjawab, “Tidak usah khawatir. Mereka
mengklaim bahwa Allah sebagai sesembahanmu yang sebenarnya berada di atas langit
sana, namun mereka katakan Allah tidak di atas langit.” [Lihat Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghoffar, 150. Syaikh Al Albani mengatakan dikeluarkan dalam As Sunnah
(hal. 7) dari Ahmad bin Nashr, dari Malik, telah mengabarkan kepadaku seseorang
dari Ibnul Mubarok. Seluruh periwayatnya tsiqoh (terpercaya) kecuali yang tidak
disebutkan namanya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 152].
32. ‘Abbad bin Al ‘Awwam [
hidup sekitar tahun 185 H], Muhaddits (Pakar Hadits) dari Daerah Wasith.
قال عباد بن العوام كلمت بشرا المريسي وأصحابه
فرأيت آخر كلامهم ينتهي إلى أن يقولوا ليس في السماء شيء أرى أن لا يناكحوا
ولا يوارثوا
‘Abbad bin Al ‘Awwam mengatakan, “Aku
pernah berkata Basyr Al Murosi dan pengikutnya, aku pun melihat bahwa mereka
mengatakan, “Di atas langit tidak ada sesuatu pun. Aku menilai bahwa orang
semacam ini tidak boleh dinikahi dan diwarisi.” [ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghoffar, 151].
33. ‘Abdurrahman bin
Mahdi [hidup pada tahun 125-198 H], Seorang Imam Besar.
ابن مهدي قال إن الجهمية أرادوا أن ينفوا أن يكون
الله كلم موسى وأن يكون على العرش أرى أن يستتابوا فإن تابوا وإلا ضربت أعناقهم
‘Abdurrahman bin Mahdi mengatakan bahwa
Jahmiyah menginginkan agar dinafikannya pembicaraan Allah dengan Musa,
dinafikannya keberedaan Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy. Orang seperti ini
mesti dimintai taubat. Jika tidak, maka lehernya pantas dipenggal. [Lihat
Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 159. Dikeluarkan pula oleh Abdullah (hal.
10-11) dari jalannya, disebutkan secara ringkas. Ibnul Qayyim menshahihkan
riwayat ini dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 170].
34. Syaikhul Islam Yazid bin
Harun [hidup sebelum tahun 206 H],
قال الحافظ أبو عبد الرحمن بن الإمام أحمد في
كتاب الرد على الجهمية حدثني عباس العنبري أخبرنا شاذ بن يحيى سمعت يزيد بن هارون
وقيل له من الجهمية قال من زعم أن الرحمن على العرش استوى على خلاف ما يقر في قلوب
العامة فهو جهمي
Al Hafizh Abu ‘Abdirrahman bin Al Imam
Ahmad dalam kitab bantahan terhadap Jahmiyah, ia mengatakan, ‘Abbas Al Ambari
telah menceritakan padaku, ia mengatakan, Syadz bin Yahya telah menceritakan
pada kami bahwa ia mendengar Yazid bin Harun ditanya tentang Jahmiyah. Yazid
mengatakan, “Siapa yang mengklaim bahwa Allah Yang Maha Pengasih menetap tinggi
di atas ‘Arsy namun menyelisih apa yang diyakini oleh hati mayoritas manusia,
maka ia adalah Jahmi.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, 157. Abdullah bin
Ahmad mengeluarkan dalam As Sunnah (hal. 11-12) dari jalannya. Namun Adz
Dzahabi menyebutkan dari selain kitab itu yaitu dalam kitab Ar Rodd ‘alal
Jahmiyah (bantahan terhadap Jahmiyah), Abdullah berkata, Abbas bin Al ‘Azhim Al
Ambari telah mengabarkan pada kamim Syadz bin Yahya telah menceritakan pada
kami. Juga riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Masail (hal. 268), ia
berkata, Ahmad bin Sinan telah menceritakan pada kami, ia berkata: Aku
mendengar Syadz bin Yahya. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 168].
35. Sa’id bin ‘Amir Adh
Dhuba’i [hidup pada tahun 122-208 H], Ulama Bashroh.
قال عبد الرحمن بن أبي حاتم حدثنا أبي قال حدثت
عن سعيد ابن عامر الضبعي أنه ذكر الجهمية فقال هم شر قولا من اليهود
والنصارى قد إجتمع اليهود والنصارى وأهل الأديان مع المسلمين على أن الله
عزوجل على العرش وقالوا هم ليس على شيء
‘Abdurrahman bin Abi Hatim berkata,
ayahku menceritakan kepada kami, ia berkata aku diceritakan dari Sa’id bin
‘Amir Adh Dhuba’I bahwa ia berbicara mengenai Jahmiyah. Beliau berkata,
“Jahmiyah lebih jelek dari Yahudi dan Nashrani. Telah diketahui bahwa Yahudi
dan Nashrani serta agama lainnya bersama kaum muslimin bersepakat bahwa Allah
‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy. Sedangkan Jahmiyah, mereka katakan
bahwa Allah tidak di atas sesuatu pun.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal.
157 dan Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 168].
36. Wahb bin Jarir [meninggal
tahun 206 H], Ulama Besar Bashroh,
محمد بن حماد قال سمعت وهب بن جرير يقول إياكم
ورأي جهم فإنهم يحاولون أنه ليس شيء في السماء وما هو إلا من وحي إبليس ما هو إلا
الكفر
Muhammad bin Hammad mengatakan bahwa ia
mendengar Wahb bin Jarir berkata, “Waspadalah dengan pemikiran Jahmiyam.
Sesungguhnya mereka memalingkan makna bahwa di atas langit sesuatu pun (berarti
Allah tidak di atas langit, pen). Sesungguhnya pemikiran semacam ini hanyalah
wahyu dari Iblis. Perkataan semacam tidak lain hanyalah perkataan kekufuran.”
[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 159. Atsar ini dishahihkan oleh
Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 170].
37. Al Qo’nabi [meninggal
tahun 221 H], Ulama Besar di Masanya,
قال بنان بن أحمد كنا عند القعنبي رحمه الله فسمع
رجلا من الجهمية يقول الرحمن على العرش استوى فقال القعنبي من لا يوقن أن الرحمن
على العرش استوى كما يقر في قلوب العامة فهو جهمي أخرجهما عبد العزيز القحيطي في
تصانيفه والمراد بالعامة عامة أهل العلم كما بيناه في ترجمة يزيد بن هارون إمام
أهل واسط ولقد كان القعنبي من أئمة الهدى حتى لقد تغالى فيه بعض الحفاظ وفضله على
مالك الإمام
Bunan bin Ahmad mengatakan, “Aku pernah
berada di sisi Al Qo’nabi, ia mendengar seorang yang berpahaman Jahmiyah
menyebutkan firman Allah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi
di atas ‘Arsy.” [ QS. Thoha: 5], Al Qo’nabi lantas mengatakan, “Siapa yang
tidak meyakini Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy sebagaimana
diyakini oleh para ulama, maka ia adalah Jahmi.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghoffar, hal. 166. Bunan bin Ahmad tidak mengapa, sejarah hidupnya disebutkan
di Tarikh Bagdad. Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 178].
38. Abdullah bin Az Zubair Al
Qurosyi Al Asadi Al Humaidi [meninggal tahun 219 H, Ulama Besar Makkah,
Murid dari Sufyan bin ‘Uyainah, Guru dari Imam Al Bukhari], mengatakan:
أصول السنة عندنا فذكر أشياء ثم قال وما نطق به
القرآن والحديث مثل وقالت اليهود يد الله مغلولة غلت أيديهم ومثل قوله والسموات
مطويات بيمينه وما أشبه هذا من القرآن والحديث لا نزيد فيه ولا نفسره ونقف على ما
وقف عليه القرآن والسنة ونقول الرحمن على العرش استوى ومن زعم غير هذا فهو مبطل
جهم
Aqidah yang paling pokok yang kami yakini
(lalu beliau menyebutkan beberapa hal): Ayat atau hadits yang menyebutkan
(misalnya tangan Allah, pen),
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ
غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ
“Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan
Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu” [ QS. Al
Maidah: 64].
Semisal pula firman Allah,
وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
“Dan langit digulung dengan tangan
kanan-Nya” [ QS. Az Zumar: 67], dan juga ayat dan hadits yang semisal itu, kami
tidak akan menambah dan kami tidak akan menafsirkan (bagaimanakah hakekat sifat
tersebut). Kami cukup berdiam diri sebagaimana yang dituntunkan Al Quran dan
Hadits Nabawi (yang tidak menyebutkan hakekatnya). Kami pun meyakini,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi
di atas ‘Arsy.” [ QS. Thoha: 5]. Barangsiapa yang tidak meyakini seperti ini,
maka dialah Jahmiyah yang penuh kebatilan. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghoffar, hal. 168. Ibnu Taimiyah telah menshahihkan atsar ini dari Al Humaidi
dalam Kitabnya “Mufashol Al I’tiqod”. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw hal. 180].
39. Al-Imam
Al-Humaidiy rahimahullah juga berkata :
وما أشبه هذا من القرآن والحديث، لا نزيد فيه ولا
نفسره. نقف على ما وقف عليه القرآن والسنة. ونقول : (الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ
اسْتَوَى)، ومن زعم غير هذا فهو معطل جهمي.
“Dan ayat-ayat serta hadits-hadits yang
serupa dengan ini (tentang Asma dan Shifat Allah), maka kami tidak
menambah-nambahi dan tidak pula menafsirkannya (menta’wilkannya). Kami berhenti
atas apa-apa yang Al-Qur’an dan As-Sunah berhenti padanya. Dan kami berkata :
‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS. Thaha :
5). Barangsiapa yang berpendapat selain itu, maka ia seorang Mu’aththil Jahmiy”
[Ushuulus-Sunnah oleh Al-Humaidiy, hal. 42, tahqiq : Misy’aal Muhammad
Al-Haddaadiy; Daar Ibn Al-Atsiir, Cet. 1/1418].
40. Hisyam bin ‘Ubaidillah Ar
Rozi [meninggal tahun 221 H], Ulama Hanafiyah, murid dari Muhammad bin Al
Hasan.
قال ابن أبي حاتم حدثنا علي بن الحسن بن يزيد
السلمي سمعت أبي يقول سمعت هشام بن عبيد الله الرازي وحبس رجلا في التجهم فجيء به
إليه ليمتحنه فقال له أتشهد أن الله على عرشه بائن من خلقه فقال لا أدري ما بائن
من خلقه فقال ردوه فإنه لم يتب بعد
Ibnu Abi Hatim mengatakan, ‘Ali bin Al
Hasan bin Yazid As Sulami telah menceritakan kepada kami, ia berkata, ayahku
berkata, “Aku pernah mendengar Hisyam bin ‘Ubaidillah Ar Rozi –ketika itu
beliau menahan seseorang yang berpemikiran Jahmiyah, orang itu didatangkan pada
beliau, lantas beliau pun mengujinya-. Hisyam bertanya padanya, “Apakah engkau
bersaksi bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya.”
Orang itu pun menjawab, “Aku tidak mengetahui apa itu terpisah dari
makhluk-Nya.” Hisyam kemudian berkata, “Kembalikanlah ia karena ia masih belum
bertaubat.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 169. Riwayat ini juga
dikeluarkan oleh Al Haruwi dalam “Dzammul Kalam” (1/120). Lihat Mukhtashor Al
‘Uluw, hal. 181].
41. Basyr Al Haafi [hidup
pada tahun 151-227 H], Ulama yang Begitu Zuhud di Masanya
Disebutkan oleh Adz Dzahabi,
له عقيدة رواها ابن بطة في كتاب الإبانة وغيره
فمما فيها والإيمان بأن الله على عرشه استوى كما شاء وأنه عالم بكل مكان
Basyr Al Haafi memilki pemahaman aqidah
yang disebutkan oleh Ibnu Battoh dalam Al Ibanah dan selainnya, di antara
perkataan beliau adalah: “Beriman bahwa Allah menetap tinggi (beristiwa’) di
atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Allah kehendaki. Namun meski begitu, ilmu Allah
di setiap tempat.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 172. Lihat Mukhtashor
Al ‘Uluw, hal. 185].
42. Ahmad bin Nashr Al
Khuza’i [meninggal tahun 231 H].
قال إبراهيم الحربي فيما صح عنه قال أحمد بن نصر
وسئل عن علم الله فقال علم الله معنا وهو على عرشه
Ibrahim Al Harbi berkata mengenai
perkataan shahih darinya, yaitu Ahmad bin Nashr berkata ketika ditanya mengenai
ilmu Allah, “Ilmu Allah selalu bersama kita, sedangkan Dzat-Nya tetap menetap
tinggi di atas ‘Arsy-Nya.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 173. Lihat
Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 186-187].
43. Abu Ma’mar Al
Qutai’iy [meninggal tahun 236 H, Guru dari Imam Bukhari dan Imam Muslim].
نقل ابن أبي حاتم في تأليفه عن يحيى بن زكرياء عن
عيسى عن أبي شعيب صالح الهروي عن أبي معمر إسماعيل بن إبراهيم أنه قال آخر كلام
الجهمية أنه ليس في السماء إله
Dinukil dari Ibnu Abi Hatim dalam
karyanya, dari Yahya bin Zakariya, dari ‘Isa, dari Abu Syu’aib Sholih Al Harowiy,
dari Abu Ma’mar Isma’il bin Ibrohim, beliau berkata, “Akhir dari perkataan
Jahmiyah: Di atas langit (atau di ketinggian) tidak ada Allah yang disembah.”
[Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 174-175. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal.
188].
44. ‘Ali bin Al
Madini [meninggal tahun 234 H, Imam Para Pakar Hadits].
قال شيخ الإسلام أبو إسماعيل الهروي أنبأنا محمد
بن محمد بن عبد الله حدثنا أحمد بن عبد الله سمعت محمد بن إبراهيم بن نافع حدثنا
الحسن بن محمد بن الحارث قال سئل علي بن المديني وأنا أسمع ما قول أهل الجماعة قال
يؤمنون بالرؤية وبالكلام وأن الله عزوجل فوق السموات على عرشه استوى
Syaikhul Islam Abu Isma’il Al Harowi
mengatakan, Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdillah menceritakan kepada kami, Ahmad
bin Abdillah menceritakan kepada kami, aku mendengar Muhammad bin Ibrahim bin
Naafi’ mengatakan, Al Hasan bin Muhammad bin Al Harits menceritakan kepada
kami, ia berkata, ‘Ali bin Al Madini ditanya dan aku pun mendengarnya, “Apa
perkataan dari Ahlul Jama’ah (Ahlus Sunnah)?” ‘Ali bin Al Madini mengatakan,
“Mereka (Ahlus Sunnah) beriman pada ru’yah (Allah akan dilihat), mereka beriman
bahwa Allah berbicara dan Allah berada di atas langit, menetap tinggi
(beristiwa’) di atas ‘Arsy-Nya.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 175.
Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 188-189].
45. Ishaq bin
Rohuwyah [hidup antara tahun 166-238 H, Ulama Besar Khurosan.
قال أبو بكر الخلال أنبأنا المروذي حدثنا محمد بن
الصباح النيسابوري حدثنا أبو داود الخفاف سليمان بن داود قال قال إسحاق بن راهويه
قال الله تعالى الرحمن على العرش استوى إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم
كل شيء في أسفل الأرض السابعة
Abu Bakr Al Khollal mengatakan, telah
mengabarkan kepada kami Al Maruzi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami
Muhammad bin Shobah An Naisaburi. Beliau katakan, telah mengabarkan pada kami
Abu Daud Al Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakan, Ishaq bin Rohuwyah
berkata, “Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy” [
QS. Thaha: 5]. Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy
dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang
ketujuh. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghofar, hal. 179. Lihat Mukhtashor
Al ‘Uluw, hal. 194].
46. Ishaq bin Rohuwyah,
قال حرب بن إسماعيل الكرماني قلت لإسحاق بن
راهويه قوله تعالى ما يكون من نجوى ثلاثة إلا هو رابعهم كيف تقول فيه قال حيث ما
كنت فهو أقرب إليك من حبل الوريد وهو بائن من خلقه
ثم ذكر عن ابن المبارك قوله هو على عرشه بائن من
خلقه
ثم قال أعلى شيء في ذلك وأبينه قوله تعالى الرحمن
على العرش استوى رواها الخلال في السنة عن حرب
Harb bin Isma’il Al Karmani, ia berkata
bahwa ia berkata pada Ishaq bin Rohuwyah mengenai firman Allah,
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ
رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga
orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” (QS. Al Mujadilah: 7). Bagaimanakah pendapatmu
mengenai ayat tersebut?”
Ishaq bin Rohuwyah menjawab, “Dia itu
lebih dekat (dengan ilmu-Nya) dari urat lehermu. Namun Dzat-Nya terpisah dari
makhluk. Kemudian beliau menyebutkan perkataan Ibnul Mubarok, “Allah berada di
atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya.”
Lalu Ishaq bin Rohuwyah mengatakan, “Ayat
yang paling gamblang dan paling jelas menjelaskan hal ini adalah firman Allah
Ta’ala,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi
di atas ‘Arsy.” [ QS. Thoha: 5]
Al Khollal meriwayatkannya dalam As
Sunnah dari Harb. [ Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 177. Lihat Mukhtashor
Al ‘Uluw, hal. 191].
47. Qutaibah bin Sa’id [hidup
tahun 150-240 H], Ulama Besar Khurosan.
قال أبو أحمد الحاكم وأبو بكر النقاش المفسر
واللفظ له حدثنا أبو العباس السراج قال سمعت قتيبة بن سعيد يقول هذا قول الأئمة في
الإسلام والسنة والجماعة نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه كما قال جل جلاله
الرحمن على العرش استوى وكذا نقل موسى بن هارون عن قتيبة أنه قال نعرف ربنا في
السماء السابعة على عرشه
Abu Ahmad Al Hakim dan Abu Bakr An Naqosy
Al Mufassir (dan ini lafazh dari Abu Bakr), ia berkata, Abul ‘Abbas As Siroj
telah menceritakan pada kami, ia berkata, aku mendengar Qutaibah bin Sa’id
berkata, “Ini adalah perkataan para ulama besar Islam, Ahlus Sunnah wal
Jama’ah: Kami meyakini bahwa Rabb kami berada di atas langit ketujuh di
atas ‘Arsy-Nya sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi
di atas ‘Arsy.” [QS. Thoha: 5]. [ Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal. 174.
Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 187].
48. Begitu pula dinukil dari Musa
bin Harun dari Qutaibah, ia berkata,
نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه
“Kami meyakini bahwa Rabb kami berada di
atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffar, hal.
174. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 187].
49. Al Imam Al ‘Alam Abu
Muhammad ‘Abdullah bin Muslim bin Qutaibah Ad Dainuri [hidup pada tahun
213-276 H]–penulis kitab yang terkenal yaitu Mukhtalaf Al Hadits- berkata,
قال وفي الإنجيل أن المسيح عليه السلام قال
للحواريين إن أنتم غفرتم للناس فإن أباكم الذي في السماء يغفر لكم ظلمكم أنظروا
إلى الطير فإنهن لا يزرعن ولا يحصدن وأبوكم الذي في السماء هو يرزقهن ومثل هذا في
الشواهد كثير قلت قوله أبوكم كانت هذه الكلمة مستعملة في عبارة عيسى والحواريين
وفي المائدة وقالت اليهود والنصارى نحن أبناء الله وأحباؤه
“Disebutkan dalam Injil bahwa Al Masih
(‘Isa bin Maryam) ‘alaihis salam berkata kepada (murid-muridnya yang setia) Al
Hawariyyun, “Jika kalian memaafkan orang lain, sungguh Rabb kalian yang berada
di atas langit akan mengampuni kezholiman kalian. Lihatlah pada burung-burung,
mereka tidak menanam makanan, Rabb mereka-lah yang berada di langit yang
memberi rizki pada mereka.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 196 dan Mukhtashor Al ‘Uluw,
hal. 216-217. Catatan: Istilah “abukum” (ayah kalian) untuk menyebut Allah yang
digunakan di masa Isa dan sudah tidak berlaku lagi untuk umat Islam. Demikian
dijelaskan oleh Adz Dzahabi].
50. Qutaibah berkata dalam
kitabnya Takwiil Mukhtalaf al-Hadiits (tahqiq Muhammad Muhyiiddin Al-Ashfar,
cetakan keduan dari Al-Maktab Al-Islaami) :
“Seluruh umat –baik arab maupun non arab-
mereka berkata bahwasanya Allah di langit selama mereka dibiarkan di atas
fitroh mereka dan tidak dipindahkan dari fitroh mereka tersebut dengan
pengajaran.” [Takwiil Mukhtalafil Hadiits 395].
Adz Dzahabi setelah membawakan
perkataan Qutaibah, beliau mengatakan, “Inilah Qutaibah sudah dikenal
kebesarannya dalam ilmu dan kejujurannya, beliau menukil adanya ijma’
(kesepakatan ulama) mengenai keyakinan Allah di atas langit”. [Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghoffar, hal. 174. Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 187].
51. Muhammad bin Aslam Ath
Thusi [meninggal dunia tahun 242 H].
قال الحاكم في ترجمته حدثنا يحيى العنبري حدثنا
أحمد بن سلمة حدثنا محمد بن أسلم قال قال لي عبد الله بن طاهر بلغني أنك لا ترفع
رأسك إلى السماء فقلت ولم وهل أرجو الخير إلا ممن هو في السماء
Al Hakim dalam biografinya mengatakan,
Yahya Al ‘Anbari menceritakan pada kami, Ahmad bin Salamah menceritakan kepada
kami, Muhammad bin Aslam menceritakan kepada kami, beliau berkata, “’Abdullah
bin Thohir berkata padaku, “Telah sampai padaku berita bahwa engkau enggan
mengangkat kepalamu ke arah langit.” Muhammad bin Aslam menjawab, “Tidak
demikian. Bukankah aku selalu mengharap kebaikan dari Rabb yang berada di atas
langit?” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 191 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 208-209].
52. ‘Abdul Wahhab Al
Warroq [meninggal dunia tahun 250 H].
حدث عبد الوهاب بن عبد الحكيم الوراق بقول ابن
عباس ما بين السماء السابعة إلى كرسيه سبعة آلاف نور وهو فوق ذلك ثم قال عبد
الوهاب من زعم أن الله ههنا فهو جهمي خبيث إن الله عزوجل فوق العرش وعلمه محيط
بالدنيا والآخرة
‘Abdul Wahhab bin ‘Abdil Hakim Al Warroq
menceritakan perkataan Ibnu ‘Abbas, “Di antara langit yang tujuh dan kursi-Nya
terdapat 7000 cahaya. Sedangkan Allah berada di atas itu semua.” Kemudian
‘Abdul Wahhab berkata, “Barangsiapa yang mengklaim bahwa Allah itu di sini (di
muka bumi ini), maka Dialah Jahmiyah yang begitu jelek. Allah ‘azza wa
jalla berada di atas ‘Arsy, sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu di
dunia dan akhirat.”
Adz Dzahabi menceritakan, bahwa pernah
ditanya pada Imam Ahmad bin Hambal, “Alim mana lagi yang jadi tempat bertanya
setelah engkau?” Lantas Imam Ahmad menjawab, “Bertanyalah pada ‘Abdul Wahhab
bin Al Warroq”. Beliau pun banyak memujinya. [Lihat Al ‘Uluw, hal. 193 dan
Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 212].
53. Abu Muhammad Ad Darimi,
penulis kitab Sunan Ad Darimi [hidup pada tahun 181-255 H].
Adz Dzahabi mengatakan,
وممن لا يتأول ويؤمن بالصفات وبالعلو في ذلك
الوقت الحافظ أبو محمد عبد الله بن عبد الرحمن السمرقندي الدارمي وكتابه ينبيء
بذلك
“Di antara ulama yang tidak mentakwil
(memalingkan makna) dan benar-benar beriman dengan sifat Allah al ‘Uluw (yaitu
Allah berada di ketinggian) saat ini adalah Al Hafizh Abu Muhammad ‘Abdullah
bin ‘Abdirrahman As Samarqindi Ad Darimi. Dalam kitab beliau menjelaskan hal
ini.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 195 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 214].
54. Harb Al
Karmaniy [meninggal dunia pada tahun 270-an H],
قال عبد الرحمن بن محمد الحنظلي الحافظ أخبرني
حرب بن إسماعيل الكرماني فيما كتب إلي أن الجهمية أعداء الله وهم الذين يزعمون أن
القرآن مخلوق وأن الله لم يكلم موسى ولا يرى في الآخرة ولا يعرف لله مكان وليس على
عرش ولا كرسي وهم كفار فأحذرهم
‘Abdurrahman bin Muhammad Al Hanzholi Al
Hafizh berkata, Harb bin Isma’il Al Karmani menceritakan padaku terhadap apa
yang ia tulis padaku, “Sesungguhnya Jahmiyah benar-benar musuh Allah. Mereka
mengklaim bahwa Al Qur’an itu makhluk. Allah tidak berbicara dengan Musa dan juga
tidak dilihat di akhirat. Mereka sungguh tidak tahu tempat Allah di mana,
bukan di atas ‘Arsy, bukan pula di atas kursi-Nya. Mereka sungguh orang kafir.
Waspadalah terhadap pemikiran sesat mereka.”
Adz Dzahabi mengatakan bahwa Harb Al
Karmani adalah seorang ulama besar di daerah Karman di zamannya. Ia mengambil
ilmu dari Ahmad dan Ishaq. [Lihat Al ‘Uluw, hal. 194 dan Mukhtashor Al ‘Uluw,
hal. 213].
55. Al Muzanni [meninggal
dunia pada tahun 264 H dalam usia 80-an tahun].
أنبأنا ابن سلامة عن أبي جعفر الطرطوسي عن يحيى
بن منده حدثنا أحمد بن الفضل أنبأ الياطرقاني سمعت أبا عمر السلمي سمعت أبا حفص
الرفاعي سمعت عمرو بن تميم المكي قال سمعت محمد بن إسماعيل الترمذي سمعت المزني
يقول لا يصح لأحد توحيد حتى يعلم أن الله على العرش بصفاته قلت مثل أي شيء
قال سميع بصير عليم قدير أخرجها ابن منده في تاريخه
Ibnu Salamah telah menceritakan pada
kami, dari Abu Ja’far Ath Thurthusi, dari Yahya bin Mandah, Ahmad bin Al Fadhl
telah menceritakan kepada kami, Al Yathuqorni telah menceritakan, aku mendengar
‘Umar As Sulami, aku mendengar Abu Hafsh Ar Rifa’i, aku mendengar ‘Amr bin
Tamim Al Makki, ia berkata, aku mendengar Muhammad bin Isma’il At Tirmidzi, aku
mendengar Al Muzanni berkata,
لا يصح لأحد توحيد حتى يعلم أن الله على العرش
بصفاته
“Ketauhidan seseorang tidaklah sah sampai
ia mengetahui bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-nya dengan sifat-sifat-Nya.” Aku
pun berkata, “Sifat-sifat yang dimaksud semisal apa?” Ia berkata, “Sifat
mendengar, melihat, mengetahui dan berkuasa atas segala sesuatu.” Ibnu Mandah
mengeluarkan riwayat ini dalam kitab tarikhnya. [Syaikh Al Albani mengatakan,
“Dari jalur yang dibawakan oleh penulis (Adz Dzahabi) dengan sanadnya terdapat
perowi yang tidak aku kenal semisal ‘Amr bin Tamim Al Makki.” (Mukhtashor Al
‘Uluw, hal. 201)].
56. Muhammad bin Yahya Adz
Dzuhliy [meninggal dunia pada tahun 258 H].
قال الحاكم قرأت بخط أبي عمرو المستملي سئل محمد
بن يحيى عن حديث عبد الله بن معاوية عن النبي ليعلم العبد أن الله معه حيث كان
فقال يريد أن الله علمه محيط بكل ما كان والله على العرش
Al Hakim berkata, “Aku membacakan dengan
tulisan pada Abu ‘Amr Al Mustahli, Muhammad bin Yahya ditanya mengenai hadits
‘Abdullah bin Mu’awiyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ليعلم العبد أن الله معه حيث كان
“Supaya hamba mengetahui bahwa Allah
bersama dirinya di mana saja ia berada.”
Lantas Adz Dzuhliy mengatakan,
أن الله علمه محيط بكل ما كان والله على العرش
“Ketahuilah ilmu Allah itu meliputi
segala sesuatu, namun Allah tetap di atas ‘Arsy-Nya.” [Syaikh Al Albani
mengatakan, “Riwayat ini dibawakan oleh penulis dari Muhammad bin Nu’aim, aku
sendiri tidak mengenalnya.” (Lihat Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 202)].
57. Muhammad bin Isma’il Al
Bukhari [hidup dari tahun 194-256 H].
قال الإمام أبو عبد الله محمد بن إسماعيل في آخر
الجامع الصحيح في كتاب الرد على الجهمية باب قوله تعالى وكان عرشه على الماء قال
أبو العالية استوى إلى السماء إرتفع وقال مجاهد في استوى علا على
العرش وقالت زينب أم المؤمنين رضي الله عنها زوجني الله من فوق سبع سموات
Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il
Al Bukhari berkata dalam akhir Al Jaami’ Ash Shohih dalam kitab bantahan kepada
Jahmiyah, beliau membawakan Bab firman Allah Ta’ala,
وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
“Dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu)
di atas air.” (QS. Hud : 7).
Abul ‘Aliyah mengatakan bahwa maksud dari
‘istiwa’ di atas langit’ adalah naik. Mujahid mengatakan bahwa istiwa’ adalah
menetap tinggi di atas ‘Arsy. Zainab Ummul Mukminin mengatakan, “Allah yang
berada di atas langit ketujuh yang telah menikahkanku.” [Lihat Al ‘Uluw, hal.
186 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 202].
58. Abu Zur’ah Ar
Rozi [meninggal tahun 264 H].
قال أبو إسماعيل الأنصاري مصنف ذم الكلام وأهله
أنبا أبو يعقوب القراب أنبأنا جدي سمعت أبا الفضل إسحاق حدثني محمد ابن إبراهيم
الأصبهاني سمعت أبا زرعة الرازي وسئل عن تفسير الرحمن على العرش استوى فغضب وقال
تفسيره كما تقرأ هو على عرشه وعلمه في كل مكان من قال غير هذا فعليه لعنة
الله
Abu Isma’il Al Anshori –penulis Dzammul
Kalam wa Ahlih-, Abu Ya’qub Al Qurob menceritakan, kakekku menceritakan pada
kami, aku mendengar Abul Fadhl Ishaq, Muhammad bin Ibrohim Al Ash-bahani telah
menceritakan padaku, aku mendengar Abu Zur’ah Ar Rozi ditanya mengenai tafsir
firman Allah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Yaitu) Rabb Yang Maha Pemurah yang
menetap tinggi di atas ‘Arsy .” (QS. Thoha : 5). Beliau lantas marah. Kemudian
beliau pun berkata, “Tafsirnya sebagaimana yang engkau baca. Allah di atas
‘Arsy-Nya sedangkan ilmu Allah yang berada di mana-mana. Siapa yang mengatakan
selain ini, maka dialah yang akan mendapat laknat Allah.” [Lihat Al ‘Uluw, hal.
187-188 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 203].
59. Ahmad bin Abul Khoir telah
menceritakan kepada kami, dari Yahya bin Yunus, Abu Tholib menceritakan pada
kami, Abu Ishaq Al Barmaki telah menceritakan pada kami, ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz
telah menceritakan pada kami, ia berkata bahwa ‘Abdurrahman bin Abu Hatim telah
menceritakan pada kami, bahwa dia bertanya pada ayahnya dan Abu Zur’ah mengenai
aqidah Ahlus Sunnah dalam ushuluddin dan apa yang dipahami oleh keduanya
mengenai perkataan para ulama di berbagai negeri dan apa saja keyakinan mereka.
Abu Hatim dan Abu Zur’ah berkata,
“Yang kami ketahui bahwa ulama di seluruh
negeri di Hijaz, ‘Iraq, Mesir, Syam, Yaman; mereka semua meyakini bahwa Allah
Tabaroka wa Ta’ala berada di atas ‘Arsy-nya, terpisah dari makhluk-Nya
sebagaimana yang Allah sifati pada diri-Nya sendiri dan tanpa kita ketahui
hakikatnya. Sedangkan ilmu Allah meliputi segala sesuatu.” [ Lihat Al ‘Uluw,
hal. 188 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 204].
60. Abu Hatim Ar
Rozi [meninggal dunia tahun 277 H].
قال الحافظ أبو القاسم الطبري وجدت في كتاب أبي
حاتم محمد بن إدريس بن المنذر الحنظلي مما سمع منه يقول مذهبنا وإختيارنا إتباع
رسول الله وأصحابه والتابعين من بعدهم والتمسك بمذاهب أهل الأثر مثل الشافعي وأحمد
وإسحاق وأبي عبيد رحمهم الله تعالى ولزوم الكتاب والسنة ونعتقد أن الله عزوجل على
عرشه بائن من خلقه ليس كمثله شيء وهو السميع البصير
Al Hafizh Abul Qosim Ath Thobari
mengatakan bahwa beliau mendapati dalam kitab Abu Hatim Muhammad bin Idris bin
Al Mundzir Al Hanzholi, perkataan yang didengar darinya, Abu Hatim mengatakan,
“Pilihan kami adalah mengikuti
Rasulullah, para sahabat, para tabi’in dan yang setelahnya. Kami pun berpegang
dengan madzhab Ahlus Sunnah semacam Asy Syafi’i, Ahmad , Ishaq, Abu ‘Abdillah
rahimahumullah. Kami pun konsekuen dengan Al Kitab dan As Sunnah. Kami meyakini
bahwa Allah ‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy, terpisah dari
makhluk-Nya. Tidak ada yang semisal dengan-Nya, Dialah (Allah) yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.”
Lantas Abu Hatim Ar Rozi menyebutkan
perkataan,
وعلامة أهل البدع الوقيعة في أهل الأثر وعلامة
الجهمية أن يسموا أهل السنة مشبهة
“Di antara tanda ahlul bid’ah adalah
berbagai tuduhan keliru yang mereka sematkan pada Ahlus Sunnah. Tanda Jahmiyah
adalah mereka menyebut Ahlus Sunnah dengan musyabbihah (orang yang menyerupakan
Allah dengan makhluk).” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 189-190 dan Mukhtashor Al ‘Uluw,
hal. 206-207].
61. Yahya bin Mu’adz Ar
Rozi [meninggal dunia tahun 258 H].
قال أبو إسماعيل الأنصاري في الفاروق بإسناد إلى
محمد بن محمود سمعت يحيى بن معاذ يقول إن الله على العرش بائن من خلقه أحاط بكل
شيء علما لا يشذ عن هذه المقالة إلا جهمي يمزج الله بخلقه
Abu Isma’il Al Anshori berkata dalam Al
Faruq dengan sanad sampai ke Muhammad bin Mahmud, aku mendengar Yahya bin
Mu’adz berkata, “Sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya.
Namun ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Tidak ada yang memiliki perkataan
nyleneh selain Jahmiyah. Jahmiyah meyakini bahwa Allah bercampur dengan
makhluk-Nya.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 190 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 207-208].
62. Imam ‘Utsman bin Sa’id
Ad-Darimi [meninggal tahun 280 H] berkata :
قد اتفقت الكلمة من المسلمين أن الله فوق عرشه
فوق سماواتة
“Sungguh kaum muslimin telah bersepakat
terhadap satu kalimat bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, di atas
langit-langit-Nya”. [Al-Arba’iin fii Shifaati Rabbil-‘Aalamiin oleh
Adz-Dzahabiy, tahqiq ‘Abdul-Qaadir Athaa, hal. 43 no. 17; Maktabah Al-‘Uluum
wal-Hikam, Cet. 1/1413].
63. Imam ‘Utsman bin Sa’id
ad-Darimi berkata: “Hadits ini (tentang hadits nuzul) sangat pahit
bagi kelompok Jahmiyah dan mematahkan faham mereka bahwa Allah tidak di atas
arsy tetapi di bumi sebagaimana Dia juga di langit. Lantas bagaimanakah Allah
turun ke bumi kalau memang Dia sendiri sudah di atas bumi? Sungguh lafazh
hadits ini membantah faham mereka dan mematahkan argumen mereka”. [Naqdhu
Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Mirrisi Al-Jahmi Al-Anid hal. 285].
64. Imam ‘Utsman
ad-Darimi berkata: “Dalam hadits ini (tentang budak jariyah) terdapat
dalil bahwa seorang apabila tidak mengetahui kalau Allah itu di atas langit
bukan di bumi maka dia bukan seorang mukmin. Apakah anda tidak tahu bahwa Nabi
menjadikan tanda keimanannya adalah pengetahuannya bahwa Allah di atas
langit?!! Dan dalam pertanyaan Nabi ‘Di mana Allah?’ terdapat bantahan ucapan
sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Allah berada di setiap tempat, tidak disifati
dengan ‘di mana?’, sebab sesuatu yang ada di mana-mana tidak mungkin disifati
‘dimana?’. Seandainya Allah ada dimana-mana sebagaimana anggapan para
penyimpang, tentu Nabi akan mengingkari jawabannya.”. [Ar-Radd ala Jahmiyyah
hal. 46-47].
65. Imam Utsman
ad-Darimi berkata: “Dan telah sepakat perkataan kaum muslimin dan
orang-orang kafir bahwasanya Allah berada di langit, dan mereka telah
menjelaskan Allah dengan hal itu (yaitu bahwasanya Allah berada di atas langit
-pent) kecuali Bisyr Al-Marrisi yang sesat dan para sahabatnya. Bahkan
anak-anak yang belum dewasa merekapun mengetahui hal ini, jika seorang anak
kecil tersusahkan dengan sesuatu perkara maka ia mengangkat kedua tangannya ke
Robb-Nya berdoa kepadaNya di langit, dan tidak mengarahkan tangannya ke arah
selain langit. Maka setiap orang lebih menetahui tentang Allah dan dimana Allah
daripada Jahmiyah.” [Rod Ad-Darimi Utsmaan bin Sa’iid alaa Bisyr
Al-Mariisi Al-’Aniid Hal 25].
66. Abu Ja’far Ibnu Abi
Syaibah, Ulama Hadits di Negeri Kufah [meninggal tahun 297 H].
Al Hafizh Abu Ja’far Muhammad bin ‘Utsman
bin Muhammad bin Abi Syaibah Al ‘Abasi, muhaddits Kufah di masanya, di mana
beliau telah menulis tentang masalah ‘Arsy dalam seribu kitab, beliau berkata,
ذكروا أن الجهمية يقولون ليس بين الله وبين خلقه
حجاب وأنكروا العرش وأن يكون الله فوقه وقالوا إنه في كل مكان ففسرت العلماء
وهومعكم يعني علمه ثم تواترت الأخبار أن الله تعالى خلق العرش فاستوى عليه فهو فوق
العرش متخلصا من خلقه بائنا منهم
Jahmiyah berkata bahwa antara Allah dan
makhluk-Nya sama sekali tidak ada pembatas. Jahmiyah mengingkari ‘Arsy dan
mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy. Jahmiyah katakan bahwa Allah berada
di setiap tempat. Padahal para ulama menafsirkan ayat (وهومعكم), Allah bersama
kalian, yang dimaksud adalah dengan ilmu Allah. Kemudian juga telah ada
berbagai berita mutawatir (yang melalui jalan yang amat banyak) bahwa Allah
menciptakan ‘Arsy, lalu beristiwa’ (menetap tinggi) di atasnya. Allah
benar-benar di atas ‘Arsy, namun Allah terpisah atau tidak menyatu dengan
makhluk-Nya. [Lihat Al ‘Uluw, hal. 220 dan Mukhtashor Al ‘Uluw, hal. 220-221].
67. Zakariyaa
As-Saaji (wafat tahun 307 H).
Beliau berkata :
القول في السنة التي رأيت عليها أصحابنا أهل
الحديث الذين لقيناهم أن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء”.
“Perkataan tentang sunnah yang aku lihat
merupakan perkataan para sahabat kami –dari kalangan Ahlul Hadits yang kami
jumpai- bahwasanya Allah ta’aala di atas ‘arsyNya di langit, Ia dekat dengan
makhluknya sesuai dengan yang dikehendakiNya.”
(Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li
Adz-Dzahabi 2/1203 no 482).
Adz-Dzahabi berkata : As-Saji adalah
syaikh dan hafizhnya kota Al-Bashroh dan Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil ilmu
hadits dan aqidah Ahlus Sunnah darinya (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li
Adz-Dzahabi 2/1203 dan Ijtimaa’ Al-Juyuusy Al-Islaamiyah li Ibnil Qoyyim hal
185).
68. Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin
Khuzaimah (223 H-311 H).
Beliau berkata dalam kitabnya At-Tauhiid
:
“Bab : Penyebutan penjelasan bahwasanya
Allah Azza wa Jalla di langit:
Sebagaimana Allah kabarkan kepada kita
dalam Al-Qur’an dan melalui lisan NabiNya –’alaihis salaam- dan sebagaimana hal
ini dipahami pada fitroh kaum muslimin, dari kalangan para ulama mereka dan
orang-orang jahilnya mereka, orang-orang merdeka dan budak-budak mereka, para
lelaki dan para wanita, orang-orang dewasa dan anak-anak kecil mereka. Seluruh
orang yang berdoa kepada Allah jalla wa ‘alaa hanyalah mengangkat kepalanya ke
langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada Allah, ke arah atas dan bukan
kearah bawah” [At-Tauhiid 1/254].
69. Berkata Muhammad bin Ishaq
ibnu Khuzaimah: “Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwa Allah Azza wa Jalla di
atas ‘Arsy-Nya, tinggi di atas tujuh lapis langit, maka dia kafir kepada
Rabb-nya; halal darahnya, diminta taubat kalau mau bertaubat; kalau tidak mau
bertaubat, maka dipenggal lehernya, dibuang jasadnya ke tempat-tempat
pembuangan sampah agar tidak mengganggu kaum muslimin dan para mu’ahad dengan
busuknya bau bangkai mereka. Hartanya menjadi fa’i (rampasan perang untuk
baitul maal). Tidak boleh mewarisinya seorang pun dari kaum muslimin, karena
seorang muslim tidak mewarisi dari seorang kafir sebagaimana ucapan Nabi yang
diriwayatkan dari Usamah bin Zaid :
“Orang muslim tidak mewarisi dari orang
kafir dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim”. (HR. Bukhari Muslim).
[Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri, hal. 47].
70. Imam Abu Ja’far Ahmad bin
Muhammad Ath Thahawi rahimahullah [wafat tahun 321 H].
Beliau berkata: “Allah tidak
membutuhkan ‘Arsy dan apa yang ada dibawahnya. Allah menguasai segala sesuatu
dan apa yang ada diatasnya. Dan Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya
untuk mengetahui segala sesuatu.” Beliau menjelaskan bahwa Allah menciptakan
‘Arsy dan bersemayam di atasnya, bukanlah karena Allah membutuhkan ‘Arsy tetapi
Allah memiliki hikmah tersendiri tentang hal itu. Bahkan sebaliknya, sekalian
makhluk termasuk ‘Arsy bergantung kepada Allah Jalla wa ‘Ala.” [Lihat Imam
al-Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdil ‘Izz ad-Dimasyqi dalam Syarh
‘Aqidah at-Thahâwiyah, (hal. 372)].
71. Imam Abul Hasan
Al-’Asy’ari rahimahullah [lahir tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H].
Beliau berkata dalam kitabnya Risaalah
ila Ahli Ats-Tsagr:
Ijmak kesembilan :
Dan mereka (para salaf) berkonsensus
(ijmak) … bahwasanya Allah ta’aala di atas langit, diatas arsyNya bukan di
bumi. Hal ini telah ditunjukan oleh firman Allah,
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ
بِكُمُ الأرْضَ
Apakah kamu merasa aman terhadap Allah
yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu (QS Al-Mulk
: 16).
Dan Allah berfirman
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ
الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan
yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Faathir : 10).
Dan Allah berfirman
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang
ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5).
Dan bukanlah istiwaa’nya di atas arsy
maknanya istiilaa’ (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh qodariah
(Mu’tazilah-pent), karena Allah Azza wa Jalla selalu menguasai segala sesuatu.
Dan Allah mengetahui yang tersembunyi dan yang lebih samar dari yang
tersembunyi, tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi
bagi Allah, hingga seakan-akan Allah senantiasa hadir bersama segala sesuatu.
Hal ini telah ditunjukan oleh Allah Azza wa Jalla dengan firmanNya,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
Dia bersama kamu dimana saja kamu berada
(QS Al-Hadiid : 4).
Para ahlul ilmi menafsirkan hal ini
dengan ta’wil yaitu bahwasanya ilmu Allah meliputi mereka di mana saja mereka
berada” [Risaalah ilaa Ahli Ats-Tsagr 231-234].
72. Al-Imam Abul-Hasan
Al-Asy’ariy malah bersaksi bahwa ciri ahlussunnah adalah sebagai
berikut: “Berkata Ahlussunnah dan Ashhab al-Hadits: “Dia bukan jisim,
tidak menyerupai apapun, Dia ada di atas Arsy seperti yang Dia kabarkan (Thaha:
5). Kita tidak melancangi Allah dalam ucapan, tetapi kita katakan: istawa tanpa
kaif. Dia adalah Nur (pemberi cahaya) sebagaimana firmann-Nya (an-Nur: 35), Dia
memiliki wajah sebagaimana firman-Nya (al-Rahman: 27), Dia memiliki Yadain (dua
tangan) sebagaimana firman-Nya (Shad: 75), dia memiliki dua ‘ain (mata)
sebagaimana firmanNya (al-Qamar: 14), Dia akan datang pada hari kiamat Dia dan
para malaikat-Nya sebagaiman firman-Nya (al-Fajr: 22), dia turun ke langit
terendah sebagaimana dalam hadits. Mereka tidak mengatakan apapun kecuali apa
yang mereka dapatkan dalam al-Qur`an atau yang datang keterangannya dari
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.” [Al Maqalat: 136].
73. Al-Imam Abul-Hasan
Al-Asy’ariy rahimahullah berkomentar tentang ‘aqidah Jahmiyyah yang satu ini
dengan perkataannya :
وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية :
إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه،
كما قال أهل الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة، فلو كان كما قالوا كان لا فرق
بين العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء، والأرض شيء، فالله قادر عليها
وعلى الحشوش.
وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى الإستيلاء،
لجاز أن يقال : هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول :
إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء [على العرش] : الإستيلاء.
“Dan telah berkata orang-orang dari
kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) : ‘Sesungguhnya
makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan. Allah
ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas
‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka
(Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna
istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang
mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh,
karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah
berkuasa atasnya dan atas rerumputan.
Begitu juga apabila istiwaa’ di atas
‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk
membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun
tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata :
‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh
karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas
‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)” [selengkapnya, silakan lihat Al-Ibaanah,
hal. 34-37 – melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabiy oleh
Al-Albaaniy, hal. 239; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H].
74. Al Imam Abul Hasan
Al-Asy’ari berkata dalam Al-Ibanah fi Ushul Diyanah hal. 69-76 : “Dan kita
melihat seluruh kaum muslimin apabila mereka berdoa, mereka mengangkat
tangannya ke arah langit, karena memang Allah tinggi di atas arsy dan arsy di
atas langit. Seandainya Allah tidak berada di atas arsy, tentu mereka tidak
akan mengangkat tangannya ke arah arsy.”
75. Al-Qaadhiy Abu Bakr
Al-Baqillaniy (beliau adalah seorang ulama madzhab Asy’ariyyah generasi
awal yang terkemuka dan banyak dipuji, wafat pada tahun 403 H di Baghdad).
Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah
:
“Jika dikatakan : Apakah kalian
mengatakan bahwa Allah berada dimana-mana?, dikatakan : Kita berlindung kepada
Allah (dari perkataan ini-pent). Akan tetapi Allah beristiwa di atas ‘arsy-Nya
sebagaimana Allah kabarkan dalam kitabNya “ArRahman di atas ‘arsy
beristiwaa”, dan Allah berfirman “Kepada-Nyalah naik perkatan-perkataan yang
baik”, dan Allah berfirman “Apakah kalian merasa aman dari Allah yang berada di
atas?”
Beliau berkata, “Kalau seandainya Allah
di mana-mana maka Allah akan berada di perut manusia, di mulutnya, …”
[Sebagaimana dinukil oleh Imam
Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-’Uluw 2/1298 (Mukhtsor Al-’Uluw 258)].
76. Al-Qaadhiy Abu Bakr
Al-Baqillaniy berkata :
Bab : Apabila ada seseorang yang bertanya
: “Dimanakah Allah ?”. Dikatakan kepadanya : “Pertanyaan ‘dimana’ adalah
pertanyaan yang menyangkut tempat, dan Dia tidak boleh dilingkupi oleh satu
tempat. Tidak pula satu tempat bisa meliputi-Nya. Namun, kita hanya boleh
mengatakan (atas pertanyaan itu) : ‘Dia berada di atas ‘Arsy-Nya’, dimana hal
itu tidak berkonsekuensi makna wujud badan (jism) yang bersentuhan dan
berbatasan/berdekatan. Maha Tinggi (Allah) dari atas semua itu dengan
setinggi-tinggi dan seagung-agung-Nya !” [At-Tamhiid, hal. 300-301].
77. Ibnu Kullab [241 H]
sendiri mengatakan: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, yang dia itu
adalah orang pilihan Allah, dan yang terbaik, paling alim secara keseluruhan membolehkan
untuk bertanya dengan “Dimana Allah”, dan mengatakannya serta membenarkan
ucapan orang yang mengatakan: Di langit, dan pada saat itu bersaksi bahwa orang
itu mukmin. Sedangkan Jahm ibn Abi Shafwan dan pengikutnya tidak membolehkan
pertanyaan “Dimana“, mereka melarang mengucapkan itu. seandainya salah tentu
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam lebih berhak untuk mengingkari.
Seharusnya beliau mengatakan kepada jariyah itu: jangan berkata begitu nanti
kamu mengesankan bahwa Allah itu dibatasi, atau di satu tempat tidak di tempat
lain, tetapi ucapkanlah ada di setiap tempat, karena itu yang benar, bukan yang
tadi kamu katakan. Tidak, sekali kali tidak. Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam telah membolehkannya dengan segenap pengetahuan beliau tentang
kandungannya, dan dia adalah ucapan yang paling benar, sesuatu yang wajib
adanya iman bagi pengucapnya, karena itu rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
menyaksikan keimanannya saat ia mengucapkannya. Lalu bagaimana kebenaran ada
pada selainnya, sementara al-Qur`an mengatakan itu dan bersaksi untuk itu.”
[Dar` at-Ta’arud: 6/193-194; Mawqif ibn taimiah minal asyairah, Dr. Abdurrahman
al-Mahmud: 1/443].
78. Al-Imam Ibnu Baththoh (304
H-387 H).
Beliau berkata dalam kitabnya Al-Ibaanah
‘an Syarii’at Al-Firqoh An-Naajiyah :
“باب
الإيمان بأن الله على عرشه بائن من خلقه وعلمه محيط بخلقه”
أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين وجميع أهل
العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه فوق سمواته بائن من خلقه وعلمه
محيط بجميع خلقه
ولا يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب
الحلولية وهم قوم زاغت قلوبهم واستهوتهم الشياطين فمرقوا من الدين وقالوا : إن
الله ذاته لا يخلو منه مكان”. انتهى
“Bab Beriman Bahwa Allah di atas ‘Arsy,
‘Arsy adalah makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi Makhluk-Nya”
Kaum muslimin dari para sahabat, tabiin
dan seluruh ulama kaum mukminin telah bersepakat bahwa Allah -tabaraka wa
ta’ala- di atas ‘arsy-Nya di atas langit-langit-Nya yang mana ‘arsy merupakan
Makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi seluruh makhluknya. Tidaklah menolak dan
mengingkari hal ini kecuali penganut aliran hululiyah, mereka itu adalah kaum
yang hatinya telah melenceng dan setan telah menarik mereka sehingga mereka
keluar dari agama, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Dzat Allah Berada
dimana-mana.” (al-Ibaanah 3/136).
Adz Dzahabi berkata, “Ibnu Baththoh
termasuk Pembesarnya Para Imam, Seorang yang Zuhud, Faqih, pengikut sunnah.”
(Al-’uluw li Adz-Dzahabi 2/1284).
79. Imam Abu Umar
At-Tholamanki Al Andalusi (339-429H).
Beliau berkata di dalam kitabnya: Al
Wushul ila Ma’rifatil Ushul,
” أجمع
المسلمون من أهل السنة على أن معنى قوله : “وهو معكم أينما كنتم” . ونحو ذلك من
القرآن : أنه علمه ، وأن الله تعالى فوق السموات بذاتـه مستو على عرشه كيف شاء”
وقال: قال أهل السنة في قوله :الرحمن على العرش
استوى:إن الاستواء من الله على عرشه على الحقيقة لا على المجاز.”.
“Kaum Muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah
telah bersepakat (ijmak) bahwa makna firman-Nya: “Dan Dia bersama kalian di
manapun kalian berada” (QS. Al Hadid 4) dan ayat-ayat Al Qur’an yg semisal itu
adalah Ilmu-Nya. Allah ta’ala di atas langit dengan Dzat-Nya, ber-istiwa di
atas ‘arsy-Nya sesuai kehendak-Nya”
80. Imam Abu Umar At-Tholamanki Al
Andalusi juga mengatakan, “Ahlussunah berkata tentang firman Allah, “Tuhan
yang Maha Pemurah, yang ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS Thoohaa : 5), bahwasanya
ber-istiwa-nya Allah di atas Arsy adalah benar adanya bukan majaz.”
(Sebagaimana dinukil oleh Ad-Dzahabi dalam Al-’Uluw 2/1315).
Imam Adz Dzahabi berkata, “At-Tholamanki
termasuk pembesar para Huffazh dan para imam dari para qurroo` di
Andalusia” (Al-’Uluw 2/1315).
81. Syaikhul Islam Abu Utsman Ash
Shabuni (372 – 449H).
Beliau berkata, “Para Ahli Hadits
berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas
‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab(Al Qur’an)….
Para ulama dan pemuka umat dari generasi
salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan ‘arsy-Nya berada
di atas langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa Ashaabil hadiits hal 44).
Adz Dzahabi berkata, “Syaikhul Islam Ash
Shabuni adalah seorang yang faqih, ahli hadits, dan sufi pemberi wejangan.
Beliau adalah Syaikhnya kota Naisaburi di zamannya” (Al-’Uluw 2/1317).
82. Imam Abu Nashr As-Sijzi
(meninggal pada tahun 444 H).
Berkata Adz-Dzahabi (Siyar A’laam
An-Nubalaa’ 17/656) : Berkata Abu Nashr As-Sijzi di kitab al-Ibaanah, “Adapun
para imam kita seperti Sufyan Ats Tsauri, Malik, Sufyan Ibnu Uyainah, Hammaad
bin Salamah, Hammaad bin Zaid, Abdullah bin Mubaarak, Fudhoil Ibnu ‘Iyyaadh,
Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Ibrahim al Handzoli bersepakat (ijmak) bahwa
Allah -Yang Maha Suci- dengan Dzat-Nya berada di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya
meliputi setiap ruang, dan Dia di atas ‘arsy kelak akan dilihat pada hari
kiamat oleh pandangan, Dia akan turun ke langit dunia, Dia murka dan ridho dan
berbicara sesuai dengan kehendak-Nya”. Adz-Dzahabi juga menukil perkataan ini
dalam Al-’Uluw 2/1321.
83. Imam Abu Nu’aim -Pengarang
Kitab al Hilyah-(336-430 H).
Beliau berkata di kitabnya al I’tiqod :
“Jalan kami adalah jalannya para salaf
yaitu pengikut al Kitab dan As Sunnah serta ijmak ummat. Di antara hal-hal yang
menjadi keyakinan mereka adalah Allah senantiasa Maha Sempurna dengan
seluruh sifat-Nya yang qodiimah…
dan mereka menyatakan dan menetapkan
hadits-hadits yang telah valid (yang menyebutkan) tentang ‘arsy dan istiwa`nya
Allah diatasnya tanpa melakukan takyif (membagaimanakan) dan tamtsil
(memisalkan Allah dengan makhluk), Allah terpisah dengan makhluk-Nya dan para
makhluk terpisah dari-Nya, Allah tidak menempati mereka serta tidak bercampur
dengan mereka dan Dia ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya di langit bukan di bumi.”
(Al-’Uluw karya Adz-Dzahabi 2/1305 atau mukhtashor Al-’Uluw 261).
Adz Dzahabi berkata, “Beliau (Imam Abu
Nu’aim) telah menukil adanya ijmak tentang perkataan ini -dan segala puji hanya
bagi Allah-, beliau adalah hafizhnya orang-orang ‘ajam (non Arab) di zamannya
tanpa ada perselisihan. Beliau telah mengumpulkan antara ilmu riwayat dan ilmu
diroyah. Ibnu Asaakir al Haafizh menyebutkan bahwa dia termasuk sahabat dari
Abu Hasan al Asy’ari.” (Al-’Uluw 2/1306).
84. Imam Ibnu Abdil Barr (meninggal
tahun 463H).
Beliau berkata: “Dalam hadits ini
(tentang hadits nuzul) terdapat dalil bahwasanya Allah berada di atas langit,
di atas arsy sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Hadits ini termasuk salah
satu hujjah Ahli Sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah yang
berpendapat bahwa Allah ada dimana-mana, bukan di atas arsy”. [At-Tamhid 3/338.
Lihat pula Kitab At-Tauhid hal. 126 oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Dar’u Ta’arudzil
Aqli wa Naqli 7/7 oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah].
85. Imam Ibnu Abdil Barr juga
berkata :
“Dan kaum muslimin di setiap masa masih
senantiasa mengangkat wajah mereka dan tangan mereka ke langit jika mereka
ditimpa kesempitan, berharap agar Allah menghilangkan kesempitan tersebut.”
[Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/47].
86. Al-Imam Juwaini (ayahnya
Imam Al-Haramain rahimahumallah, penulis kitab Al-Jauharah, tahun 438 H)
berkata:
استوى على عرشه فبان من خلفه لا يخفى عليه منهم
خافية علمه بهم محيط وبصره بهم نافذ وهو في ذاته وصفاته لا يشبهه شيء من مخلوقاته
ولا يمثل بشيء من جوارح مبتدعاته . هي صفات لائقة بجلاله وعظمته لا تتخيل كيفيتها
الظنون ولا ترها في الدنيا العيون . بل نؤمن بحقائقها وثبوتها واتصاف الرب تعالى
بها وننفي عنها تأويل المتأولين وتعطيل الجاحدين وتمثيل المشبهين تبارك الله أحسن
الخالقين فبهذا الرب نؤمن وإياه نعبد وله نصلي ونسجد . فمن قصد بعبادته إلى إله
ليست له هذه الصفات فإنما يعبد غير الله وليس معبوده ذلك بإله
“Dia (Allah) bersemayam di atas
‘Arsy-Nya, terpisah dengan makhluk-Nya, tidak ada yang tersembunyi dari-Nya,
ilmu-Nya melingkupi mereka, dan penglihatan terhadap mereka terbukti. Dalam
Dzat dan sifat-Nya, Dia tidak menyerupai makhluk-Nya. Tidak juga dimisalkan
dengan sesuatu dari anggota-anggota badan makhluk-Nya. Ini adalah sifat-sifat
yang sesuai dengan keagungan dan keluhuran-Nya. Bagaimananya tidak bisa
dibayangkan, dan tidak ada mata yang dapat melihat-Nya di dunia. Tapi kita
harus meyakini kebenaran dan ketetapannya, serta menyifati Tuhan dengan
sifat-sifat tersebut. Kita (harus) menafikkan penakwilan dari orang-orang
muta’awwiliin, penolakan dari orang-orang yang ingkar, dan permisalan dari
orang-orang musyabbihiin. Maha Suci Allah dan Ia adalah sebaik-baik pencipta.
Kepada Tuhan ini kita beriman, menyembah, shalat, dan bersujud. Oleh karena
itu, orang yang sengaja beribadah kepada Tuhan yang tidak memiliki sifat-sifat
ini, maka sesungguhnya ia menyembah kepada selain Allah, karena yang
disembahnya itu bukanlah Tuhan.” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 56-57].
87. Imam ‘Abdul Malik al
Juwaini [Imam Al-Haramain, tahun 478 H].
Pernah dikisahkan bahwa suatu hari Imam
‘Abdul Malik al Juwaini mengatakan dalam majelisnya, “Allah tidak dimana-mana,
sekarang Ia berada di mana pun Dia berada.” Lantas bangkitlah seorang yang
bernama Abu Ja’far al Hamdhani seraya berkata, “Wahai ustadz! Kabarkanlah
kepada kami tentang ketinggian Allah yang sudah mengakar di hati kami ini,
bagaimana kami menghilangkannya?” Abdul Malik al Juwaini berteriak dan menampar
kepalanya seraya mengatakan, “Al Hamdhani telah membuat diriku bingung, al Hamdhani
telah membuat diriku bingung.” [Lihat Siyar A’lamin Nubala 18/475, al ‘Uluw
hal. 276-277 oleh Adz Dzahabi].
Akhirnya Imam Juwaini pun mendapat
hidayah Allah dan kembali ke jalan yang benar. Semoga saudara-saudara kita yang
tersesat bisa mengikuti jejak beliau. Amiin.
88. Imam Isma’il bin Muhammad
at Taimi berkata, “Kaum muslimin bersepakat bahwa Allah tinggi sebagaimana
ditegaskan dalam Al Qur’an.” [Ijtima’ Juyusy Islamiyyah hal. 182].
89. Ahmad bin Abdul Halim Al
Haroni berkata:
قَالَ بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ
: فِي الْقُرْآنِ ” أَلْفُ دَلِيلٍ ” أَوْ أَزْيَدُ : تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللَّهَ
تَعَالَى عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ فَوْقَ عِبَادِهِ . وَقَالَ غَيْرُهُ :
فِيهِ ” ثَلَاثُمِائَةِ ” دَلِيلٍ تَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ
“Sebagian ulama besar Syafi’iyah
mengatakan bahwa dalam Al Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang menunjukkan
Allah itu berada di ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya. Dan sebagian mereka
lagi mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.” [Lihat Majmu’ Al
Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni, 5/121, Darul Wafa’, cetakan ketiga,
tahun 1426 H. Lihat pula Bayanu Talbisil Jahmiyah, Ahmad bin Abdul Halim Al
Haroni, 1/555, Mathba’atul Hukumah, cetakan pertama, tahun 1392 H].
90. Imam Al-Baihaqi (wafat 458
H).
Beliau berkata dalam kitabnya Al-I’tiqood
wal Hidaayah ilaa Sabiil Ar-Rosyaad : “Dan maksud Allah adalah Allah di atas
langit, sebagaimana firman-Nya, “Dan sungguh aku akan menyalib kalian di
pangkal korma”, yaitu di atas pangkal korma. Dan Allah berfirman “Berjalanlah
kalian di bumi”, maksudnya adalah di atas muka bumi. Dan setiap yang di atas
maka dia adalah samaa’. Dan ‘Arsy adalah yang tertinggi dari benda-benda yang
di atas. Maka makna ayat –wallahu a’lam- adalah “Apakah kalian merasa aman dari
Dzat yang berada di atas ‘arsy?” [Al-I’tiqood wal Hidaayah ilaa Sabiil
Ar-Rosyaad, tahqiq : Abul ‘Ainain, Daar Al-Fadhiilah, cetakan pertama bab
Al-Qoul fi Al-Istiwaaa’ (hal 116)].
91. Syaikh Abdul Qadir
Jailani [470 H].
Beliau berkata: “Allah, menggenggam,
membuka tangan, mencintai, senang, tidak suka, membenci, ridha, marah, dan
murka. Dia memiliki dua tangan, dan kedua tangan itu kanan, dan bahwa hati para
hamba berada di antara dua jari dari jemari-Nya. Dia berada di atas, beristiwa’
di atas Arsy, meliputi segala kerajaan-Nya. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
telah menyaksikan keIslâman budak wanita ketika beliau bertanya kepadanya: “Di
mana Allah?” Maka dia menunjuk ke atas. Dan bahwasanya Arsy Allah itu di atas
air. Allah beristiwa’ di atasnya, sebelumnya (di bawahnya) adalah 70.000 hijab
dari cahaya dan kegelapan. Dan bahwa arsy itu memiliki batasan yang diketahui
oleh Allah.”
Beliau juga berkata: “Seyogyanya
menyebutkan sifat istiwa’ tanpa ta`wil. Bahwasanya ia adalah istiwa’nya Dzat di
atas Arsy, bukan bermakna duduk dan bersentuhan sebagaimana yang dikatakan oleh
kelompok Mujassimah Karromiyah; juga dalam arti ketinggian (kedudukan) seperti
yang dikatakan oleh Asy’arîyyah, juga bukan beristila’ (menguasai) sebagaimana
ucapan Mu’tazilah.”
“Allah juga turun ke langit terendah
dengan cara yang Dia kehendaki, bukan bermakna turun rahmat-Nya atau pahala-Nya
sebagaimana yang dikatakan oleh Mu’tazilah dan Asya’irah.” [‘Abdul Qadir
al-Jailani, al-Ghunyah Li Thalibi `l-Haq, 56-57].
92. Al Imam Ibnu
Qudamah [wafat pada tahun 629 H].
Beliau mengatakan, “Amma ba’du:
Sesungguhnya Allah mensifati diri-Nya bahwa Dia tinggi diatas langit, demikian
juga Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam –penutup para Nabi- mensifati
Allah dengan ketinggian juga, dan hal itu disepakati oleh seluruh para ulama
dari kalangan shahabat yang bertaqwa dan para imam yang mendalam ilmunya,
hadits-hadits tentangnya juga mutawatir sehingga mencapai derajat yakin,
demikian pula Allah menyatukan semua hati kaum muslimin dan menjadikannya
sebagai fithrah semua makhluk.” [Itsbat Shifatul Uluw hal. 12].
93. Al Imam Al
Qurthubi [Abu ‘Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin Farh al-Anshariy
al-Khazrajiy al-Andalusiy al-Qurthubiy. Wafat tahun 671 H].
Beliau berkata dalam tafsirnya, “Tiada
satupun dari kalangan Salafush Shalih yang ingkar bahwa Allah istiwa di atas
‘Arsy secara hakiki.” [Tafsir Qurthubi 7219].
94. Al Imam
an-Nawawi rahimahullah [al-Imam al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu
Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah
bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi asy-Syafi’i . Lahir tahun 631 H, wafat tahun
676 H].
Beliau mengatakan dalam kitabnya “Juz Fi
Dzikri I’tiqod Salaf fil Huruf wal Ashwath” : “Kami mengimani bahwa Allah
berada di atas Arsy-Nya, sebagaimana telah diberitakan di dalam Kitab-Nya yang
mulia. Kami tidak mengatakan bahwa Dia berada di setiap tempat. Akan tetapi Dia
berada di atas langit, sedangkan ilmu-Nya di setiap tempat. Tidak ada satu
tempat pun yang lutput dari ilmu-Nya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya),
‘Apakah kalian merasa aman dari hukuman Tuhan yang berada di atas langit?’ (Qs.
al-Mulk: 16)…” [ad-Dala’il al-Wafiyah fi Tahqiq ‘Aqidati an-Nawawi a Salafiyah
am Khalafiyah, transkrip ceramah Syaikh Masyhur Hasan Salman, hal. 42-43].
Imam Nawawi juga menegaskan ketinggian
Allah dalam kitabnya Thobaqot Fuqoha Syafi’iyyah 1/470 dan Roudhoh Tholibin
10/85, dan beliau juga menulis kitab Al-Ibanah karya Abul Hasan al-Asya’ari
sebagaimana dalam Majmu Fatawa 3/224 yang di dalamnya terdapat ketegasan
tentang ketinggian Allah.
95. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullahu [wafat tahun 728 H].
Beliau berkata: “Dan termasuk dalam hal
yang kami sebutkan dari iman kepada Allah,yaitu beriman kepada apa yang Allah
beritakan dalam kitabNya dan dengan apa yang telah diriwayatkan dari RasulNya
secara mutawatir serta disepakati oleh Salafus Sholih,bahwa Allah itu berada
diatas langit diatas Arsy-Nya. Allah Maha Tinggi diatas mahlukNya dan Allah
Subhanahu wa ta’ala bersama mereka dimana saja mereka berada dan Allah
mengetahui apa yang mereka kerjakan. “ [Syarh Aqidah Al Wasithiyyah].
96. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullahu juga berkata: “Masalah ini luas sekali, karena
orang-orang yang menukil ijma’ Ahlis Sunnah atau ijma’ Shahabat dan
Tabi’in bahwa Allah di atas ‘Arsy, berpisah dari makhluk-Nya tidak bisa
dihitung jumlahnya kecuali hanya Allah saja yang mampu…” [Bayanu Talbis
Jahmiyyah 3/531].
97. Al Imam Adz
Dzahabi rahimahullah [Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz
bin Abdullah adz-Dzahabi al-Fariqi. Tahun 673 H – 748 H].
Beliau berkata mengomentari hadits budak
jariyah,
“Demikianlah kita melihat setiap orang
yang ditanya: Dimana Allah? Niscaya dia akan menjawab dengan fitrahnya: Allah
diatas langit. Dalam hadits ini terdapat dua masalah:
Pertama, disyariatkannya pertanyaan
kepada seorang muslim: Dimana Allah?
Kedua, jawaban orang yang ditanya
pertanyaan tersebut: Di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari dua masalah
ini, maka berarti dia mengingkari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.” [Al ‘Uluw
lil ‘Aliyyil Azhim, (Mukhtasar al ‘Uluw, Albani, hal. 81)].
98. Al Imam Ibnu
Katsir rahimahullah [Imad ad-Dien, Abu al-Fida`, Isma’il bin ‘Umar bin
Katsir ad-Dimasyqiy asy-Syafi’iy, seorang Imam, Hafizh dan juga sejarawan.Wafat
tahun 774 H].
Beliau berkata dalam menafsirkan surat Al
Hadiid: 4,
“…Dia bersama kamu…” ialah ilmu-Nya,
pengawasan-Nya, penjagaan-Nya bersama kamu, sedang Dzat Allah di atas arsy di
langit.” [Lihat Tafsir Qur`anil Azhim: 4/317].
99. Al Imam Ibnul
Qoyyim Al-Jauziyyah [wafat 751 H].
Beliau juga berkata: “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah bertanya: ‘Di mana Allah?’ Lalu dijawab oleh
yang ditanya bahwa Allah berada di atas langit. Nabi pun kemudian ridha akan
jawabannya dan mengetahui bahwa itulah hakekat iman kepada Allah dan beliau
juga tidak mengingkari pertanyaan ini atasnya. Adapun kelompok Jahmiyyah,
mereka menganggap bahwa pertanyaan ‘Dimana Allah?’ seperti halnya pertanyaan:
Apa warnanya, apa rasanya, apa jenisnya dan apa asalnya dan lain sebagainnya
dari pertanyaan yang mustahil dan batil!?”. [I’lamul Muwaqqi’in (3/521)].
100. Al-Hafizh Ibnu Abil Izzi
al-Hanafi [wafat tahun 792 H].
Beliau mengatakan: “Dalam hadits Mi’raj
ini terdapat dalil tentag ketinggian Allah ditinjau dari beberapa segi bagi
orang yang menceramatinya”. [Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/277].
101. Al-Hafizh Ibnu Abil Izzi
al-Hanafi juga mengatakan, “Dalil-dalil yang muhkam (yang begitu jelas)
menunjukkan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Dalil-dalil ini
hampir mendekati 20 macam dalil”. [Syarh Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah, 2/437].
Ulama al-Syafi‘iyyah Menegaskan Allah di
Atas ‘Arsy
Sesungguhnya akidah bahwa Allah di atas
‘Arsy adalah akidah yang hak (benar). Dasarnya berupa dalil-dalil Alquran,
Hadis, ijmak ulama, akal, dan fitrah sangat banyak dan sangatlah gamblang.
Cukuplah bagi kita merenungi ucapan berikut:
قَالَ
بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : فِي الْقُرْآنِ أَلْفُ دَلِيْلٍ أَوْ
أَزْيَدُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللهَ تَعَالَى عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ
فَوْقَ عِبَادِهِ
“Sebagian tokoh senior mazhab al-Syafi‘i
mengatakan, ‘Dalam Alquran terdapat seribu dalil atau lebih yang menunjukkan
bahwa Allah tinggi di atas makhluk dan Allah di atas hamba-Nya.’”[1]
Semoga Allah merahmati al-Imam Ibn
Abil-‘Izz al-Hanafi yang telah mengatakan—setelah menyebutkan 18 segi dalil—,
“Dan jenis-jenis dalil-dalil ini, seandainya dibukukan tersendiri, maka akan
tertulis kurang lebih seribu dalil. Oleh karena itu, para penentang masalah ini
hendaknya menjawab dalil-dalil ini. Akan tetapi, sungguh sangatlah mustahil
mereka mampu menjawabnya.”[2]
Sesungguhnya akidah ini merupakan syiar
Ahlusunah wal Jamaah sejak dahulu hingga sekarang. Ucapan-ucapan para ulama
salaf tentang hal ini banyak sekali, tak bisa hitung jumlahnya.[3] Namun, pada kesempatan kali ini, kami akan
memfokuskan pada ulama-ulama mazhab al-Syafi‘iyyah seperti al-Imam al-Syafi‘i,
al-Muzani, al-Baihaqi, al-Sabuni, al-Bagawi, Abu al-Hasan al-Asy‘ari, dan
sebagainya dari para tokoh mazhab al-Syafi‘iyyah, karena kami melihat suatu
keajaiban pada zaman sekarang, di mana banyak orang-orang yang menisbahkan diri
kepada mazhab al-Syafi‘i sekarang justru menganut paham “Allah di mana-mana”
bahkan menganggap sesat orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah di atas
‘Arsy-Nya.
Aduhai, apalah artinya Anda menisbahkan
diri kepada para ulama tersebut kalau memang kenyataannya Anda tidak mengikuti
akidah mereka?! Sungguh benar ucapan penyair:
وَكُلٌّ
يَدَّعِيْ وَصْلًا بِلَيْلَى
وَلَيْلَى لَا تُقِرُّ لَهُمْ
بِذَاكَا
Semua orang mengaku punya hubungan dengan
Laila
Tetapi Laila tidak mengakuinya[4]
Berikut ini beberapa ucapan para tokoh
ulama al-Syafi‘iyyah, yang secara tegas mengatakan bahwa Allah berada di atas
‘Arsy yang sesuai dengan kemuliaan-Nya.[5] Semoga bisa dijadikan renungan bagi kita semuanya:
1. Al-Imam
al-Syafi‘i (150–204 H)
Al-Imam al-Syafi‘i meyakini ketinggian
Allah di atas ‘Arsy-Nya. Hal ini ditegaskan oleh para ulama al-Syafi‘iyyah
sendiri. Akidah al-Imam al-Syafi‘i dalam masalah ini juga diaminkan oleh para
tokoh mazhab al-Syafi‘i yang paling tahu tentang mazhab al-Syafi‘i. Al-Imam
al-Baihaqi—salah seorang ulama pembela mazhab al-Syafi‘i—berkata setelah
membawakan dalil-dalil yang banyak tentang masalah ini, “Asar-asar salaf
tentang hal ini sangat banyak sekali. Dan inilah mazhab dan keyakinan al-Imam
al-Syafi‘i.”[6]
Demikian juga ditegaskan oleh al-Hafiz
Ibn Hajar—salah seorang ulama al-Syafi‘iyyah—, beliau berkata, “Dan al-Baihaqi
telah meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ahmad ibn Abil-Hawari … dan
dari jalan Abu Bakr al-Daba’i ia berkata, ‘Mazhab Ahlusunah terhadap firman
Allah “Dan ar-Rahman beristiwa di atas ‘Arsy…” adalah tanpa ditanya
bagaimananya. Dan asar-asar dari salaf tentang hal ini banyak sekali. Dan ini
adalah jalan al-Imam al-Syafi‘i dan Ahmad ibn Hanbal.’”[7]
Al-Imam al-Syafi‘i berdalil dengan hadis
Mu‘awiyah ibn Hakam Radhiallahu ‘Anhu dalam beberapa kitabnya.[8]
وَأَحَبُّ
إِلَيَّ أَنْ لَا يَعْتِقَ إِلَّا باَلِغَةً مُؤْمِنَةً ، فَإِنْ كَانَتْ
أَعْجَمِيَّةً فَوَصَفَتِ الْإِسْلَامَ أَجْزَأَتْهُ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ
عَنْ هِلَالٍ ابْنِ أُسَامَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ
الْحَكَمِ أَنَّهُ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ n
فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ جَارِيَةً لِيْ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا
لِيْ فَجِئْتُهَا وَفَقَدْتُ شَاةً مِنَ الْغَنَمِ فَسَأَلْتُهَا عَنْهَا
فَقَالَتْ : أَكَلَهَا الذِّئْبُ فَأَسَفْتُ عَلَيْهَا وَكنُتْ ُمِنْ بَنِيْ
آدَمَ فَلَطَمْتُ وَجْهَهَا وَعَلَيَّ رَقَبَةٌ أَفَأَعْتِقُهَا ؟ فَقَالَ
لَهَا رَسُوْلُ اللهِ n
(أَيْنَ اللهُ ؟) فَقَالَتْ : فِي السَّمَاءِ فَقَالَ (مَنْ
أَنَا ؟) فَقَالَتْ : أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ ، قَالَ :
(فَأَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ).
Saya lebih suka agar tidak memerdekakan
budak kecuali budak yang sudah balig dan mukminah. Seandainya dia non-Arab
kemudian bersifat Islam maka sudah mencukupi. Mengabarkan kepada kami Malik
dari Hilal ibn Usamah dari ‘Atha’ ibn Yasar dari ‘Umar ibn Hakam[9] berkata, “… Saya memiliki seorang budak wanita yang
bekerja sebagai penggembala kambing di Gunung Uhud dan al-Jawwaniyyah (tempat
dekat Gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah
memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah
sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang
kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ternyata beliau
menganggap besar masalah itu. Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah saya
merdekakan budak itu?’ Jawab beliau, ‘Bawalah budak itu padaku.’ Lalu
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, ‘Di mana Allah?’ Jawab
budak tersebut, ‘Di atas langit.’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya
lagi, ‘Siapa saya?’ Jawab budak tersebut, ‘Engkau adalah Rasulullah.’
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Merdekakanlah budak ini
karena dia seorang wanita mukminah.’”[10]
Al-Imam al-Syafi‘i membawakan hadis dalam
kitab-kitabnya tanpa mengkritik isi kandungannya. Maka hal itu menunjukkan
bahwa beliau berhujah dengan hadis ini. Al-Imam al-Zahabi Rahimahullahu
Ta’ala berkata, “Dalam hadis ini terdapat dua masalah:
Pertama: Disyariatkannya pertanyaan
seorang muslim ‘di mana Allah’[11]
Kedua: Jawaban orang yang ditanya ‘di
atas langit’. Barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini, maka berarti dia
mengingkari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”[12]
Al-Imam al-Syafi‘i Rahimahullahu
Ta’ala juga mengatakan:
الْقَوْلُ
فِي السُّنَّةِ الَّتِيْ أَنَا عَلَيْهَا وَرَأَيْتُ أَصْحَابَنَا عَلَيْهَا
أَهْلَ الْحَدِيْثِ الَّذِيْنَ رَأَيْتُهُمْ وَأَخَذْتُ عَنْهُمْ مِثْلَ سُفْيَانَ
وَمَالِكٍ وَغَيْرِهِمَا الإِقْرَارُ بِشَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِيْ سَمَائِهِ
يَقْرُبُ مِنْ خَلْقِهِ كَيْفَ شَاءَ وَيَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا
كَيْفَ شَاءَ.
“Pendapat dalam sunah (akidah) yang saya
yakini dan diyakini oleh kawan-kawan saya ahli hadis yang saya bertemu dengan
mereka dan belajar kepada mereka seperti Sufyan, Malik, dan selain keduanya
adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi secara
benar kecuali hanya Allah saja dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dan
bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya dekat dengan para hamba-Nya
sekehendak Dia dan Dia turun ke langit dunia sekehendak-Nya.”[13]
Riwayat dari al-Imam al-Syafi‘i ini
sangat tegas menyatakan akan Allah berada di atas langit. Asar ini ternyata
juga diriwayatkan dari banyak jalur oleh para ulama. Al-Barzanji (wafat
1103 H)—salah seorang ulama mazhab al-Syafi‘iyyah—menukil ucapan al-Imam
al-Syafi‘i di atas dari jalur Yunus ibn ‘Abdil-A‘la, Ibn Hisyam al-Baladi, Abu
Saur, Abu Syu‘aib, Harmalah, al-Rabi‘ ibn Sulaiman, dan al-Muzanni.[14]
Demikianlah ketegasan al-Imam al-Syafi‘i.
Lantas adakah yang mengambil pelajaran darinya?![15]
2. Al-Imam
al-Muzanni (175–264 H), murid senior al-Imam al-Syafi‘i.
Beliau mengatakan:
[عَالٍ] عَلَى
عَرْشِهِ ، وَهُوَ دَانٍ بِعِلْمِهِ مِنْ خَلْقِهِ ، أَحَاطَ عِلْمُهُ
بِالأُمُوْرِ …
“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, Dia (Allah)
dekat pada hamba-Nya dengan ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu…”[16]
عَالٍ
عَلَى عَرْشِهِ ، بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ ، مَوْجُوْدٌ وَلَيْسَ
بِمَعْدُوْمٍ وَلَا بِمَفْقُوْدٍ
“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, terpisah
dengan makhluk-Nya. Allah itu ada, bukannya tidak ada dan hilang.”[17]
3. Al-Imam ‘Usman ibn Sa‘id
al-Darimi (200–280 H)
Beliau berkata:
قَدِ
اتَّفَقَتِ الْكَلِمَةُ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ، أَنَّ اللهَ بِكَمَالِهِ
فَوْقَ عَرْشِهِ ، فَوْقَ سَمَوَاتِهِ
“Telah bersepakat kalimat kaum muslimin
dan kafirin bahwa Allah di atas langit.”[18]
4. Al-Imam Ibn
Khuzaimah (223–311 H)
Beliau berkata:
فَتِلْكَ
الْأَخْبَارُ كُلُّهَا دَالَّةٌ عَلَى أَنَّ الْخَالِقَ الْبَارِيَ فَوْقَ سَبْعِ
سَمَوَاتِهِ ، لَا عَلَى مَا زَعَمَتِ الٍْمُعَطِّلَةُ : أَنَّ
مَعْبُوْدَهُمْ هُوَ مَعَهُمْ فِي مَنَازِلِهِمْ.
“Maka hadis-hadis ini seluruhnya
menunjukkan bahwa Pencipta berada di atas langit yang tujuh. Hal ini tidak
sebagaimana yang dipersangkakan oleh al-Mu‘attilah (pala penafi/penolak
sifat-sifat Allah, Pen.) bahwasanya sembahan mereka bersama mereka di
rumah-rumah mereka.”[19]
5. Al-Imam Abu al-Hasan
al-Asy‘ari (260–324 H)
Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari dalam
kitabnya al-Ibānah hlm. 405–423 telah memaparkan secara panjang lebar
dalil-dalil tentang istiwa dan ketinggian Allah di atas langit-Nya serta
membantah orang-orang yang menyimpang dalam masalah ini. Di antara ucapannya:
وَأَنَّ
اللهَ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا قَالَ ( الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ
اسْتَوَى )
“Dan bahwasanya Allah di atas ‘Arsy-Nya
sebagaimana firman-Nya, ‘Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) tinggi di atas ‘Arsy.’”[20]
Setelah beliau memaparkan dalil-dalil
yang banyak sekali tentang keberadaan Allah di atas ‘Arsy, beliau berucap:
وَزَعَمَتِ
الْمُعْتَزِلَةُ وَالْحَرُوْرِيَّةُ وَالْجَهْمِيَّةُ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ
فِيْ كُلِّ مَكَانٍ ، فَلَزِمَهُمْ أَنَّهُ فِيْ بَطْنِ مَرْيَمَ وَفِيْ
الْحُشُوْشِ وَالأَخْلِيَةِ ، وَهَذَا خِلَافُ الدِّيْنِ ، تَعَالَى
اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ
“Dan kaum Mu‘tazilah, Haruriyyah, dan
Jahmiyyah beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di
setiap tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah berada di perut Maryam,
tempat sampah, dan WC. Paham ini menyelisihi agama. Maha Tinggi Allah dari
perkataan (rendahan) mereka.”[21]
Beliau bahkan menukil ijmak para ulama
salaf yang bersepakat akan akidah ini. Beliau mengatakan:
وَأنَهَّ
تَعَالىَ فَوْقَ سَمَوَاتِهِ عَلَى عَرْشِهِ دُوْنَ أَرْضِهِ
“Dan mereka (para ulama Ahlusunah)
bersepakat … bahwasanya Allah berada di atas langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya,
bukan di bumi-Nya.”[22]
Demikian ucapan-ucapan emas al-Imam Abu
al-Hasan al-Asy’ari. Lantas, adakah yang mau menggunakan akalnya?![23]
5. Al-Khattabi (319–388 H)
Beliau mengatakan dalam kitabnya Syi‘ar
al-Dīn[24]—setelah membawakan beberapa ayat:
فَدَلَّ
مَا تَلَوْنَاهُ مِنْ هَذِهِ الآيِ عَلَى أَنَّ اللهَ سبحانه فِي السَّمَاءِ
مُسْتَوٍ عَلَى الْعَرْشِ، وَلَوْ كَانَ بِكُلِّ مَكَانٍ لَمْ يَكُنْ لِهَذَا
التَّخْصِيْصِ مَعْنًى وَلَا فِيْهِ فَائِدَة ، وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ
الْمُسْلِمِيْنَ خَاصَّتِهِمْ وَعَامَّتِهِمْ بِأَنْ يَدْعُوَ رَبَّهُمْ عِنْدَ
الْاِبْتِهَالِ وَالرَّغْبَةِ إِلَيْهِ وَيَرْفَعُوْا أَيْدِيَهُمْ إِلَى
السَّمَاءِ وَذَلِكَ لِاسْتِفَاضَةِ الْعِلْمِ عِنْدَهُمْ بِأَنَّ رَبَّهُمْ
الْمَدْعُوَّ فِي السَّمَاءِ سُبْحَانَهُ.
“Ayat-ayat yang kami bacakan ini
menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas ‘Arsy. Seandainya Allah berada di setiap
tempat maka pengkhususan ini tidak ada faedah dan tidak ada maknanya. Dan
kebiasaan kaum muslimin baik yang awam maupun yang terpelajar jika berdoa
memohon kepada Allah maka mereka mengangkat tangan mereka ke langit. Hal itu
karena telah masyhur bagi mereka bahwa Rabb yang mereka berdoa kepada-Nya
berada di atas langit.”[25]
6. Abu al-Qasim Hibatullah ibn al-Hasan
al-Lalika’iRahimahullahu Ta’ala (wafat 418 H)
Beliau mengatakan:
سِيَاقُ
مَا رُوِيَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى ( الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ
اسْتَوَى ) وَأَنََّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِي السَّمَاءِ وَقَالَ عَزَّ
وَجَلَّ : ( إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ
الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ). وقال: ( أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ
أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ ). وَقَالَ تعالى: ( وَهُوَ الْقَاهِرُ
فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً ). فَدَلَّتْ هَذِهِ
الآيَةُ أَنَّهُ تَعاَلىَ فِِي السَّمَاءِ، وَعِلْمُهُ مُحِيْطٌ بِكُلِّ مَكَانٍ
مِنْ أَرْضِهِ وَسَمَائِهِ
“Penjelasan tentang apa-apa yang
diriwayatkan dalam firman-Nya Ta‘āla: ‘Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah)
tinggi di atas ‘Arsy.’ (QS Ṭāha [20]: 5). Dan bahwasanya Allah berada di atas
‘Arsy-Nya di langit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
‘Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya.’ (QS Fāṭir [35]: 10). Dan firman-Nya Ta‘āla: ‘Apakah kamu
merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan
bumi bersama kamu.’ (QS al-Mulk [67]: 16). Dan firman-Nya Ta‘āla: ‘Dan
Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan
diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga.’ (QS al-An‘ām [6]: 61).
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwasanya Allah Ta‘āla berada di langit
dan ilmu-Nya meliputi seluruh tempat di bumi-Nya dan langit-Nya.”[26]
7. Al-Imam
al-Sabuni (373–449 H)
Beliau berkata:
وَيَعْتَقِدُ
أَصْحَابُ الْحَدِيْثِ وَيَشْهَدُوْنَ أَنَّ الله سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَوْقَ
سَبْعِ سَمَوَاتِهِ عَلَى عَرْشِهِ مُسْتَوٍ، كَمَا نَطَقَ بِهِ كِتَابُهُ فِيْ
قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي سُوْرَةِ يُوْنُسٍ: إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي
خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى
الْعَرْشِ)…
“Para ahli hadis berkeyakinan dan
bersaksi bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas tujuh
langit, di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Kitab-Nya dalam surat
Yūnus: ‘Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi
dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala
urusan.’ (QS Yūnus [10]: 3)…”[27]
8. Abu al-Qasim Isma‘il al-Asbahani
al-Syafi‘i (wafat 535 H)
Beliau berkata:
فَصْلٌ
فِيْ بَيَانِ أَنَّ الْعَرْشَ فَوْقَ السَّمَوَاتِ، وَأَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ
فَوْقَ الْعَرْشِ
“Pasal: Penjelasan bahwa ‘Arsy di atas
langit dan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’aladi atas ‘Arsy.”[28]
9. Yahya al-‘Imrani
al-Syafi‘i (wafat 558 H)
Beliau berkata:
عِنْدَ
أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ وَالسُّنَّةِ أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ بِذَاتِهِ ،
بَائِنٌ عَنْ خَلْقِهِ ، عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى فَوْقَ
السَّمَوَاتِ ، غَيْرُ مُمَاسٍّ لَهُ ، وَعِلْمُهُ مُحِيْطٌ
باِلأَشْيَاءِ كُلِّهَا
“Di sisi ahli hadis dan sunah, bahwasanya
Allah Subḥānahu dengan Zat-Nya terpisah dari makhluk-Nya, beristiwa
di atas ‘Arsy-Nya di atas langit, tanpa menyentuhnya, dan ilmu-Nya meliputi
segala sesuatu.”[29]
10. Ibn al-Salah al-Syafi‘i (wafat 643 H)
Beliau telah mengomentari kasidah tentang
sunah yang disandarkan kepada Abu al-Hasan al-Karkhi (wafat 532 H).
Kasidah tersebut di antaranya:
عَقِيْدَةُ
أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ فَقَدْ سَمَتْ *** بِأَرْبَابِ دِيْنِ اللهِ أَسْنَى
الْمَرَاتِبِ
عَقَائِدُهُمْ
أَنَّ الإِلَهَ بِذَاتِهِ *** عَلَى عَرْشِهِ مَعَ عِلْمِهِ بِالْغَوَائِبِ
Akidah ashabul-hadis telah membawa para
pemeluk agama ke derajat yang tinggi
Akidah mereka bahwasanya Allah dengan
Zat-Nya di atas ‘Arsy-Nya, disertai ilmu-Nya tentang perkara-perkara gaib
Ibn al-Salah mengomentari kasidah
tersebut dengan berkata:
هَذِهِ
عَقِيْدَةُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَأَصْحَابِ الْحَدِيْثِ
“Ini adalah akidah Ahlusunah dan aṣḥābul-ḥadīṡ.”[30]
11. Al-Imam al-Nawawi (631–676 H)
Al-Imam al-Nawawi termasuk ulama yang
menegaskan ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya, di antara buktinya[31]:
1) Beliau mengatakan dalam
kitabnya Juz’ fīhi Żikr I‘tiqād Salaf fi al-Hurus wa al-Aṣwāt[32]:
وَنُؤْمِنُ
بِأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا أَخْبَرَ فِي كِتَابِهِ وَلَا نَقُوْلُ هُوَ
فِيْ كُلِّ مَكَانٍ بَلْ هُوَ فِي السَّمَاءِ وَعِلْمُهُ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ
“Kami beriman bahwa Allah di atas
‘Arsy-Nya sebagaimana Allah kabarkan dalam Kitab-Nya yang mulia. Kami tidak
mengatakan bahwa Allah di setiap tempat, bahkan Allah di atas langit dan
ilmu-Nya di setiap tempat.”
Lalu beliau membawakan QS al-Mulk [67]:
16, Fāṭir [35]: 10, hadis budak wanita, lalu beliau mengatakan, “Demikian juga
dalil-dalil lainnya dalam Alquran dan hadis banyak sekali, kami mengimaninya
dan tidak menolaknya sedikit pun.”
2) Beliau menulis dan menyalin
kitab al-Ibānah karya al-Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari.[33]Dan sebagaimana sudah kami sebutkan di muka bahwa al-Imam
Abu al-Hasan al-Asy‘ari menegaskan dalam kitabnya tersebut tentang ketinggian
Allah.
3) Dalam kitab berjudul Ṭabaqāt
Fuqahā’ al-Syāfi‘iyyah karya Ibn al-Salah yang diringkas dan ditertibkan
oleh al-Imam al-Nawawi. Dalam biografi al-Khattabi, beliau sangat menghormati
dan mengagungkan al-Khattabi. Salah satunya beliau mengatakan tentang
al-Khattabi:
وَصَرَّحَ
بِأَنَّهُ فِي السَّمَاءِ
“Dan beliau (al-Khattabi) menegaskan
bahwa Allah di atas langit.”[34]
Perhatikanlah, al-Imam al-Nawawi menukil
ucapan di atas dengan menyetujuinya. Seandainya beliau tidak menerima ucapan
ini, niscaya beliau akan membuangnya atau mengkritiknya atau membantahnya!!
4) Al-Imam al-Nawawi mengatakan
dalam kitabnya Rauḍah al-Ṭālibīn 10/85—salah satu kitab fikih masyhur
dalam mazhab al-Syafi‘i:
لَوْ
قَالَ لَا إِلَهَ إلَّا اللهُ الْمَلِكُ الَّذِيْ فِي السَّمَاءِ أَوْ إِلَّا
مَلِكُ السَّمَاءِ كَانَ مُؤْمِنًا قَالَ اللهُ تَعَالَى ( أَأَمِنْتُمْ مَنْ
فِي السَّمَاءِ )
“Seandainya dia (orang kafir) mengatakan
‘tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah, Raja yang di atas langit atau
kecuali Raja langit’ maka dia beriman. Allah berfirman: ‘Apakah kamu merasa
aman terhadap Allah yang di langit.’ (QS al-Mulk [67]: 16).”
Inilah empat bukti bahwa al-Imam
al-Nawawi termasuk ulama yang menegaskan ketinggian Allah di atas langit.
12. Al-Imam
al-Zahabi (673–748 H)
Beliau berkata:
مَقَالَةُ
السَّلَفِ وَأَئِمَّةِ السُّنَّةِ بَلِ وَالصَّحَابَةِ وَاللهِ وَرَسُوْلِهِ
وَالْمُؤْمِنُوْنَ أَنَّ الله عزوجل فِي السَّمَاءِ وَأَنَّ اللهَ عَلَى الْعَرْشِ
وَأَنَّ اللهَ فَوْقَ سَمَاوَاتِهِ وَأَنَّه يَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا
.وَحُجَّتُهُمْ عَلَى ذَلِكَ النُّصُوْصُ وَالآثَارُ.
وَمَقَالَةُ
الْجَهْمِيَّةِ أَنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتعَالَى فِيْ جَمِيْعِ الأَمْكِنَةِ
تَعَالَى اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ بَلْ هُوَ مَعَنَا أَيْنَمَا كُنَّا بِعِلْمِهِ
وَمَقاَلُ
مُتَأَخِّرِيْ الْمُتَكَلِّمِيْنَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى لَيْسَ فِيْ السَّمَاءِ
وَلَا عَلَى الْعَرْشِ وَلَا عَلَى السَّمَوَاتِ وَلَا فِيْ الأَرْضِ وَلَا
دَاخِلَ الْعَالِمِ وَلَا خَارِجَ الْعَالَمِ وَلَا هُوَ بَائِنٌ عَنْ خَلْقِهِ
وَلَا مُتَّصِلٍ بِهِمْ.
“Ucapan para salaf dan imam-imam Sunah bahkan para sahabat,
Allah, Nabi, dan seluruh kaum mukmin bahwasanya Allah di atas langit dan di
atas ‘Arsy, dan bahwa Allah turun ke langit dunia. Hujah-hujah mereka adalah
hadis-hadis dan asar-asar yang banyak. Adapun perkataan Jahmiyyah (bahwa)
‘Allah Tabāraka wa Ta‘āla ada di seluruh tempat’, Maha Tinggi Allah
dari perkataan (rendahan) mereka itu. Namun, Allah bersama kita di mana saja
kita berada dengan ilmu-Nya. Dan perkataan ahli kalam kontemporer (bahwa)
‘Allah Ta‘āla tidak di langit, tidak di atas ‘Arsy, tidak di atas
langit-(Nya), tidak di bumi, tidak berada di dalam alam, tidak di luar alam,
tidak terpisah dari makhluk-Nya, dan tidak pula melekat dengannya’!”[35]
Demikianlah ketegasan para ulama mazhab
al-Syafi‘i. Dan ini pun baru sebagian saja, belum seluruhnya.
أُوْلَئِكَ
آبَائِيْ فَجِئْنِيْ
بِمِثْلِهِمْ إِذَا
جَمَعَتْنَا يَا جَرِيْرُ الْمَجَامِعُ
Merekalah orang tuaku, maka datangkanlah
padaku semisal mereka
Apabila perkumpulan mengumpulkan kita,
wahai Jarir.[36]
Lantas, siapakah panutan orang-orang yang
berpaham “Allah di mana-mana”?! Sesungguhnya mereka telah mengikuti kaum
Jahmiyyah, Mu‘tazilah, dan ahli kalam. Semoga Allah memberikan hidayah kepada
semuanya ke jalan yang benar. Āmīn.
Disusun oleh Utadz Abu Ubaidah Yusuf bin
Mukhtar as-Sidawi
[1] Majmū‘
Fatāwa 1/121, Bayān Talbīs Jahmiyyah 1/155
[2] Syarḥ ‘Aqīdah al-Ṭaḥawiyyah hlm.
386
[3] Sebagaimana dipaparkan oleh
al-Imam al-Zahabi dalam al-‘Uluww li al-‘Aliyy al-‘Aẓīmdan Ibn al-Qayyim
dalam Ijtimā‘ Juyūsy al-Islāmiyyah. Lihat pula tulisan bagus “101
Perkataan Ulama Salaf Tentang Allah di atas Arsy” di
<http://gizanherbal.wordpress.com/2011/06/12/101-perkataan-ulama-salaf-tentang-allah-di-atas-arsy-seri-allah-di-atas-arsy/>.
[4] Al-Risālah al-Tabukiyyah hlm.
27 karya Ibn al-Qayyim
Faedah: Syair ini termasuk di antara syair-syair yang tidak diketahui
siapa pengucapnya.
[5] Penulis mengambil manfaat sebagian
nukilan ucapan ulama salaf ini dari artikel “Aqidah Salafi Shalih fil Uluw wal
Istiwa” dari <http://as-salaf.com> dan <http://www.firanda.com>.
[6] Al-Asmā’ wa al-Ṣifāt 1/517
[7] Fatḥ al-Bāri 13/407
[8] Seperti dalam
kitabnya al-Umm 5/280 dan al-Risālah: 7–8.
[9] Dalam sanad al-Imam Malik tertulis
“‘Umar ibn Hakam” sebagai ganti dari “Mu‘awiyah ibn Hakam”. Para ulama menilai
bahwa hal ini merupakan kesalahan al-Imam Malik. Al-Imam al-Syafi‘i
berkata—setelah meriwayatkan hadis ini dari al-Imam Malik—, “Yang benar adalah
Mu‘awiyah ibn Hakam sebagaimana diriwayatkan selain Malik, dan saya menduga
bahwa Malik tidak hafal namanya.” (al-Risālah hlm. 7–8)
[10] Hadis ini sahih. Diriwayatkan oleh al-Imam
al-Bukhari dalam Juz’ al-Qirā’ah hlm. 70, Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya:
537, Ahmad 5/448, Malik dalam al-Muwaṭṭa’ 2/772, al-Syafi‘i
dalam al-Risālah no. 242, dll. Lihat takhrij secara luas tentang
hadis ini, komentar ulama ahli hadis tentangnya, dan pembelaan ulama
terhadapnya dalam buku kami Membela Hadits Nabi. Perlu saya tambahkan di
sini, bahwa di antara ahli bidah yang menghujat hadis ini adalah Muh. Idrus
Ramli yang tanpa malu mengatakan bahwa hadis ini
adalah mudtarib (simpang siur), lemah, dan tidak bisa dijadikan hujah
sebagaimana dalam <http://www.idrusramli.com/2013>. Sungguh—jika dia
menyadarinya—ini penghujatan terhadap hadis dan para imam ahli hadis!!
[11] Al-Imam ‘Abdul-Gani
al-Maqdisi Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Siapakah yang lebih jahil
dan rusak akalnya serta tersesat jalannya melebihi seorang yang mengatakan
bahwa tidak boleh bertanya ‘di mana Allah’ setelah ketegasan Rasulullah n\ yang
bertanya ‘di mana Allah’?!” (al-Iqtiṣād fi al-I‘tiqād hlm. 89
dan Tadzkirah al-Mu‘tasi hlm. 89–90 syarah Dr. ‘Abdurrazzaq al-Badr)
[12] Al-‘Uluww li al-‘Aliyy al-‘Aẓīm (hlm.
81—Mukhtaṣar al-Albani—)
[13] Adab al-Syāfi‘i wa Manāqibuhu hlm. 93
karya Ibn Abi Hatim, I‘tiqād al-Imām al-Syāfi‘ino. 4 karya al-Hakari. Dan
dinukil oleh Ibn Qudamah dalam Iṡbāt Ṣifat al-‘Uluww hlm. 123, Ibn
al-Qayyim dalam Ijtimā‘ Juyūsy al-Islāmiyyah hlm. 164, al-Zahabi
sebagaimana dalam Mukhtaṣar al-‘Uluww hlm. 176, dan al-Suyuti
dalam al-Amr bi al-Ittibā‘ hlm. 313.
[14] ‘Aqīdah al-Imām Nāṣir al-Ḥadīṡ wa al-Sunnah
Muḥammad ibn Idrīs al-Syāfi‘i hlm. 89–91
[15] Semoga Allah merahmati al-Imam Abu Muẓaffar
al-Sam‘ani ketika mengatakan, “Tidak pantas bagi seorang untuk membela mazhab
al-Syafi‘i dalam masalah fikih tetapi tidak mengikutinya dalam masalah usul
(pokok-pokok akidah).” (al-Intiṣar li Aṣḥāb al-Ḥadīṡ hlm. 9)
[16] Syarḥ al-Sunnah li al-Muzanni hlm. 79
no. 1 (tahqiq: Jamal ‘Azzun)
[17] Ibid. hlm. 82
[18] Naqḍ Abi Sa‘īd ‘ala al-Mirisi al-Jahmi
al-‘Anīd 1/228
[19] Kitāb al-Tauḥīd 1/273
[20] Al-Ibānah fi Uṣūl Diyānah hlm. 17
[21] Ibid. hlm. 26
[22] Risālah ila Ahl al-Ṡagr karya Abu
al-Hasan al-Asy‘ari hlm. 231–234 (tahqiq: ‘Abdullah ibn Syakir al-Junaidi)
[23] Semoga Allah merahmati al-Hafiz Abu al-‘Abbas
al-Tarqi tatkala berkata, “Saya melihat kaum Jahmiyyah yang meniadakan ‘Arsy
dan menakwilkan istiwa, mereka menisbahkan diri kepada Abu al-Hasan al-Asy‘ari.
Ini bukanlah awal kebatilan dan kedustaan yang mereka lakukan.” (Risālah fi
Żabb ‘an Abil-Ḥasan al-Asy‘ari karya Ibn Dirbas hlm. 111–112)
[24] Ibn Salah dalam Ṭabaqāt Fuqahā’
al-Syāfi‘iyyah ketika menyebutkan biografi al-Khattabi menyebutkan bahwa
salah satu karya tulisnya adalah kitab Syi‘ar Dīn. Beliau menempuh
penjelasan berdasarkan dalil tanpa mengikuti cara ahli kalam, sampai beliau
mengatakan, “Dan beliau menegaskan dalam kitab tersebut bahwa Allah di atas
langit.” Demikianlah al-Imam Ibn Salah menukil dan tidak mengkritiknya sebagai
tanda persetujuannya.
[25] Dinukil Ibn al-Qayyim dalam Taḥżīb
al-Sunan 13/35–36 dan sebagiannya dinukil oleh al-Qurtubi
dalam al-Asna fi Syarḥ Asmā’illāhi al-Husna hlm. 170.
[26] Syarḥ Uṣūl al-I‘tiqād karya al-Lalika’i
hlm. 387–388
[27] ‘Aqīdah al-Salaf Aṣḥāb al- Ḥadīṡ hlm.
176
[28] Al-Ḥujjah bi Bayān al-Maḥajjah 2/83
[29] Al-Intiṣār fi al-Radd ‘ala al-Qadariyyah
al-Asyrār 2/607
[30] Kitāb al-‘Arsy karya al-Zahabi 2/342
[31] Dinukil dari al-Dalā’il al-Wafiyyah fi
Taḥqīq ‘Aqīdah al-Imām al-Nawawi al-Salafiyyah Am Khalafiyyah hlm. 42–47
karya Syaikhuna Masyhur ibn Hasan Salman.
[32] Demi inṣāf dan keadilan, kami
katakan bahwa kitab ini masih diragukan oleh sebagian ulama dan peneliti akan
keabsahannya sebagai buah karya al-Imam al-Nawawi. (Yusuf Abu Ubaidah)
[33] Lihat Majmū‘ Fatāwa Ibn
Taimiyyah 3/224, dan al-‘Uluww 2/1248 karya al-Zahabi.
[34] Taḥżīb Ṭabaqāt Fuqahā’
al-Syāfi‘iyyah 1/470
[35] Al-‘Uluww hlm. 143
[36] Diwān Farazdaq 1/418, dan al-Īḍāḥ
fi ‘Ulūm Balagah karya al-Khatib al-Qazwini 1/46
Ajaran-Ajaran Madzhab Syafi’i Yang Dilanggar
Oleh Sebagian Pengikutnya 5 – Keyakinan Bahwa Allah Di Atas Langit
https://firanda.com/855-ajaran-ajaran-madzhab-syafi-i-yang-dilanggar-oleh-sebagian-pengikutnya-5-keyakinan-bahwa-allah-di-atas-langit.html
https://firanda.com/855-ajaran-ajaran-madzhab-syafi-i-yang-dilanggar-oleh-sebagian-pengikutnya-5-keyakinan-bahwa-allah-di-atas-langit.html
Aqidah Asyaa’irah = Syi’ah Rafidhah Dalam
Masalah Dimana Allah (Isu Allah Tanpa Bertempat), Pendustaan Terhadap Ali Bin Abi
Thalib Radhiallahu ‘Anhu
Hujjah Allah Wujud Tanpa Bertempat
Sesungguhnya telah tersebar dalam masyarakat kita suatu kata-kata yang dinisbahkan kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengenai Allah wujud tanpa berempat.
Kata Mereka:
Imam Ali radhiallahu ‘anhu berkata:
كان ولا مكان، وهو الان على كان.
“Adalah Allah, tiada tempat bagi-Nya, dan Dia sekarang tetap seperti semula.”
Beliau juga berkata:
إن الله تعالى خلق العرش إظهارًا لقدرته لا مكانا لذاته.
”Sesungguhnya Allah – Maha Tinggi- menciptakan Arsy untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan sebagai tempat untuk Zat-Nya.”[ Al Farqu baina al Firaq:333]
Beliau juga berkata:
من زعم أن إلهنا محدود فقد جهل الخالق المعبود.
”Sesiapa menganggap bahawa Tuhan kita terbatas (mahdûd) maka ia telah jahil (tidak mengenal) Tuhan Sang Pencipta.”[ Hilyatul Awliyâ’; Abu Nu’aim al Isfahani,1/73, ketika menyebut sejarah Ali ibn Abi Thalib ra.]
Kita Jawab:
Ini merupakan pendustaan terhadap Ali Bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Hal ini dapat dilihat dari beberapa sudut:
Pertama:
Sesungguhnya athar ini dibawakan oleh orang-orang Syi’ah Rafidhah dalam buku-buku mereka tanpa ada sanad sama sekali. Antaranya dalam kitab mereka Al-Kaafi (karya Al-Kulaini). Al-Kulaini berkata:
وَ رُوِيَ أَنَّهُ سُئِلَ ( عليه السلام ) أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ سَمَاءً وَ أَرْضاً فَقَالَ ( عليه السلام ) أَيْنَ سُؤَالٌ عَنْ مَكَانٍ وَ كَانَ اللَّهُ وَ لَا مَكَانَ
Dan diriwayatkan bahawasanya Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salam ditanya : Dimanakah Rabb kami sebelum menciptakan langit dan bumi?, maka Ali bin Abi Thalib ‘alaihis salaam berkata, “Mana pertanyaan tentang tempat?! padahal Allah dahulu tanpa ada tempat (Al-Kaafi 1/90 dalam بَابُ الْكَوْنِ وَ الْمَكَانِ)
Ternyata memang aqidah orang-orang Asyaa’irah adalah sama dengan aqidah orang-orang Syi’ah Rafidhah dalam masalah dimana Allah.
Kerana memang orang-orang Rafidhah beraqidah mu’tazilah, dan Asya’irah dalam masalah dimana Allah sepakat dengan Mu’tazilah (padahal Mu’tazilah adalah musuh Asya’irah)
Athar ini dibawakan oleh Al-Kulaini dengan tanpa sanad, bahkan dengan sighah “Diriwayatkan” yang menunjukan lemahnya riwayat ini.
Kedua :
Demikian juga yang dinukil dari kitab Al-Farqu bainal Firoq karya Abdul Qahir Al-Baghdadi adalah riwayat tanpa sanad sama sekali.
Abdul Qahir Al-Baghdadi berkata :
“Mereka telah bersepakat bahawasanya Allah tidak diliputi tempat dan tidak berlaku waktu baginya, berbeza dengan perkataan orang-orang yang menyangka bahawasanya Allah menyetuh ‘Arsy-Nya dari kalangan Hasyimiyyah dan Karraamiyyah. Amiirul Mukminin Ali –radhiallahu ‘anhu- berkata : Sesungguhnya Allah telah menciptakan Al-‘Arsy untuk menunjukan kekuasaan-Nya dan bukan untuk sebagai tempat yang meliputi zat-Nya. Beliau berkata juga : Allah dahulu (sendirian) tanpa ada tempat, dan Allah sekarang sebagaimana Dia dulu” (Al-Farqu baynal Firaq hal 33)
Para pembaca yang budiman, ternyata riwayat-riwayat dari Ali bin Abi Thalib yang dibawakan oleh Abdul Qahir Al-baghdadi tanpa ada sanad sama sekali. Dan hal ini tentunya diketahui oleh Asyairah, akan tetapi mereka tetap saja menampilkan riwayat-riwayat dusta dan tanpa sanad ini demi untuk mendukung aqidah mereka yang bathil.
Ketiga :
Selain riwayat-riwayat tersebut tanpa sanad ternyata Abdul Qahir Al-Baghdadi sama sekali tidak dikenal sebagai seorang Muhaddith, namun demikianlah Asyairah tetap sahaja nekat mengambil riwayat dari orang yang tidak dikenali sebagai Muhaddith.
Keempat :
Abdul Qahir Al-Baghadadi tentunya lebih rendah kedudukannya daripada kedudukan gurunya iaitu Abul Hasan Al-‘Asy’ari.
Kelima :
Kalau seandainya riwayat-riwayat di atas sahih maka tidak menunjukan bahawasanya Ali bin Abi Thalib mengingkari adanya Allah di atas langit. Paling tidak, dalam riwayat-riwayat di atas baginda –radhialllahu ‘anhu- hanyalah mengingkari bahawasanya Allah diliputi oleh tempat, dan pernyataan tersebut adalah pernyataan yang benar.
IKTIQAD KITA AHLUS SUNNAH:
Ahlus sunnah tidak mengatakan bahawa Allah berada di suatu tempat yang meliputi Allah, akan tetapi mengatakan bahawasanya Allah berada di atas, iaitu di arah atas.
Wallahu a’lam.
Disunting dari kajian Ustaz Firanda Andirja oleh Nasiruddin Abdul Aziz.
“Mereka telah bersepakat bahawasanya Allah tidak diliputi tempat dan tidak berlaku waktu baginya, berbeza dengan perkataan orang-orang yang menyangka bahawasanya Allah menyetuh ‘Arsy-Nya dari kalangan Hasyimiyyah dan Karraamiyyah. Amiirul Mukminin Ali –radhiallahu ‘anhu- berkata : Sesungguhnya Allah telah menciptakan Al-‘Arsy untuk menunjukan kekuasaan-Nya dan bukan untuk sebagai tempat yang meliputi zat-Nya. Beliau berkata juga : Allah dahulu (sendirian) tanpa ada tempat, dan Allah sekarang sebagaimana Dia dulu” (Al-Farqu baynal Firaq hal 33)
Para pembaca yang budiman, ternyata riwayat-riwayat dari Ali bin Abi Thalib yang dibawakan oleh Abdul Qahir Al-baghdadi tanpa ada sanad sama sekali. Dan hal ini tentunya diketahui oleh Asyairah, akan tetapi mereka tetap saja menampilkan riwayat-riwayat dusta dan tanpa sanad ini demi untuk mendukung aqidah mereka yang bathil.
Ketiga :
Selain riwayat-riwayat tersebut tanpa sanad ternyata Abdul Qahir Al-Baghdadi sama sekali tidak dikenal sebagai seorang Muhaddith, namun demikianlah Asyairah tetap sahaja nekat mengambil riwayat dari orang yang tidak dikenali sebagai Muhaddith.
Keempat :
Abdul Qahir Al-Baghadadi tentunya lebih rendah kedudukannya daripada kedudukan gurunya iaitu Abul Hasan Al-‘Asy’ari.
Kelima :
Kalau seandainya riwayat-riwayat di atas sahih maka tidak menunjukan bahawasanya Ali bin Abi Thalib mengingkari adanya Allah di atas langit. Paling tidak, dalam riwayat-riwayat di atas baginda –radhialllahu ‘anhu- hanyalah mengingkari bahawasanya Allah diliputi oleh tempat, dan pernyataan tersebut adalah pernyataan yang benar.
IKTIQAD KITA AHLUS SUNNAH:
Ahlus sunnah tidak mengatakan bahawa Allah berada di suatu tempat yang meliputi Allah, akan tetapi mengatakan bahawasanya Allah berada di atas, iaitu di arah atas.
Wallahu a’lam.
Disunting dari kajian Ustaz Firanda Andirja oleh Nasiruddin Abdul Aziz.
Benarkah Al Bukhari telah mentakwil sifat
wajah dengan kerajaan, dan sifat tertawa dengan rahmat?
Alhamdulillah, pertama terkait sifat
tertawa; Tidak diketahui satu pun nas/redaksi yang bisa dipertanggung jawabkan
bahwa Al Bukhari telah mentakwil sifat ini (tertawa) dengan rahmat. Namun
beberapa ulama menisbatkan takwilan ini kepada Al Bukhari, seperti;
1- Al Khattabi dalam “A’laamul
Hadits fi Syarhi Shahih Al Bukhari” (3/1921). Ia berkata;
“Ad-Dhahk (tertawa) artinya rahmat,” selesai.
2- Al Baihaqi dalam “Al Asma’
was-Shifaat” (2/72). Ia berkata; “Al Firabri meriwayatkan dari Muhammad
bin Ismail Al Bukhari rahimahullah, ia
berkata; “Ad-Dhahk (tertawa) disini artinya rahmat.” selesai. Dan Al
Baihaqi sepertinya mengambil riwayat ini dari Al Khattabi, karena seperti
biasanya Al Baihaqi menukil darinya. Tapi penisbatan ini kepada Al Bukhari
diragukan. Karena Al Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah yang dikenal
memiliki penelitian yang luas terhadap naskah-naskah Shahih Al Bukhari menafikan
adanya redaksi ini pada naskah-naskah yang ia teliti. Ia berkata; “Al Khattabi
berkata, “Abu Abdillah (Al Bukhari) berkata; “Ad-Dhahk disini
artinya; rahmat.” Saya katakana (Ibnu Hajar); Saya tidak pernah mendapati
(redaksi ini) pada naskah-naskah Shahih Al Bukhari yang ada pada saya.” Selesai
dari “Fathul Bari” (8/632)
Kesimpulannya, terkait takwil yang
dinisbatkan kepada Al Imam Al Bukhari ini kami tidak bisa memastikan. Karena
naskah-naskah Shahih Al Bukhari yang sampai kepada kami dan terpercaya tidak
didapati tafsiran seperti ini. Wallahua’lam.
Kedua; Sifat wajah.
Al Imam Al
Bukhari rahimahullah berkata; “Segala sesuatu binasa kecuali
wajah-Nya.” (Qs. Al Qashash; 88); kecuali kerajaan-Nya. Dan ada yang
mengatakan; kecuali apa yang diharapkan dengannya wajah Allah.” Selesai
dari “Fathul Bari” (8/505)
Disini ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan;
Al Hafidz Ibnu
Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa pada riwayat An-Nasafi
terhadap Shahih Al Bukhari terdapat lafal: “kecuali kerajaan-Nya”
yang dinisbatkan kepada Abu Ubaidah Ma’mar bin Al Mutsanna. Al Hafidz Ibnu
Hajar rahimahullah berkata; “Perkataan “kecuali wajah-Nya” : kecuali
kerajaannya, ada pada riwayat An-Nasafi. Ma’mar berkata;…(seperti telah
disebutkan). Dan Ma’mar adalah Abu Ubaidah, Ibnul Mutsanna. Dan ini adalah
perkataannya dalam kitab-Nya Majaz Al Qur’an namun dengan lafal:
“kecuali Dia”. Selesai dari Fathul Bari (8/505)
Maka berdasarkan keterangan ini ada
kemungkinan Al Bukhari menyebutkan tafsiran ini yakni dia menguatkannya, atau
sebatas menghikayatkannya sebagai salah satu tafsiran yang ada tanpa
menguatkannya diantara tafsiran-tafsiran yang ada terhadap ayat tersebut.
Kemudian sesungguhnya tafsir ini (kecuali
kerajaan-Nya) mustahil yang dimaksud dengan kerajaan Allah disini;
ciptaan-ciptaan-Nya. Karena hal ini jelas batil bagi setiap muslim. Karena
Allah telah menjelaskan secara nash bahwa ciptaan-ciptaan-Nya akan binasa.
Sehingga tinggal dikatakan bahwa maksud kerajaan disini adalah sifat Al
Mulk yang ada pada Allah Ta’aala. Namun disini masih tersisa
pertanyaan, yaitu; kenapa hanya sifat Al Mulk saja yang disebutkan
diantara sifat-sifat Allah lainnya?
Jawaban yang paling mungkin diberikan
adalah kita katakan; Bahwa sebagian besar surat Al Qashash berbicara tentang
kisah dua orang yang sombong lagi kufur karena kerajaan-Nya, yaitu: Fir’aun dan
Qarun. Pada awal kisah Fir’aun Allah berfirman;
إِنَّفِرْعَوْنَعَلَافِيالْأَرْضِوَجَعَلَأَهْلَهَاشِيَعًايَسْتَضْعِفُطَائِفَةًمِّنْهُمْيُذَبِّحُأَبْنَاءَهُمْوَيَسْتَحْيِينِسَاءَهُمْإِنَّهُكَانَمِنَالْمُفْسِدِينَ
“Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat
sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan
menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan
membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.Sesungguhnya Fir’aun termasuk
orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. 28:4)
Dan diawal kisah Qarun Allah berfirman;
إِنَّ قَارُونَ كَانَ مِن قَوْمِ مُوسَى فَبَغَى
عَلَيْهِمْ وَآتَيْنَاهُ مِنَ الْكُنُوزِ مَا إِنَّ مَفَاتِحَهُ لَتَنُوءُ
بِالْعُصْبَةِ أُولِي الْقُوَّةِ إِذْ قَالَ لَهُ قَوْمُهُ لَا تَفْرَحْ إِنَّ
اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْفَرِحِينَ
“Sesungguhnya Karun adalah termasuk kaum
Musa, maka ia berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan
kepadanya perbendaharaaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh
sejumlah orang yang kuat-kuat.(Ingatlah) ketika kaumnya berkata
kepadanya:”Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang terlalu membanggakan diri”. (QS. 28:76)
Dan diantara kedua kisah ini Allah
berfirman;
وَكَمْ أَهْلَكْنَا مِن قَرْيَةٍ بَطِرَتْ
مَعِيشَتَهَا فَتِلْكَ مَسَاكِنُهُمْ لَمْ تُسْكَن مِّن بَعْدِهِمْ إِلَّا
قَلِيلًا وَكُنَّا نَحْنُ الْوَارِثِينَ
“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri
yang telah kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya; maka
itulah tempat kediaman mereka yang tiada didiami (lagi) sesudah mereka, kecuali
sebagian kecil.Dan Kami adalah pewarisnya.” (QS. 28:58)
Maka sangat sesuai jika dikatakan;
Sesungguhnya semua raja dan apa yang dimiliki olehnya akan binasa dan hilang
sifat kerajaan darinya dan yang tetap ada hanya sifat Al
Mulk (kerajaan) Allah Ta’aala. Karena Dialah Raja yang
sesungguhnya. Oleh karena itu Allah berfirman;
يَوْمَ هُم بَارِزُونَ لَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ
مِنْهُمْ شَيْءٌ لِّمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
“(yaitu) hari (ketika) mereka keluar
(dari kubur), tiada suatupun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi
Allah.(Lalu Allah berfirman):”Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini”
Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.“ (QS. 40:16)
Maka tafsiran ini (kecuali kerajaan-Nya)
bukan maksud darinya menafikan sifat wajah (bagi Allah), melainkan ini
merupakan tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an. Yaitu penafsirat terhadap satu
lafal dengan sebagian sifat dan makna yang berhubungan dengannya yang sesuai
dengan alur surat. Karena tetap adanya wajah (bagi Allah) berarti kekalnya
Allah Ta’aala dan sifat-sifat-Nya. Dan diantara sifat-sifat tersebut
adalah sifat kerajaan-Nya.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata;
“Diantara kebiasaan salaf dalam
penafsiran, mereka menyebutkan sebagian sifat-sifat Allah dari nama-nama atau
sebagian jenisnya. Dan ini tidak bertentangan dengan sifat-sifat Allah lainnya,
bahkan keduanya saling berkaitan…” Majmu’ Fatawa (6/390)
Maka selagi masih terdapat pertanyaandan
kekaburan disini, apakah tafsiran ini milik Al Bukhari atau Ma’mar, kenapa Al
Bukhari memilih lafal “kecuali kerajaan-Nya”?
Untuk menjawab pertanyaan ini marilah
kita perhatikan kebiasaan Al Bukhari dan mazhabnya dalam berhadapan dengan
nas-nas sifat. Dan kita lihat juga kepada sikap Al Bukhari terhadap ayat ini
pada tempat lain. Karena ucapan seorang alim yang global dan menyisakan
pertanyaan bisa diperjelas maksudnya dengan melihat kepada kebiasaan alim
tersebut dan mazhabnya.
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata:
فإنه يجب أن يفسر كلام المتكلم بعضه ببعض ويؤخذ
كلامه هاهنا وهاهنا ، وتعرف ما عادته [ وما ] يعنيه ويريده بذلك اللفظ إذا تكلم به
، وتعرف المعاني التي عرف أنه أرادها في موضع آخر ، فإذا عرف عرفه وعادته في
معانيه وألفاظه ، كان هذا مما يستعان به على معرفة مراد
وأما إذا استعمل لفظه في معنى لم تجر عادته
باستعماله فيه ، وترك استعماله في المعنى الذي جرت عادته باستعماله فيه ، وحمل
كلامه على خلاف المعنى الذي قد عرف أنه يريده بذلك اللفظ بجعل كلامه متناقضا ،
وترك حمله على ما يناسب سائر كلامه ، كان ذلك تحريفا لكلامه عن موضعه ، وتبديلا
لمقاصده وكذبا عليه.
“Wajib menafsirkan ucapan si empunya
perkataan dengan ucapannya yang lain. Dan mempertemukan ucapannya yang disini
dan disana, sehingga dikenallah kebiasaannya dan apa yang dia maukan
dalam penggunaan makna-makna dan lafal-lafal. Metode ini sangat membantu dalam
mengetahui maksud si empunya ucapan. Adapun jika lafalnya dibawa kepada makna
diluar kebiasaan si empunya ucapan saat menggunakannya dan meninggalkan perlakuannya
terhadap makna sesuai kebiasaannya, dan membawa ucapannya keluar dari kebiasaan
yang dikenal saat dia menggunakannya, dan menjadikan ucapannya saling
bertabrakan dan bukan mempertemukannya, maka yang demikian ini
adalah tahrif / penyelewengan terhadap ucapan dia dari tempat yang
seharusnya dan termasuk bentuk merubah maksud dan berdusta atas namanya.
–selesai dari “Al Jawab Ash-Shahih” (4/44)
Ibnul
Qayyim rahimahullah berkata;
والكلمة الواحدة يقولها اثنان ، يريد بها أحدهما
: أعظم الباطل ، ويريد بها الآخر : محض الحق . والاعتبار بطريقة القائل وسيرته
ومذهبه ، وما يدعو إليه ويناظر عليه
“Sebuah kata diucapkan oleh dua orang.
Salah satunya menginginkan dari kata itu; kebatilah yang paling besar.
Sedangkan yang kedua maksudnya adalah; kebenaran yang murni. Maka yang menjadi
pedoman adalah metode si empunya ucapan, kebiasaan dan mazhabnya. Begitu pula
dakwah dan pembelaannya.” Selesai dari “Madarij As-Salikin” (5/3954)
Dan (dalam perkara ini) Al Bukhari
terkenal metodenya, bahwa beliau menetapkan sifat-sifat Allah Ta’aala dan
diantaranya sifat wajah. Karena dalam kitab tauhid dari Shahihnya beliau
memberlakukan ayat ini sesuai lahirnya dan tidak mentakwilnya.
Beliau berkata; Bab firman
Allah Ta’aala
( كُلُّ
شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ )
((Segala sesuatu binasa kecuali
wajah-Nya)) QS. Al Qashash: 88.
Telah bercerita kepada kami Qutaibah bin
Sa’id, (ia berkata); bercerita kepada kami Hammad bin Zaid, dari ‘Amr, dari
Jabir bin Abdillah, ia berkata: Ketika ayat ini turun; ((Katakanlah Dia Maha
Mampu untuk mengirim kepada kalian azab dari atas kalian)) QS. Al An’am; 65
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata; Aku berlindung dengan
wajah-Mu. Allah berfirman; ((Atau dari bawah kaki kalian))
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata; Aku berlindung dengan
wajah-Mu. Allah berfirman; ((Atau menjadikan kalian berpecah belah))
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berkata; Ini lebih ringan. Selesai
dari “Fathul Bari” (13/388).
Asy-Syaikh Abdullah Al
Ghunaiman hafidzahullah berkata;
Adapun ucapan Al Bukhari: kecuali kerajaan-Nya.
Ini merupakan takwilan yang jauh (dari kebenaran). Takwilan ini bersebrangan
dengan sikapnya disini, dimana dia menyebutkan ayat kemudian dibawakan
setelahnya hadits dari Jabir. Dan padanya terdapat ucapan Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam; ((Aku berlindung dengan wajah-Mu). Maka ini jelas sekali
bahwa yang dimaukan adalah menetapkan wajah sebagai sifat bagi
Allah Ta’aala. Selesai dari “Syarh Kitab Tauhid min Shahih Al
Bukhari” (1/276)
Ketiga:
Termasuk kesalahan yang banyak terjadi,
baik dari pihak yang menetapkan sifat atau menafikannya bahwa apabila dia
meyakini tetapnya satu sifat dia menyangka bahwa setiap nash yang terdapat
padanya lafal dari sifat tersebut berarti seperti itu juga maknanya. Kemudian
berdalil dengan nash tersebut dalam menetapkan sifat itu. Dan pihak yang
menafikan kebalikannya. Apabila dia melihat pada ucapan seorang ahli ilmu
tafsiran terhadap satu nash, yang tidak menunjukkan penetapan terhadap sifat
dengan melalui nash itu, dia pun menyangka bahwa ada kaitan antara hal ini dengan
penafian sifat. Lalu dia berdalil dengan penafsiran itu bahwa si alim dari
generasi salaf ini telah menafikan sifat tersebut. Atau ia berpindah kepada
klaim bahwa alim ini mentakwil semua sifat. Dan kedua sikap ini adalah
kekeliruan yang nyata dalam pendalilan. Karena bukan berarti tidak berlakunya
satu dalil berarti klaimnya hilang, dan bukan berarti takwil terhadap satu nash
berarti mentakwil nash seluruhnya, bahkan hal ini bukan juga berarti penafian
terhadap sifat tertentu.
Sumber: http://islamqa.info/ar/226876
Isra Miraj: Sesatkah Aqidah Jika Percaya Allah
Bersemayam Di Arsy? Ini Kata Ustaz Abdul Somad. Sanggahan : Meyakini Selain Itu
Sesat Dan Bukan Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Sekali Lagi, Allah سبحانه
و تعالىٰ Bersemayam Di Atas 'Arsy (Bahasan Sangat
Lengkap), Selain Ini Bukan Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah !
Bantahan Terhadap Pendengki Murakkab Salafi Dan
KSA, KH Tengku Zulkarnain. Silahkan Bantah Tertulis Dan Ilmiyah Dengan Dalil
Yang Shahih Dan Sharih (No Youtube/Dirty Mouth).
Bahasan Pertama (Rangkuman), Aqidah Ahlus
Sunnah Wal Jamaah MenurutUlama Tiga Abad Pertama Hijriyah Dan Ulama
Al-Syafi‘Iyyah : Allah Di Atas Arsynya (Langit). Bandingkan Dengan Pendapat
Intelektual (Muharrif Dan Mukayyif) Aswaja Zon Jonggol (Mutiara Zuhud) Dan
Idrus Ramli.
Dakwah Bil Kitabah, Bukan Dominan Bil Lisan.
Dakwah Bil Youtube, Berpotensi Negatif Untuk Jadi Alat Provokasi. Rahasia
Produktivitas Menulis Para Ulama Salaf.
Dimanakah Allah Subhanahu Wa Ta'ala Menurut
Ustadz Abdul Somad, Lc. MA
http://lamurkha.blogspot.com/2017/12/dimanakah-allah-subhanahu-wa-taala.html
Ajaran-Ajaran Madzhab Syafi’i Yang
Dilanggar Oleh Sebagian Pengikutnya 5 – Keyakinan Bahwa Allah Di Atas Langit
https://firanda.com/855-ajaran-ajaran-madzhab-syafi-i-yang-dilanggar-oleh-sebagian-pengikutnya-5-keyakinan-bahwa-allah-di-atas-langit.html
https://firanda.com/855-ajaran-ajaran-madzhab-syafi-i-yang-dilanggar-oleh-sebagian-pengikutnya-5-keyakinan-bahwa-allah-di-atas-langit.html
(Bantahan)
Mengungkap Tipu Muslihat Abu Salafy CS (bag 1) : Ternyata Tuhan Tidak Di Langit
! (DR. Firanda Andirja)
Beberapa
Catatan tentang Ijmaa’ Keberadaan Allah di Atas Langit (lihat
COMMENTS)
[Tulisan kali ini akan sedikit membahas
tanggapan seorang mukhaalif atas artikel yang ditulis Ustadz
Firanda hafidhahullah di : http://www.firanda.com/index.php/artikel/31-bantahan/76-mengungkap-tipu-muslihat-abu-salafy-cs.]
(Bagian 1) Mengimani Sifat-sifat Allah :
Bingung Tentang (Keberadaan) Rabbnya ?
(Bagian 5) Mengimani Sifat-sifat Allah :
" Keberadaan Allah" Menurut Ustadz KH Muhammad Idrus Ramli
(Intelektual Aswaja)
http://lamurkha.blogspot.com/2015/07/bagian-4-mengimani-sifat-sifat-allah_22.html
Ulama Aceh Dan Ulama Nusantara Masa Lalu,
Beriman Allah Bersemayam Di Atas ‘Arsy.
https://lamurkha.blogspot.com/2019/06/ulama-aceh-dan-ulama-nusantara-masa.html
Ulama al-Syafi‘iyyah Menegaskan Allah di
Atas ‘Arsy
http://lamurkha.blogspot.com/2015/03/ulama-al-syafiiyyah-menegaskan-allah-di.html?m=0
Ustadz Abdul Shomad, Imam Bukhari Mentakwil ? Jika Tak Ditakwil, Allah Seperti Angry Bird ?!
2000 Dalil yang Meyatakan Allah ﷻ di Atas - Ustadz Dr Firanda Andirja, MA
Apakah Allah bertempat? - Ust. Firanda Andirja
Allah Diatas Arsy, Apakah Allah Butuh dengan Arsy? - Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc, MA
Allah Itu Diatas Bukan Dimana-mana,yang Dimaksud dimana-mana Adalah Ilmunya.Ustadz Firanda Andirja.
Bantahan Orang Mengatakan Allah Ada Dimana-mana - Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A
Bathilnya Aqidah "Allah Ada Dimana-mana" - Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sunusi
https://youtu.be/0T_CX4umgRc
Ustadz Dzulqarnain bin muhammad sunusi -
Benarkah Allah tidak diatas arsy dan suci dari 6 Arah ?
https://youtu.be/D9J8PHFjhIM
Penyebab Mereka Menolak Istiwa Allah - Ustadz Dr. Firanda Andirja, Lc, MA
Perbedaan antara AL ISTIWA & AL 'ULU dan Pengingkaran Allah ada dimana-mana
https://youtu.be/zOlS2JaFLXo
Benarkah Imam Bukhari Menakwil Sifat
Allah?
Benarkah Imam An-Nawawi Menakwil Sifat
Allah?