1.
Hukum Celana Di Bawah
Mata Kaki
Mungkin sebagian orang sering menemukan di sekitarnya orang-orang yang
celananya di atas mata kaki (cingkrang). Bahkan ada yang mencemoohnya dengan
menggelarinya sebagai ‘celana kebanjiran’. Pembahasan kali ini –insya Allah-
akan sedikit membahas mengenai cara berpakaian seperti ini apakah memang
pakaian ini merupakan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau
bukan.
Penampilan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan Celana Setengah Betis
Perlu diketahui bahwasanya celana di atas
mata kaki adalah sunnah dan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal
ini dikhususkan bagi laki-laki, sedangkan wanita diperintahkan untuk menutup
telapak kakinya. Kita dapat melihat bahwa pakaian Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam selalu berada di atas mata kaki sebagaimana dalam keseharian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Al Asy’ats bin Sulaim, ia berkata :
سَمِعْتُ
عَمَّتِي ، تُحَدِّثُ عَنْ عَمِّهَا قَالَ : بَيْنَا أَنَا أَمْشِي بِالمَدِيْنَةِ
، إِذَا إِنْسَانٌ خَلْفِي يَقُوْلُ : « اِرْفَعْ إِزَارَكَ ، فَإِنَّهُ
أَنْقَى» فَإِذَا هُوَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ :
يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّمَا هِيَ بُرْدَةٌ مَلْحَاءُ) قَالَ : « أَمَّا
لَكَ فِيَّ أُسْوَةٌ ؟ » فَنَظَرْتُ فَإِذَا إِزَارَهُ إِلَى نِصْفِ
سَاقَيْهِ
Saya pernah mendengar bibi saya
menceritakan dari pamannya yang berkata, “Ketika saya sedang berjalan di kota
Al Madinah, tiba-tiba seorang laki-laki di belakangku berkata, ’Angkat kainmu,
karena itu akan lebih bersih.’ Ternyata orang yang berbicara itu adalah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku berkata,”Sesungguhnya
yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang bergaris-garis hitam dan
putih”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai
teladan?” Aku melihat kain sarung beliau, ternyata ujung bawahnya di
pertengahan kedua betisnya.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Muhammadiyyah,
hal. 69, Al Maktabah Al Islamiyyah Aman-Yordan. Beliau katakan hadits
ini shohih)
Dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang salah satu
atau kedua betisnya. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هَذَا
مَوْضِعُ الإِزَارِ فَإِنْ أَبِيْتَ فَأَسْفَلَ فَإِنْ أَبِيْتَ فَلاَ حَقَّ
لِلإِْزَارِ فِي الْكَعْبَيْنِ
“Di sinilah letak ujung kain. Kalau
engkau tidak suka, bisa lebih rendah lagi. Kalau tidak suka juga, boleh lebih
rendah lagi, akan tetapi tidak dibenarkan kain tersebut menutupi mata kaki.”
(Lihat Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, hal.70, Syaikh Al Albani
berkata bahwa hadits ini shohih)
Dari dua hadits ini terlihat bahwa celana
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada di atas mata kaki
sampai pertengahan betis. Boleh bagi seseorang menurunkan celananya, namun
dengan syarat tidak sampai menutupi mata kaki. Ingatlah, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah sebagai teladan terbaik bagi kita dan bukanlah
professor atau doctor atau seorang master yang dijadikan teladan.
Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ
كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
(QS. Al Ahzab [60] : 21)
Menjulurkan
Celana Hingga Di Bawah Mata Kaki
Perhatikanlah hadits-hadits yang kami
bawakan berikut ini yang sengaja kami bagi menjadi dua bagian. Hal ini
sebagaimana kami ikuti dari pembagian Syaikh Muhammad bin Sholih Al
Utsaimin rahimahullah dalam kitab beliau Syarhul
Mumthi’ pada Bab Satrul ‘Awrot.
Pertama:
Menjulurkan celana di bawah mata kaki dengan sombong
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ
“Allah tidak akan melihat kepada orang
yang menyeret pakaianya dalam keadaan sombong.” (HR. Muslim no. 5574).
Dari Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma juga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
الَّذِى يَجُرُّ ثِيَابَهُ مِنَ الْخُيَلاَءِ لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Sesungguhnya orang yang menyeret
pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (HR.
Muslim no. 5576)
Masih banyak lafazh yang serupa dengan
dua hadits di atas dalam Shohih Muslim.
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثَةٌ
لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ
يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Ada tiga orang yang tidak diajak bicara
oleh Allah pada hari kiamat nanti, tidak dipandang, dan tidak disucikan serta
bagi mereka siksaan yang pedih.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menyebut tiga kali perkataan ini. Lalu Abu Dzar berkata,
خَابُوا
وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ
“Mereka sangat celaka dan merugi. Siapa
mereka, Ya Rasulullah?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab,
الْمُسْبِلُ
وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ
“Mereka adalah orang yang isbal, orang
yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya
dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim no. 306). Orang yang isbal (musbil) adalah
orang yang menjulurkan pakaian atau celananya di bawah mata kaki.
Kedua:
Menjulurkan celana di bawah mata kaki tanpa sombong
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا
أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ
“Kain yang berada di bawah mata kaki
itu berada di neraka.” (HR. Bukhari no. 5787)
Dari hadits-hadits di atas terdapat dua
bentuk menjulurkan celana dan masing-masing memiliki konsekuensi yang berbeda.
Kasus yang pertama -sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu Umar di atas- yaitu
menjulurkan celana di bawah mata kaki (isbal) dengan sombong. Hukuman untuk
kasus pertama ini sangat berat yaitu Allah tidak akan berbicara dengannya, juga
tidak akan melihatnya dan tidak akan disucikan serta baginya azab (siksaan)
yang pedih. Bentuk pertama ini termasuk dosa besar.
Kasus yang kedua adalah apabila seseorang
menjulurkan celananya tanpa sombong. Maka ini juga dikhawatirkan termasuk dosa
besar karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam perbuatan
semacam ini dengan neraka.
Perhatikan bahwasanya hukum di antara dua
kasus ini berbeda. Tidak bisa kita membawa hadits muthlaq dari Abu
Huroiroh pada kasus kedua ke hadits muqoyyad dari Ibnu Umar pada
kasus pertama karena hukum masing-masing berbeda. Bahkan ada sebuah hadits dari
Abu Sa’id Al Khudri yang menjelaskan dua kasus ini sekaligus dan membedakan
hukum masing-masing. Lihatlah hadits yang dimaksud sebagai berikut.
إِزْرَةُ
الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلاَ حَرَجَ – أَوْ لاَ جُنَاحَ – فِيمَا
بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ
فِى النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ
“Pakaian seorang muslim adalah hingga
setengah betis. Tidaklah mengapa jika diturunkan antara setengah betis dan dua
mata kaki. Jika pakaian tersebut berada di bawah mata kaki maka tempatnya di
neraka. Dan apabila pakaian itu diseret dalam keadaan sombong, Allah tidak akan
melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti).” (HR. Abu Daud no. 4095.
Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Al Jami’ Ash
Shogir, 921)
Jika kita perhatikan dalam hadits ini, terlihat
bahwa hukum untuk kasus pertama dan kedua berbeda.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa jika
menjulurkan celana tanpa sombong maka hukumnya makruh karena
menganggap bahwa hadits Abu Huroiroh pada kasus kedua dapat dibawa ke hadits
Ibnu Umar pada kasus pertama. Maka berarti yang dimaksudkan dengan menjulurkan
celana di bawah mata kaki sehingga mendapat ancaman (siksaan) adalah yang
menjulurkan celananya dengan sombong. Jika tidak dilakukan dengan sombong,
hukumnya makruh. Hal inilah yang dipilih oleh An Nawawi dalam Syarh
Muslim dan Riyadhus Shalihin, juga merupakan pendapat Imam Syafi’i
serta pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Abdullah Ali Bassam
di Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom -semoga Allah merahmati
mereka-.
Namun, pendapat ini kurang tepat. Jika
kita melihat dari hadits-hadits yang ada menunjukkan bahwa hukum masing-masing
kasus berbeda. Jika hal ini dilakukan dengan sombong, hukumannya sendiri. Jika
dilakukan tidak dengan sombong, maka kembali ke hadits mutlak yang menunjukkan
adanya ancaman neraka. Bahkan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri dibedakan hukum di
antara dua kasus ini. Perhatikan baik-baik hadits Abu Sa’id di
atas: Jika pakaian tersebut berada di bawah mata kaki maka tempatnya di
neraka. Dan apabila pakaian itu diseret dalam keadaan sombong, Allah tidak akan
melihat kepadanya (pada hari kiamat nanti). Jadi, yang menjulurkan celana
dengan sombong ataupun tidak, tetap mendapatkan hukuman. Wallahu a’lam
bish showab.
Catatan: Perlu kami tambahkan bahwa
para ulama yang menyatakan makruh seperti An Nawawi dan lainnya, mereka tidak
pernah menyatakan bahwa hukum isbal adalah boleh kalau tidak dengan
sombong. Mohon, jangan disalahpahami maksud ulama yang mengatakan demikian.
Ingatlah bahwa para ulama tersebut hanya menyatakan makruh dan bukan menyatakan
boleh berisbal. Ini yang banyak salah dipahami oleh sebagian orang yang
mengikuti pendapat mereka. Maka hendaklah perkara makruh itu dijauhi, jika
memang kita masih memilih pendapat yang lemah tersebut. Janganlah terus-menerus
dalam melakukan yang makruh. Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua.
Sedikit Kerancuan, Abu Bakar Pernah
Menjulurkan Celana Hingga di Bawah Mata Kaki
Bagaimana jika ada yang berdalil dengan
perbuatan Abu Bakr di mana Abu Bakr dahulu pernah menjulurkan celana hingga di
bawah mata kaki?
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin rahimahullah pernah mendapat pertanyaan semacam ini, lalu
beliau memberikan jawaban sebagai berikut.
Adapun yang berdalil dengan hadits Abu
Bakr radhiyallahu ‘anhu, maka kami katakan tidak ada baginya hujjah
(pembela atau dalil) ditinjau dari dua sisi.
Pertama, Abu Bakr radhiyallahu
‘anhu mengatakan, ”Sesungguhnya salah satu ujung sarungku biasa melorot
kecuali jika aku menjaga dengan seksama.” Maka ini bukan berarti dia
melorotkan (menjulurkan) sarungnya karena kemauan dia. Namun sarungnya tersebut
melorot dan selalu dijaga. Orang-orang yang isbal (menjulurkan celana
hingga di bawah mata kaki, pen) biasa menganggap bahwa mereka tidaklah
menjulurkan pakaian mereka karena maksud sombong. Kami katakan kepada orang
semacam ini : Jika kalian maksudkan menjulurkan celana hingga berada di bawah
mata kaki tanpa bermaksud sombong, maka bagian yang melorot tersebut akan
disiksa di neraka. Namun jika kalian menjulurkan celana tersebut dengan
sombong, maka kalian akan disiksa dengan azab (siksaan) yang lebih pedih
daripada itu yaitu Allah tidak akan berbicara dengan kalian pada hari kiamat,
tidak akan melihat kalian, tidak akan mensucikan kalian dan bagi kalian siksaan
yang pedih.
Kedua, Sesungguhnya Abu Bakr sudah
diberi tazkiyah (rekomendasi atau penilaian baik) dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan sudah diakui bahwa Abu Bakr tidaklah melakukannya
karena sombong. Lalu apakah di antara mereka yang berperilaku seperti di atas
(dengan menjulurkan celana dan tidak bermaksud sombong, pen) sudah
mendapatkan tazkiyah dan syahadah (rekomendasi)?! Akan
tetapi syaithon membuka jalan untuk sebagian orang agar mengikuti ayat atau
hadits yang samar (dalam pandangan mereka, pen)
lalu ayat atau hadits tersebut digunakan untuk membenarkan apa yang mereka
lakukan. Allah-llah yang memberi petunjuk ke jalan yang lurus kepada siapa
yang Allah kehendaki. Kita memohon kepada Allah agar mendapatkan petunjuk dan
ampunan. (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, Darul Aqidah, hal.
547-548).
Marilah Mengagungkan dan Melaksanakan Ajaran
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ
أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa yang menta’ati Rasul, sesungguhnya
ia telah menta’ati Allah.” (QS. An Nisa’ [4] : 80)
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ
عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An
Nur [24] : 63)
وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا
عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan jika kamu ta’at
kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu
melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An Nur [24] : 54)
Hal ini juga dapat dilihat dalam hadits Al
‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu seolah-olah inilah nasehat
terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu ‘anhum,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegangteguhlah dengan
sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu
dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu
Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani
mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At
Tarhib no. 37)
Salah seorang khulafa’ur rosyidin dan
manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar
Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
لَسْتُ
تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ
بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ
أَنْ أَزِيْغَ
”Aku tidaklah biarkan satupun yang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku mengamalkannya
karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan menyimpang.”
(Lihat Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud, Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa atsar ini shohih)
Sahabat Sangat Perhatian dengan Masalah
Celana
Sebagai penutup dari pembahasan ini, kami
akan membawakan sebuah kisah yang menceritakan sangat perhatiannya salaf
(shahabat) dengan masalah celana di atas mata kaki, sampai-sampai di ujung
kematian masih memperingatkan hal ini.
Dalam shohih
Bukhari dan shohih Ibnu Hibban, dikisahkan mengenai kematian Umar bin
Al Khaththab setelah dibunuh seseorang ketika shalat. Lalu orang-orang
mendatanginya di saat menjelang kematiannya. Lalu datanglah pula seorang
pemuda. Setelah Umar ngobrol sebentar dengannya, ketika dia beranjak pergi,
terlihat pakaiannya menyeret tanah (dalam keadaan isbal). Lalu Umar
berkata,
رُدُّوا
عَلَىَّ الْغُلاَمَ
“Panggil pemuda tadi!” Lalu Umar berkata,
ابْنَ
أَخِى ارْفَعْ ثَوْبَكَ ، فَإِنَّهُ أَبْقَى لِثَوْبِكَ وَأَتْقَى لِرَبِّكَ ،
“Wahai anak saudaraku. Tinggikanlah
pakaianmu! Sesungguhnya itu akan lebih mengawetkan pakaianmu dan akan lebih
bertakwa kepada Rabbmu.”
Jadi, masalah isbal (celana menyeret
tanah) adalah perkara yang amat penting. Jika ada yang mengatakan ‘kok masalah
celana saja dipermasalahkan?’ Maka cukup kisah ini sebagai jawabannya. Kita
menekankan masalah ini karena salaf (shahabat) juga menekankannya. -Semoga kita
dimudahkan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah-
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum
muslimin. Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang
thoyib, dan menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un
qoriibum mujibud da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa
sallam.
Selesai disusun di Yogyakarta,
pada siang hari, hari ke-29 bulan Shofar
tahun 1429 H
bertepatan dengan hari ‘ied umat Islam
setiap pekannya (Jum’at), 7 Maret 2008
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Abu Al-Jauzaa' :
Label: Fiqh
Label: Fiqh
Jumhur ulama mengatakan bahwa isbal jika tidak disertai
dengan kesombongan, maka hukumnya tidak sampai pada derajat haram. Paling berat
adalah makruh/tercela. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa
isbal itu haram secara mutlak, baik dengan atau tanpa kesombongan. Saya ingin
mengajak teman-teman mencermati keseluruhan hadits (walau di sini
nanti saya tidak menyebutkan keseluruhannya – namun hanya berkisar pada
sebagian besarnya saja) yang berbicara mengenai sifat pakaian, khususnya dalam
bahasan isbal. Di sini saya lebih condong pada pendapat yang mengatkan bahwa
isbal haram secara mutlak. Berikut penjelasannya :
1. Hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu
عن أبي هريرة رضى الله تعالى عنه
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ta’ala ‘anhu dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallambahwasannya beliau bersabda :
"Apa-apa yang berada di bawah mata kaki dari kain, maka tempatnya
adalah di neraka" [HR. Al-Bukhari nomor 5450, Ahmad nomor
9936, Abdurrazzaq nomor 19987, dan yang lainnya].
Abul-Jauzaa’ berkata :
"Hadits ini bermakna umum, yaitu bahwa segala
sesuatu dari kain yang dikenakan yang melebihi mata kaki adalah berdosa dan
tempatnya di nereka (akibat dosa tersebut). Di sini tidak ditunjukkan
pembatasan (taqyid) atas kesombongan. Objek yang dituju oleh
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah pakaian. Bukan
pelakunya secara langsung".
2. Hadits Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu :
عن أبي ذر عن النبي صلى الله عليه
وسلم قال ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولا يزكيهم ولهم عذاب
أليم قال فقرأها رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاث مرار قال أبو ذر خابوا وخسروا
من هم يا رسول الله قال المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب
Dari Abi Dzarr radliyallaahu ‘anhu dari
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Ada
tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat, tidak dilihat,
dan tidak pula disucikan serta baginya adzab yang sanga pedih”. Abu
Dzar berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengucapkannya
tiga kali”. Kemudian Abu Dzarr bertanya : “Sungguh sangat jelek dan meruginya
mereka itu wahai Rasulullah ?”. Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda
: “(Mereka adalah) Musbil (orang yang melakukan isbal), orang yang
gemar mengungkit-ungkit kebaikan yang telah diberikan, dan orang yang menjual
barang dagangannya dengan sumpah palsu” [HR. Muslim nomor 106, Abu Dawud nomor 4087,
At-Tirmidzi nomor 1211, dan yang lainnya].
3. Hadits Hubaib Al-Ghiffary radliyallaahu
‘anhu :
عن هبيب الغفاري قال قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم من وطئ على إزاره خيلاء وطئ في نار جهنم
Dari Hubaib
Al-Ghiffary radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda
Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang
kainnya melebihi mata kaki karena sombong, ia akan menginjaknya di neraka
Jahannam” [HR. Ahmad nomor 15644, Al-Bukhari dalam At-Tarikh
Al-Kabiir nomor 2907, dan yang lainnya; serta dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul-Jaami’ nomor 6592].
4. Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma :
عن سالم بن عبد الله عن أبيه عن
النبي صلى الله عليه وسلم قال الإسبال في الإزار والقميص والعمامة من جر منها شيئا
خيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة
Dari Salim
bin Abdillah dari ayahnya dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau
bersabda : “Isbal itu pada kain (sarung), pakaian, dan imamah
(surban). Barangsiapa yang memanjangkannya dengan
sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat” [HR.
Abu Dawud nomor 4049; Nasa’i dalam Al-Mujtabaa nomor
5327,5328; dan Ibnu Majah nomor 3576; dengan sanad shahih].
Abul-Jauzaa’ berkata :
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata dalam As-ilah
Mihimmah halaman 29-30 : ‘“Sesungguhnya melabuhkan sarung dengan niat
sombong hukumnya adalah Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat, tidak
akan berbicara dengannya, tidak akan mensucikannya, dan dia mendapatkan siksaan
yang pedih. Adapun apabila tidak diniatkan sombong, maka hukumnya adalah yang
dibawah mata kaki akan disiksa dengan neraka”. Kemudian beliau (Asy-Syaikh
Al-‘Utsaimin) menyebutkan hadits Abu Dzar. Kemudian beliau melanjutkan :
“Hadits ini adalah hadits muthlaq, akan tetapi dirinci dengn hadits Ibnu Umar
radliyallaahu ‘anhumaa, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersabda : { من جر
ثوبه من الخيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة}”Barangsiapa yang melabuhkan/menyeret pakaiannya dengan
sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat” [HR. Al-Bukhari].
Kemutlakan hadits Abu Dzar dirinci oleh hadits Ibnu
‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Sekali lagi, jika dia melakukan karena
sombong, Allah tidak akan melihatnya, membersihkannya, dan dia akan mendapat
adzab yang pedih. Hukuman ini lebih berat daripada hukuman orang yang
menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki tanpa niat sombong. Disebutkan
dalamShahih Al-Bukhari dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda
: { ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي
النار} ”Apa saja yang
berada di bawah kedua mata kaki dari kain sarung, maka tempatnya di neraka”.
Beliau tidak membatasi hal itu dengan kesombongan, dan
sangat keliru apabila membatasinya dengan kesombongan, berdasarkan hadits
terdahulu. Hal ini ditegaskan lagi dengan hadits Abu Sa’id
Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam telah bersabda : {إزرة
المؤمن إلى نصف الساق ولا حرج أو لا جناح فيما بينه وبين الكعبين ما كان أسفل من
ذلك فهو في النار ومن جر إزاره بطرا لم ينظر الله إليه يوم القيامة} ”Batas sarung seorang mukmin sampai
pertengahan betis, dan dibolehkan sampai kedua mata kaki, dan yang di bawah
mata kaki tempatnya di neraka. Dan barangsiapa melabuhkan/menyeret-nyeret
sarungnya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat” [HR.
Malik, Abu Dawud, An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan lainnya].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan
dua masalah dalam satu hadits, dan beliau menerangkan perbedaan hukum antara
keduanya karena adanya perbedaan sanksi, sehingga kedua masalah itu berbeda
bentuk perbuatannya dan berbeda status hukum dan sanksinya.
Dan jika hukum dan sebab berbeda, tidak boleh membawa
(dalil) muthlaq kepadamuqayyad, karena kaidah membawa
(dalil) muthlaq kepada muqayyad harus
memenuhi syarat diantaranya adalah persamaan nash muthlaq dan muqayyad dalam
hukum. Adapun jika terdapat perbedaan hukum, maka tidak boleh membatasi
nash muthlaq dengan nashmuqayyad. [:: selesai
nukilan saya dari penjelasan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaiminrahimahullah:::].
Abul-Jauzaa’ berkata :
“Hadits Abu Dzarr menjelaskan secara muthlaq bahwa
semua Musbil akan mendapat sanksi yang berat berupa Allah tidak mengajaknya
bicara, tidakmelihat mereka, tidak mensucikan mereka, dan diberikan siksa yang
pedih. Ini adalah jenis adzab “ekstra” daripada sekedar
dimasukkan ke neraka. Namun, dalam hadits Ibnu ‘Umar dijelaskan bahwa yang mendapat
adzab seperti itu adalah orang yang melakukan isbal secara sombong.
Adapun hadits Abu Hurairah adalah hadits umum bagi Musbil dengan neraka. Yang lebih menguatkan bahwa ancaman neraka ini lebih bersifat umum (dengan atau tanpa sombong) adalah bahwa konteks ancaman adalah tidak menyebutkan pelaku isbal secara langsung. Tapi tertuju pada objek pakaian, yaitu dengan lafadh ancaman : “Apa-apa yang berada di bawah mata kaki dari kain, maka tempatnya adalah di neraka”. Di sini sama sekali tidak menyebutkan latar belakang dari pelaku isbal.
Adapun hadits Abu Hurairah adalah hadits umum bagi Musbil dengan neraka. Yang lebih menguatkan bahwa ancaman neraka ini lebih bersifat umum (dengan atau tanpa sombong) adalah bahwa konteks ancaman adalah tidak menyebutkan pelaku isbal secara langsung. Tapi tertuju pada objek pakaian, yaitu dengan lafadh ancaman : “Apa-apa yang berada di bawah mata kaki dari kain, maka tempatnya adalah di neraka”. Di sini sama sekali tidak menyebutkan latar belakang dari pelaku isbal.
5. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu
عن أبي سعيد الخدري قال قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم إزرة المسلم إلى نصف الساق ولا حرج أو لا جناح فيما بينه
وبين الكعبين ما كان أسفل من الكعبين فهو في النار من جر إزاره بطرا لم ينظر الله
إليه
Dari Abi Sa’id Al-Khudry radliyallaahu ‘anhu ia
berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam : “Sesungguhnya
batas sarung seorang muslim adalah setengah betis dan tidak mengapa atau tidak
berdosa jika berada di antara setengah betis dan mata kaki. Apabila di bawah
mata kaki maka tempatnya di neraka. Dan barangsiapa menjulurkan sarungnya
karena sombong, maka Allah tidak akan melihat kepadanya” [HR. Abu
Dawud nomor 4093 dan Ibnu Majah nomor 3573. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Sunan Abi Dawud juz 2 halaman 518].
Telah berkata Al-‘Adhim ‘Abadi ketika mensyarah hadits
tersebut :
والحديث فيه دلالة على أن المستحب
أن يكون إزار المسلم إلى نصف الساق والجائز بلا كراهة ما تحته إلى الكعبين , وما
كان أسفل من الكعبين فهو حرام وممنوع .
"Hadits ini menunjukkan atas disukainya keadaan kain
sarung seorang muslim sampai pada pertengahan betisnya. Dan diperbolehkan tanpa
dibenci sampai dengan dua mata kaki. Dan apa-apa di bawah dua mata kaki, maka
hal itu haram lagi terlarang” [Lihat kitab ‘Aunul-Ma’bud, pada Kitaabul-Libaas,
Bab Fii Qadri Maudli’i ‘Izaar].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Hadits ini menyebutkan dua permasalahan dan dua hukum
sekaligus sebagaimana telah dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin sebelumnya.
Yaitu : Larangan keumuman isbal dengan konsekuensi “neraka”; dan larangan isbal
dengan sombong dengan konsekuensi hukum tidak akan dilihat Allah di hari
kiamat”.
Hadits ini merupakan penjelas dari keterangan sebelumnya
dalam hadits Abu Hurairah, Abu Dzarr, Ibnu ‘Umar, dan Hubaib radliyallaahu
‘anhum. Tidak bisa dikatakan bahwa pelarangan isbal
itu hanya di-taqyid jika sombong saja. Jika ada seseorang yang
memaksa untuk mengatakan seperti itu, maka makna hadits ini jadi janggal.
Lafadh { من جر إزاره بطرا لم ينظر الله
إليه} dalam hadits tersebut
seakan tidak berfungsi karena sudah ada taqyidkesombongan di
kalimat sebelumnya yaitu pada { ما كان
أسفل من الكعبين فهو في النار }.
Tentu saja perkataan ini tidak bisa diterima.
6. Hadits ‘Amr bin Asy-Syariid radliyallaahu ‘anhu
أن النبي صلى الله عليه وسلم تبع
رجلا من ثقيف حتى هرول في أثره حتى أخذ ثوبه فقال ارفع إزارك قال فكشف الرجل عن
ركبتيه فقال يا رسول الله انى أحنف وتصطك ركبتاي فقال رسول الله صلى الله عليه
وسلم كل خلق الله عز وجل حسن قال ولم ير ذلك الرجل الا وإزاره إلى أنصاف ساقيه حتى
مات
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengikuti
seorang laki-laki dari Tsaqif dengan berlari-lari kecil hingga beliau memegang
pakaian yang dikenakannya (karena isbal). Maka beliau bersabda : “Angkatlah
kain sarungmu !”. Perawi berkata : Maka laki-laki tersebut menyingkap kedua
lutut seraya berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kakiku bengkok dan
saling beradu kedua lututku tersebut (yaitu : cacat – Abul-Jauzaa’)”.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Setiap
ciptaan Allah ‘azza wa jalla itu baik”. Perawi berkata : Maka orang
tersebut tidak pernah terlihat sejak itu melainkan kain sarungnya hanya sampai
pertengahan betisnya hingga ia meninggal dunia” [HR. Ahmad nomor 19490,
Al-Humaidi nomor 810, dan Ath-Thahawi Bab Bayan Musykilah Maa Ruwiya
‘an Rasuulillah shallallaahu ‘alaihi wasallam fii Dzikril-Fakhidzi Hal Huwa
Minal ‘Aurah ?; dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah
Ash-Shahiihah nomor 1441].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam untuk meninggikan kain sarung orang tersebut di atas sama
sekali tidak menunjukkan adanya ‘illat kesombongan.
Pengingkaran beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dilakukan
semenjak beliau melihat orang tersebut dari kejauhan. Beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam tidak menanyakan kepada orang tersebut : “Apakah
engkau melakukannya dengan sombong ?”. Tapi beliau memutlakkan perintahnya
ketika behasil memegang kain yang dikenakannya dengan perkataan : “Angkatlah
kainmu !”. Alasan sakit dan cacat yang ada di dua lututnya tidak
menghalangi Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan
tetap mengangkat kedua kainnya. Padahal kita tahu, bahwa alasan sakit dan cacat
pada kasus-kasus tertentu sebenarnya mendapat dispensasi dalam syari’at untuk
melakukan sesuatu yang pada asalnya adalah dilarang.
Tegasnya, hadits ini mengingkari adanya pembolehan isbal
dengan alasan tidak sombong.
7. Hadits Abu Juray Jabir bin Salim radliyallaahu ‘anhu
عن أبي جري جابر بن سليم قال رأيت
رجلا يصدر الناس عن رأيه لا يقول شيئا إلا صدروا عنه قلت من هذا قالوا هذا رسول
الله صلى الله عليه وسلم قلت عليك السلام يا رسول الله مرتين قال لا تقل عليك
السلام فإن عليك السلام تحية الميت قل السلام عليك قال قلت أنت رسول الله صلى الله
عليه وسلم قال أنا رسول الله الذي إذا أصابك ضر فدعوته كشفه عنك وإن أصابك عام سنة
فدعوته أنبتها لك وإذا كنت بأرض قفراء أو فلاة فضلت راحلتك فدعوته ردها عليك قلت
اعهد إلي قال لا تسبن أحدا قال فما سببت بعده حرا ولا عبدا ولا بعيرا ولا شاة قال
ولا تحقرن شيئا من المعروف وأن تكلم أخاك وأنت منبسط إليه وجهك إن ذلك من المعروف
وارفع إزارك إلى نصف الساق فإن أبيت فإلى الكعبين وإياك وإسبال الإزار فإنها من
المخيلة وإن الله لا يحب المخيلة وإن امرؤ شتمك وعيرك بما يعلم فيك فلا تعيره بما
تعلم فيه فإنما وبال ذلك عليه
Dari Abu Juray Jaabir bin Salim radliyallaahu
‘anhu ia berkata : Aku melihat seorang laki-laki yang pemikirannya
senantiasa diterima oleh rakyat banyak dan tidak ada seorang pun yang
mengomentari ucapannya. Aku bertanya : “Siapa ini ?”. Mereka menjawab
: “Ini Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam”. Lalu aku katakan
: “Alaikas-Salaam ya Rasulullah”. Sebanyak dua kali. Maka
beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Jangan
kamu ucapkan ‘alaikas-salaam, karena ucapan ‘alaikas-salaam itu adalah ucapan
selamat terhadap orang yang mati. Tapi ucapkanlah : Assalamu ‘alaika”. Aku
bertanya : “Apakah engkau Rasulullah ?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam menjawab : “Aku adalah Rasulullah (utusan Allah).
Apabila kamu tertimpa marabahaya lalu berdoa kepada-Nya, maka marabahaya
tersebut akan lenyap darimu. Apabila daerahmu sedang dilanda kegersangan lalu
kamu berdoa kepada-Nya, maka bumimu akan kembali subur. Apabila kamu berada di
sebuah padang tandus lalu kendaraanmu hilang kemudian kamu berdoa kepada-Nya,
maka Dia akan mengembalikan kendaraanmu itu”. Aku katakan : “Berikan
kepadaku sebuah wasiat”. Beliau bersabda :“Jangan cela siapapun”. Maka
ia (Juray bin Salim) berkata : “Maka mulai saat ini tidak ada seorang pun yang
aku cela, baik orang merdeka, budak, unta, maupun kambing”. Beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda : “Jangan engkau sepelekan perbuatan
baik walau sedikit. Berbicaralah kepada saudaramu dengan wajah berseri-seri
sebab hal itu juga sebuah kebaikan. Angkat kain sarungmu hingga setengah betis.
Jika engkau enggan, maka julurkan persis di atas mata kaki. Janganlah kamu
melakukan isbal, sebab isbal itu termasuk perbuatan sombong (al-makhillah).
Sesungguhnya Allah tidak mencintai kesombongan. Apabila ada seseorang yang
mencela atau mencacimu dengan sesuatu yang ia ketahui dari dirimu, maka jangan
engkau balas mencercanya dengan sesuatu yang engkau ketahui dari dirinya.
Sebab, bencana tersebut hanya akan menimpa dirinya sendiri” [HR. Abu
Dawud nomor 4084; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan
Abi Dawud juz 2 halaman 515-516].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Mari kita perhatikan kalimat { وارفع إزارك إلى نصف الساق فإن أبيت فإلى الكعبين وإياك وإسبال
الإزار فإنها من المخيلة وإن الله لا يحب المخيلة } “Angkat kain sarungmu hingga setengah betis.
Jika engkau enggan, maka julurkan persis di atas mata kaki. Janganlah kamu
melakukan isbal, sebab isbal itu termasuk perbuatan sombong (al-makhillah).
Sesungguhnya Allah tidak mencintai kesombongan”.
Di sini Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebut
tiga keadaan kain sarung. Dua diperbolehkan, dan satu dilarang. Dua
diperbolehkan yaitu keadaan setengah betis; dan keadaan dijulurkan sampai batas
maksimal mata kaki. Ini adalah penegasan perintah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam : irfa’ izaarak !! . Kemudian dua keadaan
yang diperbolehkan tersebut diikuti dengan satu keadaan yang tidak
diperbolehkan, yaitu melebihi batas kaki dengan kalimat larangan : wa
iyyaaka wa isbaala (Janganlah/jauhilah kamu dari melakukan isbal).
Kalimat ini adalah kalimat larangan muthlaq tanpa ada indikasi
kebolehan jika tanpa kesombongan.
Jikalau mau ditartibkan keadaan kain dalam wasiat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallamtersebut adalah :
¯ sampai
pertengahan betis (dianjurkan)
¯ dijulurkan
sampai mata kaki (diperbolehkan)
¯ melebihi
mata kaki (dilarang).
Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak
memberikan tartib :
¯ sampai
pertengahan betis (dianjurkan).
¯ dijulurkan
sampai mata kaki (diperbolehkan).
¯ melebihi mata
kaki jika sombong (dilarang).
Kalaupun misal keadaan isbal tanpa sombong itu
diperbolehkan, tentu ia akan disebutkan secara gamblang dalam hadits tersebut
dan juga dalam hadits-hadits lain. Tapi ternyata tidak bukan ? Ini menunjukkan
bahwa keadaan kain lebih dari mata kaki itu memang keadaan kain yang tidak
diperbolehkan/diharamkan. Bahkan,….. dalam hadits di atas disebutkan bahwa
isbal tersebut merupakan hakikat kesombongan, baik si pelakunya berniat untuk
sombong atau tidak sombong.
Saya kira, dalil ini secara sharih menolak
pendapat yang mengatakan isbal itu boleh asal tidak sombong.
8. Hadits ‘Ubaid bin Khalid
أنه كان بالمدينة يمشي فإذا رجل
قال ارفع إزارك فإنه أبقى وأتقى فنظرت فإذا رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت يا
رسول الله إنما هي بردة ملحاء قال أما لك في أسوة فنظرت فإذا إزاره على نصف الساق
Bahwasannya ia sedang berjalan di
Madinah (dengan keadaan pakaiannya yang terjulur sampai ke tanah) dan ketika
itu ada seseorang yang menegurku : “Angkatlah kainmu, karena hal itu
lebih baik dan lebih bertaqwa bagimu!”. Maku aku pun menoleh, dan
ternyata orang tersebut adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Maka aku berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ia hanyalah burdah bergaris
saja”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Apakah
engkau tidak menganggapku sebagai contoh ?”. Maka aku melihat dan ternyata kain beliau sebatas pertengahan betis”
[HR. Ahmad nomor 23136 dan Nasa’i dalam Al-Kubraa nomor 9683;
serta dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Musktashar
Asy-Syamaail Al-Muhammadiyyah nomor 97 halaman 69 – Maktabah Al-Islamiyyah
‘Amman].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Dalam hadits ini terdapat perintah
untuk meneladani Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam
berpakaian. Beliau juga tidak menebak-nebak apakah ‘Ubaid bin Khalid
melakukannya secara sombong (sehingga menyebabkan beliau menegurnya). Hadits
ini juga sekaligus membantah sebagian hujjah orang yang mengatakan bahwa hukum
asal dari pakaian adalah boleh sehingga tidak mengapa isbal asal tidak sombong.
Lihatlah, alasan ‘Ubaid yang kemukakan kepada Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam “mirip” dengan alasan yang disampaikan kebanyakan
orang. Perkataan ‘Ubaid : { إنما هي بردة ملحاء} “sesungguhnya ia hanyalah burdah bergaris saja” ;
bukankah bisa kita kiaskan dengan alasan : “Bukankah ia hanya perkara adat
keduniawian saja” ? (yang membolehkan di dalamnya isbal asalkan tidak
sombong) Ternyata, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallamtidak
menerima alasan tersebut dan bahkan memerintahkan untuk mencontoh keadaan
pakaian yang beliau kenakan.
9. Hadits Abu Bakar (lebih tepatnya hadits Ibnu ‘Umar) radliyallaahu
‘anhuma
عن عبد الله بن عمر رضى الله
تعالى عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله
إليه يوم القيامة فقال أبو بكر إن أحد شقي ثوبي يسترخي إلا أن أتعاهد ذلك منه فقال
رسول الله صلى الله عليه وسلم إنك لست تصنع ذلك خيلاء
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullahshallallaahu ‘alaihi
wasallam : “Barangsiapa yang memanjangkannya dengan sombong,
maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat” . Maka Abu Bakar
berkata : “Sesungguhnya salah satu sisi pakaianku selalu turun kecuali jika aku
terus menjaganya”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda
: “Sesungguhnya kamu bukan termasuk yang melakukannya dengan
kesombongan” [HR. Al-Bukhari nomor 3465 dan Muslim nomor 2085].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Hadits ini sering dijadikan
dalil tentang diperbolehkannya isbal tanpa ada niat kesombongan. Hal ini tertolak dari beberapa segi :
a. Abu Bakar memahami bahwa hakikat isbal itu merupakan kesombongan yang
diharamkan, baik dengan atau tanpa niat sombong.
b. Abu Bakar selalu menjaganya agar tidak melorot. Hal ini tercermin dari
perkataannya : { إلا أن أتعاهد } “kecuali jika aku terus
menjaganya”. Perkataan ini menunjukkan bahwa sebenarnya Abu Bakar tidak berniat
isbal. Sebab melorotnya baju Abu Bakar kemungkinan besar adalah karena tubuhnya
yang ringan (kurus) – sebagaimana dikenal dalam beberapa riwayat.
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata : { قوله الا أن أتعاهد ذلك منه أي يسترخي إذا غفلت عنه } “Perkataan Abu Bakar : Kecuali jika aku terus
menjaganya ; maknanya adalah selalu melorot/turun apabila ia terlupa darinya” [Fathul-Baari juz
10 halaman 276 – Maktabah Sahab].
c. Jawaban Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam { إنك لست
تصنع ذلك خيلاء} “Sesungguhnya
kamu bukan termasuk yang melakukannya dengan kesombongan” ; bukanlah
sebagai pengakuan bahwa isbal tanpa sombong itu boleh. Jawaban tersebut sebagai
satu jawaban yang menenangkan hati tentang kekhawatiran Abu Bakar bahwa ia
termasuk katagori orang yang sombong (sebagaimana Abu Juray di Nomor 7
tentang makhiilah).Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam tahu bahwa Abu Bakar sering menjaganya, namun
akhirnya sering melorot.
d. Perbedaan antara keadaan Abu Bakar dan sebagian di antara mereka yang
membolehkan isbal dengan niat tidak sombong adalah sangat jelas. Setidaknya ada dua :
- Abu
Bakar selalu menjaga pakaiannya agar tidak melorot (isbal), sementara mereka
melakukan isbal dengan sengaja dan menjadi satu kebiasaan.
- Yang
menegaskan bahwa Abu Bakar bukanlah termasuk orang yang sombong dalam
berpakaian adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam;
sedangkan mereka tidak.
Hadits
tersebut dibawakan juga oleh Al-Imam Ahmad dengan salah satu lafadhnya sebagai
berikut :
عن زيد بن أسلم سمعت بن عمر يقول
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من جر إزاره من الخيلاء لم ينظر الله عز
وجل إليه قال زيد وكان بن عمر يحدث ان النبي صلى الله عليه وسلم رآه وعليه إزار
يتقعقع يعني جديدا فقال من هذا فقلت انا عبد الله فقال ان كنت عبد الله فارفع
إزارك قال فرفعته قال زد قال فرفعته حتى بلغ نصف الساق قال ثم التفت إلى أبي بكر
فقال من جر ثوبه من الخيلاء لم ينظر الله إليه يوم القيامة فقال أبو بكر انه
يسترخي إزاري أحيانا فقال النبي صلى الله عليه وسلم لست منهم
Dari Zaid
bin Aslam : Aku mendengar Ibnu ‘Umar berkata : Aku mendengar Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : “Barangsiapa yang
memanjangkan/melabuhkan kain sarungnya dengan sombong, maka Allah tidak akan
melihatnya di hari kiamat”. Berkata Zaid : Adalah Ibnu ‘Umar
mengatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melihat
kain sarung yang dikenakannya yang berbunyi karena terseret. Maka beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda : “Siapakah ini”. Aku berkata :
“Aku adalah Abdullah bin ‘Umar”. Beliau berkata : “Apabila engkau
adalah Abdullah bin ‘Umar, angkatlah kain sarungmu”. Maka ia pun
mengangkat kain sarungnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menambahkan
: “Tambah lagi”. Maka Abdullah bin ‘Umar mengangkat lagi hingga
sampai pertengahan betisnya. Kemudian beliau menoleh kepada Abu Bakar kemudian
bersabda : “Barangsiapa yang memanjangkan/melabuhkan kain sarungnya
dengan sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat”. Maka
Abu Bakar berkata : “Bahwasannya kain sarungku sering turun/melorot”. Maka
beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya
: “Sesungguhnya kamu bukan termasuk mereka (orang-orang yang sombong)” [HR.
Ahmad juz 2 nomor 6340].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Dalam hadits tersebut ada dua
perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada dua
orang shahabat yang mulia yang sama-sama terkenal ittiba’-nya. Pada
kesempatan pertama beliau menegur Ibnu ‘Umar agar menaikkan pakaian yang
dikenakannya. Dan pada kesempatan kedua, beliau menegur Abu Bakar.
Perbedaannya, dalam kasus Abu Bakar, beliau menyatakan bahwa Abu Bakar bukan
termasuk orang-orang yang sombong. Kalau perkataan beliau kepada Abu Bakar kita
anggap sebagai dalil bolehnya isbal tanpa sombong, maka apakah di saat yang
bersamaan akan kita katakan bahwa Ibnu ‘Umar termasuk orang yang sombong
sehingga beliau tetap menyuruh untuk mengangkat pakaian yang dikenakannya ?
Tentu tidak. Hukum yang berlaku pada Ibnu ‘Umar sama dengan yang berlaku pada
Abu Bakar. Hanya saja Abu Bakar telah menyatakan di riwayat sebelumnya bahwa
pakaian tersebut turun jika ia tidak menjaganya. Dan ia memang tidak sengaja
melakukannya.
Dalam riwayat lain dari Ibnu ‘Umar
dari Al-Imam Muslim menunjukkan pelarangan adanya isbal secara mutlak (dengan
lafadh : istirkhaa’). Berikut riwayat tersebut :
عن بن عمر قال مررت على رسول الله
صلى الله عليه وسلم وفي إزاري استرخاء فقال يا عبد الله ارفع إزارك فرفعته ثم قال
زد فزدت فما زلت أتحراها بعد فقال بعض القوم إلى أين فقال أنصاف الساقين
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma ia berkata : “Aku melewati Rasulullah shallallaah
‘alaihi wasallam sedangkan kain sarungku turun (istirkhaa’)”.
Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Wahai Abdullah,
angkatlah kain sarungmu”. Maka akupun mengangkatnya. Kemudian beliau
bersabda lagi : “Tambah !” Maka aku menambahkannya. Maka
semenjak saat itu aku selalu menjaganya. Maka sebagian manusia bertanya kepada
Ibnu ‘Umar : “Sampai batas mana kain sarung tersebut diangkat ?”. Maka Ibnu
‘Umar menjawab : “Sampai batas pertengahan kedua betis” [HR. Muslim nomor 2086].
Kata istirkhaa’ di
sini menunjukkan ketidaksengajaan. Jikalau ketidaksengajaan saja beliau tetap memerintahkan
Ibnu ‘Umar untuk mengangkatnya, lantas bagaimana halnya dengan yang disegaja
? (walau dengan alasan tidak
sombong). Terkait dengan kasus Abu Bakar, maka tidak ada ruang penafsiran untuk
membawa ucapan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam kepada
Abu Bakar sebagai dalil pembolehan isbal dengan tidak sombong.Wallaahu a’lam.
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata
:
قوله لست ممن يصنعه خيلاء في
رواية زيد بن أسلم لست منهم وفيه أنه لا حرج على من انجر إزاره بغير قصده مطلقا
“Sabda beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam : ’Sesungguhnya kamu bukan termasuk yang
melakukannya dengan kesombongan’ dan pada riwayat Zaid bin Aslam ’Sesungguhnya
engkau bukan termasuk mereka’ ; sabda beliau tersebut menunjukkan
bahwa orang yang pakaiannya melorot (sehingga isbal) dengan tanpa sengaja
adalah tidak mengapa” [Fathul-Baari juz 10 halaman 276].
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata
: “Maksud ucapan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam (kepada
Abu Bakar) adalah bahwa orang yang menjaga pakaiannya apabila melorot lalu
menaikkannya, dia tidak termasuk orang yang melabuhkannya dengan sombong,
karena dia tidak melakukan hal itu dengan sengaja. Tetapi hanyalah sarung itu
terkadang melorot lalu ia naikkan. Tidak diragukan lagi bahwa ini dimaafkan….”
[Al-Isbal li-Ghairi Khuyalaa’ halaman 23].
Hal yang sama dikatakan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Mukhtashar Asy-Syamail Al-Muhammadiyyah dan
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Fataawaa Haammah.
10. Hadits Ummu Salamah (lebih tepatnya hadits Ibnu ‘Umar) radliyallaahu
‘anhum.
حديث ابن عمر ـ رضي الله عنه ـ
قال : قال رسول الله : (( مَنْ جرّ ثوْبه خيلاء ، لم ينظر الله إليه
يوم القيامة )) .
فقالت أم سلمة : فكيف يصنع النّساءُ بذيولهنّ ؟ قال : يرخين شبراً. فقالت : إذن تنكشف أقدامهن ! قال : فيرخينه ذراعاً ، لا يزدن عليه .
وفي رواية : (( رخص رسول الله لأمهات المؤمنين شبراً ، ثم استزدنه ، فزادهنّ شبراً ، فكن يرسلن إلينا ، فنذرع لهن ذراعاً )).
فقالت أم سلمة : فكيف يصنع النّساءُ بذيولهنّ ؟ قال : يرخين شبراً. فقالت : إذن تنكشف أقدامهن ! قال : فيرخينه ذراعاً ، لا يزدن عليه .
وفي رواية : (( رخص رسول الله لأمهات المؤمنين شبراً ، ثم استزدنه ، فزادهنّ شبراً ، فكن يرسلن إلينا ، فنذرع لهن ذراعاً )).
Hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam : “Barangsiapa yang memanjangkannya dengan
sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat” . Ummu
Salamah berkata : “Bagaimana dengan pakaian yang dikenakan para wanita di
bagian belakang/bawahnya ?”. Beliau menjawab : “Hendaknya ia
memanjangkannya sejengkal”. Ummu Salamah menimpali : “Jika begitu, kaki
mereka masih tersingkap/terlihat”. Maka beliau menjawab : “Maka
hendaknya mereka menambah sehasta dan tidak boleh lebih dari itu”.
Dalam riwayat yang lain disebutkan
: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikanrukhshah (keringanan)
bagi Ummahatul-Mukminin (untuk memanjangkan pakaian mereka) satu jengkal.
Kemudian mereka meminta agar ditambah lagi. Maka beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam menambah satu jengkal lagi. Kami pun mengukurnya bagi
kami yaitu sepanjang satu dzira’ (sehasta)” [HR. Al-Bukhari Kitaabul-Libas
Bab Man Jarra Tsaubuhu Minal-Khuyalaa 10/285 nomor 5791 di bagian awal
hadits khususnya bagian pertanyaan Ummu Salamah. Diriwayatkan juga secara
sempurna oleh At-Tirmidzi Abwaabul-Libaas : Bab Maa Jaa-a fii Jarri
Dzuyuulin-Nisaa’ 4/223 nomor 1731 dan ia berkata : Hadits ini hasan
shahih. Selengkapnya, lihat catatan kaki. ---- Hadits beserta takhrijnya
diambil dari Al-Qaulul-Mubiin fii Akhthaail-Mushalliin oleh
Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Aalu Salman, Maktabah Al-Misykah halaman 14].
Hadits ini terdapat dalil tentang
diharamkannya isbal baik dengan atau tanpa sombong. Asy-Syaikh Masyhur
menjelaskan sebagai berikut :
أنّه لو كان كذلك لما كان في
استفسار أم سلمة عن حكم النّساء في جرّ ذيولهنّ معنى ، بل فهمت الزّجر عن الإسبال
مطلقاً ، سواء كان عن مخيلة أم لا ، فسألت عن حكم النساء في ذلك لاحتياجهنّ إلى
الإسبال من أجل ستر العورة ، لأن جميع قدمها عورة ، فبيّن لها : أن حكمهنّ في ذلك
خارج عن حكم الرّجال في هذا المعنى فقط .
وقد نقل عياض الإجماع على أن المنع في حقِّ الرّجال دون النّساء ، ومراده منع الإسبال ، لتقريره أم سلمة على فهمها .
والحاصل : أن للرجل حالين :
حال استحباب : وهو أن يقتصر بالإزار على نصف السّاق .
حال جواز : وهو إلى الكعبين .
وكذلك للنّساء حالان :
حال استحباب : وهو ما يزيد على ما هو جائز للرّجال ، بقدر الشبر .
حال جواز : بقدر الذّراع.
وعلى هذا جرى العمل من في عهد وما بعده .
وقد نقل عياض الإجماع على أن المنع في حقِّ الرّجال دون النّساء ، ومراده منع الإسبال ، لتقريره أم سلمة على فهمها .
والحاصل : أن للرجل حالين :
حال استحباب : وهو أن يقتصر بالإزار على نصف السّاق .
حال جواز : وهو إلى الكعبين .
وكذلك للنّساء حالان :
حال استحباب : وهو ما يزيد على ما هو جائز للرّجال ، بقدر الشبر .
حال جواز : بقدر الذّراع.
وعلى هذا جرى العمل من في عهد وما بعده .
“Bahwasannya apabila benar klaim
mereka bahwa larangan isbal itu adalah karena sombong, pasti Ummu Salamah tidak
akan meminta keterangan lagi tentang hukum para wanita yang memanjangkan bagian
bawah pakaian mereka. Bahkan, yang dipahami oleh Ummu Salamah adalah bahwa
isbal itu terlarang secara mutlak, baik karena sombong ataupun bukan karena sombong.
Maka ia bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang
hukum wanita yang melakukan isbal untuk menutup aurat mereka. Hal itu
dikarenakan seluruh bagian kaki adalah aurat. Oleh karena itu, beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam memberikan keterangan bahwa hukum isbal bagi wanita
keluar (maksudnya : berbeda) dari hukum isbal bagi laki-laki.
Dan ‘Iyadl telah menukil ijma’ bahwasannya larangan isbal itu hanya berlaku bagi laki-laki, tidak bagi para wanita. Maksudnya, isbaal itu hanya berlaku pada laki-laki berdasarkantaqrir beliau atas pemahaman Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa.
Dan ‘Iyadl telah menukil ijma’ bahwasannya larangan isbal itu hanya berlaku bagi laki-laki, tidak bagi para wanita. Maksudnya, isbaal itu hanya berlaku pada laki-laki berdasarkantaqrir beliau atas pemahaman Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa.
Kesimpulannya, ada dua keadaan
pakaian yang diperbolehkan bagi laki-laki :
a. Keadaan yang disukai (disunnahkan), yaitu memendekkan kain sarung sampai
pertengahan betis.
b. Keadaan yang diperbolehkan, yaitu keadaan panjang kain sarung hingga mata
kaki (dan tidak boleh lebih).
Begitu pula bagi wanita ada dua
keadaan :
a. Keadaan yang disukai (disunnahkan), yaitu memanjangkan sejengkal dari
batas yang diperbolehkan bagi laki-laki (maksudnya : dipanjangkan sejengkal di
bawah mata kaki).
b. Keadaan yang diperbolehkan, yaitu memanjangkan satu hasta (satu dzira’)
[Fathul-Baari 10/259]
Atas dasar
inilah dipraktekkan oleh orang-orang di jaman Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam atau setelahnya. [selesai perkataan Syaikh Masyhur – lihat selengkapnya di Al-Qaulul-Mubiin
fii Akhthaail-Mushalliin halaman 15 – Maktabah Al-Misykah].
11. Hadits Hudzaifah radliyallaahu ‘anhu
عن حذيفة قال أخذ رسول الله صلى
الله عليه وسلم بعضلة ساقي أو ساقه فقال هذا موضع الإزار فإن أبيت فأسفل فإن أبيت
فلا حق للإزار في الكعبين قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح
Dari Hudzaifah radliyallaahu
‘anhu ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallammemegang
urat betisku”. Maka beliau bersabda : “Ini adalah batas panjang kain
sarungmu. Apabila engkau enggan, maka boleh di bawahnya. Dan jika engkau
enggan, maka tidak ada hak bagi kain sarung untuk melebihi mata kaki”
[HR. At-Tirmidzi nomor 1783; dan beliau berkata : Ini adalah hadits hasan
shahih. Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzijuz 2
halaman 290].
Jika Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam menisbatkan panjang sarung dari pertengahan betis sampai
kedua mata kaki sebagai sesuatu yang Haq, dan selain daripada itu laisa
minal- haqq (ini redaksi saya – Abul-Jauzaa’,
sedangkan redaksi hadits : Falaa Haqq). Maka hal itu dapat kita
pahami bahwa memanjangkan kain di bawah mata kaki adalah bathil. Sebab dalam
Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa tidak ada setelah al-haqq itu
melainkan kebathilan.
Hadits ini juga merupakan
pengharaman mutlak isbal, baik sombong maupun tidak sombong. Di situ tidak ada
qarinah apa-apa yang menunjukkan pelarangan Rasulullahshallallaahu ‘alaihi
wasallam berkaitan dengan kesombongan.
12. Hadits
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
نعم الرجل خريم الأسدي لولا طول جمته وإسبال إزاره
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam : “Sebaik-baik laki-laki adalah Khuraim
Al-Asady jika saja dia tidak panjang rambutnya dan isbal kain sarungnya” [HR.
Ahmad nomor 17659; hasan lighairihi].
Pendalilan dari hadits ini
bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menghukumi
Khuraim dari dhahirnya saja yaitu pada masalah rambut dan isbal. Beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam tidak mengatakan [لولا طول جمته وإسبال إزاره خيلاء] “jika saja dia tidak panjang rambutnya dan
isbal kain sarungnya dengan sombong”. Sebab, jika yang dimaksud kesombongan
di sini adalah kesombongan bathin, tentu adalah tidak mungkin beliau
mengatakannya. Kesombongan jenis itu tidakmungkin dihukumi dari sekedar melihat
rambut dan pakaian saja.
Kesimpulannya, hadits ini
menunjukkan tercelanya isbal secara umum, baik dengan atau tanpa kesombongan.
13. Atsar Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu :
الازار إلى نصف الساق أو إلى
الكعبين ، لا خير فيما هو أسفل من ذلك
“Panjang kain sarung itu sampai
pertengahan betis atau sampai dua mata kaki. Tidak ada kebaikan terhadap apa saja
yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki)” [Al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah juz 6 halaman 29; dengan
sanad shahih].
Abu Al-Jauzaa’ berkata :
“Dalam atsar tersebut terdapat dua
kalimat, yaitu :
a. Panjang kain sarung itu sampai pertengahan betis atau sampai dua mata kaki.
b. Tidak
ada kebaikan terhadap apa saja yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki)”
Kalimat pertama menunjukkan tentang
batas dibolehkannya dalam pakaian. Kalimat kedua menunjukkan sisi hukum yang
menyertai.
Di sini tidak ada qarinah bahwa
kalimat { لا خير} “tidak ada
kebaikan” dibatasi oleh alasan sombong. Bahkan itu umum, dengan dan
tanpa sombong. Dan adalah menjadi aneh jika hadits tersebut dimaknakan dengan
kesombongan, sehingga lafadh hadits tersebut ekuivalen dengan kalimat :
“Panjang kain sarung itu sampai
pertengahan betis atau sampai dua mata kaki. Tidak ada kebaikan terhadap apa
saja yang melebihi itu (yaitu melebihi dua mata kaki) yaitu jika disertai
kesombongan”.
Jika memang makna di atas yang
ingin dibawa, tentu kalimat pertama dalam hadits menjadi tidak berfungsi.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam hanya menyebutkan dua
keadaan‘izar (kain sarung) yang tidak ada ketiganya, yaitu :
1) Sampai pertengahan betis, 2) Di bawah pertengahan betis sampai mata kaki. Di
sinilah letak kebaikan. Di luar keadaan ini, maka tidak ada nisbah kebaikan.
Jika ada orang yang menginginkan bahwa tidak apa-apa hukumnya melabuhkan
pakaian di bawah mata kaki, maka dimana letak kebaikannya di sini ? Al-Jawab :
"Tidak ada !". Tidak ada hukum yang bisa dibawa kepada keadaan
ketiga (melabuhkan pakaian di bawah mata kaki/isbal dengan tidak sombong),
kecuali dosa. Karena hal itu diluar dua keadaan diperbolehkannya panjang ‘izar (kain
sarung).
Wallaahu
a'lam.
[Abul-Jauzaa’ – ini
merupakan tulisan saya beberapa waktu lampau, dengan referensi dari Maktabah
Sahab dan yang semisal, sehingga mungkin ada perbedaan dalam hal penomoran
hadits dan halaman pada referensi-referensi standar].
COMMENTS
Taufiq bin husain mengatakan...
Assalamu
alaikum y said,,, pertanyaan saya adalah,, bagaimana hukumnya kalau seandainya
saya melipat/menggulung celana saya karena isbal?? syuqron wassalam
ustadz,
kan ini adalah perselisihan pendapat yg biasa terjadi diantara ulama islam. nich saya kirimin artikel yg menjelaskan secara detail juga tentang khilafiyyah dalam isbal. Bahkan didalam artikel ini dijelaskan bhw ulama2 yg menjadi rujukan utama salafi-pun telah membolehkan isbal, seperti : imam ahmad bin hambal dan syaikh ibnu taimiyyah. nich sumbernya dari ust. farid nu’man :
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/108
semoga menjadi pelajaran dan nasehat bagi antum….
kan ini adalah perselisihan pendapat yg biasa terjadi diantara ulama islam. nich saya kirimin artikel yg menjelaskan secara detail juga tentang khilafiyyah dalam isbal. Bahkan didalam artikel ini dijelaskan bhw ulama2 yg menjadi rujukan utama salafi-pun telah membolehkan isbal, seperti : imam ahmad bin hambal dan syaikh ibnu taimiyyah. nich sumbernya dari ust. farid nu’man :
http://abuhudzaifi.multiply.com/journal/item/108
semoga menjadi pelajaran dan nasehat bagi antum….
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
@Taufiq,....maaf
baru kali ini direspon. Pada asalnya tidak mengapa. Namun, apa salahnya jika
celana kita langsung kita potong sehingga tidak perlu repot-repot lagi untuk
memotongnya ?
********
@Anonim,..... benar. Ini memang khilaf di antara ulama. Jumhur ulama mengatakan tidak haram asalkan tidak disertai kesombongan, sedangkan sebagian ulama mengatakan haram secara mutlak.
Saya sedang tidak membahas hukum isbal secara menyeluruh beserta pendapat-pendapat yang beredar. Lha wong judulnya saja : Hadits-Hadits Tentang Pengharaman Isbal. Harap antum pahami...
Adapun link yang antum berikan, maka saya ucapkan terima kasih. Namun jika niat antum adalah mencari kebenaran, maka silakan bandingkan antara tulisan di atas dengan tulisan yang antum link-an tersebut. Silakan timbang-timbang mana yang lebih raajih dengan melihat dalil-dalil yang ada.
Semoga Allah selalu memberikan hidayah kepada kita semua....
********
@Anonim,..... benar. Ini memang khilaf di antara ulama. Jumhur ulama mengatakan tidak haram asalkan tidak disertai kesombongan, sedangkan sebagian ulama mengatakan haram secara mutlak.
Saya sedang tidak membahas hukum isbal secara menyeluruh beserta pendapat-pendapat yang beredar. Lha wong judulnya saja : Hadits-Hadits Tentang Pengharaman Isbal. Harap antum pahami...
Adapun link yang antum berikan, maka saya ucapkan terima kasih. Namun jika niat antum adalah mencari kebenaran, maka silakan bandingkan antara tulisan di atas dengan tulisan yang antum link-an tersebut. Silakan timbang-timbang mana yang lebih raajih dengan melihat dalil-dalil yang ada.
Semoga Allah selalu memberikan hidayah kepada kita semua....
Ustadz,
saya ketemu artikel yang menarik tentang isbal:
http://rendyasylum.wordpress.com/2011/01/11/hukum-isbal
Jika ada kesempatan bisakah ditelaah? Syukran.
http://rendyasylum.wordpress.com/2011/01/11/hukum-isbal
Jika ada kesempatan bisakah ditelaah? Syukran.
saya
perhatikan di foto-foto banyak syaikh-syaikh dan para pemimpin di Arab Saudi
sana kain rompinya atau bahkan gambisnya melebihi mata kaki. itu bagaimana ya,
yang mentafwakan kok juga melanggar?
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Anda
harus cermat,... tidak semua orang Saudi satu suara tentang masalah isbal.
Termasuk ulamanya.
Dan satu lagi,... di Saudi itu juga banyak orang awamnya meskipun memakai gamis putih dan peci putih.
Dan satu lagi,... di Saudi itu juga banyak orang awamnya meskipun memakai gamis putih dan peci putih.
di arab
sono kan dulu juga ada abu jahal, abu lahab, abdulloh bin saba' ...
kalo masalah agama, tentu kita ikut apa kata Alloh Ta'ala, apa kata Rosul kita, dan bagaimana salafus sholeh... syukron artikelnya ustadz... jelas banget, tapi.. terasa nonjok banget buat sebagian orang... padahal hadits ya ustadz...
kalo masalah agama, tentu kita ikut apa kata Alloh Ta'ala, apa kata Rosul kita, dan bagaimana salafus sholeh... syukron artikelnya ustadz... jelas banget, tapi.. terasa nonjok banget buat sebagian orang... padahal hadits ya ustadz...
"Adapun
gugatan terhadap penggunaan kaidah ini, yakni klaim bahwa dalam kasus Isbal,
hukum dan Sababnya berbeda dengan mengatakan; untuk Isbal hukumannya adalah
Neraka sementara meyeret pakaian hukumannya adalah tidak dilihat Allah. Oleh
karena Sabab dan Hukumnya berbeda maka kaidah maka;
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
“Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
tidak dapat diterapkan.
Kami katakan; gugatan ini tidak dapat diterima karena menunjukkan kekurangcermatan dalam mengidentifikasi hukum dan Sabab dalam kasus Isbal.
Yang dimaksud hukum, dalam pembahasan Muthlaq-Muqoyyad adalah hukum syara’ yang lima yaitu; Wajib, Sunnah, Makruh, Haram, dan Mubah. Adapun yang dimaksud Sabab adalah sesuatu/perbuatan mukallaf yang membuat hukum syara ditetapkan oleh pembuat syariat. Dalam kasus Isbal, hukum antara lafadz yang Muthlaq dengan Muqoyyad sama, yaitu haramnya Isbal. Sababnya juga sama yaitu perbuatan Isbal. Perbedaannya, lafadz yang satu diikat kondisi yaitu kesombongan sementara lafadz yang lain dinyatakan secara mutlak. Ancaman Neraka dan tidak dilihat Allah pada hari kiamat bukan hukum (الحُكْمُ) dalam pembahasan Muthlaq-Muqoyyad tetapi hukuman (العقوبات). Tentu saja ada perbedaan yang jauh antara hukum dengan hukuman. Ancaman siksa atau murka termasuk janji surga atau ridha adalah Qorinah untuk memahami status hukum, bukan hukum itu sendiri. Jadi hukum pada kasus Isbal adalah haromnya Isbal, dengan qorinah ancaman Neraka dan tidak dilihat Allah pada hari kiamat. Isbal dengan menyeret pakaian juga tidak perlu dibedakan kerena keduanya semakna, karena Nabi ketika mencela Isbal itu maksudnya adalah mencela orang yang mengulurkan pakaiannya sehingga sampai menyeretnya ketika berjalan dengan disertai kesombongan."
Bagaimana tanggapan ustadz ?
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلى الْمُقَيَّدِ
“Membawa (lafadz) yang Muthlaq pada (lafadz) yang Muqoyyad”
tidak dapat diterapkan.
Kami katakan; gugatan ini tidak dapat diterima karena menunjukkan kekurangcermatan dalam mengidentifikasi hukum dan Sabab dalam kasus Isbal.
Yang dimaksud hukum, dalam pembahasan Muthlaq-Muqoyyad adalah hukum syara’ yang lima yaitu; Wajib, Sunnah, Makruh, Haram, dan Mubah. Adapun yang dimaksud Sabab adalah sesuatu/perbuatan mukallaf yang membuat hukum syara ditetapkan oleh pembuat syariat. Dalam kasus Isbal, hukum antara lafadz yang Muthlaq dengan Muqoyyad sama, yaitu haramnya Isbal. Sababnya juga sama yaitu perbuatan Isbal. Perbedaannya, lafadz yang satu diikat kondisi yaitu kesombongan sementara lafadz yang lain dinyatakan secara mutlak. Ancaman Neraka dan tidak dilihat Allah pada hari kiamat bukan hukum (الحُكْمُ) dalam pembahasan Muthlaq-Muqoyyad tetapi hukuman (العقوبات). Tentu saja ada perbedaan yang jauh antara hukum dengan hukuman. Ancaman siksa atau murka termasuk janji surga atau ridha adalah Qorinah untuk memahami status hukum, bukan hukum itu sendiri. Jadi hukum pada kasus Isbal adalah haromnya Isbal, dengan qorinah ancaman Neraka dan tidak dilihat Allah pada hari kiamat. Isbal dengan menyeret pakaian juga tidak perlu dibedakan kerena keduanya semakna, karena Nabi ketika mencela Isbal itu maksudnya adalah mencela orang yang mengulurkan pakaiannya sehingga sampai menyeretnya ketika berjalan dengan disertai kesombongan."
Bagaimana tanggapan ustadz ?
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Yang
menjadi perbedaan hukum adalah bukan isbal dan menyeretnya, akan tetapi
keberadaan kesombongannya. Isbal haram secara mutlak, dan kemudian jika ia
dilakukan dengan kesombongan, maka hukumannya lebih berat dari yang pertama.
Inilah maksudnya.
Hukum yang dimaksud di situ bukanlah sebatas pengertian wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah; akan tetapi lebih dari itu. Misalnya ayat :
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
"Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku" [QS. Al-Maaidah : 6].
dengan :
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
"Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu" [QS. Al-Maaidah : 6].
Dua ayat di atas sebabnya satu, yaitu keinginan melaksanakan shalat dengan adanya hadats; namun hukum keduanya beda. Yang pertama, yaitu dalam wudlu, adalah membasuh tangan. Adapun yang kedua, yaitu tayammum, adalah menyapu tangan. Maka menurut ulama ushul yang seperti ini tidak dapat diterapkan kaedah hamlul-muthlaq 'alal-muqayyad.
Itu pertama.
Kedua,.. terdapat banyak hadits yang menghalangi penerapan kaedah hamlul-muthlaq 'alal-muqayyad tersebut. Antara lain :
حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَيْسَرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ عَمْرَو بْنَ الشَّرِيدِ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبِعَ رَجُلًا مِنْ ثَقِيفٍ حَتَّى هَرْوَلَ فِي أَثَرِهِ حَتَّى أَخَذَ ثَوْبَهُ فَقَالَ ارْفَعْ إِزَارَكَ قَالَ فَكَشَفَ الرَّجُلُ عَنْ رُكْبَتَيْهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَحْنَفُ وَتَصْطَكُّ رُكْبَتَايَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ خَلْقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَسَنٌ قَالَ وَلَمْ يُرَ ذَلِكَ الرَّجُلُ إِلَّا وَإِزَارُهُ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ حَتَّى مَاتَ
Telah menceritakan kepada kami Rauh : Telah menceritakan kepada kami Zakariyyaa bin Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Maisarah : Bahwasannya ia pernah mendengar ‘Amr bin Syariid menceritakan dari ayahnya : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengikuti seorang laki-laki dari Tsaqiif dengan berlari-lari kecil hingga beliau memegang pakaian yang dikenakan orang tersebut. Lalu beliau bersabda : “Angkatlah kain sarungmu !”. Perawi berkata : Maka laki-laki tersebut menyingkap kedua lututnya seraya berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kakiku bengkok dan saling beradu kedua lututku tersebut (yaitu : cacat – Abul-Jauzaa’)”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Setiap ciptaan Allah ‘azza wa jalla itu baik”. Perawi berkata : Maka orang tersebut tidak pernah terlihat sejak itu melainkan kain sarungnya hanya sampai pertengahan betisnya hingga ia meninggal dunia” [Al-Musnad, 4/390].
Silakan baca beberapa faedah yang ada dalam hadits di atas di artikel :
Beberapa Faedah Hadits ‘Amru bin Syariid tentang Pengharaman Isbaal.
Wallaahu a'lam.
NB : Masalah hukum isbal merupakan khilaf mu'tabar yang dibicarakan para ulama kita semenjak dulu.
Hukum yang dimaksud di situ bukanlah sebatas pengertian wajib, sunnah, makruh, haram, dan mubah; akan tetapi lebih dari itu. Misalnya ayat :
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
"Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku" [QS. Al-Maaidah : 6].
dengan :
فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
"Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu" [QS. Al-Maaidah : 6].
Dua ayat di atas sebabnya satu, yaitu keinginan melaksanakan shalat dengan adanya hadats; namun hukum keduanya beda. Yang pertama, yaitu dalam wudlu, adalah membasuh tangan. Adapun yang kedua, yaitu tayammum, adalah menyapu tangan. Maka menurut ulama ushul yang seperti ini tidak dapat diterapkan kaedah hamlul-muthlaq 'alal-muqayyad.
Itu pertama.
Kedua,.. terdapat banyak hadits yang menghalangi penerapan kaedah hamlul-muthlaq 'alal-muqayyad tersebut. Antara lain :
حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مَيْسَرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ عَمْرَو بْنَ الشَّرِيدِ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبِعَ رَجُلًا مِنْ ثَقِيفٍ حَتَّى هَرْوَلَ فِي أَثَرِهِ حَتَّى أَخَذَ ثَوْبَهُ فَقَالَ ارْفَعْ إِزَارَكَ قَالَ فَكَشَفَ الرَّجُلُ عَنْ رُكْبَتَيْهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَحْنَفُ وَتَصْطَكُّ رُكْبَتَايَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ خَلْقِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَسَنٌ قَالَ وَلَمْ يُرَ ذَلِكَ الرَّجُلُ إِلَّا وَإِزَارُهُ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ حَتَّى مَاتَ
Telah menceritakan kepada kami Rauh : Telah menceritakan kepada kami Zakariyyaa bin Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Maisarah : Bahwasannya ia pernah mendengar ‘Amr bin Syariid menceritakan dari ayahnya : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mengikuti seorang laki-laki dari Tsaqiif dengan berlari-lari kecil hingga beliau memegang pakaian yang dikenakan orang tersebut. Lalu beliau bersabda : “Angkatlah kain sarungmu !”. Perawi berkata : Maka laki-laki tersebut menyingkap kedua lututnya seraya berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kakiku bengkok dan saling beradu kedua lututku tersebut (yaitu : cacat – Abul-Jauzaa’)”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Setiap ciptaan Allah ‘azza wa jalla itu baik”. Perawi berkata : Maka orang tersebut tidak pernah terlihat sejak itu melainkan kain sarungnya hanya sampai pertengahan betisnya hingga ia meninggal dunia” [Al-Musnad, 4/390].
Silakan baca beberapa faedah yang ada dalam hadits di atas di artikel :
Beberapa Faedah Hadits ‘Amru bin Syariid tentang Pengharaman Isbaal.
Wallaahu a'lam.
NB : Masalah hukum isbal merupakan khilaf mu'tabar yang dibicarakan para ulama kita semenjak dulu.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Tentang
riwayat yang dikatakan menunjukkan sifat pakaian Abu Bakr :
الطبقات الكبرى (3/ 188)
أجنأ لا يستمسك إزاره يسترخي عن حقوته
“Beliau berdahi menonjol (nonong), Izarnya (kain bawahannya) tidak terikat, terjuntai dari pinggangnya (At-Thobaqot-Al-Kubro, vol.3, hlm 1288)
Maka sanad riwayat ini sangat lemah karena keberadaan Al-Waqidiy, seorang yang matruuk.
الطبقات الكبرى (3/ 188)
أجنأ لا يستمسك إزاره يسترخي عن حقوته
“Beliau berdahi menonjol (nonong), Izarnya (kain bawahannya) tidak terikat, terjuntai dari pinggangnya (At-Thobaqot-Al-Kubro, vol.3, hlm 1288)
Maka sanad riwayat ini sangat lemah karena keberadaan Al-Waqidiy, seorang yang matruuk.
Ustadz
bagaimana dengan kedua atsar sahabat ini ?
"Terdapat sejumlah riwayat yang menunjukkan bahwa Isbal dilakukan sejumlah shahabat dan Tabiin. Diantaranya isbal Ibnu Mas’ud. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (8/ 202)
عَنْ أَبِي وَائِلٍ ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ ؛ أَنَّهُ كَانَ يُسْبِلُ إِزَارَهُ ، فَقِيلَ لَهُ ، فَقَالَ : إِنِّي رَجُلٌ حَمِشُ السَّاقَيْنِ.
Dari Abu Wail, dari Ibnu Mas’ud bahwasanya ia menjulurkan sarungnya. Lalu ditanyakan kepadanya perihal Isbalnya, ia pun menjawab, “Aku adalah seorang yang kecil kedua betisnya.” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Cukup jelas dalam riwayat diatas bahwa Ibnu Mas’ud melakukan Isbal. Seandainya Isbal memang haram secara mutlak, maka tidak mungkin Ibnu Mas’ud melakukannya meski dengan alasan menutupi betisnya yang kecil.
Tidak bisa menafsirkan bahwa Isbalnya ibnu Mas’ud bermakna Isbalnya tidak melewati matakaki. Karena jika pakaian tidak melewati mata kaki, maka menurut yang mengharamkan secara mutlak hal itu bukan tercela, bukan barang yang aneh sehingga tidak perlu ditanyakan. Ketika Isbal ibnu Mas’ud ditanyakan dan dipandang aneh karena bertentangan dengan sejumlah Nash yang melarang dan mungkin juga dengan fatwa beliau, maka hal ini menunjukkan bahwa Isbal beliau adalah melewati mata kaki. Lagipula, penyebutan Isbal hukum asalnya harus difahami yang melewati matakaki, karena kondisi itulah yang dicela dalm sejumlah Nash. Menafsirkan Isbal Ibnu Mas’ud hanya dalam kondisi darurat juga tidak bisa diterima, karena kaki kecil bukan kondisi darurat. Apalagi ada riwayat yang menunjukkan Nabi tetap melarang Isbal pada orang yang berkaki bengkok ketika ditemukan kondisi sombong padanya. Riwayat ini mnunjukkan bahwa kaki bengkok apalagi sekedar betis kecil bukanlah kondisi darurat.
Shahabat lain yang diriwayatkan melakukan Isbal adalah Ibnu Abbas. At-Thobaroni meriwayatkan;
المعجم الكبير للطبراني (9/ 89، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ:رَأَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ أَيَّامَ مِنًى طَوِيلَ الشَّعْرِ، عَلَيْهِ إِزَارٌ فِيهِ بَعْضُ الإِسْبَالِ، وَعَلَيْهِ رِدَاءٌ أَصْفَرُ.
Dari Abu Ishaq, ia berkata, “Aku melihat Ibnu Abbas pada hari Mina beliau berambut panjang, mengenakan sarung yang mencapai sebagian Isbal, dan mengenakan mantel berwarna kuning.” (H.R.At-Thobaroni)
Riwayat yang lain berbunyi;
سنن النسائي الكبرى (5/ 484)
عن مولى بن عباس : أن بن عباس كان إذا اتزر أرخى مقدم إزاره حتى تقع حاشيته على ظهر قدمه
Dari budak ibnu Abbas, bahwasanya ibnu Abbas jika mengenakan sarung beliau menjulurkan bagian depan sarungnya hingga ujung sarungnya menyentuh punggung kakinya. (H.R.An-Nasai)
Lafadz yang berbunyi
حتى تقع حاشيته على ظهر قدمه
“hingga ujung sarungnya menyentuh punggung kakinya“
Menunjukkan bahwa pakaian Ibnu Abbas melebihi mata kaki. Tidak perlu terlalu memaksa diri dengan menafsirkan bahwa Hasyiyah adalah Ahdab (rumbai-rumbai), bukan ujung pakaian. Betapapun ditafsirkan rumbai-rumbai, maka hal itu tetap bermakna Isbal yang melebihi mata kaki. Apalagi secara bahasa Hasyiyah dengan rumbai-rumbai (Ahdab) itu berbeda. Ahdab adalah ujung Hasyiyah, bukan Hasyiyah itu sendiri. Menurut Ibnu Sidah dalam Al-Muhkam Hasyiyah malah dijelaskan tidak ada rumbai-rumbainya."
(Afwan kalo ini doble post..)
Maaf ustadz ana nanya2.. soalnya ana kesulitan membawa pemahaman kedua atsar diatas (kalo shahih) pada pengharaman isbal tanpa sombong..
"Terdapat sejumlah riwayat yang menunjukkan bahwa Isbal dilakukan sejumlah shahabat dan Tabiin. Diantaranya isbal Ibnu Mas’ud. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
مصنف ابن أبي شيبة (8/ 202)
عَنْ أَبِي وَائِلٍ ، عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ ؛ أَنَّهُ كَانَ يُسْبِلُ إِزَارَهُ ، فَقِيلَ لَهُ ، فَقَالَ : إِنِّي رَجُلٌ حَمِشُ السَّاقَيْنِ.
Dari Abu Wail, dari Ibnu Mas’ud bahwasanya ia menjulurkan sarungnya. Lalu ditanyakan kepadanya perihal Isbalnya, ia pun menjawab, “Aku adalah seorang yang kecil kedua betisnya.” (H.R.Ibnu Abi Syaibah)
Cukup jelas dalam riwayat diatas bahwa Ibnu Mas’ud melakukan Isbal. Seandainya Isbal memang haram secara mutlak, maka tidak mungkin Ibnu Mas’ud melakukannya meski dengan alasan menutupi betisnya yang kecil.
Tidak bisa menafsirkan bahwa Isbalnya ibnu Mas’ud bermakna Isbalnya tidak melewati matakaki. Karena jika pakaian tidak melewati mata kaki, maka menurut yang mengharamkan secara mutlak hal itu bukan tercela, bukan barang yang aneh sehingga tidak perlu ditanyakan. Ketika Isbal ibnu Mas’ud ditanyakan dan dipandang aneh karena bertentangan dengan sejumlah Nash yang melarang dan mungkin juga dengan fatwa beliau, maka hal ini menunjukkan bahwa Isbal beliau adalah melewati mata kaki. Lagipula, penyebutan Isbal hukum asalnya harus difahami yang melewati matakaki, karena kondisi itulah yang dicela dalm sejumlah Nash. Menafsirkan Isbal Ibnu Mas’ud hanya dalam kondisi darurat juga tidak bisa diterima, karena kaki kecil bukan kondisi darurat. Apalagi ada riwayat yang menunjukkan Nabi tetap melarang Isbal pada orang yang berkaki bengkok ketika ditemukan kondisi sombong padanya. Riwayat ini mnunjukkan bahwa kaki bengkok apalagi sekedar betis kecil bukanlah kondisi darurat.
Shahabat lain yang diriwayatkan melakukan Isbal adalah Ibnu Abbas. At-Thobaroni meriwayatkan;
المعجم الكبير للطبراني (9/ 89، بترقيم الشاملة آليا)
عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، قَالَ:رَأَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ أَيَّامَ مِنًى طَوِيلَ الشَّعْرِ، عَلَيْهِ إِزَارٌ فِيهِ بَعْضُ الإِسْبَالِ، وَعَلَيْهِ رِدَاءٌ أَصْفَرُ.
Dari Abu Ishaq, ia berkata, “Aku melihat Ibnu Abbas pada hari Mina beliau berambut panjang, mengenakan sarung yang mencapai sebagian Isbal, dan mengenakan mantel berwarna kuning.” (H.R.At-Thobaroni)
Riwayat yang lain berbunyi;
سنن النسائي الكبرى (5/ 484)
عن مولى بن عباس : أن بن عباس كان إذا اتزر أرخى مقدم إزاره حتى تقع حاشيته على ظهر قدمه
Dari budak ibnu Abbas, bahwasanya ibnu Abbas jika mengenakan sarung beliau menjulurkan bagian depan sarungnya hingga ujung sarungnya menyentuh punggung kakinya. (H.R.An-Nasai)
Lafadz yang berbunyi
حتى تقع حاشيته على ظهر قدمه
“hingga ujung sarungnya menyentuh punggung kakinya“
Menunjukkan bahwa pakaian Ibnu Abbas melebihi mata kaki. Tidak perlu terlalu memaksa diri dengan menafsirkan bahwa Hasyiyah adalah Ahdab (rumbai-rumbai), bukan ujung pakaian. Betapapun ditafsirkan rumbai-rumbai, maka hal itu tetap bermakna Isbal yang melebihi mata kaki. Apalagi secara bahasa Hasyiyah dengan rumbai-rumbai (Ahdab) itu berbeda. Ahdab adalah ujung Hasyiyah, bukan Hasyiyah itu sendiri. Menurut Ibnu Sidah dalam Al-Muhkam Hasyiyah malah dijelaskan tidak ada rumbai-rumbainya."
(Afwan kalo ini doble post..)
Maaf ustadz ana nanya2.. soalnya ana kesulitan membawa pemahaman kedua atsar diatas (kalo shahih) pada pengharaman isbal tanpa sombong..
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Tentang
atsar Ibnu Mas'uud, maka itu tidak bisa menjadi dalil kebolehan isbal. Ibnu
Mas'uud melakukan isbal karena untuk menutupi cacatnya, dan itu boleh.
Pembolehan ini dengan adanya sebab, seperti misal pembolehan salah seorang
shahabat memasang emas di hidungnya yang cacat. Padahal, emas dilarang dipakai
oleh laki-laki. Apakah dengan riwayat ini akan dikatakan bahwa emas boleh
hukumnya dipakai laki-laki secara mutlak ?.
Riwayat Ibnu 'Abbaas yang dibawakan Ath-Thabaraaniy (9/89) adalah lemah karena faktor Syariik bin 'Abdillah Al-Kuufiy, seorang yang shaduuq, namun banyak salahnya dan berubah hapalannya ketika menjabat qaadliy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2802].
Adapun riwayat Ibnu 'Abbaas yang terdapat dalam As-Sunan Al-Kubraa selengkapnya berbunyi :
أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ إِذَا اتَّزَرَ، أَرْخَى مُقَدَّمَ إِزَارِهِ، حَتَّى تَقَعَ حَاشِيَتُهُ عَلَى ظَهْرِ قَدَمِهِ، وَيَرْفَعَ الإِزَارَ مَمَا وَرَاءَهُ، فَقُلْتُ لَهُ: لَمْ تَتَّزِرُ هَكَذَا؟ قَالَ: " رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَّزِرُ هَذِهِ الأَزْرَةَ "
Bahwasannya Ibnu 'Abbaas apabila memakai sarung, ia menjulurkan bagian depan sarungnya hingga ujung sarungnya menyentuh belakang kakinya. Dan ia mengangkat kain sarung yang di belakangnya. Aku katakan kepadanya : "Mengapa engkau mengenakan seperti itu ?". Ibnu 'Abbaas menjawab : "Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengenakan kain sarung ini (seperti yang aku kenakan)".
Perhatikan riwayat tersebut. Perkataan bahwa ujung sarung Ibnu 'Abbaas menyentuh belakang kakinya itu makna bukanlah isbal, akan tetapi ia masih sebatas mata kaki. Makna itu sangat memungkinkan. Bagaimana bisa ditafsirkan bahwa sifat sarung Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam di bawah mata kaki, sementara Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Hudzaifah :
هذا موضع الإزار فإن أبيت فأسفل فإن أبيت فلا حق للإزار في الكعبين قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح
“Ini (yaitu pertengahan betis) adalah batas panjang kain sarungmu. Apabila engkau enggan, maka boleh di bawahnya. Dan jika engkau enggan, maka tidak ada hak bagi kain sarung untuk melebihi mata kaki” [HR. At-Tirmidzi nomor 1783; dan beliau berkata : Ini adalah hadits hasan shahih].
wallaahu a'lam.
Riwayat Ibnu 'Abbaas yang dibawakan Ath-Thabaraaniy (9/89) adalah lemah karena faktor Syariik bin 'Abdillah Al-Kuufiy, seorang yang shaduuq, namun banyak salahnya dan berubah hapalannya ketika menjabat qaadliy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 436 no. 2802].
Adapun riwayat Ibnu 'Abbaas yang terdapat dalam As-Sunan Al-Kubraa selengkapnya berbunyi :
أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ إِذَا اتَّزَرَ، أَرْخَى مُقَدَّمَ إِزَارِهِ، حَتَّى تَقَعَ حَاشِيَتُهُ عَلَى ظَهْرِ قَدَمِهِ، وَيَرْفَعَ الإِزَارَ مَمَا وَرَاءَهُ، فَقُلْتُ لَهُ: لَمْ تَتَّزِرُ هَكَذَا؟ قَالَ: " رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَّزِرُ هَذِهِ الأَزْرَةَ "
Bahwasannya Ibnu 'Abbaas apabila memakai sarung, ia menjulurkan bagian depan sarungnya hingga ujung sarungnya menyentuh belakang kakinya. Dan ia mengangkat kain sarung yang di belakangnya. Aku katakan kepadanya : "Mengapa engkau mengenakan seperti itu ?". Ibnu 'Abbaas menjawab : "Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam mengenakan kain sarung ini (seperti yang aku kenakan)".
Perhatikan riwayat tersebut. Perkataan bahwa ujung sarung Ibnu 'Abbaas menyentuh belakang kakinya itu makna bukanlah isbal, akan tetapi ia masih sebatas mata kaki. Makna itu sangat memungkinkan. Bagaimana bisa ditafsirkan bahwa sifat sarung Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam di bawah mata kaki, sementara Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Hudzaifah :
هذا موضع الإزار فإن أبيت فأسفل فإن أبيت فلا حق للإزار في الكعبين قال أبو عيسى هذا حديث حسن صحيح
“Ini (yaitu pertengahan betis) adalah batas panjang kain sarungmu. Apabila engkau enggan, maka boleh di bawahnya. Dan jika engkau enggan, maka tidak ada hak bagi kain sarung untuk melebihi mata kaki” [HR. At-Tirmidzi nomor 1783; dan beliau berkata : Ini adalah hadits hasan shahih].
wallaahu a'lam.
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh...
ustd, sata mendapatkan pada salah satu artikel dengan teks :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri melakukan Isbal
Sejumlah riwayat menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri pernah berisbal dan menyeret pakaiannya. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (18/ 85)
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
خَسَفَتْ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ وَثَابَ النَّاسُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ فَجُلِّيَ عَنْهَا ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا
Dari Abu Bakrah radliallahu ‘anhu dia berkata; “Ketika kami berada di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba terjadi gerhana Matahari, maka beliau segera berdiri menuju masjid, dan menyeret pakaiannya karena tergesa-gesa hingga tiba di masjid. Lalu orang-orang pun segera berdiri di sisinya dan beliau mengerjakan shalat dua rakaat. Setelah matahari terang, beliau berkhutbah di hadapan kami seraya bersabda: “Matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang, tetapi keduanya merupakan tanda diantara tanda-tanda kebesaran Allah. Jika kalian melihat kedua gerhana tersebut, maka shalatlah dan berdoalah hingga gerhana tersingkap dari kalian (nampak kembali).” (H.R.Bukhari)
Dalam riwayat Ibnu majah juga terdapat kisah Isbalnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ibnu Majah meriwayatkan;
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ قَالَ
سَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثَلَاثِ رَكَعَاتٍ مِنْ الْعَصْرِ ثُمَّ قَامَ فَدَخَلَ الْحُجْرَةَ فَقَامَ الْخِرْبَاقُ رَجُلٌ بَسِيطُ الْيَدَيْنِ فَنَادَى يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقَصُرَتْ الصَّلَاةُ فَخَرَجَ مُغْضَبًا يَجُرُّ إِزَارَهُ فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ فَصَلَّى تِلْكَ الرَّكْعَةَ الَّتِي كَانَ تَرَكَ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ
Dari Imran Ibnul Hushain ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah salam pada raka’at ketiga dalam shalat ashar, lalu beliau berdiri dan masuk kamar. Maka berdirilah Al Khirbaq, seorang laki-laki yang tangannya lebar, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah shalatnya diringkas?” beliau pun keluar dan marah sambil menyeret kain sarungnya, beliau bertanya tentang hal itu hingga beliau diberitahu tentang hal itu. Kemudian beliau melaksanakan raka’at yang tertinggal lalu salam, kemudian beliau sujud dua kali dan salam kembali. “ (H.R.Ibnu Majah)
Mustahil Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan Isbal -meski hanya sekali- jika Isbal hukumnya haram secara mutlak. Seandainya Isbal memang haram secara mutlak sebagaimana haramnya berzina atau mencuri, maka satu kalipun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak akan pernah melakukannya karena seluruh Nabi Ma’shum (terjaga dari dosa). Isbal yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menunjukkan bahwa larangan Isbal itu tidak mutlak, tetapi Muqoyyad (diikat kondisi tertentu) yaitu kesombongan. Artinya Isbal hukumnya haram jika dilakukan karena sombong, tetapi tidak haram jika dilakukan tidak karena sombong sebagaimana Isbal yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Seandainyapun ada yang memahami bahwa Isbal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah dalam kondisi khusus yaitu dalam kondisi Faza’ (takut) seperti Isbal beliau saat terjadi gerhana matahari, atau dalam kondisi Ghodhob (marah) seperti Isbal beliau saat peristiwa shalat kurang rakaatnya, maka kesimpulan itu justru semakin menguatkan bahwa Isbal tanpa sombong tidak haram. Karena takut dan marah bermakna selain kesombongan. Ketika Nabi melakukan Isbal bukan karena sombong misalnya saat takut dan saat marah, maka Isbal demikian hukumnya Mubah dan tidak tercakup dalam larangan Isbal karena sombong.
bagaimana tanggapan ustd dengan hadist ini?, krn penulis menjadikan hadist tersebut sebagai dalil bahwa isbal itu hukumnya mubah
jazaakallahu khairan
ustd, sata mendapatkan pada salah satu artikel dengan teks :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri melakukan Isbal
Sejumlah riwayat menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri pernah berisbal dan menyeret pakaiannya. Bukhari meriwayatkan;
صحيح البخاري (18/ 85)
عَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
خَسَفَتْ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ وَثَابَ النَّاسُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ فَجُلِّيَ عَنْهَا ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا
Dari Abu Bakrah radliallahu ‘anhu dia berkata; “Ketika kami berada di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba terjadi gerhana Matahari, maka beliau segera berdiri menuju masjid, dan menyeret pakaiannya karena tergesa-gesa hingga tiba di masjid. Lalu orang-orang pun segera berdiri di sisinya dan beliau mengerjakan shalat dua rakaat. Setelah matahari terang, beliau berkhutbah di hadapan kami seraya bersabda: “Matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang, tetapi keduanya merupakan tanda diantara tanda-tanda kebesaran Allah. Jika kalian melihat kedua gerhana tersebut, maka shalatlah dan berdoalah hingga gerhana tersingkap dari kalian (nampak kembali).” (H.R.Bukhari)
Dalam riwayat Ibnu majah juga terdapat kisah Isbalnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Ibnu Majah meriwayatkan;
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ الْحُصَيْنِ قَالَ
سَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثَلَاثِ رَكَعَاتٍ مِنْ الْعَصْرِ ثُمَّ قَامَ فَدَخَلَ الْحُجْرَةَ فَقَامَ الْخِرْبَاقُ رَجُلٌ بَسِيطُ الْيَدَيْنِ فَنَادَى يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقَصُرَتْ الصَّلَاةُ فَخَرَجَ مُغْضَبًا يَجُرُّ إِزَارَهُ فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ فَصَلَّى تِلْكَ الرَّكْعَةَ الَّتِي كَانَ تَرَكَ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ
Dari Imran Ibnul Hushain ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah salam pada raka’at ketiga dalam shalat ashar, lalu beliau berdiri dan masuk kamar. Maka berdirilah Al Khirbaq, seorang laki-laki yang tangannya lebar, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apakah shalatnya diringkas?” beliau pun keluar dan marah sambil menyeret kain sarungnya, beliau bertanya tentang hal itu hingga beliau diberitahu tentang hal itu. Kemudian beliau melaksanakan raka’at yang tertinggal lalu salam, kemudian beliau sujud dua kali dan salam kembali. “ (H.R.Ibnu Majah)
Mustahil Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan Isbal -meski hanya sekali- jika Isbal hukumnya haram secara mutlak. Seandainya Isbal memang haram secara mutlak sebagaimana haramnya berzina atau mencuri, maka satu kalipun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak akan pernah melakukannya karena seluruh Nabi Ma’shum (terjaga dari dosa). Isbal yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menunjukkan bahwa larangan Isbal itu tidak mutlak, tetapi Muqoyyad (diikat kondisi tertentu) yaitu kesombongan. Artinya Isbal hukumnya haram jika dilakukan karena sombong, tetapi tidak haram jika dilakukan tidak karena sombong sebagaimana Isbal yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Seandainyapun ada yang memahami bahwa Isbal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah dalam kondisi khusus yaitu dalam kondisi Faza’ (takut) seperti Isbal beliau saat terjadi gerhana matahari, atau dalam kondisi Ghodhob (marah) seperti Isbal beliau saat peristiwa shalat kurang rakaatnya, maka kesimpulan itu justru semakin menguatkan bahwa Isbal tanpa sombong tidak haram. Karena takut dan marah bermakna selain kesombongan. Ketika Nabi melakukan Isbal bukan karena sombong misalnya saat takut dan saat marah, maka Isbal demikian hukumnya Mubah dan tidak tercakup dalam larangan Isbal karena sombong.
bagaimana tanggapan ustd dengan hadist ini?, krn penulis menjadikan hadist tersebut sebagai dalil bahwa isbal itu hukumnya mubah
jazaakallahu khairan
Abu
Muhammad mengatakan...
Tentang
hadits Abu Bakrah sudah dijawab oleh Ust. Firanda di
http://firanda.com/index.php/artikel/aqidah/273-isbal-no-apa-sih-susahnya-wong-tinggal-ninggikan-celana-sedikit-kan-masih-tetap-keren
Hal tersebut termasuk ketidaksengajaan sebagaimana hadits Abu Bakar (tepatnya Ibnu Umar)
Hal tersebut termasuk ketidaksengajaan sebagaimana hadits Abu Bakar (tepatnya Ibnu Umar)
= 1 =
tentang perkataan nabi terhadap abu bakar yang melorot celananya: "engkau bukan termasuk orang yang melakukannya dengan kesombongan"
kalau misalkan illat larangannya adalah isbal secara dzatnya, bukankah yang lebih tepat bagi nabi untuk mengatakan kepada abu bakar: "ikatlah celanamu sehingga ia tidak isbal" atau "potonglah celanamu, sehingga kalaupun melorot, maka tidak isbal"... akan tetapi yang dikatakan nabi adalah "engkau bukan termasuk orang yang melakukannya dengan kesombongan".
secara nyatanya kita demikian kan? kalau misalkan kita dapati seorang yang -pada asalnya atau pada awal pakai celana yg- tidak isbal, kemudian sering melorot (sehingga ia isbal)... maka bukankah nasehat kita kepadanya untuk memotong, atau untuk mengikatnya sehingga tidak melorot?
maka jelas sekali hadits diatas mengutarakan kepada kita illat larangannya. yaitu "dengan kesombongan", bukan semata-mata hanya karena "isbal"-nya.
adapun "fa innaha minal makhiilah", maka telah berlalu penjelasan jumhur tentang makna "min" dalam makhiilah tersebut.
= 2 =
Adapun tentang perkataan syaikh utsaimin, yang menyatakan dalam hal ini ada "dua hukum, karena ada perbedaan sangsi"
maka ini jelas keliru. dua hadits tersebut hukumnya sama; sama-sama melarang.
yang dilihat bukan sangsinya, tapi hukum perbuatannya.
sabda beliau "maka tidak dilihat Allaah, tidak disucikan, dan baginya adzab yang pedih", dan sabda beliau: "apa-apa yang berada dibawah mata kaki dari kain, maka tempatnya dineraka" maka ini adalah HUKUMAN, bukan HUKUM. Adapun dari sisi hukum, maka hukumnya SAMA, yaitu haram. maka tidak tepat mengatakan hal ini "dua hukum" hanya karena "beda sangsi"; kalau dikatakan "dua hukum" maka hukum apa saja? halal dan haram? makruh dan haram?!
maka jelas, ancaman Neraka dan tidak dilihat Allah pada hari kiamat, BUKAN HUKUM (الحُكْمُ) DALAM PEMBAHASAN Muthlaq-Muqoyyad... Akan tetapi ia adalah hukuman (العقوبات).
Tentu saja ada perbedaan yang jauh antara hukum dengan hukuman. Ancaman siksa atau murka termasuk janji surga atau ridha adalah Qorinah untuk memahami status hukum, BUKAN HUKUM ITU SENDIRI.
maka jelas hukumnya cuma satu, yaitu haram. dan yang membedakan keduanya adalah
- yang satu haditsnya muthlaq (tanpa ada keterkaitan kesombongan),
- yang satu lagi muqayyad (dengan keterkaitan kesombongan).
dan telah kita ketahui bahwa hadits muthlaq harus dibawa kepada muqayyad. menandakan, bahwa keduanya satu hukum, yaitu haram; dengan dikaitkan kepada sesuatu yang mengaitkannya yaitu "karena kesombongan"
tentang perkataan nabi terhadap abu bakar yang melorot celananya: "engkau bukan termasuk orang yang melakukannya dengan kesombongan"
kalau misalkan illat larangannya adalah isbal secara dzatnya, bukankah yang lebih tepat bagi nabi untuk mengatakan kepada abu bakar: "ikatlah celanamu sehingga ia tidak isbal" atau "potonglah celanamu, sehingga kalaupun melorot, maka tidak isbal"... akan tetapi yang dikatakan nabi adalah "engkau bukan termasuk orang yang melakukannya dengan kesombongan".
secara nyatanya kita demikian kan? kalau misalkan kita dapati seorang yang -pada asalnya atau pada awal pakai celana yg- tidak isbal, kemudian sering melorot (sehingga ia isbal)... maka bukankah nasehat kita kepadanya untuk memotong, atau untuk mengikatnya sehingga tidak melorot?
maka jelas sekali hadits diatas mengutarakan kepada kita illat larangannya. yaitu "dengan kesombongan", bukan semata-mata hanya karena "isbal"-nya.
adapun "fa innaha minal makhiilah", maka telah berlalu penjelasan jumhur tentang makna "min" dalam makhiilah tersebut.
= 2 =
Adapun tentang perkataan syaikh utsaimin, yang menyatakan dalam hal ini ada "dua hukum, karena ada perbedaan sangsi"
maka ini jelas keliru. dua hadits tersebut hukumnya sama; sama-sama melarang.
yang dilihat bukan sangsinya, tapi hukum perbuatannya.
sabda beliau "maka tidak dilihat Allaah, tidak disucikan, dan baginya adzab yang pedih", dan sabda beliau: "apa-apa yang berada dibawah mata kaki dari kain, maka tempatnya dineraka" maka ini adalah HUKUMAN, bukan HUKUM. Adapun dari sisi hukum, maka hukumnya SAMA, yaitu haram. maka tidak tepat mengatakan hal ini "dua hukum" hanya karena "beda sangsi"; kalau dikatakan "dua hukum" maka hukum apa saja? halal dan haram? makruh dan haram?!
maka jelas, ancaman Neraka dan tidak dilihat Allah pada hari kiamat, BUKAN HUKUM (الحُكْمُ) DALAM PEMBAHASAN Muthlaq-Muqoyyad... Akan tetapi ia adalah hukuman (العقوبات).
Tentu saja ada perbedaan yang jauh antara hukum dengan hukuman. Ancaman siksa atau murka termasuk janji surga atau ridha adalah Qorinah untuk memahami status hukum, BUKAN HUKUM ITU SENDIRI.
maka jelas hukumnya cuma satu, yaitu haram. dan yang membedakan keduanya adalah
- yang satu haditsnya muthlaq (tanpa ada keterkaitan kesombongan),
- yang satu lagi muqayyad (dengan keterkaitan kesombongan).
dan telah kita ketahui bahwa hadits muthlaq harus dibawa kepada muqayyad. menandakan, bahwa keduanya satu hukum, yaitu haram; dengan dikaitkan kepada sesuatu yang mengaitkannya yaitu "karena kesombongan"
=3=
Kemudian juga,
Disatukannya lafadz;
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ
Dengan lafadz;
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
Tidak menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang Isbal secara mulak.
Hal itu dikarenakan antara dua lafadz tersebut tidak disambung oleh Harf ‘Athof, sehingga tidak bisa difahami dua hal. Lafadz kedua sejatinya adalah penjelas dari lafadz pertama.
artinya...
lafadz;
"Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat"
Menjelaskan lafadz;
"apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka"
Jadi yang dicela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terkait dengan pakaian di bawah matakaki adalah mereka yang melakukannya kerana sombong.
Redaksi semacam ini semakna dengan ayat dalam surat Al-Luqman berikut;
{وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ } [لقمان: 19]
dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Luqman;19)
lafadz;
إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai
Menjelaskan lafadz;
وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ
lunakkanlah suaramu; Yang mana ini melarang bersuara keras.
Dua hal tersebut tidak bisa difahami dua hal (yang terpisah), karena lafadz kedua hal tersebut saling menerangkan, yang mana lafazh yang kedua membuat lebih jelas lafadz sebelumnya.
Tambahan lagi; petunjuk nabi untuk menaikkan pakaian setinggi tengah betis dalam riwayat2 di atas lebih dekat dengan maksud syariat dengan melihat nash2 yang muqoyyad bahwa maksud Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam adalah petunjuk bagi mereka yang berisbal karena sombong.
(faidah dari ustadz abu haura muafa)
Kemudian juga,
Disatukannya lafadz;
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ
Dengan lafadz;
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
Tidak menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang Isbal secara mulak.
Hal itu dikarenakan antara dua lafadz tersebut tidak disambung oleh Harf ‘Athof, sehingga tidak bisa difahami dua hal. Lafadz kedua sejatinya adalah penjelas dari lafadz pertama.
artinya...
lafadz;
"Barangsiapa menjulurkan kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat"
Menjelaskan lafadz;
"apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka"
Jadi yang dicela Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terkait dengan pakaian di bawah matakaki adalah mereka yang melakukannya kerana sombong.
Redaksi semacam ini semakna dengan ayat dalam surat Al-Luqman berikut;
{وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ } [لقمان: 19]
dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Luqman;19)
lafadz;
إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai
Menjelaskan lafadz;
وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ
lunakkanlah suaramu; Yang mana ini melarang bersuara keras.
Dua hal tersebut tidak bisa difahami dua hal (yang terpisah), karena lafadz kedua hal tersebut saling menerangkan, yang mana lafazh yang kedua membuat lebih jelas lafadz sebelumnya.
Tambahan lagi; petunjuk nabi untuk menaikkan pakaian setinggi tengah betis dalam riwayat2 di atas lebih dekat dengan maksud syariat dengan melihat nash2 yang muqoyyad bahwa maksud Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi Wasallam adalah petunjuk bagi mereka yang berisbal karena sombong.
(faidah dari ustadz abu haura muafa)
Alhamdulillah
dapat artikel ini.. Sangat membantu terutama dari komentar komentar nya.. Maaf
saya awam dan sangaat sanggat miskin ilmu.. Namun dengan adanya ulasan ini
mampu menjawab keragu raguan saya.. Intinya JANGAN SOMBONG.. Karna org sombong
lah yg pasti akan masuk neraka.. Mau dia isbal atau tisak isbal jika ada sebijj
dzahrah kesombongan pd dirinya maka dia lah penghuni neraka.. Na'udzubillah..
Ulasan ini sangat membantu agar tidak memandang remeh muslim lain.. Menurut
saya isbal atau non isbal qt tetep 1 yaitu saudara sesama MUSLIM.. Jd jgn
ributkan mslh ini hingga membenci saudara sesamanya.. Dan jangan mengharamkan
dan mengatakan telah melakukan doaa besar kepada muslim lainnya krna beda
pemahaman.. Hindarkanlah perdebatan..
tatarudin al islamy mengatakan...
Tambahan:
Kesamaan di dalam hukuman tidak mengharuskan kesamaan di dalam konsekuensi
hukum bagi pelaku, Contohnya: Orang yang meninggalkan sholat dikumpulkan
bersama Haman dan tokoh-tokoh kafir lainnya, padahal tidak ada kesepakatan
ulama tentang kafirnya orang yang meninggalkan sholat, artinya status pelakunya
beda, namun hukumannya bisa disamakan.
Kemudian mencermati hadits Ibnu Umar, yang nampak bahwa yang dimaksud orang yang tidak melakukannya karena sombong adalah adanya sebab yang menghalangi selama sebab itu bukan sebab yang tidak dibenarkan oleh Nabi,bukan tanpa sebab dan buktinya ada hadits bahwa isbal itu sendiri termasuk kesombongan.
Adapun perbuatan Nabi, maka ada kaidah bahwa jika berbeda antara ucapan dan perbuatan Nabi, maka yang diambil adalah perkataan, sebab perbuatan Nabi bisa merupakan kekhususan bagi Nabi shallallahu alaihi wasllam.
Intinya tidak isbal itu sunnah yang sebaiknya diikuti, namun tidak sampai derajat haram, wallahu a'lam.
Demikian, semoga bermanfaat.
Kemudian mencermati hadits Ibnu Umar, yang nampak bahwa yang dimaksud orang yang tidak melakukannya karena sombong adalah adanya sebab yang menghalangi selama sebab itu bukan sebab yang tidak dibenarkan oleh Nabi,bukan tanpa sebab dan buktinya ada hadits bahwa isbal itu sendiri termasuk kesombongan.
Adapun perbuatan Nabi, maka ada kaidah bahwa jika berbeda antara ucapan dan perbuatan Nabi, maka yang diambil adalah perkataan, sebab perbuatan Nabi bisa merupakan kekhususan bagi Nabi shallallahu alaihi wasllam.
Intinya tidak isbal itu sunnah yang sebaiknya diikuti, namun tidak sampai derajat haram, wallahu a'lam.
Demikian, semoga bermanfaat.
3. Celana Cingkrang Menurut Islam dan Dalilnya
Kita seringkali melihat orang yang
memakai celana diatas mata kaki atau lebih dikenal dengan nama celana
cingkrang. Bahkan, ada sebagian orang yang mengatakan jika celana cingkrang
adalah celana kebanjiran atau celana kekecilan. Pada pembahasan kali ini, kami
akan mengulas tentang celana cingkrang menurut pandangan Islam secara lengkap
untuk anda.
Pendapat Ulama tentang Celana Cingkrang
Penggunaan celana cingkrang ternyata
sudah pernah dibahsa sejak zaman Rasulullah SAW, berikut ini terdapat beberapa
dalil dan pendapat ulama terkait penggunaan celana cingkrang sebagai salah satu
pakaian sehari-hari, antara lain:
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sebagai informasi yang sangat pentin
untuk diketahui jika celana diatas mata kaki atau celana cingkrang merupakan
sunnah dan ajaran yang diberikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini lebih
dikhususkan bagi anak laki laki, sementara untuk wanita diberikan perintah untuk
menutup seluruh bagian telapak kaki. Hal ini bisa terlihat dari pakaian Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang selalu mengenakan celana diatas mata kaki
seperti keseharian yang dilakukan beliau.
Al Asy’ats bin Sulaim berkata jika ia
pernah mendengar bibi saya menceritakan dari pamannya yang berkata, “Ketika
saya sedang berjalan di kota Al Madinah, tiba-tiba seorang laki-laki di
belakangku berkata, ’Angkat kainmu, karena itu akan lebih bersih.’ Ternyata
orang yang berbicara itu adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku
berkata,”Sesungguhnya yang kukenakan ini tak lebih hanyalah burdah yang
bergaris-garis hitam dan putih”. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Apakah engkau tidak menjadikan aku sebagai teladan?” Aku melihat kain sarung
beliau, ternyata ujung bawahnya di pertengahan kedua betisnya.”
Hudzaifah bin Al Yaman berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang salah satu atau kedua
betisnya. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Di sinilah letak
ujung kain. Kalau engkau tidak suka, bisa lebih rendah lagi. Kalau tidak suka
juga, boleh lebih rendah lagi, akan tetapi tidak dibenarkan kain tersebut
menutupi mata kaki.” (Lihat Mukhtashor Syama’il Al Muhammadiyyah, hal.70,
Syaikh Al Albani berkata bahwa hadits ini shohih)
Dari dua hadits diatas membuktikan jika
celana yang dikenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berada diatas
mata kaki sampai ke bagian tengah betis. Diperbolehkan untuk seseorang
menurunkan celananya akan tetapi dengan syarat tidak sampai menutupi mata kaki
sebab Nabi Muhammad SAW adalah teladan terbaik untuk umat muslim.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
(QS. Al Ahzab [60] : 21)
Pandangan Syeikh Abdul Aziz bin Baz
Dalam fatwanya, beliau memberi penegasan
mengenai pakaian apapun yang melewati mara kaki akan menyeret pelakunya menuju
ke neraka. [HR. Bukhari]
Beliau memberi perbedaan tentang ciri
dosa kecil dan dosa besar. Dosa besar merupakan perintah dan juga larangan yang
memiliki kandungan kata azab, siksa pedih, neraka dan lain sebagainya.
Sedangkan dosa kecil adalah dosa yang tidak mengandung pernyataan seperti pada
dosa besar. Oleh karena itulah menurutnya haram meskipun tidak diiringi dengan
sombong namun perbuatannya bisa menuju kesombongan karena dihukumi sama dengan
tujuan dan orang yang melakukannya dengan sombong maka dosanya akan lebih
besar.
Pandangan Ibnu Hajar al-Asqalani
Ibnu Hajar di dalam kitabnya Faithul Bari
memberi penjelasan dika diperbolehkan memakai celana cingkrang selama tidak
diikuti dengan rasa sombong karena menurutnya sifat sombong merupakan taqyid
atau syarat ketentuan penetapan dosa untuk pelaku isbal. Walaupun tersirat jika
hadits isbal memperlihatkan keharaman, akan tetapi beberapa hadits tersebut
juga memperlihatkan adanya taqyid haramnya isbal yang dikarenakan sombong.
Selama seseorang tidak sombong walau memakai celana melebihi mata kaki, hal
tersebut tidak termasuk haram dan diperbolehkan sehingga penetapan dosa yang
berhubungan dengan isbal bergantung pada masalah tersebut.
Pandangan Imam An-Nawawi
Imam An Nawawi memberikan penjelasan di
dalam kitabnya Syarh Sahih Muslim, beberapa hadis yang secara umum mengatakan
jika segala pakaian yang lewat dari batas mata kaki tempatnya di neraka
bermaksud bisa terjadi pada orang yang sombong. Sombong merupakan taqyid yang
mengkhususkan keumuman musbil atau orang yang melakukan isbal pada kainnya sehingga
yang dimaksud dengan ancaman dosa adalah kepada orang yang sudah memanjangkan
celana akan tetapi berlaku sombong.
Pandangan Ibnu Taimiyah
Ibnu Tamiyah juga mengungkapkan hal
serupa dengan Syarh al Umdah, beliau berkata jika kebanyakan hadits tentang isbal
memuat kata khuyala atau sombong sebagai ketentuan syarat haramnya isbal.
Beliau juga memberikan penjelasan jika sudah menjadi hal umum jika isbal
merupakan kelakuan yang memperlihatkan kesombongan. Oleh karena itu, hadits
yang secara umum hanya menyebutkan sarung atau celana dibawah mata kaki maka
memiliki tempat di neraka tanpa menyebutkan taqyid atau sombong sebab sudah
menjadi hal umum jika menjulurkan kain adalah tabiat dari orang sombong.
Pandangan Asy-Syaukani
Asy Syaukani berkata dalam Nailaul Authar
jika potongan sabda Nabi SAW pada Abu Bakar, ” Kalau anda yang melakukan hal
itu pasti bukan karena sombong.” adalah sebuah peryataan yang sangat jelas dan
fokus karena keharaman isbal adalah sombong. Seseorang yang melakukan isbal
dapat diikuti dengan rasa sombong dan bisa juga tidak sehingga keumuman hukum
haramnya isbal harus dibawa pada hadis berbentuk muqayyad yang sudah disebutkan
sebelumnya yakni hukum isbal menjadi haram apabila mengandung sifat sombong.
Dalil Seputar Celana Cingkrang
Isbal memiliki arti menjulurkan pakaian
melebihi mata kaki merupakan hal terlarang di dalam Islam dan hukumnya
setidaknya makruh atau bahkan diharamkan. Ada banyak dalil dari hadits Nabi
Muhammad yang mendasari hal tersebut.
1.Bukhari 3665, Muslim 2085
“Barangsiapa menjulurkan pakaiannya
karena sombong, tidak akan dilihat oleh Allah pada hari kiamat. Abu Bakar lalu
berkata: ‘Salah satu sisi pakaianku akan melorot kecuali aku ikat dengan
benar’. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Engkau tidak melakukan
itu karena sombong’.Musa bertanya kepada Salim, apakah Abdullah bin Umar
menyebutkan lafadz ‘barangsiapa menjulurkan kainnya’? Salim menjawab, yang saya
dengan hanya ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya’.”
2. Bukhari, 3485
“Ada seorang lelaki yang kainnya terseret
di tanah karena sombong. Allah menenggelamkannya ke dalam bumi. Dia
meronta-ronta karena tersiksa di dalam bumi hingga hari Kiamat terjadi”.
3. Bukhari 5787
“Kain yang panjangnya di bawah mata kaki
tempatnya adalah neraka”
4. Muslim, 106
“Ada tiga jenis manusia yang tidak akan
diajak bicara oleh Allah pada hari Kiamat, tidak dipandang, dan tidak akan
disucikan oleh Allah. Untuk mereka bertiga siksaan yang pedih. Itulah laki-laki
yang isbal, orang yang mengungkit-ungkit sedekah dan orang yang melariskan
barang dagangannya dengan sumpah palsu”.
5. Abu Daud 4084, dishahihkan Al Albani
dalam Shahih Sunan Abi Daud
“Janganlah kalian mencela orang lain.
Janganlah kalian meremehkan kebaikan sedikitpun, walaupun itu hanya dengan
bermuka ceria saat bicara dengan saudaramu. Itu saja sudah termasuk kebaikan.
Dan naikan kain sarungmu sampai pertengahan betis. Kalau engkau enggan, maka
sampai mata kaki. Jauhilah isbal dalam memakai kain sarung. Karena isbal itu
adalah kesombongan. Dan Allah tidak menyukai kesombongan”
6. Muslim no. 2086
“Aku (Ibnu Umar) pernah melewati
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara kain sarungku terjurai
(sampai ke tanah). Beliau pun bersabda, “Hai Abdullah, naikkan
sarungmu!”. Aku pun langsung menaikkan kain sarungku. Setelah itu
Rasulullah bersabda, “Naikkan lagi!” Aku naikkan lagi. Sejak itu aku selalu
menjaga agar kainku setinggi itu.” Ada beberapa orang yang bertanya, “Sampai di
mana batasnya?” Ibnu Umar menjawab, “Sampai pertengahan kedua betis.”
7. Ibnu Maajah no.2892, dishahihkan Al Albani
dalam Shahih Ibni Maajah
Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu’anhu
beliau berkata, “Aku melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mendatangi
kamar Sufyan bin Abi Sahl, lalu beliau berkata: ‘Wahai Sufyan, janganlah engkau
isbal. Karena Allah tidak mencintai orang-orang yang musbil’”
8. Bukhari 5788
“Pada hari Kiamat nanti Allah tidak akan
memandang orang yang menyeret kainnya karena sombong”
Dari beberapa dalil diatas memperlihatkan
jika Islam melarang isbal atau mengenakan kain atau celana melebihi dari batas
mata kaki baik dalam larangan sampai ke tingkat haram atau tidaknya. Sehingga
sangat baik jika umat Islam mengindahkan larangan tersebut. Namun, memakai
celana melebihi mata kaki hukumnya makruh apabila tidak didasari dengan tujuan
sombong. Pada dasarnya, pakaian orang Islam yang beriman adalah setengah betis
atau cingkrang. Namun jika ingin memakai yang melebihi maka tidak menjadi
masalah asalkan tidak melewati kedua mata kaki karena akan dihukumi isbal dan
terkena ancaman seperti beberapa hadits yang sudah diulas diatas. Oleh karena
itu, marilah membenahi diri dengan berpakaian seperti orang beriman layaknya
perintah Rasulullah SAW dan celana cingkrang bukan kekurangan namun menjadi
simbol keimanan dan bukan berarti bid’ah namun ibadah.
4. Hadits Sahih Hukum Celana Ngatung /
Cingkrang (Tidak Isbal)
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi
wabarokatuh,
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا
وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ
يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ
لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صلى الله
عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين
‘Innalhamdalillaah, nahmaduhu
wanasta’inuhu, wanastaghfiruh. Wana’udzubillaahiminsyururi anfusina waminsyay
yiati a’malina, may yahdihillahu fala mudzillalah, wamay yut’lil fala
hadziyalah. Asyhadu alailahaillallahu wah dahula syarikalah wa assyhadu anna
muhammadan ‘abduhu warosuluh.Salallahu’alaihi wa ‘ala alihi wa sahbihi wa man
tabi’ahum bi ihsanin illa yaumiddiin’.
Fainna ashdaqal hadits kitabaLLAH wa
khairal hadyi hadyu Muhammad Salallahu’alaihiwassalam, wa syarral ‘umuri
muhdatsatuha, Wa kullu muhdatsatin bid’ah wa kullu bid’atin dhalalah wa kullu
dhalalatin fin nar… Ammaba’du
” Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami
telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian
indah itu perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian
itu adalah sebagian dari tanda kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala mudah
mudahan mereka selalu ingat.” (QS Al A’raf -26)
Yang akan dibahas kali ini seputar:
1.Larangan Melakukan Isbal Pada Pakaian
2.Hukum Isbal Karena Sombong dan Tidak
Sombong
3.Tidak Boleh Isbal Sama Sekali
4.Hukum Memanjangkan Celana
5.Isbal Tanpa Kesombongan
6.Beberapa Kondisi yang Dikecualikan dari
Hukum Haramnya Isbal
7.Batasan Sunnah dalam Pakaian
Muqodimah
Segala Puji Bagi Allah Subhanahu wa
Ta’ala Rabb semesta alam. Aku bersaksi tiada yang berhak diibadahi selain Allah
Subhanahu wa Ta’ala tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan Aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semoga Allah Subhanahu wa
Ta’ala memberikan shalawat kepada beliau, keluarganya, sahabatnya dan orang
yang mengikuti sunnah-sunnah beliau serta orang yang mendapatkan hidayah dengan
bimbingan beliau hingga hari akhir.
Setelah itu, merupakan suatu kewajiban
bagi muslimin untuk mencintai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
menta’ati beliau dengan melaksanakan perintah-perintahnya dan menjauhi larangan-larangannya
serta membenarkan berita yang dibawa beliau. Itu semua bisa menunjukkan
realisasi Syahadat Laa ilaha ila Allah dan Muhammad Rasulullah. Dengan itu dia
bisa mendapatkan pahala dan selamat dari hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tanda dan bukti hal itu adalah dengan
terus komitmen melaksanakan simbol-simbol Islam, dalam bentuk perintah,
larangan, penerangan, ucapan, keyakinan maupun amalan. Dan hendaklah dia
mengatakan :
“sami’na wa atha’na (kami mendengar dan
taat)”.
Diantara hal itu adalah membiarkan
jenggot (tidak mencukurnya) dan memendekkan pakaian sebatas kedua mata kaki
yang dilakukan karena ta’at kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya
serta mengharapkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan takut pada
hukumanNya.
Kalau kita mau memeperhatikan kebanyakan
orang ? semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah kepada mereka dan
membimbing mereka kepada kebenaran ? akan didapati mereka melakukan perbuatan
Isbal (menurunkan pekaian di bawah mata kaki) pada pakaian dan bahkan sampai
terseret di atas tanah.
Itu adalah perbuatan yang mengandung
bahaya besar, karena menentang perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya
dan itu adalah sikap menantang, pelakunya akan mendapat ancaman keras.
Isbal dianggap salah satu dosa besar yang
diancam dengan ancaman yang keras. Beranjak dari kewajiban untuk saling tolong
menolong dalam kebaikan dan taqwa, saling nasehat menasehati dengan kebenaran,
menginginkan agar saudara-saudaraku kaum muslim mendapat kebaikan dan karena
takut kalau mereka tertimpa hukuman yang buruk akibat mayoritas orang melakukan
maksiat.
Saya kumpulkan risalah ini berkaitan
dengan tema Isbal dan berisi anjuran untuk memendekkan pakaian hingga diatas
kedua mata kaki bagi pria serta berisi ancaman bagi yang melakukan Isbal dan
memanjangkan melewati mata kaki.
Larangan untuk melakukan Isbal adalah
larangan yang bersifat umum,apakah karena sombong atau tidak. Itu sama saja
dengan keumuman nash. Tapi, bila dilakukan karena sombong maka hal itu lebih
keras lagi kadar keharamannya dan lebih besar dosanya .
Isbal adalah suatu lambang kesombongan
dan orang yang memiiki rasa sombong dalam hatinya walaupun seberat biji dzarrah
tidak akan masuk surga, sebagaimana yang diterangkan dalam hadist yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Maka wajib bagi seorang muslim untuk
menyerah dan tunduk dan mendengar dan taat kepada perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasulullah sebelum kematian datang menunjunginya, bila samapai
demikian ia akan menemukan ancaman yang dulu telah disampaikan kepadanya.
Ketika itu dia menyesal dan tidak ada manfaat penyesalan di waktu itu.
Wajib baginya untuk bertaubat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dari maksiat isbal (memanjangkan celana) dan maksiat
lainnya. Hendaklah ia memendekkan pakaiannya di atas kedua mata kaki dan
menyesali apa yang telah dia lakukan selama hidupnya.
Dan hendaklah ia bertekad dengan
sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi maksiat-maksiat di sisa umurnya yang
singkat ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menerima taubat bagi orang yang mau
bertaubat. Seorang yang bertaubat dari suatu dosa seperti orang yang tidak
memiliki dosa.
Risalah ini diambil dari ayat Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan sabda Rasulullah serta ucapan para peneliti dari
kalangan Ulama. Saya mohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar ia memberi
manfaat risalah ini kepada penulisnya, atau pencetaknya, atau pembacanya, atau
pendengarnya. Dan saya memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar ia
menjadikan amalan ini ikhlas untuk mengharap waahnya yang mulia dan menjadi
sebab untuk mencari kebahagian sorga yang nikmat.
Dan saya berharap agar Allah Subhanahu wa
Ta’ala memberi hidayah kepada Muslim yang masih melakukan Isbal pada pakaian
mereka unuk melaksanakan sunnah Nabi mereka, Muhammad Ibn Abdullah, yaitu
dengan memendekkannya. Dan saya berharap agar Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjadikan mereka sebagai orang orang yang membimbing lagi mendapatkan hidayah.
Semoga salawat dan salam tercurah pada Nabi kita, Muhammad, keluarganya, dan
sahabatnya dan segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Rabb Semesta
alam.
1.Larangan Melakukan Isbal Pada Pakaian
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang telah memberikan nikmat kepada para hambanya berupa pakaian yang
menutup aurat-aurat mereka dan memperindah bentuk mereka.
Dan ia telah menganjurkan untuk memakai
pakaian takwa dan mengabarkan bahwa itu adalah sebaik-baiknya pakaian.
Saya bersaksi tidak ada yang diibadahi
selain Allah Subhanahu wa Ta’ala yang maha Esa. Tiada sekutu baginya miliknya
segenap kekuasan di langit dan di bumi dan kepadanya kembali segenap makhluk di
hari Akhir. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad itu ialah utusan Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Dan tidak ada satupun kebaikan kecuali telah diajarkan beliau kepada
ummatnya.
Dan tidak ada suatu kejahatan kecuali telah
diperingatkan beliau kepada ummatnya agar jangan mlakukannya. Semuga Shalawat
serta Salam tercurah kepada beliau, keluarganya, dan para sahabatnya dan orang
yang berjalan di atas manhaj Beliau dan berpegang kepda sunnah beliau.
“Wahai kaum muslimin, bertakwalah kalian
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
berfirman :
” Wahai anak Adam, sesungguhnya Kami
telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian
indah itu perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian
itu adalah sebagian dari tanda kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala mudah
mudahan mereka selalu ingat.” (QS Al A’raf -26)
Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan
nikmat kepada para hambaNya berupa pakaian dan keindahan. Dan pakaian yang
dimaksudkan oleh ayat ini ialah pakaian yang menutupi aurat. Dan ar riisy yang
dimaksud ayat ini adalah memperindah secara dlohir. maka pakaian adalah suatu
kebutukan yang penting, sedangkan ar riisy adalah kebutuhan pelengkap.
Imam Ahmad meriwatkan dalam musnadnya,
beliau berkata : Abu Umamah pernah memakai pakaian baru, ketika pakaian itu
lusuh ia berkata :
“Segala puji bagi Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang telah memberikan pakai ini kepadaku guna menutupi auratku dan
memperindah diriku dalam kehidupanku”,
kemudian ia berkata : aku mendengar Umar
Ibn Khattab berkata : Rasulullah bersabda :
“Siapa yang mendapatkan pakaian baru
kemudian memakainya. Dan kemudian telah lusuh ia berkata segala puji bagi Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan pakaian ini kepadaku guna menutupi
auratku dan memperindah diriku dalam kehidupanku dan mengambil pakaian yang
lusuh dan menyedekahkannya, dia berada dalam pengawasan dan lindungan dan hijab
Allah Subhanahu wa Ta’ala, hidup dan matinya.” (HR Ahmad, Tirmidzi dan Ibn
Majah. Dan Turmudzi berkata hadis ini gharib )
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memberikan pakaian tubuh yang digunakan untuk menutup aurat, membalut tubuh dan
memperindah bentuk, Allah Subhanahu wa Ta’ala memperingatkan bahwa ada pakaian
yang lebih bagus dan lebih banyak faedahnya yaitu pakaian taqwa. Yang pakaian
taqwa itu ialah menghiasi diri dengan berbagai keutamaan-keutamaan.
Dan membersihkan dari berbagai kotoran.
Dan pakaian taqwa adalah tujuan yang dimaukan. Dan siapa yang tidak memakai
pakaian taqwa, tidak manfaat pakaian yang melekat di tubuhnya.
Bila seseorang tidak memakai pakaian
taqwa, berarti ia telanjang walaupun ia berpakaian.
Maksudnya :
Pakaian yang disebut tadi adalah agar
kalian agar mengingat nikmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan menyukurinya. Dan
hendaknya kalian ingat bagaimana kalian butuh kepada pakaian dhahir dan
bagaimana kalian butuh kepada pakaian batin. Dan kalian tahu faedah pakaian
batin yang tidak lain adalah pakaian taqwa.
Wahai para hamba Allah Subhanahu wa
Ta’ala, sesungguhnya pakaian adalah salah satu nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala
kepada para hambanya yang wajib disyukuri dan dipuji. Dan pakaian itu memiliki
beberapa hukum syariat yang wajib diketahui dan diterapkan. Para pria memiliki
pakaian khusus dalam segi jenis dan bentuk.
Wanita juga memiliki pakaian khusus dalam
segi jenis dan bentuk. Tidak boleh salah satunya memakai pakaian yang lain.
Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melaknat laki-laki yang meniru wanita
dan wanita yang meniru laki laki.(HR Bukhari, Abu Daud, Turmudzi dan Nasa’i).
Dan Nabi juga bersabda :
“Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
melaknat wanita yang memakai pakaian laki-laki dan laki-laki yang memakai
pakaian wanita.”( HR Ahmad, Abu Daud, Nasa’I, Ibnu Majah, dan Ibnu Hiban dan
beliau mensahihkannya, serta Al Hakim, beliau berkata : Hadits ini sahih
menurut syarat Muslim).
Haram bagi pria untuk melakukan Isbal
pada sarung, pakian, dan celana. Dan ini termasuk dari dosa besar.
Isbal adalah menurunkan pakaian di bawah
mata kaki. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman :
“Dan janganlah engkau berjalan diats muka
bumi ini dengan sombong, karna sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
suka kepada setiap orang yang sombong lagi angkuh.”( Luqman: 18 )
Dari Umar Radiyallahu ‘anhu, ia berkata :
Rasullulah SHALALLAHU ‘ALAIHI WASSALAM bersabda :
“Siapa yang menyeret pakaiannya karena
sombong, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya di hari kiamat.” ( HR
Bukhari dan yang lainnya ).
Dan dari Ibnu umar juga, Nabi bersabda :
“Isbal berlaku bagi sarung, gamis, dan
sorban. Barang siapa yang menurunkan pakaiannya karena sombong, tidak akan
dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat.” ( Hr Abu Daud, Nasa’i,
dan Ibnu Majah. Dan hadits ini adalah hadits yang sahih ).
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shalallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda :
“Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan
melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong”. (Muttafaq ‘alaihi)
Dalam riwayat Imam Ahmad dan Bukhari
dengan bunyi :
“Apa saja yang berada di bawah mata kaki
berupa sarung, maka tempatnya di Neraka.”
Rasullullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam
bersabda :
“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak
bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat. Tidak dilihat dan dibesihkan
(dalam dosa) serta akan mendapatkan azab yang pedih, yaitu seseorang yang
melakukan isbal (musbil), pengungkit pemberian, dan orang yang menjual barang
dagangannya dengan sumpah palsu.” (Hr Muslim, Abu Daud, Turmudzi, Nasa’i, dan
Ibnu Majah)
Wahai para hamba Allah Subhanahu wa
Ta’ala, dalam keadaan kita mengetahi ancaman keras bagi pelaku Isbal, kita
lihat sebagian kaum muslimin tidak mengacuhkan masalah ini. Dia membiarkan
pakaiannya atau celananya turun melewati kedua mata kaki. Bahkan kadang-kadang
sampai menyapu tanah. Ini adalah merupakan kemungkaran yang jelas. Dan ini
merupakan keharaman yang menjijikan. Dan merupakan salah satu dosa yang besar.
Maka wajib bagi orang yang melakukan hal itu untuk segera bertaubat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan juga segera menaikkan pakaiannya kepada sifat
yang disyari’atkan.
Rasullullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“Sarung seorang mukmin sebatas
pertengahan kedua betisnya. Tidak mengapa ia menurunkan dibawah itu selama
tidak menutupi kedua mata kaki. Dan yang berada dibawah mata kaki tempatnya di
neraka. (HR Malik dalam Muwaththa’ ,dan Abu Daud dengan sanad yang sahih)
Ada juga pihak yang selain pelaku Isbal,
yaitu orang-orang yang menaikan pakaian mereka di atas kedua lututnya, sehingga
tampak paha-paha mereka dan sebagainya, sebagaimana yang dilakukan klub-klub
olahraga, di lapangan-lapangan ?. Dan ini juga dilakukan oleh sebagian
karyawan.
Kedua paha adalah aurat yang wajib
ditutupi dan haram dibuka. Dari ‘Ali Radiyallahu ‘anhu, ia berkata :
Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Jangan engkau singkap kedua pahamu dan
jangan melihat paha orang yang masih hidup dan juga yang telah mati.” (HR Abu
Daud, Ibnu Majah, dan Al Hakim. Al Arnauth berkata dalam Jami’il Ushul 5/451 :
“sanadnya hasan”)
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala
memberikan manfaat kepadaku dan anda sekalian melalui hidayah kitab-Nya. Dan
semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk orang-orang yang
mendengarkan ucapan yang benar kejadian mengikutinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala Ta’ala
berfirman :
“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian,
maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah;
dan bertaqwalah kalian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala sangat keras hukuman-Nya (Al Hasyr : 7)
Hukum Menurunkan Pakaian Bagi Pria
(Isbal)
Rasulullah bersabda :
“Apa yang ada di bawah kedua mata kaki
berupa sarung (kain) maka tempatnya di neraka” (HR.Bukhori)
Dan beliau berkata lagi ;
“Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan
melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong”.
dan dalam sebuah riwayat yang berbunyi :
“Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan
melihat di hari kiamat kepada orang-orang yang menyeret pakaiannya karena
sombong.” (HR. Malik, Bukhari, dan Muslim)
dan beliau juga bersabda :
” Ada 3 golongan yang tidak akan dilihat
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, tidak dilihat dan tidak
disucikan ( dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku
Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya
dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim, Ibn Majah, Tirmidzi, Nasa’i).
Musbil (pelaku Isbal) adalah seseorang
yang menurunkan sarung atau celananya kemudian melewati kedua mata kakinya. Dan
Al mannan yang tersebut pada hadist di atas adalah orang yang mengungkit apa
yang telah ia berikan. Dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah
palsu adalah seseorang yang dengan sumpah palsu ia mempromosikan dagangannya.
Dia bersumpah bahwa barang yang ia beli
itu dengan harga sekian atau dinamai dengan ini atau dia menjual dengan harga
sekian padahal sebenarnya ia berdusta. Dia bertujuan untuk melariskan
dagangannya.
Dalam sebuah hadist yang berbunyi :
“Ketika seseorang berjalan dengan memakai
prhiasan yang membuat dirinya bangga dan bersikap angkuh dalam langkahnya,
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melipatnya dengan bumi kemudian dia terbenam di
dalamya hingga hari kiamat. (HR. Mutafaqqun ‘Alaihi)
Rasulullah bersabda :
” Isbal berlaku pada sarung, gamis,
sorban. Siapa yang menurunkan sedikit saja karena sombong tidak akan dilihat
Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat.” (HR Abu Dawud dengan sanad
Shohih).
Hadist ini bersifat umum. Mencakup
pakaian celana dan yang lainnya yang yang masih tergolong pakaian. Rasulallah
Shallallahu ‘alaihi wassalam mengabarkan dengan sabdanya ;
” Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala
tidak menerima shalat seseorang yang melakukan Isbal.” (HR. Abu Dawud dengan
sanad yang shahih. Imam Nawawi mengatakan di dalam Riyadlush Sholihin dengan
tahqiq Al Anauth hal: 358)
Melalui hadist-hadist Nabi yang mulia
tadi menyatakan bahwa menurunkan pakaian di bawah kedua mata kaki dianggap
sebagai suatu perkara yang haram dan salah satu dosa besar yang mendapatkan
ancaman keras berupa neraka. Memendekkan pakaian hingga setengah betis lebih
bersih dan lebih suci dari kotoran kotoran .
Dan itu juga merupakan sifat yang lebih
bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala .
Oleh karena itu, wajib bagimu… wahai
saudaraku muslimin…, untuk memendekkan pakaianmu diatas kedua mata kaki karena
taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan pahala-Nya dengan
mentaati Rasullullah .
Dan juga kamu melakukannya karena takut
akan hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengharapkan pahala-Nya. Agar engkau
menjadi panutan yang baik bagi orang lain. Maka segeralah bertaubat kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melakkukan taubat nasuha (bersungguh-sungguh)
dengan terus melaksanakan ketaatan kepada-Nya. Dan hendaknya engkau telah
menyesal atas apa yang kau perbuat.
Hendaknya engkau sungguh-sungguh tidak
untuk tidak megulangi perbuatan maksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dimasa
mendatang, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menerima taubat orang yang mau
bertaubat kepada-Nya, karena ia maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang.
“Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala, terimalah
taubat kami, sungguhnya engkau maha Penerima Taubat lagi maha Penyayang.”
“Ya Allah Subhanahu wa Ta’ala berilah
kami dan semua saudara saudara kami kaum muslimin bimbingan untuk menuju apa
yang engkau ridloi, karena sesungguh-Nya engkau maha Kuasa terhadap segala
sesuatu. Dan semoga shalawat serta salam tercurahkan kepada Muhammad,
keluarganya dan sahabatnya.”
2.Hukum Isbal Karena Sombong dan Tidak
Sombong
Pertanyaan :
Apakah hukumnya memanjangkan pakaian jika
dilakukan karena sombong atau karena tidak sombong. Dan apa hukum jika
seseorang terpaksa melakukakannya, apakah karena paksaan keluarga atau karena
dia kecil atau karena udah menjadi kebiasaan ?
Jawab :
Hukumnya haram sebagaimana sabda Nabi :
“Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa
sarung maka tempatnya di Neraka ” (HR.Bukhari dalam sahihnya )
Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih Abu
Dzar ia berkata: Rasulullah bersabda:
” Ada 3 golongan yang tidak akan dilihat
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari Kiamat, tidak dilihat dan tidak
disucikan (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku
Isbal (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya
dengan sumpah palsu.” ( HR. Muslim, Ibn Majah, Tirmidzi, Nasa’i).
Kedua hadist ini semakna dengan mencakup
musbil yang sombong atau karena sebab lain. Karena Rasulullah mengucapkan
dengan bentuk umum tanpa mengkhususkan . Kalau ia melakukan karena sombong maka
dosa yang ia lakukan akan lebih besar lagi dan ancamannya lebih keras,
Rasulullah bersabda :
“Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan
melihat orang yang menyeret sarungnya karena sombong”. (Muttafaq ‘alaihi)
Tidak boleh menganggap bahwa larangan
melakukan Isbal itu hanya karena sombong saja, karena rasullullah tidak
memberikan pengecualian hal itu dalam kedua hadist yang telah kita sebutkan
tadi, sebagaiman juga beliau tidak memberikan pengecualian dalam hadist yang
lain, Rasul bersabda :
“Jauhilah olehmu Isbal, karena ia
termasuk perbuaan yang sombong” (HR Abu Daud, Turmudzi dengan sanad yang
shahih).
Beliau menjadikan semua perbuatan Isbal
termasuk kesombongan karena secara umum perbuatan itu tidak dilakukan kecuali
memang demikian. Siapa yang melakukannya tanpa diiringi rasa sombong maka
perbuatannya bisa menjadi perantara menuju kesana. Dan perantara dihukumi sama
dengan tujuan .
Dan semua perbuatan itu adalah perbuatan
berlebihan lebihan dan mengancam terkena najis dan kotoran.
Oleh karena itu Umar Ibn Khatab melihat
seorang pemuda berjalan dalam keadaan pakaiannya menyeret di tanah, ia berkata
kepadanya :
“Angkatlah pakaianmu, karena hal itu
adalah sikap yang lebih taqwa kepada Rabbmu dan lebih suci bagi pakaianmu ( Riwayat
Bukhari lihat juga dalam al Muntaqo min Akhbaril Musthafa 2/451 )
Adapun Ucapan Nabi kepada Abu Bakar As
Shiddiq ketika ia berkata :
“Wahai Rasulullah, sarungku sering
melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka beliau
bersabda :”Engkau tidak termasuk golongan yang melakukan itu karena sombong.”
(Muttafaq ‘alaih).
Yang dimaksudkan oleh oleh Rasulullah
bahwa orang yang benar-benar menjaga pakaiannya bila melorot kemudian
menaikkannya kembali tidak termasuk golongan orang yang menyeret pakaiannya
karena sombong. Karena dia (yang benar-benar menjaga ) tidak melakukan Isbal.
Tapi pakaian itu melorot (turun tanpa sengaja) kemudian dinaikkannya kembali
dan menjaganya benar-benar. Tidak diragukan lagi ini adalah perbuatan yang
dimaafkan.
Adapun orang yang menurunkannya dengan
sengaja, apakah dalam bentuk celana atau sarung atau gamis, maka ini termasuk
dalam golongan orang yang mendapat ancaman, bukan yang mendapatkan kemaafan
ketika pakaiaannya turun. Karena hadits-hadits shahih yang melarang melakukan
Isbal besifat umum dari segi teks, makna dan maksud.
Maka wajib bagi setiap muslim untuk
berhati-hati terhadap Isbal. Dan hendaknya dia takut kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala ketika melakukannya. Dan janganlah dia menurunkan pakaiannya di bawah
mata kaki dengan mengamalkan hadits-hadits yang shahih ini. Dan hendaknya juga
itu dilakukan karena takut kepada kemurkaan Alllah dan hukuman-Nya. Dan Allah
Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq.
(Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn
Bazz dinukil dari Majalah Ad Da’wah hal 218).
3.Tidak Boleh Isbal Sama Sekali
Pertanyaan:
Bila seeorang melakukan Isbal pada
pakaiannya tanpa diiringi rasa sombong dan angkuh, apakah itu juga diharamkan
baginya? Dan apaakah hukum Isbal itu juga berlaku pada lengan pakaian?
Jawab:
Isbal tidak boleh dilakukan secara mutlak
berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam :
“Apa yang berada di bawah mata kaki
berupa sarung, maka itu tempatnya di neraka.” (HR Bukhari dalam shahihnya)
Dan juga karena sabda Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir Ibn
Sulaim:
“Jauhilah Isbal olehmu, karena itu
tergolong kesombongan.” (HR Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih)
Dan juga karena sabda Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam yang tsabit dari beliau:
“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak
bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak
disucikan dari dosa serta mereka akan mendapat aazab yang sangat pedih, yaitu
pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya
dengan sumpah palsu.” (HR Muslim dalam shahihnya)
Tidak ada beda apakah dia melakukan
karena sombang atau tidak. Itu berdasarkan keumuman banyak hadits. Dan juga
karena secara keumuman itu dilakukan karena sombong dan angkuh, walau dia tidak
bermaksud demikian. Perbuataannya adaalah perantara menuju kesombongan dan
keangkuhan.
Dan dalam perbuatan itu juga ada
mengandung unsur meniru wanita dan mempermudah pakaian dikenai kotoran dan
najis. Serta perbuatan itu juga menunjukkan sikap berlebih-lebihan. Siapa yang
melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar. Berdasarkan sabda
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam :
“Siapa yang menyeret pakaiannya karena
sombong, Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat.” (HR Bukhari dan Muslim)
Adapun sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi
wasallam kepada Abu Bakar Ash Shiddiq Radliyallah’anhu ketika dia mengatakan
kepada beliau bahwaa sarungnya sering melorot kecuali kalau dia benar-benar
menjaganya:
“Sesungguhnya engkau tidak termasuk orang
yang melakukannya karena sombong.”(HR Bukhari dan Muslim)
Ini adalah bantahan bagi orang yang
melakukannya, tapi berdalil dengan apa yang dilakukan Abu Bakar Ash Shiddiq.
Bila dia memang benar-benar menjaganya dan tidak sengaja membiarkannya, itu
tidak mengapa.
Adapun lengan baju, maka sunnahnya tidak
melewati pergelangan?Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi
taufiq.
(dari sumber yang sama hal.220)
4.Hukum Memanjangkan Celana
Pertanyaan:
Sebagian orang ada yang memendekkan
pakaiannya di atas kedua mata kaki, tapi celananya tetap panjang. Apa hukum hal
itu?
Jawab:
Isbal adalah perbuatan haram dan mungkar,
sama saja apakah hal itu terjadi pada gamis atau sarung. Dan Isbal adalah yang
melewati kedua mata kaki berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam
“Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa
sarung, maka tempatnya di neraka.” (HR Bukhari)
Dan beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam
juga bersabda:
“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak
bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari kiamat, tidak dilihat dan tidak
disucikan dari dosa serta mereka akan mendapat aazab yang sangat pedih, yaitu
pelaku Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya
dengan sumpah palsu.” (HR Muslim dalam shahihnya)
Beliau juga bersabda kepaada sebagian
para sahabatnya: “Jauhilah Isbal olehmu, karena itu termasuk kesombongan.” (HR
Abu Daud dan Turmudzi dengan sanad yang shahih)
Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Isbal
termasuk salah satu dosa besar, walau pelakunya mengira bahwa dia tidak
bermaksud sombong ketika melakukannya, berdasarkan keumumannya. Adapun orang
yang melakukannya karena sombong, maka dosanya lebih besar berdasarkan sabda
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam :
“Siapa yang menyeret pakaiannya karena
sombong, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan melihatnya di hari kiamat.” (HR
Bukhari dan Muslim)
Karena perbuatan itu menggabung antara
Isbal dan kesombongan. Kita mengharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia
memberi keampunan. Adapun ucapan Nabi Shalallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu
Bakr ketika dia berkata kepada Beliau:
” Wahai Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam, sarungku sering turun kecuali kalau aku benar-benar menjaganya.” Maka
Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:” Engkau tidak termasuk
orang yang melakukan hal itu karena sombong.” (HR Bukhari dan Muslim)
Hadits ini tidak menunjukkan bahwa Isbal
boleh dilakukan bagi orang yang tidak karena sombong.
Tapi hadits ini menujukkan bahwa orang
yang sarungnya atau celananya melorot tanpa maksud sombong kemudian dia
benar-benar menjaganya dan membetulkannya tidak berdosa. Adapun menurunkan
celana di bawah kedua mata kaki yang dilakukan sebagian orang adalah perbuatan
yang dilarang.
Dan yang sesusai dengan sunnah adalah
hendaknya gamis atau yang sejenisnya, ujungnya berada antara setengah betis
sampai mata kaki dengan mengamalkan semua hadits-hadits tadi. Dan Allah
Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik pemberi taufiq.
(Dari sumber yang sama hal. 221).
5.Isbal Tanpa Kesombongan
Pertanyaan :
Apakah menurunkan pakaian melewati kedua
matakaki (Isbal) bila dilakukan tanpa sombong didanggap suatu yang haram atau
tidak ?
Jawab :
Menurunkan pakaian di bawah kedua mata
kaki bagi pria adalah perkara yang haram. Apakah itu karena sombong atau tidak.
Akan tetapi jika dia melakukannya karena sombong maka dosanya lebih besar dan
keras, berdasarkan hadist yang tsabi dari Abu Dzar dalam Shahih Muslim, bahwa
Rasulullah bersabda :
“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak
bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, tidak dibersihkan dari
dosa serta mereka akan mendapatkan azab yang pedih.”
Abu Dzarr berkata :
“Alangkah rugi dan bangkrutnya mereka ya
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam ! Beliau berkata: “(Mereka adalah pelaku
Isbal, pengungkit pemberian dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah
palsu” ( HR Muslim dan Ashabus Sunan)
Hadis ini adalah hadist yang mutlak akan
tetapi dirinci dengan hadist Ibnu umar, dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam,
beliau bersada :
“Siapa yang menyeret pakaiannya karena
sombong tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat.”(HR
Bukhari)
Kemutlakan pada hadist Abu Dzar dirinci
oleh hadist Ibnu Umar, jika dia melakukan karena sombong Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak akan melihatnya, membersihkannya dan dia akan mendapatkan azab
sangat pedih. Hukuman ini lebih berat dari pada hukuman bagi orang yang tidak
menurunkan pakaian tanpa sombong. Karena Nabi berkata tentang kelompok ini
dengan:
“Apa yang berada dibawah kedua mata kaki
berupa sarung maka tempatnya di neraka” (HR Bukhari dan Ahmad)
Ketika kedua hukuman ini berbeda, tidak
bisa membawa makna yang mutlak kepada pengecualian, karena kaidah yang
membolehkan untuk megecualikan yang mutlak adalah dengan syarat bila kedua nash
sama dari segi hukum.
Adapun bila hukum berbeda maka tidak bisa
salah satunya dikecualaikan dengan yang lain. Oleh karena ini ayat tayammum
yang berbunyi :
“Maka sapulah wajah-wajah kalian dan
tangan-tangan kalian dengan tanah itu.” (Al Maidah :6).
Tidak bisa kita kecualikan dengan ayat
wudlu yang berbunyi :
“Maka basuhlah wajah wajah kalian dan
tangan tangan kalian sampai siku. ( Al Maidah : 6).
Maka kita tidak boleh melakukan tayammum
sampai kesiku. Itu diriwayatkan oleh Malik dan yang lainnya dari dari Abu Said
Al Khudri bahwa Nabi bersabda :
“Sarung seseorang mukmin sampai setengah
betisnya. Dan apa yang berada dibawah mata kaki, maka tempatnya di neraka. Dan
siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong maka Allah Subhanahu wa Ta’ala
tidak akan melihatnya.”
Disini Nabi menyebutkan dua contoh dalam
hukum kedua hal itu , karena memang hukum keduanya berbeda. Keduanya berbeda
dalam perbuatan, maka juga berbeda dalam hukum. Dengan ini jelas kekeliruan dan
yang mengecualikan sabda Rasulullah ;
“Apa yang dibawah mata kaki tempatnya
dineraka.”
Dengan sabda beliau :
“Siapa yang menyeret pakaiannya karena
sombong, tidak akan dilihat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Memang ada sebagian orang yang bila
ditegur perbuatan Isbal yang dilakukannya, dia berkata: Saya tidak melakuakan
hal ini karena sombong .
Maka kita katakan kepada orang ini :
Isbal ada dua jenis, yaitu jenis
hukumnnya ; adalah bila seseorang melakukannya karena sombong maka dia tidak
akan diajak bicara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mendapatkan siksa yang
sangat pedih. berbeda dengan orang yang melakukan Isbal tidak karena sombong.
orang ini akan mendapatkan adzab, tetapi
ia masih di ajak bicara, dilihat dan dibersihkan dosanya. Demikian kita katakan
kepadanya.
(Diambil dari As’ilah Muhimmah Syaikh Muhammad
Ibn Soleh Utsaimin), diterjemahkan oleh Ustadz Ali Ishmah al Maidani dengan
judul Hukum Memakai Kain Di Bawah Mata Kaki (Isbal). Penerbit Adz Dzahabi)
6.Beberapa Kondisi yang Dikecualikan dari
Hukum Haramnya Isbal
Dengan memperhatikan beberapa dalil
denganpembahasannya yang telah dipaparkan di atas, bisa disimpulkan adanya
beberapakondisi dimana isbal tidak diharamkan.
Pertama:
Kondisi darurat yang memaksa seorang
lelaki untuk melakukan isbal. Di antaranya adalah contoh keadaan yang
disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari (10/257). Beliau
berkata: “Dikecualikan dari [larangan] isbal pada pakaian secara mutlak adalah
pakaian yang dikenakan dengan isbal karena terpaksa oleh keadaan.
Contohnya seperti seorang pria yang pada
mata kakinya terdapat luka, dimana dia terganggu dengan adanya lalat [yang
mengerumuni luka tersebut] apabila dia tidak menutupinya dengan kain sarung
[yang dia julurkan hingga menutupi mata kaki yang ada lukanya]. Sementara dia
tidak mendapatkan sesuatu untuk menutupi luka tersebut selain sarungnya [yang
dia kenakan secara isbal karena terpaksa].
Dan adanya pengecualian ini telah di
berita hukan oleh Syaikh kami (Al-Hafizh Al-‘Iroqi) dalam kitab Syarah Sunan
Tirmidzi. Beliau berdalil tentang hal tersebut dengan adanya izin dari Nabi
kepada ‘Abdurrohman bin ‘Auf untuk memakai gamis yang terbuat dari sutra karena
penyakit gatal yang dideritanya. Adapun faktor kesamaan antara dua kondisi
tersebut1 adalah adanya keterpaksaan (darurat) yang menyebabkan diperbolehkannya
melanggar sesuatu yang asalnya sudah ada larangan dari Nabi. Hal ini seperti
diperbolehkannya menyingkap aurat untuk proses pengobatan [jika kondisinya
memang mendesak untuk dilakukannya hal tersebut].”
Kedua:
Kondisi para wanita [muslimah yang memang
senantiasa butuh untuk menjulurkan kainnya hingga isbal dalam rangka untuk
menutupi aurat mereka. Bahkan Al-Qodhi ‘Iyadh –sebagaimana yang tercantum dalam
kitab Fathul Bari (10/259)- telah menukilkan kesepakatan para ulama tentang
terbatasnya larangan isbal hanya bagi kaum laki-laki, dan tidak berlaku bagi
kaum wanita. Namun keringanan ini hanya terbatas sampai sepanjang satu hasta
jika diukur dari tengah betis mereka.
Adapun selebihnya adalah isbal yang tidak
diperbolehkan oleh Nabi bagi kaum wanita, sebagaimana yang ditunjukkan oleh
nash hadits Ibnu ‘Umar yang dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 4117) dan
dishohihkan oleh Asy-SyaikhAl-Albani dalam kitab Shohih Abi Dawud.]
Ketiga:
Apabila pakaian seorang lelaki turun
dengan sendirinya dan dia tidak bermaksud untuk sengaja melakukan isbal,
kemudian juga disertai dengan adanya usaha untuk menjaga pakaiannya supaya
tidak sampai isbal. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam kisahnya Abu
Bakar. [Dan masuk juga pada kategori ini bila pakaian seorang lelaki itu
menjadi isbal tanpa sengaja karena lupa, terkejut, tergesa-gesa dan kondisi
lainnya yang sejenis, sementara dia sudahberusaha untuk menjaganya supaya tidak
isbal.]
7.Batasan Sunnah dalam Pakaian
Ada beberapa hadits yang menerangkan
tentang batasan panjangnya pakaian secara syar’i. Dan di sini akan disebutkan
empat hadits yang telah tsabit dari Rosululloh.
1.Hadits Hudzaifah yang dikeluarkan oleh
Imam An-Nasai (8/206-207),Imam Ahmad dalam Musnad-nya (5/39), dan Imam Ibnu
Hibban sebagaimana dalam kitab Al-Ihsan (no. 5425) [dengan sanad yang hasan],
bahwasanya Rosululloh bersabda:
مَوْضِعُالإزَارِ إِلَى أَنْصَافِ السَّاقَيْن ِ
وَ الْعَضَلَةِ , فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلَ , فَإِنْ أَبَيْتَ فَمِنْ وَرَاءِ
السَّاق ِ , وَ لاَ حَقَّ لِلْكَعْبَيْن ِ فِى الإزَارِ
“Tempatnya sarung itu sampai ke
pertengahan betis dan ototnya. Lalu kalau engkau enggan [untuk mengangkatnya
sampai tengah betis], maka boleh lebih rendah sedikit. Kemudian bila engkau
masih enggan juga, maka boleh di bawah betis. Dan tidak ada hak sama sekali
bagi kedua mata kaki sebagai tempat sarung.2
2.Hadits Anas yang dikeluarkan oleh Imam
Ahmad (3/249) dan Imam Al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman, bahwasanya
Rosululloh bersabda:
” اَلإِزَارُ
إِلَى نِصْفِ السَّاق ِ ” فَلَمَّا رَأَى شِدَّةَ ذَ لِكَ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ
قَالَ : ” إِلَى الْكَعْبَيْن ِ لاَ
خَيْرَ فِيْمَا أَسْفَلَ مِنْ ذَ لِكَ ”
“Kain sarung itu terjulur sampai
pertengahan betis.” Kemudian tatkala beliau melihat beratnya hal tersebut bagi
kaum muslimin, beliaupun bersabda: “Sampai [tepat di atas3] kedua mata kaki.
Dan
sama sekali tidak ada kebaikan pada
bagian yang terjulur di bawah itu [yaitu mulai mata kaki ke bawah].”
Hadits Anas ini disebutkan oleh
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits Ash-Shohihah (no.1765)
3.Hadits Abu Sa’id Al-Khudri, bahwasanya
Rosululloh bersabda :
إِزْرَةُ الْمُؤْمِن ِ إِلَى نِصْفِ السَّاق ِ ,
وَ لاَ حَرَجَ أَوْلاَ جُنَاحَ فِيْمَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ الْكَعْبَيْن ِ , وَ
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ ذَ لِكَ فَهُوَ فِى النَّارِ
“Kain sarungnya seorang mukmin [laki-laki
itu turun] sampai pertengahan betisnya. Dan tidaklah berdosa atau tidak mengapa
[kalau dia menurunkannya sampai pada bagian kaki] antara tengah betis dengan
kedua mata kaki. Adapun bagian yang lebih rendah dari itu [yaitu turun sampai
menyentuh mata kaki atau bahkan melampauinya], maka tempatnya di neraka.”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Abu
Dawud (no. 4093), Imam Ibnu Majah (no. 3573), Imam An-Nasa’i dalam As-Sunan
Al-Kubro (no. 9715), Imam Ahmad dalam Musnad-nya (3/5), Imam Malik dalam
Al-Muwaththo’ (no. 713) dan Imam Ath-Thobaroni dalam Mu’jamul Ausath (no.
5200), semuanya lewat jalur periwayatan Al-‘Ala’ bin ‘Abdirrohman dari bapaknya
dari Abu Sa’id Al-Khudri sebagaimana di atas. Dan sanad hadits ini adalah hasan
dikarenakan adanya Al-‘Ala’.
Sementara penulis kitab ‘Aunul Ma’bud
(6/103) menjelaskan:
“Hadits Abu Sa’id Al-Khudri tersebut
mengandung dalil yang menunjukkan bahwa yang dianjurkan (mustahab) pada kain
sarung seorang muslim adalah [dinaikkan] hingga pertengahan betis. Dan
diperbolehkan (tanpa ada unsur makruh) pada kain sarung yang [diturunkan
hingga] di bawah pertengahan betis sampai kedua mata kaki.4
Adapun bagian kain sarung yang berada di
bawah kedua mata kaki adalah haram serta terlarang.”
Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam
kitab Fathul Bari (10/259): “Ringkasnya bisa disimpulkan bahwa kaum lelaki itu
memiliki dua keadaan. Pertama: kondisi yang dianjurkan, yaitu mencukupkan kain
sarungnya
hanya sampai sebatas pertengahan betis.
Kemudian yang kedua:
kondisi yang masih diperbolehkan, yaitu
menjulurkannya sampai ke mata kaki.”5
Namun sangat disayangkan kenyataan yang
terjadi di kalangan orang-orang muslim, dimana Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (no. 1765) menuturkan: “Dan ini termasuk di
antara sunnah-sunnah yang telah ditinggalkan dan tidak diperdulikan lagi oleh
orang-orang khusus6 di kalangan kau muslimin, apalagi orang awamnya.”
Fakta ini jelas sangat bertolak belakang
dengan sikap yang diambil oleh para sahabat dalam masalah ini. Sebagaimana yang
bisa dipahami dari haditsnya ‘Amr bin Asy-Syarid, dia berkata:
أَبْعَدَ رَسُولُ اللهِ رَجُلا ً يَجُرُّ
إِزَارَهُ , فَأَسْرَعَ إِلَيْهِ أَوْ هَرْوَلَ فَقَالَ : ” ارْفَعْ إِزَارَكَ وَ
اتَّق ِاللهَ ” , قَالَ :” إِنِّي أَحْنَفُ تَصْطَكُّ رُكْبَتَايَ ” , فَقَالَ :”
ارْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّ كُلَّ خَلْق ِ اللهِ حَسَنٌ ” , فَمَا رُؤِيَ ذَ لِكَ
الرَّجُلُ بَعْدُ إِلاَّ إِزَارُهُ يُصِيبُ أَنْصَافَ سَاقَيْهِ أَوْ إِلَى
أَنْصَافِ سَاقَيْهِ
Dari kejauhan Rosululloh melihat seorang
laki-laki yang menjulurkan kain sarungnya hingga terseret. Maka beliaupun bergegas
untuk menjumpainya, atau beliau berlari-lari kecil menuju orang tersebut. Lalu
beliau menegurnya:
“Angkatlah kain sarungmu dan bertaqwalah
kepada Alloh.”
Maka orang itupun berkata [menyampaikan
udzurnya]:
“Sesungguhnya saya seorang yang memiliki
kaki bengkok [seperti huruf X] dan kedua lutut saya berbenturan ketika
berjalan.”
Ternyata Rosululloh tetap mengatakan:
“Angkatlah kain sarungmu, karena
sesungguhnya semua ciptaan Alloh adalah bagus.”
Maka setelah kejadian itu tidaklah nampak
laki-laki tersebut melainkan kain sarungnya senantiasa terangkat hingga pada
tengah-tengah kedua betisnya atau di bawahnya sedikit.
Hadits ini [dikeluarkan oleh Imam Ahmad
(4/390) dan] dinyatakan shohih oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab
Ash-Shohihah (no. 1441).
Demikianlah sikapnya seorang sahabat.
Dimana ketika Nabi memberikan peringatan kepadanya tentang perbuatan isbal yang
dia lakukan pada pakaiannya, maka dia cepat menerimanya dan segera mengangkat
pakaiannya sampai pertengahan kedua betisnya, [serta tidak pernah lagi
menjulurkannnya melebihi batasan tersebut].
Jadi, dia tidak menolak peringatan itu
dengan dalih:
‘Saya kan tidak melakukannya karena
sombong’, ataupun dengan berbagai macam alasan lainnya [yang tidak syar’i.
Bahkan dia segera menerimanya dan terus menerus melaksanakannya, sebagai wujud
pelaksanaan]
Firman Alloh:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِن ٍ وَ لاَ مُؤْمِنَةٍ إِ
ذَا قَضَى اللهُ وَ رَسُولُهُ أَمْرًاأَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ , وَ مَنْ يَعْص ِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلا ً مُبِيْنًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang
mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Alloh dan Rosul-Nya
telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka
sungguhlah dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” [QS Al-Ahzab: 36]
Kemudian juga ada sebuah hadits [shohih
yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/141)] dari Ibnu ‘Umar, dia berkata:
دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ وَ عَلَيَّ إِزَارٌ
يَتَقَعْقَعُ , فَقَالَ : ” مَنْ هَذ َا ؟ ” قُلْتُ : ” عَبْدُاللهِ بْنُ عُمَرَ ”
, قَالَ : ” إِنْ كُنْتَ عَبْدَ اللهِ فَارْفَعْ إِزَارَكَ ” فَرَفَعْتُ إِزَارِي
إِلَى نِصْفِ السَّاقَيْن ِ , فَلَمْ تَزَلْ إِزْرَتَهُ حَتَّى مَاتَ
Saya pernah masuk untuk menemui Nabi, dan
ketika itu saya mengenakan sarung yang berbunyi [karena terseret di tanah].
Maka beliaupun bertanya:
“Siapakah ini?”
Saya jawab:
“’Abdulloh bin ‘Umar.”
Lalu beliau bersabda lagi:
“Jika engkau memang benar-benar ‘Abdulloh
(hamba Alloh), maka angkatlah kain sarungmu.”
Lalu sayapun mengangkat kain sarung saya
hingga ke pertengahan betis.
Kemudian senantiasa seperti itulah
keadaan sarungnya Ibnu ‘Umar hingga beliau wafat.
Hadits ini dishohihkan oleh Asy-Syaikh
Al-Albani dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (no. 1568). Dan ketika
menyampaikan ulasan tentang hadits ini, beliau berkomentar:
Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang
jelas serta gamblang, bahwasanya wajib bagi seorang muslim untuk tidak
memanjangkan kain sarungnya sampai di bawah mata kaki, meskipun hal itu
dilakukan tanpa disertai
dengan maksud sombong.
Bahkan dia [harus senantiasa] mengangkat
pakaiannya itu hingga di atas mata kaki. Selain itu, hadits tersebut juga
mengandung bantahan yang nyata terhadap sebagian Masyayikh yang memanjangkan
ujung jubah-jubah mereka hingga hampir menyentuh tanah, sementara mereka tetap
berdalih dengan anggapan bahwa hal itu tidaklah dilakukannya karena sombong.
Kenapa mereka tidak sekalian meninggalkan
perbuatan tersebut, demi mengikuti perintah Rosululloh [sebagaimana yang beliau
perintahkan] kepada Ibnu ‘Umar untuk mengangkat pakaiannya? Ataukah mereka
merasa lebih suci hatinya dibandingkan Ibnu ‘Umar?
Sumber:
1.http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1171
2.http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=45