COMMENTS
(1).
COMMENTS
(2).
COMMENTS
(3).
●Puasa Arafah Mengikut Imam Ustaz Murad Said
[singapura]:
22 Komentar
COMMENTS
(4).
●Al-Imam Ibnu Utsaimin :Shaum Arafah Tidak
Mengikuti Saudi
COMMENTS
(5).
●Kapankah Waktu Puasa Arafah? (Oleh: Al-Ustadz
Abdul Hakim bin Amir Abdat)
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
COMMENTS (1).
Abduh mengatakan...
Assalamu'alaikum wa rahmatullah wa
barakatuh,
Semoga Allah senantiasa memberkahi ilmu
antum.
Sedikit tanggapan dari ana.
1. Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
berpendapat:
Permasalahan ini adalah turunan dari
perselisihan ulama apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah
berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah.
2. Kalau di Saudi wukuf lebih dahulu
daripada tanggal 9 Dzulhijah di negeri ini, berarti kalau kita puasa Arofah
ikut Saudi, nantinya akan ada selang satu hari yang kosong. Lantas hari
tersebut disebut hari apa? Padahal hari rayanya masih besoknya lagi.
3. Jika demikian, mengapa hari raya Idul
Adha tidak lebih dulu sama dengan Saudi?
4. Apakah ada praktek dari para salaf,
kalau puasa Arofah ikut wukuf di Arofah sedangkan Idul Adha ikut di negeri
masing2?
Ada artikel sebagai pertimbangan:
http://rumaysho.com/hukum-islam/puasa/2782-mestikah-puasa-arofah-ikut-wukuf-di-arofah.html
Mohon tanggapannya Ustadz. Semoga Allah
senantiasa menjaga antum.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumsalam warahmatullaahi
wabarakatuh
Terima kasih atas tanggapannya akh.
Memang benar, Asy-Syaikh Ibnu 'utsaimin rahimahullah berpendapat bahwa dalam
permasalahan ini tidak harus mengikuti haji akbar di tanah haram. Begitu juga
sebagian masyaikh Saudi lainnya.
Sebenarnya bila dicermati tulisan di
atas, saya tidak sedang menguatkan pendapat 'Iedul-Adlhaa (Yaumun-Nahar) sesuai
dengan negeri masing-masing. Namun ia tetap mengikuti ibadah haji yang ada di
tanah haram. Oleh karena itu, tidak ada hari yang 'kosong' di sini.
Para ulama telah menjelaskan bahwa puasa
'Arafah, menyembelih hewan kurban, dan 'Iedul-Adlhaa dilakukan sebagai bentuk
solidaritas kaum muslimin terhadap para hujjaj dengan mengikuti/menyesuaikan
pelaksanaan haji di tanah haram.
wallaahu a'lam.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Komentar di atas adalah ralat dari
komentar sebelumnya (yang sudah dihapus). Sebelumnya tertulis :
"Para ulama telah menjelaskan bahwa
puasa 'Arafah, menyembelih hewan kurban, dan 'Iedul-Fithridilakukan
sebagai bentuk solidaritas kaum muslimin terhadap para hujjaj...".
Yang dimaksud adalah :
"'Iedul-Adlhaa" - sebagaimana komentar di atas.
Anonim mengatakan...
Assalamu'alaikum ustadz.
Bagaimana Jika ada yang berpendapat puasa
arafah adalah ikut wukufnya jama'ah haji di arafah sementara, iedul adha tetap
mengikuti negaranya masing 2 dan ia berdalil dari hadits yang diriwayatkan Imam
at Tirmidzi : "puasalah kamu pada hari kalian berpuasa dan berbukalah kamu
pada hari kalian berbuka dan berqurban ( berldul Adha ) itu adalah pada hari
kalian berqurban." afwan ustadz ana belum tahu di hadits hadits nomor
berapa dan derajat bagaimana.
Jazakallahu khoiron.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumsalam warahmatullaahi
wabarakatuh...
Dalam hal ini (minimal untuk sementara
ini), .... saya mengikuti pentarjihan ulama yang berpendapat bahwa pelaksanaan
puasa 'Arafah dan 'Iedul-Adlhaa disesuaikan dengan pelaksanaan haji
di Makkah. Hal itu sebagaimana penjelasan Syaikhul-Islaam dan Ibnu Rajab
Al-Hanbaliy pada catatan nomor 3.
Wallaahu a'laam.
abu abdissalam mengatakan...
Assalamu'alaikum ustadz,
Mau tanya, ana membayangkan di zaman dulu
ketika belum ada media massa, belum ada TV, radio, internet, dll. Sedangkan
negeri Islam sudah meluas kemana-mana. Lalu bagaimana sebuah negeri yang
terletak beribu-ribu mil dari Mekkah mengetahui kapan pelaksanaan wuquf di
arafah. Sedangkan seperti yang ana bilang tadi, tidak ada media massa. Hal ini
juga dikaitkan dengan idul fitri.
Syukron atas jawabannya.
Barakallohu fik
Wassalamu'alaikum
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Allah ta'ala berfirman :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
"Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya" (QS. Al-Baqarah : 286).
Apa yang disebutkan di atas merupakan
hukum asal bagi setiap orang yang mampu mengetahui khabar nampaknya
hilal di Makkah atau pelaksanaan wuquf di 'Arafah. Dapat kita lihat bahwasannya
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan amir kota Makkah untuk
melihat hilal yang kemudian hilal itu dirujuk oleh kaum muslimin yang lain
termasuk di Madinah.
Jarak ribuan kilometer beberapa negeri
Islam dan arus informasi yang tidak secepat sekarang menyebabkan para ulama
berijtihad dalam hal ini. Ini semua dikarenakan 'udzur atas sesuatu yang
sifatnya dlaruriy. 'Tidak mungkin' kan kaum muslimin tidak melaksanakan puasa
'Arafah, shalat 'Ied, dan menyembelih kurban dengan alasan tidak mengetahui
informasi yang ada di negeri Makkah. Salah satunya mereka (para ulama)
berijtihad berdasarkan hilal di masing-masing tempat.
Hukum ini tentu saja mengikuti illat
pengetahuan atas khabar yang sampai kepada mereka tentang kenampakan hilal
penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di 'Arafah.
Nah, untuk waktu sekarang dimana sarana
komunikasi sudah sedemikian canggihnya, bukan hal yang susah bagi kita untuk
mengetahui hilal penduduk Makkah/Saudi atau pelaksanaan wuquf di 'Arafah.
Wallaahu a'lam.
Anton mengatakan...
Assalamu`alaikum
Menurut ana(maaf Ustadz) pendapat terkuat
adalah mengikuti Saudi mungkin ustadz(maaf)lupa bukankah tentang pengertian
Hari Arafah sendiri yaitu ‘Arafah kalian adalah di hari kalian melakukan wuquf
di ‘Arafah” ,padahal saat mereka sedang wukuf Arafah maka selainnya dianjurkan
berpuasa saat itu kan. Demikian pendapat terkuat yang ana pegang samapai saat
ini. Walaupun demikian ana hargai pendapat Ustadz. Jazakallah.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.
Coba pak Anton baca lebih pelan-pelan
lagi tentang apa yang ditarjih dalam artikel ini.....
Baarakallaahu fiik.
The True
Ideas mengatakan...
ustadz, tahun 1431H ini, nampaknya di
negeri kita akan berbeda dengan Saudi, karena Menag menetapkan Idul Adha
tanggal 17 November,
yang ingin ana tanyakan yakni, salah satu
ormas yang ada -Muhammadiyah-- jauh-jauh hari sudah menetapkan bahwa Idul Adha
akan jatuh pada 16 November 2010, sebelum Saudi mengumumkan masuk tanggal 1
Dzulhijjah, pertanyaannya adalah, apakah sama kemudian antara yang merayakan
Idul Adha lantaran mengikuti perayaan haji (dengan rukyatnya Saudi) dengan yang
mengikuti pendapat ormas ini?
jazakallah khaira untuk jawabannya
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
tidak sama.
Abu mengatakan...
Ustadz, kalau kita mengikuti Saudi
sementara di negeri kita berbeda, bukankah ini berarti kita tidak mengikuti
penguasa?
Ini ada kutipan dari penjelasan Syaikh
Utsaimin di website nya Ustadz Muhammad Abduh ttg wajibnya mengikuti penguasa
dalam masalah khilafiyah seperti ini :
"Akan tetapi yang perlu jadi
perhatian, jika dua negeri yang sama dalam matholi’ (tempat terbitnya hilal),
telah diputuskan oleh masing-masing penguasa untuk mulai puasa atau berhari
raya, maka wajib mengikuti keputusan penguasa di negeri masing-masing. Masalah
ini adalah masalah khilafiyah, sehingga keputusan penguasalah yang akan
menyelesaikan perselisihan yang ada.
Berdasarkan hal ini, hendaklah kalian
berpuasa dan berhari raya sebagaimana puasa dan hari raya yang dilakukan di
negeri kalian (yaitu mengikuti keputusan penguasa). Meskipun memulai puasa atau
berpuasa berbeda dengan negeri lainnya. Begitu pula dalam masalah puasa Arofah,
hendaklah kalian mengikuti penentuan hilal di negeri kalian."
Bagaimana menurut Ustadz ?
Syukron
Abu Raihan
Ayazka mengatakan...
Ustadz ... jadi untuk tahun ini puasa
Arafahnya hari Senin atau Selasa? Jzkl
Iwana Nashaya mengatakan...
Sebagaimana Ustadz Abu Al-Jauzaa', ana
juga ngikut penetapan dari Saudi.
-----------------------
'Afwan, berikut ini ana copas-kan sedikit
ilmu yang pernah ana baca (barangkali bermanfaat).
1. MATHLA’
Istilah perbedaan mathla’ menunjukkan
tempat terbit dan terbenamnya matahari, bintang, bulan, fajar di suatu tempat,
yang mendahului tempat yang lain atau sebaliknya.
Para mujtahid madzhab Syafi’i (Catatan:
Mujtahid Madzhab adalah Mujtahid yang berjihad dengan menggunakan metode imam
madzhabnya) telah menentukan adanya kesamaan mathla’ bagi daerah-daerah yang
berada dalam radius 120 km (tanpa memperhatikan garis bujur dan lintang
daerah-daerah tersebut) sekaligus perbedaan mathla’ bagi tempat-tempat yang jaraknya
lebih dari 120 km. Pendapat ini tidak disandarkan pada nash, melainkan
diqiyaskan dengan pendapat Imam Syafi’i dalam batasan jarak bolehnya
meng-qashar shalat bagi musafir.
Pada faktanya, sebenarnya perbedaan waktu
hanya terjadi pada tempat-tempat yang berbeda garis bujurnya, yaitu
tempat-tempat yang berada sepanjang garis timur ke barat. Sedangkan untuk
daerah-daerah yang memiliki garis bujur sama atau berdekatan, memiliki waktu
yang sama (berpeluang untuk menyaksikan terbitnya matahari atau bulan pada saat
yang bersamaan), sekalipun jarak mereka lebih dari 120 km. (please, review
pembagian daerah waktu di peta!).
Sebagai contoh, kita perhatikan antara
kota Perth, Ujung Pandang dan Manila. Demikian juga antara kota Istambul,
Cairo, Cape Town (ujung selatan Benua Afrika). Ketiga kota ini berada pada
garis bujur yang berdekatan, namun perbedaan jaraknya mencapai ribuan km. Dan
kalau di peta kita bisa lihat, ternyata mereka memiliki daerah waktu yang sama
(+8 jam dan +2 jam dari GMT). Artinya mereka memiliki kesamaan tempat terbitnya
matahari dan bulan.
Dengan kata lain, sangat mungkin
negeri-negeri yang memiliki garis bujur yang sama atau berdekatan melakukan
ru’yatul hilal pada saat yang bersamaan, sekalipun jarak mereka berjauhan.
Negeri-negeri seperti Tanzania, Kenya, Ethiopia, Saudi Arabia, Iraq, dan Yaman
semuanya terletak antara 300 BT - 400 BT, sangat mungkin melakukan ru’yat
bersama-sama selama cuacanya cerah, sebagaimana halnya juga dengan Indonesia,
Malaysia, Brunei darussalam, dan singapura yang berada pada garis bujur yang
berdekatan.
Sementara itu, menentukan dan menaksir
perbedaan waktu dengan perbedaan jarak menghasilkan waktu 4 menit (lebih
sedikit) untuk setiap perbedaan berjarak 120 km (untuk beda letak bujur = 10).
Pada faktanya perbedaan waktu 4 menit ini (jarak 120 km) tidak berpengaruh
sedikitpun dalam penentuan hari dan tanggal, bukan? Jadi, pertanyaannya…
bagaimana mungkin kita menjadikannya sebagai tolok ukur dalam menentukan
perbedaan hari untuk shaum ataupum ‘Ied?
Apabila kita menjelaskan istilah kesatuan
mathla’ terhadap daerah-daerah yang dapat melihat bulan di saat yang bersamaan,
maka hal ini menyerupai kesatuan mathla’ untuk matahari. Daerah-daerah yang
memiliki waktu yang sama pada saat matahari terbit pada umumnya berada
sepanjang garis utara ke selatan (mempunyai bujur yang sama). Sedangkan
daerah-daerah yang berada sepanjang garis timur ke barat, inilah sebenarnya
yang berada dari segi mathla’. Oleh karena itu tidak jadi masalah apakah jarak
suatu negeri berjauhan ataukah berdekatan, selama terletak pada garis bujur
yang sama, ia dikatakan memiliki mathla’ yang sama.
Kesimpulan: Oleh karena itu, pendapat
Syafi’iyah tentang penetapan mathla’ berdasarkan radius (memperhitungkan beda
garis bujur dan lintangnya) bertentangan dengan fakta astronomis tentang
mathla’ itu sendiri.
BERSAMBUNG
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
@pak Abu,.... begitulah memang fatwa
Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah. Dan saya rasa, saya sudah menanggapi
apa yang ditulis akh Abduh dimaksud. Lihat perkataan beliau nya di komen no. 1.
Artikel di atas sebenarnya juga telah tersirat respon saya atas hal tersebut.
Wal-'ilmu 'indallaah.......
@pak Ayazka, puasa 'Arafahnya pada waktu
jama'ah haji wuquf di 'Arafah ...
umm asiyah mengatakan...
ustadz, misalnya wukuf di arafah tgl 18
november, lalu pemerintah indonesia menetapkan hari idul adha adalah 17
november, apa yang paling tepat kita lakukan? jazakallohu khayran
Ayazka mengatakan...
Ustadz ... kalo puasa 'Arafahnya pada
waktu jama'ah haji wuquf di 'Arafah, maka disini waktunya adalah mulai Senin
sore hingga pagi hari. Pertanyaan saya kan simple, kita puasanya hari Senin
atau Selasa?
Jzkl
afwan ustadz, ana masih bingung dalam
penetapan harinya..
misal saudi sore ini menetapkan besok
tanggal 9 dzulhijjah, berarti kan kita mundur 20 jam??? atau kita duluan 4
jam??? jadi kita duluan 4 jam dari penetapan/pelaksanaan di saudi... atau kita
mundur (saudi dulu) baru setelah 20 jam (berarti hari esoknya) kita
melaksanakannya???
afwan ustadz ana masih bingung(semoga ini
bukan pertanyaan yang dibenci)
syukron, jazaakumulloohu khoiro
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
@pak Ayazka dan pak anonim,....sebenarnya
perkaranya sangat mudah (tapi entah kok menjadi seakan-akan rumit sekali).
Pemerintah Saudi menetapkan 'Iedul Adlhaa tanggal 16 Nopember 2010, yang
bertepatan dengan hari Selasa. Artinya, wuquf 'Arafahnya hari Senin. Kita pun
mengikutinya pada hari Senin juga. Hari Senin Indonesia dan Saudi sama. Selisih
waktu kita dengan Saudi adalah 4 jam.
Wallaahu a'lam bish-shawwaab.
Sa'ad mengatakan...
Terkait bagian ini
"..2. Dalam nash-nash tidak pernah
disebutkan puasa di hari kesembilan, namun hanya disebutkan puasa ‘Arafah.
Berbeda halnya dengan puasa ‘Aasyuura yang disebutkan tanggalnya secara
spesifik ..."
Ana minta tolong antum untuk mengecek
sanad hadits berikut:
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ
حَدَّثَنَا الْحُرُّ بْنُ الصَّيَّاحِ عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ
امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَتْ
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ
أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنْ الشَّهْرِ وَخَمِيسَيْنِ
Telah menceritakan kepada kami [Affan]
telah menceritakan kepada kami [Abu Awanah] telah menceritakan kepada kami [Al
Hurru bin Ashshayyah] dari [Hunaidah bin Khalid] dari [isterinya] dari
[sebagian isteri Nabi shallaallahu 'alaihi wa sallam] berkata; "Rasulullah
shallaallahu 'alaihi wa sallam berpuasa pada hari ke sembilan bulan dzulhijjah,
pada hari asyura, dan tiga hari setiap bulan, yaitu hari senin pada pekan pekan
pertama dan dua hari kamis pada pekan setelah nya." (Musnad Ahmad No.
25263)
Apakah statusnya dlo'if karena majhul-nya
istri Hunaidah bin Khalid ?
Jazakallohu khoyr ...
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
sebenarnya permasalahan utamanya bukan
istri Hunaidah - walau itu masuk dalam masalah. ya benar, istri Hunaidah ini
mubham nggak disebutkan namanya. para ulama berbeda pendapat dalam hadits tersebut.
syaikh al-albaniy menshahihkannya dalam shahih sunan abi dawud. namun ulama
lain mendla'ifkannya seperti syaikh al-arna'uth dan yang lainnya. para ulama
mengatakan sebab kedla'ifannya setidaknya ada dua faktor :
1. perselisihan status kebershahabatannya.
2. perselisihan dalam sanad dan matannya.
apapun penghukumannya, maka itu tidak ada
kaitannya dengan puasa 'Arafah secara khusus (pada point 2 yang antum
maksudkan). Sebab, makna kalimat يصوم تسع ذي
الحجة adalah berpuasa sembilan hari (pertama) pada bulan
Dzulhijjah.
wallahu ta'ala a'lam.
bayu mengatakan...
ada satu yg mengganjal ustadz
back to jaman para sahabat dlu. islam
menyebar ke seluruh dunia. nah, dlu belum ada alat komunikasi canggih. lantas
bagaimana suatu negeri bisa mengetahui bahwa di arab sana telah dimulai ibadah
haji?
lebih jauh, bagaimana suatu negeri yang
jauh dari arab mengambil patokan waktu utk menentukan awal ibadah haji?
bayu mengatakan...
ternyata pertanyaan saya udah ada di
komentar sebelumnya dan udah dijawab pula. ga usah ditampilkan aja ya ustadz
^_^
abifasya mengatakan...
subhnallah ustadz tulisan yang luar
biasa, izin COPAS
ayahzaid mengatakan...
Perbedaan pendapat dalam hal ini apakah
sudah terjadi sejak zaman salaf? Atau perbedaan pendapat ini jika ditarik ke
belakang paling jauh sampai mana? Apakah sampai jaman imam mazhab atau bahkan
sampai ke era salafussalih.
Apakah dalam hal ini diperbolehkan tabdi'
atas pendapat yang berbeda dengan yg kita pahami?
Sa'ad mengatakan...
1. "Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...on
10 November 2010 23.35
........
apapun penghukumannya, maka itu tidak ada
kaitannya dengan puasa 'Arafah secara khusus (pada point 2 yang antum
maksudkan). Sebab, makna kalimat يصوم تسع ذي
الحجة adalah berpuasa sembilan hari (pertama) pada bulan
Dzulhijjah.."
Kalau begitu, bagaimana lafadz dalam
bahasa Arab untuk menyebut "hari/tanggal kesembilan Dzulhijjah" ?
2. "Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
on 4 November 2010 10.56 ..Allah ta'ala berfirman :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
"Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya" (QS. Al-Baqarah : 286).
Apa yang disebutkan di atas merupakan
hukum asal bagi setiap orang yang mampu mengetahui khabar nampaknya hilal di
Makkah atau pelaksanaan wuquf di 'Arafah. Dapat kita lihat bahwasannya Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan amir kota Makkah untuk melihat
hilal yang kemudian hilal itu dirujuk oleh kaum muslimin yang lain termasuk di
Madinah.
Jarak ribuan kilometer beberapa negeri
Islam dan arus informasi yang tidak secepat sekarang menyebabkan para ulama
berijtihad dalam hal ini. Ini semua dikarenakan 'udzur atas sesuatu yang
sifatnya dlaruriy. 'Tidak mungkin' kan kaum muslimin tidak melaksanakan puasa
'Arafah, shalat 'Ied, dan menyembelih kurban dengan alasan tidak mengetahui
informasi yang ada di negeri Makkah. Salah satunya mereka (para ulama)
berijtihad berdasarkan hilal di masing-masing tempat.
Hukum ini tentu saja mengikuti illat
pengetahuan atas khabar yang sampai kepada mereka tentang kenampakan hilal
penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di 'Arafah...."
'Afwan, apakah suatu hukum syar'i itu
bisa berubah mengikuti perkembangan teknologi. Misalnya -senada dengan
penjelasan antum di atas-, mengenai arah kiblat. Di zaman sekarang sudah
ditemukan teknologi GPS dan astronomi yang lebih canggih sehingga posisi arah
kiblat Indonesia yang dulu ke arah barat, sekarang digeser-geser miring ke arah
barat laut (sebagaimana fatwa MUI yang meralat fatwanya yang lama tentang arah
kiblat).
Ataukah kita tetap mengikuti hadits:
"Antara timur dan barat adalah
kiblat." ?
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
1. Dalam bahasa 'Arab, kesembilah itu
dilafadhkan dengan taasi'(التاسع).
2. Saya sebenarnya tidak paham-paham
benar dengan yang antum maksudkan. Kita tentu telah paham makna kiblat. Cuma,
orang akan berbeda-beda caranya dalam menentukan arah kiblatnya. Ada yang
dengan metode bertanya, memakai kompas, memakai GPS, dan yang lainnya. Itu
semua tidak mengubah konteks hukum syar'iy. Dengan cara apapun - dan syari'at
tidak membatasi metodenya - shalat ya tetap harus menghadap kiblat.
Dan untuk korelasi dengan bahasan di
artikel ini, mohon maaf, sekali lagi, saya kurang begitu paham dengan maksud
antum.
Sa'ad mengatakan...
'Afwan jika gaya bahasa ana kurang bisa
dipahami.
Intinya, antum menjelaskan kalau
penentuan arafah dan idul adha daerah yang jauh dari Mekkah pada zaman dulu
ditentukan oleh ijtihad penguasa/'ulama' karena tidak sampainya informasi
pelaksanaan wuquf di arafah ke negeri mereka (dikarenakan jauhnya). Dan hal ini
dimaklumi karena terbatasnya sarana informasi pada waktu itu.
"..Jarak ribuan kilometer beberapa
negeri Islam dan arus informasi yang tidak secepat sekarang menyebabkan para
ulama berijtihad dalam hal ini (yakni penentuan puasa arafah dan hari raya idul
adha).." >> silahkan dilihat komentar antum pada 4 November 2010
10.56 sebagai jawaban atas akhi Abu Abdisalam. Mohon dikoreksi bila pemahaman
ana keliru.
Nah, terkait dg pernyataan di atas : arah
kiblat Indonesia dulu yang dikenal adalah menghadap ke barat (karena posisi
Indonesia yg secara umum berada di timur Mekkah dan terbatasnya alat untuk
menentukan arah kiblat dengan akurat).
Namun seiring ditemukannya teknologi GPS
dll (yang baru ada beberapa dekade terakhir), ada beberapa kaum muslimin yang menyerukan
perombakan arah kiblat karena ternyata arah kiblat Indonesia selama ini tidak
pas menghadap ke Ka'bah. Hal ini berakibat beberapa masjid mempunyai arah
kiblat yang miring, tidak sesuai bangunan masjid.
Yang ana tangkap, penentuan suatu hukum
syar'i (d.h.i arah kiblat) bisa berubah seiring ditemukannya kemajuan
teknologi, sebagaimana penjelasan antum:
"...Hukum ini tentu saja mengikuti
illat pengetahuan atas khabar yang sampai kepada mereka tentang kenampakan
hilal penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di 'Arafah.
Nah, untuk waktu sekarang dimana sarana
komunikasi sudah sedemikian canggihnya, bukan hal yang susah bagi kita untuk
mengetahui hilal penduduk Makkah/Saudi atau pelaksanaan wuquf di
'Arafah..."
Maka ana ingin mengetahui: Apakah penetapan
suatu hukum syar'i itu bisa berubah menyesuaikan dengan penemuan dalam
teknologi ?
Dulu : sarana informasi terbatas, maka
dimaklumi bila penentuan arafah dan idul adha berbeda dengan Saudi
Sekarang : sarana informasi sudah
canggih, maka arafah dan idul adha harus sesuai dengan Saudi
sebagaimana dulu: arah kiblat cukup
menghadap ke barat, karena terbatasnya sarana pencari arah
sekarang : arah kiblat harus diusahakan
"selurus mungkin" (walau tidak benar2 pas) dengan Ka'bah, karena
sudah ada teknologi GPS
(Untuk yang masalah arah kiblat, ana
pribadi sampai sekarang lebih memilih untuk menghadap ke barat secara biasa
seperti dulu, sebagaimana sabda Nabi: "Antara timur dan barat adalah
kiblat". Tidak perlu memiring-miringkan arah kiblat)
Sekali lagi 'afwan bila gaya bahasa ana
membingungkan antum. Syukron jiddan untuk tanggapannya
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Tidak ada perubahan dalam masalah
syari'at, appaun teknologinya. Terkait dalam masalah kiblat, teknologi yang ada
hanya MEMBANTU untuk melihat akurasi arah kiblat. Fungsinya sebenarnya tidak
lebih dari kompas ataupun bintang.
Tentang masalah 'Ied, ya beda lah
kasusnya. Saya copas-kan lagi :
Hukum ini tentu saja mengikuti illat
pengetahuan atas khabar yang sampai kepada mereka tentang kenampakan hilal
penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di 'Arafah.
Hukum asalnya adalah mengikuti Makkah.
Ketika ada seseorang tidak mengetahui kapan waktu wuquf di 'Arafah, maka di
situ ia mempunyai 'udzur sehingga diperbolehkan berijtihad menurut
kemampuannya.
Kasus lain : Ketika kita berada di tengah
hutan seorang diri yang ketika itu hari mendung. Sementara waktu itu kita ingin
melaksnaakan shalat. Kita tidak punya kompas, GPS, atau yang semisal untuk
menentukan arah kiblat. Nah, pada waktu itu kita boleh berijtihad dengan
memakai akal kita untuk menentukan arah kiblat dengan melihat tanda-tanda alam
yang ada. Ini boleh kita lakukan karena ada sebab karena tidak
sampainya pada kita ilmu tentang arah kiblat secara pasti.
Begitu juga dengan penentuan waktu
'Arafah di negeri-negeri yang jauh letaknya dari Makkah yang tidak sampai pada
mereka khabar.
Wallaahu ta'ala a'lam.
Sa'ad mengatakan...
Jazakallohu khoyron akhi buat
penjelasannya.
Semoga Allah memberkahi ilmu antum dan
memperbanyak orang-orang seperti antum di seluruh penjuru bumi.
Sayang diskusi antum dengan akhi Abu
Umair As-Sundawy di
http://salafyitb.wordpress.com/2007/01/24/al-imam-ibnu-utsaimin-shaum-arafah-tidak-mengikuti-saudi/
tidak berlanjut.
Ana banyak mendapat tambahan ilmu tentang
khilaf puasa Arafah dan Idul Adha dari situ.
Izin share ya Ustadz ...
afwan bgmn sikap kita org2 awam dlm hal
ini apakah memilih ngikut makkah atw pemerintah..????
ust blum menanggapi pnyataan dr saudara
Abu Hannan
dihttp://salafyitb.wordpress.com/2007/01/24/al-imam-ibnu-utsaimin-shaum-arafah-tidak-mengikuti-saudi/
cz org2 HT pun punya berargumen demikian malah mereka ngotot bhwa masalah ini
adalah masalah IJMA
syukran ust, barakallahu fiek.. :)
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ngikut pada pendapat yang raajih sesuai
dengan ilmu yang sampai kepada masing-masing.
Apa yang ditulis akh @abu Hannaan itu
inti simpulannya sama dengan yang ada di artikel ini.
Adapun rekan-rekan HT (Muhammadiyyah,
Persis, atau yang lainnya), maka saya tidak dipusingkan dengan apa yang mereka
ambil, karena istinbath hukum bukan bersumber dari mereka. Adapun seandainya
dalilnya sama dan logika/alur berpikirnya sama, itu lain perkara. Wallaahu
a'lam.
Abu Inshirah mengatakan...
Salaam 'alaikum,
Afwan, sekadar mengongsi:-
http://www.fawaaid.sg/2010/11/puasa-arafah-mengikut-imam.html
abu zaid mengatakan...
Sebenarnya saya sepakat dengan Ustadz
Abul Jauzaa.
Namun saya tetap shalat idul adha pada 17
November.
Sebenarnya kedua pendapat tersebut
sinkron jika kita bisa memahami konsep-konsep hilal, visibilitas dan hijri date
line.
Pembahasan dan sedikit tanggapan atas
pendapat Idul Adha 16 November ada di
http://ayahzaid.blogspot.com/2010/11/kesalahan-pendapat-idul-adha-di.html.
Mohon maaf jika kurang berkenan.
Minta izin menyebarluaskannya.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
@akh abuzaid,….. Terima kasih atas
ulasannya. Ada beberapa hal yang dapat saya ambil manfaat dari tulisan antum.
Akan tetapi, jika diperkenankan berkomentar, sebenarnya tulisan antum tidak
begitu ‘nyambung’ dengan esensi bahasan dalam permasalahan ini. Terutama jika
dikaitkan apakah puasa ‘Arafah dan ‘Ied itu ikut Saudi ataukah sesuai dengan
mathla’ masing-masing. Tidak lebih bahasan antum – sependek pemahaman saya -
hanya ingin mengingkapkan kenapa penampakan hilal bisa berbeda-beda dan
sebab-musabab terjadinya perbedaan waktu antara satu tempat dengan tempat yang
lain. Saya kira, ini semua sudah mafhum bagi kita semua, walau dengan tingkat
pendalaman yang berbeda-beda.
Namun permasalahan utamanya adalah :
Apakah perbedaan tempat dan perbedaan waktu diakui dalam asas melegalkan
perbedaan pelaksanaan ibadah ini atau tidak. Tidak menjadi masalah dimanapun
letak titik nol international day-nya, jika misalnya kita sepakat bahwa kita
semuanya mengacu Saudi – yaitu, dengan mainstream : Puasa ‘Arafah dan ‘Ied
adalah ibadah yang terkait dengan waktu dan tempat. Dalam skala tathbiq-nya,
kita tinggal menyesuaikan. Di sinilah ranah ijtihad bekerja. Perbedaan ‘nama
hari’ selama mainstreamnya masih sama. Bukanlah masalah.
Lain halnya jika mainstreamnya adalah
diakuinya perbedaan mathla’. Hal ini akan mengakibatkan hal yang lebih tidak
sederhana dari perkiraan kita. Lagi-lagi, keputusan pemerintahlah yang akhirnya
lebih menjadi penentu. Saya pernah mengajukan logika geografi juga. Seandainya
saya tinggal di daratan Propinsi Kalimantan Barat dan antum di Malaysia Timur.
Jarak rumah saya dan antum hanya 50 m. Antara rumah saya dan rumah antum hanya
terbatasi tembok perbatasan negara. Kebetulan, Depag RI memutuskan bahwa hilal
Dzulhijjah nampak pada hari Kamis dan Depag Malaysia memutuskan hilal nampak
pada hari Jum’at. Sekarang, apa sikap kita dalam hal ini. Jika kita berpikir
dengan asas diakuinya hilal Dzulhijah adalah hilal-nya Saudi, maka perbedaan
yang seperti itu bukan menjadi problem. Immaa rumah saya dan rumah antum
terpaut ribuan kilometer, asalkan cara berpikir kita masih sama, maka – sekali
lagi – hal itu bukan problem. Yang jadi masalah adalah ketika kita menganut
pendapat pengakuan hilal masing-masing mathla’. Logika macam apa yang bisa
dipakai dalam hal ini ? Jarak hanya 50 m berbeda pelaksanaan waktu ibadahnya.
Paling banter, kita akan merujuk keputusan pemerintah. Soalnya jika kita
merujuk dengan teori geografis, akan tidak ‘nyambung’. Akhirnya, logika
perbedaan mathla’ ini menjadi sesuatu yang fasi. Kita tidak perlu berpikir
untuk dua tempat yang terpaut belasan jam. Sebab, permasalahan utama perbedaan
mathla’ adalah pada ‘daerah perbatasan’.
Saya selalu berangkat dengan menyederhanakan
masalah, karena dengan menyederhanakan masalah kita mengetahui pola-pola dasar
setiap pemikiran.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Dan sedikit tambahan :
Seandainya dikatakan bahwa secara 'de
jure' Indonesia baru masuk 1 Dzulhijjah 20 jam kemudian. Kalau boleh saya
sedikit berkomentar, maka secara umum daerah-daerah yang terletak di sebelah
timur Saudi dihukumi dengan dengan selisih beda sehari. Jika demikian, lantas
bagaimana dengan daerah yang selisihnya 23 jam dengan Saudi alias 'de
facto'-nya hanya selisih 1 jam saja dengan posisi 'Arafah. Apakah juga
'diwajibkan' puasa 'Arafah dan 'Ied sehari kemudian ? Atau kita paksa lagi
dengan pernyataan : beda 23 1/2 jam, alias bedanya secara 'de facto' hanya
setengah jam saja dengan 'Arafah.
Bagi saya, secara 'aqliyyah ini sulit
diterima.
Secara umum, sebatas pemahaman saya,
logika ini sama seperti logika 'mathla'; hanya saja dengan bahasa yang sedikit
berbeda.
Mohon koreksinya.
Wallaahu a'lam.
zax mengatakan...
Banyak yang rancu memahami permulaan hari
dalam tahun Masehi dan Hijriah. Hari baru pada tahun Masehi mulai pukul 00.00
sedangkan pada hijriah dimulai saat matahari tenggelam, misal pukul 18.00.
Misalkan jika pada 6 oktober pukul 18.00 hilal terlihat di Saudi,maka Saudi
sudah memasuki hari baru yaitu tanggal 1 Dzulhijjah,sedangkan di Indonesia
sudah pukul 22.00 maka tanggal 1 Dzulhijjah indonesia baru dimulai pukul 18.00
keesokan harinya tanggal 7, karena pergantian hari saat tenggelamnya matahari
yaitu 20 jam kemudian. Keterangan lengkapnya
http://sains.kompas.com/read/2010/11/16/09075675/Memahami.Perbedaan.Idul.Adha.1431.H
Ada komentar dalam blog fawaaid.sg.
Saya masih bingung menentukan mana yang
rajih dalam masalah ini.
Jazakallah khairan.
abu zaid mengatakan...
Agar lebih sistematis saya menanggapi per
paragraf saja ya akh.
Antum berkata: "Ada beberapa hal
yang dapat saya ambil manfaat dari tulisan antum. Akan tetapi, jika
diperkenankan berkomentar, sebenarnya tulisan antum tidak begitu ‘nyambung’
dengan esensi bahasan dalam permasalahan ini. Terutama jika dikaitkan apakah
puasa ‘Arafah dan ‘Ied itu ikut Saudi ataukah sesuai dengan mathla’
masing-masing."
Saya menanggapi: Mohon maaf kalau (terkesan)
tidak nyambung. Dengan tulisan tersebut saya memang tidak memiliki maksud untuk
membantah semua ilmu kanuragan yang dikeluarkan antum. Saya setuju bahwa puasa
arofah dilakukan pada saat para hujjaj wukuf arofah dan demikian pula idul
adha. (kalau mau yang bener-bener adu ilmu kanuragan silakan ditanggapi
email-emailnya akh Abu Umair di milis, hehe)
Pada intinya tidak ada yang saya tidak
sepakat dari body tulisan utama antum. Yang saya kurang setuju adalah buntut
diskusi di comment2 di bawah body tulisan utama bahwa untuk kasus tahun 2010
ini puasa arofah jatuh pada hari senin 15 November dan Idul Adha sehari
setelahnya.
Antum berkata: "Namun permasalahan
utamanya adalah : Apakah perbedaan tempat dan perbedaan waktu diakui dalam asas
melegalkan perbedaan pelaksanaan ibadah ini atau tidak. Tidak menjadi masalah
dimanapun letak titik nol international day-nya, jika misalnya kita sepakat
bahwa kita semuanya mengacu Saudi – yaitu, dengan mainstream : Puasa ‘Arafah
dan ‘Ied adalah ibadah yang terkait dengan waktu dan tempat. Dalam skala
tathbiq-nya, kita tinggal menyesuaikan. Di sinilah ranah ijtihad bekerja.
Perbedaan ‘nama hari’ selama mainstreamnya masih sama. Bukanlah masalah."
Tanggapan saya: Kalau saya kerucutkan
sebenarnya perbedaan antara kita adalah pada bagaimana memaknai yaumu arofah
sebagaimana disebutkan oleh Nabi. Antum memahami yaumu arofah sebagai “day”
yang sama dengan pelaksanaan wukuf arofah. Sementara saya memahami yaumu arofah
sebagai “date” pelaksanaan wukuf arofah, yaitu sebagaimana dikatakan oleh
Syaikh Bin Baz mengenai hari kesembilan. Memang tidak ada hadits yang
menegaskan puasa arofah pada hari kesembilan dzulhijjah sehingga antum sampai
bisa menyimpulkan bahwa yang harus sama adalah day-nya. Namun sampai sekarang
saya tetap berpendapat bahwa yang disebut dengan yaumu arofah adalah date hijri
dimana dilakukan wukuf arofah yaitu hari kesembilan dzulhijjah, karena kita
tidak bisa menggunakan international date line dalam masalah ini. International
date line (yang secara internasional dijadikan sebagai day line juga) yang
menjadi secara praktis kita terima dalam penentuan day berasal dari aplikasi
konsep penanggalan masehi yang murni menggunakan matahari dalam penentuan hari
dan tahun, sementara penentuan bulannya dilakukan secara arbitrer tanpa melihat
(fase) bulan.
Day line internasional ini menurut saya
tidak terlalu menjadi masalah untuk diterapkan pada ibadah-ibadah umat muslim
yang bersifat harian dan pekanan (karena pekan adalah fungsi dari hari). Dengan
demikian tidak masalah kalau kita menggunakan penentuan hari jumat dengan
menggunakan day line internasional ini (kecuali kalau nanti ada kesepakatan
dunia islam yang berbeda mengenai day line ini.
Namun demikian day line internasional ini
menjadi masalah untuk ibadah-ibadah yang terikat bulan seperti misalnya wukuf
arofah ini, karena pola penampakan hilal dan pergantian bulan tidak pernah bisa
sama dengan pergantian day secara internasional. Pola penampakan hilal bersifat
dinamis mengikuti apa yang disebut hijri date line.
Dengan demikian menurut saya yang lebih
tepat untuk digunakan untuk ibadah yang terikat bulan ini adalah hijri date
line karena hijri date line ini memang dibuat sesuai dengan pola penampakan
hilal di semua belahan dunia. Termasuk yang menurut saya harus menggunakan hijri
date line ini adalah ibadah turunan dari wukuf arofah ini yaitu puasa arofah
bagi yang tidak melaksanakan haji.
Bersambung.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Mengenai tanggapan ustadz Murad Sa'iid
di http://www.fawaaid.sg/2010/11/puasa-arafah-mengikut-imam.html,
ijinkanlah saya memerikan tanggapan balik secara ringkas sebagai berikut :
1. Dikatakan bahwa khilaf ini hanyalah
terjadi di masa kontemporer. Namun Dr. Muhamad l-Asyqaar dan Syaikh ‘Adnaan
‘Ar’ur menjelaskan sebaliknya, bahwa tidak ada perselisihan di kalangan salaf
tentang kewajiban mengikuti pelaksanakan wuquf di 'Arafah.
2. Dikatakan bahwa puasa ‘Arafah tidak
terkait dengan wuquf di ‘Arafah. Justru mafhumnya, puasa ‘Arafah tidaklah
dilakukan pada waktu jama’ah haji tidak melaksanakan wuquf di ‘Arafah. Hari
‘Arafah itu adalah nama satu hari yang tidak berbilang. Puasa yang disandarkan
kepadanya pun terkait dengan tempat dan waktu pelaksanaan wuquf di
‘Arafah.
3. 3. Hadits mursal : ((وعرفة
يوم تعرفون)) justru menunjukkan apa yang disebutkan
dalam point kedua di atas. Dan bagi orang di luar Makkah, maka ini pun selaras,
tidak ada pertentangan dan pembeda-bedaan. Hari dimana kalian wuquf di ‘Arafah
adalah seperti halnya penyebutan keseluruhan namun yang dimaksudkan sebagian
sebagaimana tertera dalam kaedah ushul fiqh. Saat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam mengucapkannya di Makkah atau Madinah, maka dipahami bahwa tidak semua
orang/shahabat melakukan wuquf di ‘Arafah. Akan tetapi para shahabat tetap
memberlakukan penetapan hari ‘Arafah berdasarkan waktu para shahabat lain yang
melakukan wuquf di ‘Arafah. Mereka berpuasa ‘Arafah pada waktu shahabat lain
melakukan wuquf di ‘Arafah. Dan itulah yang banyk tertera dalam atsar.
4. Tentang perkataan An-Nawawiy dalam
Al-Majmu’, maka itu sebagai petunjuk bahwa hari ‘Arafah itu bukan ditentukan
berdasarkan urutan hari (yaitu hari kesembilan) sebagaimana telah lewat
penyebutannya. Maka ia bisa saja hari kesembilan atau kesepuluh menurut
perhitungan hari Dzulhijjah orang tersebut.
5. Tentang hadits Husain bin Al-Haarits,
maka itu sebagai petunjuk bahwa pengesahan dan penerimaan persaksian ditentukan
oleh Amir kota Makkah. Saksi yang berasal dari penduduk Makkah adalah boleh,
dengn syarat hal itu disahkan dan diakui oleh amir Makkah. (Dan ingat,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat itu adalah pemimpin seluruh umat
Islam, namun beliau tetap menyandarkan keputusan dan pengesahan pada amir kota
Makkah).
Seandainya persaksian itu tidak diterima
(karena Amir kota Makkah lebih menerima persaksian selainnya). Pertanyaan
kecilnya : "Adakah riwayat di kalangan shahabat atau tabi'in yang tersebar
di daerah Syaam, Yaman, atau 'Iraaq yang menyelisihi keputusan amir kota Makkah
?". Termasuk penyelisihan mereka dalam pelaksanaan puasa di hari 'Arafah ?
Hukum asal penetapan waktu yang dilakukan oleh amir Makkah atas perintah
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam juga berlaku bagi penduduk Madinah
atau tempat-tempat lainnya; baik bagi orang yang ingin melaksanakan haji atau
tidak. Apakah perintah menyembelih dalam hadits hanya terkait manasik haji saja
? Bahkan menyembelih itu dilakukan oleh para jama;ah haji yang kemudian juga
diikuti oleh kaum muslimin lain yang tidak melaksnaakan ibadah haji.
Jika dikatakan bahwa perintah Rasulullah
itu hanyalah berkaitan dengan manasik haji di kota Makkah, maka dimana letak
dhahir pernyataan itu dalam hadits ?
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
6. Tentang perkataan Ibnu Taimiyyah,
sebenarnya bagi saya itu telah jelas bahwa ibadah-ibadah yang terkait dengan
haji (termasuk puasa ‘Arafah) terkait dengan tempat, sehingga orang-orang lain
yang tidak melaksanakan haji di tanah Haram, mengikuti pelaksanaannya orang
orang yang melakukan haji. Itulah yang dhahir. Adapun fatwa Ibnu Taimiyyah lain
yang terkait dengan permasalahan ini [25/203], justru tidak ada petunjuk
padanya bahwa hilal yang berlaku adalah hilal penduduk kota tersebut dengan
mengabaikan pengetahuan hilal penduduk Makkah. Karena, ada kemungkinan bahwa
yang diputuskan oleh hakim kota tersebut mengikuti keputusan hilal Dzulhijjah
penduduk Makkah. Atau pendek kata, pengambilan perkataan Ibnu Taimiyyah oleh
beliau pun tidak lepas dari banyak kemungkinan.
7. Tentang perkatan Ibnu Rajab, maka itu
hanya sebagai catatan kaki tentang penyebutan di antara ulama ada yang
berpendapat bahwa shalat ‘Iedul-Adlha mengikuti/menyesuaikan pelaksanaan haji
di Makkah. Sangat jelas pada perkataan beliau : ” Sesungguhnya waktu
pelemparan jumraholeh orang-orang yang melaksanakan haji di Muzdalifah, maka
waktu itu adalah waktu pelaksanaan shalat ‘Ied bagi orang-orang yang ada
di tempat lain”.
8. Dikatakan bahwa orang yang berpuasa
‘Arafah mengikuti wuqufnya para hujjaj di ‘Arafah tidak mempunyai dalil, maka
mafhumnya beliau mengatakan apa yang beliau pegang itu mempunyai dalil yang
shahih dan sharih. Lantas dimanakah gerangan dalil itu ? Apapun perkataan
beliau (Ustadz Murad) dalam hal ini, maka itu adalah haknya untuk mengatakannya.
Namun, mari kita cermati atsar sebagai
berikut :
حدثنا يزيد بن هارون قال أنا ابن عون عن إبراهيم
قال كانوا لا يرون يصوم عرفة بأسا إلا أن يتخوفوا أن يكون يوم الذبح
Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin
Haaruun, ia berkata : Telah memberitakan kepada kami Ibnu ‘Aun, dari Ibraahiim
(An-Nakha’iy), ia berkata : “Mereka berpendapat tidak mengapa berpuasa ‘Arafah,
kecuali mereka khawatir hari itu adalah hari penyembelihan” [Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Syaibah; shahih].
"Mereka" di sini adalah
sebagian shahabat dan tabi’in, karena Ibraahiim adalah seorang
tabi’iy. Sisi pendalilannya adalah :
“Kekhawatiran itu datang dari
ketidakpastian atau keraguan. Mafhumnya, kekhawatiran itu tidak terjadi bagi
penduduk Makkah dan sekitarnya, karena mereka mengetahui kapan para jama’ah
haji wuquf di ‘Arafah. Penduduk Makkah di kalangan salaf tidak pernah ragu
kapan melakukan wuquf ‘Arafah dan puasa ‘Arafah. Kekhawatiran itu muncul bagi mereka
bagi mereka yang jauh dari ‘Arafah. Misal : Penduduk ‘Iraq, Syaam, dan yang
lainnya. Dan Ibraahiim sendiri adalah orang ‘Iraaq (Bashrah). Jika memang
penduduk negeri masing-masing telah menetapkan hilal yang ditentukan oleh
penguasa setempat – dan seandainya mereka telah sepakat menerima hal itu - ,
buat apa mereka ragu ? ‘Illat kekhawatiran/keraguan mereka adalah karena
bertepatan dengan hari penyembelihan. Besar kemungkinan keraguan itu ada karena
kekhawatiran hari itu bertepatan dengan hari dimana penduduk Makkah (dan
jama’ah haji) melakukan penyembelihan, dimana khabar itu belum sampai pada
mereka”.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Hadits lain yang berbicara tentang
penyifatan keutamaan hari ‘Arafah
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha :
ما من يوم أكثر من أن يعتق الله فيه عبدا من
النار من يوم عرفة وإنه ليدنو ثم يباهي بهم الملائكة فيقول ما أراد هؤلاء
“Tidak
ada hari Allah membebaskan hambaNya dari api neraka seperti hari Arafah.
Sesungguhnya, Dia mendekat, kemudian Dia banggakan mereka di hadapan para
malaikatNya sambil berkata: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim)
Kemuliaan ini terkait dengan orang-orang
sedang melaksanakan wuquf di ‘Arafah.
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash
radliyallaahu ‘anhuma, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
ان الله عز وجل يباهي ملائكته عشية عرفة بأهل
عرفة فيقول انظروا إلى عبادي آتوني شعثا غبرا
“Sesungguhnya
Allah berbangga kepada para malaikat-Nya pada sore Arafah dengan orang-orang di
Arafah, dan berkata: “Lihatlah keadaan hambaku, mereka mendatangiku dalam
keadaan kusut dan berdebu”(HR. Ahmad 2/224).
Adakah hadits ini bisa dibawa pada
pengertian ‘berbilangnya hari ‘Arafah’ sesuai dengan mathla’ masing-masing
negeri ? Bahkan, hari ‘Arafah dengan kemuliaannya itu adalah hari yang satu
yang terkait dengan sebab tempat sebagaimana kita lihat dalam hadits di atas.
Itu saja yang dapat saya tanggapi secara
ringkas. Bagaimanapun, saya ucapkan banyak terima kasih kepada Ustadz Murad
Sa’iid di Singapura yang telah bersedia mengomentari tulisan saya.
Jazaahullaahu khairan.
Wallaahu a'lam bish-shawwaab.
tanggapan antum ditanggapi kembali oleh
ust murad said di kolom komentarnya.
Pak Ustaz nampaknya belum belajar Ilmu
Astronomi, Fisika, dan Matematika.
Baca dulu ini:
http://ayahzaid.blogspot.com/2010/11/kesalahan-pendapat-idul-adha-di.html
Ada yg bilang, bulannya 1 kenapa beda
tanggal.
Itu dalam konsep bulan.
Bagaimana dengan mataharinya 1.
Matahari antara 1 wilayah dengan wilayah
lain kan beda-beda jam sampai hari juga beda.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Saya memang bukan ahli di bidang
astronomi. Akan tetapi terkait dengan link yang Anda sampaikan, coba Anda
cermati jawaban saya tanggal 16 November 2010 pukul 22:33 dan 17 November 2010
00:31, karena pembicaraan itu telah lewat. Dan sampai sekarang, yang bersangkutan
belum memberikan tanggapannya kepada saya terkait logika geografis-astronomis
yang saya sampaikan.
Baarakallaahu fiikum.
Abu Zuhriy mengatakan...
Baarakallaahu fiik ustadz...
Mohon perkenankan ana untuk
mengekspresikan kemusykilan...
Diatas disebutkan:
"Atsar di atas menunjukkan ru’yah
hilal yang dianggap/dipakai untuk melaksanakan ibadah penyembelihan (dan semua
hal yang terkait dengan haji) adalah RU'YAH HILAL penduduk MAKKAH, bukan yang
lain. "
Kalaulah ru'yah hilal makkah menjadi rujukan...
Adakah dalam atsar diatas menunjukkan
bahwa RASUULULLAAH memerintahkan kaum muslimiin untuk berkiblat kepada makkah?
Yang nampak dari hadits diatas, adalah
RASUULULLAAH hanyalah memerintahkan penduduk mekkah mengikuti hilal yang
ditetapkan amir mereka...
jika seandainya kaum muslimin
diperintahkan (yaitu wajib) untuk mengikuti ru'yatul hilal makkah dalam idul
adh-ha (dzulhijjah).. maka PASTILAH rasuulullaah SAAT ITU langsung bersabda:
"dan wajib bagi kaum muslimin untuk mengikuti ru'yah kalian".. karena
tidak boleh bagi beliau MENGAKHIRKAN PENJELASAN pada waktu yang
dibutuhkan..
tapi adakah beliau dalam hadits diatas
bersabda demikain?
Abu Zuhriy mengatakan...
lagi pula perbedaan penetapan ru'yatul
hilal SUDAH ADA DIZAMAN PARA SHAHABAT... sebagaimana riwayat ibnu abbaas dalam
shahiih muslim..
1. Atsar ibnu abbas tersebut ini telah
menjadi landasan bagi sebagian ulama yang berpendapat bahwa penduduk suatu
negeri tidak diperbolehkan mengikuti ru'yah hilal negeri yang lain.
2. SEKARANG.. adakah DALIL KHUSUS yang
MEMBEDAKAN idul adh-ha dengan shaum ramadhan dan idul fithriy; yang SHAHIIH
lagi SHARIIH yang memalingkan dari DALIL UMUM berikut:
“Puasa itu adalah di hari kalian (umat
Islam) berpuasa, berbuka adalah pada saat kalian berbuka, dan berkurban/ Iedul
Adha di hari KALIAN berkurban.”
[HR. at-Tirmidzi]
Seandainya kita memahami
"kalian" itu adalah masyarakat sekitar (dan inilah yang dipahami ibnu
abbaas).. Maka tentunya kita wajib memahami KETIGANYA SECARA SAMA.. tidak
membeda-bedakan penyikapannya, kecuali ada dalil yang shariih yang
mengecualikan idul adh-ha..
Rasuulullaah pun tidak bersabda:
"hari berkurban adalah hari PENDUDUK MEKKAH berkurban" akan tetapi beliau
menyamakannya sebagaimana shaum ramadhan dan idul fithri..
Dan demikian pula pemahaman 'aa-isyah
dalam atsar masruq..
Lantas dalil SHAHIH dan SHARIIH mana yang
mendukung ta'wil dengan "kecuali idhul adh-ha, maka mengikuti ru'yatul
hilal makkah"
Hadits-hadits yang antum bawakan dalam
artikel diatas, tidak shariih dalam memalingkan hadits shariih diatas..
3. Para shahabat MERIWAYATKAN DAN
MERIWAYATKAN DAN MERIWAYATKAN.. seandainya berkiblat kepada ru'yatul hilal
penduduk mekkah pada bulan dzulhijjah itu diperintahkan rasuulullaah.. maka
mereka akan meriwayatkan: "sesungguhnya apabila telah mendekati bulan
dzulhijjah, rasuulullah mengutus utusan beliau ke makkah untuk mengetahui hilal
disana, agar kami mengikuti hilal mereka..."
namun yang sampai kepada kita hanyalah
riwayat yang ini... dan itupun menurut pemahaman ibnu abbas, TIDAK WAJIB
mengikuti ru'yatul hilal amirul mukminin yang ada di syam.. BAHKAN YANG SUNNAH
adalah mengikuti ru'yatul hilal penduduk sekitar..
sekiranya, mengikuti hilal mekkah itu adalah
biasa, tentu hal ini akan disepakati oleh Ibnu Abbaas.. karena beliau biasa
melakukannya dizaman rasuulullaah..
bahkan dalam atsar diatas jelas-jelas
beliau memerintahkan untuk mengikuti ru'yatul hilal penduduk masing-masing..
4. Kalaupun mu'awiyah berpemahaman bahwa
idul adh-ha DIPERINTAHKAN RASUULULLAAH untuk mengikuti ru'yatul hilalnya
mekkah.. mana dalil beliau mengutus utusan ke makkah untuk mengikuti ru'yatul
hilal makkah?
adakah ternukil para shahabat yang berada
di syam, mengikuti ru'yatul hilal mekkah? ini perkara besar, yang pasti akan
sampai kepada kita riwayatnya.. sebagaimana telah sampai kepada kita atsar ibnu
abbaas diatas..
5. Dan telah shahiih lagi shariih hadits:
“Adalah Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wasallam berpuasa pada (TANGGAL/HARI KE) 9 Dzulhijjah.”
(HR. Abu Dawud no. 2437 dan dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Dawud no. 2081)
Lihat, disana shaum arafah disandarkan
kepada TANGGAL/HARI ke 9-nya...
Bukankah ini secara jelas dan terang
bahwa para shahabat memahami puasa arafah, tidak disandarkan secara mutlak
kepada "hari arafah"-nya? tapi juga bisa dipahami berdasarkan harinya
atau tanggalnya?!
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Singkat saja ya,.... hanya tiga point
pokok saja yang saya tanggapi saat ini :
1. Tentang riwayat Husain bin Al-Haarits
Al-Jadaliy.
Yang nampak bagi saya bahwa Rasulullah
shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika akan datang bulan Dzulhijjah
memerintahkan amir kota Makkah untuk melihat hilal. Tentu saja ini dalam rangka
pelaksanaan rangkaian ibadah haji. Waktu itu, beliau shallallaahu 'alaihi wa
sallam berkedudukan di Madiinah. Tentu saja dipahami bahwa perintah beliau
shallallaahu 'alaihi wa sallam tersebut adalah untuk beliau shallallaahu
'alaihi wa sallam pakai juga.
2. Riwayat Ibnu 'Abbaas radliyallaahu
'anhu yang antum sebut tidak berkaitan dengan 'Iedul-Adlhaa. Lagi pula, ada
beberapa penakwilan dari beberapa ulama bahwa atsar Ibnu 'Abbaas radliyallaahu
'anhumaa tersebut tidaklah menetapkan adanya perbedaan mathlaa'.
3. Tentang HR. Abu Dawud no. 2437, itu
keliru dalam terjemahan. Begini lafadhnya :
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم تسع ذي
الحجة ويوم عاشوراء وثلاثة أيام من كل شهر أول اثنين من الشهر والخميس
"Dulu Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam biasa berpuasa sembilan hari pada bulan Dzulhijjah,
berpuasa pada hari 'Aasyuuraa'......".
Wallaahu a'lam.
Abu Zuhriy mengatakan...
Lantas bagiamana memahami sabda
Rasuulullaah "berpuasa/berbuka/berkurban" diatas?
Dari as-Sahmi,
“Aku mendatangi Aba Amamah, lalu beliau
berkata: “Janganlah engkau mencela (mengutuk dan menghina) al-Hajjaj, karena
beliau adalah penguasa bagi engkau, dan bukan penguasa bagiku.”
[Diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tarikh
al-Kabir, no. 83 - Maktabah Syamilah]
Aba Umamah tinggal di Syam, manakala
as-Sahmi tinggal di Iraq yang mana pemimpin (wakil khalifah) di Iraq ketika itu
adalah al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqafiy
Dan kita tahu... Dimana telah ternukil
dari imam-imam bahwa kewajiban mentaati penguasa dalam penentuan DUA 'IID...
sebagaimana disampaikan para imam salafush shalih?
Imam asy-Syaukani rahimahullah
menjelaskan berkaitan isu berbilang-bilangnya negeri, wilayah, ataupun negara
Islam berkata:
وأما بعد انتشار الإسلام واتساع رقعته وتباعد
أطرافه فمعلوم أنه قد صار في كل قطر أو أقطار الولاية إلى إمام أو سلطان وف يالقطر
الآخر أو الأقطار كذلك ولا ينفذ لبعضهم أمر ولا نهي في قطر الآخر وأقطاره
التي رجعت إلى ولايته فلا بأس بتعدد الأئمة
والسلاطين ويجب الطاعة لكل واحد منهم بعد البيعة له على أهل القطر الذي ينفذ فيه
أوامره ونواهيه وكذلك صاحب القطر الآخر فإذا قام من ينازعه في القطر الذي قد ثبتت
فيه ولايته وبايعه أهله كان الحكم فيه أن يقتل إذا لم يتب ولا تجب على أهل القطر
الآخر طاعته ولا الدخول تحت ولايته لتباعد الأقطار فإنه قد لا يبلغ إلى ما تباعد
منها خبر إمامها أو سلطانها ولا يدرى من قام منهم أو مات فالتكليف بالطاعة والحال
هذه تكليف بما لا يطاق وهذا معلوم لكل من له اطلاع على أحوال العباد والبلاد فإن
أهل الصين والهند لا يدرون بمن له الولاية في أرض المغرب فضلا عن أن يتمكنوا من
طاعته وهكذا العكس وكذلك أهل ما وراء النهر لا يدرون بمن له الولاية في اليمين
وهكذا العكس فاعرف هذا فإنه المناسب للقواعد الشرعية
والمطابق لما تدل عليه الأدلة ودع عنك ما يقال في
مخالفته فإن الفرق بين ما كانت عليه الولاية الإسلامية في أول الإسلام وما هي عليه
الآن
“Adapun selepas penyebaran Islam, semakin
luas wilayahnya, dan jarak yang jauh di antara negeri-negerinya, maka telah
diketahui bahawa setiap negeri atau beberapa negeri bergantung kepada seorang
pemerintah atau sultan.
Begitu juga dengan negeri yang lain.
Seseorang pemerintah itu tidak memiliki kuasa untuk mengeluarkan perintah
maupun larangan selain dari negerinya atau beberapa negeri yang tunduk
kepadanya.
Oleh itu, berbilang-bilang pemerintah
atau sultan bagi setiap negeri masing-masing diharuskan (dibolehkan).
Setiap daripada mereka wajib ditaati
selepas bai’ah yang diberikan oleh penduduk negeri tersebut dan ia berhak
mengeluarkan perintah dan larangan. Begitulah juga dengan pemerintah bagi
negeri yang lain.
Apabila terdapat segolongan pihak yang
mencoba merampas kekuasaan daripada seseorang pemerintah yang telah memiliki
kedaulatan (yang sah) dan juga diberi bai’ah (kepercayaan) oleh penduduknya,
maka pada ketika itu, hukuman kepada golongan tersebut ialah dibunuh jika ia
tidak bertaubat.
Penduduk negeri yang lain tidak wajib
mentaatinya, atau pun berlindung di negaranya kerana kedudukan yang jauh antara
negeri.
Penduduk seperti ini tidak sampai kepada
hal-ehwal pemerintah atau pun sultan mereka, dan mereka tidak mengetahui siapa
yang masih hidup atau yang sudah mati daripada pemerintah mereka.
Kewajiban untuk taat dalam keadaan ini
merupakan satu kewajiban yang tidak terdaya untuk ditanggung. Perkara ini sedia
dimaklumi oleh mereka yang arif dalam bidang pentadbiran rakyat dan negara.
Maka ketahuilah kamu tentang perkara ini,
kerana ia amat sesuai dengan kaedah syara’. Dan bertepatan dengan yang telah
ada.
Pendapat yang menyelisihinya tidak perlu
dihiraukan kaena memang terdapat perbedaan yang sangat jelas di antara
negeri-negeri Islam diawal Islam dengan yang ada sekarang.”
(asy-Syaukani, as-Sailul Jarrar
al-Mutadafiq ‘Ala Hada’iqil Azhar, 1/941)
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Pendalilan antum tidak nyambung. Adakah
di antara dalil yang antum sebut berbicara tentang puasa 'Arafah ?.
Seandainya inti yang antum tekankan
adalah 'ketaatan terhadap penguasa', bukankah antum juga tahu itu tidak
bersifat mutlak. Ia tetap dibatasi dengan kalimat : 'dalam hal yang ma'ruuf'.
Maknanya : yang sesuai dengan kebenaran.
Jadi, jika perkaranya adalah :
"Apakah puasa 'Arafah itu diputuskan
sesuai dengan keputusan penguasa negeri setempat, ataukah berdasarkan waktu
wuquf di 'Arafah ?".
Inilah yang dibahas.
Adapun misalnya ada yang berhujjah bahwa
tidak mungkin kaum muslimin di segala penjuru negeri Islam berpuasa 'Arafah
dalam waktu yang bersamaan; maka itu merupakan 'udzur. 'Udzur karena sikon
waktu itu yang tidak memungkinkan untuk melakukan transfer informasi yang cepat
seperti saat sekarang, sehingga masing-masing mereka berijtihad dengan ru'yah
mereka masing-masing di setiap negeri.
wallaahu a'lam.
Mohon jawabannya ustadz, karena sedikit
bingnug :
1. Dalam menentukan bulan menggunakan
ru'yatul hilal dari siapa? dari amir masing2 negri atau mekah ? atau cuma
dzulijjah aja yang disesuaikan mekah atau gimana ?
2. Seandainya kita duluan dzulhijjahnya
maka akan ada jarak 1 hari kosong ini bagaimana ? apa puasa 9 hari kemudian
untuk arafahnya ikut mekah ?
Jazakallahu khairan
Abul Hasan
Muhammad al
Umari mengatakan...
bismiLlah, afwan ustadz tanya. bagaimana
bila ada orang yang berencana menyengaja untuk wuquf setelah matahari terbenam
(jadi siangnya tidak wuquf) apakah dia jg disunnahkan tidak berpuasa ataukah
berpuasa? mohon ifadah dan nukilan bila ada. jazakumullohu khoiro
Pemahaman ini benar dan berlaku bagi kaum
muslimin yang berada di Mekkah dan sekitarnya yang tidak melaksanakan ibadah
haji.
Sedangkan kaum muslimin yang berada di
daerah yang jauh dari Mekkah, maka pendapat yang lebih kuat adalah melaksanakan
puasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut rukyah hilal yang mereka lakukan
di negeri mereka.
1. Sejarah
Puasa Arafah disyariatkan pada tahun
kedua —ada juga riwayat yang menyebutkan tahun pertama— setelah hijrah
bersamaan dengan disyariatkannya shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Adapun wukuf
di Arafah sebagai bagian dari manasik haji, disyariatkan pada tahun keenam
setelah hijrah.
2. Tiga
Nama Puasa Arafah.
a. Puasa Tis’a Dzuhijjah.
Salah seorang istri Nabi saw.
menyampaikan, “Rasulullah saw. biasa melaksanakan puasa pada hari kesembilan
Dzulhijjah, hari ‘Asyura, dan tiga hari setiap.”
b. Puasa Al-’Asyru
“Empat perkara yang tidak pernah
ditinggalkan oleh Rasulullah saw.: puasa ‘Asyura, puasa al-asyru.
3. Fatwa Para Ulama
a. Ibnu Taimiyyah berkata, “Hendaknya
orang-orang melaksanakan puasa pada tanggal sembilan Dzulhijjah menurut kaum
muslimin, meskipun sebenarnya itu adalah tanggal sepuluh Dzulhijjah.”
b. Ibnu Taimiyyah juga mengatakan, “Puasa
pada hari yang diragukan, apakah itu tanggal sembilan ataukah sepuluh
Dzulhijjah, tanpa diperselisihkan oleh para ulama adalah sah.”
c. Ketika Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin ditanya tentang puasa Arafah, apakah dilaksanakan berdasarkan
rukyah di negeri tempat seseorang tinggal, ataukah rukyah di tanah haram,
beliau menjawab —yang ringkasnya—hendaklah puasa dilaksanakan berdasarkan
rukyah di negeri tempat seseorang tinggal."
Bahwa Ummu Fadhl telah mengutus dia
(Kuraib) kepada Muawiyah di Sam. Dia (Kuraib) berkata: "Maka aku tiba di
Syam dan menyesaikan kebutuhan Ummu Fadhl. Ramadhan tiba dan saya ada di Syam.
Saya melihat hilal malam Jumat. Kemudian saya tiba di Madinah pada akhir bulan
Ramadhan, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadaku, lalu dia menyebut persoalan hilal.
Dia bertanya, ‘Kapan kamu melihat hilal?’ Saya jawab, ‘Kami melihatnya malam
Jumat.’ Dia bertanya,’Kamu melihatnya sendiri?’. Saya jawab,’Ya. Orang-orang
juga melihatnya lalu mereka berpuasa dan berpuasa juga Muawiyah.’ Ibnu Abbas
berkata,’Tapi kami melihatnya malam Sabtu. Maka kami tetap berpuasa hingga kami
sempurnakan 30 hari atau hingga kami melihat hilal.’ Saya berkata,’Tidakkah
kita mencukupkan diri dengan rukyat dan puasanya Muawiyah?’ Ibnu Abbas
menjawab,’Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kita.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin, ketika ditanya: “Apabila hari Arafah berbeda karena perbedaan
masing-masing wilayah di dalam mathla’ (tempat terbit) hilal, maka
apakah kita berpuasa mengikuti ru’yah negeri tempat kita berada ataukah kita
berpuasa mengikuti ru’yah al-Haramain (Makkah dan Madinah)? Beliau pun
menjawab: Perkara ini dibangun di atas ikhtilaf para ulama, apakah hilal itu
satu saja untuk seluruh dunia atau berbeda sesuai mathla’nya (tempat
terbit bulan). Dan yang benar bahwa penampakan hilal berbeda sesuai dengan
perbedaan mathla’.
“Jika
kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka
berbukalah”
Bagi orang-orang yang hilal itu tidak
nampak dari arah (daerah) mereka berarti mereka tidaklah melihat hilal
tersebut. Begitu juga manusia telah sepakat bahwa mereka menganggap terbitnya
fajar dan terbenamnya matahari pada setiap wilayah disesuaikan dengan wilayah
masing-masing. Maka demikian pulalah penetapan waktu bulan seperti penetapan
waktu harian. Demikianlah fatwa dari Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin.
Sebagai informasi tambahan, ada beberapa
mahasiswa Indonesia di Makkah bertanya kepada Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya
An-Najmi, Mufti Kerajaan Saudi Arabia Bagian Selatan tentang permasalahan ini,
maka beliau menjawab bahwa puasa Arafah adalah dengan mengikuti ru’yah
negerinya.
Ketika Nabi SAW puasa tgl 9 dzulhijjah
belum ada umat Islam yg wuquf di Arafah. Sebab ibadah haji baru terlaksana di
tahun ke-10 hijriyah (baca : Zaadul maad II : 101, Manarul qari III :
64).
Sedangkan puasa 9 dzulhijjah sudah
disyariatkan sejak tahun ke-2 hijriyah jauh sebelum wukuf haji disyariatkan
(baca : shubhul a'sya II : 444, Bulughul Amani Juz VI : 119, Subulus salam I :
60).
Jelas, penamaan shaum Arafah bukan karena
fi'lun (wukuf di Arafah dalam ibadah haji).
Dan istilah “Arafah” hanya sekedar mim
bab Taghlib (penggunaan istilah untuk sesuatu yg biasa atau banyak dipakai) dan
Arafah adalah ismul yaum (nama hari) ke 9 (tis'a) dibulan dzulhijah.
Sudah sangat jelas dan terang benderang
penjelasannya tanpa keraguan sedikitpun.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wuquf 'Arafah itu merupakan syari'at
manasik yang telah ada semenjak jaman Nabi Ibraahiim 'alaihis-salaam. Ibnu
Katsiir rahimahullah pernah berkata saat menjelaskan QS. Al-Baqarah : 197:
وقال عبد الله بن وهب : قال مالك : قال الله
تعالى : ( ولا جدال في الحج ) فالجدال في الحج والله أعلم أن قريشا كانت تقف عند
المشعر الحرام بالمزدلفة ، وكانت العرب ، وغيرهم يقفون بعرفة ، وكانوا يتجادلون ،
يقول هؤلاء : نحن أصوب . ويقول هؤلاء : نحن أصوب . فهذا فيما نرى ، والله أعلم .
وقال ابن وهب ، عن عبد الرحمن بن زيد بن أسلم :
كانوا يقفون مواقف مختلفة يتجادلون ، كلهم يدعي أن موقفه موقف إبراهيم فقطعه الله
حين أعلم نبيه بالمناسك .
Orang-orang Quraisy wuquf di Muzdalifah,
sedangkan orang-orang Arab dan yang lainnya wuquf di 'Arafah. Mereka
berbantah-bantahan. Semua mengklaim paling benar dalam manasiknya dan mengikuti
manasik Ibraahiim 'alaihis-salaam. Maka kemudian Allah lah yang memutuskan
dengan mengutus Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka
manasik haji yang benar.
Dan sebagaimana diketahui, wuquf beliau
shallallaahu 'alaihi wa sallam di 'Arafah.
Intinya,....... hari 'Arafah dengan
penyandaran pada wuquf di 'Arafah itu sudah ada semenjak sebelum haji wada',
dan merupakan bagian dari syari'at manasik Nabi Ibraahiim 'alaihis-salaam.
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ الزُّبَيْرِ، أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: " اعْلَمُوا أَنَّ عَرَفَةَ
كُلَّهَا مَوْقِفٌ إِلَّا بَطْنَ عُرَنَةَ، وَأَنَّ الْمُزْدَلِفَةَ كُلَّهَا
مَوْقِفٌ، إِلَّا بَطْنَ مُحَسِّرٍ ". قَالَ مَالِك: قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ
وَتَعَالَى: فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ، قَالَ:
فَالرَّفَثُ إِصَابَةُ النِّسَاءِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ، قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ
وَتَعَالَى: أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ،
قَالَ: وَالْفُسُوقُ الذَّبْحُ لِلْأَنْصَابِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ، قَالَ اللَّهُ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ، قَالَ:
وَالْجِدَالُ فِي الْحَجِّ أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تَقِفُ عِنْدَ الْمَشْعَرِ
الْحَرَامِ، بِالْمُزْدَلِفَةِ، بِقُزَحَ وَكَانَتْ الْعَرَبُ وَغَيْرُهُمْ
يَقِفُونَ بِعَرَفَةَ، فَكَانُوا يَتَجَادَلُونَ، يَقُولُ هَؤُلَاءِ: نَحْنُ
أَصْوَبُ، وَيَقُولُ هَؤُلَاءِ: نَحْنُ أَصْوَبُ، فَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى:
لِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا هُمْ نَاسِكُوهُ فَلا يُنَازِعُنَّكَ فِي
الأَمْرِ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ إِنَّكَ لَعَلَى هُدًى مُسْتَقِيمٍ، فَهَذَا
الْجِدَالُ فِيمَا نُرَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ، وَقَدْ سَمِعْتُ ذَلِكَ مِنْ أَهْلِ
الْعِلْمِ
Diriwayatkan oleh Maalik dalam
Al-Muwaththa.
aya mendapatkan kutipan tulisan dari
Syaikh Muhammad Khaliil Harraas tentang ibadah haji berikut :
"Allah Azza wa Jalla telah
memperlihatkan manasik-manasik haji dan syi’ar-syi’arnya kepada Ibrâhîm
Alaihissallam dan putranya, yaitu Ismâ’îl Alaihissallam. Maka manasik-manasik
itu akan tetap ada sepeninggal keduanya kepada anak keturunannya yaitu berhaji
ke Baitullah dan melakukan thawâf di situ, wukûf di ‘Arafah dan Muzdalifah,
serta melaksanakan sa’i antara Shafa dan Marwa"
[selesai kutipan].
Dari tulisan tersebut dijelaskan bahwa
wuquf di 'Arafah merupakan bagian dari manasik haji Nabi Ibraahiim
'alaihis-salaam.
Oleh karena itu, penyandaran hari 'Arafah
pada wuqufnya jama'ah haji di 'Arafah adalah benar.
Tentang nama puasa 'Arafah, maka
terjemahan yang benar bukan puasa tanggal 9 Dzulhijjah atau puasa tanggal 10
Dzulhijjah, akan tetapi puasa 9 hari awal bulan Dzulhijjah atau puasa 10 hari
awal bulan Dzulhijjah. Maka, hadits ini tidak relevan jika dikaitkan dengan
puasa 'Aasyuuraa'. Tidak nyambung. Lagi pula, hadits ini lemah. Silakan baca
artikel : Hadits Puasa
9 Hari Awal Bulan Dzulhijjah.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Kemudian ditinjau dari bahasa. Puasa
'Arafah itu kan diambil dari Shaumi yaumi 'Arafah (puasa hari 'Arafah). 'Arafah
itu jelas nama tempat. Asy-Syaikh Sulaimaan bin 'Abdillah Al-Maajid
hafidhahullah berkata:
والقاعدة الأصولية أنه يتعين البقاء على الظاهر
من دلالة الاسم ؛ حتى يدل دليل على العدول عنه.
"Kaedah ushuliyyah dimaknai secara
dhaahir dari penunjukan namanya hingga ada dalil yang memalingkan dari makna
dhahir tersebut".
Dan dalam hal ini tidak ada. Hal yang
menguatkan statement itu justru ada pada teks haditsnya sendiri, yaitu:
صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم
عاشوراء يكفر سنة ماضية
"Puasa hari 'Arafah dapat
menghapuskan dosa dua tahun yang telah lepas dan akandatang, dan puasa
'Aasyuuraa' (tanggal 10 Muharram) menghapuskan dosa setahun yang lepas".
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam saat
menyebut puasa 10 Muharram disebutkan dengan lafadh : 'Aasyuuraa'. Namun ketika
menyebutkan puasa 'Arafah, tetap dengan lafadh 'shaumi yaumi 'Arafah'. Ini
menunjukkan bahwa puasa 'Arafah tidak semata-mata dilakukan pada tanggal 9
Dzulhijjah tanpa ada keterkaitannya dengan 'Arafah itu sendiri. Seandainya hari
'Arafah itu memang hanya dipertimbangkan dilakukan tanggal 9 Dzulhijjah,
niscaya penyebutannya menggunakan lafadh yang semisal dengan 'Asyuuraa' (yaitu
: Tasuu'aa'). Fatwa Asy-Syaikh Sulaimaan Al-Maajid tersebut dapat dibaca di
sini : إذا اختلف
إعلان عيد الأضحى بلد ما عن رؤية بلد المشاعر تقديما أو تأخيرا فكيف يكون صوم
عرفة؟.
Ratusan tahun yang lalu, Ibnul-'Arabiy
Al-Maalikiy rahimahullah saat menjelaskan QS. Al-Baqarah ayat 203 berkata:
وأن سائر أهل الآفاق تبع للحاج فيها
"Dan bahwasannya seluruh penduduk
negeri (di dunia) mengikuti jama'ah haji dalam hal tersebut (termasuk puasa
'Arafah)" [Ahkaamul-Qur'aan, 1/143].
Selain itu, beberapa ulama kontemporer
juga telah memfatwakan semisal. Silakan baca : Fatwa Lajnah
Daaimah, Asy-Syaikh Al-'Ubailan, dan Asy-Syaikh Muhammad Al-Maghrawiy tentang
Puasa 'Arafah.
Wallaahu a'lam.
Abu Umar mengatakan...
mohon ditanggapi pendapat yg mengatakan
kelebihan puasa arafah adalah dhaif, seperti yg ada dalam artikel di bawah. terima
kasih.
http://ansarul-hadis.blogspot.com/2014/10/penjelasan-status-hadith-kelebihan-puasa.html
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
COMMENTS (2).
Anonim mengatakan...
Assalamu'alaikum
Saya memang sudah sepakat dan lebih
mengedepankan pendapat bahwa kita puasa 'arafah mengikuti waktu wukuf di Saudi,
namun saya ada pertanyaan yg benar2 mengganjal nih ustadz :
Dalam hal ini, bila kita puasa arafah
mengikuti waktu wukuf berarti kita puasa arafah tgl 15 November, nah bagaimana
dengan perayaan Idul Adha-nya ustadz dimana kita tidak memungkinkan mengikuti
Saudi karena pemerintah sini menetapkan Idul Adha (10 Dzulhijjah) tgl 17
November, berarti kita bakal ada kekosongan hari? Atau solusinya adalah kita
puasa arafah mengikuti saudi sementara idul adha-nya bersama pemerintah?
Tolong tanggapannya ya ustadz. Terima
kasih.
--Abu Ahmad--
Salman Al
Faris mengatakan...
Ijin Share ustadz ....
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
'Iedul-Adlhaa ikut Saudi, sehingga tidak
ada kekosongan hari. Wallaahu ta'ala a'lam.
Usup
Supriyadi mengatakan...
alhamdulillaah, saya sendiri ikut Saudi
Arabia...
dan, saya kira apa yang difatwakan di
atas, tidak memberatkan... subhanallaah...
Di daerah kami kebanyakan sholat id
mengikuti pemerintah (rabu). bagaimana kita menyikapinya karena samapai saat
ini di daerah kami, saya belum mendapati tempat yang menyelenggarakan shalat id
mengikuti saudi.
mohon pencerahan.
Andang Banda Aceh...
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Jika orang yang menyelenggarakan shalat
'Ied pada hari Selasa tidak ada, atau ada namun dikhawatirkan menimbulkan
fitnah, maka tidak mengapa ikut shalat 'Ied di hari Rabu. Wallaahu a'lam.
Assalamualaikum...
Scr pribadi sy memilih pendapat yg telah
diutarakan syaikh utsaimin terkait hal ini yaitu puasa arafah mengikuti hilal
di daerah masing2.. Lalu,Bwt ust abul jauzaa, ada hal yg ingin sy tanyakan
Bgmn orang2 yang hidup di negara dimana
ketika saudi siang hari, maka mereka dalam keadaan malam hari, atau ketika
saudi malam hari,maka mereka dlm keadaan siang hari,seperti negara amerika atau
hawai?? Pada saat kapan mereka harus puasa arafah? Karena jika mengikuti
pendapat puasa mengikuti hilal saudi, sama saja mereka tetap tdk akan berpuasa
di waktu orang sedang wukuf... Dgn demikian tentu mereka akan mengikuti hilal
di negeri mereka..
Jazakallah khair atas jwbnnya..
-Almaidany-
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.
Silakan saja bagi antum jika memang fatwa
Syaikh Ibnu 'Utsaimin - menurut antum - lebih kuat untuk diikuti. Ini adalah
khilaf mu'tabar di kalangan ulama yang tidak selayaknya menjadikan kita
bertikai antara satu dengan yang lainnya. Dan saya rasa, pertanyaan yang antum
sampaikan itu bukanlah pertanyaan, namun tidak lebih sebagai salah satu alasan
antum untuk mengambil perajihan yang telah antum pilih.
Adapun komentar saya : Mengikuti jama'ah
haji adalah asal hukum, dan hukum ini dilaksanakan sesuai dengan
kesanggupan. Bagi yang tidak mendengar atau tidak sampai kepadanya informasi
tentang wuquf 'Arafah, maka diperbolehkan baginya untuk berijtihad dengan
ru'yah hilal yang nampak baginya. Begitu pula dengan negeri-negeri yang beda 12
jam dengan Saudi. Jika memang negeri tersebut tidak pernah bersama waktu
siangnya dengan Saudi, bukankah negeri itu bisa masih bersama waktu malamnya
dengan Saudi. Karena, tidak ada negara di dunia ini yang akan berbeda waktu
selama lebih dari 12 jam dengan Saudi. Ini adalah satu kondisi yang tidak boleh
dijadikan hukum umum.
Dan kalau boleh saya pun bertanya kepada
antum (jika antum menguatkan pendapat Asy-Syaikh Ibnu 'Utsaimin) :
1. Adakah nukilan salaf (terutama
generasi awal Islam) yang menyatakan bahwa negeri Syaam, Yaman, 'Iraaq, ataupun
Mesir berbeda pelaksanaan 'Arafahnya dengan Makkah ? Saya harap antum tidak
memakai dalil Ibnu 'Abbaas dalam masalah Syawal.
2. Seandainya antum di negara A dan saya
di negara B, dimana jarak rumah antum dengan saya hanya 50 m. Namun antara
rumah saya dan antum terdapat pagar perbatasan negara. Negara antum memutuskan
'Arafah hari Selasa, sedangkan negara saya hari Senin. Bagaimana penjelasan
antum mengenai hal ini ? [saya memakai logika geografi yang sama dengan yang
antum pakai].
Sa'ad mengatakan...
Terkait penjelasan Syaikh Ubailan
hafidhahullah atas pertanyaan yang diajukan kepada beliau, ana ingin bertanya:
Apakah Idul Adha itu HARUS tanggal 10
Dzulhijjah atau TIDAK?
Abu Afifah mengatakan...
sebagai orang awam..ada beberap
pertanyaan yang menggelitik :
1.apakah kita WAJIB MENGETAHUI info-info
terkini dari Saudi (info wukuf,Ied, dll)
2. konsekuensi hukumnya, jika wajib
mengetahui, berarti harus nonton TV, baca berita,dll (memiliki alat komunikasi)
3.Apakah ada perubahan hukum? jaman dulu
gak ada alat komunikasi secanggih sekarang yang bisa mengupadate informasi dari
negeri jauh, praktis menggunakan ru'yah hilal lokal..apakah penerapan hukum ini
hanya berlaku di jaman canggih sekarang, dulu tidak.. islam syamil..... fi
kulli makan wa zaman..
4.Tahun ini perayaan Ied Adha di
indonesia berbeda dengan Saudi, Jika Pemerintah Indonesia yg punya otorisasi
menetapkan waktu Ied Adha pada tgl 17 Nop 2010 berdasarkan Ru'yah hilal lokal
bukan hisab ..menaatinya kok dibilang taat pada maksiat?? Setahu saya ada ormas
yang menggunakan metode hisab tapi kebetulan bersamaan waktunya dengan Saudi..
Apakah dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan antara Iedul Fithri dan Iedul Adha dimana jika Iedul Fithri kita
boleh mengikuti hilal masing-masing negri, adapaun jika itu Iedul Adha harus
mengikuti hilal penduduk Makkah?
abu hanif mengatakan...
ustadz, adakah pengertian bahwa hari
tasyrik masih termasuk hari raya, apabila ada maka apakah bisa seperti ini :
kita tetap puasa arafah dan Lebaran ikut saudi namun sholat ied ikut pemerintah
kita dikarenakan tanggal tersebut masih dalam rangkain hari tasyrik.
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
@Abu Afifah,...
1. Wajib mengetahui khabar hilal penduduk
Makkah, terkait pelaksanaan haji mereka. Wajib di sini bukan 'ain, tapi
kifaayah.
2. Konsekuensi hukum yang terlalu
'dipaksakan'.
3. Tidak ada perubahan hukum. Dan
sebenarnya pertanyaan semisal sudah saya komentari.
4. Jika antum paham akan duduk
permasalahan khilaf di antara ulamanya, insya Allah antum tidak akan berkata
demikian.
@Anonim,.... berbeda, tentu saja dari
sisi pandang pendapat ulama yang mengatakan berbeda.
@Abu Hanif,... yang terdapat dalam hadits
bahwasannya hari tasyrik adalah hari makan dan minum. Saya belum mendapati
keterangan bahwa hari tasyrik termasuk 'Ied.
Wallaahu ta'ala a'lam.
sayurhaseum mengatakan...
rasulullah bersabda " kami adalah
umat yang bodoh yang tidak bisa menulis dan membaca" maka dari itu
penetapan pada waktu itu tidak berlaku hisab.
Wa yathlubuhu Hatsisan (Al-Araaf : 54)
Tidaklah mungkin bagi matahari
mendapatkan bulan dan ma...lampun tidak dapat mendahului siang–Yaasiin (36) :
40-
perbedaan waktu saudi-indonesia hanya 4
jam lebih dahulu indonesia.
indonesia telat bulan. yang menjadikan
keduluan saudi 20 jam.
perhitungan qomariah, mulai masuk hari
ketika masuk maghrib(matahari terbenam) beda dengan masehi yang dihitung sejak
matahari terbit(subuh). jadi tidak ada alasan indonesia menunda hilal hingga
esok hari.
sesungguhnya sudah sunatullah bahwa
matahari tidak akan mendahului bulan. atau dengan kata lain saudi tidak mungkin
mendahului indonesia dalam hilal.
www. perlu dipertanyakan keprofesionalan
mereka dalam ru'yah. apalagi setelah dibandingkan dengan hisabpun ketetapan mereka
jauh darinya. yang mana hisab lebih dekat dengan kebenaran yaitu dalil
al-qur'an dan sains
Tanya Tadz, apakah dalam masalah khilaf
mu'tabar yg terjadi di antara para ulama seperti dalam masalah ini tidak bisa
diberlakukan kaidah "Ilzam al-shulthan yarfa' al-khilaf". Ketetapan
penguasa menghilangkan perbedaan?
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
bisa
Anonim mengatakan...
gimana jika perayaannya ikut pemerintah
dengan dalil "...beriedul adhalah kamu bersama kaum muslimin", dan
puasanya berdasarkan arofah dengan dalil shaum yaumul 'arofah ustadz..??
apakah ini pendapat yang ganjil..??
zaid mengatakan...
tadz bginmana klo wktu disini ketempatan
sore kpn kta puasa arafah nya?? hr itu tp sdah drncnakan atau bsok pagi...???
@anonim 16 November 2010 05.18
Agar antum tidak bingung, pilihlah yg
sesuai dengan keyakinan antum, mau beridul adha dengan pemerintah atau
mengikuti saudi. Jika antum memilih untuk mengikuti saudi, maka kemarin (15
Nov) adalah puasa arafah dan harusnya hari ini (16 Nov) antum sholat 'id, jadi
tidak benar jika antum kemarin puasa arafah lalu sholat 'idnya mengikuti
pemerintah yaitu besok (17 Nov) karena bakal ada kekosongan hari, dan ini
ganjil.
Ana udh menanyakan ini ke ustadz Abul
Jauzaa dan udh dijawab kok, coba dicek lg di komen2 yg atas.
--Abu Ahmad--
Abu Amjad mengatakan...
Assalaamu'alaykum warohmatullohi
wabarokaatuh,
Akhi mohon antum membahas juga tentang
takbir 1 kali pada sholat Ied yg dilakukan oleh saudara-saudara kita
Muhammadiyah di Bandung.
Di wawancara di TV katanya hadits yang
takbir 7 kali di raka'at pertama dan 5 kali di raka'at kedua tidak shahih.
Syukron Jazilan
Bagaimana bila kita tinggal di Alaska
yang dikurangi 12 jam dari Arab Saudi,apakah Alaska harus ikut Mekkah(Arab
Saudi) pada tgl 16 November sedangkan di Arab Saudi sudah masuk hari ke 11
Dzulhijah? Mohon penjelasan Ustadz,jazakallah
Muhammad mengatakan...
Silakan lihat diskusi di muslim.or.id
pada kolom komentar di artikel:
http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/puasa-arofah-ikut-siapa.html
se7 sama ini----> Bagaimana bila kita
tinggal di Alaska yang dikurangi 12 jam dari Arab Saudi,apakah Alaska harus
ikut Mekkah(Arab Saudi) pada tgl 16 Nvoember sedangkan di Arab Saudi sudah
masuk hari ke 11 Dzulhijah? Mohon penjelasan Ustadz,jazakallah..... Scr pribadi
sy memilih pendapat yg telah diutarakan syaikh utsaimin terkait hal ini yaitu
puasa arafah mengikuti hilal di daerah masing2...share blog islam...
http://www.kunya86.multiply.com/
Assalamu'alaikum..afwan Ust, setau
saya:
1)Rosul bersabda "Berpuasalah kalian
karena melihatnya (hilal) dan Berbukalah kalian karena melihatnya (hilal)"
Al Hadits.
2)Rosul bersabda "Puasa kalian
ketika manusia (kaum muslimin) berpuasa dan 'Idul Adha kalian ketika manusia
(kaum muslimin) ber'Idhul Adha" Al Hadits
3)Sahabat Ibnu Mas'ud berkata "Al
Khilafu Syarr" yg artinya "Perselisihan itu jelek"
4)Syaikh Al Albany dan Syaikh Ibnu
'Utsaimin yang berfatwa agar merayakan 'Ied bersama pemerintah negara masing2
5)Sebagaimana daerah yang berada di
wilayah timur lebih dulu berbuka puasa dari wilayah barat dg kesepakatan
ulama...kenapa tidak sama dlm masalah puasa arofah?
1.Bahwasanya hari ‘Arafah adalah tanggal
sembilan (9) dari bulan dzulhijjah, sama saja hal itu bertepatan dengan waktu
jama’ah haji melakukan wukuf atau tidak, dan bahwasanya setiap daerah memiliki
mathla’ tersendiri. Di antara ulama yang mengambil pendapat ini adalah Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syaikh ‘Abdullah bin Jibrin rahimahumallah,
Dr.Hanii bin ‘Abdullah al-Jubair hafizhahullah, Prof.Dr Ahmad al-Haji al-Kurdi
hafizhahullah dan Prof.Dr Khalid al-Musyaiqih hafizhahullah dan lain-lain..
2.Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu
Dawud rahimahullah (2437), Imam Ahmad rahimahullah (2269) Imam an-Nasaai
rahimahullah (2372) yang dishahihkan oleh al-Albani rahimahullah dari sebagian
istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata:
”Dahulu Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam berpuasa pada tanggal sembilan dzulhijjah, hari ‘Asyuraa’, dan tiga
hari setiap bulan yaitu hari senin pada awal bulan dan dua hari kamis.”
Segi pendalilan: Bahwa istri Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam dahulu melakukan puasa pada tanggal sembilan dzulhijjah dan itu tidak
diragukan lagi dilakukan oleh beliau sebelum haji Wada’. Dan lafazh كان menunjukkan
rutinitas sebuah amalan. Dan tidak sampai kepada kami sebuah riwayat bahwasanya
beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersungguh-sungguh untuk mencari tahu
tentang kapan waktu wukuf jama’ah haji di bukit ‘Arafah di Makkah
3.Baca juga :
a.Atsar Salaf & Perkataan ‘Ulama
Tentang Sholat ‘Iedain Bersama Hukkam (http://tholib.wordpress.com/2007/01/14/atsar-salaf-perkataan-ulama-tentang-sholat-iedain-bersama-hukkam/)
b Fatwa asy-Syaikh al-Albani tentang
Sholat Dua Hari Raya Bersama Pemerintah
(http://tholib.wordpress.com/2006/12/26/fatwa-asy-syaikh-al-albani-tentang-sholat-dua-hari-raya-bersama-pemerintah/)
c.http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/puasa-arofah-ikut-siapa.html
NB : Bantahan khusus buat Abul-Jauzaa
bisa klik http://www.fawaaid.sg/2010/11/puasa-arafah-mengikut-imam.html
ternyta diskusiny belum selesai.
al ust abul jauzaa sbtlny sudah
mengatakan bhw ini khilaf yg mu'tabar.
sudahlah tdk ahsan qt memaksakan pendapat
qt pada org lain.
kalo mau menyanggah, sanggahlah poin2
bahasn yg beliau torehkan diatas.
wallahu a'lam
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Sebenarnya saya ingin 'sudahi'
pendiskusian ini, mengingat apa yang kita bicarakan telah 'lewat'. Selain itu,
masih ada waktu panjang bagi kita ke depan, insya Allah, untuk mendalami
permasalahan ini kembali.
@Anonim (25 Nopember 2010),.... berikut
tanggapan singkat saya :
1. Ya, itulah ulama yang berpendapat
berbeda dengan yang saya sebutkan di atas. Namun, apakah benar hari 'Arafah itu
tanggal 9 secara mutlak ? Bukankah jika jama'ah haji wuquf karena keliru pada
tanggal 10 atau 8 Dzulhijjah, maka wuqufnya adalah sah ? Selain itu, telah
banyak penjelasan ulama (semisal An-Nawawiy dan yang lainnya) bahwa hari
'Arafah itu bukan hari kesembilan pada bulan Dzulhijjah secara mutlak.
2. Hadits itu lemah. Dan sepertinya,
terjemahan "at-tis'u" itu bukan pada tanggal sembilan Dzulhijjah,
tapi puasa sembilan hari pada bulan Dzulhijjah.
3. Ya saya sudah baca. Adapun sanggahan
Ustadz Murad Sa'iid, saya juga sedikit telah mengomentarinya.
Baarakallaahu fiik.
ketika seseorang memegang satu pendapat,
maka pasti ia akan mempertahankannya mati-matian, meskipun dalil-dalil yang
dipakai lemah dan ada pendapat yang lebih kuat
tapi ada contoh menarik yang perlu kami
angkat
Hikmah yang kami petik pada suatu kajian
malam Jumat Riyadussholihin di Musholla Pasar Minggu, Ustadz Abdul Hakim Amir
Abdat menceritakan pengalamannya tentang goyahnya pendapat beliau terhadap
suatu masalah dalam sifat sholat Naby, yaitu ketika turun untuk sujud apakah
mendahulukan tangan ataukah mendahulukan lutut.
bahwasanya beliau berpendapat (sesuai
dengan bacaan beliau) bahwa ketika Turun untuk sujud adalah dengan mendahulukan
TANGAN kemudian lutut, beliau merajihkan pendapat tersebut ditambah lagi hal
itu dikuatkan lagi dengan adanya fatwa syaikh Albani (sifat Sholat Naby).
“Suatu
ketika di musim haji...
Ustadz Abdul Hakim menghadiri ta’lim
Syaikh Utsaimin, ta’lim itu dihadiri oleh banyak penuntut ilmu
Al allamah membahas tentang sifat sholat
Naby, salah satunya membahas bahwa ketika turun sujud adalah afdolnya
MENDAHULUKAN LUTUT sebelum tangan dengan dalil-dalil yang kuat..
singkat cerita Ustadz Abdul Hakim pun
bertanya kepada Al Allamah bagaimana dengan pendapat syaikh Albany yang
merajihkan mendahulukan tangan...
Al Allamah menjawab kurang lebih : “Aku
berharap kebenaran bersamaku”
Maka seketika itu juga Abdul Hakim
mengaku goyah dan
akhirnya beliau yakin dengan penjelasan
Al Allamah..
ia pun merajihkan pendapat mendahulukan
lutut ketika akan turun untuk sujud
ketika hanya dengan membaca kitab-kitab
semata beliau punya pendapat sendiri
tapi ketika beliau mendengar langsung di
Majlis Ulama, maka beliau mendapat pencerahan
baarakallahu fyk
Abu
Al-Jauzaa' : mengatakan...
Semoga kita terjauh dari
sikap 'mempertahankan pendapat mati-matian, meskipun dalil-dalil yang
dipakai lemah dan ada pendapat yang lebih kuat'. Dan jangan bakhil mendoakan
saya agar tidak termasuk salah satu di antaranya.
Syukran !!
agung
sutrisno mengatakan...
kalau kita ikut saudi, padahal waktunya
duluan indonesia maka waktu kita puasa saudi belum wukuf. mohon pencerahannya
Ustadz, saya sependapat dengan antum,
alasannya.
Jika hadits dari Nabi isinya menyatakan
puasa pada 9 Dzulhizah maka, hukum asalnya mengikuti hilal (pertanggalan).
Jika kita lihat, hadits Nabi tentang
puasa ada yang berdasarkan tanggal seperti puasanya tanggal 10 Muharram, puasa
tanggal 1 Ramadhan, tanggal 13,14,15.
Ada yang berdasarkan hari tidak terikat
tanggal, seperti puasa hari senin, puasa hari kamis, puasa hari arafah, puasa
Nabi Daud.
Hari arafah adalah hari jamaah haji wukuf
di padang arafah.
wallahu'alam.
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
8 comments:
●Puasa Arafah Mengikut Imam
Ustaz Murad Said [singapura]:
Assalamu'alaykum Ustaz,
fyi..
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/11/fatwa-lajnah-daaimah-asy-syaikh-al.html
السلام عليكم و رحمة الله
Ana pun ada komen pasal hal ini di
http://www.islamiq.sg/2010/11/puasa-arafah.html
wallahualam
abu ismailNovember 18,
2010 at 7:26 PM
Ustadz Abul Jauza -hafizhohulloh- telah
menanggapi tulisan antum di sini:
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/11/puasa-arafah.html?showComment=1290075362847#c8189612262412230537
Syukran al-Akh Abu Ismail. Saya sudah
membaca keseluruhannya jawaban beliau.
Sekarang pembaca boleh menilai hujjah
masing2.
kata2 beliau secara keseluruhan tidak
terkeluar dari hujjah2 asli beliau. Oleh itu jawaban ana terhadap beliau juga
tidak terkeluar dari yg ada dalam tulisan ana.
Jika ada kemusykilan tertentu ttg hujjah2
ini yang rasanya tidak terjumpa didalam tulisan ana silakan diminta penjelasan.
Diakhir2 jawaban Ustaz Abul Jauza' ada
menambah dalil tentang mubahah ( bermegah2an Allah ) dihari Arafah utk ahli
wukuf. Hadith ini juga telah dijawab oleh ulama bahawa ia khusus untuk mereka
yg wukuf di Arafah sebagaimana yg tidak tersembunyi. Fadilat ini bukan umum utk
umat dilapisan dunia yg lain.
Fadilat puasa Arafah yg dlm hadith hanya
berkaitan dihapuskan dosa 2 tahun.
Tidak harus dipaksakan sebagai nas yg
menyuruh seluruh dunia meninggalkan rukyah mereka dan mengikut Mekah.
Beliau telah menukilkan dari Syaikh
Ar'aur dan al-Asyqar bahawa telah tedapat ijma'.Ana telah mengetahui nukilan
ini sebelum menulis. Hujjah ini adalah yg terkuat jika dapat dibuktikan
mustanadnya.
Sedangkan ana haya minta nas dari satu
orang Imam dari kalangan salaf yg membeza2kan Ramadan-Syawal dan Zulhijjah dlm
menentukan awal bulannya.
Satu lagi tambahan dari Ustaz Abul Jauza'
yg dijadikan dalil bahawa salaf telah ijma' mengikut Mekah adalah riwayat
Ibrahim an-Nakhaiey ttg hari yg disyak sebagai hari Nahar.
Jawaban :
Ini boleh dijadikan dalil bahawa dari
zaman salaf mereka diIraq tidak mengikut Mekah. Masakan ada syak jika demikian?
Tetapi ana tidak akan menggunakan hujjah
ini.
Apakah dalil Ustaz Abul Jauza' bahawa
makna mereka " khawatir ia adalah hari Nahr " disebabkan ia adalah
hari wukuf diArafah?
Mengapa bukan kerana pada awal zul Hijjah
terjadi mendung " ghaim " sehingga mereka mencukupkan zul Qa'edah dgn
a'dad 30 hari, persis seperti masalah hari " syak " Ramadahan. Khilaf
disini seperti khilaf disana.
Yg menguatkan kemungkinan ini adalah
kata2 Ibnu Taimiyah rhm bila ditanya ttg masalah hari syak Arafah.
..فلو غم
هلال ذي الحجة أو شهد برؤيته من لا تقبل شهادته ، إما لانفراده بالرؤية أو لكونه
ممن لا يجوز قبوله ونحو ذلك ، واستمر الحال على إكمال ذي القعدة فصوم يوم التاسع
الذي هو يوم عرفة من هذا الشهر المشكوك فيه جائز بلا نزاع ، قلت ولكن روى ابن أبي
شيبة في كتابه عن النخعي في صوم يوم عرفة في الحضر إذا كان فيه اختلاف فلا يصومن ،
وعنه قال كانوا لا يرون بصوم يوم عرفة بأسا إلا أن يتخوفوا أن يكون يوم الذبح .
وروي عن مسروق وغيره من التابعين مثل ذلك وكلام هؤلاء قد يقال : إنه محمول على
كراهة التنزيه دون التحريم ، والله أعلم " اهـ
Maaf ana tidak terjemahkan utk pembaca.
Sekurang2nya ana mendatangkan fahaman seorang Alim ttg riwayat Ibrahim Nakhaiey
ini.
Tetapi satu perkara yg penting adalah
kata2 Ibn Taimyah : " Puasa hari keSembilan yg disyak ia adalah Arafah
dibolehkan tanpa niz'a. " Sekali lagi dalil ini boleh diterbalikkan atas
penulis.
Maka isu pemutus masalah ini adalah
1) wujudnya khilaf mu'tabar dari salaf
2) dalil perintah atau perbuatan Nabi SAW
atau sahabat yg menunjukkan wajib tidak ikut rukyah dan pemerintah masing2
tetapi mengikut Mekah
Assalamu'alaikum
1. apakah klaim ijma baru bisa diterima
kalau kita mengetahui mustanadnya?
2. Nukilan ijma yang disampaikan syaikh
ar'ur dan al Asyqar bisa dijumpai di mana, ustadz?
Jazakumullahu khoiron
Wa a'laikumussalam Ustaz Aris,
1. Apa juga klaim mesti dibuktikan,
dalilnya hadith masyhur " al-bayyinah a'lal muddai'ey ". Bukti wajib
diberikan oleh pendakwa. Agama kita ini bersanad, jika benar ulama telah ijma'
pasti ada sanadnya. Jika tidak siapa sahaja dapat berkata apa yang dia ingin
katakan. Setiap ijma' juga biasanya diketahui mustanadnya atau sandaran yg
dijadikan dalil, samada ayat Quran atau hadith atau qaedah atau qiyas atau
tafsir sahabat, atau ulama lughah dll bergantung dgn masalahnya.
2. Ia ada dalam fatwa mereka, ada di
website2 berbahasa Arab. Ana tak tahu masih simpan lagi linknya. Utk mengetahui
detail nasnya perlu anta bertanya dengan Ustaz Abul Jauza' sebab beliau yg
berhujjah dgnnya.
Ketika ana baca2 kelmarin seingat ana
fatwa itu tidak menyebutkan siapa Imam penukil Ijma', apakah beliau Ibnul
Mundzir, atau Ibnu Abdil Bar, Nawawy, Ibnu Qudamah, Ibn Hajar dll yg merupakan
mazhann zikril ijma'. Tidak juga disebutkan jenis ijma'nya.
Ijma' inikan ada bermacam2, Ijma'
sahabat, ijma' mansus, ijma' sukuty, ijma' amaly...
Utk menjatuhkan dakwaan ijma' cukup utk
buktikan adanya khilaf. Berapa banyak masalah yg didakwa ijma' ternyata ia
masalah khilafiyah sebagaimana tahqeeq Ibn Taimiyah terhadap kitab ijma'
karangan Ibn Hazm.
Kadang2 dijatuhkan dakwaan ijma' dgn
membuktikan bahawa masalah yg disebutkan itu bukan pada mahallun niza'.
Sebagaimana dakwaan ijma' disyariatkan menyambut maulid Nabi SAW kerana adanya
ijma' wajib mencintai Nabi SAW.
Berat sangkaan ana bahawa ijma' yg
disebutkan berkaitan dgn kewajiban mengikut rukyah ahli Mekah utk manasik haji
diMekah lalu diqiyaskan kepada orang diluar Mekah. Ini dua masalah yg berbeza.
Kadang2 dijatuhkan dakwaan ijma' kerana
orang yg menukilkan ijma' itu mutasahil(terlalu ringan) dlm nukilan, atau orang
yg bukan muktabar keilmuannya sebagai penukil ijma'. Syaikh Syatry seorang
bekas kibar ulama ada sebuah kitab khusus berkaitan masalah ini.
Ala kulli hal, jika tsabit ijma' ini,
tentu dari awal mereka akan gunakan, tidak perlu takalluf dgn dalil2 lain yg
samar2, sebab tidak mungkin kita boleh menyalahi ijma'.
Afwan kerana menambah sedikit ttg ijma'
sebagai faidah utk pembaca umum.
اسلام عليكم استاذ....هنا توجد مشكيلة.....لماذا
فرضةالحج في شهر ذي الحجةومتى شريعة ع
لا يتمكن المسلمون أن يحجوا إلا بعد فتح مكة, عام
8 من الهجرة. و الحج موجود في شريعة إبراهيم عليه و على نبينا السلام
اختلف العلماء في السنة التي فرض فيها الحج ،
فقيل في سنة خمس ، وقيل في سنة ست ، وقيل في سنة تسع ، وقيل في سنة عشر ، وأقربها
إلى الصواب القولان الأخيران ، وهو أنه فرض في سنة تسع أو سنة عشر .
( والدليل
قوله تعالى : ( ولله على الناس حجُّ البيت من استطاع إليه سبيلا ) ففي هذه الآية
وجوب الحج وقد نزلت عام الوفود أواخر سنة تسع ، فيكون الحج فرض أواخر سنة تسع .
انظر زاد المعاد 3/595 )
والله أعلم .
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
22
Komentar
●Al-Imam Ibnu Utsaimin :Shaum
Arafah Tidak Mengikuti Saudi
Abu Umair As-Sundawy said
Januari 26, 2007 @ 2:08 am
Berkaitan dengan ini , saya tuliskan
beberapa komentar saya dimilis yang belum terjawab smpai sekarang,
Pertama,Ada yang bisa tunjukkan fatwa
atau kitab ulama salaf atau mutaakhirin yang membahas panjang lebar mengenai
fiqih teknis shaum arafah yang mana terikat waktu dan tempat dengan prosesi
haji di saudi.Sehingga ikut saudi. Jazaakumullah khoiron.Saya baru
mendapati Al-Masail jilid 5 Ustadz Abd.HakimAbdat), dan fatwa syaikh Salim
Al-Hilaly dalam website beliau dalam artikel التنبئة والتعرفة في أحكام صيام يوم عرفة
Namun keduanya tidak membawakan
pemahaman/fatwa para ulama salaf, syukran jika ada yang bisa bantu saya.
Kedua
Yakni masalah idul adha yang selalu
berulang,
Idul adha kemarin masih adanya ikhwah
yang menyelisihi penguasa dalam melakukan sholat ied.Silahkan bahas dalilnya
apa dan siapa saja dari fatwa ulama untuk kita diskusikan?
Alhamdulillah ada dua tulisan bagus ,
dari akhuna Abu Shilah di blognya.Yakni seharusnya kita berhariraya
bersama penguasa/pemerintah.
Silahkan baca :
1.Atsar Salaf & Perkataan ‘Ulama
Tentang Sholat ‘Iedain Bersama Hukkam (http://tholib.wordpress.com/2007/01/14/atsar-salaf-perkataan-ulama-tentang-sholat-iedain-bersama-hukkam/)
2.Fatwa asy-Syaikh al-Albani tentang
Sholat Dua Hari Raya Bersama Pemerintah
Ada yang berdalih, bahwa karena kita
shaum arafahnya musti mengikuti wukuf arafah, maka tentunya iedul adha nya
adalah keesokan harinya..Dan tidak ada ketaatan kepada penguasa karena ini
maksiat!,jadi tidak ada dasarnya penundaan sholat ‘ied.
Coba berilah saya faidah dari hadit ini :
Umair ibn Anas meriwayatkan dari
kerabatnya yang berasal dari Anshar bahwa mereka berkata, “kami tidak melihat
hilal syawwal. Karena itu di pagi harinya kami berpuasa. Lalu di penghujung
siang (menjelang zuhur) datang rombongan di mana mereka bersaksi di hadapan
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam bahwa mereka telah melihat hilal kemarin.
Maka, rasul segera menyuruh mereka untuk berbuka pada hari itu dan menunaikan
shalat ied pada keesokan harinya. (HR Ahmad, Abu Daud, al-Nasai, dan Ibnu
Majah)
Berdasar hadist diatas,bukan kah boleh
menunda, seandainya kita yakin idul adhanya setelah wukuf saudi?
Terakhir, di komplek perumahan saya di
bogor, ada mesjid “kita” menyelenggarakan lebih awal berbeda dengan
pemerintah,coba bagi yang punya kasus semisal di lingkungannya.Apaperlu
masjid kecil (dengan halaman tidak bisa dibilang besar) menyelenggarakan
sendiri, tidakkah lebih baik bersama penduduk lain di lapangan yang besar
misalnya? Sudah begitu, yang datang banyak yg dari jauh, hanya karena ingin
sholat mengikuti saudi?!
Apakah sudah izin ke pemerintah (depag
minimalnya)? Tidakkah ini keluar dari ketaatan pemerintah? Contoh kasus,DDII
setiap iedul adha mengikuti saudi (tentu berdasar pemahaman/keyakinannya
setelah dibahas), tapi mereka selalu minta izin dengan surat dan ditandatangani
Depag. Sudahkah mesjid kita demikian?
Wassalamualaikum warahmatullah
Semoga ada yang bisa beri faidah
kepadasaya.Al-Ustadz Abu l-Jauzaa, tafadhdhol…
Abu Umair As-Sundawy
Abu Al-Jauzaa' said
Apabila kita membuka beberapa buku fiqh,
pembahasan mengenai penentuan Idul-Adlha atau awal Dzulhijjah memang tidak
sedalam dan sedetail pembahasan penentuan awal Ramadlan (puasa) dan Syawal
(Idul-Fithri) dengan segala perbedaan pendapatnya (antara yang rajih dan
marjuh). Biasanya bahasan-bahasan yang ada diberikan sedikit kesimpulan dengan
kalimat : “Hal itu juga diqiyaskan dengan Idul-Adlha” atau kata yang semisal.
Sebelumnya mohon maaf kepada Pak Admin
jika Abu Al-Jauzaa’ kembali berkesimpulan yang sedikit berbeda dengan apa yang
ditulis di atas. Juga pada Al-Akh Al-Ustadz Abu ‘Umair, silakan koreksi jika
memang salah. Atau siapapun yang mempunyai ilmu tentang hal ini. Start
akan dimulai dengan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Adapun hadits
Kuraib/Ibnu ‘Abbas (HR. Muslim 1087, Tirmidzi 647, dan Abu Dawud 1021) akan
disinggung kemudian.
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu
bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
الصوم يوم تصومون , و الفطر يوم تفطرون , و
الأضحى يوم تضحون
“Puasa
adalah hari dimana kalian berpuasa, dan berbuka (Idul-Fithri) adalah hari
dimana kalian berbuka, dan berkurban (Idul-Adlha) adalah hari dimana kalian
berkurban” (shahih, lihat Silsilah Ash-Shahiihah nomor 224).
Para ulama beristinbath dengan hadits ini
bahwasannya puasa dan hari raya adalah bersama jama’ah kaum muslimin.
Ibnul-Qayyim dalam Tahdzibus-Sunan
(3/214) mengatakan :
و قيل : فيه الرد على من يقول إن من عرف طلوع
القمر بتقدير حساب المنازل جاز له أن يصوم و يفطر , دون من لم يعلم , و قيل : إن
الشاهد الواحد إذا رأى الهلال و لم يحكم القاضي بشهادته أنه لا يكون هذا له صوما ,
كما لم يكن للناس
“Dikatakan
bahwa : Di dalam hadits tersebut ada bantahan terhadap orang-orang yang
mengatakan : ‘barangsiapa yang mengetahui terbitnya bulan (hilal) berdasarkan
hasil hisab (perhitungan) daerahnya, maka boleh baginya berpuasa dan berhari
raya (dengan hisab tersebut), berbeda dengan orang yang tidak mengetahui’. Juga
dikatakan : ‘Sesungguhnya apabila seseorang sendirian melihat hilal, maka qadli
memutuskan dengan persaksiannya, bahkan tidak ada hak baginya untuk berpuasa,
sebagaimana tidak ada hak pula bagi orang selainnya’. [selesai]
Berkata Abul-Hasan As-Sindi dalam
Hasyiyah-nya terhadap Sunan Ibnu Majah setelah ia menyampaikan hadits Abu
Hurairah yang diriwayatkan oleh Tirmidzi :
و الظاهر أن معناه أن هذه الأمور ليس للآحاد فيها
دخل , و ليس لهم التفرد فيها , بل الأمر فيها إلى الإمام و الجماعة , و يجب على
الآحاد اتباعهم للإمام و الجماعة , و على هذا , فإذا رأى أحد الهلال , و رد الإمام
شهادته ينبغي أن لا يثبت في حقه شيء من هذه الأمور , و يجب عليه أن يتبع الجماعة
في ذلك
“Yang
nampak dari hadits ini maknanya adalah bahwa perkara-perkara ini bukanlah
diserahkan kepada setiap orang, dan tidak ada hak bagi mereka untuk menyendiri
dalam perkara-perkara tersebut. Bahkan urusan tentang perkara-perkara tersebut
diserahkan kepada imam (penguasa) dan jama’ah (kaum muslimin), maka wajib atas
setiap individu untuk mengikuti imam dan jama’ah (kaum muslimin). Oleh karena
itu maka apabila salah seorang ada yang melihat hilal, dan sang imam menolak
persaksiannya, maka seharusnya tidak ada hak baginya sedikitpun dalam
perkara-perkara ini, serta wajib atas dirinya untuk mengikuti jama’ah dalam hal
tersebut”. [selesai]
Apabila kita pahami perkataan dua ulama
di atas dan juga hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan, insyaAllah
perkaranya mudah. Yaitu : Kita hendaknya berpuasa dan berhari raya bersama
orang banyak.
Khusus untuk penentuan puasa dan
Ramadlan, perkaranya lebih “luas” berdasarkan hadits Kuraib. Hadits Kuraib
menceritakan khilaf perbedaan antara puasanya ahli Madinah dan ahli Syam
sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam (karena perbedaan mathla’
hilal). Hadits Kuraib tersebut adalah :
أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية بالشام
قال فقدمت الشام فقضيت حاجتها واستهل علي رمضان وأنا بالشام فرأيت الهلال ليلة
الجمعة ثم قدمت المدينة في آخر الشهر فسألني عبد الله بن عباس رضى الله تعالى
عنهما ثم ذكر الهلال فقال متى رأيتم الهلال فقلت رأيناه ليلة الجمعة فقال أنت
رأيته فقلت نعم ورآه الناس وصاموا وصام معاوية فقال لكنا رأيناه ليلة السبت فلا
نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه فقلت أو لا تكتفي برؤية معاوية وصيامه فقال لا
هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Sesungguhnya
Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata
Kuraib : Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan
tampaklah oleh ku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat
hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir
bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa
hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya ; “Kapan kamu
melihat hilal (Ramadlan) ? Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”. Ia
bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ? Jawabku : “Ya ! Dan orang banyak
juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”. Ia berkata : “Tetapi
kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami
sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawwal)”.
Aku bertanya : “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya
Mu’awiyah ? Jawabnya : “Tidak ! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, telah memerintahkan kepada kami.” (HR. Muslim 1087, Tirmidzi 647, dan
Abu Dawud 1021)
Berdasarkan pemahaman hadits Kuraib, maka
kalimat dalam hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : “Hari dimana kalian
berpuasa/berbuka” dapat diartikan dengan : Hari dimana orang-orang di negerimu
berpuasa/berbuka sesuai dengan apa yang diputuskan oleh imam di negerimu”.
Sampai di sini ana kira banyak di antara kita bersepakat. Namun,….. apakah dua
kasus tersebut (puasa dan berbuka) dapat disamakan dengan Berkurban/Idul-Adlha
? Itu yang akan menjadi bahasan kita sekarang ……….. Sebelumnya perlu dicatat
bahwa hadits Kuraib yang dijadikan dalil oleh para ulama dalam pembolehan
perbedaan mathla’ adalah hadits yang menceritakan tentang penentuan mulai
Ramadlan dan Syawal. Tidak terkait secara khusus dengan penentuan bulan
Dzulhijjah yang di dalamnya ada ibadah haji yang otomatis menentukan waktu
wuquf dan hari Nahr (penyembelihan), yaitu tanggal 10 Dzulhijjah (walaupun
banyak yang mengqiyaskannya pada Idul-Adlha).
Bila kita kembalikan kepada hadits Abu
Hurairah di atas, apakah sebenarnya makna kalimat [و
الأضحى يوم تضحون] : “Berkurban
(Idul-Adlha) adalah hari dimana kalian berkurban” ?
Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits
nabawi yang menjelaskan bahwa pelaksanaan ibadah kurban di bulan Dzulhijjah
sangat erat kaitannya dengan rangkaian ibadah haji akbar yang dilaksanakan di
Tanah Suci. Dalil-dali tersebut adalah :
1. QS. Al-Baqarah : 189
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلّةِ قُلْ هِيَ
مَوَاقِيتُ لِلنّاسِ وَالْحَجّ
“Mereka
bertanya kepadamu tentang bul;an sabit. Katakanlah : Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”.
2. QS. Al-Maidah : 97 :
جَعَلَ اللّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ
قِيَاماً لّلنّاسِ وَالشّهْرَ الْحَرَامَ وَالْهَدْيَ وَالْقَلاَئِدَ ذَلِكَ
لِتَعْلَمُوَاْ أَنّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ
وَأَنّ اللّهَ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Allah
telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan
dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid. (Allah
menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
3. QS. Al-Hajj : 26 – 28
وَأَذّن فِي النّاسِ بِالْحَجّ يَأْتُوكَ
رِجَالاً وَعَلَىَ كُلّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلّ فَجّ عَميِقٍ * لّيَشْهَدُواْ
مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ فِيَ أَيّامٍ مّعْلُومَاتٍ عَلَىَ
مَا رَزَقَهُمْ مّن بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُواْ مِنْهَا وَأَطْعِمُواْ
الْبَآئِسَ الْفَقِيرَ وَإِذْ بَوّأْنَا لإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَن لاّ
تُشْرِكْ بِي شَيْئاً وَطَهّرْ بَيْتِيَ لِلطّآئِفِينَ وَالْقَآئِمِينَ وَالرّكّعِ
السّجُودِ *
“Dan
(ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah
(dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan
sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang
beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk
mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan
mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya
mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama
Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang Allah telah berikan
kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan
(sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan
fakir.”
4. QS. Al-Hajj : 33 – 36
لَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ إِلَىَ أَجَلٍ مّسَمّى
ثُمّ مَحِلّهَآ إِلَىَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ * وَلِكُلّ أُمّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً
لّيَذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ عَلَىَ مَا رَزَقَهُمْ مّن بَهِيمَةِ الأنْعَامِ
فَإِلَـَهُكُمْ إِلَـَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُواْ وَبَشّرِ الْمُخْبِتِينَ *
الّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصّابِرِينَ عَلَىَ مَآ
أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصّلاَةِ وَمِمّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ *
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مّن شَعَائِرِ اللّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ
فَاذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ عَلَيْهَا صَوَآفّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا
فَكُلُواْ مِنْهَا وَأَطْعِمُواْ الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرّ كَذَلِكَ سَخّرْنَاهَا
لَكُمْ لَعَلّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Bagi
kamu pada binatang-binatang hadyu itu ada beberapa manfa’at, sampai kepada
waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa) menyembelihnya
ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah). Dan bagi tiap-tiap umat telah
Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah
terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, maka
Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya.
Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah),
(yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka,
orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang
mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang
telah Kami rezkikan kepada mereka. Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta
itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya,
maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan
berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah
sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya
(yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah
menundukkan untua-unta itu kepada kamu, mudah-mudahan kamu bersyukur.”
5. Hadits dari Jabir radliyallaahu ‘anhu
:
وَعَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ
نَحَرْتُ هَاهُنَا, وَمِنًى كُلُّهَا مَنْحَرٌ, فَانْحَرُوا فِي رِحَالِكُمْ,
وَوَقَفْتُ هَاهُنَا وَعَرَفَةُ كُلُّهَا مَوْقِفٌ, وَوَقَفْتُ هَاهُنَا وَجَمْعٌ
كُلُّهَا مَوْقِفٌ [صحيح. رواه مسلم ( 2 / 893 / 145 )]
“Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : Aku BERKURBAN di sini dan
Mina seluruhnya tempat PENYEMBELIHAN KURBAN, maka BERKURBANLAH di tempat
kemah-kemahmu. Aku wuquf di sini dan Arafah seluruhnya tempat wuquf. Aku
menginap di sini dan Mudzdalifah seluruhnya tempat menginap” (HR. Muslim).
6. Hadits dari Abdullah bin ‘Amr bin
Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhu :
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوِ بْنِ
اَلْعَاصِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ وَقَفَ فِي حَجَّةِ
اَلْوَدَاعِ, فَجَعَلُوا يَسْأَلُونَهُ, فَقَالَ رَجُلٌ: لَمْ أَشْعُرْ,
فَحَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ. قَالَ: ” اِذْبَحْ وَلَا حَرَجَ ” فَجَاءَ
آخَرُ, فَقَالَ: لَمْ أَشْعُرْ, فَنَحَرْتُ قَبْلَ أَنْ أَرْمِيَ, قَالَ: ” اِرْمِ
وَلَا حَرَجَ ” فَمَا سُئِلَ يَوْمَئِذٍ عَنْ شَيْءٍ قُدِّمَ وَلَا أُخِّرَ إِلَّا
قَالَ: ” اِفْعَلْ وَلَا حَرَجَ [صحيح. رواه البخاري ( 83 )، ومسلم ( 1306 ).]
“Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berhenti pada haji wada’ dan
orang-orang saling bertanya kepada beliau. Seorang laki-laki bertanya : ‘Aku
tidak sadar, aku telah mencukur sebelum MENYEMBELIH KURBAN’. Beliau bersabda :
‘Sembelihlah kurban, tidak apa-apa’. Seorang lain dating dan bertanya : ‘Aku
tidak sadar, aku tidak MENYEMBELIH KURBAN sebelum melempar jumrah’. Beliau
menjawab : ‘Melemparlah tidak apa-apa’. Pada hariitu beliau tidak ditanya
dengan sesuatu yang didahulukan dan diakhirkan kecuali beliau menjawab :
‘Kerjakanlah, tidak apa-apa’ (Muttafaqun ‘alaih)
7. Hadits ‘Ashim bin ‘Adi radliyallaahu
‘anhu :
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ أَرْخَصَ لِرُعَاة
اَلْإِبِلِ فِي اَلْبَيْتُوتَةِ عَنْ مِنًى, يَرْمُونَ يَوْمَ اَلنَّحْرِ, ثُمَّ
يَرْمُونَ اَلْغَدِ لِيَوْمَيْنِ, ثُمَّ يَرْمُونَ يَوْمَ اَلنَّفْرِ [صحيح. رواه
أبو داود ( 1975 )، والنسائي ( 5 / 273 )، والترمذي ( 955 )، وابن ماجه ( 3037 )،
وأحمد ( 4 / 450 )، وابن حبان ( 1015 موارد ). وقال الترمذي: حسن صحيح]
“Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan pada para
penggembala unta untuk bermalam di luar kota Mina. Mereka melempar pada HARI
RAYA KURBAN, mereka melempar besok dan besok lusa untuk dua hari, kemudian
mereka melempar pada hari nafar (tanggal 14)” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’I,
At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban dalam Al-Mawaarid dengan sanad
shahih).
8. Hadits Jabir radliyallaahu ‘anhu ia
berkata :
رَمَى رَسُولُ اَللَّهِ اَلْجَمْرَةَ يَوْمَ
اَلنَّحْرِ ضُحًى, وَأَمَّا بَعْدَ ذَلِكَ فَإِذَا زَادَتْ اَلشَّمْسُ [صحيح. رواه
مسلم ( 1299 ) ( 314 ). وفيه: " وأما بعد، فإذا زالت الشمس " برفع
" بعد " ودون لفظ: " ذلك ".]
“Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam melempar jumrah pada HARI RAYA KURBAN, lalu ia
melempar jumrah sebelum fajar, kemudian pergi dan turun (ke Mekkah)” (HR.
Muslim).
9. Hadits Al-Miswar bin Mahramah
radliyallaahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ نَحَرَ قَبْلَ أَنْ
يَحْلِقَ, وَأَمَرَ أَصْحَابَهُ بِذَلِكَ [صحيح. رواه البخاري ( 1811 ).]
“Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam MENYEMBELIH KURBAN sebelum mencukur
dan menyuruh para shahabat untuk melakukan demikian” (HR. Bukhari)
10. Hadits dari Abdullah bin ‘Umar
radliyallaahu ‘anhu :
تمتع رسول الله صلى الله عليه وسلم في حجة الوداع
بالعمرة إلى الحج وأهدى فساق معه الهدي من ذي الحليفة وبدأ رسول الله صلى الله
عليه وسلم فأهل بالعمرة ثم أهل بالحج فتمتع الناس مع النبي صلى الله عليه وسلم
بالعمرة إلى الحج فكان من الناس من أهدى فساق الهدي ومنهم من لم يهد فلما قدم
النبي صلى الله عليه وسلم مكة قال للناس من كان منكم أهدى فإنه لا يحل لشيء حرم
منه حتى يقضي حجة ومن لم يكن منكم أهدى فليطف بالبيت وبالصفا والمروة وليقصر
وليحلل ثم ليهل بالحج فمن لم يجد هديا فليصم ثلاثة أيام في الحج وسبعة إذا رجع إلى
أهله فطاف حين قدم مكة واستلم الركن أول شيء ثم خب ثلاثة أطواف ومشى أربعا فركع
حين قضى طوافه بالبيت عند المقام ركعتين ثم سلم فانصرف فأتى الصفا فطاف بالصفا
والمروة سبعة أطواف ثم لم يحلل من شيء حرم منه حتى قضى حجة ونحر هديه يوم النحر
وأفاض فطاف بالبيت ثم حل من كل شيء حرم منه وفعل مثل ما فعل رسول الله صلى الله
عليه وسلم من أهدى وساق الهدي من الناس وعن عروة أن عائشة رضى الله تعالى عنها
أخبرته عن النبي صلى الله عليه وسلم في تمتعه بالعمرة إلى الحج فتمتع الناس معه
بمثل الذي أخبرني سالم عن بن عمر رضى الله تعالى عنهما عن رسول الله صلى الله عليه
وسلم
“Ketika
haji wada’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melaksanakan haji tamattu’
dengan mendahulukan umrah sebelum haji. Beliau MENYEMBELIH KURBAN dari Dzul
Hulaifah. Beliau memulai ihram untuk umrah, setelah itu beliau melaksanakan
umrah untuk haji. Orang-orang pun mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam dengan memulai ihram untuk umrah, baru kemudian ihram untuk haji
secara tamattu’. Sebagian mereka membawa HEWAN KURBAN, dan sebagian yang lain
tidak. Setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tiba di Makkah, beliau
bersabda kepada para jama’ah haji : ‘Siapa di antara kalian yang membawa HEWAN
KURBAN, janganlah bertahallul sebelum menyelesaikan hajinya, dan siapa di
antara kalian yang tidak membawa HEWAN KURBAN, lakukanlah haji tamattu’ dengan
thawaf di Baitullah, kemudian sa’I antara Shafa dan Marwah, lalu memotong
rambut, kemudian bertahallul, setelah itu ihram lagi untuk haji. Siapa yang
tidak mampu memberikan HEWAN KURBAN, maka berpuasalah 3 hari selama pelaksanaan
ibadah haji dan 7 hariketika berada kembali di kampung halamannya” (HR. Bukhari
nomor 1691).
11. Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu
ia berkata :
بعثني أبو بكر الصديق في الحجة التي أمره عليها
رسول الله صلى الله عليه وسلم قبل حجة الوداع في رهط يؤذنون في الناس يوم النحر لا
يحج بعد العام مشرك ولا يطوف بالبيت عريان
“Aku
diutus oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq pada suatu haji yang diperintahkan oleh
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebelum haji wada’, dalam suatu
rombongan yang memberikan pengumuman kepada kaum muslimin pada HARI RAYA KURBAN
(yang isi pengumuman tersebut adalah : ) “Setelah tahun ini orang musyrik tidak
boleh berhaji dan orang yang telanjang (tidak menutup aurat) tidak boleh thawaf
di Baitullah”
قال بن شهاب فكان حميد بن عبد الرحمن يقول يوم
النحر يوم الحج الأكبر من أجل حديث أبي هريرة
Berkata Ibnu Syihaab : Humaid bin
Abdirrahman mengatakan : “HARI RAYA KURBAN adalah Hari Haji Akbar, menurut
hadits Abu Hurairah tersebut (HR. Muslim nomor 1347).
12. Dan lain-lain.
Dari dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah
di atas di atas secara jelas menunjukkan bahwa pelaksanaan Hari Raya Kurban
(Yaumun-Nahr) dan penyembelihan (tanggal 10 Dzulhijjah) terkait dengan ibadah
haji akbar yang dilakukan di Makkah.
Allah berfirman :
وَأَذَانٌ مّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النّاسِ
يَوْمَ الْحَجّ الأكْبَرِ أَنّ اللّهَ بَرِيَءٌ مّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
فَإِن تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لّكُمْ وَإِن تَوَلّيْتُمْ فَاعْلَمُوَاْ أَنّكُمْ
غَيْرُ مُعْجِزِي اللّهِ وَبَشّرِ الّذِينَ كَفَرُواْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan
(inilah) pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari Haji
Akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang
musyrikiin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu
lebih baik bagimu dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir
(bahwa mereka akan mendapat siksa pedih)” (QS. At-Taubah : 3).
Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari (8/407)
berkata ketika mengomentari perkataan Humaid bin ‘Abdirrahman (dalam hadits
nomor 10 di atas – yaitu : النحر يوم الحج
الأكبر) mengatakan : “Ia mengambil istinbath tersebut dari firman
Allah Surat At-Taubah ayat 3 di atas dan dari seruan yang dikumandangkan oleh
Abu Hurairah atas perintah Abu Bakar pada Hari Nahar. Itu menunjukkan bahwa
yang dimaksud Haji Akbar adalah Hari Nahar”.
Dan riwayat bahwa Hari Nahar merupakan
Hari haji Akbar terdapat secara marfu’ dalam kitab Shahih.
Ada penafsiran lain tentang Hari Haji
Akbar selain Hari Nahar, yaitu hari ‘Arafah (lihat secara lengkap perincian
makna ini dalam Tafsir Ath-Thabari dan Fathul-Bari juz 4 halaman 407-408.
Beberapa pendapat mengenai Hari Haji
Akbar tersebut dapat dirangkum menjadi keseluruhan hari-hari haji, termasuk
hari ‘Arafah, hari Mina, hari Mudzdalifah, hari Nahar, dan hari-hari Tasyriq (walaupun
yang terkuat menunjukkan bahwa makna Hari Haji Akbar adalah hari ‘Arafah dan
Hari Nahar – tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah. Dan ini merupakan pendapat dari Ibnu
‘Umar, ‘Atha’, Mujahid, Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, Ibnu Abi ‘Aufa, Mughirah bin
Syu’bah, dan yang lainnya. Allahu a’lam).
Kembali kepada hadits di awal pembahasan
:
الصوم يوم تصومون , و الفطر يوم تفطرون , و
الأضحى يوم تضحون
“Puasa
adalah hari dimana kalian berpuasa, dan berbuka (Idul-Fithri) adalah hari
dimana kalian berbuka, dan berkurban (Idul-Adlha) adalah hari dimana kalian
berkurban”
Dari beberapa riwayat yang ada
menunjukkan bahwa Hari Nahar dimana orang-orang melakukan penyembelihan adalah
Hari Nahar-nya orang yang beribadah haji di tanah haram. Bukan selainnya.
Konsekuensi hukum yang ada adalah : Ketika kita menentukan hari Arafah dimana
kita disunnahkan melakukan puasa Arafah, serta hari Nahar ketika kita
diperintahkan menyembelih; maka hal itu merujuk kepada pelaksanaan Haji Akbar
di Tanah Haram.
Perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam untuk menyembelih hewan kurban tidak hanya kepada mereka yang
melaksanakan haji saja. Tapi juga kepada mereka yang tidak/belum melaksanakan
haji sebagaimana perintahnya shallallaahu ‘alaihi wasallam :
يا أيها الناس إن على كل أهل بيت في كل عام أضحية
وعتيرة أتدرون ما العتيرة هذه التي يقول الناس الرجبية
“Wahai
manusia, sesungguhnya wajib bagi setiap keluarga pada setiap tahunnya qurban
dan ‘atiirah”. Beliau berkata : “Tahukah kalian apakah ‘atiirah itu ? yaitu
yang dikatakan orang sebagai Ar-Rajabiyyah” (HR. Ahmad 4/215, Abu Dawud 2788,
Tirmidzi 1518, Nasai 7/167, dan Ibnu Majah 3125; dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Al-Misykah nomor 1478).
Hadits di atas diucapkan ketika wuquf di
‘Arafah. Namun perkataan beliau tentang perintah menyembelih tersebut umum,
baik bagi orang yang ada di ‘Arafah maupun di luar ‘Arafah. Allaahu a’lam.
Jika al-akh Abu ‘Umair menyinggung
tentang puasa ‘Arafah, otomatis hal tersebut sama dengan Hari Nahar, yaitu
mengacu pelaksanaan wuquf di ‘Arafah (lihat penjelasan tentang makna Haji Akbar
di atas).
صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي
قبله والسنة التي بعده
“Berpuasa
di hari ‘Arafah aku mengharap Allah menghapus dosa-dosa pada tahun lalu dan
dosa-dosa pada tahun yang akan dating” (HR. Muslim 1162).
ما من السنة يوم أحب إلي من أن أ صوم من يوم عرفة
“Tidak
ada hari dalam setahun yang lebih aku sukai untuk berpuasa pada hari itu
daripada hari ‘Arafah” (HR. Ath-Thabari dalam Tahdzibul-Aatsaar 1/600,691
dengan sanad hasan).
NB :
Jika dalam pelaksanaan Hari Nahar kita
yang kebetulan berbeda dengan Pemerintah, maka minta ijin pelaksanaan Shalat dan
yang lainnya kepada Umaraa’ adalah sangat dianjurkan untuk menghindari fitnah
dan sebagai sikap penghormatan kita kepada waliyul-amri. Dan jika pelaksanaan
tersebut malah menimbulkan mudlarat yang besar, maka tidak apa-apa mengikuti
Pemerintah sebagaimana kita mengambil pelajaran dari apa yang dilakukan oleh
Ibnu Mas’ud ketika shalat di belakang ‘Utsman bin ‘Affan secara tamam (4
raka’at) di Mina. Padahal yang masyru’ adalah qashar 2 raka’at. Ibnu Mas’ud
enggan menyelisihi ‘Utsman yang waktu bertindak sebagai Amirul-Mukminiin,
dengan tetap shalat di belakangnya. Ia menghindari mudharat yang lebih besar,
yang di akhir perkataannya ketika ditanya oleh orang-orang : “Sesungguhnya
perselisihan itu adalah tercela”. Riwayat selengkapnya dapat dibaca di bawah :
أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا , فقال عبد
الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين , و مع أبي
بكر ركعتين , و مع عمر ركعتين , و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها , ثم تفرقت
بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين , ثم إن ابن مسعود صلى
أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت
أربعا ?! قال :
الخلاف شر . و سنده صحيح . و روى أحمد ( 5 / 155 )
Kemarin kita shalat di “mesjid” yang sama
ya Abu ‘Umair di Bogor ?
Apabila ada ikhwah lain yang mempunyai
pendapat berbeda, silakan ditampilkan. Dan jika itu yang benar, semoga kita
semua diberikan petunjuk untuk mengikutinya. Ahlan wa Sahlan !!
Allaahu a’lam
Abu Al-Jauzaa' said
Ralat :
QS. Al-Hajj : 26-28 salah dalam
penyusunannya. Dan mohon kepada Admin untuk memperbaiki sesuai ayat berikut :
وَإِذْ بَوّأْنَا لإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ
الْبَيْتِ أَن لاّ تُشْرِكْ بِي شَيْئاً وَطَهّرْ بَيْتِيَ لِلطّآئِفِينَ
وَالْقَآئِمِينَ وَالرّكّعِ السّجُودِ * وَأَذّن فِي النّاسِ بِالْحَجّ يَأْتُوكَ
رِجَالاً وَعَلَىَ كُلّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلّ فَجّ عَميِقٍ * لّيَشْهَدُواْ
مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ فِيَ أَيّامٍ مّعْلُومَاتٍ عَلَىَ
مَا رَزَقَهُمْ مّن بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُواْ مِنْهَا وَأَطْعِمُواْ
الْبَآئِسَ الْفَقِيرَ
[Ayat ke 26 tertulis di paling akhir]
Juga tertulis : “Ibnu Hajar dalam
Fathul-Bari (8/407) berkata ketika mengomentari perkataan Humaid bin
‘Abdirrahman (dalam hadits nomor 10 di atas – yaitu : النحر
يوم الحج الأكبر) mengatakan : ……..”; yang
benar :
“Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari (8/407)
berkata ketika mengomentari perkataan Humaid bin ‘Abdirrahman (dalam hadits
nomor 11 di atas – yaitu : النحر يوم الحج
الأكبر) mengatakan : ……”
Abu Umair As-Sundawy said
Januari 27, 2007 @ 11:51 pm
Walhamdulillah, syukran atas komentarnya,
Sesungguhnya ini bukan bermaksud menyanggah
atau tidak setuju, hanya meminta penjelasan dan informasi saja…….secara pribadi
sementara ini saya masih cenderung nyaman dengan pendapat Imam Ibnu Utsaimin
(A’lam,aslam wa ahkam :))
1.Bagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasalam ketika tidak ada kewajiban haji bagi kaum muslimin berhariraya iedul
adha? (Kita tahu kewajiban haji itu sekitar 9 tahun setelah idul adha
dilakukan, betulkah perayaan idul adha terikat waktu dan tempat?)
2.Mengenai dalil-dalil quran dan hadist
yang mafhumnya menunjukkan keterikatan dengan prosesi ibadah haji, sekali lagi
saya bertanya, mengapa tidak ada(?) keterangan yang jelas dari para sahabat
atau ulama fikih? Mengapa masalah yang dialami sejak dahulu tidak ada
keterangan tegas? Apakah pemahaman akan keterikatan waktu& tempat dengan
saudi ada pendahulunya?
Saya pribadi menemukan ada kalu memang
mau ditarik-tarik, tapi hanya pengambilan tersirat (mafhum) bukan
tersurat(manthuq)nya.Ini yang membuat saya tidak yakin,(setidaknya yang
pernah saya temui di dalam Al-Umm (2/145),Ibu Rajab dalam Lathoiful Maarif (Hal
482,486),AL-Bahuuti dalam Syarah Muntahaa al-Iradat 2/37,Imam Nawawi dalam
Raudhoh at-Tholibin 2/80, tapi seperti apa yang saya katakan, tidak tegas
tersurat dan sebatas pemahaman kita yang membaca)
3.Allah berfirman :“Mereka bertanya
kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : Bulan sabit itu adalah tanda-tanda
waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”.
Jadi “mawaqit” bagi kaum muslimin untuk
beribadah dari ayat diatas itu patokannya apa? Hilal? atau Penanggalan
saudi?Kalau hilal, bukannya penampakan hilal berbeda-beda tiap wilayah?
4.Alasan menolak menqiyaskan hadist
kuraib tidak untuk iedul adha? Ibnu Hajar mengatakan “Hilal dzulhijjah kal
fitr”
5.Adakah keterangan bagaimana Rasulullah
di Madinah berhari raya?Apakah berdasar hilal atau memang hari arafah di
Mekah?Kalau iya, ada keterangannya?
6.Ada tidak keterangan khulafa rosyidin
mengumumkan atau mengirim utusan bagi muslimin diluar mekah untuk berhari raya
mengikuti saudi?
7.Kalau kita konsisten mengikuti saudi,
bagaimana jika membuat penanggalan negara kita Dzulqo’dah menjadi 28 hari, dan
dzulhijjah menjadi 31 hari?
8.Hari tasyriq bagaiamana, ikut saudi
juga?
Wassalam
Abu Umair As-Sundawy
Abu Al-Jauzaa' said
Sungguh, jika Abu ‘Umair mengatakan bahwa
beliau tidak bermaksud menyanggah atau tidak setuju, maka Abu Al-Jauzaa’ tidak
akan berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Abu ‘Umair.
Abu ‘Umair berkata : “1.Bagaimana
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam ketika tidak ada kewajiban haji bagi kaum
muslimin berhariraya iedul adha? (Kita tahu kewajiban haji itu sekitar 9 tahun
setelah idul adha dilakukan, betulkah perayaan idul adha terikat waktu dan
tempat?) “.
Abu Al-Jauzaa’ berkata : Terus
terang, ana baru mengetahui bahwasannya ‘Idul-Adlha (Yaumun-Nahar) itu baru ada
10 tahun setelah diwajibkan haji sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Akh Abu
‘Umair. Namun apabila kita perhatikan bahwa yang dimaksud Yaumun-Nahar dalam
ayat-ayat dan hadits, maka (sepengetahuan ana) Yaumun-Nahar itu adalah hari
dimana para jama’ah haji menyembelih hadyu sebagaimana dicontohkan oleh
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam haji wada’. Namun jika yang
dipahami adalah perintah menyembelih secara umum, maka banyak ayat Al-Qur’an
yang tidak terkait dengan haji. Allaahu a’lam.
Tentang Puasa Arafah (dan tentu juga
Yaumun-Nahar-nya sehari setelah Arafah).Apakah memang tidak terikat waktu dan
tempat ? Idem dengan al-akh Abu ‘Umair, ana juga sebenarnya sama mempunyai
pertanyaan yang sampai saat ini belum ketemu jawaban yang memuaskan yang
disertai dengan dalil-dalil (kalau ada, tolong dijelaskan di sini,
syukran). Pertanyaan tersebut adalah : “Apakah Hari ‘Arafah dan Hari Nahar
dengan segala keutamaannya itu (termasuk Puasa ‘Arafah) disebabkan karena
adanya peristiwa hajinya kaum muslimin atau semata-mata dzatnya tanggal 9 dan
10 Dzulhijjah ?”.
Tentu beberapa dalil di bawah patut kita
cermati bila ingin jawabannya :
1. Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha :
ما من يوم أكثر من أن يعتق الله فيه عبدا من
النار من يوم عرفة وإنه ليدنو ثم يباهي بهم الملائكة فيقول ما أراد هؤلاء
“Tidak
ada hari Allah membebaskan hambaNya dari api neraka seperti hari Arafah.
Sesungguhnya, Dia mendekat, kemudian Dia banggakan mereka di hadapan para
malaikatNya sambil berkata: Apa yang diinginkan oleh mereka?” HR. Muslim)
Berkata Ibnu Abdil Barr,”Inl menunjukkan,
bahwa mereka diampuni, karena Dia tidak akan berbangga dengan pelaku dosa dan
kesalahan, kecuali setelah taubat dan pengampunan”. (At-Tamhid l/120).
2. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash
radliyallaahu ‘anhuma, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
ان الله عز وجل يباهي ملائكته عشية عرفة بأهل
عرفة فيقول انظروا إلى عبادي آتوني شعثا غبرا
“Sesungguhnya Allah berbangga kepada para
malaikat-Nya pada sore Arafah dengan orang-orang di Arafah, dan berkata:
“Lihatlah keadaan hambaku, mereka mendatangiku dalam keadaan kusut dan berdebu”
(HR. Ahmad 2/224).
3. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي
قبله والسنة التي بعده
“Berpuasa
di hari ‘Arafah aku mengharap Allah menghapus dosa-dosa pada tahun lalu dan
dosa-dosa pada tahun yang akan datang” (HR. Muslim 1162).
ما من السنة يوم أحب إلي من أن أ صوم من يوم عرفة
“Tidak
ada hari dalam setahun yang lebih aku sukai untuk berpuasa pada hari itu
daripada hari ‘Arafah” (HR. Ath-Thabari dalam Tahdzibul-Aatsaar 1/600,691
dengan sanad hasan).
Mafhum yang dapat ana ambil (dan ini
sebagaimana penjelasan Ustadzuna Abdul-Hakim ‘Abdat hafidhahullah) bahwa Puasa
‘Arafah disebabkan karena dzat wuqufnya jama’ah haji di ‘Arafah. Hubungkan
keterkaitan kalimat di tersebut dengan aqwal para ulama yang menyebutkan bahwa
dimasyru’kannya puasa ‘Arafah bagi kaum muslimin yang tidak wuquf di ‘Arafah (menunuaikan
ibadah haji) dan tidak puasa bagi orang yang wuquf di ‘Arafah (berdasarkan
beberapa riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para
shahabat – silakan lihat dalam Musnad Ahmad yang menyebutkan banyak riwayat
tentang ini). Juga hubungkan dengan hukum disyari’atkannya takbir ‘Ied yaitu
tanggal 9 Dzulhijjah KETIKA pagi hari ‘Arafah sampai habisnya sinar matahari di
hari Tasyriq yang terakhir (lihat dalam Majmu’ Fatawaa, Ahkaamul-‘Iedian, dan
Subulus-Salam tentang atsar-atsar shahih dari shahabat radliyallaahum ‘anhum
ajma’in).
Adapun tentang Hari Nahar, pengetahuan
ana sampai hari ini tidak lebih dari apa yang telah disebutkan sebelumnya.
Sebagaimana perkataan Abu ‘Umair – dan
juga pernah ana singgung sebelumnya – ana belum menemukan aqwal ulama yang
membahas tentang waktu shaum ‘Arafah dan Hari nahar secara detail (yang
dikaitkan dengan pertanyaan ana sebelumnya). Yang ada hanyalah qiyas-qiyas
singkat setelah pembahasan hilal Ramadlan dan Syawal beserta perbedaan
mathla’-nya dengan kalimat : “Hal tersebut diqiyaskan dengan Dzulhijjah
(maksudnya Hari Raya Haji)”. Inilah yang mungkin sedikit membuat hati ini
“ngganjel”. Bagaimana mungkin disamakan jika ‘illah hukum berbeda ? Itulah
pertanyaan kecil bagi seorang Abu Al-Jauzaa’.
Ya betul, manthuq (tekstual) memang belum
kita temukan. Namun apakah mafhum juga tidak bisa dijadikan hujjah jikalau
kemafhuman itu bagi seseorang telah “nyata” ?
Abu ‘Umair berkata : “3.Allah berfirman
:“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : Bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”.
Jadi “mawaqit” bagi kaum muslimin untuk
beribadah dari ayat diatas itu patokannya apa? Hilal? atau Penanggalan
saudi?Kalau hilal, bukannya penampakan hilal berbeda-beda tiap wilayah?”
Abu Al-Jauzaa’ berkata : Ayat tersebut
mujmal. Dan muqayyad untuk ibadah haji. dalam arti : Ibadah haji ini terkait
dengan tempat. Walaupun perbedaan mathla’ ini diakui, namun tidak ternukil
satupun dari kaum muslimin dan para ulamanya bahwa mereka menunaikan ibadah
haji berdasarkan mathla’ negaranya masing-masing (hal ini sebagaimana dikatakan
oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawaanya – juz dan halaman ana lupa, soalnya
baca teks fatwa beliau ini beberapa hari yang lalu). Atau dengan kata lain :
Ketika mereka mendatangi Tanah Haram, mereka memulai ibadah haji berdasarkan
start berdasarkan hilal mathla’ negaranya masing-masing.
Al-Ustadz Badrus-Salam beberapa tahun
lalu pernah mengatakan (yang intinya) : ‘Tidak pernah ternukilpun riwayat dari
para ulama tentang perbedaan pelaksanaan ‘Idul Adlha di kalangan kaum muslimin
kecuali yang terjadi masa belakangan”.
Allaahu a’lam.
Abu Al-Jauzaa’ 1428
Abu Umair As-Sundawy said
Januari 29, 2007 @ 5:27 am
Intinya kita haus akan penjelasan para
ulama akan hal ini kalau kita “keukeuh” (bersikeras yakin) bahwa ada
keterkaitan “waktu dan tempat” berdasar pemahaman teks.Alhamdulillah beberapa
masyaikh Saudi menjelaskan ketidakterkaiatan ini ,semisal Lajnah daimah,Syaikh
Ibnu Jibrin, Syaikh Utsaimin,Syaikh An-Najmi rahimahumullah akan ikhtilaful
matholi’ ini.
Tentu ucapan-ucapan beliau diatas bisa
diterima dan ditolak.Tatkala dalil-dalilnya perlu
telaah dalam.Tapi ketika menolak pun tentunya harus membawakan ucapan
ulama.(akankah kita hendak memahami sendiri,tentu tidak,kita peru bimbingan
para ulama)
Ini yang perlu diuji, apa benar demikian?
Dalam riwayat Ibnu Umar riwayat At-tirmidzi disebutkan Rasulullah berhari raya
kurban sejak berhijrah di Madinah.Sedangkan kewajiban haji bagi kaum muslimin
ditetapkan di tahun ke-9Hijrah.Saya agak lebih yakin,saat itu beliau
mennetukan berdasar rukyah hilal.Adasanggahan?
Pertanyaan bisa menyeruak juga: Mengapa
tidak ada keterangan Rasulullah selama sekian tahun sebelum ada kewajiban haji,
bahwa beliau mengirim utusan untuk mengetahui hilal penduduk Mekah????
Mengapa juga tidak ada keterangan khulafa
rosyidin mengirim utusan ke Mekah.PADAHAL ADA WAKTU SELANG DARI TANGGAL 1-8
Dzulhijjah untuk mengirim utusan,sepakat??Padahal dahulu orang-orang mengetahui
kapan prosesi ibadah haji, hanya berdasar info orang-orang yang pulang dari
haji di Mekah.
Mengenai ucapan Ust.Badru, tentu
pertama harus diklarifikasi ucapan ini dimana sumberpenukilannya.Kedua, kondisi
masih tegaknya khilafah islamiyah juga perlu diberiperhatian.Kalau kita
perhatikan tulisan Syaikh Albani di tamamul Minnah misalnya,maka kita akan
punya dua masalah baru yang tidak dijumpai sebelumnya,yakni akses
informasi(internet/telepon) dan ketiadaan khilafah islamiyah.Itu juga
perlu didiskusikan lebih lanjut.Dan kita akan berkesimpulan untuk
shaum arafah akan mengikuti saudi (walaupun Syaikh Albani tidak tersurat
menyatakannya,sekali lagi kita hanya bisa menjangkau dari sisi “mafhum”,
wallahu a’lam jika ada keterangan dari murid-murid beliau dengan lebih
jelas.Sayang artikel Syaikh Salim di websitenya kurang begitu memuaskan rasa
penasaran kita)
Walhashil, mari sama-sama berburu dan
mencari lebih lanjut akan hal ini.Allahu a’lam.
Abu Umair As-SUndawy
Abu Hannan said
Februari 22, 2007 @ 10:35 am
Assalamu alaykum warohmatullahi
wabarokatuh
Kepada para Asatidz…ana mendapatkan
penjelasan seperti dibawah ini:
“Dari Husain bin Harits Al Jadali, yang
menyampaikan:
أَنَّ أَمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ ثُمَّ قَالَ عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَاعَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا
“Bahwasanya Amir Makkah (Wali Makkah,
yakni Al Harits bin Hathib) berkhutbah dan menyatakan: ‘Rasulullah Shallallahu’
alaihi wa sallam berpesan pada kami (para wali Makkah) agar memulai manasik
(haji) berdasarkan ru`yat. Apabila kami tidak melihat (ru`yat)nya, sementara
ada dua orang yang adil menyaksikan (munculnya hilal) maka kami harus memulai
manasik dengan kesaksian dua orang tersebut.” (HR. Abu Daud).
Perkataan Amir Mekkah Al Harits bin
Hathib “ahida ilainaa Rasulullah shallalahu’ alaihi wa sallam an nansuka
lirru’yah,” (Rasulullah shallalahu’ alaihi wa sallam . telah berpesan pada kami
agar menjalankan manasik haji berdasarkan ru’yah) dikemukakan dalam
kedudukannya sebagai Amir Mekkah. (Ia menduduki jabatan tersebut pada masa
kekhilafahan Abdullah bin Azzubair, kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan, dan
sesudahnya).
Hal ini berarti bahwa pesan (al ‘ahdu)
itu adalah dari Rasulullah bagi orang seperti dirinya selaku Amir Mekkah.
Adalah Attaab bin Usaid yang bertindak sebagai Amir Mekkah pada masa
Rasulullah. Sehingga, kandungan pesan Rasulullah shallalahu’ alaihi wa sallam
tersebut tertuju untuk Amir Mekkah, bukan untuk kaum muslimin secara umum.
Sebab, kata al ‘ahdu dalam konteks ini bermakna suatu yang diwasiatkan
Rasulullah kepada amir atau wali Mekkah ketika Beliau .shallalahu’ alaihi wa
sallam mengangkatnya sebagai wali di sana.
Dalam Kamus Lisaanul Arab, juz 3 halaman
311, disebutkan: “Dan pesan (al ‘ahdu) adalah suatu yang ditetapkan bagi para
wali; al ‘ahdu merupakan pecahan kata -musytaq- dari ‘ahida, jamaknya ‘uhuudun.
Wa qod ‘ahida ilaihi ‘ahdan (sungguh dia telah menyampaikan pesan kepadanya).
Dikatakan pula dalam kitab itu: “‘ahida ilayya fii kadza (dia menyampaikan
pesan kepadaku dalam hal anu), artinya adalah aushaani (dia berwasiat
kepadaku).
Adapun sabda Nabi shallalahu’ alaihi wa
sallam “an nansuka lirru’yah” maksudnya adalah agar kami menyembelih kurban
pada yaumun nahar, atau agar kami menunaikan syiar-syiar haji, setelah terbukti
adanya ru’yah. Hal ini karena, sekali pun bahasa Arab menggunakan kata nusuk
dalam arti ibdan setiap aktivitas penghambaan diri kepada Allah, akan tetapi
syara’, sebagaimana ditunjukkan dalam banyak nash baik dalam al Quran maupun
sunnah, telah menggunakannya dengan arti (untuk) manasik haji. Jadi, kata nusuk
memiliki makna syar’i yang relatif berbeda denganmakna lughawi-nya.
Wajib Mengikuti Pengumuman Hari Wukuf
oleh Penguasa Kota Mekkah
Dengan demikian, maka hadits tersebut
menunjukkan bahwa pada masa itu Amir Mekkahlah yang menetapkan pelaksanaan
manasik haji, mulai dari wukuf di Arafah, Thawaf Ifadhah, bermalam di
Muzdalifah, melempar Jumrah, dan seterusnya. Dengan kata lain, penguasa yang
menguasai kota Mekkah saat ini berhak menentukan wukuf di Arafah (9
Dzulhijjah), pelaksanaan penyembelihan hewan kurban (10 Dzulhijjah), dan
rangkaian manasik haji lainnya. Hal itu berarti negeri-negeri Islam lainnya
harus mengikuti penetapan hari wukuf di Arafah, yaumun nahar (hari
penyembelihan hewan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah) berdasarkan keputusan
Amir Mekkah, atau penguasa yang saat ini mengelola kota Makkah.”
Ana sendiri belum mengechek hadist ini ,
Pertanyaannya apakah hadist tersebut shahih? dan pernyataan tersebut benar?
Abu Umair As-Sundawy said
Februari 23, 2007 @ 3:10 am
Waduh…saya juga sedang cari Pak, belum
tahu status hadist ini.Sekalipun shahihkatakanlah.Saya melihatnya kalau
memperpanjang masalah dengan hadist ini maka kita akan memasuki polemik ulang
apakah matla’ itu satu atau atau berbeda tiapnegeri.Dan perlu diketahui
Imam Abu Daud meletakkan hadist ini bukan pada bab haji loh,tapi dalam bab
puasa, sub bab “kesaksian dua lelaki dalam me-ru’yat hilal syawal”.Allahu a’lam
Abu Umair As-Sundawy
Abu Ishaq said
Februari 26, 2007 @ 2:36 am
Al-Imam Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if
Sunan Abi Dawud No. 2338 menyatakan bahwa hadits Husain bin Al-Harits di atas
adalah SHAHIH.
Bisa dicek via Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Wallahu a’lam apakah penghukuman beliau
terhadap derajat hadits ini dengan SHAHIH direvisi atau tidak. Ada yang bisa
membantu melihatnya di buku Taraju’at Al-Albani ?
Wallahu a’lam.
Asman said
April 18, 2007 @ 6:52 am
Katanya yang benar satu, koq pendapatnya
banyak ?????
Rudi (pelajar pemula) said
Desember 17, 2007 @ 3:47 am
Assalaamu’alaykum
Sebenernya yang ingin saya tanyakan:
1.Mengapa Puasa Arafah dinamakan puasa
arafah?, kalo dinamakan puasa arafah karena puasa itu berhubungan dengan wuquf
apakah pantas kita menyelisihi waktu pelaksaaannya dengan mengerjakan setelah
wuquf?
2.Adakah contoh dari para sahabat tentang
perbedaan waktu ini, kalo di Idul Fitri dan Shaum Ramadhan ada contohnya nah di
kasus Idul Adha ini apakah ada contohnya?,sepertinya benang merah dalam masalah
ini adalah ini.
Allohu a’lam.
Jazakamullohu khoir.
Rudi (pelajar pemula) said
Desember 17, 2007 @ 4:00 am
dalil puasa arafah
Puasa hari arafah (tanggal 9 dzulhijjah),
aku berharaf kepada Alah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya
dan satu tahun setelahnya. Puasa Asyura’ (tanggal 10 muharram) aku berharaf
kepada Allah, Dia akan menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya.
(HR.Muslim,no.1162, dari Abu Qatadah)
diambil dari
Rudi (pelajar pemula) said
Desember 18, 2007 @ 2:47 am
setelah melihat beberapa dalil dalam
fatwa ulama’ salafy serta beberapa qoul ulama’ salaf saya rujuk dari pendapat
bahwa Shaum Arafah hari ini dan Idul Adha besok Rabu.
November 11, 2010 @ 7:28 pm
[…] إذا رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا ( Apabila
kalian melihat (hilal) berpuasa dan berbukalah ) Adapun dalil qiyas : Waktu
dimulai dan berakhiranya puasa tiap hari di tiap negeri berdsarkan waktu lokal
terbit dan tenggelamnya matahari. Akan tetapi jika ada dua wilayah dibawah satu
peemrintahan,kemudia penguasa memerintahkan satu wilayah berpuasa atau berbuka
maka wajib bagi negeri satunya untuk mengikuti.Karena permasalahan ini
khilafiyah, sedangkan keputusan hakim menghilangkan khilaf. Berdasar ini maka
berpuasalah serta berbuka menurut penduduk negeri kalian dimana kalian sedang
berada,sama saja apakah cocok dengan keputusan negeri asal kalian atau
tidak.Demikian pula hari arafah, ikutilah negeri dimana kalian berada Fatwa
kedua : Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya apabila terjadi perbedaan hari arafah
dikarenakan penampakan hilal yang berbeda di negeri yang berbeda,apakah kita
berpuasa mengikuti negeri dimana kita tinggal ataukan mengikuti negeri haramain
(Saud…i Arabia) Dijawab beliau :والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع ، فمثلا إذا كان الهلال قد رؤي بمكة ، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع ،ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوملأنه يوم عيد ، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم ، فإنهميصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة ، هذا هو القول الراجح ، لأن النبي صلى الله عليهوسلم يقول ( إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا ) وهؤلاء الذين لم ير في جهتهم لم يكونوا يرونه ،وكما أن الناس بالإجماع يعتبرون طلوع الفجر وغروب الشمس في كل منطقة بحسبها ، فكذلك التوقيتالشهري يكون كالتوقيت اليومي . [ مجموع الفتاوى 20 ] Persoalan
ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ahli ilmu,apakah hilal itu satu bagi seluruh
dunia ataukah berbeda sesuai perbedaan mathla’. Pandangan yang rajih adalah
berbeda berdasar perbedaan mathla’ (dimana hilal itu dilihat di berbagai
tempat).Misalnya, jika hilal sudah dapat terlihat di Mekah, dan hari ini adalah
hari kesembilan.Kemudian di negeri lain hilal dapat dilihat sehari sebelum
nampak di Mekah,maka hari arafah di Mekah adalah hari kesepuluh bagi
mereka,maka ini tidak diperbolehkan bagi mereka untuk berpuasa di hari
ini,karena hari tersebut adalah hari idul adha bagi mereka. Atau sebaliknya
jika hal ini terjadi dimana mereka melihat bulan sehari setelah Mekah,maka hari
kesembilan (Dzulhijah) adalah tanggal 8 Djulhijjah bagi mereka,maka mereka
harus berpuasa di tanggal 9 menurut mereka (walaupun bertepatan tanggal 10 bagi
Mekah).Inilah pandangan yang rajih karena Nabi shalallahu alaihi wassalam
mengatakan : إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا “Apabila kamu
melihat (hilal) berpuasalah, dan (juga) jika kamu melihatnya maka berbukalah”
Mafhum hadist ini, jika tidak melihat maka tidak wajib. Maka mereka yang tidak
melihat hilal di negerinya maka dia belum melihatnya (sebagaimana hadist
diatas).Sebagaimana manusia telah sepakat (ijma) menganggap terbitnya fajar
atau terbenamnya matahari itu sesuai daerahnya.Dengan demikian penen…tuan waktu
masuknya bulan sebagaimana penentuan waktu harian (yang berbeda tiap
daerah).Ini adalah ijma’ para ulama.Olehkarenanya, penduduk asia timur memulai
puasa sebelum penduduk bagian barat.Dan berbuka sebelum
mereka.Demikian juga matahari yang terbit dan tenggelam
saling berbeda.Untuk yang seperti puasa harian ini berbeda maka
begitu juga untuk puasa bulanan maka tentu sama. Akan tetapi jika dua wilayah
dalam satu pemerintahan, maka keputusan penguasa untuk berbuka dan berpuasa
harus diikuti.Karena ini masalah khilafiyah sedangkan keputusan hakim itu
mengankat khilaf. (Hukmul hakim yarfa’ul khilaf) Berdasar ini maka berpuasa dan
berbukalah bersama penduduk dimana kalian sekarang tinggal, entah sama dengan
negeri asal kalian atau tidak.Demikian juga shaum arafah, ikuti di negeri
dimana kalian tinggal.[Majmu’ fatawa 20] Sumber
:salafyitb.wordpress.com […]
Abah Indra said
November 14, 2010 @ 10:42 am
Heran saya dengan puasa arafah
1. Kita puasa arafah itu bukan karena
bulan, tapi karena wukuf, bukan di bandung atau di jakarta, tapi di saudi.
2. persoalannya wukuf di arafah hari
senin. lantas kita disarankan puasa arafah pada hari selasa. laaaaah pan wukuf
hari senin. katanya puasa arafah karena wukuf?
3. klo kita shaum hari selasa sementara
wukuf hari selasa berarti kita puasa di hari tasyriiiiiiiiik dong. boleh kah?
Abah Indra said
November 14, 2010 @ 10:43 am
ha haha jadi salah dah kalo puasa wukuf
hari senin dan puasa hari selasaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Iman said
November 14, 2010 @ 11:55 am
sebenarnya yang jadi masalah itu zat
wuqufnya atau mathlanya?
TheSalt Asin said
November 15, 2010 @ 12:07 am
ada baiknya kita merenungkan pendapat
Syaikhul Islam Izzuddin ibn Abdis Salam :
Termasuk Keheranan yang sangat
mengherankan, para Fuqaha Muqalid , mengetahui kelemahan pendapat Imam Madzhab(
yang diikuti)-nya sementara dia tidak bisa membantah kelemahan itu, namun
begitu dia tetap bersikeras mengikuti pendapatImamnya.Oleh karena itupula,
ia tinggalkan dalil-dalil Al-Qur’an, as-Sunah, atau Qiyas yang Shahih. Malah
untuk membela imam yang diikutinya, ia berani merekayasa dan mentakwili
Al-Qur’an dan as-Sunnah (disesuaikan dengan pendapat Imam yang di ikutinya),
meskti ternyata Ta’wil tadi batil.
TheSalt Asin said
November 15, 2010 @ 12:34 am
Rasulullah SAW, pernah bersabda :
Sepeninggalanku, akan muncul pemimpin-peminpin baru, yang jika berkata, tidak
boleh dibantah. Mereka meloncat kesana-kemari dalam api (kekuasaan),
sebagaimana loncatan kera.
As-Syaukani mengutip pendapat Imam
Juwaini , berkata :Orang yang hapal nushus (pendapat) Imam asy-Syafi’I dan
pendapat para pakar tentangnya, tetapi ia tidak tahu hakikat dan substansi
pendapat itu, ia tidak boleh ber Ijtihad dan melakukan Qiyas. Ia tidak termasuk
ahli fatwa. Oleh karena itu, ia tak boleh berfatwa.
( Imam as- Syaukani, adalah Ulama
besar Islam Syi’ah Imam 12, walaupun beliau sudah melepaskan diri dari
keterikatannya dengan Islam Syi’ah, tapi beliau masih tetap mengimani akan
kedatangan Imam Syi’ah yang menghilang).
Imam as-Subuki pernah mengatakan :
Apabila ada satu atau dua orang mengaku melihat bulan,tetapi Hisab mengatakan
tidak mungkin dilihat, maka kesaksiannya dianulir. Sebab Hisab berkekuatan
Qath’I, sedangkan rukyan Dhanny . Sedangkan dhanny tidak mungkin mengalahkan
Qath’i.
Setahu saya ,untuk Warga Negara
Indonesia. yang bermukim di Indonesia. HARAM HUKUM NYA -Ied Fitri , Ied Adha
MENGIKUTI ARAB SAUDI .
Di MASJIDIL HARAM – Shalat Tarawih 23
Raka’at…bahkan pernah sampai 33 Raka’at (ketika terjadi keruntuhan Taliban)
plus baca kunut Nazilah-..
Dan seluruh Mujtahid Mutlaq ( para Imam
Madzhab ) dan mereka sangat takut dengan LAKNAT Allah SWT.tidak ada
diantara mereka yang mengatakan BAHWA SHALAT TARAWIH lebih dari 11 Raka’at
adalah Ahli Neraka’.
Yang jadi pertanyaan – Apakah Islam
Wahabi di Indonesia -melaksanakan Shalat Tarawih sama JUMLAH Raka’at nya dengan
ARAB SAUDI…..???…wassalam.
Muhammad said
November 16, 2010 @ 7:26 am
Sila rujuk di sini
abu zaid said
November 16, 2010 @ 11:02 am
Menurut saya, apa yang terlihat sebagai
khilaf tersebut sebenarnya bisa disinkronkan jika kita bisa memahami konsep
hilal, visibilitasnya, hijri date line dan semacamnya.
Pembahasannya ada di sinihttp://ayahzaid.blogspot.com/2010/11/kesalahan-pendapat-idul-adha-di.html
Mohon maaf kalau konteksnya di sini
adalah Idul Adha tahun 2010.
umar as'saif said
November 29, 2010 @ 11:31 am
bismillah…
ibadah saum ramadhan itu dilakukan di
seluruh negeri di dunia ini
maka perbedaan pendapat dan dalil serta
hilal bisa dikembalikan kepada setiap negeri meruju kepada hadist shahih dari
rasul.
ibadah hajj hanya dilakukan di makkah
saja tidak ada lagi negeri yang melakukannya selain hanya di makkah bahkan
madinah dan nejed pun tidak melakukan puncak ibadah hajj yaitu wuquf, maka dari
itu wajib mengikuti keputusan dari makkah almuqarom sebagai rujukan untuk
penentuan hilal ataupun tanggal 9-10 Dzulhijjah sebab ibadah hajj itu tidak
dilakukan disemua negeri hanya di makkah saja. maka yg rojih adalah shlolat ied
adha itu merujuk ke makkah almuqarom.. alloh a’lam
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
54 Komentar (+add yours?)
●Kapankah Waktu Puasa Arafah? (Oleh: Al-Ustadz
Abdul Hakim bin Amir Abdat)
Nov 14, 2010 @ 21:58:59
jelas sekali pembahasannya,
jazakallah
Nov 14, 2010 @ 22:36:02
Mari kita esok puasa arafah agar dusa
kita terampunkan? Amien
Nov 14, 2010 @ 22:41:14
Tahun ini, pemerintah Indonesia secara
resmi menetapkan bahwa hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1431 Hijriyah
bertepatan dengan tanggal 17 November 2010 Masehi, berbeda dengan pemerintah
Arab Saudi yang menetapkan bahwa hari raya yang juga disebut hari haji akbar
itu jatuh pada sehari sebelumnya, bertepatan 16 November 2010. Ini berarti
bahwa jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah pada tanggal 15 November 2010.
Dari sinilah kemudian muncul pertanyaan,
kapan kita yang berada di Indonesia ini berpuasa Arafah dan berhari raya
kurban? Apakah tetap mengikuti pemerintah kita atau mengikuti Arab Saudi? Dan
apakah memungkinkan kalau puasa Arafahnya mengikuti waktu wukufnya jama’ah
haji, sementara idul adhanya mengikuti pemerintah?
Kami akan menyebutkan dua pendapat yang
pernah dijelaskan oleh para ulama, yaitu:
Pendapat pertama: puasa Arafah dan idul
adha tetap mengikuti pemerintah walaupun berbeda dengan negara Arab Saudi
Ini adalah pendapat yang disebutkan oleh
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau pernah ditanya
oleh para pekerja yang bertugas di kedutaan Arab Saudi (di negara lain), ketika
mereka menghadapi masalah terkait dengan puasa Ramadhan dan puasa Arafah.
Mereka tepecah menjadi tiga kelompok:
Kelompok pertama mengatakan: “Kami akan
berpuasa dan berbuka mengikuti kerajaan Arab Saudi”.
Kelompok kedua mengatakan: “Kami berbuka
dan berpuasa mengikuti negara yang kami bertugas di sana.”
Dan kelompok ketiga mengatakan: “Kami
akan berpuasa Ramadhan sesuai dengan negara tempat kami bertugas, namun untuk
puasa Arafah, kami mengikuti kerajaan Arab Saudi.”
Maka beliau menjawab:
Para ulama rahimahumullah berbeda
pendapat, apakah jika hilal telah tampak di suatu negeri,
– Kemudian mengharuskan kaum muslimin di
seluruh negeri untuk mengikuti negeri tersebut,
– ataukah kewajiban itu hanya bagi yang
melihat hilal saja dan juga bagi negeri yang satu mathla’ dengannya,
– atau kewajiban itu juga berlaku bagi yang
melihat hilal dan siapa saja yang berada di pemerintahan (negara) yang sama.
Dalam permasalahan ini terdapat beberapa
pendapat,
Yang rajih (kuat) adalah bahwasannya
permasalahan ini dikembalikan kepada ahlul ma’rifah. Jika dua negeri berada
dalam satu mathla’ yang sama, maka keduanya terhitung seperti satu negeri,
sehingga jika di salah satu negeri tersebut sudah terlihat hilal, maka hukum
ini juga berlaku bagi negeri yang satunya tadi.
Adapun jika dua negeri tadi tidak berada
pada satu mathla’, maka setiap negeri memiliki hukum tersendiri. Ini adalah
pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu ta’ala.
Dan inilah yang sesuai dengan zhahir Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta qiyas.
Dalil dari Al-Qur’an:
فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ
اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ
تَشْكُرُونَ
“Barangsiapa di antara kamu hadir (di
negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan
itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari
yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.” [Al-Baqarah: 185]
Dipahami dari ayat ini adalah barangsiapa
yang tidak melihat maka tidak diwajibkan baginya berpuasa.
Adapun dalil dari As-Sunnah adalah sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
إذا رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا
“Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan),
maka berpuasalah, dan apabila melihat hilal (syawwal), maka berbukalah (beridul
fithrilah.”
Dipahami dari hadits ini adalah jika kita
tidak melihat hilal, maka tidak wajib berpuasa ataupun berbuka (beridul
fithri).
Adapun dalil qiyas adalah:
Karena waktu mulainya berpuasa dan
berbuka itu hanya berlaku untuk negeri itu sendiri dan negeri lain yang waktu
terbit dan tenggelamnya matahari adalah sama. Ini adalah hal yang telah
disepakati, sehingga anda saksikan bahwa kaum muslimin di Asia sebelah timur
mulai berpuasa sebelum kaum muslimin yang berada di sebelah baratnya, demikian
pula dengan waktu berbukanya. Hal ini terjadi karena fajar di belahan bumi
timur terbit lebih dahulu daripada di belahan barat, begitu juga dengan
tenggelamnya matahari. Jika perbedaan seperti ini bisa terjadi pada waktu
mulainya berpuasa dan berbuka yang itu terjadi setiap hari, maka demikian juga
hal itu bisa terjadi pada waktu mulainya berpuasa di awal bulan dan waktu
mulainya berhari raya. Tidak ada bedanya antara keduanya.
Namun jika ada dua negeri yang berada
dalam satu pemerintahan, dan pemerintah negeri tersebut telah memerintahkan
untuk berpuasa atau berbuka (berhari raya), maka wajib mengikuti perintah
(keputusan) pemerintah tersebut. Masalah seperti ini adalah masalah khilafiyah,
sehingga keputusan pemerintahlah yang akan menyelesaikan perselisihan yang ada.
Berdasarkan ini semua, hendaklah kalian
berpuasa dan berbuka (berhari raya) sebagaimana puasa dan berbuka (berhari
raya) yang dilakukan di negeri kalian berada (yaitu mengikuti keputusan
pemerintah). Sama saja apakah keputusan ini sesuai dengan negeri asal kalian
atau berbeda. Begitu juga dengan hari (puasa) Arafah, hendaklah kalian
mengikuti negeri yang kalian berada di sana.
Pada kesempatan yang lain, Asy-Syaikh Muhammad
bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala juga ditanya:
“Jika terdapat perbedaan tentang
penetapan hari Arafah dari negeri-negeri yang berbeda disebabkan perbedaan
mathla’, apakah kami berpuasa mengikuti ru’yah negeri yang kami berada padanya,
ataukah mengikuti ru’yah Haramain (Arab Saudi)?”
Beliau menjawab:
“Permasalahan ini dibangun (muncul) dari
perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah munculnya hilal (di suatu daerah)
itu berlaku untuk seluruh dunia, ataukah berbeda-beda tergantung perbedaan
mathla’nya.
Pendapat yang benar adalah berbeda-beda
sesuai dengan perbedaan mathla’nya. Misalnya di Makkah terlihat hilal tanggal 9
Dzulhijjah, namun di negari lain, hilal tersebut sudah terlihat sehari
sebelumnya, sehingga hari Arafah (di Makkah) menurut negeri itu adalah sudah
memasuki tanggal 10 Dzulhijjah. Maka tidak boleh bagi penduduk negeri tersebut
untuk berpuasa pada hari itu, karena hari itu adalah hari ‘Idul Adha.
Demikian juga jika munculnya hilal
Dzulhijjah di negeri itu sehari setelah ru’yatul hilal di Makkah, maka tanggal
9 Dzulhijjah di Makkah itu adalah bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah di
negeri tersebut. Sehingga penduduk negeri tersebut berpuasa Arafah pada tanggal
9 Dzulhijjah menurut mereka, yang bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah.
Inilah pendapat yang kuat dalam
permasalahan ini, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
“Jika kalian melihat hilal (Ramadhan)
hendaklah kalian berpuasa, dan jika kalian melihat hilal (Syawwal) hendaknya
kalian berbuka (berhari raya).”
Penduduk di daerah yang tidak tampak oleh
mereka hilal, maka mereka bukan termasuk orang yang melihatnya.
Sebagaimana manusia bersepakat bahwa
terbitnya fajar dan tenggelamnya matahari itu sesuai (mengikuti) daerahnya
masing-masing yang berbeda-beda, maka demikian juga penetapan (awal) bulan itu,
sebagaimana penetapan waktu harian (mengikuti daerahnya masing-masing).”
Pendapat kedua: puasa Arafah mengikuti
Arab Saudi, namun idul adha mengikuti pemerintah
Ini sebagaimana yang disebutkan oleh
Asy-Syaikh ‘Utsman bin ‘Abdillah As-Salimi hafizhahullah, salah seorang ulama
besar di Yaman, dan termasuk murid senior Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi
rahimauhllah. Dalam salah satu pelajaran yang disampaikan ba’da zhuhur tanggal
3 Dzulhijjah yang lalu, beliau ditanya:
Apakah kita beridul Adha (yakni mulai
menyembelih hewan kurban) dengan mengikuti Arab Saudi, sementara kami di Maroko,
meskipun hal ini menyelisihi dan mendahului waliyul amr (pemerintah), dan hal
ini juga bisa menimbulkan fitnah sebagaimana yang anda ketahui?
Maka beliau menjawab:
Idul Adha wajib atas seluruh kaum
muslimin untuk mengikuti negeri Al-Haramain (Arab Saudi), karena pelaksanaan
ibadah haji berada di sana, sehingga yang dijadikan patokan adalah pelaksanaan
ibadah haji dan hari Arafah (sesuai dengan yang di Arab Saudi), maka hendaknya
kalian melaksanakan puasa hari Arafah ketika di negara Arab Saudi juga berpuasa,
yaitu ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah.
Adapun waliyul amr (pemerintah), baik di
Maroko maupun negeri yang lain, tidak boleh bagi mereka untuk menyelisihi umat
Islam (yang berpatokan pada pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah di Saudi
tersebut).
Namun apabila kalian khawatir terjadinya
fitnah, jika kalian sanggup, maka hendaknya kalian menyembelih hewan kurban
pada hari nahr secara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak mampu, maka pada hari
keduanya tidak mengapa. Hari-hari penyembelihan itu banyak, yaitu hari nahr (10
Dzulhijjah), tanggal 11, tanggal 12, dan menurut pendapat yang benar adalah
juga tanggal 13 sebagaimana yang dikatakan Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama
yang lain.
Sehingga kalian boleh memilih, tidak
mengapa bagi kalian untuk mengakhirkan dan mengikuti negeri kalian dalam
menyembelih hewan kurban jika khawatir timbul fitnah. Wabillahit taufiq.
Akan tetapi hendaknya kalian tetap merasa
bahwa hari Id (yang benar) adalah bersama dengan negeri Saudi Arabia. Semoga
Allah memberikan taufik kepada kalian.
Adapun untuk shalat id, maka dilakukan
pada hari kedua (dari hari nahr, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah) selama di negeri
tersebut semuanya melaksanakan id bersama dengan pemerintah setempat, sehingga
jika khawatir terjadi fitnah, maka boleh mengakhirkan shalat id pada hari
kedua.
Kesimpulan
Kaum muslimin di Indonesia -sebagaimana
yang telah diumumkan sendiri oleh pemerintah-, diberi keleluasaan untuk memilih
waktu puasa Arafah dan hari Id-nya, silakan mengikuti pemerintah atau boleh juga
mengikuti Arab Saudi. Dari keterangan para ulama di atas, maka Insya Allah
tidak mengapa bagi setiap muslim di negeri ini untuk menentukan waktu puasa dan
hari rayanya sesuai dengan pendapat yang menurut dia lebih tepat (tentunya
dalam memilih pendapatnya itu harus dengan didasari oleh ilmu, tanpa ada sikap
taqlid, apalagi memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu diri dan
kelompoknya), karena masing-masing pendapat tersebut berdasarkan ijtihad para
ulama yang bersumber dari dalil-dalil yang syar’i.
Bagi yang mengikuti pendapat pertama,
maka dia memiliki dasar:
Bahwa dari keterangan Asy-Syaikh
Al-‘Utsaimin tadi, dalam menentukan waktu masuknya bulan Dzulhijjah, insya
Allah Pemerintah Indonesia sudah menempuh upaya-upaya yang sesuai dengan
syar’i, yaitu ru’yatul hilal[1], yang kenyataannya pada 29 Dzulqa’dah petang,
hilal bulan Dzulhijjah belum nampak, sehingga dilakukan ikmal
(menyempurnakan/menggenapkan bulan Dzulqa’dah menjadi 30 hari). Ini semua
adalah upaya yang sudah sesuai dengan bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam.[2]
Dengan mengikuti pemerintah, syi’ar
kebersamaan umat Islam di negeri ini akan lebih terjaga, sebagaimana yang
diisyaratkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya:
الصوم يوم تصومون ، و الفطر يوم تفطرون ، و
الأضحى يوم تضحون
“Berpuasa (adalah dilakukan di) hari
kalian semua berpuasa, beridul fithri (adalah dilakukan di) hari kalian beridul
fithri, dan beridul adha (adalah dilakukan di) kalian beridul adha (melakukan
penyembelihan).” [HR. At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani
rahimahullah]
Dan bagi yang mengikuti pendapat kedua,
dia memiliki dasar:
Puasa Arafah disesuaikan waktunya dengan
waktu wukufnya jama’ah haji di Arafah. Sesuai dengan namanya, bahwa puasa
Arafah adalah puasa yang dilakukan ketika jama’ah haji melakukan wukuf di
Arafah. Wallahu a’lam.
Pemerintah memberikan keleluasaan kepada
masyarakat untuk memilih waktu puasa dan hari rayanya, sehingga kalau dia
berpuasa dan berhari raya tidak bersamaan waktunya dengan pemerintah, ini bukan
termasuk bentuk ketidaktaatan kepada waliyul amr.
Adapun untuk shalat id-nya, boleh bagi
dia untuk melakukannya bersamaan dengan pemerintah karena biasanya mayoritas
umat Islam di negeri ini mengikuti pemerintah, sehingga jika dikhawatirkan
timbul fitnah, tidak mengapa untuk melakukan shalat id sesuai dengan pemerintah
negeri ini, berbeda dengan puasa yang itu merupakan amalan yang tidak nampak.
Wallahu a’lam bish shawab.
[1] Walaupun pemerintah juga menggunakan
metode hisab, namun metode ini tidak teranggap karena tidak sesuai dengan
bimbingan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Semoga Allah memberikan taufik dan
hidayah-Nya kepada kita semua dan kepada pemerintah negeri ini.
[2]
Berbeda dengan yang dituduhkan oleh kelompok sempalan yang dalam pergerakannya
banyak menyelisihi syari’at semisal Majelis Mujahidin (Indonesia) yang
menyatakan bahwa penetapan awal Dzulhijjah oleh pemerintah RI adalah tidak sah
sebagai pegangan Syar’i karena menyalahi penetapan wukuf Arafah. Demikian
maklumat yang mereka keluarkan. Wallahu a’lam, sebagaimana yang biasa mereka
lakukan, apakah keputusan ini lebih dominan didorong dari sikap kebencian
mereka kepada pemerintah atau karena yang lain?
ahmad
Nov 15, 2010 @ 01:16:18
jadi kapan puasa arafa untuk tahun ini
2010?
Admin:
Insya Allah wuquf jatuh pada hari ini
Senin, 15 Nov 2010
Indra
Nov 15, 2010 @ 08:59:35
Apakah boleh (Bagaimana hukumnya) kalo
puasa arafah dilakukan pada tanggal 15 dan 16 Nov 2010, kemudian melaksanakan
sholat Iedul Adha di tanggal 17 Nov 2010 sesuai penetapan pemerintah?
Admin.
Wallahu’alam
abu ahmad
Nov 15, 2010 @ 16:02:56
‘afwan..
kalau boleh tanya.
waktu untuk wukuf arafah apakah ada
selain tanggal 9 dzulhijjah?
dengan menyadari hal ini (wukuf=9
dzulhijjah) maka yang terjadi khilaf diantara ummat adalah permasalah penentuan
tgl 1 nya.
Untuk keyakinan bahwa puasa arafah adalah
puasa bagi mereka yang tidak ikut wukuf di waktu hari arafah, maka ini insya
Allah tidak ada yang berselisih tentangnya.
namun, sekali lagi. Yang jadi khilaf
adalah penentuan tgl 1 nya.
Jika pemerintah saudi menentukan tgl 1
berbeda dengan pemerintah indonesia, tentu saja terjadi penentuan tgl 9 yang
artinya dalam persepesi pemerintah indonesia mereka yang wukuf di hari arafah
tentunya bukan pada tgl 9 melainkan pada tgl 10. itu kalo menurut hasil
keputusan pemerintah di sini.
Namun, hal ini bukan berarti wukufnya
tidak sah. tidak.. karena wukuf di makkah tentunya mengikuti keputusan
pemerintah saudi di sana bukan mengikuti pemerintah indonesia.
jadi kiranya, pembahasan ini tidak
dimasukkan kedalam perkara manhaj melainkan masuk ke dalam masalah ijtihadiyah.
yang jika kita katakan pemerintah indonesia bisa salah dalam menentukan
jatuhnya hari iedul adha, maka kita katakan begitu pula dengan pemerintah
saudi. karena ini perkara ijtihadiyah..
dan terakhir, jujur saja kita dalam hal
ini tidak melihat hilal 1 dzulhijjah bukan? jadi masing-masing dari kita telah
menjadi pengikut. yang di saudi mengikut pemerintahan saudi, dan yang di sini
mengikut pemerintah indonesia. keduanya adalah benar. karena memang in adalah
tugas pemerintah bukan tugas orang perorangan. wallaahu’alam
Tito
Nov 15, 2010 @ 20:57:47
Alhamdulillah, keterangan ustadz abdul
hakim sangat jelas, tinggal pilih kok, puasa di hari arafah atau puasa setelah
hari arafah walaupun tgl 9 dzulhijjah dengan argumentasi yang disampaikan
ustadz ahmad. yaaa kalau sudah dibaca semua argumentasi, tinggal ketetapan hati
pilih yang mana.
ummu abdillah
Nov 15, 2010 @ 21:59:40
Bagaimana dg jaman dulu sebelum ada alat
elektronik,kita yg di luar Saudi kan tdk tau kapan jamaah haji wukuf.Bukankah
dg melihat hilal di masing2 negeri? Wallohu a’lam.
Admin:Masya Allah, Saya katakan dari
zaman Nabi shallallau’alaihi wa sallam sampai hari kiamat nanti Insya Allah,
tidak akan berubah hari Arafah itu jatuh pada tgl 09 Dzulhijjah dimana manusia
melaksanakan wuquf di mulai setelah tergelincirnya matahari hingga matahari
terbenam.
abu nafi'
Nov 15, 2010 @ 23:40:46
na’am.. Dan sebaiknya perkataan penulis
untuk lebih memperhatikan lg penggunaan kata2..
mar1
Nov 15, 2010 @ 23:43:10
allohu a’lam,
apapun yang kita ambil, sebaiknya
diketahui dasarnya kenapa ulamat itu berpendapat seperti itu.
semoga situs ini bermanfaat utk
sebayk-banyak umat
jazaakumullahi khoir.
Nov 16, 2010 @ 06:45:23
wah berarti bsok puasa arafah yah?puasa
ah………..
Nov 16, 2010 @ 08:49:17
Ust. kalau skrg tgl 16 november / 9
dzulhijjah (menurut pemerintah) skrg .ana puasa bagaimana hukumnya? dan niat
apa yg boleh di niatkan untuk puasa hari ini? kalau memang wukuf di saudi nya
kemaren ..mengingat pemerintah menentukan 10 dzulhijjahnya besok
jazakAllahu khair
qur
Nov 16, 2010 @ 11:10:18
“sehingga anda saksikan bahwa kaum
muslimin di Asia sebelah timur mulai berpuasa sebelum kaum muslimin yang berada
di sebelah baratnya, demikian pula dengan waktu berbukanya. Hal ini terjadi
karena fajar di belahan bumi timur terbit lebih dahulu daripada di belahan
barat”
Ayat atau hadits mana yang menyatakan
fajar di belahan bumi timur terbit lebih dahulu (baca: Jakarta duluan baru
Mekkah), bagaimana kalau saya menyatakan waktu di Mekkah 20 jam lebih dahulu
dibanding waktu di Jakarta. Bumi ini bulat pak dan sama sekali belum terbelah.
lebih tepatnya untuk masalah ibadah lebih dahulu waktu di mekkah ketimbang
daerah lain. Jadi janganlah daerah lain mendahului waktu mekkah, apalagi jamaah
di jakarta yang mendahului sampai 4 jam dibanding waktu mekkah. Dalam sholat
saja kita tidak boleh mendahului imam demikian juga dengan waktu ibadah yg
lain. Sabarlah 20 jam, biarkan saudara2 kita di mekkah lebih dahulu mengerjakan
ibadah, baru 20 jam kemudian kita di Jakarta mengikutinya. Inilah mengapa orang
Indonesia kebanyakan susah diatur karena mereka banyak yang tidak sabaran.
Nov 16, 2010 @ 14:25:14
Bolehkah satu mesjid mengadakan 2 kali
shalat ‘ied?
Admin:
Dibolehkan apabila mendapati udzur,
seperti hujan. karena hukum asalnya pelaksanaan shalat’ ied adalah di Mushalla
(tanah lapang). dan masjid tidak bisa menampung jama’ah untuk shalat semuanya,
bisa di lakukan dua kali shalat dengan satu kali khutbah. Wallahu’alam
ben amri
Nov 16, 2010 @ 14:59:17
Terimakasih atasinformasinya, jd tinggal
memilih krn semua ada dalilnya
nurvita
Nov 16, 2010 @ 15:44:25
asslm..
kok gak bs lgsung share?
Nov 16, 2010 @ 16:06:34
tadi pagi saya berniat puasa arafah dan
saya masih berpuasa sampai pukul 12.00 wib siang tadi, cuma kata temen2 saya
udah tidak boleh puasa lagi karena wujuf nya tgl 15 nov kmren,sehingga saya
membatalkan puasa saya…menurut bapak apa tindakan saya salah?karena awalnya
saya masih bertahan ingin puasa, namun katanya haram…saya sedikit
bingung,,terima kasih
Admin:
Wallahu’alam, untuk menghukumi haram saya
tidak tau.
reza
Nov 16, 2010 @ 16:09:34
Secara logika saya agak heran juga dengan
perkataan penulis diatas.
“…maka kaum muslimin di Indonesia dan di
seluruh negeri puasa Arafahnya pada hari Rabu dan ‘Iedul Adha-nya pada hari
Kamis…”
pastinya yang dimaksud ustadz adalah
seluruh negeri Islam di seluruh dunia bukan..?? lalu bagaimana dengan kaum
Muslimin yang berada dibelahan dunia lain yang beda 12 jam dengan saudi..???
saudi waktu wukuf siang di tempat mereka sedang malam..??? kapan puasanya pak??
kalau mau ngikuti pendapat ustadz tentunya puasa saat itu juga kan..?? jadi
rancu malam2 ko puasa,…kalau ustadz bilang yaa ngikuti tanggal 9 waktu tempat
ituu dong…nah lhoo lalu apa bedanya dengan Indonesia..?? begitu deh unek-unek
saya..mohon dijawabyah bang ADMIN.
Admin:
Antum bertanya dengan logika saya jawab
dengan logika,
Agar pembahasan tidak meluas kemana-mana,
coba kita runcingkan masalah ini kepada satu pokok permasalahan, yakni:
Bahwa puasa pada hari Arafah itu terkait
waktu dan tempat. waktunya adalah tgl 09 Dzulhijjah dan tempatnya adalah di
Arafah, lalu disyariatkan bagi kaum muslimin yang tidak melaksanakan ibadah
haji untuk berpuasa pada hari itu.
Lalu antum bertanya, bagaimana dengan
negara yang waktunya berbeda 12 jam dengan Saudi Arabia, di Saudi siang
sedangkan di tempat mereka malam, kapan puasanya?
Saya katakan puasanya tetap tgl 09
Dzulhijjah pada hari Arafah, 1 hari itukan terdapat 24 jam. kalau sekiranya di
Saudi siang ditempat mereka malam (lalu sebaliknya), mereka bisa berpuasa esok
harinya sedangkan di Saudi masih hari Arafah.Wallahu’alam
Nov 16, 2010 @ 16:13:42
Saya puasa Arafah hari Senin dan Selasa
(15-16 November) dan Sholat Idul Adha Rabu, mengikuti pemerintah dan rukyat,
apakah boleh dan kuat dalilnya? Terima kasih, jazakalloh bi khoir.
Wassalam http://Jendelakatatiti.wordpress.com.
Admin:
Wallahu’alam, sudah dijelaskan diatas
bahwa tgl.09 Dzulhijjah (15 Nov) adalah hari Arafah,
setelahnya tgl.10 adalah ‘Iedul Adha dan setelahnya adalah hari
Tasyriq.
reza
Nov 16, 2010 @ 16:19:00
Satu lagi deh, yang diatas itukan
pendapat ustadz,..nah tolong dong…kalau emang ada ulama kibar yg berpendapat
hal yg sama ama Ustadz Abdul Hakim diatas disampaikan juga,..
Admin:
Beberapa fatwa ulama terkait masalah ini
bisa dilihat di sites Ustadz Abu Jauzaa disini: http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/11/fatwa-lajnah-daaimah-asy-syaikh-al.html
Atau saya nukilkan disini:
Tanya :
“Apakah
kami boleh berpuasa dua hari di negeri kami sini selama dua hari, yaitu untuk
puasa ‘Arafah ? karena kami mendengar di radio bahwa hari ‘Arafah esok (di
Saudi) bertepatan dengan tanggal delapan Dzulhijjah di sini”.
Jawab :
Hari ‘Arafah adalah hari dimana
orang-orang melakukan wuquf di ‘Arafah. Dan puasa di hari tersebut
disyari’atkan bagi selain orang yang menunaikan ibadah haji. Apabila engkau
ingin berpuasa, maka berpuasalah pada hari ini. Jika engkau ingin berpuasa
sehari sebelumnya, maka tidak mengapa. Dan jika engkau ingin sembilan hari dari
awal bulan Dzulhijjah, maka itu baik, karena hari-hari itu merupakan hari-hari
yang mulia yang dianjurkan untuk berpuasa berdasakan sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : ‘Tidak ada hari yang amal shalih dilakukan padanya lebih
baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari sepuluh ini (di bulan
Dzulhijjah)’. Dikatakan : ‘Wahai Rasulullah, tidak pula jihad di jalan Allah
?’. Beliau menjawab : ‘Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali seorang laki-laki
yang keluar dengan diri dan hartanya, kemudian tidak kembali sesuatupun darinya
(yaitu, orang tersebut mati syahid)’. Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy.
Wabillaahit-taufiiq, wa shallallaahu
‘alaa nabiyyinaa Muhammadin wa aalihi wa shahbihi wa sallam.[1]
[Fatwa Lajnah Daaimah 10/393, ketua :
‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Abdillah bin Baaz, anggota : ‘Abdullah bin Ghudayaan – http://dean4me.com/play-130.html%5D.
Tanya :
“Pemerintah
kami di Libya telah mengumumkan hari Rabu adalah hari ‘Arafah dan hari Kamis
adalah ‘Iedul-Adlhaa; yang menyelisihi apa yang telah ditetapkan Kerajaan Saudi
‘Arabia bahwa hari ‘Arafah dan wukufnya jama’ah haji jatuh pada hari Kamis.
Maka, apa hukum mengenai hal itu ?”.
Jawab :
“Alhamdulillah,
wash-shalaatu ‘alaa rasuuliullah, wa ba’d :
Allah ta’ala telah berfirman : “Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : “Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji; Dan bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintunya;
dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (QS. Al-Baqarah : 189). Dan
mengenai ibadah haji, sebagaimana disabdakan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : “Haji itu ‘Arafah”. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ahlus-Sunan dengan
sanad shahih.
Maka wajib bagi semua negeri kaum
muslimin yang mengetahuinya untuk membatasinya dengan ru’yah negeri yang dituju
orang-orang untuk ibadah haji, yaitu negeri Al-Haramain yang mulia.
Dan karenanya, tidak boleh bagi kalian
untuk mentaati pemerintah kalian yang menjadikan ‘Ied jatuh pada hari Kamis.
Dan barangsiapa yang menyembelih pada hari Kamis, maka sembelihannya itu tidak
terjadi pada posisi/tempat yang syar’iy. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam telah bersabda tentang orang yang menyembelih sebelum shalat ‘Ied :
‘Kambingmu itu adalah kambing yang disembelih untuk dimakan dagingnya saja
(bukan kambing sembelihan kurban)’. Beliau ‘alaihish-shalaatu was-salaam
bersabda : ‘Tidak ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan kepada Allah’.
Permasalahan ini bukan seperti perselisihan dalam ru’yah hilal Ramadlaan atau
Syawaal, karena puasa dan berbuka dimungkinkan untuk dilakukan di negeri
manapun. Adapun hari ‘Arafah dan ‘Iedul-Adlhaa, sudah seharusnya orang-orang
untuk bersatu, meskipun hanya satu bagian di waktu siang, berdasarkan ayat-ayat
dan hadits. Wallaahu a’lam.
[Fatwa dari Asy-Syaikh
Al-‘Ubailaan hafidhahullah – http://kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=97989%5D.
Tanya :
“Fadliilatusy-Syaikh,
apakah kami boleh berpuasa ‘Arafah berdasarkan waktu setempat/lokal ataukah
kami mesti mengikuti waktu Saudi, yaitu hari kedelapan Dzulhijjah jika
berdasarkan waktu setempat/lokal ? Jazaakumullaahu khairan.
Jawab :
‘Arafah
adalah nama gunung dimana para jama’ah haji melakukan melakukan wuquf pada hari
kesembilan bulan Dzulhijjah. Ia (hari ‘Arafah) merupakan hari yang satu lagi
tidak berbilang. Maka, puasa yang bersamaan dengan wuqufnya jama’ah haji adalah
puasa yang benar. Adapun selain itu, aku tidak mengetahui sumbernya dari
Al-Qur’an maupun As-Sunnah”
[Fatwa dari Asy-Syaikh Dr. Muhammad
Al-Maghrawiyhafidhahullah – http://www.darcoran.org/?taraf=fatawi&file=displayfatawi&id=119%5D
[1] Perhatikan uslub Lajnah dalam
menjawab pertanyaan. Mereka menyandarkan bahwa hari ‘Arafah adalah hari dimana
orang-orang melaksanakan wuquf di ‘Arafah, dan puasa pada waktu tersebut
disyari’atkan bagi orang yang tidak melakukan haji. Kemudian Lajnah berfatwa
kepada Penanya bahwa jika si Penanya ingin berpuasa dua hari, maka ia berpuasa
pada hari ‘Arafah yang sesuai dengan pelaksanaan wuquf di ‘Arafah yang
bertepatan tanggal 8 Dzulhijjah di daerah si Penanya, dan juga hari sebelumnya.
Artinya, Lajnah tidak menyarankan si Penanya berpuasa di hari setelahnya,
meskipun hari itu bertepatan dengan tanggal 9 Dzulhijjah menurut daerah si
Penanya.
Nov 16, 2010 @ 16:58:06
Assalamu’alaykum……. mo nanya doooong….
hadits tentang melihat hilal apakah tertuju hanya untuk hari raya idhul fitri
atau jg untuk hari raya idhul adha? makasih, smg allah membalas dgn kbaikan….
Admin:
Wa’alaikumussalam, sudah di jelaskan
diatas. berbeda penerapan melihat hilal untuk Ramadhan dan ‘Iedul Fithri dengan
Arafah dan ‘Iedul Adha. ‘Ied Fithri berkaitan dengan waktu,
yakni penetapan tgl 1 Ramadhan dan 1 Syawwal berdasarkan ru’yah masing-masing
negeri/daerah. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
” Apabila kamu melihat hilal (Ramadhan)
maka puasalah, dan apabila kamu melihat hilal (Syawal) maka berbukalah, tetapi
jika awan menutupi kalian, maka berpuasalah tiga puluh hari.” (Dikeluarkan oleh
Imam Muslim (3/124) dan lain-lain)
Sedangkan Arafah dan ‘Ied
Adha berkaitan dengan waktu dan tempat, yakni waktu
penetapan tgl 1 Dzulhijjah berdasarkan ru’yah negeri Al-Haramain (Saudi Arabia)
berbeda dengan penerapan ‘Iedul Fithri. Lalu menetapkan tgl 9, 10, 11 Dzulhijjah
berdasarkan ru’yah sana karena Arafah terdapat disana. (seperti yang dijelaskan
diatas). Wallahu’alam
Nov 16, 2010 @ 17:56:59
sedang membayangkan, flashback ke 1000
tahun yang lalu, ketika tekhnologi belum maju sepesat ini…..firqoh2
sedikit….ahlusunnah wal jammah (pengikut sunnah dan manhajnya shahabat) masih
banyak…ummat muslim sudah tersebar diberbagai negeri….untuk mengetahui kabar
suatu negeri perlu perjalanan berbulan-bulan….dengan apakah mereka menentukan
dua hari raya ?
Admin:
Sudah saya jawab di komentar sebelumnya
tentang penerapan dua hari raya.
Adapun mengenai bagaimana kaum muslimin
sebelum kita diluar Al-Haramain (Saudi Arabia) mengetahui kapan tepatnya Wuquf
di Arafah sedangkan tekhnologi belum secanggih sekarang.
Jawaban-nya saya nukil
tanggapan Ustadz Abu Jauzaa, beliau berkata: ” …Mengikuti jama’ah haji
adalah asal hukum, dan hukum ini dilaksanakan sesuai dengan kesanggupan.
Bagi yang tidak mendengar atau tidak sampai kepadanya informasi tentang wuquf
‘Arafah, maka diperbolehkan baginya untuk berijtihad dengan ru’yah hilal yang
nampak baginya…..”
Allah ta’ala berfirman :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengankesanggupannya” (QS. Al-Baqarah : 286).
Apa yang disebutkan di atas merupakan
hukum asal bagi setiap orang yang mampu mengetahui khabar nampaknya hilal di
Makkah atau pelaksanaan wuquf di ‘Arafah. Dapat kita lihat bahwasannya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan amir kota Makkah untuk melihat
hilal yang kemudian hilal itu dirujuk oleh kaum muslimin yang lain termasuk di
Madinah.
Jarak ribuan kilometer beberapa negeri
Islam dan arus informasi yang tidak secepat sekarang menyebabkan para ulama
berijtihad dalam hal ini. Ini semua dikarenakan ‘udzur atas sesuatu yang
sifatnya dlaruriy. ‘Tidak mungkin’ kan kaum muslimin tidak melaksanakan puasa
‘Arafah, shalat ‘Ied, dan menyembelih kurban dengan alasan tidak mengetahui
informasi yang ada di negeri Makkah. Salah satunya mereka (para ulama) berijtihad
berdasarkan hilal di masing-masing tempat.
Hukum ini tentu saja mengikuti illat
pengetahuan atas khabar yang sampai kepada mereka tentang kenampakan hilal
penduduk Makkah atau waktu pelaksanaan wuquf di ‘Arafah.
Nah, untuk waktu sekarang dimana sarana
komunikasi sudah sedemikian canggihnya, bukan hal yang susah bagi kita untuk
mengetahui hilal penduduk Makkah/Saudi atau pelaksanaan wuquf di ‘Arafah.
Wallaahu a’lam.
Abu Aisyah
Nov 17, 2010 @ 11:57:30
Sdr Admin mohon pahami dengan baik
pertanyaan dari Ummu Abdillah…
konteksnya adalah bgmana Jika kita tidak
MENGETAHUI penentuan 1 zulhijjah (termasuk waktu wukuf) dari Saudi karena tidak
ada informasi?
pertanyaan penting : sejak Kapan wukuf di
Arafah menjadi patokan dalam berlebaran di INDONESIA? apakah di indonesia pada
jaman DAHULU (sebelum ada komunikasi canggih seperti sekarang ) ada yang
mewajibkan pelaksanaan wukuf sebagai patokan? kalo tidak berpedoman wukuf
dianggap Batil dan dianggap taat pada maksiat??
terima kasih
Admin:
Afwan akh, karena banyaknya komentar yang
masuk saya agak sulit menagkapnya!!!
Iya saya sudah faham, pertanyaan Ummu
Abdillah sama seperti yang antum dan Akh Syarif diatas tanyakan,
mungkin jawabannya sudah terwakili dari komentar saya di pertanyaan Akh Syarif…
Nov 18, 2010 @ 12:35:08
jazakallahu khoir…, setidaknya kita jadi
tahu alasannya, mengapa kita berselisih dalam masalah ini. wallahu a’lam
reza
Nov 18, 2010 @ 14:07:30
satu lagi nih mas ADMIN…..kalau shaum
arafah di nisbatkan ke pelaksanaan wukuf bagaimana halnya bila qoddarullah
disaat tidak dapat terlaksananya wukuf..semisal pada beberapa tahun bani
fathimiyyun berkuasa..beberapa tahun tidak ada yg haji. bagaimana kaum muslimin
puasanya?
Admin:
Tetap waktunya, berpuasa pada tgl 09
(yakni pada Hari Arafah). Sebagaimana hadits yang disampaikan diatas secara
umum berbicara tentang keutamaan puasa Hari Arafah.
Dari Abu Qatadah Al-Anshariy (ia
berkata),” Sesungguhnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah di tanya
tentang (keutamaan) puasa pada hari Arafah?” Maka beliau menjawab,
“ Menghapuskan (kesalahan) tahun yang lalu dan yang sesudahnya.” (HR.
Muslim no.1162 dalam hadits yang panjang)
Wallahu’alam
anas
Nov 19, 2010 @ 11:02:41
bagaimana dengan artikel ini ? disitu
sepertinya ucapan ust. abdul hakim terlalu keras dalam menyikapi perselisihan
ini, sehingga sebagian salafiyyin tidak terima dengan hal ini, tapi sayangnya
situs al-jasari ini malah meneruskan perselisihan lamanya tentang ihya turots,
Admin:
Salah satu sites diantara sites-sites
pemakan bangkai manusia, Adapun mengenai tulisan Ustadz Abdul Hakim ini adalah
Ijtihad beliau dalam mengambil suatu hukum dari Sunnah yang shahih dan dalam
menguatkan pendapatnya beliau cukup tegas untuk menjelaskan pendapat yang
beliau yakini, dan ini maklum di kalangan ahli ilmu.
Sebagaimana dahulu Imam Asy-Syafi’i
berkata, “Apabila telah shahih hadits, maka itulah madzhabku”. tidak peduli
apakah menyalahi kebanyakan manusia atau menyetujuinya. Wallahu’alam
abu ahmad
Nov 19, 2010 @ 21:20:51
begitulah pendapat.
barang siapa memilih satu pendapat yang
sudah dianggap kuat maka akan terlihat kuat meski ditentang oleh pendapat lain.
wajar, saya katakan wajar dalam hal ini.
karena ke dua pendapat ini bisa benar dari satu sisi dan bisa salah dalam sisi
yg lain.
qadarallah ini terjadi.
REZA
Nov 21, 2010 @ 06:27:34
akh ADMIN..ana nilai jawaban antum
kontradiksi dengan pernyataan ustadz abdul hakim, jawaban antum tentunya tetap
mengikuti penetapan waktu masing2 tempatkan?? tanggal 9 dimasing2 wilayah
kan..? so oleh karena itu sangat disayangkan ada lontaran di tulisan ustadz
abdul hakim bahwa
” Pendapat ini batil kalau tidak mau
dikatakan sangatlah batil, karena telah menyalahi ketegasan hadits di atas, di
mana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam di tanya tentang puasa pada hari
Arafah, yakni pada hari ketika manusia wuquf di Arafah. Adapun hari sesudahnya
bukan hari Arafah lagi tetapi hari ‘Ied, dan lusanya bukan hari ‘Ied lagi
tetapi hari Tasyrik. Ini yang pertama ”
yang sejatinya ini bertolak belakang
dengan jawab antum ke komen ana yg pertama. fatwa Lajnah daimah diatas juga
sebenarnya jadi hujjah untuk antum juga, kalau menurut ana ahsan antum posting
juga fatwa al ‘allaamah syaikh al Utsaimin al faqiih al ushuuli.
Admin:
Tidak ada yang kontradiksi, tgl 9 disini
mengikuti waktu Saudi. Untuk fatawa Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin ~ rahimahullah ~
antum bisa membacanya di komentar Akh Omar Salim diatas.
Abu Aisyah
Nov 21, 2010 @ 12:26:11
Mohon ijin Sdr Admin :
1. Pengertian Arafah.
Hari ‘Arafah adalah hari kesembilan dari
bulan dzulhijjah, dan yang dijadikan sandaran adalah penanggalan hijriyah di
tempat di mana seseorang itu berada, bukan berdasarkan pada wukufnya jama’ah
haji di bukit ‘Arafah. Dan inilah yang dikenal dari perbuatan para Ulama ketika
memberikan pengertian hari ‘Arafah yang mana mereka menyebutkan bahwa hari
‘Arafah adalah hari kesembilan dari bulan dzulhijjah.(lihat al-Qamus al-Fiqhi
dan Mu’jam Lughatul Fuqahaa’ dan juga syarah-syarah Kitab Sunnah) Dan ini (hari
‘Arafah adalah tanggal sembilan) tidak ada perbedaan pendapat di dalamnya.
perbedaan hanya terjadi pada sebab penamaan hari ‘Arafah tersebut. Lihat pembahasan
masalah ini di al-Mughni (4/442) karya Ibnu Qudamah rahimahullah, lihat pula
pendapat-pendapat Ulama tentang sebab penamaan hari ‘Arafah dalam kitab Tafsir
ath-Thabari, (2/297), Bahrul Muhith (2/275), ketika menafsirkan firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala: ”Maka apabila kalian bertolak dari ‘Arafah.”(QS.
Al-Baqarah: 198) Demikian juga lihat Lisanul ‘Arab karya Ibnu Manzhur (4/2898)
2. Bagaimana Perbuatan Rasulullah
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu
Dawud rahimahullah(2437), Imam Ahmad rahimahullah (2269) Imam
an-Nasaairahimahullah (2372) yang dishahihkan oleh al-Albani rahimahullahdari
sebagian istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: ”Dahulu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada tanggal sembilan dzulhijjah, hari
‘Asyuraa’, dan tiga hari setiap bulan yaitu hari senin pada awal bulan dan dua
hari kamis.” Segi pendalilan: Bahwa istri Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallammenyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamdahulu
melakukan puasa pada tanggal sembilan dzulhijjah dan itu tidak diragukan lagi
dilakukan oleh beliau sebelum haji Wada’. Dan lafazh kaana menunjukkan
rutinitas sebuah amalan. Dan tidak ada sebuah riwayat bahwasanya beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh untuk mencari tahu tentang
kapan waktu wukuf jama’ah haji di bukit ‘Arafah di Makkah.
3. Kesimpulan :
a. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah
berkata dalam Majmu’ Fatawa ketika menjawab pertanyaan seputar masalah
ini:”Apabila suatu Negara berada dalam satu hukum dan pemerintah memerintahkan
rakyat untuk puasa, atau Idul fithri maka wajib untuk diikuti dan keputusan
Hakim menghilangkan perbedaan pendapat. Maka berdasarkan hal ini berpuasa dan
berbukalah (Idul fithri) sebagaimana penduduk negeri yang kamu tempati berpuasa
dan berbuka, baik bertepatan dengan negeri asalmu ataupun tidak. Demikian juga
dalam masalah ‘Arafah, ikutilah negeri di mana kalian berada.”
b. Atsar Salaf & Perkataan ‘Ulama
Tentang Sholat ‘Iedain Bersama Hukkam (http://tholib.wordpress.com/2007/01/14/atsar-salaf-perkataan-ulama-tentang-sholat-iedain-bersama-hukkam/)
c. Fatwa asy-Syaikh al-Albani tentang
Sholat Dua Hari Raya Bersama Pemerintah
Abu Aisyah
Nov 22, 2010 @ 09:28:34
link yang bermanfaat :
mulya
Nov 23, 2010 @ 09:26:51
Alhamdulillah ana dapat menemukan jawaban
dari pemahaman yang didapat dari dalil-dalil oleh ustad abdul hakim walaupun di
nukil dari muridnya[bukunya, admin],
sebelumnya ana juga membaca risalah dari syaikh asy utsaimin tentang kapan
puasa arafah, ternyata terdapat perbedaan yang keduanya menggunakan dalil-dalil
namun jika terdapat perbedaan disalah satu perbedaan itu pasti ada yang benar
dan ada yang salah semoga Allah memberikan kepada kita jalan baik untuk
perbedaan fiqih ini atau pun yang lainnya dan Allah memaafkan kepada mereka
yang telah salah memahami dalil
jazakumullah khair
Namun disayangkan bahwa masyarakat kita
jika melakukan suatu ibadah dia mengikuti suatu organisasi yang berada di kita
tanpa melihat dalil yang dibawakannya, semoga Allah memberikan kepada mereka
dan kita semuanya untuk melihat dalil(Alquran dan sunnah menurut pemahaman para
sahabat) jika ingin melakukan sesuatu ibadah tersebut. Hanya kepada Allah kita
memohon petunjuk
sakru
Nov 23, 2010 @ 20:25:36
izin share
Nov 30, 2010 @ 08:55:54
nice post…
kunjungi ini ya..
thanks
samudera
Sep 02, 2011 @ 18:04:33
izin share juga ustadz sangat menambah
pemahaman dan jadi bisa menentukan pilihan…
abu hani
Okt 25, 2011 @ 20:10:50
al akh abu sahal al atsary atau admin web
ini, akhi sudah dgr info kajian ust. Abdul hakim tgl 13 nov 2011 bsk d ma’had
daarut tauhid milik aa gym akan d adakan kajian “lau kaana khairan laa sabaquna
ilaih”, alhamdulillah aa gym tengah belajar manhaj salaf. Tolong bantu cari
brosurnya syukron…
ary
Okt 25, 2011 @ 21:00:53
alhamdullilah, dengan adanya teknologi
informasi, kita dapat mengetahui kabar penentuan hilal pemerintah arab saudi
dalam hitungan menit saja, yang menjadi ganjalan di pikiran saya, bagaimana
dengan orang-orang yang hidup di zaman yang belum ada IT dan transportasi
modern, mengetahui keputusan hilal dari arab saudi, bagaimana cara mendapatkan
informasi tsb dengan cepat. Bisakah mereka melaksanakan secara bersamaan?
Admin:
Sudah dijawab di komentar sebelumnya,
lihat komentar al-Akh Syarif (Nov 16, 2010) saya nukilkan jawaban Ustadz Abul
Jauzaa. wallahua’lam
faiva
Okt 28, 2011 @ 20:08:51
bagaimana utk tahun ini (2011)? adakah
kemungkinan berbeda lagi?
ikhwan
Okt 29, 2011 @ 16:05:40
Ya syeh, pendapat ke 4 itu mksdnya apa,
kita taat pemerintah ato harus tidak taat, dlm hal puasa arofah dan idul adha
ini
Okt 30, 2011 @ 22:05:40
rina
Nov 01, 2011 @ 04:16:40
niat nya apa sih,,,,,,,????
azkakediri
Nov 03, 2011 @ 02:18:10
pada hari jum’at itu sebelum puasa arofah
jum’at namana puasa apa ya
Admin:
Wa’alaikumussalam, mungkin yang dimaksud
puasa hari Tarwiyah (8 Dzulhijjah). Bisa dilihat disini: https://moslemsunnah.wordpress.com/2011/11/03/puasa-hari-tarwiyah-8-dzulhijjah-oleh-al-ustadz-abdul-hakim-bin-amir-abdat/
bloknyawahyu
Mar 27, 2012 @ 17:19:20
Reblogged this on bloknyawahyu.
Apr 14, 2012 @ 15:03:34
Dedy Murman
Okt 16, 2012 @ 21:40:07
Assalaamu’alaikum,
Admin yg mulia dan semoga selalu dalam
lindungan Allah, saya ingin bertanya satu hal, ‘apakah penetapan jatuhnya hilal
sebagai pertanda telah masuknya awal bulan yang baru itu termasuk masalah
‘ibadah atau masalah keduniawian?’, sebelumnya saya ucapkan terima kasih dan
semoga Allah senantiasa memberikan taufik dan hidayahNya kepada kita semua,
aamiin
Okt 23, 2012 @ 22:52:38
jazakallah khoiron ustdz,, ilmu ini
sangat bermanfaat… terkhususnya bagi orang awam,.
Okt 24, 2012 @ 12:48:24
Okt 09, 2013 @ 11:07:43
trims sharing ilmunya.,, sangat
bermanfaat
Okt 09, 2013 @ 11:08:38
yuk… kita puasa arofah tahun 2013 ini..
mdh2 berkah
Sep 29, 2014 @ 14:46:42
terima kasih atas penjelasanya saudara..
hmmb jadi ingin puasa arrafah
Sep 29, 2014 @ 17:09:03
Persis spt Idul Adha tahun 2014 ini, ana
jadi yakin ikut hujjah Ust. Abdulhakim bin Amir Abdat hafidzhahullah yg
ternyata lbh unggul…insyaallah
roi
Okt 01, 2014 @ 10:19:46
Admin: “…hari Arafah itu jatuh pada tgl
09 Dzulhijjah dimana manusia melaksanakan wuquf di mulai setelah tergelincirnya
matahari hingga matahari terbenam.”
ada yg tidak pas, bukankah hari arafah
itu mulai dari tergelincir matahari tanggal 9 dzulhijjah sampai dengan terbit
fajar tanggal 10 dzulhijjah!?
nurdin
Okt 01, 2014 @ 19:24:16
Ada yang berdalil puasa pd tgl 9 sdh da
sblm syari’at wukuf mk tdk mengapa puasa tdk brbarengan dgn wukuf? Bgmn
dalilnya?
Okt 02, 2014 @ 16:52:54
Okt 02, 2014 @ 17:49:22
bingung.. beda dgn artikel ini http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/puasa-arafah-ikut-wukuf-di-arafah-atau-ikut-pemerintah.html
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●
●Puasa Arafah Sepanjang
Sejarah hingga 1435 H
●PUASA ARAFAH IKUT WUQUF DI
ARAFAH!
●Kapan Puasa Arofah?!
327. Bila Hasil Ru'yah Berbeda Lalu Kapan Kita
Puasa Arafah...?
Semalam saya menanyakan 1 permasaalahan
pada 2 muhaddits Masjid Nabawi. Dan Hasilnya adalah 2 jawaban yang berbeda.
Pertanyaan:
Wahai syaikh bila hasil rukyat di negara
kami berbeda dengan hasil rukyat di kerajaan saudi, tentunya penanggalan puasa
Arafah juga akan berbeda, maka kapan kaum muslimin di negara kami melakukan
puasa Arafah..?
Prof. DR. Anis Thohir Al -Indunisy
menjawab:
"Ikuti penanggalan yang ada di
negeri kalian jika ternyata dipastikan berbeda. Karena perbedaan mathla' itu
mu'tabar. Namun bila ragu berpuasalah pada tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah. Wallahu
a'lam"
Prof.DR. Dhiyaurrahman Al A'dzamy
menjawab:
"Ada perbedaan pendapat dalam
masaalah ini, Hanya saja saya lebih condong untuk mengikuti jadwal wuquf para
jamaah haji di Arafah. Karena nabi shallallahu alaihi wasallam mengatakan,
"صوم يوم عرفة (Puasa di hari
Arafah)" bukan " صوم يوم التاسع
من ذى الحجة" (puasa pada tanggal 9 Dzulhijjah). Itu
artinya kita berpuasa pada hari dimana kaum muslimin berada di Arafah. Ini
pendapat yang saya anggap rojih, inilah fatwa saya dalam masaalah ini. Wallahu
a'lam."
Jadi...?
Saya pribadi lebih condong pada pendapat
Prof. Dhiyaurrahman bila penanggalan. Dan setuju dengan saran Prof. Anis untuk
berpuasa pada tanggal 8 dan 9 Dzulhijjah bila penanggalan ditanah air lebih
lambat dari penanggalan KSA sebagai bentuk kehati-hatian. Lagipula masaalah ini
fleksibel.
Wallahu a'lam.
_________________
Madinah 28 Dzulqa'dah 1435 H
ACT El-Gharantaly
Madinah 28 Dzulqa'dah 1435 H
ACT El-Gharantaly
Intinya, Hilal Ramadhan dalam perkara ini
permasalahannya fleksibel: perbedaan manusia dalam menentukan masuknya bulan
Ramadan (perbedaan mathla') adlh perkara yang luwes.
Adapun dalam penetapan hilal dzulhijjah Maka
manusia hendaknya mengikuti Mekah...
تنبيه :
هلال رمضان
الأمر فيه واسع في دخوله ورؤيته، واختلاف الناس فيه مقبول لاختلاف المطالع،
وأما هلال ذي
الحجة فالناس فيه تبع لمكة، لأن العيد بعد يوم عرفة الذي سيكون في مكة، والعيد
إنما هو احتفال بقضاء الحاج لمناسكه، فكيف يعيد البعض يوم عرفة أو يتأخر عن ١٠ ذي
الحجة!
(Ketua jurusan tafsir univ Kuwait)
Pendapatyang menyatakan puasa Arafah
mengikuti Arab Saudi, sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Utsman
bin ‘Abdillah As-Salimi hafizhahullah, salah seorang ulama besar di Yaman, dan
termasuk murid senior Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimauhllah. Dalam salah satu
pelajaran yang disampaikan ba’da zhuhur tanggal 3 Dzulhijjah yang lalu, beliau
ditanya:
Apakah kita beridul Adha (yakni mulai
menyembelih hewan kurban) dengan mengikuti Arab Saudi, sementara kami di
Maroko, meskipun hal ini menyelisihi dan mendahului waliyul amr (pemerintah),
dan hal ini juga bisa menimbulkan fitnah sebagaimana yang anda ketahui?
Maka beliau menjawab:
Idul Adha wajib atas seluruh kaum
muslimin untuk mengikuti negeri Al-Haramain (Arab Saudi), karena pelaksanaan
ibadah haji berada di sana, sehingga yang dijadikan patokan adalah pelaksanaan
ibadah haji dan hari Arafah (sesuai dengan yang di Arab Saudi), maka hendaknya
kalian melaksanakan puasa hari Arafah ketika di negara Arab Saudi juga
berpuasa, yaitu ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah.
Adapun waliyul amr (pemerintah), baik di
Maroko maupun negeri yang lain, tidak boleh bagi mereka untuk menyelisihi umat
Islam (yang berpatokan pada pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah di Saudi
tersebut).
Namun apabila kalian khawatir terjadinya
fitnah, jika kalian sanggup, maka hendaknya kalian menyembelih hewan kurban
pada hari nahr secara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak mampu, maka pada hari
keduanya tidak mengapa. Hari-hari penyembelihan itu banyak, yaitu hari nahr (10
Dzulhijjah), tanggal 11, tanggal 12, dan menurut pendapat yang benar adalah
juga tanggal 13 sebagaimana yang dikatakan Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama
yang lain.
Sehingga kalian boleh memilih, tidak
mengapa bagi kalian untuk mengakhirkan dan mengikuti negeri kalian dalam
menyembelih hewan kurban jika khawatir timbul fitnah. Wabillahit taufiq.
Akan tetapi hendaknya kalian tetap merasa
bahwa hari Id (yang benar) adalah bersama dengan negeri Saudi Arabia. Semoga
Allah memberikan taufik kepada kalian.
Adapun untuk shalat id, maka dilakukan
pada hari kedua (dari hari nahr, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah) selama di negeri
tersebut semuanya melaksanakan id bersama dengan pemerintah setempat, sehingga
jika khawatir terjadi fitnah, maka boleh mengakhirkan shalat id pada hari
kedua.
Kesimpulan
Kaum muslimin di Indonesia -sebagaimana
yang telah diumumkan sendiri oleh pemerintah-, diberi keleluasaan untuk memilih
waktu puasa Arafah dan hari Id-nya, silakan mengikuti pemerintah atau boleh
juga mengikuti Arab Saudi. Dari keterangan para ulama di atas, maka Insya Allah
tidak mengapa bagi setiap muslim di negeri ini untuk menentukan waktu puasa dan
hari rayanya sesuai dengan pendapat yang menurut dia lebih tepat (tentunya
dalam memilih pendapatnya itu harus dengan didasari oleh ilmu, tanpa ada
sikap taqlid, apalagi memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu diri dan
kelompoknya), karena masing-masing pendapat tersebut berdasarkan ijtihad para
ulama yang bersumber dari dalil-dalil yang syar’i.
Pemerintah memberikan keleluasaan kepada
masyarakat untuk memilih waktu puasa dan hari rayanya, sehingga kalau dia
berpuasa dan berhari raya tidak bersamaan waktunya dengan pemerintah, ini bukan
termasuk bentuk ketidaktaatan kepada waliyul amr.
Kamis, Oktober 02, 2014
Alghifari Smith
WUQUF DI ARAFAH ADALAH ACUAN.
Mufti Agung Al-Quds, Palestina, Syaikh
Mohammed Hussein mengingatkan kaum Muslimin di seluruh dunia, bahwa Arab Saudi
melalui kesaksian hilal, hendaknya diikuti negeri-negeri lainnya. Sebab kiblat
dan pusat jamaah haji ada di tanah suci Mekkah al-Mukarramah.
“Sebab ini berkaitan dengan ibadah
lainnya. Jumat (3/10) adalah Hari Arafah, di mana jutaan jamaah haji berkumpul
di padang Arafah, maka umat Muslim lainnya yang tidak haji disunahkan puasa
Arafah,” ujar Mufti Hussein.
Demikian pula, Sabtu di Mekkah dan
tempat-tempat lainnya di seluruh dunia sama-sama melaksanakan Hari Raya Idul
Adha 1435.
Mahkamah Agung Saudi Arabia meminta kaum
Muslimin di seluruh dunia agar mengacu pada putusan Saudi Arabia sebagai kiblat
yang memimpin jutaan umat Islam di seluruh dunia yang berhaji ke Tanah Suci.
“Berbeda dengan Idul Fitri yang
memungkinkan perbedaan, tetapi ini Idul Adha, acuannya adalah jamaah haji di
tanah suci Mekkah al-Mukarramah, umat Islam seluruh dunia merayakan Idul Adha
pada saat yang sama dengan Arab Saudi,” bunyi pernyataan.
Di samping berkaitan dengan penampakan
bulan (rukyatul hilal) tersebut, tentunya, yang paling pokok adalah saat jamaah
haji seluruhnya melaksanakan wuquf di Arafah pada Jumat (3/10) nanti, sebagai
puncak ibadah haji. Ini bisa disaksikan dari seluruh dunia.
Dalam rangka penyatuan penanggalan
Kalender Dunia Islam, Organisasi Konferensi Islam (OKI) sebenarnya pernah
membuat kesepakatan yang dikenal dengan Konvensi Istambul 1978. Konvensi
Istambul adalah pertemuan Musyawarah Ahli Hisab dan Ru’yat di Istanbul, Turki
tahun 1978 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 19 Negara Islam (termasuk
Indonesia), ditambah dengan tiga Lembaga Kegiatan Masyarakat Islam di Timur
Tengah dan Eropa.
Ada tiga kesepakatan terpenting Konvensi
Istambul, yaitu pertama, sepakat satunya penanggalan bagi dunia Islam. Kedua,
ru’yatul hilal (penglihatan bulan) suatu negara berlaku untuk semua negara.
Ketiga, Mekkah Al-Mukarramah dijadikan sentral ru’yatul hilal dan pusat
informasi ke seluruh negeri-negeri Islam.
Di tengah situasi global yang semakin
mendewasakan umat Islam, semoga ukhuwah Islamiyah, persatuan dan kesatuan umat
Islam, dapat terwujud di tengah perbedaan penetapan yang ada, khususnya dalam
penetapan satu Ramadhan, 1 Dzulhijjah, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul
Adha.
Terlepas dari perbedaan itu semua, kami
hanya mengingatkan kepada Pihak Pemerintah RI, terutama Kementerian Agama,
hendaknya memperhatikan acuan pelaksanaan ibadah haji adalah di tanah suci
Mekkah al-Mukarramah, sebab ini berkaitan dengan ibadah-ibadah lainnya. Seperti
saat wuquf di Arafah, Jumat nanti 9 Dzulhijjah (3/10), sehingga disebut Haji
Akbar. Maka umat Islam di seluruh dunia lainnya, dianjurkan untuk melaksanakan
puasa Arafah.
Esok harinya, Sabtu 10 Dzulhijjah berarti
Hari Raya Idul Adha bagi umat Islam di seluruh dunia.
Jika kemudian Pemerintah RI melalui
Kementerian Agama, yang dibacakan oleh Wamenag Nasaruddin Umar, menetapkan Idul
Adha adalah Ahad (5/10), lalu mereka puasa Arafah berarti Sabtu (4/10). Yang
menjadi tanda tanya sangat besar adalah puasa Arafah mengikuti Arafah yang
mana? Padahal pula, Sabtu (4/10) itu kaum Muslimin di Mekkah al-Mukarramah dan
di seluruh dunia, sedang melaksanakan shalat Idul Adha. Ini berarti, keputusan
pemerintah tentang hari puasa Arafah yang jatuh pada Hari Raya adalah haram
hukumnya. Kalau ini diikuti pula oleh jutaan umat Islam, maka berdosalah
pemerintah dan umat Islam bila melaksanakan putusan itu.
Lalu, apakah keputusan sepenting itu dan
menyangkut umat Islam mayoritas Indonesia tersebut, ditetapkan oleh Wakil
Menag. Padahal Menteri Agama sebagai Amirul Haj Indonesia sedang berada di
tanah suci Mekkah, mendengar sendiri dan menyaksikan sendiri ibadah haji di
sana ?
Kami juga hanya mengingatkan kepada
seluruh kaum Muslimin di manapun berada, hendaknya mengikuti haji di tanah suci
sebagai acuan pelaksanaaan ibadah terkait, termasuk puasa Arafah dan penentuan
Hari Raya Idul Adha 1435 tahun ini.
Bagi Pemerintah RI melalui Kemenag, masih
terbuka perubahan keputusan buatan manusia, demi tanggung jawab di hadapan
Allah dan tanggung jawab di hadapan jutaan umat Muslim Indonesia khususnya.
Dan kisruh seperti ini tidak akan ada
ketika institusi pemersatu kaum muslimin, Khilafah Islamiyah 'alaa Minhaajin
Nubuwwah telah tegak di tengah-tengah umat.
PUASA ARAFAH DAN IDUL ADHA, IKUT PEMERINTAH
ATAU ARAB SAUDI?
Pendapat kedua: puasa Arafah mengikuti
Arab Saudi, namun idul adha mengikuti pemerintah ?
Ini sebagaimana yang disebutkan oleh
Asy-Syaikh ‘Utsman bin ‘Abdillah As-Salimi hafizhahullah, salah seorang ulama
besar di Yaman, dan termasuk murid senior Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi
rahimauhllah. Dalam salah satu pelajaran yang disampaikan ba’da zhuhur tanggal
3 Dzulhijjah yang lalu, beliau ditanya:
Apakah kita beridul Adha (yakni mulai
menyembelih hewan kurban) dengan mengikuti Arab Saudi, sementara kami di
Maroko, meskipun hal ini menyelisihi dan mendahului waliyul amr (pemerintah),
dan hal ini juga bisa menimbulkan fitnah sebagaimana yang anda ketahui?
Maka beliau menjawab:
Idul Adha wajib atas seluruh kaum muslimin
untuk mengikuti negeri Al-Haramain (Arab Saudi), karena pelaksanaan ibadah haji
berada di sana, sehingga yang dijadikan patokan adalah pelaksanaan ibadah haji
dan hari Arafah (sesuai dengan yang di Arab Saudi), maka hendaknya kalian
melaksanakan puasa hari Arafah ketika di negara Arab Saudi juga berpuasa, yaitu
ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah.
Adapun waliyul amr (pemerintah), baik di
Maroko maupun negeri yang lain, tidak boleh bagi mereka untuk menyelisihi umat
Islam (yang berpatokan pada pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah di Saudi
tersebut).
Namun apabila kalian khawatir terjadinya
fitnah, jika kalian sanggup, maka hendaknya kalian menyembelih hewan kurban
pada hari nahr secara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak mampu, maka pada hari keduanya
tidak mengapa. Hari-hari penyembelihan itu banyak, yaitu hari nahr (10
Dzulhijjah), tanggal 11, tanggal 12, dan menurut pendapat yang benar adalah
juga tanggal 13 sebagaimana yang dikatakan Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama
yang lain.
Sehingga kalian boleh memilih, tidak
mengapa bagi kalian untuk mengakhirkan dan mengikuti negeri kalian dalam
menyembelih hewan kurban jika khawatir timbul fitnah. Wabillahit taufiq.
Akan tetapi hendaknya kalian tetap merasa
bahwa hari Id (yang benar) adalah bersama dengan negeri Saudi Arabia. Semoga
Allah memberikan taufik kepada kalian.
Adapun untuk shalat id, maka dilakukan
pada hari kedua (dari hari nahr, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah) selama di negeri
tersebut semuanya melaksanakan id bersama dengan pemerintah setempat, sehingga
jika khawatir terjadi fitnah, maka boleh mengakhirkan shalat id pada hari
kedua. Kaum muslimin di Indonesia -sebagaimana yang telah diumumkan sendiri
oleh pemerintah-, diberi keleluasaan untuk memilih waktu puasa Arafah dan hari
Id-nya, silakan mengikuti pemerintah atau boleh juga mengikuti Arab Saudi. Dari
keterangan para ulama di atas, maka Insya Allah tidak mengapa bagi setiap
muslim di negeri ini untuk menentukan waktu puasa dan hari rayanya sesuai
dengan pendapat yang menurut dia lebih tepat (tentunya dalam memilih
pendapatnya itu harus dengan didasari oleh ilmu, tanpa ada sikap taqlid,
apalagi memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu diri dan kelompoknya),
karena masing-masing pendapat tersebut berdasarkan ijtihad para ulama yang
bersumber dari dalil-dalil yang syar’i.
Dan bagi yang mengikuti pendapat kedua,
dia memiliki dasar:
* puasa arafah disesuaikan waktunya
dengan waktu wukufnya jama’ah haji di arafah. Sesuai dengan namanya, bahwa
puasa arafah adalah puasa yang dilakukan ketika jama’ah haji melakukan wukuf di
arafah. Wallahu a’lam.
* pemerintah memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk memilih waktu puasa dan hari rayanya, sehingga kalau dia berpuasa dan berhari raya tidak bersamaan waktunya dengan pemerintah, ini bukan termasuk bentuk ketidaktaatan kepada waliyul amr.
* adapun untuk shalat id-nya, boleh bagi dia untuk melakukannya bersamaan dengan pemerintah karena biasanya mayoritas umat islam di negeri ini mengikuti pemerintah, sehingga jika dikhawatirkan timbul fitnah, tidak mengapa untuk melakukan shalat id sesuai dengan pemerintah negeri ini, berbeda dengan puasa yang itu merupakan amalan yang tidak nampak.
* pemerintah memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk memilih waktu puasa dan hari rayanya, sehingga kalau dia berpuasa dan berhari raya tidak bersamaan waktunya dengan pemerintah, ini bukan termasuk bentuk ketidaktaatan kepada waliyul amr.
* adapun untuk shalat id-nya, boleh bagi dia untuk melakukannya bersamaan dengan pemerintah karena biasanya mayoritas umat islam di negeri ini mengikuti pemerintah, sehingga jika dikhawatirkan timbul fitnah, tidak mengapa untuk melakukan shalat id sesuai dengan pemerintah negeri ini, berbeda dengan puasa yang itu merupakan amalan yang tidak nampak.
Wallahu a’lam bish shawab.
(sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=556)
http://dzulhijjah.wordpress.com/2014/09/25/puasa-arafah-dan-idul-adha-ikut-pemerintah-atau-arab-saudi/
(sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=556)
http://dzulhijjah.wordpress.com/2014/09/25/puasa-arafah-dan-idul-adha-ikut-pemerintah-atau-arab-saudi/
Ada keanehan lagi mengikuti keanehan yang
sudah ada, yaitu meski banyak yang puasa Arafah ikut ketetapan Pemerintah Saudi
Arabia, yaitu hari Senin, ternyata ketika shalat Idul Adha tidak ikut.
Sebaliknya, giliran shalat Idul Adha malah ikut ketetapan Pemerintah Indonesia,
yaitu hari Rabu. Hehe, ternyata ada ketidak-konsistenan dalam bertaqlid.
Padahal seharusnya kalau taqlidnya ikut Pemerintah Saudi Arabia, yaitu puasa
Arafah hari Senin, maka shalat Idul Adha-nya harus hari Selasa, sesuai
taqlidnya.
Sebab kalau shalatnya hari Rabu, sama saja shalat tanggal 11 Dzulhijjah. Dan kalau mau jujur, sebenarnya dengan cara begitu justru merupakan bid`ah yang nyata, karena sepanjang sejarah Rasulullah SAW tidak pernah shalat Idul Adha tanggal 11 Dzulhijjah. Kalau pun beliau pernah mengqadha` shalat Ied, karena memang beliau baru tahu setelah waktu shalat Ied terlewat.
Sedangkan yang satu ini, sejak awal sudah niat mau puasa Arafah hari Senin ikut Saudi, tapi mau shalat Ied hari Rabu. Padahal kan harusnya kalau mau shalat Ied hari Rabu, harus yakin bahwa hari Rabu adalah tanggal 10 Dzulhijjah, berarti puasa sunnahnya hari Selasa tanggal 9 Dzulhijjah.
Tapi ya inilah keanehan bangsaku, kelakuannya sering bertaqlid separo-separo. Orang Jawa bilang,"Ngono yo ngono ming ojo ngono".
Tapi menghadapi teman-teman yang model begini, saya sering jawab sambil ngejoke, prinsinya seperti hafalan si zaman SD dulu, Men Sana In Corpore Sano. Lu mau kesana gue mau kesono.
Maksudnya?
Ya, terserah lah. Namanya juga taqlid. Sesama tukang taqlid dilarang saling mendahului. Toh puasa Arafah cuma sunnah bukan wajib. Nggak puasa juga kagak nape-nape.
Wallahu a`lambishshsawabSebab kalau shalatnya hari Rabu, sama saja shalat tanggal 11 Dzulhijjah. Dan kalau mau jujur, sebenarnya dengan cara begitu justru merupakan bid`ah yang nyata, karena sepanjang sejarah Rasulullah SAW tidak pernah shalat Idul Adha tanggal 11 Dzulhijjah. Kalau pun beliau pernah mengqadha` shalat Ied, karena memang beliau baru tahu setelah waktu shalat Ied terlewat.
Sedangkan yang satu ini, sejak awal sudah niat mau puasa Arafah hari Senin ikut Saudi, tapi mau shalat Ied hari Rabu. Padahal kan harusnya kalau mau shalat Ied hari Rabu, harus yakin bahwa hari Rabu adalah tanggal 10 Dzulhijjah, berarti puasa sunnahnya hari Selasa tanggal 9 Dzulhijjah.
Tapi ya inilah keanehan bangsaku, kelakuannya sering bertaqlid separo-separo. Orang Jawa bilang,"Ngono yo ngono ming ojo ngono".
Tapi menghadapi teman-teman yang model begini, saya sering jawab sambil ngejoke, prinsinya seperti hafalan si zaman SD dulu, Men Sana In Corpore Sano. Lu mau kesana gue mau kesono.
Maksudnya?
Ya, terserah lah. Namanya juga taqlid. Sesama tukang taqlid dilarang saling mendahului. Toh puasa Arafah cuma sunnah bukan wajib. Nggak puasa juga kagak nape-nape.
BOLEHKAH PUASA ARAFAH BERBEDA DENGAN WUKUF DI
ARAFAH?
Oleh: KH.
Muhammad Shiddiq Al Jawi
Haram hukumnya Muslim berpuasa Arafah
pada hari yang berbeda dengan waktu wukuf di Arafah. Inilah pendapat terkuat
(rajih) dalam masalah ini berdasarkan dua dalil sebagai berikut :
Pertama, karena puasa hari Arafah yang
berbeda dengan hari wukuf di Arafah telah menyimpang dari definisi syariah (al
ta’rif al syar’i) untuk puasa hari Arafah. Imam Badruddin Al ‘Aini menjelaskan
bahwa “hari Arafah” (yauma ‘Arafah) menunjukkan waktu (al zamaan) dan tempat
(al makaan) sekaligus. Dari segi waktu, hari Arafah adalah hari ke-9 bulan
Dzulhijjah. Sedang dari segi tempat, hari Arafah adalah hari di mana para
jamaah haji berwukuf di Arafah. (Badruddin Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari Syarah
Shahih Al Bukhari, syarah hadits no. 603, 5/339; Ibnu Qudamah, Al Mughni,
5/44).
Jadi, definisi syar’i untuk “hari Arafah”
(yauma ‘Arafah) adalah hari yang para jamaah haji berwukuf di Arafah (al yaumu
alladzi yaqifu fiihi al hajiij bi-‘arafah). Definisi inilah yang dianggap kuat
(rajih)oleh Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta (Dewan Tetap
untuk Pengkajian Ilmiah dan Fatwa Saudi) di bawah pimpinan Syeikh Abdul Aziz
bin Baz, juga oleh Lajnah Al Ifta` Al Mashriyyah (Dewan Fatwa Mesir), Syeikh
Hisamuddin ‘Ifanah dari Yordania, Syeikh Abdurrahman As Sahiim, dan lain-lain.
(Abu Muhammad bin Khalil, An Nuur As Saathi’ min Ufuq Al Thawaali’ fi Tahdiid
Yaumi ‘Arafah Idzaa Ikhtalafal Mathaali’, hlm. 3).
Definisi tersebut didasarkan pada
beberapa dalil hadis. Di antaranya sabda Rasulullah ﷺ, ”Arafah adalah
hari yang kamu kenal.” (’arafah yauma ta’rifuun). (HR. Baihaqi, As Sunan Al
Kubra, 5/176, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih Al Jami’, no 4224).
Maka dari itu, jika seorang Muslim
berpuasa Arafah pada hari yang dianggapnya tanggal 9 Dzulhijjah, namun bukan hari
wukuf di Arafah, misalnya berpuasa satu hari sebelumnya maupun sesudahnya,
berarti dia telah menyalahi hukum syariah.
Padahal Islam telah melarang seorang
Muslim untuk melakukan amal yang menyalahi hukum syariah, berdasarkan dalil
umum dari sabda Rasulullah ﷺ, ”Barangsiapa melakukan
suatu perbuatan (‘amal) yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan
itu tertolak.” (HR. Bukhari no 2550; Muslim no 1718).
Kedua, karena berpuasa Arafah secara
berbeda dengan waktu wukuf di Arafah telah menyalahi patokan wajib untuk
menentukan Idul Adha dan rangkaian manasik haji di bulan Dzulhijjah, yaitu
rukyatul hilal yang dilakukan oleh Wali Mekkah (penguasa Mekah). Dengan kata
lain, patokannya bukanlah hisab, dan juga bukan rukyatul hilal di masing-masing
negeri Islam berdasarkan prinsip ikhtilaful mathali’ (perbedaan mathla’).
Yang lebih tepat, perbedaan mathla’ tidak
dapat dijadikan patokan (laa ‘ibrata bikhtilaf al mathali’), karena telah
terdapat dalil khusus yang menunjukkan bahwa penentuan Idul Adha, termasuk
waktu manasik haji seperti wukuf di Arafah, wajib mengikuti rukyatul hilal Wali
Mekah, bukan yang lain. Barulah kemudian jika Wali Mekah tidak berhasil
merukyat hilal, Wali Mekah mengamalkan rukyat dari negeri-negeri Islam di luar
Mekah.
Dari Husain bin Al-Harits Al-Jadali رضي
الله عنه dari Jadilah Qais, dia berkata, “Amir
(penguasa) Mekah berkhutbah kemudian dia berkata, ”Rasulullah ﷺ telah berpesan
kepada kita agar kita menjalankan manasik haji berdasarkan rukyat. Lalu jika
kita tidak melihat hilal, dan ada dua orang saksi yang adil yang
menyaksikannya, maka kita akan menjalankan manasik haji berdasarkan kesaksian
keduanya.” (HR. Abu Dawud, hadis no 2340. Imam Daruquthni berkata, "Hadis
ini isnadnya muttashil dan shahih.” Lihat Sunan Ad Daruquthni, 2/267. Syeikh
Nashiruddin Al Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud(2/54) berkata, ”Hadis ini
shahih.”).
Hadis ini menunjukkan bahwa yang
mempunyai otoritas menetapkan hari-hari manasik haji, seperti hari Arafah dan
Idul Adha, adalah Amir Mekah (penguasa Mekah), bukan yang lain. Maka berpuasa
Arafah secara berbeda dengan hari Arafah karena mengikuti rukyat masing-masing
negeri Islam, haram hukumnya, karena telah meninggalkan patokan wajib yang
ditetapkan Rasulullah ﷺ, yaitu rukyatul hilal penguasa
Mekah. Wallahu a’lam.
"Barangsiapa mengajak kepada
petunjuk, niscaya ia mendapatkan pahala seperti pahala orang-orang yang
mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun." (HR. Muslim)
Benarkah Masalah Khilafiyah Tidak Perlu
Diingkari?
Seorang ulama yang alim dan zuhud, akan
hati-hati dalam mengeluarkan pendapat. Dalam benak pikiran/ persepsinya, hanya
ada ketakutan/khauf kepada Allah Azza wa Jalla dalam mengeluarkan pendapat.
Dalam pemaparan dibawah ini hanya ada satu pendapat yang benar !! bukan dan
jangan ditarik-tarik kemasalah khilafiyah !! rujukan dan keputusan ulil amri
tergantung ke ilmuan dan kezuhudan ulama yang memberi masukan !! jadi tidak
absolute dan masih bisa dikoreksi . masalah sepenting ini jangan dianggap
remeh/sepele.
Masalah yang sudah ada nash (dalil tegas) dari
Al Qur’an, hadits dan tidak bisa ditentang, juga terdapat pendukung dari ijma’
(kesepakatan para ulama). Jika dalam masalah ini ada orang yang berpendapat
keliru yang datang belakangan dan menyelisihi ijma’ atau menyelisihi qiyas
jalii, maka masalah semacam ini boleh diingkari karena menyelisihi dalil.
Ibnu Taimiyah berkata, “Masalah
ijtihadiyah seperti ini tidak boleh diingkari dengan tangan. Dan tidak boleh
seorang pun memaksa untuk mengikuti pendapatnya. Akan tetapi yang dilakukan
adalah sampaikanlah hujjah dengan alasan ilmiah. Jika telah terang salah satu
dari dua pendapat yang diperselisihkan, ikutilah. Namun untuk pendapat yang
lain tidak perlu diingkari (dengan keras).” (Majmu’ Al Fatawa, 30: 80)
Bahkan ulama dahulu hingga saat ini telah
membahas masalah ijtihadiyah semacam ini. Jika telah jelas manakah pendapat
yang benar, maka hendaklah kita rujuk padanya.” (Fatawa Al Islam Sual wal Jawab
no. 70491)
Penjelasan Para Ulama
Ibnu Taimiyah berkata, “Jika ada yang
mengatakan bahwa masalah khilaf tidak perlu diingkari, maka itu tidaklah benar
jika melihat dari sisi ucapan yang dihukumi atau amalan. Jika ada ucapan yang
menyelisihi ajaran Rasul atau menyelisihi ijma’ (kesepakatan para ulama), maka
wajib mengingkarinya. Jika masalah tersebut tidak disepakati, maka boleh
mengingkari untuk menjelaskan bahwa pendapat tersebut lemah dan menyebutkan
pendapat yang benar dari ulama salaf atau para fuqoha’.
Imam Malik berkata,
لَيْسَ لِلْفَقِيهِ أَنْ يَحْمِلَ النَّاسَ عَلَى
مَذْهَبِهِ
“Tidak boleh bagi seorang faqih (yang
berilmu) mengajak manusia pada madzhabnya.” (Majmu’ Al Fatawa, 30: 80).
Namun ajaklah untuk mengikuti dalil.
Mari kita bahas masalah khilafiyah (??)
terkait " waktu Puasa Arofah " . Kita bandingkan pendapat/paparan Abu
Al-Jauza/ Agus Hasan Bashori Lc., M.Ag dan lain-lain dengan pendapat
Firanda/serupa dengannya. Silahkan komentari dan kasih masukan secara tertulis
dengan dalil yang jelas. Masalah ini tetap belum selesai, sebab karena
kejahilannya, seorang pengurus MUI memfitnah Ustadz A Hakim Amir Abdat terkait
kebenaran yang beliau yakini. Si oknum MUI kebetulan punya tendensi dendam
terkait “penyimpangan manhajnya”. Kalau Ustadz2 alim dan zuhud membenarkan dan
yakin dengan pendapat Abul Al-Jauza/yang sependapat dengannya, mari kita ajukan
ke Ulil Amri, agar tahun ini keputusan sidang isbat dikoreksi. Tulisan
Abul Al-Jauza terbaru (oktober 2014) masih menunggu comment berikutnya. Mari
kita cermati. Kita menyadari bahwa ini masalah khilafiyyah, sampai
kapanpun tetap ada khilaf ini, namun demikian kita perlu membahasnya secara
ilmiah, agar kita bisa mengamalkan atas dasar ilmu. Silahkan komentari tulisan ini
setelah membacanya dengan tuntas, memahami serta tidak overlapping dengan
komentar yang ada pada tulisan dibawah ini. Jika argument yang kita pegang
selama ini lemah, semata karena masalah eksistensi/harga diri, harus berani
merubahnya. Insya Allah.
[admin lamurkha]
●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●