Monday, August 20, 2018

Perdebatan (Comments) Ilmiyah Terkait Waktu Puasa Arafah !

Hasil gambar untuk puasa arafah wuku arafah

COMMENTS  (1).   
COMMENTS  (2).  
COMMENTS  (3).   
Puasa Arafah Mengikut Imam Ustaz Murad Said [singapura]:
22 Komentar    
COMMENTS  (4).   
Al-Imam Ibnu Utsaimin :Shaum Arafah Tidak Mengikuti Saudi
COMMENTS  (5).   
Kapankah Waktu Puasa Arafah? (Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat)

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

COMMENTS  (1).


Abduh mengatakan...
Assalamu'alaikum wa rahmatullah wa barakatuh,
Semoga Allah senantiasa memberkahi ilmu antum.
Sedikit tanggapan dari ana. 
1. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berpendapat:
Permasalahan ini adalah turunan dari perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.
2. Kalau di Saudi wukuf lebih dahulu daripada tanggal 9 Dzulhijah di negeri ini, berarti kalau kita puasa Arofah ikut Saudi, nantinya akan ada selang satu hari yang kosong. Lantas hari tersebut disebut hari apa? Padahal hari rayanya masih besoknya lagi.
3. Jika demikian, mengapa hari raya Idul Adha tidak lebih dulu sama dengan Saudi? 
4. Apakah ada praktek dari para salaf, kalau puasa Arofah ikut wukuf di Arofah sedangkan Idul Adha ikut di negeri masing2?
Ada artikel sebagai pertimbangan:
http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2782-mestikah-puasa-arofah-ikut-wukuf-di-arofah.html
Mohon tanggapannya Ustadz. Semoga Allah senantiasa menjaga antum.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumsalam warahmatullaahi wabarakatuh
Terima kasih atas tanggapannya akh. Memang benar, Asy-Syaikh Ibnu 'utsaimin rahimahullah berpendapat bahwa dalam permasalahan ini tidak harus mengikuti haji akbar di tanah haram. Begitu juga sebagian masyaikh Saudi lainnya.
Sebenarnya bila dicermati tulisan di atas, saya tidak sedang menguatkan pendapat 'Iedul-Adlhaa (Yaumun-Nahar) sesuai dengan negeri masing-masing. Namun ia tetap mengikuti ibadah haji yang ada di tanah haram. Oleh karena itu, tidak ada hari yang 'kosong' di sini. 
Para ulama telah menjelaskan bahwa puasa 'Arafah, menyembelih hewan kurban, dan 'Iedul-Adlhaa dilakukan sebagai bentuk solidaritas kaum muslimin terhadap para hujjaj dengan mengikuti/menyesuaikan pelaksanaan haji di tanah haram.
wallaahu a'lam.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Komentar di atas adalah ralat dari komentar sebelumnya (yang sudah dihapus). Sebelumnya tertulis : 
"Para ulama telah menjelaskan bahwa puasa 'Arafah, menyembelih hewan kurban, dan 'Iedul-Fithridilakukan sebagai bentuk solidaritas kaum muslimin terhadap para hujjaj...".
Yang dimaksud adalah : "'Iedul-Adlhaa" - sebagaimana komentar di atas.
Anonim mengatakan...
Assalamu'alaikum ustadz.
Bagaimana Jika ada yang berpendapat puasa arafah adalah ikut wukufnya jama'ah haji di arafah sementara, iedul adha tetap mengikuti negaranya masing 2 dan ia berdalil dari hadits yang diriwayatkan Imam at Tirmidzi : "puasalah kamu pada hari kalian berpuasa dan berbukalah kamu pada hari kalian berbuka dan berqurban ( berldul Adha ) itu adalah pada hari kalian berqurban." afwan ustadz ana belum tahu di hadits hadits nomor berapa dan derajat bagaimana.
Jazakallahu khoiron.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumsalam warahmatullaahi wabarakatuh...
Dalam hal ini (minimal untuk sementara ini), .... saya mengikuti pentarjihan ulama yang berpendapat bahwa pelaksanaan puasa 'Arafah dan 'Iedul-Adlhaa disesuaikan dengan pelaksanaan haji di Makkah. Hal itu sebagaimana penjelasan Syaikhul-Islaam dan Ibnu Rajab Al-Hanbaliy pada catatan nomor 3.
Wallaahu a'laam.
abu abdissalam mengatakan...
Assalamu'alaikum ustadz,
Mau tanya, ana membayangkan di zaman dulu ketika belum ada media massa, belum ada TV, radio, internet, dll. Sedangkan negeri Islam sudah meluas kemana-mana. Lalu bagaimana sebuah negeri yang terletak beribu-ribu mil dari Mekkah mengetahui kapan pelaksanaan wuquf di arafah. Sedangkan seperti yang ana bilang tadi, tidak ada media massa. Hal ini juga dikaitkan dengan idul fitri.
Syukron atas jawabannya.
Barakallohu fik
Wassalamu'alaikum
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Allah ta'ala berfirman :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا 
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" (QS. Al-Baqarah : 286).
Apa yang disebutkan di atas merupakan hukum asal bagi setiap orang yang mampu mengetahui khabar nampaknya hilal di Makkah atau pelaksanaan wuquf di 'Arafah. Dapat kita lihat bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan amir kota Makkah untuk melihat hilal yang kemudian hilal itu dirujuk oleh kaum muslimin yang lain termasuk di Madinah.
Jarak ribuan kilometer beberapa negeri Islam dan arus informasi yang tidak secepat sekarang menyebabkan para ulama berijtihad dalam hal ini. Ini semua dikarenakan 'udzur atas sesuatu yang sifatnya dlaruriy. 'Tidak mungkin' kan kaum muslimin tidak melaksanakan puasa 'Arafah, shalat 'Ied, dan menyembelih kurban dengan alasan tidak mengetahui informasi yang ada di negeri Makkah. Salah satunya mereka (para ulama) berijtihad berdasarkan hilal di masing-masing tempat.
Hukum ini tentu saja mengikuti illat pengetahuan atas khabar yang sampai kepada mereka tentang kenampakan hilal penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di 'Arafah.
Nah, untuk waktu sekarang dimana sarana komunikasi sudah sedemikian canggihnya, bukan hal yang susah bagi kita untuk mengetahui hilal penduduk Makkah/Saudi atau pelaksanaan wuquf di 'Arafah.
Wallaahu a'lam.
Anton mengatakan...
Assalamu`alaikum
Menurut ana(maaf Ustadz) pendapat terkuat adalah mengikuti Saudi mungkin ustadz(maaf)lupa bukankah tentang pengertian Hari Arafah sendiri yaitu ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf di ‘Arafah” ,padahal saat mereka sedang wukuf Arafah maka selainnya dianjurkan berpuasa saat itu kan. Demikian pendapat terkuat yang ana pegang samapai saat ini. Walaupun demikian ana hargai pendapat Ustadz. Jazakallah.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.
Coba pak Anton baca lebih pelan-pelan lagi tentang apa yang ditarjih dalam artikel ini.....
Baarakallaahu fiik.
The True Ideas mengatakan...
ustadz, tahun 1431H ini, nampaknya di negeri kita akan berbeda dengan Saudi, karena Menag menetapkan Idul Adha tanggal 17 November,
yang ingin ana tanyakan yakni, salah satu ormas yang ada -Muhammadiyah-- jauh-jauh hari sudah menetapkan bahwa Idul Adha akan jatuh pada 16 November 2010, sebelum Saudi mengumumkan masuk tanggal 1 Dzulhijjah, pertanyaannya adalah, apakah sama kemudian antara yang merayakan Idul Adha lantaran mengikuti perayaan haji (dengan rukyatnya Saudi) dengan yang mengikuti pendapat ormas ini?
jazakallah khaira untuk jawabannya
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
tidak sama.
Abu mengatakan...
Ustadz, kalau kita mengikuti Saudi sementara di negeri kita berbeda, bukankah ini berarti kita tidak mengikuti penguasa? 
Ini ada kutipan dari penjelasan Syaikh Utsaimin di website nya Ustadz Muhammad Abduh ttg wajibnya mengikuti penguasa dalam masalah khilafiyah seperti ini :
"Akan tetapi yang perlu jadi perhatian, jika dua negeri yang sama dalam matholi’ (tempat terbitnya hilal), telah diputuskan oleh masing-masing penguasa untuk mulai puasa atau berhari raya, maka wajib mengikuti keputusan penguasa di negeri masing-masing. Masalah ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan penguasalah yang akan menyelesaikan perselisihan yang ada.
Berdasarkan hal ini, hendaklah kalian berpuasa dan berhari raya sebagaimana puasa dan hari raya yang dilakukan di negeri kalian (yaitu mengikuti keputusan penguasa). Meskipun memulai puasa atau berpuasa berbeda dengan negeri lainnya. Begitu pula dalam masalah puasa Arofah, hendaklah kalian mengikuti penentuan hilal di negeri kalian." 
Bagaimana menurut Ustadz ?
Syukron
Abu Raihan
Ayazka mengatakan...
Ustadz ... jadi untuk tahun ini puasa Arafahnya hari Senin atau Selasa? Jzkl
Iwana Nashaya mengatakan...
Sebagaimana Ustadz Abu Al-Jauzaa', ana juga ngikut penetapan dari Saudi.
-----------------------
'Afwan, berikut ini ana copas-kan sedikit ilmu yang pernah ana baca (barangkali bermanfaat).
1. MATHLA’
Istilah perbedaan mathla’ menunjukkan tempat terbit dan terbenamnya matahari, bintang, bulan, fajar di suatu tempat, yang mendahului tempat yang lain atau sebaliknya.
Para mujtahid madzhab Syafi’i (Catatan: Mujtahid Madzhab adalah Mujtahid yang berjihad dengan menggunakan metode imam madzhabnya) telah menentukan adanya kesamaan mathla’ bagi daerah-daerah yang berada dalam radius 120 km (tanpa memperhatikan garis bujur dan lintang daerah-daerah tersebut) sekaligus perbedaan mathla’ bagi tempat-tempat yang jaraknya lebih dari 120 km. Pendapat ini tidak disandarkan pada nash, melainkan diqiyaskan dengan pendapat Imam Syafi’i dalam batasan jarak bolehnya meng-qashar shalat bagi musafir.
Pada faktanya, sebenarnya perbedaan waktu hanya terjadi pada tempat-tempat yang berbeda garis bujurnya, yaitu tempat-tempat yang berada sepanjang garis timur ke barat. Sedangkan untuk daerah-daerah yang memiliki garis bujur sama atau berdekatan, memiliki waktu yang sama (berpeluang untuk menyaksikan terbitnya matahari atau bulan pada saat yang bersamaan), sekalipun jarak mereka lebih dari 120 km. (please, review pembagian daerah waktu di peta!).
Sebagai contoh, kita perhatikan antara kota Perth, Ujung Pandang dan Manila. Demikian juga antara kota Istambul, Cairo, Cape Town (ujung selatan Benua Afrika). Ketiga kota ini berada pada garis bujur yang berdekatan, namun perbedaan jaraknya mencapai ribuan km. Dan kalau di peta kita bisa lihat, ternyata mereka memiliki daerah waktu yang sama (+8 jam dan +2 jam dari GMT). Artinya mereka memiliki kesamaan tempat terbitnya matahari dan bulan.
Dengan kata lain, sangat mungkin negeri-negeri yang memiliki garis bujur yang sama atau berdekatan melakukan ru’yatul hilal pada saat yang bersamaan, sekalipun jarak mereka berjauhan. Negeri-negeri seperti Tanzania, Kenya, Ethiopia, Saudi Arabia, Iraq, dan Yaman semuanya terletak antara 300 BT - 400 BT, sangat mungkin melakukan ru’yat bersama-sama selama cuacanya cerah, sebagaimana halnya juga dengan Indonesia, Malaysia, Brunei darussalam, dan singapura yang berada pada garis bujur yang berdekatan.
Sementara itu, menentukan dan menaksir perbedaan waktu dengan perbedaan jarak menghasilkan waktu 4 menit (lebih sedikit) untuk setiap perbedaan berjarak 120 km (untuk beda letak bujur = 10). Pada faktanya perbedaan waktu 4 menit ini (jarak 120 km) tidak berpengaruh sedikitpun dalam penentuan hari dan tanggal, bukan? Jadi, pertanyaannya… bagaimana mungkin kita menjadikannya sebagai tolok ukur dalam menentukan perbedaan hari untuk shaum ataupum ‘Ied?
Apabila kita menjelaskan istilah kesatuan mathla’ terhadap daerah-daerah yang dapat melihat bulan di saat yang bersamaan, maka hal ini menyerupai kesatuan mathla’ untuk matahari. Daerah-daerah yang memiliki waktu yang sama pada saat matahari terbit pada umumnya berada sepanjang garis utara ke selatan (mempunyai bujur yang sama). Sedangkan daerah-daerah yang berada sepanjang garis timur ke barat, inilah sebenarnya yang berada dari segi mathla’. Oleh karena itu tidak jadi masalah apakah jarak suatu negeri berjauhan ataukah berdekatan, selama terletak pada garis bujur yang sama, ia dikatakan memiliki mathla’ yang sama.
Kesimpulan: Oleh karena itu, pendapat Syafi’iyah tentang penetapan mathla’ berdasarkan radius (memperhitungkan beda garis bujur dan lintangnya) bertentangan dengan fakta astronomis tentang mathla’ itu sendiri.
BERSAMBUNG
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
@pak Abu,.... begitulah memang fatwa Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah. Dan saya rasa, saya sudah menanggapi apa yang ditulis akh Abduh dimaksud. Lihat perkataan beliau nya di komen no. 1. Artikel di atas sebenarnya juga telah tersirat respon saya atas hal tersebut. Wal-'ilmu 'indallaah.......
@pak Ayazka, puasa 'Arafahnya pada waktu jama'ah haji wuquf di 'Arafah ...
umm asiyah mengatakan...
ustadz, misalnya wukuf di arafah tgl 18 november, lalu pemerintah indonesia menetapkan hari idul adha adalah 17 november, apa yang paling tepat kita lakukan? jazakallohu khayran
Ayazka mengatakan...
Ustadz ... kalo puasa 'Arafahnya pada waktu jama'ah haji wuquf di 'Arafah, maka disini waktunya adalah mulai Senin sore hingga pagi hari. Pertanyaan saya kan simple, kita puasanya hari Senin atau Selasa?
Jzkl
Anonim mengatakan...
afwan ustadz, ana masih bingung dalam penetapan harinya..
misal saudi sore ini menetapkan besok tanggal 9 dzulhijjah, berarti kan kita mundur 20 jam??? atau kita duluan 4 jam??? jadi kita duluan 4 jam dari penetapan/pelaksanaan di saudi... atau kita mundur (saudi dulu) baru setelah 20 jam (berarti hari esoknya) kita melaksanakannya???
afwan ustadz ana masih bingung(semoga ini bukan pertanyaan yang dibenci)
syukron, jazaakumulloohu khoiro
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
@pak Ayazka dan pak anonim,....sebenarnya perkaranya sangat mudah (tapi entah kok menjadi seakan-akan rumit sekali). Pemerintah Saudi menetapkan 'Iedul Adlhaa tanggal 16 Nopember 2010, yang bertepatan dengan hari Selasa. Artinya, wuquf 'Arafahnya hari Senin. Kita pun mengikutinya pada hari Senin juga. Hari Senin Indonesia dan Saudi sama. Selisih waktu kita dengan Saudi adalah 4 jam.
Wallaahu a'lam bish-shawwaab.
Sa'ad mengatakan...
Terkait bagian ini
"..2. Dalam nash-nash tidak pernah disebutkan puasa di hari kesembilan, namun hanya disebutkan puasa ‘Arafah. Berbeda halnya dengan puasa ‘Aasyuura yang disebutkan tanggalnya secara spesifik ..."
Ana minta tolong antum untuk mengecek sanad hadits berikut:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ حَدَّثَنَا الْحُرُّ بْنُ الصَّيَّاحِ عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ
Telah menceritakan kepada kami [Affan] telah menceritakan kepada kami [Abu Awanah] telah menceritakan kepada kami [Al Hurru bin Ashshayyah] dari [Hunaidah bin Khalid] dari [isterinya] dari [sebagian isteri Nabi shallaallahu 'alaihi wa sallam] berkata; "Rasulullah shallaallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada hari ke sembilan bulan dzulhijjah, pada hari asyura, dan tiga hari setiap bulan, yaitu hari senin pada pekan pekan pertama dan dua hari kamis pada pekan setelah nya." (Musnad Ahmad No. 25263)
Apakah statusnya dlo'if karena majhul-nya istri Hunaidah bin Khalid ?
Jazakallohu khoyr ...
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
sebenarnya permasalahan utamanya bukan istri Hunaidah - walau itu masuk dalam masalah. ya benar, istri Hunaidah ini mubham nggak disebutkan namanya. para ulama berbeda pendapat dalam hadits tersebut. syaikh al-albaniy menshahihkannya dalam shahih sunan abi dawud. namun ulama lain mendla'ifkannya seperti syaikh al-arna'uth dan yang lainnya. para ulama mengatakan sebab kedla'ifannya setidaknya ada dua faktor :
1. perselisihan status kebershahabatannya.
2. perselisihan dalam sanad dan matannya.
apapun penghukumannya, maka itu tidak ada kaitannya dengan puasa 'Arafah secara khusus (pada point 2 yang antum maksudkan). Sebab, makna kalimat يصوم تسع ذي الحجة adalah berpuasa sembilan hari (pertama) pada bulan Dzulhijjah.
wallahu ta'ala a'lam.
bayu mengatakan...
ada satu yg mengganjal ustadz
back to jaman para sahabat dlu. islam menyebar ke seluruh dunia. nah, dlu belum ada alat komunikasi canggih. lantas bagaimana suatu negeri bisa mengetahui bahwa di arab sana telah dimulai ibadah haji?
lebih jauh, bagaimana suatu negeri yang jauh dari arab mengambil patokan waktu utk menentukan awal ibadah haji?
bayu mengatakan...
ternyata pertanyaan saya udah ada di komentar sebelumnya dan udah dijawab pula. ga usah ditampilkan aja ya ustadz ^_^
abifasya mengatakan...
subhnallah ustadz tulisan yang luar biasa, izin COPAS
ayahzaid mengatakan...
Perbedaan pendapat dalam hal ini apakah sudah terjadi sejak zaman salaf? Atau perbedaan pendapat ini jika ditarik ke belakang paling jauh sampai mana? Apakah sampai jaman imam mazhab atau bahkan sampai ke era salafussalih.
Apakah dalam hal ini diperbolehkan tabdi' atas pendapat yang berbeda dengan yg kita pahami?
Sa'ad mengatakan...
1. "Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...on 10 November 2010 23.35 
........
apapun penghukumannya, maka itu tidak ada kaitannya dengan puasa 'Arafah secara khusus (pada point 2 yang antum maksudkan). Sebab, makna kalimat يصوم تسع ذي الحجة adalah berpuasa sembilan hari (pertama) pada bulan Dzulhijjah.."
Kalau begitu, bagaimana lafadz dalam bahasa Arab untuk menyebut "hari/tanggal kesembilan Dzulhijjah" ?
2. "Abu Al-Jauzaa' : mengatakan... on 4 November 2010 10.56 ..Allah ta'ala berfirman :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" (QS. Al-Baqarah : 286).
Apa yang disebutkan di atas merupakan hukum asal bagi setiap orang yang mampu mengetahui khabar nampaknya hilal di Makkah atau pelaksanaan wuquf di 'Arafah. Dapat kita lihat bahwasannya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan amir kota Makkah untuk melihat hilal yang kemudian hilal itu dirujuk oleh kaum muslimin yang lain termasuk di Madinah.
Jarak ribuan kilometer beberapa negeri Islam dan arus informasi yang tidak secepat sekarang menyebabkan para ulama berijtihad dalam hal ini. Ini semua dikarenakan 'udzur atas sesuatu yang sifatnya dlaruriy. 'Tidak mungkin' kan kaum muslimin tidak melaksanakan puasa 'Arafah, shalat 'Ied, dan menyembelih kurban dengan alasan tidak mengetahui informasi yang ada di negeri Makkah. Salah satunya mereka (para ulama) berijtihad berdasarkan hilal di masing-masing tempat.
Hukum ini tentu saja mengikuti illat pengetahuan atas khabar yang sampai kepada mereka tentang kenampakan hilal penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di 'Arafah...."
'Afwan, apakah suatu hukum syar'i itu bisa berubah mengikuti perkembangan teknologi. Misalnya -senada dengan penjelasan antum di atas-, mengenai arah kiblat. Di zaman sekarang sudah ditemukan teknologi GPS dan astronomi yang lebih canggih sehingga posisi arah kiblat Indonesia yang dulu ke arah barat, sekarang digeser-geser miring ke arah barat laut (sebagaimana fatwa MUI yang meralat fatwanya yang lama tentang arah kiblat).
Ataukah kita tetap mengikuti hadits:
"Antara timur dan barat adalah kiblat." ?
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
1. Dalam bahasa 'Arab, kesembilah itu dilafadhkan dengan taasi'(التاسع).
2. Saya sebenarnya tidak paham-paham benar dengan yang antum maksudkan. Kita tentu telah paham makna kiblat. Cuma, orang akan berbeda-beda caranya dalam menentukan arah kiblatnya. Ada yang dengan metode bertanya, memakai kompas, memakai GPS, dan yang lainnya. Itu semua tidak mengubah konteks hukum syar'iy. Dengan cara apapun - dan syari'at tidak membatasi metodenya - shalat ya tetap harus menghadap kiblat. 
Dan untuk korelasi dengan bahasan di artikel ini, mohon maaf, sekali lagi, saya kurang begitu paham dengan maksud antum.
Sa'ad mengatakan...
'Afwan jika gaya bahasa ana kurang bisa dipahami. 
Intinya, antum menjelaskan kalau penentuan arafah dan idul adha daerah yang jauh dari Mekkah pada zaman dulu ditentukan oleh ijtihad penguasa/'ulama' karena tidak sampainya informasi pelaksanaan wuquf di arafah ke negeri mereka (dikarenakan jauhnya). Dan hal ini dimaklumi karena terbatasnya sarana informasi pada waktu itu.
"..Jarak ribuan kilometer beberapa negeri Islam dan arus informasi yang tidak secepat sekarang menyebabkan para ulama berijtihad dalam hal ini (yakni penentuan puasa arafah dan hari raya idul adha).." >> silahkan dilihat komentar antum pada 4 November 2010 10.56 sebagai jawaban atas akhi Abu Abdisalam. Mohon dikoreksi bila pemahaman ana keliru.
Nah, terkait dg pernyataan di atas : arah kiblat Indonesia dulu yang dikenal adalah menghadap ke barat (karena posisi Indonesia yg secara umum berada di timur Mekkah dan terbatasnya alat untuk menentukan arah kiblat dengan akurat).
Namun seiring ditemukannya teknologi GPS dll (yang baru ada beberapa dekade terakhir), ada beberapa kaum muslimin yang menyerukan perombakan arah kiblat karena ternyata arah kiblat Indonesia selama ini tidak pas menghadap ke Ka'bah. Hal ini berakibat beberapa masjid mempunyai arah kiblat yang miring, tidak sesuai bangunan masjid.
Yang ana tangkap, penentuan suatu hukum syar'i (d.h.i arah kiblat) bisa berubah seiring ditemukannya kemajuan teknologi, sebagaimana penjelasan antum:
"...Hukum ini tentu saja mengikuti illat pengetahuan atas khabar yang sampai kepada mereka tentang kenampakan hilal penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di 'Arafah.
Nah, untuk waktu sekarang dimana sarana komunikasi sudah sedemikian canggihnya, bukan hal yang susah bagi kita untuk mengetahui hilal penduduk Makkah/Saudi atau pelaksanaan wuquf di 'Arafah..." 
Maka ana ingin mengetahui: Apakah penetapan suatu hukum syar'i itu bisa berubah menyesuaikan dengan penemuan dalam teknologi ?
Dulu : sarana informasi terbatas, maka dimaklumi bila penentuan arafah dan idul adha berbeda dengan Saudi
Sekarang : sarana informasi sudah canggih, maka arafah dan idul adha harus sesuai dengan Saudi
sebagaimana dulu: arah kiblat cukup menghadap ke barat, karena terbatasnya sarana pencari arah
sekarang : arah kiblat harus diusahakan "selurus mungkin" (walau tidak benar2 pas) dengan Ka'bah, karena sudah ada teknologi GPS
(Untuk yang masalah arah kiblat, ana pribadi sampai sekarang lebih memilih untuk menghadap ke barat secara biasa seperti dulu, sebagaimana sabda Nabi: "Antara timur dan barat adalah kiblat". Tidak perlu memiring-miringkan arah kiblat)
Sekali lagi 'afwan bila gaya bahasa ana membingungkan antum. Syukron jiddan untuk tanggapannya
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Tidak ada perubahan dalam masalah syari'at, appaun teknologinya. Terkait dalam masalah kiblat, teknologi yang ada hanya MEMBANTU untuk melihat akurasi arah kiblat. Fungsinya sebenarnya tidak lebih dari kompas ataupun bintang.
Tentang masalah 'Ied, ya beda lah kasusnya. Saya copas-kan lagi :
Hukum ini tentu saja mengikuti illat pengetahuan atas khabar yang sampai kepada mereka tentang kenampakan hilal penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di 'Arafah.
Hukum asalnya adalah mengikuti Makkah. Ketika ada seseorang tidak mengetahui kapan waktu wuquf di 'Arafah, maka di situ ia mempunyai 'udzur sehingga diperbolehkan berijtihad menurut kemampuannya.
Kasus lain : Ketika kita berada di tengah hutan seorang diri yang ketika itu hari mendung. Sementara waktu itu kita ingin melaksnaakan shalat. Kita tidak punya kompas, GPS, atau yang semisal untuk menentukan arah kiblat. Nah, pada waktu itu kita boleh berijtihad dengan memakai akal kita untuk menentukan arah kiblat dengan melihat tanda-tanda alam yang ada. Ini boleh kita lakukan karena ada sebab karena tidak sampainya pada kita ilmu tentang arah kiblat secara pasti.
Begitu juga dengan penentuan waktu 'Arafah di negeri-negeri yang jauh letaknya dari Makkah yang tidak sampai pada mereka khabar.
Wallaahu ta'ala a'lam.
Sa'ad mengatakan...
Jazakallohu khoyron akhi buat penjelasannya.
Semoga Allah memberkahi ilmu antum dan memperbanyak orang-orang seperti antum di seluruh penjuru bumi.
Sayang diskusi antum dengan akhi Abu Umair As-Sundawy di 
http://salafyitb.wordpress.com/2007/01/24/al-imam-ibnu-utsaimin-shaum-arafah-tidak-mengikuti-saudi/ 
tidak berlanjut.
Ana banyak mendapat tambahan ilmu tentang khilaf puasa Arafah dan Idul Adha dari situ.
Anonim mengatakan...
Izin share ya Ustadz ...
Anonim mengatakan...
afwan bgmn sikap kita org2 awam dlm hal ini apakah memilih ngikut makkah atw pemerintah..????
ust blum menanggapi pnyataan dr saudara Abu Hannan dihttp://salafyitb.wordpress.com/2007/01/24/al-imam-ibnu-utsaimin-shaum-arafah-tidak-mengikuti-saudi/ cz org2 HT pun punya berargumen demikian malah mereka ngotot bhwa masalah ini adalah masalah IJMA
syukran ust, barakallahu fiek.. :)
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ngikut pada pendapat yang raajih sesuai dengan ilmu yang sampai kepada masing-masing.
Apa yang ditulis akh @abu Hannaan itu inti simpulannya sama dengan yang ada di artikel ini.
Adapun rekan-rekan HT (Muhammadiyyah, Persis, atau yang lainnya), maka saya tidak dipusingkan dengan apa yang mereka ambil, karena istinbath hukum bukan bersumber dari mereka. Adapun seandainya dalilnya sama dan logika/alur berpikirnya sama, itu lain perkara. Wallaahu a'lam.
Abu Inshirah mengatakan...
Salaam 'alaikum,
Afwan, sekadar mengongsi:-
http://www.fawaaid.sg/2010/11/puasa-arafah-mengikut-imam.html
abu zaid mengatakan...
Sebenarnya saya sepakat dengan Ustadz Abul Jauzaa. 
Namun saya tetap shalat idul adha pada 17 November.
Sebenarnya kedua pendapat tersebut sinkron jika kita bisa memahami konsep-konsep hilal, visibilitas dan hijri date line.
Pembahasan dan sedikit tanggapan atas pendapat Idul Adha 16 November ada di http://ayahzaid.blogspot.com/2010/11/kesalahan-pendapat-idul-adha-di.html.
Mohon maaf jika kurang berkenan.
Anonim mengatakan...
Minta izin menyebarluaskannya.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
@akh abuzaid,….. Terima kasih atas ulasannya. Ada beberapa hal yang dapat saya ambil manfaat dari tulisan antum. Akan tetapi, jika diperkenankan berkomentar, sebenarnya tulisan antum tidak begitu ‘nyambung’ dengan esensi bahasan dalam permasalahan ini. Terutama jika dikaitkan apakah puasa ‘Arafah dan ‘Ied itu ikut Saudi ataukah sesuai dengan mathla’ masing-masing. Tidak lebih bahasan antum – sependek pemahaman saya - hanya ingin mengingkapkan kenapa penampakan hilal bisa berbeda-beda dan sebab-musabab terjadinya perbedaan waktu antara satu tempat dengan tempat yang lain. Saya kira, ini semua sudah mafhum bagi kita semua, walau dengan tingkat pendalaman yang berbeda-beda. 
Namun permasalahan utamanya adalah : Apakah perbedaan tempat dan perbedaan waktu diakui dalam asas melegalkan perbedaan pelaksanaan ibadah ini atau tidak. Tidak menjadi masalah dimanapun letak titik nol international day-nya, jika misalnya kita sepakat bahwa kita semuanya mengacu Saudi – yaitu, dengan mainstream : Puasa ‘Arafah dan ‘Ied adalah ibadah yang terkait dengan waktu dan tempat. Dalam skala tathbiq-nya, kita tinggal menyesuaikan. Di sinilah ranah ijtihad bekerja. Perbedaan ‘nama hari’ selama mainstreamnya masih sama. Bukanlah masalah.
Lain halnya jika mainstreamnya adalah diakuinya perbedaan mathla’. Hal ini akan mengakibatkan hal yang lebih tidak sederhana dari perkiraan kita. Lagi-lagi, keputusan pemerintahlah yang akhirnya lebih menjadi penentu. Saya pernah mengajukan logika geografi juga. Seandainya saya tinggal di daratan Propinsi Kalimantan Barat dan antum di Malaysia Timur. Jarak rumah saya dan antum hanya 50 m. Antara rumah saya dan rumah antum hanya terbatasi tembok perbatasan negara. Kebetulan, Depag RI memutuskan bahwa hilal Dzulhijjah nampak pada hari Kamis dan Depag Malaysia memutuskan hilal nampak pada hari Jum’at. Sekarang, apa sikap kita dalam hal ini. Jika kita berpikir dengan asas diakuinya hilal Dzulhijah adalah hilal-nya Saudi, maka perbedaan yang seperti itu bukan menjadi problem. Immaa rumah saya dan rumah antum terpaut ribuan kilometer, asalkan cara berpikir kita masih sama, maka – sekali lagi – hal itu bukan problem. Yang jadi masalah adalah ketika kita menganut pendapat pengakuan hilal masing-masing mathla’. Logika macam apa yang bisa dipakai dalam hal ini ? Jarak hanya 50 m berbeda pelaksanaan waktu ibadahnya. Paling banter, kita akan merujuk keputusan pemerintah. Soalnya jika kita merujuk dengan teori geografis, akan tidak ‘nyambung’. Akhirnya, logika perbedaan mathla’ ini menjadi sesuatu yang fasi. Kita tidak perlu berpikir untuk dua tempat yang terpaut belasan jam. Sebab, permasalahan utama perbedaan mathla’ adalah pada ‘daerah perbatasan’.
Saya selalu berangkat dengan menyederhanakan masalah, karena dengan menyederhanakan masalah kita mengetahui pola-pola dasar setiap pemikiran.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Dan sedikit tambahan :
Seandainya dikatakan bahwa secara 'de jure' Indonesia baru masuk 1 Dzulhijjah 20 jam kemudian. Kalau boleh saya sedikit berkomentar, maka secara umum daerah-daerah yang terletak di sebelah timur Saudi dihukumi dengan dengan selisih beda sehari. Jika demikian, lantas bagaimana dengan daerah yang selisihnya 23 jam dengan Saudi alias 'de facto'-nya hanya selisih 1 jam saja dengan posisi 'Arafah. Apakah juga 'diwajibkan' puasa 'Arafah dan 'Ied sehari kemudian ? Atau kita paksa lagi dengan pernyataan : beda 23 1/2 jam, alias bedanya secara 'de facto' hanya setengah jam saja dengan 'Arafah.
Bagi saya, secara 'aqliyyah ini sulit diterima. 
Secara umum, sebatas pemahaman saya, logika ini sama seperti logika 'mathla'; hanya saja dengan bahasa yang sedikit berbeda.
Mohon koreksinya.
Wallaahu a'lam.
zax mengatakan...
Banyak yang rancu memahami permulaan hari dalam tahun Masehi dan Hijriah. Hari baru pada tahun Masehi mulai pukul 00.00 sedangkan pada hijriah dimulai saat matahari tenggelam, misal pukul 18.00. Misalkan jika pada 6 oktober pukul 18.00 hilal terlihat di Saudi,maka Saudi sudah memasuki hari baru yaitu tanggal 1 Dzulhijjah,sedangkan di Indonesia sudah pukul 22.00 maka tanggal 1 Dzulhijjah indonesia baru dimulai pukul 18.00 keesokan harinya tanggal 7, karena pergantian hari saat tenggelamnya matahari yaitu 20 jam kemudian. Keterangan lengkapnya 
http://sains.kompas.com/read/2010/11/16/09075675/Memahami.Perbedaan.Idul.Adha.1431.H
Anonim mengatakan...
Ada komentar dalam blog fawaaid.sg.
Saya masih bingung menentukan mana yang rajih dalam masalah ini.
Jazakallah khairan.
abu zaid mengatakan...
Agar lebih sistematis saya menanggapi per paragraf saja ya akh.
Antum berkata: "Ada beberapa hal yang dapat saya ambil manfaat dari tulisan antum. Akan tetapi, jika diperkenankan berkomentar, sebenarnya tulisan antum tidak begitu ‘nyambung’ dengan esensi bahasan dalam permasalahan ini. Terutama jika dikaitkan apakah puasa ‘Arafah dan ‘Ied itu ikut Saudi ataukah sesuai dengan mathla’ masing-masing." 
Saya menanggapi: Mohon maaf kalau (terkesan) tidak nyambung. Dengan tulisan tersebut saya memang tidak memiliki maksud untuk membantah semua ilmu kanuragan yang dikeluarkan antum. Saya setuju bahwa puasa arofah dilakukan pada saat para hujjaj wukuf arofah dan demikian pula idul adha. (kalau mau yang bener-bener adu ilmu kanuragan silakan ditanggapi email-emailnya akh Abu Umair di milis, hehe)
Pada intinya tidak ada yang saya tidak sepakat dari body tulisan utama antum. Yang saya kurang setuju adalah buntut diskusi di comment2 di bawah body tulisan utama bahwa untuk kasus tahun 2010 ini puasa arofah jatuh pada hari senin 15 November dan Idul Adha sehari setelahnya.
Antum berkata: "Namun permasalahan utamanya adalah : Apakah perbedaan tempat dan perbedaan waktu diakui dalam asas melegalkan perbedaan pelaksanaan ibadah ini atau tidak. Tidak menjadi masalah dimanapun letak titik nol international day-nya, jika misalnya kita sepakat bahwa kita semuanya mengacu Saudi – yaitu, dengan mainstream : Puasa ‘Arafah dan ‘Ied adalah ibadah yang terkait dengan waktu dan tempat. Dalam skala tathbiq-nya, kita tinggal menyesuaikan. Di sinilah ranah ijtihad bekerja. Perbedaan ‘nama hari’ selama mainstreamnya masih sama. Bukanlah masalah."
Tanggapan saya: Kalau saya kerucutkan sebenarnya perbedaan antara kita adalah pada bagaimana memaknai yaumu arofah sebagaimana disebutkan oleh Nabi. Antum memahami yaumu arofah sebagai “day” yang sama dengan pelaksanaan wukuf arofah. Sementara saya memahami yaumu arofah sebagai “date” pelaksanaan wukuf arofah, yaitu sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Bin Baz mengenai hari kesembilan. Memang tidak ada hadits yang menegaskan puasa arofah pada hari kesembilan dzulhijjah sehingga antum sampai bisa menyimpulkan bahwa yang harus sama adalah day-nya. Namun sampai sekarang saya tetap berpendapat bahwa yang disebut dengan yaumu arofah adalah date hijri dimana dilakukan wukuf arofah yaitu hari kesembilan dzulhijjah, karena kita tidak bisa menggunakan international date line dalam masalah ini. International date line (yang secara internasional dijadikan sebagai day line juga) yang menjadi secara praktis kita terima dalam penentuan day berasal dari aplikasi konsep penanggalan masehi yang murni menggunakan matahari dalam penentuan hari dan tahun, sementara penentuan bulannya dilakukan secara arbitrer tanpa melihat (fase) bulan.
Day line internasional ini menurut saya tidak terlalu menjadi masalah untuk diterapkan pada ibadah-ibadah umat muslim yang bersifat harian dan pekanan (karena pekan adalah fungsi dari hari). Dengan demikian tidak masalah kalau kita menggunakan penentuan hari jumat dengan menggunakan day line internasional ini (kecuali kalau nanti ada kesepakatan dunia islam yang berbeda mengenai day line ini. 
Namun demikian day line internasional ini menjadi masalah untuk ibadah-ibadah yang terikat bulan seperti misalnya wukuf arofah ini, karena pola penampakan hilal dan pergantian bulan tidak pernah bisa sama dengan pergantian day secara internasional. Pola penampakan hilal bersifat dinamis mengikuti apa yang disebut hijri date line.
Dengan demikian menurut saya yang lebih tepat untuk digunakan untuk ibadah yang terikat bulan ini adalah hijri date line karena hijri date line ini memang dibuat sesuai dengan pola penampakan hilal di semua belahan dunia. Termasuk yang menurut saya harus menggunakan hijri date line ini adalah ibadah turunan dari wukuf arofah ini yaitu puasa arofah bagi yang tidak melaksanakan haji.
Bersambung.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Mengenai tanggapan ustadz Murad Sa'iid di http://www.fawaaid.sg/2010/11/puasa-arafah-mengikut-imam.html, ijinkanlah saya memerikan tanggapan balik secara ringkas sebagai berikut :
1. Dikatakan bahwa khilaf ini hanyalah terjadi di masa kontemporer. Namun Dr. Muhamad l-Asyqaar dan Syaikh ‘Adnaan ‘Ar’ur menjelaskan sebaliknya, bahwa tidak ada perselisihan di kalangan salaf tentang kewajiban mengikuti pelaksanakan wuquf di 'Arafah.
2. Dikatakan bahwa puasa ‘Arafah tidak terkait dengan wuquf di ‘Arafah. Justru mafhumnya, puasa ‘Arafah tidaklah dilakukan pada waktu jama’ah haji tidak melaksanakan wuquf di ‘Arafah. Hari ‘Arafah itu adalah nama satu hari yang tidak berbilang. Puasa yang disandarkan kepadanya pun terkait dengan tempat dan waktu pelaksanaan wuquf di ‘Arafah. 
3. 3. Hadits mursal : ((وعرفة يوم تعرفون)) justru menunjukkan apa yang disebutkan dalam point kedua di atas. Dan bagi orang di luar Makkah, maka ini pun selaras, tidak ada pertentangan dan pembeda-bedaan. Hari dimana kalian wuquf di ‘Arafah adalah seperti halnya penyebutan keseluruhan namun yang dimaksudkan sebagian sebagaimana tertera dalam kaedah ushul fiqh. Saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya di Makkah atau Madinah, maka dipahami bahwa tidak semua orang/shahabat melakukan wuquf di ‘Arafah. Akan tetapi para shahabat tetap memberlakukan penetapan hari ‘Arafah berdasarkan waktu para shahabat lain yang melakukan wuquf di ‘Arafah. Mereka berpuasa ‘Arafah pada waktu shahabat lain melakukan wuquf di ‘Arafah. Dan itulah yang banyk tertera dalam atsar. 
4. Tentang perkataan An-Nawawiy dalam Al-Majmu’, maka itu sebagai petunjuk bahwa hari ‘Arafah itu bukan ditentukan berdasarkan urutan hari (yaitu hari kesembilan) sebagaimana telah lewat penyebutannya. Maka ia bisa saja hari kesembilan atau kesepuluh menurut perhitungan hari Dzulhijjah orang tersebut. 
5. Tentang hadits Husain bin Al-Haarits, maka itu sebagai petunjuk bahwa pengesahan dan penerimaan persaksian ditentukan oleh Amir kota Makkah. Saksi yang berasal dari penduduk Makkah adalah boleh, dengn syarat hal itu disahkan dan diakui oleh amir Makkah. (Dan ingat, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat itu adalah pemimpin seluruh umat Islam, namun beliau tetap menyandarkan keputusan dan pengesahan pada amir kota Makkah). 
Seandainya persaksian itu tidak diterima (karena Amir kota Makkah lebih menerima persaksian selainnya). Pertanyaan kecilnya : "Adakah riwayat di kalangan shahabat atau tabi'in yang tersebar di daerah Syaam, Yaman, atau 'Iraaq yang menyelisihi keputusan amir kota Makkah ?". Termasuk penyelisihan mereka dalam pelaksanaan puasa di hari 'Arafah ? Hukum asal penetapan waktu yang dilakukan oleh amir Makkah atas perintah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam juga berlaku bagi penduduk Madinah atau tempat-tempat lainnya; baik bagi orang yang ingin melaksanakan haji atau tidak. Apakah perintah menyembelih dalam hadits hanya terkait manasik haji saja ? Bahkan menyembelih itu dilakukan oleh para jama;ah haji yang kemudian juga diikuti oleh kaum muslimin lain yang tidak melaksnaakan ibadah haji. 
Jika dikatakan bahwa perintah Rasulullah itu hanyalah berkaitan dengan manasik haji di kota Makkah, maka dimana letak dhahir pernyataan itu dalam hadits ?
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
6. Tentang perkataan Ibnu Taimiyyah, sebenarnya bagi saya itu telah jelas bahwa ibadah-ibadah yang terkait dengan haji (termasuk puasa ‘Arafah) terkait dengan tempat, sehingga orang-orang lain yang tidak melaksanakan haji di tanah Haram, mengikuti pelaksanaannya orang orang yang melakukan haji. Itulah yang dhahir. Adapun fatwa Ibnu Taimiyyah lain yang terkait dengan permasalahan ini [25/203], justru tidak ada petunjuk padanya bahwa hilal yang berlaku adalah hilal penduduk kota tersebut dengan mengabaikan pengetahuan hilal penduduk Makkah. Karena, ada kemungkinan bahwa yang diputuskan oleh hakim kota tersebut mengikuti keputusan hilal Dzulhijjah penduduk Makkah. Atau pendek kata, pengambilan perkataan Ibnu Taimiyyah oleh beliau pun tidak lepas dari banyak kemungkinan.
7. Tentang perkatan Ibnu Rajab, maka itu hanya sebagai catatan kaki tentang penyebutan di antara ulama ada yang berpendapat bahwa shalat ‘Iedul-Adlha mengikuti/menyesuaikan pelaksanaan haji di Makkah. Sangat jelas pada perkataan beliau : ” Sesungguhnya waktu pelemparan jumraholeh orang-orang yang melaksanakan haji di Muzdalifah, maka waktu itu adalah waktu pelaksanaan shalat ‘Ied bagi orang-orang yang ada di tempat lain”.
8. Dikatakan bahwa orang yang berpuasa ‘Arafah mengikuti wuqufnya para hujjaj di ‘Arafah tidak mempunyai dalil, maka mafhumnya beliau mengatakan apa yang beliau pegang itu mempunyai dalil yang shahih dan sharih. Lantas dimanakah gerangan dalil itu ? Apapun perkataan beliau (Ustadz Murad) dalam hal ini, maka itu adalah haknya untuk mengatakannya.
Namun, mari kita cermati atsar sebagai berikut :
حدثنا يزيد بن هارون قال أنا ابن عون عن إبراهيم قال كانوا لا يرون يصوم عرفة بأسا إلا أن يتخوفوا أن يكون يوم الذبح
Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Ibraahiim (An-Nakha’iy), ia berkata : “Mereka berpendapat tidak mengapa berpuasa ‘Arafah, kecuali mereka khawatir hari itu adalah hari penyembelihan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah; shahih].
"Mereka" di sini adalah sebagian shahabat dan tabi’in, karena Ibraahiim adalah seorang tabi’iy. Sisi pendalilannya adalah :
“Kekhawatiran itu datang dari ketidakpastian atau keraguan. Mafhumnya, kekhawatiran itu tidak terjadi bagi penduduk Makkah dan sekitarnya, karena mereka mengetahui kapan para jama’ah haji wuquf di ‘Arafah. Penduduk Makkah di kalangan salaf tidak pernah ragu kapan melakukan wuquf ‘Arafah dan puasa ‘Arafah. Kekhawatiran itu muncul bagi mereka bagi mereka yang jauh dari ‘Arafah. Misal : Penduduk ‘Iraq, Syaam, dan yang lainnya. Dan Ibraahiim sendiri adalah orang ‘Iraaq (Bashrah). Jika memang penduduk negeri masing-masing telah menetapkan hilal yang ditentukan oleh penguasa setempat – dan seandainya mereka telah sepakat menerima hal itu - , buat apa mereka ragu ? ‘Illat kekhawatiran/keraguan mereka adalah karena bertepatan dengan hari penyembelihan. Besar kemungkinan keraguan itu ada karena kekhawatiran hari itu bertepatan dengan hari dimana penduduk Makkah (dan jama’ah haji) melakukan penyembelihan, dimana khabar itu belum sampai pada mereka”.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Hadits lain yang berbicara tentang penyifatan keutamaan hari ‘Arafah
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha :
ما من يوم أكثر من أن يعتق الله فيه عبدا من النار من يوم عرفة وإنه ليدنو ثم يباهي بهم الملائكة فيقول ما أراد هؤلاء
 “Tidak ada hari Allah membebaskan hambaNya dari api neraka seperti hari Arafah. Sesungguhnya, Dia mendekat, kemudian Dia banggakan mereka di hadapan para malaikatNya sambil berkata: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim)
Kemuliaan ini terkait dengan orang-orang sedang melaksanakan wuquf di ‘Arafah. 
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radliyallaahu ‘anhuma, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ان الله عز وجل يباهي ملائكته عشية عرفة بأهل عرفة فيقول انظروا إلى عبادي آتوني شعثا غبرا
 “Sesungguhnya Allah berbangga kepada para malaikat-Nya pada sore Arafah dengan orang-orang di Arafah, dan berkata: “Lihatlah keadaan hambaku, mereka mendatangiku dalam keadaan kusut dan berdebu”(HR. Ahmad 2/224).
Adakah hadits ini bisa dibawa pada pengertian ‘berbilangnya hari ‘Arafah’ sesuai dengan mathla’ masing-masing negeri ? Bahkan, hari ‘Arafah dengan kemuliaannya itu adalah hari yang satu yang terkait dengan sebab tempat sebagaimana kita lihat dalam hadits di atas.
Itu saja yang dapat saya tanggapi secara ringkas. Bagaimanapun, saya ucapkan banyak terima kasih kepada Ustadz Murad Sa’iid di Singapura yang telah bersedia mengomentari tulisan saya. Jazaahullaahu khairan.
Wallaahu a'lam bish-shawwaab.
abu wafa mengatakan...
tanggapan antum ditanggapi kembali oleh ust murad said di kolom komentarnya.
Anonim mengatakan...
Pak Ustaz nampaknya belum belajar Ilmu Astronomi, Fisika, dan Matematika.
Baca dulu ini:
http://ayahzaid.blogspot.com/2010/11/kesalahan-pendapat-idul-adha-di.html
Ada yg bilang, bulannya 1 kenapa beda tanggal.
Itu dalam konsep bulan.
Bagaimana dengan mataharinya 1.
Matahari antara 1 wilayah dengan wilayah lain kan beda-beda jam sampai hari juga beda.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Saya memang bukan ahli di bidang astronomi. Akan tetapi terkait dengan link yang Anda sampaikan, coba Anda cermati jawaban saya tanggal 16 November 2010 pukul 22:33 dan 17 November 2010 00:31, karena pembicaraan itu telah lewat. Dan sampai sekarang, yang bersangkutan belum memberikan tanggapannya kepada saya terkait logika geografis-astronomis yang saya sampaikan.
Baarakallaahu fiikum.
Abu Zuhriy mengatakan...
Baarakallaahu fiik ustadz...
Mohon perkenankan ana untuk mengekspresikan kemusykilan...
Diatas disebutkan:
"Atsar di atas menunjukkan ru’yah hilal yang dianggap/dipakai untuk melaksanakan ibadah penyembelihan (dan semua hal yang terkait dengan haji) adalah RU'YAH HILAL penduduk MAKKAH, bukan yang lain. "
Kalaulah ru'yah hilal makkah menjadi rujukan...
Adakah dalam atsar diatas menunjukkan bahwa RASUULULLAAH memerintahkan kaum muslimiin untuk berkiblat kepada makkah?
Yang nampak dari hadits diatas, adalah RASUULULLAAH hanyalah memerintahkan penduduk mekkah mengikuti hilal yang ditetapkan amir mereka...
jika seandainya kaum muslimin diperintahkan (yaitu wajib) untuk mengikuti ru'yatul hilal makkah dalam idul adh-ha (dzulhijjah).. maka PASTILAH rasuulullaah SAAT ITU langsung bersabda: "dan wajib bagi kaum muslimin untuk mengikuti ru'yah kalian".. karena tidak boleh bagi beliau MENGAKHIRKAN PENJELASAN pada waktu yang dibutuhkan.. 
tapi adakah beliau dalam hadits diatas bersabda demikain?
Abu Zuhriy mengatakan...
lagi pula perbedaan penetapan ru'yatul hilal SUDAH ADA DIZAMAN PARA SHAHABAT... sebagaimana riwayat ibnu abbaas dalam shahiih muslim..
1. Atsar ibnu abbas tersebut ini telah menjadi landasan bagi sebagian ulama yang berpendapat bahwa penduduk suatu negeri tidak diperbolehkan mengikuti ru'yah hilal negeri yang lain. 
2. SEKARANG.. adakah DALIL KHUSUS yang MEMBEDAKAN idul adh-ha dengan shaum ramadhan dan idul fithriy; yang SHAHIIH lagi SHARIIH yang memalingkan dari DALIL UMUM berikut:
“Puasa itu adalah di hari kalian (umat Islam) berpuasa, berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan berkurban/ Iedul Adha di hari KALIAN berkurban.”
[HR. at-Tirmidzi]
Seandainya kita memahami "kalian" itu adalah masyarakat sekitar (dan inilah yang dipahami ibnu abbaas).. Maka tentunya kita wajib memahami KETIGANYA SECARA SAMA.. tidak membeda-bedakan penyikapannya, kecuali ada dalil yang shariih yang mengecualikan idul adh-ha..
Rasuulullaah pun tidak bersabda: "hari berkurban adalah hari PENDUDUK MEKKAH berkurban" akan tetapi beliau menyamakannya sebagaimana shaum ramadhan dan idul fithri..
Dan demikian pula pemahaman 'aa-isyah dalam atsar masruq.. 
Lantas dalil SHAHIH dan SHARIIH mana yang mendukung ta'wil dengan "kecuali idhul adh-ha, maka mengikuti ru'yatul hilal makkah"
Hadits-hadits yang antum bawakan dalam artikel diatas, tidak shariih dalam memalingkan hadits shariih diatas..
3. Para shahabat MERIWAYATKAN DAN MERIWAYATKAN DAN MERIWAYATKAN.. seandainya berkiblat kepada ru'yatul hilal penduduk mekkah pada bulan dzulhijjah itu diperintahkan rasuulullaah.. maka mereka akan meriwayatkan: "sesungguhnya apabila telah mendekati bulan dzulhijjah, rasuulullah mengutus utusan beliau ke makkah untuk mengetahui hilal disana, agar kami mengikuti hilal mereka..."
namun yang sampai kepada kita hanyalah riwayat yang ini... dan itupun menurut pemahaman ibnu abbas, TIDAK WAJIB mengikuti ru'yatul hilal amirul mukminin yang ada di syam.. BAHKAN YANG SUNNAH adalah mengikuti ru'yatul hilal penduduk sekitar..
sekiranya, mengikuti hilal mekkah itu adalah biasa, tentu hal ini akan disepakati oleh Ibnu Abbaas.. karena beliau biasa melakukannya dizaman rasuulullaah.. 
bahkan dalam atsar diatas jelas-jelas beliau memerintahkan untuk mengikuti ru'yatul hilal penduduk masing-masing..
4. Kalaupun mu'awiyah berpemahaman bahwa idul adh-ha DIPERINTAHKAN RASUULULLAAH untuk mengikuti ru'yatul hilalnya mekkah.. mana dalil beliau mengutus utusan ke makkah untuk mengikuti ru'yatul hilal makkah? 
adakah ternukil para shahabat yang berada di syam, mengikuti ru'yatul hilal mekkah? ini perkara besar, yang pasti akan sampai kepada kita riwayatnya.. sebagaimana telah sampai kepada kita atsar ibnu abbaas diatas..
5. Dan telah shahiih lagi shariih hadits:
“Adalah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam berpuasa pada (TANGGAL/HARI KE) 9 Dzulhijjah.” 
(HR. Abu Dawud no. 2437 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Dawud no. 2081)
Lihat, disana shaum arafah disandarkan kepada TANGGAL/HARI ke 9-nya...
Bukankah ini secara jelas dan terang bahwa para shahabat memahami puasa arafah, tidak disandarkan secara mutlak kepada "hari arafah"-nya? tapi juga bisa dipahami berdasarkan harinya atau tanggalnya?!
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Singkat saja ya,.... hanya tiga point pokok saja yang saya tanggapi saat ini :
1. Tentang riwayat Husain bin Al-Haarits Al-Jadaliy.
Yang nampak bagi saya bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika akan datang bulan Dzulhijjah memerintahkan amir kota Makkah untuk melihat hilal. Tentu saja ini dalam rangka pelaksanaan rangkaian ibadah haji. Waktu itu, beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam berkedudukan di Madiinah. Tentu saja dipahami bahwa perintah beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam tersebut adalah untuk beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam pakai juga.
2. Riwayat Ibnu 'Abbaas radliyallaahu 'anhu yang antum sebut tidak berkaitan dengan 'Iedul-Adlhaa. Lagi pula, ada beberapa penakwilan dari beberapa ulama bahwa atsar Ibnu 'Abbaas radliyallaahu 'anhumaa tersebut tidaklah menetapkan adanya perbedaan mathlaa'.
3. Tentang HR. Abu Dawud no. 2437, itu keliru dalam terjemahan. Begini lafadhnya :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم تسع ذي الحجة ويوم عاشوراء وثلاثة أيام من كل شهر أول اثنين من الشهر والخميس 
"Dulu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam biasa berpuasa sembilan hari pada bulan Dzulhijjah, berpuasa pada hari 'Aasyuuraa'......".
Wallaahu a'lam.
Abu Zuhriy mengatakan...
Lantas bagiamana memahami sabda Rasuulullaah "berpuasa/berbuka/berkurban" diatas?
Dari as-Sahmi,
“Aku mendatangi Aba Amamah, lalu beliau berkata: “Janganlah engkau mencela (mengutuk dan menghina) al-Hajjaj, karena beliau adalah penguasa bagi engkau, dan bukan penguasa bagiku.” 
[Diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tarikh al-Kabir, no. 83 - Maktabah Syamilah]
Aba Umamah tinggal di Syam, manakala as-Sahmi tinggal di Iraq yang mana pemimpin (wakil khalifah) di Iraq ketika itu adalah al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqafiy
Dan kita tahu... Dimana telah ternukil dari imam-imam bahwa kewajiban mentaati penguasa dalam penentuan DUA 'IID... sebagaimana disampaikan para imam salafush shalih?
Imam asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan berkaitan isu berbilang-bilangnya negeri, wilayah, ataupun negara Islam berkata:
وأما بعد انتشار الإسلام واتساع رقعته وتباعد أطرافه فمعلوم أنه قد صار في كل قطر أو أقطار الولاية إلى إمام أو سلطان وف يالقطر الآخر أو الأقطار كذلك ولا ينفذ لبعضهم أمر ولا نهي في قطر الآخر وأقطاره

التي رجعت إلى ولايته فلا بأس بتعدد الأئمة والسلاطين ويجب الطاعة لكل واحد منهم بعد البيعة له على أهل القطر الذي ينفذ فيه أوامره ونواهيه وكذلك صاحب القطر الآخر فإذا قام من ينازعه في القطر الذي قد ثبتت فيه ولايته وبايعه أهله كان الحكم فيه أن يقتل إذا لم يتب ولا تجب على أهل القطر الآخر طاعته ولا الدخول تحت ولايته لتباعد الأقطار فإنه قد لا يبلغ إلى ما تباعد منها خبر إمامها أو سلطانها ولا يدرى من قام منهم أو مات فالتكليف بالطاعة والحال هذه تكليف بما لا يطاق وهذا معلوم لكل من له اطلاع على أحوال العباد والبلاد فإن أهل الصين والهند لا يدرون بمن له الولاية في أرض المغرب فضلا عن أن يتمكنوا من طاعته وهكذا العكس وكذلك أهل ما وراء النهر لا يدرون بمن له الولاية في اليمين وهكذا العكس فاعرف هذا فإنه المناسب للقواعد الشرعية 

والمطابق لما تدل عليه الأدلة ودع عنك ما يقال في مخالفته فإن الفرق بين ما كانت عليه الولاية الإسلامية في أول الإسلام وما هي عليه الآن

“Adapun selepas penyebaran Islam, semakin luas wilayahnya, dan jarak yang jauh di antara negeri-negerinya, maka telah diketahui bahawa setiap negeri atau beberapa negeri bergantung kepada seorang pemerintah atau sultan. 
Begitu juga dengan negeri yang lain. Seseorang pemerintah itu tidak memiliki kuasa untuk mengeluarkan perintah maupun larangan selain dari negerinya atau beberapa negeri yang tunduk kepadanya.
Oleh itu, berbilang-bilang pemerintah atau sultan bagi setiap negeri masing-masing diharuskan (dibolehkan). 
Setiap daripada mereka wajib ditaati selepas bai’ah yang diberikan oleh penduduk negeri tersebut dan ia berhak mengeluarkan perintah dan larangan. Begitulah juga dengan pemerintah bagi negeri yang lain.
Apabila terdapat segolongan pihak yang mencoba merampas kekuasaan daripada seseorang pemerintah yang telah memiliki kedaulatan (yang sah) dan juga diberi bai’ah (kepercayaan) oleh penduduknya, maka pada ketika itu, hukuman kepada golongan tersebut ialah dibunuh jika ia tidak bertaubat.
Penduduk negeri yang lain tidak wajib mentaatinya, atau pun berlindung di negaranya kerana kedudukan yang jauh antara negeri. 
Penduduk seperti ini tidak sampai kepada hal-ehwal pemerintah atau pun sultan mereka, dan mereka tidak mengetahui siapa yang masih hidup atau yang sudah mati daripada pemerintah mereka.
Kewajiban untuk taat dalam keadaan ini merupakan satu kewajiban yang tidak terdaya untuk ditanggung. Perkara ini sedia dimaklumi oleh mereka yang arif dalam bidang pentadbiran rakyat dan negara.
Maka ketahuilah kamu tentang perkara ini, kerana ia amat sesuai dengan kaedah syara’. Dan bertepatan dengan yang telah ada. 
Pendapat yang menyelisihinya tidak perlu dihiraukan kaena memang terdapat perbedaan yang sangat jelas di antara negeri-negeri Islam diawal Islam dengan yang ada sekarang.” 
(asy-Syaukani, as-Sailul Jarrar al-Mutadafiq ‘Ala Hada’iqil Azhar, 1/941)
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Pendalilan antum tidak nyambung. Adakah di antara dalil yang antum sebut berbicara tentang puasa 'Arafah ?.
Seandainya inti yang antum tekankan adalah 'ketaatan terhadap penguasa', bukankah antum juga tahu itu tidak bersifat mutlak. Ia tetap dibatasi dengan kalimat : 'dalam hal yang ma'ruuf'. Maknanya : yang sesuai dengan kebenaran.
Jadi, jika perkaranya adalah : 
"Apakah puasa 'Arafah itu diputuskan sesuai dengan keputusan penguasa negeri setempat, ataukah berdasarkan waktu wuquf di 'Arafah ?".
Inilah yang dibahas.
Adapun misalnya ada yang berhujjah bahwa tidak mungkin kaum muslimin di segala penjuru negeri Islam berpuasa 'Arafah dalam waktu yang bersamaan; maka itu merupakan 'udzur. 'Udzur karena sikon waktu itu yang tidak memungkinkan untuk melakukan transfer informasi yang cepat seperti saat sekarang, sehingga masing-masing mereka berijtihad dengan ru'yah mereka masing-masing di setiap negeri.
wallaahu a'lam.
Anonim mengatakan...
Mohon jawabannya ustadz, karena sedikit bingnug : 
1. Dalam menentukan bulan menggunakan ru'yatul hilal dari siapa? dari amir masing2 negri atau mekah ? atau cuma dzulijjah aja yang disesuaikan mekah atau gimana ?
2. Seandainya kita duluan dzulhijjahnya maka akan ada jarak 1 hari kosong ini bagaimana ? apa puasa 9 hari kemudian untuk arafahnya ikut mekah ?
Jazakallahu khairan
Abul Hasan
Muhammad al Umari mengatakan...
bismiLlah, afwan ustadz tanya. bagaimana bila ada orang yang berencana menyengaja untuk wuquf setelah matahari terbenam (jadi siangnya tidak wuquf) apakah dia jg disunnahkan tidak berpuasa ataukah berpuasa? mohon ifadah dan nukilan bila ada. jazakumullohu khoiro
Anonim mengatakan...
Pemahaman ini benar dan berlaku bagi kaum muslimin yang berada di Mekkah dan sekitarnya yang tidak melaksanakan ibadah haji.
Sedangkan kaum muslimin yang berada di daerah yang jauh dari Mekkah, maka pendapat yang lebih kuat adalah melaksanakan puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut rukyah hilal yang mereka lakukan di negeri mereka. 
1.      Sejarah
Puasa Arafah disyariatkan pada tahun kedua —ada juga riwayat yang menyebutkan tahun pertama— setelah hijrah bersamaan dengan disyariatkannya shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun wukuf di Arafah sebagai bagian dari manasik haji, disyariatkan pada tahun keenam setelah hijrah.
2.      Tiga Nama Puasa Arafah.
a. Puasa Tis’a Dzuhijjah.
Salah seorang istri Nabi saw. menyampaikan, “Rasulullah saw. biasa melaksanakan puasa pada hari kesembilan Dzulhijjah, hari ‘Asyura, dan tiga hari setiap.” 
b. Puasa Al-’Asyru
“Empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw.: puasa ‘Asyura, puasa al-asyru.
3. Fatwa Para Ulama
a. Ibnu Taimiyyah berkata, “Hendaknya orang-orang melaksanakan puasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah menurut kaum muslimin, meskipun sebenarnya itu adalah tanggal sepuluh Dzulhijjah.” 
b. Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, “Puasa pada hari yang diragukan, apakah itu tanggal sembilan ataukah sepuluh Dzulhijjah, tanpa diperselisihkan oleh para ulama adalah sah.” 
c. Ketika Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya tentang puasa Arafah, apakah dilaksanakan berdasarkan rukyah di negeri tempat seseorang tinggal, ataukah rukyah di tanah haram, beliau menjawab —yang ringkasnya—hendaklah puasa dilaksanakan berdasarkan rukyah di negeri tempat seseorang tinggal."
Bahwa Ummu Fadhl telah mengutus dia (Kuraib) kepada Muawiyah di Sam. Dia (Kuraib) berkata: "Maka aku tiba di Syam dan menyesaikan kebutuhan Ummu Fadhl. Ramadhan tiba dan saya ada di Syam. Saya melihat hilal malam Jumat. Kemudian saya tiba di Madinah pada akhir bulan Ramadhan, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadaku, lalu dia menyebut persoalan hilal. Dia bertanya, ‘Kapan kamu melihat hilal?’ Saya jawab, ‘Kami melihatnya malam Jumat.’ Dia bertanya,’Kamu melihatnya sendiri?’. Saya jawab,’Ya. Orang-orang juga melihatnya lalu mereka berpuasa dan berpuasa juga Muawiyah.’ Ibnu Abbas berkata,’Tapi kami melihatnya malam Sabtu. Maka kami tetap berpuasa hingga kami sempurnakan 30 hari atau hingga kami melihat hilal.’ Saya berkata,’Tidakkah kita mencukupkan diri dengan rukyat dan puasanya Muawiyah?’ Ibnu Abbas menjawab,’Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita.” 
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, ketika ditanya: “Apabila hari Arafah berbeda karena perbedaan masing-masing wilayah di dalam mathla’ (tempat terbit) hilal, maka apakah kita berpuasa mengikuti ru’yah negeri tempat kita berada ataukah kita berpuasa mengikuti ru’yah al-Haramain (Makkah dan Madinah)? Beliau pun menjawab: Perkara ini dibangun di atas ikhtilaf para ulama, apakah hilal itu satu saja untuk seluruh dunia atau berbeda sesuai mathla’nya (tempat terbit bulan). Dan yang benar bahwa penampakan hilal berbeda sesuai dengan perbedaan mathla’.
 “Jika kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah” 
Bagi orang-orang yang hilal itu tidak nampak dari arah (daerah) mereka berarti mereka tidaklah melihat hilal tersebut. Begitu juga manusia telah sepakat bahwa mereka menganggap terbitnya fajar dan terbenamnya matahari pada setiap wilayah disesuaikan dengan wilayah masing-masing. Maka demikian pulalah penetapan waktu bulan seperti penetapan waktu harian. Demikianlah fatwa dari Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Sebagai informasi tambahan, ada beberapa mahasiswa Indonesia di Makkah bertanya kepada Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi, Mufti Kerajaan Saudi Arabia Bagian Selatan tentang permasalahan ini, maka beliau menjawab bahwa puasa Arafah adalah dengan mengikuti ru’yah negerinya.
Anonim mengatakan...
Ketika Nabi SAW puasa tgl 9 dzulhijjah belum ada umat Islam yg wuquf di Arafah. Sebab ibadah haji baru terlaksana di tahun ke-10 hijriyah (baca : Zaadul maad II : 101, Manarul qari III : 64). 
Sedangkan puasa 9 dzulhijjah sudah disyariatkan sejak tahun ke-2 hijriyah jauh sebelum wukuf haji disyariatkan (baca : shubhul a'sya II : 444, Bulughul Amani Juz VI : 119, Subulus salam I : 60).
Jelas, penamaan shaum Arafah bukan karena fi'lun (wukuf di Arafah dalam ibadah haji).
Dan istilah “Arafah” hanya sekedar mim bab Taghlib (penggunaan istilah untuk sesuatu yg biasa atau banyak dipakai) dan Arafah adalah ismul yaum (nama hari) ke 9 (tis'a) dibulan dzulhijah.
Sudah sangat jelas dan terang benderang penjelasannya tanpa keraguan sedikitpun.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wuquf 'Arafah itu merupakan syari'at manasik yang telah ada semenjak jaman Nabi Ibraahiim 'alaihis-salaam. Ibnu Katsiir rahimahullah pernah berkata saat menjelaskan QS. Al-Baqarah : 197:
وقال عبد الله بن وهب : قال مالك : قال الله تعالى : ( ولا جدال في الحج ) فالجدال في الحج والله أعلم أن قريشا كانت تقف عند المشعر الحرام بالمزدلفة ، وكانت العرب ، وغيرهم يقفون بعرفة ، وكانوا يتجادلون ، يقول هؤلاء : نحن أصوب . ويقول هؤلاء : نحن أصوب . فهذا فيما نرى ، والله أعلم .
وقال ابن وهب ، عن عبد الرحمن بن زيد بن أسلم : كانوا يقفون مواقف مختلفة يتجادلون ، كلهم يدعي أن موقفه موقف إبراهيم فقطعه الله حين أعلم نبيه بالمناسك .
Orang-orang Quraisy wuquf di Muzdalifah, sedangkan orang-orang Arab dan yang lainnya wuquf di 'Arafah. Mereka berbantah-bantahan. Semua mengklaim paling benar dalam manasiknya dan mengikuti manasik Ibraahiim 'alaihis-salaam. Maka kemudian Allah lah yang memutuskan dengan mengutus Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka manasik haji yang benar.
Dan sebagaimana diketahui, wuquf beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam di 'Arafah.
Intinya,....... hari 'Arafah dengan penyandaran pada wuquf di 'Arafah itu sudah ada semenjak sebelum haji wada', dan merupakan bagian dari syari'at manasik Nabi Ibraahiim 'alaihis-salaam.
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: " اعْلَمُوا أَنَّ عَرَفَةَ كُلَّهَا مَوْقِفٌ إِلَّا بَطْنَ عُرَنَةَ، وَأَنَّ الْمُزْدَلِفَةَ كُلَّهَا مَوْقِفٌ، إِلَّا بَطْنَ مُحَسِّرٍ ". قَالَ مَالِك: قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ، قَالَ: فَالرَّفَثُ إِصَابَةُ النِّسَاءِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ، قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ، قَالَ: وَالْفُسُوقُ الذَّبْحُ لِلْأَنْصَابِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ، قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ، قَالَ: وَالْجِدَالُ فِي الْحَجِّ أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تَقِفُ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ، بِالْمُزْدَلِفَةِ، بِقُزَحَ وَكَانَتْ الْعَرَبُ وَغَيْرُهُمْ يَقِفُونَ بِعَرَفَةَ، فَكَانُوا يَتَجَادَلُونَ، يَقُولُ هَؤُلَاءِ: نَحْنُ أَصْوَبُ، وَيَقُولُ هَؤُلَاءِ: نَحْنُ أَصْوَبُ، فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى: لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلا يُنَازِعُنَّكَ فِي الأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ، فَهَذَا الْجِدَالُ فِيمَا نُرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ، وَقَدْ سَمِعْتُ ذَلِكَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ
Diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa.
aya mendapatkan kutipan tulisan dari Syaikh Muhammad Khaliil Harraas tentang ibadah haji berikut :
"Allah Azza wa Jalla telah memperlihatkan manasik-manasik haji dan syi’ar-syi’arnya kepada Ibrâhîm Alaihissallam dan putranya, yaitu Ismâ’îl Alaihissallam. Maka manasik-manasik itu akan tetap ada sepeninggal keduanya kepada anak keturunannya yaitu berhaji ke Baitullah dan melakukan thawâf di situ, wukûf di ‘Arafah dan Muzdalifah, serta melaksanakan sa’i antara Shafa dan Marwa"
[selesai kutipan].
Dari tulisan tersebut dijelaskan bahwa wuquf di 'Arafah merupakan bagian dari manasik haji Nabi Ibraahiim 'alaihis-salaam.
Oleh karena itu, penyandaran hari 'Arafah pada wuqufnya jama'ah haji di 'Arafah adalah benar.
Tentang nama puasa 'Arafah, maka terjemahan yang benar bukan puasa tanggal 9 Dzulhijjah atau puasa tanggal 10 Dzulhijjah, akan tetapi puasa 9 hari awal bulan Dzulhijjah atau puasa 10 hari awal bulan Dzulhijjah. Maka, hadits ini tidak relevan jika dikaitkan dengan puasa 'Aasyuuraa'. Tidak nyambung. Lagi pula, hadits ini lemah. Silakan baca artikel : Hadits Puasa 9 Hari Awal Bulan Dzulhijjah.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Kemudian ditinjau dari bahasa. Puasa 'Arafah itu kan diambil dari Shaumi yaumi 'Arafah (puasa hari 'Arafah). 'Arafah itu jelas nama tempat. Asy-Syaikh Sulaimaan bin 'Abdillah Al-Maajid hafidhahullah berkata:
والقاعدة الأصولية أنه يتعين البقاء على الظاهر من دلالة الاسم ؛ حتى يدل دليل على العدول عنه.
"Kaedah ushuliyyah dimaknai secara dhaahir dari penunjukan namanya hingga ada dalil yang memalingkan dari makna dhahir tersebut".
Dan dalam hal ini tidak ada. Hal yang menguatkan statement itu justru ada pada teks haditsnya sendiri, yaitu:
صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة ماضية
"Puasa hari 'Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akandatang, dan puasa 'Aasyuuraa' (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas".
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam saat menyebut puasa 10 Muharram disebutkan dengan lafadh : 'Aasyuuraa'. Namun ketika menyebutkan puasa 'Arafah, tetap dengan lafadh 'shaumi yaumi 'Arafah'. Ini menunjukkan bahwa puasa 'Arafah tidak semata-mata dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah tanpa ada keterkaitannya dengan 'Arafah itu sendiri. Seandainya hari 'Arafah itu memang hanya dipertimbangkan dilakukan tanggal 9 Dzulhijjah, niscaya penyebutannya menggunakan lafadh yang semisal dengan 'Asyuuraa' (yaitu : Tasuu'aa'). Fatwa Asy-Syaikh Sulaimaan Al-Maajid tersebut dapat dibaca di sini : إذا اختلف إعلان عيد الأضحى بلد ما عن رؤية بلد المشاعر تقديما أو تأخيرا فكيف يكون صوم عرفة؟.
Ratusan tahun yang lalu, Ibnul-'Arabiy Al-Maalikiy rahimahullah saat menjelaskan QS. Al-Baqarah ayat 203 berkata:
وأن سائر أهل الآفاق تبع للحاج فيها
"Dan bahwasannya seluruh penduduk negeri (di dunia) mengikuti jama'ah haji dalam hal tersebut (termasuk puasa 'Arafah)" [Ahkaamul-Qur'aan, 1/143].
Selain itu, beberapa ulama kontemporer juga telah memfatwakan semisal. Silakan baca : Fatwa Lajnah Daaimah, Asy-Syaikh Al-'Ubailan, dan Asy-Syaikh Muhammad Al-Maghrawiy tentang Puasa 'Arafah.
Wallaahu a'lam.
Abu Umar mengatakan...
mohon ditanggapi pendapat yg mengatakan kelebihan puasa arafah adalah dhaif, seperti yg ada dalam artikel di bawah. terima kasih.
http://ansarul-hadis.blogspot.com/2014/10/penjelasan-status-hadith-kelebihan-puasa.html

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

COMMENTS  (2).


Anonim mengatakan...
Assalamu'alaikum
Saya memang sudah sepakat dan lebih mengedepankan pendapat bahwa kita puasa 'arafah mengikuti waktu wukuf di Saudi, namun saya ada pertanyaan yg benar2 mengganjal nih ustadz :
Dalam hal ini, bila kita puasa arafah mengikuti waktu wukuf berarti kita puasa arafah tgl 15 November, nah bagaimana dengan perayaan Idul Adha-nya ustadz dimana kita tidak memungkinkan mengikuti Saudi karena pemerintah sini menetapkan Idul Adha (10 Dzulhijjah) tgl 17 November, berarti kita bakal ada kekosongan hari? Atau solusinya adalah kita puasa arafah mengikuti saudi sementara idul adha-nya bersama pemerintah?
Tolong tanggapannya ya ustadz. Terima kasih.
--Abu Ahmad--
Salman Al Faris mengatakan...
Ijin Share ustadz ....
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
'Iedul-Adlhaa ikut Saudi, sehingga tidak ada kekosongan hari. Wallaahu ta'ala a'lam.
Usup Supriyadi mengatakan...
alhamdulillaah, saya sendiri ikut Saudi Arabia...
dan, saya kira apa yang difatwakan di atas, tidak memberatkan... subhanallaah...
Anonim mengatakan...
Di daerah kami kebanyakan sholat id mengikuti pemerintah (rabu). bagaimana kita menyikapinya karena samapai saat ini di daerah kami, saya belum mendapati tempat yang menyelenggarakan shalat id mengikuti saudi. 
mohon pencerahan.
Andang Banda Aceh...
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Jika orang yang menyelenggarakan shalat 'Ied pada hari Selasa tidak ada, atau ada namun dikhawatirkan menimbulkan fitnah, maka tidak mengapa ikut shalat 'Ied di hari Rabu. Wallaahu a'lam.
Anonim mengatakan...
Assalamualaikum... 
Scr pribadi sy memilih pendapat yg telah diutarakan syaikh utsaimin terkait hal ini yaitu puasa arafah mengikuti hilal di daerah masing2.. Lalu,Bwt ust abul jauzaa, ada hal yg ingin sy tanyakan
Bgmn orang2 yang hidup di negara dimana ketika saudi siang hari, maka mereka dalam keadaan malam hari, atau ketika saudi malam hari,maka mereka dlm keadaan siang hari,seperti negara amerika atau hawai?? Pada saat kapan mereka harus puasa arafah? Karena jika mengikuti pendapat puasa mengikuti hilal saudi, sama saja mereka tetap tdk akan berpuasa di waktu orang sedang wukuf... Dgn demikian tentu mereka akan mengikuti hilal di negeri mereka..
Jazakallah khair atas jwbnnya..
-Almaidany-
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.
Silakan saja bagi antum jika memang fatwa Syaikh Ibnu 'Utsaimin - menurut antum - lebih kuat untuk diikuti. Ini adalah khilaf mu'tabar di kalangan ulama yang tidak selayaknya menjadikan kita bertikai antara satu dengan yang lainnya. Dan saya rasa, pertanyaan yang antum sampaikan itu bukanlah pertanyaan, namun tidak lebih sebagai salah satu alasan antum untuk mengambil perajihan yang telah antum pilih.
Adapun komentar saya : Mengikuti jama'ah haji adalah asal hukum, dan hukum ini dilaksanakan sesuai dengan kesanggupan. Bagi yang tidak mendengar atau tidak sampai kepadanya informasi tentang wuquf 'Arafah, maka diperbolehkan baginya untuk berijtihad dengan ru'yah hilal yang nampak baginya. Begitu pula dengan negeri-negeri yang beda 12 jam dengan Saudi. Jika memang negeri tersebut tidak pernah bersama waktu siangnya dengan Saudi, bukankah negeri itu bisa masih bersama waktu malamnya dengan Saudi. Karena, tidak ada negara di dunia ini yang akan berbeda waktu selama lebih dari 12 jam dengan Saudi. Ini adalah satu kondisi yang tidak boleh dijadikan hukum umum.
Dan kalau boleh saya pun bertanya kepada antum (jika antum menguatkan pendapat Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin) :
1. Adakah nukilan salaf (terutama generasi awal Islam) yang menyatakan bahwa negeri Syaam, Yaman, 'Iraaq, ataupun Mesir berbeda pelaksanaan 'Arafahnya dengan Makkah ? Saya harap antum tidak memakai dalil Ibnu 'Abbaas dalam masalah Syawal. 
2. Seandainya antum di negara A dan saya di negara B, dimana jarak rumah antum dengan saya hanya 50 m. Namun antara rumah saya dan antum terdapat pagar perbatasan negara. Negara antum memutuskan 'Arafah hari Selasa, sedangkan negara saya hari Senin. Bagaimana penjelasan antum mengenai hal ini ? [saya memakai logika geografi yang sama dengan yang antum pakai].
Sa'ad mengatakan...
Terkait penjelasan Syaikh Ubailan hafidhahullah atas pertanyaan yang diajukan kepada beliau, ana ingin bertanya:
Apakah Idul Adha itu HARUS tanggal 10 Dzulhijjah atau TIDAK?
Abu Afifah mengatakan...
sebagai orang awam..ada beberap pertanyaan yang menggelitik :
1.apakah kita WAJIB MENGETAHUI info-info terkini dari Saudi (info wukuf,Ied, dll)
2. konsekuensi hukumnya, jika wajib mengetahui, berarti harus nonton TV, baca berita,dll (memiliki alat komunikasi)
3.Apakah ada perubahan hukum? jaman dulu gak ada alat komunikasi secanggih sekarang yang bisa mengupadate informasi dari negeri jauh, praktis menggunakan ru'yah hilal lokal..apakah penerapan hukum ini hanya berlaku di jaman canggih sekarang, dulu tidak.. islam syamil..... fi kulli makan wa zaman..
4.Tahun ini perayaan Ied Adha di indonesia berbeda dengan Saudi, Jika Pemerintah Indonesia yg punya otorisasi menetapkan waktu Ied Adha pada tgl 17 Nop 2010 berdasarkan Ru'yah hilal lokal bukan hisab ..menaatinya kok dibilang taat pada maksiat?? Setahu saya ada ormas yang menggunakan metode hisab tapi kebetulan bersamaan waktunya dengan Saudi..
Anonim mengatakan...
Apakah dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara Iedul Fithri dan Iedul Adha dimana jika Iedul Fithri kita boleh mengikuti hilal masing-masing negri, adapaun jika itu Iedul Adha harus mengikuti hilal penduduk Makkah?
abu hanif mengatakan...
ustadz, adakah pengertian bahwa hari tasyrik masih termasuk hari raya, apabila ada maka apakah bisa seperti ini : kita tetap puasa arafah dan Lebaran ikut saudi namun sholat ied ikut pemerintah kita dikarenakan tanggal tersebut masih dalam rangkain hari tasyrik.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
@Abu Afifah,...
1. Wajib mengetahui khabar hilal penduduk Makkah, terkait pelaksanaan haji mereka. Wajib di sini bukan 'ain, tapi kifaayah.
2. Konsekuensi hukum yang terlalu 'dipaksakan'.
3. Tidak ada perubahan hukum. Dan sebenarnya pertanyaan semisal sudah saya komentari.
4. Jika antum paham akan duduk permasalahan khilaf di antara ulamanya, insya Allah antum tidak akan berkata demikian.
@Anonim,.... berbeda, tentu saja dari sisi pandang pendapat ulama yang mengatakan berbeda. 
@Abu Hanif,... yang terdapat dalam hadits bahwasannya hari tasyrik adalah hari makan dan minum. Saya belum mendapati keterangan bahwa hari tasyrik termasuk 'Ied. 
Wallaahu ta'ala a'lam.
sayurhaseum mengatakan...
rasulullah bersabda " kami adalah umat yang bodoh yang tidak bisa menulis dan membaca" maka dari itu penetapan pada waktu itu tidak berlaku hisab.
Wa yathlubuhu Hatsisan (Al-Araaf : 54)
Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan ma...lampun tidak dapat mendahului siang–Yaasiin (36) : 40-
perbedaan waktu saudi-indonesia hanya 4 jam lebih dahulu indonesia.
indonesia telat bulan. yang menjadikan keduluan saudi 20 jam.
perhitungan qomariah, mulai masuk hari ketika masuk maghrib(matahari terbenam) beda dengan masehi yang dihitung sejak matahari terbit(subuh). jadi tidak ada alasan indonesia menunda hilal hingga esok hari.
sesungguhnya sudah sunatullah bahwa matahari tidak akan mendahului bulan. atau dengan kata lain saudi tidak mungkin mendahului indonesia dalam hilal.
www. perlu dipertanyakan keprofesionalan mereka dalam ru'yah. apalagi setelah dibandingkan dengan hisabpun ketetapan mereka jauh darinya. yang mana hisab lebih dekat dengan kebenaran yaitu dalil al-qur'an dan sains
Anonim mengatakan...
Tanya Tadz, apakah dalam masalah khilaf mu'tabar yg terjadi di antara para ulama seperti dalam masalah ini tidak bisa diberlakukan kaidah "Ilzam al-shulthan yarfa' al-khilaf". Ketetapan penguasa menghilangkan perbedaan?
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
bisa
Anonim mengatakan...
gimana jika perayaannya ikut pemerintah dengan dalil "...beriedul adhalah kamu bersama kaum muslimin", dan puasanya berdasarkan arofah dengan dalil shaum yaumul 'arofah ustadz..??
apakah ini pendapat yang ganjil..??
zaid mengatakan...
tadz bginmana klo wktu disini ketempatan sore kpn kta puasa arafah nya?? hr itu tp sdah drncnakan atau bsok pagi...???
Anonim mengatakan...
@anonim 16 November 2010 05.18
Agar antum tidak bingung, pilihlah yg sesuai dengan keyakinan antum, mau beridul adha dengan pemerintah atau mengikuti saudi. Jika antum memilih untuk mengikuti saudi, maka kemarin (15 Nov) adalah puasa arafah dan harusnya hari ini (16 Nov) antum sholat 'id, jadi tidak benar jika antum kemarin puasa arafah lalu sholat 'idnya mengikuti pemerintah yaitu besok (17 Nov) karena bakal ada kekosongan hari, dan ini ganjil.
Ana udh menanyakan ini ke ustadz Abul Jauzaa dan udh dijawab kok, coba dicek lg di komen2 yg atas.
--Abu Ahmad--
Abu Amjad mengatakan...
Assalaamu'alaykum warohmatullohi wabarokaatuh,
Akhi mohon antum membahas juga tentang takbir 1 kali pada sholat Ied yg dilakukan oleh saudara-saudara kita Muhammadiyah di Bandung.
Di wawancara di TV katanya hadits yang takbir 7 kali di raka'at pertama dan 5 kali di raka'at kedua tidak shahih.
Syukron Jazilan
Anonim mengatakan...
Bagaimana bila kita tinggal di Alaska yang dikurangi 12 jam dari Arab Saudi,apakah Alaska harus ikut Mekkah(Arab Saudi) pada tgl 16 November sedangkan di Arab Saudi sudah masuk hari ke 11 Dzulhijah? Mohon penjelasan Ustadz,jazakallah
Muhammad mengatakan...
Silakan lihat diskusi di muslim.or.id pada kolom komentar di artikel:
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/puasa-arofah-ikut-siapa.html
Anonim mengatakan...
se7 sama ini----> Bagaimana bila kita tinggal di Alaska yang dikurangi 12 jam dari Arab Saudi,apakah Alaska harus ikut Mekkah(Arab Saudi) pada tgl 16 Nvoember sedangkan di Arab Saudi sudah masuk hari ke 11 Dzulhijah? Mohon penjelasan Ustadz,jazakallah..... Scr pribadi sy memilih pendapat yg telah diutarakan syaikh utsaimin terkait hal ini yaitu puasa arafah mengikuti hilal di daerah masing2...share blog islam... http://www.kunya86.multiply.com/
Anonim mengatakan...
Assalamu'alaikum..afwan Ust, setau saya: 
1)Rosul bersabda "Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan Berbukalah kalian karena melihatnya (hilal)" Al Hadits.
2)Rosul bersabda "Puasa kalian ketika manusia (kaum muslimin) berpuasa dan 'Idul Adha kalian ketika manusia (kaum muslimin) ber'Idhul Adha" Al Hadits
3)Sahabat Ibnu Mas'ud berkata "Al Khilafu Syarr" yg artinya "Perselisihan itu jelek"
4)Syaikh Al Albany dan Syaikh Ibnu 'Utsaimin yang berfatwa agar merayakan 'Ied bersama pemerintah negara masing2
5)Sebagaimana daerah yang berada di wilayah timur lebih dulu berbuka puasa dari wilayah barat dg kesepakatan ulama...kenapa tidak sama dlm masalah puasa arofah?
Anonim mengatakan...
1.Bahwasanya hari ‘Arafah adalah tanggal sembilan (9) dari bulan dzulhijjah, sama saja hal itu bertepatan dengan waktu jama’ah haji melakukan wukuf atau tidak, dan bahwasanya setiap daerah memiliki mathla’ tersendiri. Di antara ulama yang mengambil pendapat ini adalah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh ‘Abdullah bin Jibrin rahimahumallah, Dr.Hanii bin ‘Abdullah al-Jubair hafizhahullah, Prof.Dr Ahmad al-Haji al-Kurdi hafizhahullah dan Prof.Dr Khalid al-Musyaiqih hafizhahullah dan lain-lain..
2.Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah (2437), Imam Ahmad rahimahullah (2269) Imam an-Nasaai rahimahullah (2372) yang dishahihkan oleh al-Albani rahimahullah dari sebagian istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata:
”Dahulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada tanggal sembilan dzulhijjah, hari ‘Asyuraa’, dan tiga hari setiap bulan yaitu hari senin pada awal bulan dan dua hari kamis.” 
Segi pendalilan: Bahwa istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dahulu melakukan puasa pada tanggal sembilan dzulhijjah dan itu tidak diragukan lagi dilakukan oleh beliau sebelum haji Wada’. Dan lafazh كان menunjukkan rutinitas sebuah amalan. Dan tidak sampai kepada kami sebuah riwayat bahwasanya beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersungguh-sungguh untuk mencari tahu tentang kapan waktu wukuf jama’ah haji di bukit ‘Arafah di Makkah
3.Baca juga :
a.Atsar Salaf & Perkataan ‘Ulama Tentang Sholat ‘Iedain Bersama Hukkam (http://tholib.wordpress.com/2007/01/14/atsar-salaf-perkataan-ulama-tentang-sholat-iedain-bersama-hukkam/)
b Fatwa asy-Syaikh al-Albani tentang Sholat Dua Hari Raya Bersama Pemerintah (http://tholib.wordpress.com/2006/12/26/fatwa-asy-syaikh-al-albani-tentang-sholat-dua-hari-raya-bersama-pemerintah/)
c.http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/puasa-arofah-ikut-siapa.html
NB : Bantahan khusus buat Abul-Jauzaa bisa klik http://www.fawaaid.sg/2010/11/puasa-arafah-mengikut-imam.html
Anonim mengatakan...
ternyta diskusiny belum selesai.
al ust abul jauzaa sbtlny sudah mengatakan bhw ini khilaf yg mu'tabar.
sudahlah tdk ahsan qt memaksakan pendapat qt pada org lain.
kalo mau menyanggah, sanggahlah poin2 bahasn yg beliau torehkan diatas.
wallahu a'lam
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Sebenarnya saya ingin 'sudahi' pendiskusian ini, mengingat apa yang kita bicarakan telah 'lewat'. Selain itu, masih ada waktu panjang bagi kita ke depan, insya Allah, untuk mendalami permasalahan ini kembali.
@Anonim (25 Nopember 2010),.... berikut tanggapan singkat saya :
1. Ya, itulah ulama yang berpendapat berbeda dengan yang saya sebutkan di atas. Namun, apakah benar hari 'Arafah itu tanggal 9 secara mutlak ? Bukankah jika jama'ah haji wuquf karena keliru pada tanggal 10 atau 8 Dzulhijjah, maka wuqufnya adalah sah ? Selain itu, telah banyak penjelasan ulama (semisal An-Nawawiy dan yang lainnya) bahwa hari 'Arafah itu bukan hari kesembilan pada bulan Dzulhijjah secara mutlak.
2. Hadits itu lemah. Dan sepertinya, terjemahan "at-tis'u" itu bukan pada tanggal sembilan Dzulhijjah, tapi puasa sembilan hari pada bulan Dzulhijjah.
3. Ya saya sudah baca. Adapun sanggahan Ustadz Murad Sa'iid, saya juga sedikit telah mengomentarinya.
Baarakallaahu fiik.
Anonim mengatakan...
ketika seseorang memegang satu pendapat, maka pasti ia akan mempertahankannya mati-matian, meskipun dalil-dalil yang dipakai lemah dan ada pendapat yang lebih kuat 
tapi ada contoh menarik yang perlu kami angkat
Hikmah yang kami petik pada suatu kajian malam Jumat Riyadussholihin di Musholla Pasar Minggu, Ustadz Abdul Hakim Amir Abdat menceritakan pengalamannya tentang goyahnya pendapat beliau terhadap suatu masalah dalam sifat sholat Naby, yaitu ketika turun untuk sujud apakah mendahulukan tangan ataukah mendahulukan lutut. 
bahwasanya beliau berpendapat (sesuai dengan bacaan beliau) bahwa ketika Turun untuk sujud adalah dengan mendahulukan TANGAN kemudian lutut, beliau merajihkan pendapat tersebut ditambah lagi hal itu dikuatkan lagi dengan adanya fatwa syaikh Albani (sifat Sholat Naby).
 “Suatu ketika di musim haji...
Ustadz Abdul Hakim menghadiri ta’lim Syaikh Utsaimin, ta’lim itu dihadiri oleh banyak penuntut ilmu
Al allamah membahas tentang sifat sholat Naby, salah satunya membahas bahwa ketika turun sujud adalah afdolnya MENDAHULUKAN LUTUT sebelum tangan dengan dalil-dalil yang kuat..
singkat cerita Ustadz Abdul Hakim pun bertanya kepada Al Allamah bagaimana dengan pendapat syaikh Albany yang merajihkan mendahulukan tangan...
Al Allamah menjawab kurang lebih : “Aku berharap kebenaran bersamaku”
Maka seketika itu juga Abdul Hakim mengaku goyah dan 
akhirnya beliau yakin dengan penjelasan Al Allamah..
ia pun merajihkan pendapat mendahulukan lutut ketika akan turun untuk sujud
ketika hanya dengan membaca kitab-kitab semata beliau punya pendapat sendiri
tapi ketika beliau mendengar langsung di Majlis Ulama, maka beliau mendapat pencerahan
baarakallahu fyk
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Semoga kita terjauh dari sikap 'mempertahankan pendapat mati-matian, meskipun dalil-dalil yang dipakai lemah dan ada pendapat yang lebih kuat'. Dan jangan bakhil mendoakan saya agar tidak termasuk salah satu di antaranya.
Syukran !!
agung sutrisno mengatakan...
kalau kita ikut saudi, padahal waktunya duluan indonesia maka waktu kita puasa saudi belum wukuf. mohon pencerahannya
Anonim mengatakan...
Ustadz, saya sependapat dengan antum, alasannya.
Jika hadits dari Nabi isinya menyatakan puasa pada 9 Dzulhizah maka, hukum asalnya mengikuti hilal (pertanggalan).
Jika kita lihat, hadits Nabi tentang puasa ada yang berdasarkan tanggal seperti puasanya tanggal 10 Muharram, puasa tanggal 1 Ramadhan, tanggal 13,14,15.
Ada yang berdasarkan hari tidak terikat tanggal, seperti puasa hari senin, puasa hari kamis, puasa hari arafah, puasa Nabi Daud.
Hari arafah adalah hari jamaah haji wukuf di padang arafah.
wallahu'alam.

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

8 comments:

Puasa Arafah Mengikut Imam Ustaz Murad Said [singapura]:

Assalamu'alaykum Ustaz,
fyi..
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/11/fatwa-lajnah-daaimah-asy-syaikh-al.html
السلام عليكم و رحمة الله
Ana pun ada komen pasal hal ini di http://www.islamiq.sg/2010/11/puasa-arafah.html
wallahualam
Ustadz Abul Jauza -hafizhohulloh- telah menanggapi tulisan antum di sini:
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/11/puasa-arafah.html?showComment=1290075362847#c8189612262412230537
Syukran al-Akh Abu Ismail. Saya sudah membaca keseluruhannya jawaban beliau.
Sekarang pembaca boleh menilai hujjah masing2. 
kata2 beliau secara keseluruhan tidak terkeluar dari hujjah2 asli beliau. Oleh itu jawaban ana terhadap beliau juga tidak terkeluar dari yg ada dalam tulisan ana.
Jika ada kemusykilan tertentu ttg hujjah2 ini yang rasanya tidak terjumpa didalam tulisan ana silakan diminta penjelasan.
Diakhir2 jawaban Ustaz Abul Jauza' ada menambah dalil tentang mubahah ( bermegah2an Allah ) dihari Arafah utk ahli wukuf. Hadith ini juga telah dijawab oleh ulama bahawa ia khusus untuk mereka yg wukuf di Arafah sebagaimana yg tidak tersembunyi. Fadilat ini bukan umum utk umat dilapisan dunia yg lain.
Fadilat puasa Arafah yg dlm hadith hanya berkaitan dihapuskan dosa 2 tahun. 
Tidak harus dipaksakan sebagai nas yg menyuruh seluruh dunia meninggalkan rukyah mereka dan mengikut Mekah.
Beliau telah menukilkan dari Syaikh Ar'aur dan al-Asyqar bahawa telah tedapat ijma'.Ana telah mengetahui nukilan ini sebelum menulis. Hujjah ini adalah yg terkuat jika dapat dibuktikan mustanadnya.
Sedangkan ana haya minta nas dari satu orang Imam dari kalangan salaf yg membeza2kan Ramadan-Syawal dan Zulhijjah dlm menentukan awal bulannya. 
Satu lagi tambahan dari Ustaz Abul Jauza' yg dijadikan dalil bahawa salaf telah ijma' mengikut Mekah adalah riwayat Ibrahim an-Nakhaiey ttg hari yg disyak sebagai hari Nahar.
Jawaban :
Ini boleh dijadikan dalil bahawa dari zaman salaf mereka diIraq tidak mengikut Mekah. Masakan ada syak jika demikian?
Tetapi ana tidak akan menggunakan hujjah ini.
Apakah dalil Ustaz Abul Jauza' bahawa makna mereka " khawatir ia adalah hari Nahr " disebabkan ia adalah hari wukuf diArafah?
Mengapa bukan kerana pada awal zul Hijjah terjadi mendung " ghaim " sehingga mereka mencukupkan zul Qa'edah dgn a'dad 30 hari, persis seperti masalah hari " syak " Ramadahan. Khilaf disini seperti khilaf disana. 
Yg menguatkan kemungkinan ini adalah kata2 Ibnu Taimiyah rhm bila ditanya ttg masalah hari syak Arafah.
..فلو غم هلال ذي الحجة أو شهد برؤيته من لا تقبل شهادته ، إما لانفراده بالرؤية أو لكونه ممن لا يجوز قبوله ونحو ذلك ، واستمر الحال على إكمال ذي القعدة فصوم يوم التاسع الذي هو يوم عرفة من هذا الشهر المشكوك فيه جائز بلا نزاع ، قلت ولكن روى ابن أبي شيبة في كتابه عن النخعي في صوم يوم عرفة في الحضر إذا كان فيه اختلاف فلا يصومن ، وعنه قال كانوا لا يرون بصوم يوم عرفة بأسا إلا أن يتخوفوا أن يكون يوم الذبح . وروي عن مسروق وغيره من التابعين مثل ذلك وكلام هؤلاء قد يقال : إنه محمول على كراهة التنزيه دون التحريم ، والله أعلم " اهـ
Maaf ana tidak terjemahkan utk pembaca. Sekurang2nya ana mendatangkan fahaman seorang Alim ttg riwayat Ibrahim Nakhaiey ini. 
Tetapi satu perkara yg penting adalah kata2 Ibn Taimyah : " Puasa hari keSembilan yg disyak ia adalah Arafah dibolehkan tanpa niz'a. " Sekali lagi dalil ini boleh diterbalikkan atas penulis. 
Maka isu pemutus masalah ini adalah 
1) wujudnya khilaf mu'tabar dari salaf
2) dalil perintah atau perbuatan Nabi SAW atau sahabat yg menunjukkan wajib tidak ikut rukyah dan pemerintah masing2 tetapi mengikut Mekah
Assalamu'alaikum
1. apakah klaim ijma baru bisa diterima kalau kita mengetahui mustanadnya?
2. Nukilan ijma yang disampaikan syaikh ar'ur dan al Asyqar bisa dijumpai di mana, ustadz?
Jazakumullahu khoiron
Wa a'laikumussalam Ustaz Aris,
1. Apa juga klaim mesti dibuktikan, dalilnya hadith masyhur " al-bayyinah a'lal muddai'ey ". Bukti wajib diberikan oleh pendakwa. Agama kita ini bersanad, jika benar ulama telah ijma' pasti ada sanadnya. Jika tidak siapa sahaja dapat berkata apa yang dia ingin katakan. Setiap ijma' juga biasanya diketahui mustanadnya atau sandaran yg dijadikan dalil, samada ayat Quran atau hadith atau qaedah atau qiyas atau tafsir sahabat, atau ulama lughah dll bergantung dgn masalahnya.
2. Ia ada dalam fatwa mereka, ada di website2 berbahasa Arab. Ana tak tahu masih simpan lagi linknya. Utk mengetahui detail nasnya perlu anta bertanya dengan Ustaz Abul Jauza' sebab beliau yg berhujjah dgnnya.
Ketika ana baca2 kelmarin seingat ana fatwa itu tidak menyebutkan siapa Imam penukil Ijma', apakah beliau Ibnul Mundzir, atau Ibnu Abdil Bar, Nawawy, Ibnu Qudamah, Ibn Hajar dll yg merupakan mazhann zikril ijma'. Tidak juga disebutkan jenis ijma'nya.
Ijma' inikan ada bermacam2, Ijma' sahabat, ijma' mansus, ijma' sukuty, ijma' amaly...
Utk menjatuhkan dakwaan ijma' cukup utk buktikan adanya khilaf. Berapa banyak masalah yg didakwa ijma' ternyata ia masalah khilafiyah sebagaimana tahqeeq Ibn Taimiyah terhadap kitab ijma' karangan Ibn Hazm.
Kadang2 dijatuhkan dakwaan ijma' dgn membuktikan bahawa masalah yg disebutkan itu bukan pada mahallun niza'. Sebagaimana dakwaan ijma' disyariatkan menyambut maulid Nabi SAW kerana adanya ijma' wajib mencintai Nabi SAW.
Berat sangkaan ana bahawa ijma' yg disebutkan berkaitan dgn kewajiban mengikut rukyah ahli Mekah utk manasik haji diMekah lalu diqiyaskan kepada orang diluar Mekah. Ini dua masalah yg berbeza.
Kadang2 dijatuhkan dakwaan ijma' kerana orang yg menukilkan ijma' itu mutasahil(terlalu ringan) dlm nukilan, atau orang yg bukan muktabar keilmuannya sebagai penukil ijma'. Syaikh Syatry seorang bekas kibar ulama ada sebuah kitab khusus berkaitan masalah ini.
Ala kulli hal, jika tsabit ijma' ini, tentu dari awal mereka akan gunakan, tidak perlu takalluf dgn dalil2 lain yg samar2, sebab tidak mungkin kita boleh menyalahi ijma'.
Afwan kerana menambah sedikit ttg ijma' sebagai faidah utk pembaca umum.
اسلام عليكم استاذ....هنا توجد مشكيلة.....لماذا فرضةالحج في شهر ذي الحجةومتى شريعة ع
لا يتمكن المسلمون أن يحجوا إلا بعد فتح مكة, عام 8 من الهجرة. و الحج موجود في شريعة إبراهيم عليه و على نبينا السلام
اختلف العلماء في السنة التي فرض فيها الحج ، فقيل في سنة خمس ، وقيل في سنة ست ، وقيل في سنة تسع ، وقيل في سنة عشر ، وأقربها إلى الصواب القولان الأخيران ، وهو أنه فرض في سنة تسع أو سنة عشر .
 ( والدليل قوله تعالى : ( ولله على الناس حجُّ البيت من استطاع إليه سبيلا ) ففي هذه الآية وجوب الحج وقد نزلت عام الوفود أواخر سنة تسع ، فيكون الحج فرض أواخر سنة تسع . انظر زاد المعاد 3/595 )
والله أعلم .


●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

22 Komentar 

Al-Imam Ibnu Utsaimin :Shaum Arafah Tidak Mengikuti Saudi

Abu Umair As-Sundawy said
Januari 26, 2007 @ 2:08 am
Berkaitan dengan ini , saya tuliskan beberapa komentar saya dimilis yang belum terjawab smpai sekarang,
Pertama,Ada yang bisa tunjukkan fatwa atau kitab ulama salaf atau mutaakhirin yang membahas panjang lebar mengenai fiqih teknis shaum arafah yang mana terikat waktu dan tempat dengan prosesi haji di saudi.Sehingga ikut saudi. Jazaakumullah khoiron.Saya baru mendapati Al-Masail jilid 5 Ustadz Abd.HakimAbdat), dan fatwa syaikh Salim Al-Hilaly dalam website beliau dalam artikel التنبئة والتعرفة في أحكام صيام يوم عرفة
Namun keduanya tidak membawakan pemahaman/fatwa para ulama salaf, syukran jika ada yang bisa bantu saya.
Kedua
Yakni masalah idul adha yang selalu berulang,
Idul adha kemarin masih adanya ikhwah yang menyelisihi penguasa dalam melakukan sholat ied.Silahkan bahas dalilnya apa dan siapa saja dari fatwa ulama untuk kita diskusikan?
Alhamdulillah ada dua tulisan bagus , dari akhuna Abu Shilah di blognya.Yakni seharusnya kita berhariraya bersama penguasa/pemerintah.
Silahkan baca :
1.Atsar Salaf & Perkataan ‘Ulama Tentang Sholat ‘Iedain Bersama Hukkam (http://tholib.wordpress.com/2007/01/14/atsar-salaf-perkataan-ulama-tentang-sholat-iedain-bersama-hukkam/)
2.Fatwa asy-Syaikh al-Albani tentang Sholat Dua Hari Raya Bersama Pemerintah
Ada yang berdalih, bahwa karena kita shaum arafahnya musti mengikuti wukuf arafah, maka tentunya iedul adha nya adalah keesokan harinya..Dan tidak ada ketaatan kepada penguasa karena ini maksiat!,jadi tidak ada dasarnya penundaan sholat ‘ied.
Coba berilah saya faidah dari hadit ini :
Umair ibn Anas meriwayatkan dari kerabatnya yang berasal dari Anshar bahwa mereka berkata, “kami tidak melihat hilal syawwal. Karena itu di pagi harinya kami berpuasa. Lalu di penghujung siang (menjelang zuhur) datang rombongan di mana mereka bersaksi di hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam bahwa mereka telah melihat hilal kemarin. Maka, rasul segera menyuruh mereka untuk berbuka pada hari itu dan menunaikan shalat ied pada keesokan harinya. (HR Ahmad, Abu Daud, al-Nasai, dan Ibnu Majah)
Berdasar hadist diatas,bukan kah boleh menunda, seandainya kita yakin idul adhanya setelah wukuf saudi?
Terakhir, di komplek perumahan saya di bogor, ada mesjid “kita” menyelenggarakan lebih awal berbeda dengan pemerintah,coba bagi yang punya kasus semisal di lingkungannya.Apaperlu masjid kecil (dengan halaman tidak bisa dibilang besar) menyelenggarakan sendiri, tidakkah lebih baik bersama penduduk lain di lapangan yang besar misalnya? Sudah begitu, yang datang banyak yg dari jauh, hanya karena ingin sholat mengikuti saudi?!
Apakah sudah izin ke pemerintah (depag minimalnya)? Tidakkah ini keluar dari ketaatan pemerintah? Contoh kasus,DDII setiap iedul adha mengikuti saudi (tentu berdasar pemahaman/keyakinannya setelah dibahas), tapi mereka selalu minta izin dengan surat dan ditandatangani Depag. Sudahkah mesjid kita demikian?
Wassalamualaikum warahmatullah
Semoga ada yang bisa beri faidah kepadasaya.Al-Ustadz Abu l-Jauzaa, tafadhdhol…
Abu Umair As-Sundawy
Abu Al-Jauzaa' said
Apabila kita membuka beberapa buku fiqh, pembahasan mengenai penentuan Idul-Adlha atau awal Dzulhijjah memang tidak sedalam dan sedetail pembahasan penentuan awal Ramadlan (puasa) dan Syawal (Idul-Fithri) dengan segala perbedaan pendapatnya (antara yang rajih dan marjuh). Biasanya bahasan-bahasan yang ada diberikan sedikit kesimpulan dengan kalimat : “Hal itu juga diqiyaskan dengan Idul-Adlha” atau kata yang semisal.
Sebelumnya mohon maaf kepada Pak Admin jika Abu Al-Jauzaa’ kembali berkesimpulan yang sedikit berbeda dengan apa yang ditulis di atas. Juga pada Al-Akh Al-Ustadz Abu ‘Umair, silakan koreksi jika memang salah. Atau siapapun yang mempunyai ilmu tentang hal ini. Start akan dimulai dengan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Adapun hadits Kuraib/Ibnu ‘Abbas (HR. Muslim 1087, Tirmidzi 647, dan Abu Dawud 1021) akan disinggung kemudian.
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
الصوم يوم تصومون , و الفطر يوم تفطرون , و الأضحى يوم تضحون
 “Puasa adalah hari dimana kalian berpuasa, dan berbuka (Idul-Fithri) adalah hari dimana kalian berbuka, dan berkurban (Idul-Adlha) adalah hari dimana kalian berkurban” (shahih, lihat Silsilah Ash-Shahiihah nomor 224).
Para ulama beristinbath dengan hadits ini bahwasannya puasa dan hari raya adalah bersama jama’ah kaum muslimin.
Ibnul-Qayyim dalam Tahdzibus-Sunan (3/214) mengatakan :
و قيل : فيه الرد على من يقول إن من عرف طلوع القمر بتقدير حساب المنازل جاز له أن يصوم و يفطر , دون من لم يعلم , و قيل : إن الشاهد الواحد إذا رأى الهلال و لم يحكم القاضي بشهادته أنه لا يكون هذا له صوما , كما لم يكن للناس
 “Dikatakan bahwa : Di dalam hadits tersebut ada bantahan terhadap orang-orang yang mengatakan : ‘barangsiapa yang mengetahui terbitnya bulan (hilal) berdasarkan hasil hisab (perhitungan) daerahnya, maka boleh baginya berpuasa dan berhari raya (dengan hisab tersebut), berbeda dengan orang yang tidak mengetahui’. Juga dikatakan : ‘Sesungguhnya apabila seseorang sendirian melihat hilal, maka qadli memutuskan dengan persaksiannya, bahkan tidak ada hak baginya untuk berpuasa, sebagaimana tidak ada hak pula bagi orang selainnya’. [selesai]
Berkata Abul-Hasan As-Sindi dalam Hasyiyah-nya terhadap Sunan Ibnu Majah setelah ia menyampaikan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Tirmidzi :
و الظاهر أن معناه أن هذه الأمور ليس للآحاد فيها دخل , و ليس لهم التفرد فيها , بل الأمر فيها إلى الإمام و الجماعة , و يجب على الآحاد اتباعهم للإمام و الجماعة , و على هذا , فإذا رأى أحد الهلال , و رد الإمام شهادته ينبغي أن لا يثبت في حقه شيء من هذه الأمور , و يجب عليه أن يتبع الجماعة في ذلك
 “Yang nampak dari hadits ini maknanya adalah bahwa perkara-perkara ini bukanlah diserahkan kepada setiap orang, dan tidak ada hak bagi mereka untuk menyendiri dalam perkara-perkara tersebut. Bahkan urusan tentang perkara-perkara tersebut diserahkan kepada imam (penguasa) dan jama’ah (kaum muslimin), maka wajib atas setiap individu untuk mengikuti imam dan jama’ah (kaum muslimin). Oleh karena itu maka apabila salah seorang ada yang melihat hilal, dan sang imam menolak persaksiannya, maka seharusnya tidak ada hak baginya sedikitpun dalam perkara-perkara ini, serta wajib atas dirinya untuk mengikuti jama’ah dalam hal tersebut”. [selesai]
Apabila kita pahami perkataan dua ulama di atas dan juga hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan, insyaAllah perkaranya mudah. Yaitu : Kita hendaknya berpuasa dan berhari raya bersama orang banyak.
Khusus untuk penentuan puasa dan Ramadlan, perkaranya lebih “luas” berdasarkan hadits Kuraib. Hadits Kuraib menceritakan khilaf perbedaan antara puasanya ahli Madinah dan ahli Syam sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam (karena perbedaan mathla’ hilal). Hadits Kuraib tersebut adalah :
أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية بالشام قال فقدمت الشام فقضيت حاجتها واستهل علي رمضان وأنا بالشام فرأيت الهلال ليلة الجمعة ثم قدمت المدينة في آخر الشهر فسألني عبد الله بن عباس رضى الله تعالى عنهما ثم ذكر الهلال فقال متى رأيتم الهلال فقلت رأيناه ليلة الجمعة فقال أنت رأيته فقلت نعم ورآه الناس وصاموا وصام معاوية فقال لكنا رأيناه ليلة السبت فلا نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه فقلت أو لا تكتفي برؤية معاوية وصيامه فقال لا هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
 “Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib : Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah oleh ku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya ; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan) ? Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”. Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ? Jawabku : “Ya ! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”. Ia berkata : “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawwal)”. Aku bertanya : “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah ? Jawabnya : “Tidak ! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami.” (HR. Muslim 1087, Tirmidzi 647, dan Abu Dawud 1021)
Berdasarkan pemahaman hadits Kuraib, maka kalimat dalam hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : “Hari dimana kalian berpuasa/berbuka” dapat diartikan dengan : Hari dimana orang-orang di negerimu berpuasa/berbuka sesuai dengan apa yang diputuskan oleh imam di negerimu”. Sampai di sini ana kira banyak di antara kita bersepakat. Namun,….. apakah dua kasus tersebut (puasa dan berbuka) dapat disamakan dengan Berkurban/Idul-Adlha ? Itu yang akan menjadi bahasan kita sekarang ……….. Sebelumnya perlu dicatat bahwa hadits Kuraib yang dijadikan dalil oleh para ulama dalam pembolehan perbedaan mathla’ adalah hadits yang menceritakan tentang penentuan mulai Ramadlan dan Syawal. Tidak terkait secara khusus dengan penentuan bulan Dzulhijjah yang di dalamnya ada ibadah haji yang otomatis menentukan waktu wuquf dan hari Nahr (penyembelihan), yaitu tanggal 10 Dzulhijjah (walaupun banyak yang mengqiyaskannya pada Idul-Adlha).
Bila kita kembalikan kepada hadits Abu Hurairah di atas, apakah sebenarnya makna kalimat [و الأضحى يوم تضحون] : “Berkurban (Idul-Adlha) adalah hari dimana kalian berkurban” ?
Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits nabawi yang menjelaskan bahwa pelaksanaan ibadah kurban di bulan Dzulhijjah sangat erat kaitannya dengan rangkaian ibadah haji akbar yang dilaksanakan di Tanah Suci. Dalil-dali tersebut adalah :
1. QS. Al-Baqarah : 189
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنّاسِ وَالْحَجّ
 “Mereka bertanya kepadamu tentang bul;an sabit. Katakanlah : Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”.
2. QS. Al-Maidah : 97 :
جَعَلَ اللّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ قِيَاماً لّلنّاسِ وَالشّهْرَ الْحَرَامَ وَالْهَدْيَ وَالْقَلاَئِدَ ذَلِكَ لِتَعْلَمُوَاْ أَنّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَأَنّ اللّهَ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
 “Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
3. QS. Al-Hajj : 26 – 28
وَأَذّن فِي النّاسِ بِالْحَجّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَىَ كُلّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلّ فَجّ عَميِقٍ * لّيَشْهَدُواْ مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ فِيَ أَيّامٍ مّعْلُومَاتٍ عَلَىَ مَا رَزَقَهُمْ مّن بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُواْ مِنْهَا وَأَطْعِمُواْ الْبَآئِسَ الْفَقِيرَ وَإِذْ بَوّأْنَا لإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَن لاّ تُشْرِكْ بِي شَيْئاً وَطَهّرْ بَيْتِيَ لِلطّآئِفِينَ وَالْقَآئِمِينَ وَالرّكّعِ السّجُودِ *
 “Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.”
4. QS. Al-Hajj : 33 – 36
لَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ إِلَىَ أَجَلٍ مّسَمّى ثُمّ مَحِلّهَآ إِلَىَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ * وَلِكُلّ أُمّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً لّيَذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ عَلَىَ مَا رَزَقَهُمْ مّن بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَإِلَـَهُكُمْ إِلَـَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُواْ وَبَشّرِ الْمُخْبِتِينَ * الّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصّابِرِينَ عَلَىَ مَآ أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصّلاَةِ وَمِمّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ * وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مّن شَعَائِرِ اللّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ عَلَيْهَا صَوَآفّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُواْ مِنْهَا وَأَطْعِمُواْ الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرّ كَذَلِكَ سَخّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلّكُمْ تَشْكُرُونَ
 “Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu itu ada beberapa manfa’at, sampai kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah). Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah), (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka. Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.”
5. Hadits dari Jabir radliyallaahu ‘anhu :
وَعَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ نَحَرْتُ هَاهُنَا, وَمِنًى كُلُّهَا مَنْحَرٌ, فَانْحَرُوا فِي رِحَالِكُمْ, وَوَقَفْتُ هَاهُنَا وَعَرَفَةُ كُلُّهَا مَوْقِفٌ, وَوَقَفْتُ هَاهُنَا وَجَمْعٌ كُلُّهَا مَوْقِفٌ [صحيح. رواه مسلم ( 2 / 893 / 145 )]
 “Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : Aku BERKURBAN di sini dan Mina seluruhnya tempat PENYEMBELIHAN KURBAN, maka BERKURBANLAH di tempat kemah-kemahmu. Aku wuquf di sini dan Arafah seluruhnya tempat wuquf. Aku menginap di sini dan Mudzdalifah seluruhnya tempat menginap” (HR. Muslim).
6. Hadits dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhu :
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوِ بْنِ اَلْعَاصِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ وَقَفَ فِي حَجَّةِ اَلْوَدَاعِ, فَجَعَلُوا يَسْأَلُونَهُ, فَقَالَ رَجُلٌ: لَمْ أَشْعُرْ, فَحَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ. قَالَ: ” اِذْبَحْ وَلَا حَرَجَ ” فَجَاءَ آخَرُ, فَقَالَ: لَمْ أَشْعُرْ, فَنَحَرْتُ قَبْلَ أَنْ أَرْمِيَ, قَالَ: ” اِرْمِ وَلَا حَرَجَ ” فَمَا سُئِلَ يَوْمَئِذٍ عَنْ شَيْءٍ قُدِّمَ وَلَا أُخِّرَ إِلَّا قَالَ: ” اِفْعَلْ وَلَا حَرَجَ [صحيح. رواه البخاري ( 83 )، ومسلم ( 1306 ).]
 “Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berhenti pada haji wada’ dan orang-orang saling bertanya kepada beliau. Seorang laki-laki bertanya : ‘Aku tidak sadar, aku telah mencukur sebelum MENYEMBELIH KURBAN’. Beliau bersabda : ‘Sembelihlah kurban, tidak apa-apa’. Seorang lain dating dan bertanya : ‘Aku tidak sadar, aku tidak MENYEMBELIH KURBAN sebelum melempar jumrah’. Beliau menjawab : ‘Melemparlah tidak apa-apa’. Pada hariitu beliau tidak ditanya dengan sesuatu yang didahulukan dan diakhirkan kecuali beliau menjawab : ‘Kerjakanlah, tidak apa-apa’ (Muttafaqun ‘alaih)
7. Hadits ‘Ashim bin ‘Adi radliyallaahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ أَرْخَصَ لِرُعَاة اَلْإِبِلِ فِي اَلْبَيْتُوتَةِ عَنْ مِنًى, يَرْمُونَ يَوْمَ اَلنَّحْرِ, ثُمَّ يَرْمُونَ اَلْغَدِ لِيَوْمَيْنِ, ثُمَّ يَرْمُونَ يَوْمَ اَلنَّفْرِ [صحيح. رواه أبو داود ( 1975 )، والنسائي ( 5 / 273 )، والترمذي ( 955 )، وابن ماجه ( 3037 )، وأحمد ( 4 / 450 )، وابن حبان ( 1015 موارد ). وقال الترمذي: حسن صحيح]
 “Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan pada para penggembala unta untuk bermalam di luar kota Mina. Mereka melempar pada HARI RAYA KURBAN, mereka melempar besok dan besok lusa untuk dua hari, kemudian mereka melempar pada hari nafar (tanggal 14)” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’I, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban dalam Al-Mawaarid dengan sanad shahih).
8. Hadits Jabir radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
رَمَى رَسُولُ اَللَّهِ اَلْجَمْرَةَ يَوْمَ اَلنَّحْرِ ضُحًى, وَأَمَّا بَعْدَ ذَلِكَ فَإِذَا زَادَتْ اَلشَّمْسُ [صحيح. رواه مسلم ( 1299 ) ( 314 ). وفيه: " وأما بعد، فإذا زالت الشمس " برفع " بعد " ودون لفظ: " ذلك ".]
 “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melempar jumrah pada HARI RAYA KURBAN, lalu ia melempar jumrah sebelum fajar, kemudian pergi dan turun (ke Mekkah)” (HR. Muslim).
9. Hadits Al-Miswar bin Mahramah radliyallaahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ نَحَرَ قَبْلَ أَنْ يَحْلِقَ, وَأَمَرَ أَصْحَابَهُ بِذَلِكَ [صحيح. رواه البخاري ( 1811 ).]
 “Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam MENYEMBELIH KURBAN sebelum mencukur dan menyuruh para shahabat untuk melakukan demikian” (HR. Bukhari)
10. Hadits dari Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhu :
تمتع رسول الله صلى الله عليه وسلم في حجة الوداع بالعمرة إلى الحج وأهدى فساق معه الهدي من ذي الحليفة وبدأ رسول الله صلى الله عليه وسلم فأهل بالعمرة ثم أهل بالحج فتمتع الناس مع النبي صلى الله عليه وسلم بالعمرة إلى الحج فكان من الناس من أهدى فساق الهدي ومنهم من لم يهد فلما قدم النبي صلى الله عليه وسلم مكة قال للناس من كان منكم أهدى فإنه لا يحل لشيء حرم منه حتى يقضي حجة ومن لم يكن منكم أهدى فليطف بالبيت وبالصفا والمروة وليقصر وليحلل ثم ليهل بالحج فمن لم يجد هديا فليصم ثلاثة أيام في الحج وسبعة إذا رجع إلى أهله فطاف حين قدم مكة واستلم الركن أول شيء ثم خب ثلاثة أطواف ومشى أربعا فركع حين قضى طوافه بالبيت عند المقام ركعتين ثم سلم فانصرف فأتى الصفا فطاف بالصفا والمروة سبعة أطواف ثم لم يحلل من شيء حرم منه حتى قضى حجة ونحر هديه يوم النحر وأفاض فطاف بالبيت ثم حل من كل شيء حرم منه وفعل مثل ما فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم من أهدى وساق الهدي من الناس وعن عروة أن عائشة رضى الله تعالى عنها أخبرته عن النبي صلى الله عليه وسلم في تمتعه بالعمرة إلى الحج فتمتع الناس معه بمثل الذي أخبرني سالم عن بن عمر رضى الله تعالى عنهما عن رسول الله صلى الله عليه وسلم
 “Ketika haji wada’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melaksanakan haji tamattu’ dengan mendahulukan umrah sebelum haji. Beliau MENYEMBELIH KURBAN dari Dzul Hulaifah. Beliau memulai ihram untuk umrah, setelah itu beliau melaksanakan umrah untuk haji. Orang-orang pun mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan memulai ihram untuk umrah, baru kemudian ihram untuk haji secara tamattu’. Sebagian mereka membawa HEWAN KURBAN, dan sebagian yang lain tidak. Setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tiba di Makkah, beliau bersabda kepada para jama’ah haji : ‘Siapa di antara kalian yang membawa HEWAN KURBAN, janganlah bertahallul sebelum menyelesaikan hajinya, dan siapa di antara kalian yang tidak membawa HEWAN KURBAN, lakukanlah haji tamattu’ dengan thawaf di Baitullah, kemudian sa’I antara Shafa dan Marwah, lalu memotong rambut, kemudian bertahallul, setelah itu ihram lagi untuk haji. Siapa yang tidak mampu memberikan HEWAN KURBAN, maka berpuasalah 3 hari selama pelaksanaan ibadah haji dan 7 hariketika berada kembali di kampung halamannya” (HR. Bukhari nomor 1691).
11. Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
بعثني أبو بكر الصديق في الحجة التي أمره عليها رسول الله صلى الله عليه وسلم قبل حجة الوداع في رهط يؤذنون في الناس يوم النحر لا يحج بعد العام مشرك ولا يطوف بالبيت عريان
 “Aku diutus oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq pada suatu haji yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebelum haji wada’, dalam suatu rombongan yang memberikan pengumuman kepada kaum muslimin pada HARI RAYA KURBAN (yang isi pengumuman tersebut adalah : ) “Setelah tahun ini orang musyrik tidak boleh berhaji dan orang yang telanjang (tidak menutup aurat) tidak boleh thawaf di Baitullah”
قال بن شهاب فكان حميد بن عبد الرحمن يقول يوم النحر يوم الحج الأكبر من أجل حديث أبي هريرة
Berkata Ibnu Syihaab : Humaid bin Abdirrahman mengatakan : “HARI RAYA KURBAN adalah Hari Haji Akbar, menurut hadits Abu Hurairah tersebut (HR. Muslim nomor 1347).
12. Dan lain-lain.
Dari dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas di atas secara jelas menunjukkan bahwa pelaksanaan Hari Raya Kurban (Yaumun-Nahr) dan penyembelihan (tanggal 10 Dzulhijjah) terkait dengan ibadah haji akbar yang dilakukan di Makkah.
Allah berfirman :
وَأَذَانٌ مّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النّاسِ يَوْمَ الْحَجّ الأكْبَرِ أَنّ اللّهَ بَرِيَءٌ مّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِن تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لّكُمْ وَإِن تَوَلّيْتُمْ فَاعْلَمُوَاْ أَنّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللّهِ وَبَشّرِ الّذِينَ كَفَرُواْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
 “Dan (inilah) pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari Haji Akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikiin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat siksa pedih)” (QS. At-Taubah : 3).
Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari (8/407) berkata ketika mengomentari perkataan Humaid bin ‘Abdirrahman (dalam hadits nomor 10 di atas – yaitu : النحر يوم الحج الأكبر) mengatakan : “Ia mengambil istinbath tersebut dari firman Allah Surat At-Taubah ayat 3 di atas dan dari seruan yang dikumandangkan oleh Abu Hurairah atas perintah Abu Bakar pada Hari Nahar. Itu menunjukkan bahwa yang dimaksud Haji Akbar adalah Hari Nahar”.
Dan riwayat bahwa Hari Nahar merupakan Hari haji Akbar terdapat secara marfu’ dalam kitab Shahih.
Ada penafsiran lain tentang Hari Haji Akbar selain Hari Nahar, yaitu hari ‘Arafah (lihat secara lengkap perincian makna ini dalam Tafsir Ath-Thabari dan Fathul-Bari juz 4 halaman 407-408.
Beberapa pendapat mengenai Hari Haji Akbar tersebut dapat dirangkum menjadi keseluruhan hari-hari haji, termasuk hari ‘Arafah, hari Mina, hari Mudzdalifah, hari Nahar, dan hari-hari Tasyriq (walaupun yang terkuat menunjukkan bahwa makna Hari Haji Akbar adalah hari ‘Arafah dan Hari Nahar – tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah. Dan ini merupakan pendapat dari Ibnu ‘Umar, ‘Atha’, Mujahid, Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, Ibnu Abi ‘Aufa, Mughirah bin Syu’bah, dan yang lainnya. Allahu a’lam).
Kembali kepada hadits di awal pembahasan :
الصوم يوم تصومون , و الفطر يوم تفطرون , و الأضحى يوم تضحون
 “Puasa adalah hari dimana kalian berpuasa, dan berbuka (Idul-Fithri) adalah hari dimana kalian berbuka, dan berkurban (Idul-Adlha) adalah hari dimana kalian berkurban”
Dari beberapa riwayat yang ada menunjukkan bahwa Hari Nahar dimana orang-orang melakukan penyembelihan adalah Hari Nahar-nya orang yang beribadah haji di tanah haram. Bukan selainnya. Konsekuensi hukum yang ada adalah : Ketika kita menentukan hari Arafah dimana kita disunnahkan melakukan puasa Arafah, serta hari Nahar ketika kita diperintahkan menyembelih; maka hal itu merujuk kepada pelaksanaan Haji Akbar di Tanah Haram.
Perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk menyembelih hewan kurban tidak hanya kepada mereka yang melaksanakan haji saja. Tapi juga kepada mereka yang tidak/belum melaksanakan haji sebagaimana perintahnya shallallaahu ‘alaihi wasallam :
يا أيها الناس إن على كل أهل بيت في كل عام أضحية وعتيرة أتدرون ما العتيرة هذه التي يقول الناس الرجبية
 “Wahai manusia, sesungguhnya wajib bagi setiap keluarga pada setiap tahunnya qurban dan ‘atiirah”. Beliau berkata : “Tahukah kalian apakah ‘atiirah itu ? yaitu yang dikatakan orang sebagai Ar-Rajabiyyah” (HR. Ahmad 4/215, Abu Dawud 2788, Tirmidzi 1518, Nasai 7/167, dan Ibnu Majah 3125; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykah nomor 1478).
Hadits di atas diucapkan ketika wuquf di ‘Arafah. Namun perkataan beliau tentang perintah menyembelih tersebut umum, baik bagi orang yang ada di ‘Arafah maupun di luar ‘Arafah. Allaahu a’lam.
Jika al-akh Abu ‘Umair menyinggung tentang puasa ‘Arafah, otomatis hal tersebut sama dengan Hari Nahar, yaitu mengacu pelaksanaan wuquf di ‘Arafah (lihat penjelasan tentang makna Haji Akbar di atas).
صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده
 “Berpuasa di hari ‘Arafah aku mengharap Allah menghapus dosa-dosa pada tahun lalu dan dosa-dosa pada tahun yang akan dating” (HR. Muslim 1162).
ما من السنة يوم أحب إلي من أن أ صوم من يوم عرفة
 “Tidak ada hari dalam setahun yang lebih aku sukai untuk berpuasa pada hari itu daripada hari ‘Arafah” (HR. Ath-Thabari dalam Tahdzibul-Aatsaar 1/600,691 dengan sanad hasan).
NB :
Jika dalam pelaksanaan Hari Nahar kita yang kebetulan berbeda dengan Pemerintah, maka minta ijin pelaksanaan Shalat dan yang lainnya kepada Umaraa’ adalah sangat dianjurkan untuk menghindari fitnah dan sebagai sikap penghormatan kita kepada waliyul-amri. Dan jika pelaksanaan tersebut malah menimbulkan mudlarat yang besar, maka tidak apa-apa mengikuti Pemerintah sebagaimana kita mengambil pelajaran dari apa yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud ketika shalat di belakang ‘Utsman bin ‘Affan secara tamam (4 raka’at) di Mina. Padahal yang masyru’ adalah qashar 2 raka’at. Ibnu Mas’ud enggan menyelisihi ‘Utsman yang waktu bertindak sebagai Amirul-Mukminiin, dengan tetap shalat di belakangnya. Ia menghindari mudharat yang lebih besar, yang di akhir perkataannya ketika ditanya oleh orang-orang : “Sesungguhnya perselisihan itu adalah tercela”. Riwayat selengkapnya dapat dibaca di bawah :
أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا , فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين , و مع أبي بكر ركعتين , و مع عمر ركعتين , و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها , ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين , ثم إن ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت
أربعا ?قال : الخلاف شر . و سنده صحيح . و روى أحمد ( 5 / 155 )
Kemarin kita shalat di “mesjid” yang sama ya Abu ‘Umair di Bogor ?
Apabila ada ikhwah lain yang mempunyai pendapat berbeda, silakan ditampilkan. Dan jika itu yang benar, semoga kita semua diberikan petunjuk untuk mengikutinya. Ahlan wa Sahlan !!
Allaahu a’lam
Abu Al-Jauzaa' said
Ralat :
QS. Al-Hajj : 26-28 salah dalam penyusunannya. Dan mohon kepada Admin untuk memperbaiki sesuai ayat berikut :
وَإِذْ بَوّأْنَا لإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَن لاّ تُشْرِكْ بِي شَيْئاً وَطَهّرْ بَيْتِيَ لِلطّآئِفِينَ وَالْقَآئِمِينَ وَالرّكّعِ السّجُودِ * وَأَذّن فِي النّاسِ بِالْحَجّ يَأْتُوكَ رِجَالاً وَعَلَىَ كُلّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلّ فَجّ عَميِقٍ * لّيَشْهَدُواْ مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ فِيَ أَيّامٍ مّعْلُومَاتٍ عَلَىَ مَا رَزَقَهُمْ مّن بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُواْ مِنْهَا وَأَطْعِمُواْ الْبَآئِسَ الْفَقِيرَ
[Ayat ke 26 tertulis di paling akhir]
Juga tertulis : “Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari (8/407) berkata ketika mengomentari perkataan Humaid bin ‘Abdirrahman (dalam hadits nomor 10 di atas – yaitu : النحر يوم الحج الأكبر) mengatakan : ……..”; yang benar :
“Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari (8/407) berkata ketika mengomentari perkataan Humaid bin ‘Abdirrahman (dalam hadits nomor 11 di atas – yaitu : النحر يوم الحج الأكبر) mengatakan : ……”
Abu Umair As-Sundawy said
Januari 27, 2007 @ 11:51 pm
Walhamdulillah, syukran atas komentarnya,
Sesungguhnya ini bukan bermaksud menyanggah atau tidak setuju, hanya meminta penjelasan dan informasi saja…….secara pribadi sementara ini saya masih cenderung nyaman dengan pendapat Imam Ibnu Utsaimin (A’lam,aslam wa ahkam :))
1.Bagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam ketika tidak ada kewajiban haji bagi kaum muslimin berhariraya iedul adha? (Kita tahu kewajiban haji itu sekitar 9 tahun setelah idul adha dilakukan, betulkah perayaan idul adha terikat waktu dan tempat?)
2.Mengenai dalil-dalil quran dan hadist yang mafhumnya menunjukkan keterikatan dengan prosesi ibadah haji, sekali lagi saya bertanya, mengapa tidak ada(?) keterangan yang jelas dari para sahabat atau ulama fikih? Mengapa masalah yang dialami sejak dahulu tidak ada keterangan tegas? Apakah pemahaman akan keterikatan waktu& tempat dengan saudi ada pendahulunya?
Saya pribadi menemukan ada kalu memang mau ditarik-tarik, tapi hanya pengambilan tersirat (mafhum) bukan tersurat(manthuq)nya.Ini yang membuat saya tidak yakin,(setidaknya yang pernah saya temui di dalam Al-Umm (2/145),Ibu Rajab dalam Lathoiful Maarif (Hal 482,486),AL-Bahuuti dalam Syarah Muntahaa al-Iradat 2/37,Imam Nawawi dalam Raudhoh at-Tholibin 2/80, tapi seperti apa yang saya katakan, tidak tegas tersurat dan sebatas pemahaman kita yang membaca)
3.Allah berfirman :“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”.
Jadi “mawaqit” bagi kaum muslimin untuk beribadah dari ayat diatas itu patokannya apa? Hilal? atau Penanggalan saudi?Kalau hilal, bukannya penampakan hilal berbeda-beda tiap wilayah?
4.Alasan menolak menqiyaskan hadist kuraib tidak untuk iedul adha? Ibnu Hajar mengatakan “Hilal dzulhijjah kal fitr”
5.Adakah keterangan bagaimana Rasulullah di Madinah berhari raya?Apakah berdasar hilal atau memang hari arafah di Mekah?Kalau iya, ada keterangannya?
6.Ada tidak keterangan khulafa rosyidin mengumumkan atau mengirim utusan bagi muslimin diluar mekah untuk berhari raya mengikuti saudi?
7.Kalau kita konsisten mengikuti saudi, bagaimana jika membuat penanggalan negara kita Dzulqo’dah menjadi 28 hari, dan dzulhijjah menjadi 31 hari?
8.Hari tasyriq bagaiamana, ikut saudi juga?
Wassalam
Abu Umair As-Sundawy
Abu Al-Jauzaa' said
Sungguh, jika Abu ‘Umair mengatakan bahwa beliau tidak bermaksud menyanggah atau tidak setuju, maka Abu Al-Jauzaa’ tidak akan berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Abu ‘Umair.
Abu ‘Umair berkata : “1.Bagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam ketika tidak ada kewajiban haji bagi kaum muslimin berhariraya iedul adha? (Kita tahu kewajiban haji itu sekitar 9 tahun setelah idul adha dilakukan, betulkah perayaan idul adha terikat waktu dan tempat?) “.
Abu Al-Jauzaa’ berkata : Terus terang, ana baru mengetahui bahwasannya ‘Idul-Adlha (Yaumun-Nahar) itu baru ada 10 tahun setelah diwajibkan haji sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Akh Abu ‘Umair. Namun apabila kita perhatikan bahwa yang dimaksud Yaumun-Nahar dalam ayat-ayat dan hadits, maka (sepengetahuan ana) Yaumun-Nahar itu adalah hari dimana para jama’ah haji menyembelih hadyu sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam haji wada’. Namun jika yang dipahami adalah perintah menyembelih secara umum, maka banyak ayat Al-Qur’an yang tidak terkait dengan haji. Allaahu a’lam.
Tentang Puasa Arafah (dan tentu juga Yaumun-Nahar-nya sehari setelah Arafah).Apakah memang tidak terikat waktu dan tempat ? Idem dengan al-akh Abu ‘Umair, ana juga sebenarnya sama mempunyai pertanyaan yang sampai saat ini belum ketemu jawaban yang memuaskan yang disertai dengan dalil-dalil (kalau ada, tolong dijelaskan di sini, syukran). Pertanyaan tersebut adalah : “Apakah Hari ‘Arafah dan Hari Nahar dengan segala keutamaannya itu (termasuk Puasa ‘Arafah) disebabkan karena adanya peristiwa hajinya kaum muslimin atau semata-mata dzatnya tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah ?”.
Tentu beberapa dalil di bawah patut kita cermati bila ingin jawabannya :
1. Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha :
ما من يوم أكثر من أن يعتق الله فيه عبدا من النار من يوم عرفة وإنه ليدنو ثم يباهي بهم الملائكة فيقول ما أراد هؤلاء
 “Tidak ada hari Allah membebaskan hambaNya dari api neraka seperti hari Arafah. Sesungguhnya, Dia mendekat, kemudian Dia banggakan mereka di hadapan para malaikatNya sambil berkata: Apa yang diinginkan oleh mereka?” HR. Muslim)
Berkata Ibnu Abdil Barr,”Inl menunjukkan, bahwa mereka diampuni, karena Dia tidak akan berbangga dengan pelaku dosa dan kesalahan, kecuali setelah taubat dan pengampunan”. (At-Tamhid l/120).
2. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhuma, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

ان الله عز وجل يباهي ملائكته عشية عرفة بأهل عرفة فيقول انظروا إلى عبادي آتوني شعثا غبرا
“Sesungguhnya Allah berbangga kepada para malaikat-Nya pada sore Arafah dengan orang-orang di Arafah, dan berkata: “Lihatlah keadaan hambaku, mereka mendatangiku dalam keadaan kusut dan berdebu” (HR. Ahmad 2/224).
3. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي قبله والسنة التي بعده
 “Berpuasa di hari ‘Arafah aku mengharap Allah menghapus dosa-dosa pada tahun lalu dan dosa-dosa pada tahun yang akan datang” (HR. Muslim 1162).
ما من السنة يوم أحب إلي من أن أ صوم من يوم عرفة
 “Tidak ada hari dalam setahun yang lebih aku sukai untuk berpuasa pada hari itu daripada hari ‘Arafah” (HR. Ath-Thabari dalam Tahdzibul-Aatsaar 1/600,691 dengan sanad hasan).
Mafhum yang dapat ana ambil (dan ini sebagaimana penjelasan Ustadzuna Abdul-Hakim ‘Abdat hafidhahullah) bahwa Puasa ‘Arafah disebabkan karena dzat wuqufnya jama’ah haji di ‘Arafah. Hubungkan keterkaitan kalimat di tersebut dengan aqwal para ulama yang menyebutkan bahwa dimasyru’kannya puasa ‘Arafah bagi kaum muslimin yang tidak wuquf di ‘Arafah (menunuaikan ibadah haji) dan tidak puasa bagi orang yang wuquf di ‘Arafah (berdasarkan beberapa riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabat – silakan lihat dalam Musnad Ahmad yang menyebutkan banyak riwayat tentang ini). Juga hubungkan dengan hukum disyari’atkannya takbir ‘Ied yaitu tanggal 9 Dzulhijjah KETIKA pagi hari ‘Arafah sampai habisnya sinar matahari di hari Tasyriq yang terakhir (lihat dalam Majmu’ Fatawaa, Ahkaamul-‘Iedian, dan Subulus-Salam tentang atsar-atsar shahih dari shahabat radliyallaahum ‘anhum ajma’in).
Adapun tentang Hari Nahar, pengetahuan ana sampai hari ini tidak lebih dari apa yang telah disebutkan sebelumnya.
Sebagaimana perkataan Abu ‘Umair – dan juga pernah ana singgung sebelumnya – ana belum menemukan aqwal ulama yang membahas tentang waktu shaum ‘Arafah dan Hari nahar secara detail (yang dikaitkan dengan pertanyaan ana sebelumnya). Yang ada hanyalah qiyas-qiyas singkat setelah pembahasan hilal Ramadlan dan Syawal beserta perbedaan mathla’-nya dengan kalimat : “Hal tersebut diqiyaskan dengan Dzulhijjah (maksudnya Hari Raya Haji)”. Inilah yang mungkin sedikit membuat hati ini “ngganjel”. Bagaimana mungkin disamakan jika ‘illah hukum berbeda ? Itulah pertanyaan kecil bagi seorang Abu Al-Jauzaa’.
Ya betul, manthuq (tekstual) memang belum kita temukan. Namun apakah mafhum juga tidak bisa dijadikan hujjah jikalau kemafhuman itu bagi seseorang telah “nyata” ?
Abu ‘Umair berkata : “3.Allah berfirman :“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”.
Jadi “mawaqit” bagi kaum muslimin untuk beribadah dari ayat diatas itu patokannya apa? Hilal? atau Penanggalan saudi?Kalau hilal, bukannya penampakan hilal berbeda-beda tiap wilayah?”
Abu Al-Jauzaa’ berkata : Ayat tersebut mujmal. Dan muqayyad untuk ibadah haji. dalam arti : Ibadah haji ini terkait dengan tempat. Walaupun perbedaan mathla’ ini diakui, namun tidak ternukil satupun dari kaum muslimin dan para ulamanya bahwa mereka menunaikan ibadah haji berdasarkan mathla’ negaranya masing-masing (hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawaanya – juz dan halaman ana lupa, soalnya baca teks fatwa beliau ini beberapa hari yang lalu). Atau dengan kata lain : Ketika mereka mendatangi Tanah Haram, mereka memulai ibadah haji berdasarkan start berdasarkan hilal mathla’ negaranya masing-masing.
Al-Ustadz Badrus-Salam beberapa tahun lalu pernah mengatakan (yang intinya) : ‘Tidak pernah ternukilpun riwayat dari para ulama tentang perbedaan pelaksanaan ‘Idul Adlha di kalangan kaum muslimin kecuali yang terjadi masa belakangan”.
Allaahu a’lam.
Abu Al-Jauzaa’ 1428
Abu Umair As-Sundawy said
Januari 29, 2007 @ 5:27 am
Intinya kita haus akan penjelasan para ulama akan hal ini kalau kita “keukeuh” (bersikeras yakin) bahwa ada keterkaitan “waktu dan tempat” berdasar pemahaman teks.Alhamdulillah beberapa masyaikh Saudi menjelaskan ketidakterkaiatan ini ,semisal Lajnah daimah,Syaikh Ibnu Jibrin, Syaikh Utsaimin,Syaikh An-Najmi rahimahumullah akan ikhtilaful matholi’ ini.
Tentu ucapan-ucapan beliau diatas bisa diterima dan ditolak.Tatkala dalil-dalilnya perlu telaah dalam.Tapi ketika menolak pun tentunya harus membawakan ucapan ulama.(akankah kita hendak memahami sendiri,tentu tidak,kita peru bimbingan para ulama)
Ini yang perlu diuji, apa benar demikian? Dalam riwayat Ibnu Umar riwayat At-tirmidzi disebutkan Rasulullah berhari raya kurban sejak berhijrah di Madinah.Sedangkan kewajiban haji bagi kaum muslimin ditetapkan di tahun ke-9Hijrah.Saya agak lebih yakin,saat itu beliau mennetukan berdasar rukyah hilal.Adasanggahan?
Pertanyaan bisa menyeruak juga: Mengapa tidak ada keterangan Rasulullah selama sekian tahun sebelum ada kewajiban haji, bahwa beliau mengirim utusan untuk mengetahui hilal penduduk Mekah????
Mengapa juga tidak ada keterangan khulafa rosyidin mengirim utusan ke Mekah.PADAHAL ADA WAKTU SELANG DARI TANGGAL 1-8 Dzulhijjah untuk mengirim utusan,sepakat??Padahal dahulu orang-orang mengetahui kapan prosesi ibadah haji, hanya berdasar info orang-orang yang pulang dari haji di Mekah.
Mengenai ucapan Ust.Badru, tentu pertama harus diklarifikasi ucapan ini dimana sumberpenukilannya.Kedua, kondisi masih tegaknya khilafah islamiyah juga perlu diberiperhatian.Kalau kita perhatikan tulisan Syaikh Albani di tamamul Minnah misalnya,maka kita akan punya dua masalah baru yang tidak dijumpai sebelumnya,yakni akses informasi(internet/telepon) dan ketiadaan khilafah islamiyah.Itu juga perlu didiskusikan lebih lanjut.Dan kita akan berkesimpulan untuk shaum arafah akan mengikuti saudi (walaupun Syaikh Albani tidak tersurat menyatakannya,sekali lagi kita hanya bisa menjangkau dari sisi “mafhum”, wallahu a’lam jika ada keterangan dari murid-murid beliau dengan lebih jelas.Sayang artikel Syaikh Salim di websitenya kurang begitu memuaskan rasa penasaran kita)
Walhashil, mari sama-sama berburu dan mencari lebih lanjut akan hal ini.Allahu a’lam.
Abu Umair As-SUndawy
Abu Hannan said
Februari 22, 2007 @ 10:35 am
Assalamu alaykum warohmatullahi wabarokatuh
Kepada para Asatidz…ana mendapatkan penjelasan seperti dibawah ini:
“Dari Husain bin Harits Al Jadali, yang menyampaikan:
أَنَّ أَمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ ثُمَّ قَالَ عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَاعَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا
“Bahwasanya Amir Makkah (Wali Makkah, yakni Al Harits bin Hathib) berkhutbah dan menyatakan: ‘Rasulullah Shallallahu’ alaihi wa sallam berpesan pada kami (para wali Makkah) agar memulai manasik (haji) berdasarkan ru`yat. Apabila kami tidak melihat (ru`yat)nya, sementara ada dua orang yang adil menyaksikan (munculnya hilal) maka kami harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang tersebut.” (HR. Abu Daud).
Perkataan Amir Mekkah Al Harits bin Hathib “ahida ilainaa Rasulullah shallalahu’ alaihi wa sallam an nansuka lirru’yah,” (Rasulullah shallalahu’ alaihi wa sallam . telah berpesan pada kami agar menjalankan manasik haji berdasarkan ru’yah) dikemukakan dalam kedudukannya sebagai Amir Mekkah. (Ia menduduki jabatan tersebut pada masa kekhilafahan Abdullah bin Azzubair, kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan, dan sesudahnya).
Hal ini berarti bahwa pesan (al ‘ahdu) itu adalah dari Rasulullah bagi orang seperti dirinya selaku Amir Mekkah. Adalah Attaab bin Usaid yang bertindak sebagai Amir Mekkah pada masa Rasulullah. Sehingga, kandungan pesan Rasulullah shallalahu’ alaihi wa sallam tersebut tertuju untuk Amir Mekkah, bukan untuk kaum muslimin secara umum. Sebab, kata al ‘ahdu dalam konteks ini bermakna suatu yang diwasiatkan Rasulullah kepada amir atau wali Mekkah ketika Beliau .shallalahu’ alaihi wa sallam mengangkatnya sebagai wali di sana.
Dalam Kamus Lisaanul Arab, juz 3 halaman 311, disebutkan: “Dan pesan (al ‘ahdu) adalah suatu yang ditetapkan bagi para wali; al ‘ahdu merupakan pecahan kata -musytaq- dari ‘ahida, jamaknya ‘uhuudun. Wa qod ‘ahida ilaihi ‘ahdan (sungguh dia telah menyampaikan pesan kepadanya). Dikatakan pula dalam kitab itu: “‘ahida ilayya fii kadza (dia menyampaikan pesan kepadaku dalam hal anu), artinya adalah aushaani (dia berwasiat kepadaku).
Adapun sabda Nabi shallalahu’ alaihi wa sallam “an nansuka lirru’yah” maksudnya adalah agar kami menyembelih kurban pada yaumun nahar, atau agar kami menunaikan syiar-syiar haji, setelah terbukti adanya ru’yah. Hal ini karena, sekali pun bahasa Arab menggunakan kata nusuk dalam arti ibdan setiap aktivitas penghambaan diri kepada Allah, akan tetapi syara’, sebagaimana ditunjukkan dalam banyak nash baik dalam al Quran maupun sunnah, telah menggunakannya dengan arti (untuk) manasik haji. Jadi, kata nusuk memiliki makna syar’i yang relatif berbeda denganmakna lughawi-nya.
Wajib Mengikuti Pengumuman Hari Wukuf oleh Penguasa Kota Mekkah
Dengan demikian, maka hadits tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu Amir Mekkahlah yang menetapkan pelaksanaan manasik haji, mulai dari wukuf di Arafah, Thawaf Ifadhah, bermalam di Muzdalifah, melempar Jumrah, dan seterusnya. Dengan kata lain, penguasa yang menguasai kota Mekkah saat ini berhak menentukan wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah), pelaksanaan penyembelihan hewan kurban (10 Dzulhijjah), dan rangkaian manasik haji lainnya. Hal itu berarti negeri-negeri Islam lainnya harus mengikuti penetapan hari wukuf di Arafah, yaumun nahar (hari penyembelihan hewan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah) berdasarkan keputusan Amir Mekkah, atau penguasa yang saat ini mengelola kota Makkah.”
Ana sendiri belum mengechek hadist ini , Pertanyaannya apakah hadist tersebut shahih? dan pernyataan tersebut benar?
Abu Umair As-Sundawy said
Februari 23, 2007 @ 3:10 am
Waduh…saya juga sedang cari Pak, belum tahu status hadist ini.Sekalipun shahihkatakanlah.Saya melihatnya kalau memperpanjang masalah dengan hadist ini maka kita akan memasuki polemik ulang apakah matla’ itu satu atau atau berbeda tiapnegeri.Dan perlu diketahui Imam Abu Daud meletakkan hadist ini bukan pada bab haji loh,tapi dalam bab puasa, sub bab “kesaksian dua lelaki dalam me-ru’yat hilal syawal”.Allahu a’lam
Abu Umair As-Sundawy
Abu Ishaq said
Februari 26, 2007 @ 2:36 am
Al-Imam Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud No. 2338 menyatakan bahwa hadits Husain bin Al-Harits di atas adalah SHAHIH.
Bisa dicek via Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Wallahu a’lam apakah penghukuman beliau terhadap derajat hadits ini dengan SHAHIH direvisi atau tidak. Ada yang bisa membantu melihatnya di buku Taraju’at Al-Albani ?
Wallahu a’lam.
Asman said
April 18, 2007 @ 6:52 am
Katanya yang benar satu, koq pendapatnya banyak ?????
Rudi (pelajar pemula) said
Desember 17, 2007 @ 3:47 am
Assalaamu’alaykum
Sebenernya yang ingin saya tanyakan:
1.Mengapa Puasa Arafah dinamakan puasa arafah?, kalo dinamakan puasa arafah karena puasa itu berhubungan dengan wuquf apakah pantas kita menyelisihi waktu pelaksaaannya dengan mengerjakan setelah wuquf?
2.Adakah contoh dari para sahabat tentang perbedaan waktu ini, kalo di Idul Fitri dan Shaum Ramadhan ada contohnya nah di kasus Idul Adha ini apakah ada contohnya?,sepertinya benang merah dalam masalah ini adalah ini.
Allohu a’lam.
Jazakamullohu khoir.
Rudi (pelajar pemula) said
Desember 17, 2007 @ 4:00 am
dalil puasa arafah
Puasa hari arafah (tanggal 9 dzulhijjah), aku berharaf kepada Alah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya. Puasa Asyura’ (tanggal 10 muharram) aku berharaf kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya. (HR.Muslim,no.1162, dari Abu Qatadah)
diambil dari
Rudi (pelajar pemula) said
Desember 18, 2007 @ 2:47 am
setelah melihat beberapa dalil dalam fatwa ulama’ salafy serta beberapa qoul ulama’ salaf saya rujuk dari pendapat bahwa Shaum Arafah hari ini dan Idul Adha besok Rabu.
November 11, 2010 @ 7:28 pm
[…] إذا رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا ( Apabila kalian melihat (hilal) berpuasa dan berbukalah ) Adapun dalil qiyas : Waktu dimulai dan berakhiranya puasa tiap hari di tiap negeri berdsarkan waktu lokal terbit dan tenggelamnya matahari. Akan tetapi jika ada dua wilayah dibawah satu peemrintahan,kemudia penguasa memerintahkan satu wilayah berpuasa atau berbuka maka wajib bagi negeri satunya untuk mengikuti.Karena permasalahan ini khilafiyah, sedangkan keputusan hakim menghilangkan khilaf. Berdasar ini maka berpuasalah serta berbuka menurut penduduk negeri kalian dimana kalian sedang berada,sama saja apakah cocok dengan keputusan negeri asal kalian atau tidak.Demikian pula hari arafah, ikutilah negeri dimana kalian berada Fatwa kedua : Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya apabila terjadi perbedaan hari arafah dikarenakan penampakan hilal yang berbeda di negeri yang berbeda,apakah kita berpuasa mengikuti negeri dimana kita tinggal ataukan mengikuti negeri haramain (Saud…i Arabia) Dijawab beliau :والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع ، فمثلا إذا كان الهلال قد رؤي بمكة ، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع ،ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوملأنه يوم عيد ، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم ، فإنهميصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة ، هذا هو القول الراجح ، لأن النبي صلى الله عليهوسلم يقول ( إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا ) وهؤلاء الذين لم ير في جهتهم لم يكونوا يرونه ،وكما أن الناس بالإجماع يعتبرون طلوع الفجر وغروب الشمس في كل منطقة بحسبها ، فكذلك التوقيتالشهري يكون كالتوقيت اليومي . [ مجموع الفتاوى 20 ] Persoalan ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahli ilmu,apakah hilal itu satu bagi seluruh dunia ataukah berbeda sesuai perbedaan mathla’. Pandangan yang rajih adalah berbeda berdasar perbedaan mathla’ (dimana hilal itu dilihat di berbagai tempat).Misalnya, jika hilal sudah dapat terlihat di Mekah, dan hari ini adalah hari kesembilan.Kemudian di negeri lain hilal dapat dilihat sehari sebelum nampak di Mekah,maka hari arafah di Mekah adalah hari kesepuluh bagi mereka,maka ini tidak diperbolehkan bagi mereka untuk berpuasa di hari ini,karena hari tersebut adalah hari idul adha bagi mereka. Atau sebaliknya jika hal ini terjadi dimana mereka melihat bulan sehari setelah Mekah,maka hari kesembilan (Dzulhijah) adalah tanggal 8 Djulhijjah bagi mereka,maka mereka harus berpuasa di tanggal 9 menurut mereka (walaupun bertepatan tanggal 10 bagi Mekah).Inilah pandangan yang rajih karena Nabi shalallahu alaihi wassalam mengatakan : إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا “Apabila kamu melihat (hilal) berpuasalah, dan (juga) jika kamu melihatnya maka berbukalah” Mafhum hadist ini, jika tidak melihat maka tidak wajib. Maka mereka yang tidak melihat hilal di negerinya maka dia belum melihatnya (sebagaimana hadist diatas).Sebagaimana manusia telah sepakat (ijma) menganggap terbitnya fajar atau terbenamnya matahari itu sesuai daerahnya.Dengan demikian penen…tuan waktu masuknya bulan sebagaimana penentuan waktu harian (yang berbeda tiap daerah).Ini adalah ijma’ para ulama.Olehkarenanya, penduduk asia timur memulai puasa sebelum penduduk bagian barat.Dan berbuka sebelum mereka.Demikian juga matahari yang terbit dan tenggelam saling berbeda.Untuk yang seperti puasa harian ini berbeda maka begitu juga untuk puasa bulanan maka tentu sama. Akan tetapi jika dua wilayah dalam satu pemerintahan, maka keputusan penguasa untuk berbuka dan berpuasa harus diikuti.Karena ini masalah khilafiyah sedangkan keputusan hakim itu mengankat khilaf. (Hukmul hakim yarfa’ul khilaf) Berdasar ini maka berpuasa dan berbukalah bersama penduduk dimana kalian sekarang tinggal, entah sama dengan negeri asal kalian atau tidak.Demikian juga shaum arafah, ikuti di negeri dimana kalian tinggal.[Majmu’ fatawa 20] Sumber :salafyitb.wordpress.com […]
Abah Indra said
November 14, 2010 @ 10:42 am
Heran saya dengan puasa arafah
1. Kita puasa arafah itu bukan karena bulan, tapi karena wukuf, bukan di bandung atau di jakarta, tapi di saudi.
2. persoalannya wukuf di arafah hari senin. lantas kita disarankan puasa arafah pada hari selasa. laaaaah pan wukuf hari senin. katanya puasa arafah karena wukuf?
3. klo kita shaum hari selasa sementara wukuf hari selasa berarti kita puasa di hari tasyriiiiiiiiik dong. boleh kah?
Abah Indra said
November 14, 2010 @ 10:43 am
ha haha jadi salah dah kalo puasa wukuf hari senin dan puasa hari selasaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Iman said
November 14, 2010 @ 11:55 am
sebenarnya yang jadi masalah itu zat wuqufnya atau mathlanya?
November 15, 2010 @ 12:07 am
ada baiknya kita merenungkan pendapat Syaikhul Islam Izzuddin ibn Abdis Salam :
Termasuk Keheranan yang sangat mengherankan, para Fuqaha Muqalid , mengetahui kelemahan pendapat Imam Madzhab( yang diikuti)-nya sementara dia tidak bisa membantah kelemahan itu, namun begitu dia tetap bersikeras mengikuti pendapatImamnya.Oleh karena itupula, ia tinggalkan dalil-dalil Al-Qur’an, as-Sunah, atau Qiyas yang Shahih. Malah untuk membela imam yang diikutinya, ia berani merekayasa dan mentakwili Al-Qur’an dan as-Sunnah (disesuaikan dengan pendapat Imam yang di ikutinya), meskti ternyata Ta’wil tadi batil.
November 15, 2010 @ 12:34 am
Rasulullah SAW, pernah bersabda : Sepeninggalanku, akan muncul pemimpin-peminpin baru, yang jika berkata, tidak boleh dibantah. Mereka meloncat kesana-kemari dalam api (kekuasaan), sebagaimana loncatan kera.
As-Syaukani mengutip pendapat Imam Juwaini , berkata :Orang yang hapal nushus (pendapat) Imam asy-Syafi’I dan pendapat para pakar tentangnya, tetapi ia tidak tahu hakikat dan substansi pendapat itu, ia tidak boleh ber Ijtihad dan melakukan Qiyas. Ia tidak termasuk ahli fatwa. Oleh karena itu, ia tak boleh berfatwa.
 ( Imam as- Syaukani, adalah Ulama besar Islam Syi’ah Imam 12, walaupun beliau sudah melepaskan diri dari keterikatannya dengan Islam Syi’ah, tapi beliau masih tetap mengimani akan kedatangan Imam Syi’ah yang menghilang).
Imam as-Subuki pernah mengatakan : Apabila ada satu atau dua orang mengaku melihat bulan,tetapi Hisab mengatakan tidak mungkin dilihat, maka kesaksiannya dianulir. Sebab Hisab berkekuatan Qath’I, sedangkan rukyan Dhanny . Sedangkan dhanny tidak mungkin mengalahkan Qath’i.
Setahu saya ,untuk Warga Negara Indonesia. yang bermukim di Indonesia. HARAM HUKUM NYA -Ied Fitri , Ied Adha MENGIKUTI ARAB SAUDI .
Di MASJIDIL HARAM – Shalat Tarawih 23 Raka’at…bahkan pernah sampai 33 Raka’at (ketika terjadi keruntuhan Taliban) plus baca kunut Nazilah-..
Dan seluruh Mujtahid Mutlaq ( para Imam Madzhab ) dan mereka sangat takut dengan LAKNAT Allah SWT.tidak ada diantara mereka yang mengatakan BAHWA SHALAT TARAWIH lebih dari 11 Raka’at adalah Ahli Neraka’.
Yang jadi pertanyaan – Apakah Islam Wahabi di Indonesia -melaksanakan Shalat Tarawih sama JUMLAH Raka’at nya dengan ARAB SAUDI…..???…wassalam.
Muhammad said
November 16, 2010 @ 7:26 am
Sila rujuk di sini
abu zaid said
November 16, 2010 @ 11:02 am
Menurut saya, apa yang terlihat sebagai khilaf tersebut sebenarnya bisa disinkronkan jika kita bisa memahami konsep hilal, visibilitasnya, hijri date line dan semacamnya.
Mohon maaf kalau konteksnya di sini adalah Idul Adha tahun 2010.
umar as'saif said
November 29, 2010 @ 11:31 am
bismillah…
ibadah saum ramadhan itu dilakukan di seluruh negeri di dunia ini
maka perbedaan pendapat dan dalil serta hilal bisa dikembalikan kepada setiap negeri meruju kepada hadist shahih dari rasul.
ibadah hajj hanya dilakukan di makkah saja tidak ada lagi negeri yang melakukannya selain hanya di makkah bahkan madinah dan nejed pun tidak melakukan puncak ibadah hajj yaitu wuquf, maka dari itu wajib mengikuti keputusan dari makkah almuqarom sebagai rujukan untuk penentuan hilal ataupun tanggal 9-10 Dzulhijjah sebab ibadah hajj itu tidak dilakukan disemua negeri hanya di makkah saja. maka yg rojih adalah shlolat ied adha itu merujuk ke makkah almuqarom.. alloh a’lam


●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

54 Komentar (+add yours?)

Kapankah Waktu Puasa Arafah? (Oleh: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat)

Nov 14, 2010 @ 21:58:59
jelas sekali pembahasannya,
jazakallah
Nov 14, 2010 @ 22:36:02
Mari kita esok puasa arafah agar dusa kita terampunkan? Amien
Nov 14, 2010 @ 22:41:14
Tahun ini, pemerintah Indonesia secara resmi menetapkan bahwa hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1431 Hijriyah bertepatan dengan tanggal 17 November 2010 Masehi, berbeda dengan pemerintah Arab Saudi yang menetapkan bahwa hari raya yang juga disebut hari haji akbar itu jatuh pada sehari sebelumnya, bertepatan 16 November 2010. Ini berarti bahwa jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah pada tanggal 15 November 2010.
Dari sinilah kemudian muncul pertanyaan, kapan kita yang berada di Indonesia ini berpuasa Arafah dan berhari raya kurban? Apakah tetap mengikuti pemerintah kita atau mengikuti Arab Saudi? Dan apakah memungkinkan kalau puasa Arafahnya mengikuti waktu wukufnya jama’ah haji, sementara idul adhanya mengikuti pemerintah?
Kami akan menyebutkan dua pendapat yang pernah dijelaskan oleh para ulama, yaitu:
Pendapat pertama: puasa Arafah dan idul adha tetap mengikuti pemerintah walaupun berbeda dengan negara Arab Saudi
Ini adalah pendapat yang disebutkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau pernah ditanya oleh para pekerja yang bertugas di kedutaan Arab Saudi (di negara lain), ketika mereka menghadapi masalah terkait dengan puasa Ramadhan dan puasa Arafah. Mereka tepecah menjadi tiga kelompok:
Kelompok pertama mengatakan: “Kami akan berpuasa dan berbuka mengikuti kerajaan Arab Saudi”.
Kelompok kedua mengatakan: “Kami berbuka dan berpuasa mengikuti negara yang kami bertugas di sana.”
Dan kelompok ketiga mengatakan: “Kami akan berpuasa Ramadhan sesuai dengan negara tempat kami bertugas, namun untuk puasa Arafah, kami mengikuti kerajaan Arab Saudi.”
Maka beliau menjawab:
Para ulama rahimahumullah berbeda pendapat, apakah jika hilal telah tampak di suatu negeri,
– Kemudian mengharuskan kaum muslimin di seluruh negeri untuk mengikuti negeri tersebut,
– ataukah kewajiban itu hanya bagi yang melihat hilal saja dan juga bagi negeri yang satu mathla’ dengannya,
– atau kewajiban itu juga berlaku bagi yang melihat hilal dan siapa saja yang berada di pemerintahan (negara) yang sama.
Dalam permasalahan ini terdapat beberapa pendapat,
Yang rajih (kuat) adalah bahwasannya permasalahan ini dikembalikan kepada ahlul ma’rifah. Jika dua negeri berada dalam satu mathla’ yang sama, maka keduanya terhitung seperti satu negeri, sehingga jika di salah satu negeri tersebut sudah terlihat hilal, maka hukum ini juga berlaku bagi negeri yang satunya tadi.
Adapun jika dua negeri tadi tidak berada pada satu mathla’, maka setiap negeri memiliki hukum tersendiri. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala. Dan inilah yang sesuai dengan zhahir Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta qiyas.
Dalil dari Al-Qur’an:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [Al-Baqarah: 185]
Dipahami dari ayat ini adalah barangsiapa yang tidak melihat maka tidak diwajibkan baginya berpuasa.
Adapun dalil dari As-Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
إذا رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا
“Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka berpuasalah, dan apabila melihat hilal (syawwal), maka berbukalah (beridul fithrilah.”
Dipahami dari hadits ini adalah jika kita tidak melihat hilal, maka tidak wajib berpuasa ataupun berbuka (beridul fithri).
Adapun dalil qiyas adalah:
Karena waktu mulainya berpuasa dan berbuka itu hanya berlaku untuk negeri itu sendiri dan negeri lain yang waktu terbit dan tenggelamnya matahari adalah sama. Ini adalah hal yang telah disepakati, sehingga anda saksikan bahwa kaum muslimin di Asia sebelah timur mulai berpuasa sebelum kaum muslimin yang berada di sebelah baratnya, demikian pula dengan waktu berbukanya. Hal ini terjadi karena fajar di belahan bumi timur terbit lebih dahulu daripada di belahan barat, begitu juga dengan tenggelamnya matahari. Jika perbedaan seperti ini bisa terjadi pada waktu mulainya berpuasa dan berbuka yang itu terjadi setiap hari, maka demikian juga hal itu bisa terjadi pada waktu mulainya berpuasa di awal bulan dan waktu mulainya berhari raya. Tidak ada bedanya antara keduanya.
Namun jika ada dua negeri yang berada dalam satu pemerintahan, dan pemerintah negeri tersebut telah memerintahkan untuk berpuasa atau berbuka (berhari raya), maka wajib mengikuti perintah (keputusan) pemerintah tersebut. Masalah seperti ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan pemerintahlah yang akan menyelesaikan perselisihan yang ada.
Berdasarkan ini semua, hendaklah kalian berpuasa dan berbuka (berhari raya) sebagaimana puasa dan berbuka (berhari raya) yang dilakukan di negeri kalian berada (yaitu mengikuti keputusan pemerintah). Sama saja apakah keputusan ini sesuai dengan negeri asal kalian atau berbeda. Begitu juga dengan hari (puasa) Arafah, hendaklah kalian mengikuti negeri yang kalian berada di sana.
Pada kesempatan yang lain, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala juga ditanya:
“Jika terdapat perbedaan tentang penetapan hari Arafah dari negeri-negeri yang berbeda disebabkan perbedaan mathla’, apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami berada padanya, ataukah mengikuti ru’yah Haramain (Arab Saudi)?”
Beliau menjawab:
“Permasalahan ini dibangun (muncul) dari perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah munculnya hilal (di suatu daerah) itu berlaku untuk seluruh dunia, ataukah berbeda-beda tergantung perbedaan mathla’nya.
Pendapat yang benar adalah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan mathla’nya. Misalnya di Makkah terlihat hilal tanggal 9 Dzulhijjah, namun di negari lain, hilal tersebut sudah terlihat sehari sebelumnya, sehingga hari Arafah (di Makkah) menurut negeri itu adalah sudah memasuki tanggal 10 Dzulhijjah. Maka tidak boleh bagi penduduk negeri tersebut untuk berpuasa pada hari itu, karena hari itu adalah hari ‘Idul Adha.
Demikian juga jika munculnya hilal Dzulhijjah di negeri itu sehari setelah ru’yatul hilal di Makkah, maka tanggal 9 Dzulhijjah di Makkah itu adalah bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah di negeri tersebut. Sehingga penduduk negeri tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut mereka, yang bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.
Inilah pendapat yang kuat dalam permasalahan ini, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
“Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) hendaklah kalian berpuasa, dan jika kalian melihat hilal (Syawwal) hendaknya kalian berbuka (berhari raya).”
Penduduk di daerah yang tidak tampak oleh mereka hilal, maka mereka bukan termasuk orang yang melihatnya.
Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar dan tenggelamnya matahari itu sesuai (mengikuti) daerahnya masing-masing yang berbeda-beda, maka demikian juga penetapan (awal) bulan itu, sebagaimana penetapan waktu harian (mengikuti daerahnya masing-masing).”
Pendapat kedua: puasa Arafah mengikuti Arab Saudi, namun idul adha mengikuti pemerintah
Ini sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Utsman bin ‘Abdillah As-Salimi hafizhahullah, salah seorang ulama besar di Yaman, dan termasuk murid senior Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimauhllah. Dalam salah satu pelajaran yang disampaikan ba’da zhuhur tanggal 3 Dzulhijjah yang lalu, beliau ditanya:
Apakah kita beridul Adha (yakni mulai menyembelih hewan kurban) dengan mengikuti Arab Saudi, sementara kami di Maroko, meskipun hal ini menyelisihi dan mendahului waliyul amr (pemerintah), dan hal ini juga bisa menimbulkan fitnah sebagaimana yang anda ketahui?
Maka beliau menjawab:
Idul Adha wajib atas seluruh kaum muslimin untuk mengikuti negeri Al-Haramain (Arab Saudi), karena pelaksanaan ibadah haji berada di sana, sehingga yang dijadikan patokan adalah pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah (sesuai dengan yang di Arab Saudi), maka hendaknya kalian melaksanakan puasa hari Arafah ketika di negara Arab Saudi juga berpuasa, yaitu ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah.
Adapun waliyul amr (pemerintah), baik di Maroko maupun negeri yang lain, tidak boleh bagi mereka untuk menyelisihi umat Islam (yang berpatokan pada pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah di Saudi tersebut).
Namun apabila kalian khawatir terjadinya fitnah, jika kalian sanggup, maka hendaknya kalian menyembelih hewan kurban pada hari nahr secara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak mampu, maka pada hari keduanya tidak mengapa. Hari-hari penyembelihan itu banyak, yaitu hari nahr (10 Dzulhijjah), tanggal 11, tanggal 12, dan menurut pendapat yang benar adalah juga tanggal 13 sebagaimana yang dikatakan Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama yang lain.
Sehingga kalian boleh memilih, tidak mengapa bagi kalian untuk mengakhirkan dan mengikuti negeri kalian dalam menyembelih hewan kurban jika khawatir timbul fitnah. Wabillahit taufiq.
Akan tetapi hendaknya kalian tetap merasa bahwa hari Id (yang benar) adalah bersama dengan negeri Saudi Arabia. Semoga Allah memberikan taufik kepada kalian.
Adapun untuk shalat id, maka dilakukan pada hari kedua (dari hari nahr, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah) selama di negeri tersebut semuanya melaksanakan id bersama dengan pemerintah setempat, sehingga jika khawatir terjadi fitnah, maka boleh mengakhirkan shalat id pada hari kedua.
Kesimpulan
Kaum muslimin di Indonesia -sebagaimana yang telah diumumkan sendiri oleh pemerintah-, diberi keleluasaan untuk memilih waktu puasa Arafah dan hari Id-nya, silakan mengikuti pemerintah atau boleh juga mengikuti Arab Saudi. Dari keterangan para ulama di atas, maka Insya Allah tidak mengapa bagi setiap muslim di negeri ini untuk menentukan waktu puasa dan hari rayanya sesuai dengan pendapat yang menurut dia lebih tepat (tentunya dalam memilih pendapatnya itu harus dengan didasari oleh ilmu, tanpa ada sikap taqlid, apalagi memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu diri dan kelompoknya), karena masing-masing pendapat tersebut berdasarkan ijtihad para ulama yang bersumber dari dalil-dalil yang syar’i.
Bagi yang mengikuti pendapat pertama, maka dia memiliki dasar:
Bahwa dari keterangan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin tadi, dalam menentukan waktu masuknya bulan Dzulhijjah, insya Allah Pemerintah Indonesia sudah menempuh upaya-upaya yang sesuai dengan syar’i, yaitu ru’yatul hilal[1], yang kenyataannya pada 29 Dzulqa’dah petang, hilal bulan Dzulhijjah belum nampak, sehingga dilakukan ikmal (menyempurnakan/menggenapkan bulan Dzulqa’dah menjadi 30 hari). Ini semua adalah upaya yang sudah sesuai dengan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.[2]
Dengan mengikuti pemerintah, syi’ar kebersamaan umat Islam di negeri ini akan lebih terjaga, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:
الصوم يوم تصومون ، و الفطر يوم تفطرون ، و الأضحى يوم تضحون
“Berpuasa (adalah dilakukan di) hari kalian semua berpuasa, beridul fithri (adalah dilakukan di) hari kalian beridul fithri, dan beridul adha (adalah dilakukan di) kalian beridul adha (melakukan penyembelihan).” [HR. At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani rahimahullah]
Dan bagi yang mengikuti pendapat kedua, dia memiliki dasar:
Puasa Arafah disesuaikan waktunya dengan waktu wukufnya jama’ah haji di Arafah. Sesuai dengan namanya, bahwa puasa Arafah adalah puasa yang dilakukan ketika jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah. Wallahu a’lam.
Pemerintah memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk memilih waktu puasa dan hari rayanya, sehingga kalau dia berpuasa dan berhari raya tidak bersamaan waktunya dengan pemerintah, ini bukan termasuk bentuk ketidaktaatan kepada waliyul amr.
Adapun untuk shalat id-nya, boleh bagi dia untuk melakukannya bersamaan dengan pemerintah karena biasanya mayoritas umat Islam di negeri ini mengikuti pemerintah, sehingga jika dikhawatirkan timbul fitnah, tidak mengapa untuk melakukan shalat id sesuai dengan pemerintah negeri ini, berbeda dengan puasa yang itu merupakan amalan yang tidak nampak.
Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Walaupun pemerintah juga menggunakan metode hisab, namun metode ini tidak teranggap karena tidak sesuai dengan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua dan kepada pemerintah negeri ini.
 [2] Berbeda dengan yang dituduhkan oleh kelompok sempalan yang dalam pergerakannya banyak menyelisihi syari’at semisal Majelis Mujahidin (Indonesia) yang menyatakan bahwa penetapan awal Dzulhijjah oleh pemerintah RI adalah tidak sah sebagai pegangan Syar’i karena menyalahi penetapan wukuf Arafah. Demikian maklumat yang mereka keluarkan. Wallahu a’lam, sebagaimana yang biasa mereka lakukan, apakah keputusan ini lebih dominan didorong dari sikap kebencian mereka kepada pemerintah atau karena yang lain?
ahmad
Nov 15, 2010 @ 01:16:18
jadi kapan puasa arafa untuk tahun ini 2010?
Admin:
Insya Allah wuquf jatuh pada hari ini Senin, 15 Nov 2010
Indra
Nov 15, 2010 @ 08:59:35
Apakah boleh (Bagaimana hukumnya) kalo puasa arafah dilakukan pada tanggal 15 dan 16 Nov 2010, kemudian melaksanakan sholat Iedul Adha di tanggal 17 Nov 2010 sesuai penetapan pemerintah?
Admin.
Wallahu’alam
abu ahmad
Nov 15, 2010 @ 16:02:56
‘afwan..
kalau boleh tanya.
waktu untuk wukuf arafah apakah ada selain tanggal 9 dzulhijjah?
dengan menyadari hal ini (wukuf=9 dzulhijjah) maka yang terjadi khilaf diantara ummat adalah permasalah penentuan tgl 1 nya.
Untuk keyakinan bahwa puasa arafah adalah puasa bagi mereka yang tidak ikut wukuf di waktu hari arafah, maka ini insya Allah tidak ada yang berselisih tentangnya.
namun, sekali lagi. Yang jadi khilaf adalah penentuan tgl 1 nya.
Jika pemerintah saudi menentukan tgl 1 berbeda dengan pemerintah indonesia, tentu saja terjadi penentuan tgl 9 yang artinya dalam persepesi pemerintah indonesia mereka yang wukuf di hari arafah tentunya bukan pada tgl 9 melainkan pada tgl 10. itu kalo menurut hasil keputusan pemerintah di sini.
Namun, hal ini bukan berarti wukufnya tidak sah. tidak.. karena wukuf di makkah tentunya mengikuti keputusan pemerintah saudi di sana bukan mengikuti pemerintah indonesia.
jadi kiranya, pembahasan ini tidak dimasukkan kedalam perkara manhaj melainkan masuk ke dalam masalah ijtihadiyah. yang jika kita katakan pemerintah indonesia bisa salah dalam menentukan jatuhnya hari iedul adha, maka kita katakan begitu pula dengan pemerintah saudi. karena ini perkara ijtihadiyah..
dan terakhir, jujur saja kita dalam hal ini tidak melihat hilal 1 dzulhijjah bukan? jadi masing-masing dari kita telah menjadi pengikut. yang di saudi mengikut pemerintahan saudi, dan yang di sini mengikut pemerintah indonesia. keduanya adalah benar. karena memang in adalah tugas pemerintah bukan tugas orang perorangan. wallaahu’alam
Tito
Nov 15, 2010 @ 20:57:47
Alhamdulillah, keterangan ustadz abdul hakim sangat jelas, tinggal pilih kok, puasa di hari arafah atau puasa setelah hari arafah walaupun tgl 9 dzulhijjah dengan argumentasi yang disampaikan ustadz ahmad. yaaa kalau sudah dibaca semua argumentasi, tinggal ketetapan hati pilih yang mana.
ummu abdillah
Nov 15, 2010 @ 21:59:40
Bagaimana dg jaman dulu sebelum ada alat elektronik,kita yg di luar Saudi kan tdk tau kapan jamaah haji wukuf.Bukankah dg melihat hilal di masing2 negeri? Wallohu a’lam.
Admin:Masya Allah, Saya katakan dari zaman Nabi shallallau’alaihi wa sallam sampai hari kiamat nanti Insya Allah, tidak akan berubah hari Arafah itu jatuh pada tgl 09 Dzulhijjah dimana manusia melaksanakan wuquf di mulai setelah tergelincirnya matahari hingga matahari terbenam.
abu nafi'
Nov 15, 2010 @ 23:40:46
na’am.. Dan sebaiknya perkataan penulis untuk lebih memperhatikan lg penggunaan kata2..
mar1
Nov 15, 2010 @ 23:43:10
allohu a’lam,
apapun yang kita ambil, sebaiknya diketahui dasarnya kenapa ulamat itu berpendapat seperti itu.
semoga situs ini bermanfaat utk sebayk-banyak umat
jazaakumullahi khoir.
Nov 16, 2010 @ 06:45:23
wah berarti bsok puasa arafah yah?puasa ah………..
Nov 16, 2010 @ 08:49:17
Ust. kalau skrg tgl 16 november / 9 dzulhijjah (menurut pemerintah) skrg .ana puasa bagaimana hukumnya? dan niat apa yg boleh di niatkan untuk puasa hari ini? kalau memang wukuf di saudi nya kemaren ..mengingat pemerintah menentukan 10 dzulhijjahnya besok
jazakAllahu khair
qur
Nov 16, 2010 @ 11:10:18
“sehingga anda saksikan bahwa kaum muslimin di Asia sebelah timur mulai berpuasa sebelum kaum muslimin yang berada di sebelah baratnya, demikian pula dengan waktu berbukanya. Hal ini terjadi karena fajar di belahan bumi timur terbit lebih dahulu daripada di belahan barat”
Ayat atau hadits mana yang menyatakan fajar di belahan bumi timur terbit lebih dahulu (baca: Jakarta duluan baru Mekkah), bagaimana kalau saya menyatakan waktu di Mekkah 20 jam lebih dahulu dibanding waktu di Jakarta. Bumi ini bulat pak dan sama sekali belum terbelah. lebih tepatnya untuk masalah ibadah lebih dahulu waktu di mekkah ketimbang daerah lain. Jadi janganlah daerah lain mendahului waktu mekkah, apalagi jamaah di jakarta yang mendahului sampai 4 jam dibanding waktu mekkah. Dalam sholat saja kita tidak boleh mendahului imam demikian juga dengan waktu ibadah yg lain. Sabarlah 20 jam, biarkan saudara2 kita di mekkah lebih dahulu mengerjakan ibadah, baru 20 jam kemudian kita di Jakarta mengikutinya. Inilah mengapa orang Indonesia kebanyakan susah diatur karena mereka banyak yang tidak sabaran.
Nov 16, 2010 @ 14:25:14
Bolehkah satu mesjid mengadakan 2 kali shalat ‘ied?
Admin:
Dibolehkan apabila mendapati udzur, seperti hujan. karena hukum asalnya pelaksanaan shalat’ ied adalah di Mushalla (tanah lapang). dan masjid tidak bisa menampung jama’ah untuk shalat semuanya, bisa di lakukan dua kali shalat dengan satu kali khutbah. Wallahu’alam
ben amri
Nov 16, 2010 @ 14:59:17
Terimakasih atasinformasinya, jd tinggal memilih krn semua ada dalilnya
nurvita
Nov 16, 2010 @ 15:44:25
asslm..
kok gak bs lgsung share?
Nov 16, 2010 @ 16:06:34
tadi pagi saya berniat puasa arafah dan saya masih berpuasa sampai pukul 12.00 wib siang tadi, cuma kata temen2 saya udah tidak boleh puasa lagi karena wujuf nya tgl 15 nov kmren,sehingga saya membatalkan puasa saya…menurut bapak apa tindakan saya salah?karena awalnya saya masih bertahan ingin puasa, namun katanya haram…saya sedikit bingung,,terima kasih
Admin:
Wallahu’alam, untuk menghukumi haram saya tidak tau.
reza
Nov 16, 2010 @ 16:09:34
Secara logika saya agak heran juga dengan perkataan penulis diatas.
“…maka kaum muslimin di Indonesia dan di seluruh negeri puasa Arafahnya pada hari Rabu dan ‘Iedul Adha-nya pada hari Kamis…”
pastinya yang dimaksud ustadz adalah seluruh negeri Islam di seluruh dunia bukan..?? lalu bagaimana dengan kaum Muslimin yang berada dibelahan dunia lain yang beda 12 jam dengan saudi..??? saudi waktu wukuf siang di tempat mereka sedang malam..??? kapan puasanya pak?? kalau mau ngikuti pendapat ustadz tentunya puasa saat itu juga kan..?? jadi rancu malam2 ko puasa,…kalau ustadz bilang yaa ngikuti tanggal 9 waktu tempat ituu dong…nah lhoo lalu apa bedanya dengan Indonesia..?? begitu deh unek-unek saya..mohon dijawabyah bang ADMIN.
Admin:
Antum bertanya dengan logika saya jawab dengan logika,
Agar pembahasan tidak meluas kemana-mana, coba kita runcingkan masalah ini kepada satu pokok permasalahan, yakni:
Bahwa puasa pada hari Arafah itu terkait waktu dan tempat. waktunya adalah tgl 09 Dzulhijjah dan tempatnya adalah di Arafah, lalu disyariatkan bagi kaum muslimin yang tidak melaksanakan ibadah haji untuk berpuasa pada hari itu.
Lalu antum bertanya, bagaimana dengan negara yang waktunya berbeda 12 jam dengan Saudi Arabia, di Saudi siang sedangkan di tempat mereka malam, kapan puasanya?
Saya katakan puasanya tetap tgl 09 Dzulhijjah pada hari Arafah, 1 hari itukan terdapat 24 jam. kalau sekiranya di Saudi siang ditempat mereka malam (lalu sebaliknya), mereka bisa berpuasa esok harinya sedangkan di Saudi masih hari Arafah.Wallahu’alam
Nov 16, 2010 @ 16:13:42
Saya puasa Arafah hari Senin dan Selasa (15-16 November) dan Sholat Idul Adha Rabu, mengikuti pemerintah dan rukyat, apakah boleh dan kuat dalilnya? Terima kasih, jazakalloh bi khoir. Wassalam http://Jendelakatatiti.wordpress.com.
Admin:
Wallahu’alam, sudah dijelaskan diatas bahwa tgl.09 Dzulhijjah (15 Nov) adalah hari Arafah, setelahnya tgl.10 adalah ‘Iedul Adha dan setelahnya adalah hari Tasyriq.
reza
Nov 16, 2010 @ 16:19:00
Satu lagi deh, yang diatas itukan pendapat ustadz,..nah tolong dong…kalau emang ada ulama kibar yg berpendapat hal yg sama ama Ustadz Abdul Hakim diatas disampaikan juga,..
Admin:
Beberapa fatwa ulama terkait masalah ini bisa dilihat di sites Ustadz Abu Jauzaa disini: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/11/fatwa-lajnah-daaimah-asy-syaikh-al.html
Atau saya nukilkan disini:
Tanya :
 “Apakah kami boleh berpuasa dua hari di negeri kami sini selama dua hari, yaitu untuk puasa ‘Arafah ? karena kami mendengar di radio bahwa hari ‘Arafah esok (di Saudi) bertepatan dengan tanggal delapan Dzulhijjah di sini”.
Jawab :
Hari ‘Arafah adalah hari dimana orang-orang melakukan wuquf di ‘Arafah. Dan puasa di hari tersebut disyari’atkan bagi selain orang yang menunaikan ibadah haji. Apabila engkau ingin berpuasa, maka berpuasalah pada hari ini. Jika engkau ingin berpuasa sehari sebelumnya, maka tidak mengapa. Dan jika engkau ingin sembilan hari dari awal bulan Dzulhijjah, maka itu baik, karena hari-hari itu merupakan hari-hari yang mulia yang dianjurkan untuk berpuasa berdasakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Tidak ada hari yang amal shalih dilakukan padanya lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari sepuluh ini (di bulan Dzulhijjah)’. Dikatakan : ‘Wahai Rasulullah, tidak pula jihad di jalan Allah ?’. Beliau menjawab : ‘Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seorang laki-laki yang keluar dengan diri dan hartanya, kemudian tidak kembali sesuatupun darinya (yaitu, orang tersebut mati syahid)’. Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy.
Wabillaahit-taufiiq, wa shallallaahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam.[1]
[Fatwa Lajnah Daaimah 10/393, ketua : ‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin Baaz, anggota : ‘Abdullah bin Ghudayaan – http://dean4me.com/play-130.html%5D.
Tanya :
 “Pemerintah kami di Libya telah mengumumkan hari Rabu adalah hari ‘Arafah dan hari Kamis adalah ‘Iedul-Adlhaa; yang menyelisihi apa yang telah ditetapkan Kerajaan Saudi ‘Arabia bahwa hari ‘Arafah dan wukufnya jama’ah haji jatuh pada hari Kamis. Maka, apa hukum mengenai hal itu ?”.
Jawab :
 “Alhamdulillah, wash-shalaatu ‘alaa rasuuliullah, wa ba’d :
Allah ta’ala telah berfirman : “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (QS. Al-Baqarah : 189). Dan mengenai ibadah haji, sebagaimana disabdakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Haji itu ‘Arafah”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlus-Sunan dengan sanad shahih.
Maka wajib bagi semua negeri kaum muslimin yang mengetahuinya untuk membatasinya dengan ru’yah negeri yang dituju orang-orang untuk ibadah haji, yaitu negeri Al-Haramain yang mulia.
Dan karenanya, tidak boleh bagi kalian untuk mentaati pemerintah kalian yang menjadikan ‘Ied jatuh pada hari Kamis. Dan barangsiapa yang menyembelih pada hari Kamis, maka sembelihannya itu tidak terjadi pada posisi/tempat yang syar’iy. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda tentang orang yang menyembelih sebelum shalat ‘Ied : ‘Kambingmu itu adalah kambing yang disembelih untuk dimakan dagingnya saja (bukan kambing sembelihan kurban)’. Beliau ‘alaihish-shalaatu was-salaam bersabda : ‘Tidak ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah’. Permasalahan ini bukan seperti perselisihan dalam ru’yah hilal Ramadlaan atau Syawaal, karena puasa dan berbuka dimungkinkan untuk dilakukan di negeri manapun. Adapun hari ‘Arafah dan ‘Iedul-Adlhaa, sudah seharusnya orang-orang untuk bersatu, meskipun hanya satu bagian di waktu siang, berdasarkan ayat-ayat dan hadits. Wallaahu a’lam.
[Fatwa dari Asy-Syaikh Al-‘Ubailaan hafidhahullah – http://kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=97989%5D.
Tanya :
 “Fadliilatusy-Syaikh, apakah kami boleh berpuasa ‘Arafah berdasarkan waktu setempat/lokal ataukah kami mesti mengikuti waktu Saudi, yaitu hari kedelapan Dzulhijjah jika berdasarkan waktu setempat/lokal ? Jazaakumullaahu khairan.
Jawab :
 ‘Arafah adalah nama gunung dimana para jama’ah haji melakukan melakukan wuquf pada hari kesembilan bulan Dzulhijjah. Ia (hari ‘Arafah) merupakan hari yang satu lagi tidak berbilang. Maka, puasa yang bersamaan dengan wuqufnya jama’ah haji adalah puasa yang benar. Adapun selain itu, aku tidak mengetahui sumbernya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah”
[Fatwa dari Asy-Syaikh Dr. Muhammad Al-Maghrawiyhafidhahullah – http://www.darcoran.org/?taraf=fatawi&file=displayfatawi&id=119%5D
[1] Perhatikan uslub Lajnah dalam menjawab pertanyaan. Mereka menyandarkan bahwa hari ‘Arafah adalah hari dimana orang-orang melaksanakan wuquf di ‘Arafah, dan puasa pada waktu tersebut disyari’atkan bagi orang yang tidak melakukan haji. Kemudian Lajnah berfatwa kepada Penanya bahwa jika si Penanya ingin berpuasa dua hari, maka ia berpuasa pada hari ‘Arafah yang sesuai dengan pelaksanaan wuquf di ‘Arafah yang bertepatan tanggal 8 Dzulhijjah di daerah si Penanya, dan juga hari sebelumnya. Artinya, Lajnah tidak menyarankan si Penanya berpuasa di hari setelahnya, meskipun hari itu bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah menurut daerah si Penanya.
Nov 16, 2010 @ 16:58:06
Assalamu’alaykum……. mo nanya doooong…. hadits tentang melihat hilal apakah tertuju hanya untuk hari raya idhul fitri atau jg untuk hari raya idhul adha? makasih, smg allah membalas dgn kbaikan….
Admin:
Wa’alaikumussalam, sudah di jelaskan diatas. berbeda penerapan melihat hilal untuk Ramadhan dan ‘Iedul Fithri dengan Arafah dan ‘Iedul Adha. ‘Ied Fithri berkaitan dengan waktu, yakni penetapan tgl 1 Ramadhan dan 1 Syawwal berdasarkan ru’yah masing-masing negeri/daerah. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
” Apabila kamu melihat hilal (Ramadhan) maka puasalah, dan apabila kamu melihat hilal (Syawal) maka berbukalah, tetapi jika awan menutupi kalian, maka berpuasalah tiga puluh hari.” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim (3/124) dan lain-lain)
Sedangkan Arafah dan ‘Ied Adha berkaitan dengan waktu dan tempat, yakni waktu penetapan tgl 1 Dzulhijjah berdasarkan ru’yah negeri Al-Haramain (Saudi Arabia) berbeda dengan penerapan ‘Iedul Fithri. Lalu menetapkan tgl 9, 10, 11 Dzulhijjah berdasarkan ru’yah sana karena Arafah terdapat disana. (seperti yang dijelaskan diatas). Wallahu’alam
Nov 16, 2010 @ 17:56:59
sedang membayangkan, flashback ke 1000 tahun yang lalu, ketika tekhnologi belum maju sepesat ini…..firqoh2 sedikit….ahlusunnah wal jammah (pengikut sunnah dan manhajnya shahabat) masih banyak…ummat muslim sudah tersebar diberbagai negeri….untuk mengetahui kabar suatu negeri perlu perjalanan berbulan-bulan….dengan apakah mereka menentukan dua hari raya ?
Admin:
Sudah saya jawab di komentar sebelumnya tentang penerapan dua hari raya.
Adapun mengenai bagaimana kaum muslimin sebelum kita diluar Al-Haramain (Saudi Arabia) mengetahui kapan tepatnya Wuquf di Arafah sedangkan tekhnologi belum secanggih sekarang.
Jawaban-nya saya nukil tanggapan Ustadz Abu Jauzaa, beliau berkata: ” …Mengikuti jama’ah haji adalah asal hukum, dan hukum ini dilaksanakan sesuai dengan kesanggupan. Bagi yang tidak mendengar atau tidak sampai kepadanya informasi tentang wuquf ‘Arafah, maka diperbolehkan baginya untuk berijtihad dengan ru’yah hilal yang nampak baginya…..”
Allah ta’ala berfirman :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengankesanggupannya” (QS. Al-Baqarah : 286).
Apa yang disebutkan di atas merupakan hukum asal bagi setiap orang yang mampu mengetahui khabar nampaknya hilal di Makkah atau pelaksanaan wuquf di ‘Arafah. Dapat kita lihat bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan amir kota Makkah untuk melihat hilal yang kemudian hilal itu dirujuk oleh kaum muslimin yang lain termasuk di Madinah.
Jarak ribuan kilometer beberapa negeri Islam dan arus informasi yang tidak secepat sekarang menyebabkan para ulama berijtihad dalam hal ini. Ini semua dikarenakan ‘udzur atas sesuatu yang sifatnya dlaruriy. ‘Tidak mungkin’ kan kaum muslimin tidak melaksanakan puasa ‘Arafah, shalat ‘Ied, dan menyembelih kurban dengan alasan tidak mengetahui informasi yang ada di negeri Makkah. Salah satunya mereka (para ulama) berijtihad berdasarkan hilal di masing-masing tempat.
Hukum ini tentu saja mengikuti illat pengetahuan atas khabar yang sampai kepada mereka tentang kenampakan hilal penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di ‘Arafah.
Nah, untuk waktu sekarang dimana sarana komunikasi sudah sedemikian canggihnya, bukan hal yang susah bagi kita untuk mengetahui hilal penduduk Makkah/Saudi atau pelaksanaan wuquf di ‘Arafah.
Wallaahu a’lam.
Abu Aisyah
Nov 17, 2010 @ 11:57:30
Sdr Admin mohon pahami dengan baik pertanyaan dari Ummu Abdillah…
konteksnya adalah bgmana Jika kita tidak MENGETAHUI penentuan 1 zulhijjah (termasuk waktu wukuf) dari Saudi karena tidak ada informasi?
pertanyaan penting : sejak Kapan wukuf di Arafah menjadi patokan dalam berlebaran di INDONESIA? apakah di indonesia pada jaman DAHULU (sebelum ada komunikasi canggih seperti sekarang ) ada yang mewajibkan pelaksanaan wukuf sebagai patokan? kalo tidak berpedoman wukuf dianggap Batil dan dianggap taat pada maksiat??
terima kasih
Admin:
Afwan akh, karena banyaknya komentar yang masuk saya agak sulit menagkapnya!!!
Iya saya sudah faham, pertanyaan Ummu Abdillah sama seperti yang antum dan Akh Syarif diatas tanyakan, mungkin jawabannya sudah terwakili dari komentar saya di pertanyaan Akh Syarif…
Nov 18, 2010 @ 12:35:08
jazakallahu khoir…, setidaknya kita jadi tahu alasannya, mengapa kita berselisih dalam masalah ini. wallahu a’lam
reza
Nov 18, 2010 @ 14:07:30
satu lagi nih mas ADMIN…..kalau shaum arafah di nisbatkan ke pelaksanaan wukuf bagaimana halnya bila qoddarullah disaat tidak dapat terlaksananya wukuf..semisal pada beberapa tahun bani fathimiyyun berkuasa..beberapa tahun tidak ada yg haji. bagaimana kaum muslimin puasanya?
Admin:
Tetap waktunya, berpuasa pada tgl 09 (yakni pada Hari Arafah). Sebagaimana hadits yang disampaikan diatas secara umum berbicara tentang keutamaan puasa Hari Arafah.
Dari Abu Qatadah Al-Anshariy (ia berkata),” Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah di tanya tentang (keutamaan) puasa pada hari Arafah?” Maka beliau menjawab, “ Menghapuskan (kesalahan) tahun yang lalu dan yang sesudahnya.” (HR. Muslim no.1162 dalam hadits yang panjang)
Wallahu’alam
anas
Nov 19, 2010 @ 11:02:41
bagaimana dengan artikel ini ? disitu sepertinya ucapan ust. abdul hakim terlalu keras dalam menyikapi perselisihan ini, sehingga sebagian salafiyyin tidak terima dengan hal ini, tapi sayangnya situs al-jasari ini malah meneruskan perselisihan lamanya tentang ihya turots,
Admin:
Salah satu sites diantara sites-sites pemakan bangkai manusia, Adapun mengenai tulisan Ustadz Abdul Hakim ini adalah Ijtihad beliau dalam mengambil suatu hukum dari Sunnah yang shahih dan dalam menguatkan pendapatnya beliau cukup tegas untuk menjelaskan pendapat yang beliau yakini, dan ini maklum di kalangan ahli ilmu.
Sebagaimana dahulu Imam Asy-Syafi’i berkata, “Apabila telah shahih hadits, maka itulah madzhabku”. tidak peduli apakah menyalahi kebanyakan manusia atau menyetujuinya. Wallahu’alam
abu ahmad
Nov 19, 2010 @ 21:20:51
begitulah pendapat.
barang siapa memilih satu pendapat yang sudah dianggap kuat maka akan terlihat kuat meski ditentang oleh pendapat lain.
wajar, saya katakan wajar dalam hal ini. karena ke dua pendapat ini bisa benar dari satu sisi dan bisa salah dalam sisi yg lain.
qadarallah ini terjadi.
REZA
Nov 21, 2010 @ 06:27:34
akh ADMIN..ana nilai jawaban antum kontradiksi dengan pernyataan ustadz abdul hakim, jawaban antum tentunya tetap mengikuti penetapan waktu masing2 tempatkan?? tanggal 9 dimasing2 wilayah kan..? so oleh karena itu sangat disayangkan ada lontaran di tulisan ustadz abdul hakim bahwa
” Pendapat ini batil kalau tidak mau dikatakan sangatlah batil, karena telah menyalahi ketegasan hadits di atas, di mana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di tanya tentang puasa pada hari Arafah, yakni pada hari ketika manusia wuquf di Arafah. Adapun hari sesudahnya bukan hari Arafah lagi tetapi hari ‘Ied, dan lusanya bukan hari ‘Ied lagi tetapi hari Tasyrik. Ini yang pertama ”
yang sejatinya ini bertolak belakang dengan jawab antum ke komen ana yg pertama. fatwa Lajnah daimah diatas juga sebenarnya jadi hujjah untuk antum juga, kalau menurut ana ahsan antum posting juga fatwa al ‘allaamah syaikh al Utsaimin al faqiih al ushuuli.
Admin:
Tidak ada yang kontradiksi, tgl 9 disini mengikuti waktu Saudi. Untuk fatawa Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin ~ rahimahullah ~ antum bisa membacanya di komentar Akh Omar Salim diatas.
Abu Aisyah
Nov 21, 2010 @ 12:26:11
Mohon ijin Sdr Admin :
1. Pengertian Arafah.
Hari ‘Arafah adalah hari kesembilan dari bulan dzulhijjah, dan yang dijadikan sandaran adalah penanggalan hijriyah di tempat di mana seseorang itu berada, bukan berdasarkan pada wukufnya jama’ah haji di bukit ‘Arafah. Dan inilah yang dikenal dari perbuatan para Ulama ketika memberikan pengertian hari ‘Arafah yang mana mereka menyebutkan bahwa hari ‘Arafah adalah hari kesembilan dari bulan dzulhijjah.(lihat al-Qamus al-Fiqhi dan Mu’jam Lughatul Fuqahaa’ dan juga syarah-syarah Kitab Sunnah) Dan ini (hari ‘Arafah adalah tanggal sembilan) tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya. perbedaan hanya terjadi pada sebab penamaan hari ‘Arafah tersebut. Lihat pembahasan masalah ini di al-Mughni (4/442) karya Ibnu Qudamah rahimahullah, lihat pula pendapat-pendapat Ulama tentang sebab penamaan hari ‘Arafah dalam kitab Tafsir ath-Thabari, (2/297), Bahrul Muhith (2/275), ketika menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: ”Maka apabila kalian bertolak dari ‘Arafah.”(QS. Al-Baqarah: 198) Demikian juga lihat Lisanul ‘Arab karya Ibnu Manzhur (4/2898)
2. Bagaimana Perbuatan Rasulullah
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud rahimahullah(2437), Imam Ahmad rahimahullah (2269) Imam an-Nasaairahimahullah (2372) yang dishahihkan oleh al-Albani rahimahullahdari sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: ”Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada tanggal sembilan dzulhijjah, hari ‘Asyuraa’, dan tiga hari setiap bulan yaitu hari senin pada awal bulan dan dua hari kamis.” Segi pendalilan: Bahwa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallammenyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamdahulu melakukan puasa pada tanggal sembilan dzulhijjah dan itu tidak diragukan lagi dilakukan oleh beliau sebelum haji Wada’. Dan lafazh kaana menunjukkan rutinitas sebuah amalan. Dan tidak ada sebuah riwayat bahwasanya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh untuk mencari tahu tentang kapan waktu wukuf jama’ah haji di bukit ‘Arafah di Makkah.
3. Kesimpulan :
a. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata dalam Majmu’ Fatawa ketika menjawab pertanyaan seputar masalah ini:”Apabila suatu Negara berada dalam satu hukum dan pemerintah memerintahkan rakyat untuk puasa, atau Idul fithri maka wajib untuk diikuti dan keputusan Hakim menghilangkan perbedaan pendapat. Maka berdasarkan hal ini berpuasa dan berbukalah (Idul fithri) sebagaimana penduduk negeri yang kamu tempati berpuasa dan berbuka, baik bertepatan dengan negeri asalmu ataupun tidak. Demikian juga dalam masalah ‘Arafah, ikutilah negeri di mana kalian berada.”
b. Atsar Salaf & Perkataan ‘Ulama Tentang Sholat ‘Iedain Bersama Hukkam (http://tholib.wordpress.com/2007/01/14/atsar-salaf-perkataan-ulama-tentang-sholat-iedain-bersama-hukkam/)
c. Fatwa asy-Syaikh al-Albani tentang Sholat Dua Hari Raya Bersama Pemerintah
Abu Aisyah
Nov 22, 2010 @ 09:28:34
link yang bermanfaat :
mulya
Nov 23, 2010 @ 09:26:51
Alhamdulillah ana dapat menemukan jawaban dari pemahaman yang didapat dari dalil-dalil oleh ustad abdul hakim walaupun di nukil dari muridnya[bukunya, admin], sebelumnya ana juga membaca risalah dari syaikh asy utsaimin tentang kapan puasa arafah, ternyata terdapat perbedaan yang keduanya menggunakan dalil-dalil namun jika terdapat perbedaan disalah satu perbedaan itu pasti ada yang benar dan ada yang salah semoga Allah memberikan kepada kita jalan baik untuk perbedaan fiqih ini atau pun yang lainnya dan Allah memaafkan kepada mereka yang telah salah memahami dalil
jazakumullah khair
Namun disayangkan bahwa masyarakat kita jika melakukan suatu ibadah dia mengikuti suatu organisasi yang berada di kita tanpa melihat dalil yang dibawakannya, semoga Allah memberikan kepada mereka dan kita semuanya untuk melihat dalil(Alquran dan sunnah menurut pemahaman para sahabat) jika ingin melakukan sesuatu ibadah tersebut. Hanya kepada Allah kita memohon petunjuk
sakru
Nov 23, 2010 @ 20:25:36
izin share
Nov 30, 2010 @ 08:55:54
nice post…
kunjungi ini ya..
thanks
samudera
Sep 02, 2011 @ 18:04:33
izin share juga ustadz sangat menambah pemahaman dan jadi bisa menentukan pilihan…
abu hani

Okt 25, 2011 @ 20:10:50
al akh abu sahal al atsary atau admin web ini, akhi sudah dgr info kajian ust. Abdul hakim tgl 13 nov 2011 bsk d ma’had daarut tauhid milik aa gym akan d adakan kajian “lau kaana khairan laa sabaquna ilaih”, alhamdulillah aa gym tengah belajar manhaj salaf. Tolong bantu cari brosurnya syukron…
ary
Okt 25, 2011 @ 21:00:53
alhamdullilah, dengan adanya teknologi informasi, kita dapat mengetahui kabar penentuan hilal pemerintah arab saudi dalam hitungan menit saja, yang menjadi ganjalan di pikiran saya, bagaimana dengan orang-orang yang hidup di zaman yang belum ada IT dan transportasi modern, mengetahui keputusan hilal dari arab saudi, bagaimana cara mendapatkan informasi tsb dengan cepat. Bisakah mereka melaksanakan secara bersamaan?
Admin:
Sudah dijawab di komentar sebelumnya, lihat komentar al-Akh Syarif (Nov 16, 2010) saya nukilkan jawaban Ustadz Abul Jauzaa. wallahua’lam
faiva
Okt 28, 2011 @ 20:08:51
bagaimana utk tahun ini (2011)? adakah kemungkinan berbeda lagi?
ikhwan
Okt 29, 2011 @ 16:05:40
Ya syeh, pendapat ke 4 itu mksdnya apa, kita taat pemerintah ato harus tidak taat, dlm hal puasa arofah dan idul adha ini
Okt 30, 2011 @ 22:05:40
rina
Nov 01, 2011 @ 04:16:40
niat nya apa sih,,,,,,,????
azkakediri
Nov 03, 2011 @ 02:18:10
pada hari jum’at itu sebelum puasa arofah jum’at namana puasa apa ya
Admin:
Wa’alaikumussalam, mungkin yang dimaksud puasa hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah). Bisa dilihat disini: https://moslemsunnah.wordpress.com/2011/11/03/puasa-hari-tarwiyah-8-dzulhijjah-oleh-al-ustadz-abdul-hakim-bin-amir-abdat/
bloknyawahyu
Mar 27, 2012 @ 17:19:20
Reblogged this on bloknyawahyu.
Apr 14, 2012 @ 15:03:34
Dedy Murman
Okt 16, 2012 @ 21:40:07
Assalaamu’alaikum,
Admin yg mulia dan semoga selalu dalam lindungan Allah, saya ingin bertanya satu hal, ‘apakah penetapan jatuhnya hilal sebagai pertanda telah masuknya awal bulan yang baru itu termasuk masalah ‘ibadah atau masalah keduniawian?’, sebelumnya saya ucapkan terima kasih dan semoga Allah senantiasa memberikan taufik dan hidayahNya kepada kita semua, aamiin
Okt 23, 2012 @ 22:52:38
jazakallah khoiron ustdz,, ilmu ini sangat bermanfaat… terkhususnya bagi orang awam,.
Okt 24, 2012 @ 12:48:24
Okt 09, 2013 @ 11:07:43
trims sharing ilmunya.,, sangat bermanfaat
Okt 09, 2013 @ 11:08:38
yuk… kita puasa arofah tahun 2013 ini.. mdh2 berkah
Sep 29, 2014 @ 14:46:42
terima kasih atas penjelasanya saudara..
hmmb jadi ingin puasa arrafah
Sep 29, 2014 @ 17:09:03
Persis spt Idul Adha tahun 2014 ini, ana jadi yakin ikut hujjah Ust. Abdulhakim bin Amir Abdat hafidzhahullah yg ternyata lbh unggul…insyaallah
roi
Okt 01, 2014 @ 10:19:46
Admin: “…hari Arafah itu jatuh pada tgl 09 Dzulhijjah dimana manusia melaksanakan wuquf di mulai setelah tergelincirnya matahari hingga matahari terbenam.”
ada yg tidak pas, bukankah hari arafah itu mulai dari tergelincir matahari tanggal 9 dzulhijjah sampai dengan terbit fajar tanggal 10 dzulhijjah!?
nurdin
Okt 01, 2014 @ 19:24:16
Ada yang berdalil puasa pd tgl 9 sdh da sblm syari’at wukuf mk tdk mengapa puasa tdk brbarengan dgn wukuf? Bgmn dalilnya?
Okt 02, 2014 @ 16:52:54
Okt 02, 2014 @ 17:49:22

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Puasa Arafah Sepanjang Sejarah hingga 1435 H
PUASA ARAFAH IKUT WUQUF DI ARAFAH!
Kapan Puasa Arofah?!

327. Bila Hasil Ru'yah Berbeda Lalu Kapan Kita Puasa Arafah...?

Semalam saya menanyakan 1 permasaalahan pada 2 muhaddits Masjid Nabawi. Dan Hasilnya adalah 2 jawaban yang berbeda.
Pertanyaan:
Wahai syaikh bila hasil rukyat di negara kami berbeda dengan hasil rukyat di kerajaan saudi, tentunya penanggalan puasa Arafah juga akan berbeda, maka kapan kaum muslimin di negara kami melakukan puasa Arafah..?
Prof. DR. Anis Thohir Al -Indunisy menjawab:
"Ikuti penanggalan yang ada di negeri kalian jika ternyata dipastikan berbeda. Karena perbedaan mathla' itu mu'tabar. Namun bila ragu berpuasalah pada tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah. Wallahu a'lam"
Prof.DR. Dhiyaurrahman Al A'dzamy menjawab:
"Ada perbedaan pendapat dalam masaalah ini, Hanya saja saya lebih condong untuk mengikuti jadwal wuquf para jamaah haji di Arafah. Karena nabi shallallahu alaihi wasallam mengatakan, "صوم يوم عرفة (Puasa di hari Arafah)" bukan " صوم يوم التاسع من ذى الحجة" (puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah). Itu artinya kita berpuasa pada hari dimana kaum muslimin berada di Arafah. Ini pendapat yang saya anggap rojih, inilah fatwa saya dalam masaalah ini. Wallahu a'lam."
Jadi...?
Saya pribadi lebih condong pada pendapat Prof. Dhiyaurrahman bila penanggalan. Dan setuju dengan saran Prof. Anis untuk berpuasa pada tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah bila penanggalan ditanah air lebih lambat dari penanggalan KSA sebagai bentuk kehati-hatian. Lagipula masaalah ini fleksibel.
Wallahu a'lam.
_________________
Madinah 28 Dzulqa'dah 1435 H
ACT El-Gharantaly

Intinya, Hilal Ramadhan dalam perkara ini permasalahannya fleksibel: perbedaan manusia dalam menentukan masuknya bulan Ramadan (perbedaan mathla') adlh perkara yang luwes.
Adapun dalam penetapan hilal dzulhijjah Maka manusia hendaknya mengikuti Mekah...
‏تنبيه :
هلال رمضان الأمر فيه واسع في دخوله ورؤيته، واختلاف الناس فيه مقبول لاختلاف المطالع، 
وأما هلال ذي الحجة فالناس فيه تبع لمكة، لأن العيد بعد يوم عرفة الذي سيكون في مكة، والعيد إنما هو احتفال بقضاء الحاج لمناسكه، فكيف يعيد البعض يوم عرفة أو يتأخر عن ١٠ ذي الحجة!
(Ketua jurusan tafsir univ Kuwait)

Pendapatyang menyatakan puasa Arafah mengikuti Arab Saudi, sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Utsman bin ‘Abdillah As-Salimi hafizhahullah, salah seorang ulama besar di Yaman, dan termasuk murid senior Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimauhllah. Dalam salah satu pelajaran yang disampaikan ba’da zhuhur tanggal 3 Dzulhijjah yang lalu, beliau ditanya:
Apakah kita beridul Adha (yakni mulai menyembelih hewan kurban) dengan mengikuti Arab Saudi, sementara kami di Maroko, meskipun hal ini menyelisihi dan mendahului waliyul amr (pemerintah), dan hal ini juga bisa menimbulkan fitnah sebagaimana yang anda ketahui?
Maka beliau menjawab:
Idul Adha wajib atas seluruh kaum muslimin untuk mengikuti negeri Al-Haramain (Arab Saudi), karena pelaksanaan ibadah haji berada di sana, sehingga yang dijadikan patokan adalah pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah (sesuai dengan yang di Arab Saudi), maka hendaknya kalian melaksanakan puasa hari Arafah ketika di negara Arab Saudi juga berpuasa, yaitu ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah.
Adapun waliyul amr (pemerintah), baik di Maroko maupun negeri yang lain, tidak boleh bagi mereka untuk menyelisihi umat Islam (yang berpatokan pada pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah di Saudi tersebut).
Namun apabila kalian khawatir terjadinya fitnah, jika kalian sanggup, maka hendaknya kalian menyembelih hewan kurban pada hari nahr secara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak mampu, maka pada hari keduanya tidak mengapa. Hari-hari penyembelihan itu banyak, yaitu hari nahr (10 Dzulhijjah), tanggal 11, tanggal 12, dan menurut pendapat yang benar adalah juga tanggal 13 sebagaimana yang dikatakan Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama yang lain.
Sehingga kalian boleh memilih, tidak mengapa bagi kalian untuk mengakhirkan dan mengikuti negeri kalian dalam menyembelih hewan kurban jika khawatir timbul fitnah. Wabillahit taufiq.
Akan tetapi hendaknya kalian tetap merasa bahwa hari Id (yang benar) adalah bersama dengan negeri Saudi Arabia. Semoga Allah memberikan taufik kepada kalian.
Adapun untuk shalat id, maka dilakukan pada hari kedua (dari hari nahr, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah) selama di negeri tersebut semuanya melaksanakan id bersama dengan pemerintah setempat, sehingga jika khawatir terjadi fitnah, maka boleh mengakhirkan shalat id pada hari kedua.
Kesimpulan
Kaum muslimin di Indonesia -sebagaimana yang telah diumumkan sendiri oleh pemerintah-, diberi keleluasaan untuk memilih waktu puasa Arafah dan hari Id-nya, silakan mengikuti pemerintah atau boleh juga mengikuti Arab Saudi. Dari keterangan para ulama di atas, maka Insya Allah tidak mengapa bagi setiap muslim di negeri ini untuk menentukan waktu puasa dan hari rayanya sesuai dengan pendapat yang menurut dia lebih tepat (tentunya dalam memilih pendapatnya itu harus dengan didasari oleh ilmu, tanpa ada sikap taqlid, apalagi memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu diri dan kelompoknya), karena masing-masing pendapat tersebut berdasarkan ijtihad para ulama yang bersumber dari dalil-dalil yang syar’i.
Pemerintah memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk memilih waktu puasa dan hari rayanya, sehingga kalau dia berpuasa dan berhari raya tidak bersamaan waktunya dengan pemerintah, ini bukan termasuk bentuk ketidaktaatan kepada waliyul amr.
Kamis, Oktober 02, 2014
IKut Mekkah atau rukyah hilal negara masing - masing ?
Alghifari Smith
WUQUF DI ARAFAH ADALAH ACUAN.
Mufti Agung Al-Quds, Palestina, Syaikh Mohammed Hussein mengingatkan kaum Muslimin di seluruh dunia, bahwa Arab Saudi melalui kesaksian hilal, hendaknya diikuti negeri-negeri lainnya. Sebab kiblat dan pusat jamaah haji ada di tanah suci Mekkah al-Mukarramah.
“Sebab ini berkaitan dengan ibadah lainnya. Jumat (3/10) adalah Hari Arafah, di mana jutaan jamaah haji berkumpul di padang Arafah, maka umat Muslim lainnya yang tidak haji disunahkan puasa Arafah,” ujar Mufti Hussein.
Demikian pula, Sabtu di Mekkah dan tempat-tempat lainnya di seluruh dunia sama-sama melaksanakan Hari Raya Idul Adha 1435.
Mahkamah Agung Saudi Arabia meminta kaum Muslimin di seluruh dunia agar mengacu pada putusan Saudi Arabia sebagai kiblat yang memimpin jutaan umat Islam di seluruh dunia yang berhaji ke Tanah Suci.
“Berbeda dengan Idul Fitri yang memungkinkan perbedaan, tetapi ini Idul Adha, acuannya adalah jamaah haji di tanah suci Mekkah al-Mukarramah, umat Islam seluruh dunia merayakan Idul Adha pada saat yang sama dengan Arab Saudi,” bunyi pernyataan.
Di samping berkaitan dengan penampakan bulan (rukyatul hilal) tersebut, tentunya, yang paling pokok adalah saat jamaah haji seluruhnya melaksanakan wuquf di Arafah pada Jumat (3/10) nanti, sebagai puncak ibadah haji. Ini bisa disaksikan dari seluruh dunia.
Dalam rangka penyatuan penanggalan Kalender Dunia Islam, Organisasi Konferensi Islam (OKI) sebenarnya pernah membuat kesepakatan yang dikenal dengan Konvensi Istambul 1978. Konvensi Istambul adalah pertemuan Musyawarah Ahli Hisab dan Ru’yat di Istanbul, Turki tahun 1978 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 19 Negara Islam (termasuk Indonesia), ditambah dengan tiga Lembaga Kegiatan Masyarakat Islam di Timur Tengah dan Eropa.
Ada tiga kesepakatan terpenting Konvensi Istambul, yaitu pertama, sepakat satunya penanggalan bagi dunia Islam. Kedua, ru’yatul hilal (penglihatan bulan) suatu negara berlaku untuk semua negara. Ketiga, Mekkah Al-Mukarramah dijadikan sentral ru’yatul hilal dan pusat informasi ke seluruh negeri-negeri Islam.
Di tengah situasi global yang semakin mendewasakan umat Islam, semoga ukhuwah Islamiyah, persatuan dan kesatuan umat Islam, dapat terwujud di tengah perbedaan penetapan yang ada, khususnya dalam penetapan satu Ramadhan, 1 Dzulhijjah, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.
Terlepas dari perbedaan itu semua, kami hanya mengingatkan kepada Pihak Pemerintah RI, terutama Kementerian Agama, hendaknya memperhatikan acuan pelaksanaan ibadah haji adalah di tanah suci Mekkah al-Mukarramah, sebab ini berkaitan dengan ibadah-ibadah lainnya. Seperti saat wuquf di Arafah, Jumat nanti 9 Dzulhijjah (3/10), sehingga disebut Haji Akbar. Maka umat Islam di seluruh dunia lainnya, dianjurkan untuk melaksanakan puasa Arafah.
Esok harinya, Sabtu 10 Dzulhijjah berarti Hari Raya Idul Adha bagi umat Islam di seluruh dunia.
Jika kemudian Pemerintah RI melalui Kementerian Agama, yang dibacakan oleh Wamenag Nasaruddin Umar, menetapkan Idul Adha adalah Ahad (5/10), lalu mereka puasa Arafah berarti Sabtu (4/10). Yang menjadi tanda tanya sangat besar adalah puasa Arafah mengikuti Arafah yang mana? Padahal pula, Sabtu (4/10) itu kaum Muslimin di Mekkah al-Mukarramah dan di seluruh dunia, sedang melaksanakan shalat Idul Adha. Ini berarti, keputusan pemerintah tentang hari puasa Arafah yang jatuh pada Hari Raya adalah haram hukumnya. Kalau ini diikuti pula oleh jutaan umat Islam, maka berdosalah pemerintah dan umat Islam bila melaksanakan putusan itu.
Lalu, apakah keputusan sepenting itu dan menyangkut umat Islam mayoritas Indonesia tersebut, ditetapkan oleh Wakil Menag. Padahal Menteri Agama sebagai Amirul Haj Indonesia sedang berada di tanah suci Mekkah, mendengar sendiri dan menyaksikan sendiri ibadah haji di sana ?
Kami juga hanya mengingatkan kepada seluruh kaum Muslimin di manapun berada, hendaknya mengikuti haji di tanah suci sebagai acuan pelaksanaaan ibadah terkait, termasuk puasa Arafah dan penentuan Hari Raya Idul Adha 1435 tahun ini.
Bagi Pemerintah RI melalui Kemenag, masih terbuka perubahan keputusan buatan manusia, demi tanggung jawab di hadapan Allah dan tanggung jawab di hadapan jutaan umat Muslim Indonesia khususnya.
Dan kisruh seperti ini tidak akan ada ketika institusi pemersatu kaum muslimin, Khilafah Islamiyah 'alaa Minhaajin Nubuwwah telah tegak di tengah-tengah umat.

PUASA ARAFAH DAN IDUL ADHA, IKUT PEMERINTAH ATAU ARAB SAUDI?

Pendapat kedua: puasa Arafah mengikuti Arab Saudi, namun idul adha mengikuti pemerintah ?
Ini sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Utsman bin ‘Abdillah As-Salimi hafizhahullah, salah seorang ulama besar di Yaman, dan termasuk murid senior Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimauhllah. Dalam salah satu pelajaran yang disampaikan ba’da zhuhur tanggal 3 Dzulhijjah yang lalu, beliau ditanya:
Apakah kita beridul Adha (yakni mulai menyembelih hewan kurban) dengan mengikuti Arab Saudi, sementara kami di Maroko, meskipun hal ini menyelisihi dan mendahului waliyul amr (pemerintah), dan hal ini juga bisa menimbulkan fitnah sebagaimana yang anda ketahui?
Maka beliau menjawab:
Idul Adha wajib atas seluruh kaum muslimin untuk mengikuti negeri Al-Haramain (Arab Saudi), karena pelaksanaan ibadah haji berada di sana, sehingga yang dijadikan patokan adalah pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah (sesuai dengan yang di Arab Saudi), maka hendaknya kalian melaksanakan puasa hari Arafah ketika di negara Arab Saudi juga berpuasa, yaitu ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah.
Adapun waliyul amr (pemerintah), baik di Maroko maupun negeri yang lain, tidak boleh bagi mereka untuk menyelisihi umat Islam (yang berpatokan pada pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah di Saudi tersebut).
Namun apabila kalian khawatir terjadinya fitnah, jika kalian sanggup, maka hendaknya kalian menyembelih hewan kurban pada hari nahr secara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak mampu, maka pada hari keduanya tidak mengapa. Hari-hari penyembelihan itu banyak, yaitu hari nahr (10 Dzulhijjah), tanggal 11, tanggal 12, dan menurut pendapat yang benar adalah juga tanggal 13 sebagaimana yang dikatakan Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama yang lain.
Sehingga kalian boleh memilih, tidak mengapa bagi kalian untuk mengakhirkan dan mengikuti negeri kalian dalam menyembelih hewan kurban jika khawatir timbul fitnah. Wabillahit taufiq.
Akan tetapi hendaknya kalian tetap merasa bahwa hari Id (yang benar) adalah bersama dengan negeri Saudi Arabia. Semoga Allah memberikan taufik kepada kalian.
Adapun untuk shalat id, maka dilakukan pada hari kedua (dari hari nahr, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah) selama di negeri tersebut semuanya melaksanakan id bersama dengan pemerintah setempat, sehingga jika khawatir terjadi fitnah, maka boleh mengakhirkan shalat id pada hari kedua. Kaum muslimin di Indonesia -sebagaimana yang telah diumumkan sendiri oleh pemerintah-, diberi keleluasaan untuk memilih waktu puasa Arafah dan hari Id-nya, silakan mengikuti pemerintah atau boleh juga mengikuti Arab Saudi. Dari keterangan para ulama di atas, maka Insya Allah tidak mengapa bagi setiap muslim di negeri ini untuk menentukan waktu puasa dan hari rayanya sesuai dengan pendapat yang menurut dia lebih tepat (tentunya dalam memilih pendapatnya itu harus dengan didasari oleh ilmu, tanpa ada sikap taqlid, apalagi memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu diri dan kelompoknya), karena masing-masing pendapat tersebut berdasarkan ijtihad para ulama yang bersumber dari dalil-dalil yang syar’i.
Dan bagi yang mengikuti pendapat kedua, dia memiliki dasar:
* puasa arafah disesuaikan waktunya dengan waktu wukufnya jama’ah haji di arafah. Sesuai dengan namanya, bahwa puasa arafah adalah puasa yang dilakukan ketika jama’ah haji melakukan wukuf di arafah. Wallahu a’lam.
* pemerintah memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk memilih waktu puasa dan hari rayanya, sehingga kalau dia berpuasa dan berhari raya tidak bersamaan waktunya dengan pemerintah, ini bukan termasuk bentuk ketidaktaatan kepada waliyul amr.
* adapun untuk shalat id-nya, boleh bagi dia untuk melakukannya bersamaan dengan pemerintah karena biasanya mayoritas umat islam di negeri ini mengikuti pemerintah, sehingga jika dikhawatirkan timbul fitnah, tidak mengapa untuk melakukan shalat id sesuai dengan pemerintah negeri ini, berbeda dengan puasa yang itu merupakan amalan yang tidak nampak.
Wallahu a’lam bish shawab.
(sumber 
http://www.assalafy.org/mahad/?p=556)

http://dzulhijjah.wordpress.com/2014/09/25/puasa-arafah-dan-idul-adha-ikut-pemerintah-atau-arab-saudi/

Ada keanehan lagi mengikuti keanehan yang sudah ada, yaitu meski banyak yang puasa Arafah ikut ketetapan Pemerintah Saudi Arabia, yaitu hari Senin, ternyata ketika shalat Idul Adha tidak ikut. Sebaliknya, giliran shalat Idul Adha malah ikut ketetapan Pemerintah Indonesia, yaitu hari Rabu. Hehe, ternyata ada ketidak-konsistenan dalam bertaqlid. Padahal seharusnya kalau taqlidnya ikut Pemerintah Saudi Arabia, yaitu puasa Arafah hari Senin, maka shalat Idul Adha-nya harus hari Selasa, sesuai taqlidnya.
Sebab kalau shalatnya hari Rabu, sama saja shalat tanggal 11 Dzulhijjah. Dan kalau mau jujur, sebenarnya dengan cara begitu justru merupakan bid`ah yang nyata, karena sepanjang sejarah Rasulullah SAW tidak pernah shalat Idul Adha tanggal 11 Dzulhijjah. Kalau pun beliau pernah mengqadha` shalat Ied, karena memang beliau baru tahu setelah waktu shalat Ied terlewat.
Sedangkan yang satu ini, sejak awal sudah niat mau puasa Arafah hari Senin ikut Saudi, tapi mau shalat Ied hari Rabu. Padahal kan harusnya kalau mau shalat Ied hari Rabu, harus yakin bahwa hari Rabu adalah tanggal 10 Dzulhijjah, berarti puasa sunnahnya hari Selasa tanggal 9 Dzulhijjah.
Tapi ya inilah keanehan bangsaku, kelakuannya sering bertaqlid separo-separo. Orang Jawa bilang,"Ngono yo ngono ming ojo ngono".
Tapi menghadapi teman-teman yang model begini, saya sering jawab sambil ngejoke, prinsinya seperti hafalan si zaman SD dulu, Men Sana In Corpore Sano. Lu mau kesana gue mau kesono.
Maksudnya?
Ya, terserah lah. Namanya juga taqlid. Sesama tukang taqlid dilarang saling mendahului. Toh puasa Arafah cuma sunnah bukan wajib. Nggak puasa juga kagak nape-nape.
 Wallahu a`lambishshsawab

BOLEHKAH PUASA ARAFAH BERBEDA DENGAN WUKUF DI ARAFAH?

Oleh: KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi
Haram hukumnya Muslim berpuasa Arafah pada hari yang berbeda dengan waktu wukuf di Arafah. Inilah pendapat terkuat (rajih) dalam masalah ini berdasarkan dua dalil sebagai berikut :
Pertama, karena puasa hari Arafah yang berbeda dengan hari wukuf di Arafah telah menyimpang dari definisi syariah (al ta’rif al syar’i) untuk puasa hari Arafah. Imam Badruddin Al ‘Aini menjelaskan bahwa “hari Arafah” (yauma ‘Arafah) menunjukkan waktu (al zamaan) dan tempat (al makaan) sekaligus. Dari segi waktu, hari Arafah adalah hari ke-9 bulan Dzulhijjah. Sedang dari segi tempat, hari Arafah adalah hari di mana para jamaah haji berwukuf di Arafah. (Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari, syarah hadits no. 603, 5/339; Ibnu Qudamah, Al Mughni, 5/44).
Jadi, definisi syar’i untuk “hari Arafah” (yauma ‘Arafah) adalah hari yang para jamaah haji berwukuf di Arafah (al yaumu alladzi yaqifu fiihi al hajiij bi-‘arafah). Definisi inilah yang dianggap kuat (rajih)oleh Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta (Dewan Tetap untuk Pengkajian Ilmiah dan Fatwa Saudi) di bawah pimpinan Syeikh Abdul Aziz bin Baz, juga oleh Lajnah Al Ifta` Al Mashriyyah (Dewan Fatwa Mesir), Syeikh Hisamuddin ‘Ifanah dari Yordania, Syeikh Abdurrahman As Sahiim, dan lain-lain. (Abu Muhammad bin Khalil, An Nuur As Saathi’ min Ufuq Al Thawaali’ fi Tahdiid Yaumi ‘Arafah Idzaa Ikhtalafal Mathaali’, hlm. 3).
Definisi tersebut didasarkan pada beberapa dalil hadis. Di antaranya sabda Rasulullah , ”Arafah adalah hari yang kamu kenal.” (’arafah yauma ta’rifuun). (HR. Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 5/176, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’, no 4224).
Maka dari itu, jika seorang Muslim berpuasa Arafah pada hari yang dianggapnya tanggal 9 Dzulhijjah, namun bukan hari wukuf di Arafah, misalnya berpuasa satu hari sebelumnya maupun sesudahnya, berarti dia telah menyalahi hukum syariah.
Padahal Islam telah melarang seorang Muslim untuk melakukan amal yang menyalahi hukum syariah, berdasarkan dalil umum dari sabda Rasulullah , ”Barangsiapa melakukan suatu perbuatan (‘amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak.” (HR. Bukhari no 2550; Muslim no 1718).
Kedua, karena berpuasa Arafah secara berbeda dengan waktu wukuf di Arafah telah menyalahi patokan wajib untuk menentukan Idul Adha dan rangkaian manasik haji di bulan Dzulhijjah, yaitu rukyatul hilal yang dilakukan oleh Wali Mekkah (penguasa Mekah). Dengan kata lain, patokannya bukanlah hisab, dan juga bukan rukyatul hilal di masing-masing negeri Islam berdasarkan prinsip ikhtilaful mathali’ (perbedaan mathla’).
Yang lebih tepat, perbedaan mathla’ tidak dapat dijadikan patokan (laa ‘ibrata bikhtilaf al mathali’), karena telah terdapat dalil khusus yang menunjukkan bahwa penentuan Idul Adha, termasuk waktu manasik haji seperti wukuf di Arafah, wajib mengikuti rukyatul hilal Wali Mekah, bukan yang lain. Barulah kemudian jika Wali Mekah tidak berhasil merukyat hilal, Wali Mekah mengamalkan rukyat dari negeri-negeri Islam di luar Mekah.
Dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali رضي الله عنه dari Jadilah Qais, dia berkata, “Amir (penguasa) Mekah berkhutbah kemudian dia berkata, ”Rasulullah telah berpesan kepada kita agar kita menjalankan manasik haji berdasarkan rukyat. Lalu jika kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR. Abu Dawud, hadis no 2340. Imam Daruquthni berkata, "Hadis ini isnadnya muttashil dan shahih.” Lihat Sunan Ad Daruquthni, 2/267. Syeikh Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud(2/54) berkata, ”Hadis ini shahih.”).
Hadis ini menunjukkan bahwa yang mempunyai otoritas menetapkan hari-hari manasik haji, seperti hari Arafah dan Idul Adha, adalah Amir Mekah (penguasa Mekah), bukan yang lain. Maka berpuasa Arafah secara berbeda dengan hari Arafah karena mengikuti rukyat masing-masing negeri Islam, haram hukumnya, karena telah meninggalkan patokan wajib yang ditetapkan Rasulullah , yaitu rukyatul hilal penguasa Mekah. Wallahu a’lam.
"Barangsiapa mengajak kepada petunjuk, niscaya ia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun." (HR. Muslim)

Benarkah Masalah Khilafiyah Tidak Perlu Diingkari?

Seorang ulama yang alim dan zuhud, akan hati-hati dalam mengeluarkan pendapat. Dalam benak pikiran/ persepsinya, hanya ada ketakutan/khauf kepada Allah Azza wa Jalla dalam mengeluarkan pendapat. Dalam pemaparan dibawah ini hanya ada satu pendapat yang benar !! bukan dan jangan ditarik-tarik kemasalah khilafiyah !! rujukan dan keputusan ulil amri tergantung ke ilmuan dan kezuhudan ulama yang memberi masukan !! jadi tidak absolute dan masih bisa dikoreksi . masalah sepenting ini jangan dianggap remeh/sepele.
Masalah yang sudah ada nash (dalil tegas) dari Al Qur’an, hadits dan tidak bisa ditentang, juga terdapat pendukung dari ijma’ (kesepakatan para ulama). Jika dalam masalah ini ada orang yang berpendapat keliru yang datang belakangan dan menyelisihi ijma’ atau menyelisihi qiyas jalii, maka masalah semacam ini boleh diingkari karena menyelisihi dalil.
Ibnu Taimiyah berkata, “Masalah ijtihadiyah seperti ini tidak boleh diingkari dengan tangan. Dan tidak boleh seorang pun memaksa untuk mengikuti pendapatnya. Akan tetapi yang dilakukan adalah sampaikanlah hujjah dengan alasan ilmiah. Jika telah terang salah satu dari dua pendapat yang diperselisihkan, ikutilah. Namun untuk pendapat yang lain tidak perlu diingkari (dengan keras).” (Majmu’ Al Fatawa, 30: 80)
Bahkan ulama dahulu hingga saat ini telah membahas masalah ijtihadiyah semacam ini. Jika telah jelas manakah pendapat yang benar, maka hendaklah kita rujuk padanya.” (Fatawa Al Islam Sual wal Jawab no. 70491)
Penjelasan Para Ulama
Ibnu Taimiyah berkata, “Jika ada yang mengatakan bahwa masalah khilaf tidak perlu diingkari, maka itu tidaklah benar jika melihat dari sisi ucapan yang dihukumi atau amalan. Jika ada ucapan yang menyelisihi ajaran Rasul atau menyelisihi ijma’ (kesepakatan para ulama), maka wajib mengingkarinya. Jika masalah tersebut tidak disepakati, maka boleh mengingkari untuk menjelaskan bahwa pendapat tersebut lemah dan menyebutkan pendapat yang benar dari ulama salaf atau para fuqoha’.
Imam Malik berkata,
لَيْسَ لِلْفَقِيهِ أَنْ يَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى مَذْهَبِهِ
“Tidak boleh bagi seorang faqih (yang berilmu) mengajak manusia pada madzhabnya.”  (Majmu’ Al Fatawa, 30: 80). Namun ajaklah untuk mengikuti dalil.
Mari kita bahas masalah khilafiyah (??) terkait " waktu Puasa Arofah " . Kita bandingkan pendapat/paparan Abu Al-Jauza/ Agus Hasan Bashori Lc., M.Ag dan lain-lain dengan pendapat Firanda/serupa dengannya. Silahkan komentari dan kasih masukan secara tertulis dengan dalil yang jelas. Masalah ini tetap belum selesai, sebab karena kejahilannya, seorang pengurus MUI memfitnah Ustadz A Hakim Amir Abdat terkait kebenaran yang beliau yakini. Si oknum MUI kebetulan punya tendensi dendam terkait “penyimpangan manhajnya”. Kalau Ustadz2 alim dan zuhud membenarkan dan yakin dengan pendapat Abul Al-Jauza/yang sependapat dengannya, mari kita ajukan ke Ulil Amri, agar tahun ini  keputusan sidang isbat dikoreksi. Tulisan Abul Al-Jauza terbaru (oktober 2014) masih menunggu comment berikutnya. Mari kita cermati.  Kita menyadari bahwa ini masalah khilafiyyah, sampai kapanpun tetap ada khilaf ini, namun demikian kita perlu membahasnya secara ilmiah, agar kita bisa mengamalkan atas dasar ilmu. Silahkan komentari tulisan ini setelah membacanya dengan tuntas, memahami serta tidak overlapping dengan komentar yang ada pada tulisan dibawah ini. Jika argument yang kita pegang selama ini lemah, semata karena masalah eksistensi/harga diri, harus berani merubahnya. Insya Allah.
[admin lamurkha]

Hasil gambar untuk maklumat dewan dakwah islamiyah indonesia idul adha 2018

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●