Datar Artikel :
Tidak
Mengkafirkan Orang Kafir
Penjelasan
Kaidah: Barangsiapa Tidak Mengkafirkan Orang Kafir, Dia Menjadi Kafir
Tidak
Mengkafirkan Orang Kafir Adalah Kekufuran
Penghapusan
Kata Kafir dan Potensi Kaburnya Wala’ dan Bara’
Bolehkah
Kita Mencintai Orang Kafir ?
Tidak
Boleh Memulai Salam Kepada Orang Kafir
Apakah
Orang Kafir akan Dihisab di Akhirat?
Takut
Dikuasai Kaum Kafir?
Tidak
Mengkafirkan Orang Kafir
Diposting oleh Abu Al-Jauzaa
Dalam kitab Nawaaqidlul-Islaam karya Asy-Syaikh
Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahullah, ini merupakan pembatal keislaman
ketiga yang secara tekstual berbunyi:
من لم يكفر
المشركين أو شك في كفرهم أو صحح مذهبهم كفر
“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan
orang-orang musyrik atau ragu akan kekafiran mereka atau membenarkan madzhab
mereka, maka kafir”.
Yang dimaksud dengan kesyirikan dan kekafiran
ini adalah kesyirikan dan kekafiran yang sangat jelas lagi diketahui
kemunkarannya. Barangsiapa yang mengetahui kekufuran atau kesyirikan seseorang
yang telah tetap/shahih kekufurannya berdasarkan nash, serta tidak ada
perselisihan tentang perbuatan atau perkataannya tersebut merupakan kekufuran;
kemudian ia tidak mengkafirkannya atau abstain atau ragu akan kekufurannya,
maka ia kafir. Siapa saja yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah
tentang kekafirannya, maka wajib bagi kita untuk mengkafirkannya. Barangsiapa yang
tidak mengkafirkan orang yang telah dikafirkan Allah dan Rasul-Nya ﷺ, maka ia kafir
karena mendustakan Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Adapun orang yang
(malah) membenarkan madzhab (agama) mereka, maka ini bentuk pendustaan yang
lebih parah daripada yang sebelumnya karena pembenaran merupakan ‘penambahan’
dari bentuk pendustaan terhadap firman Allah ta’ala dan sabda Nabi ﷺ, serta penghalalan
(istihlaal) terhadap apa yang diharamkan Allah.
Allah ta’ala berfirman:
وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan jika kamu menuruti mereka,
sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik” [QS. Al-An’aam :
121].
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا
وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلا
يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ
نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang
mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali
tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka
masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi
pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan” [QS. Al-A’raaf : 40].
Al-Qaadliy
‘Iyaadl rahimahullah berkata:
ولهذا نكفِّر كل من دان بغير ملة
المسلمين من الملل ، أو وقف فيهم، أو شك ، أو صحَّح مذهبهم ، وإن أظهر مع ذلك
الإسلام ، واعتقده ، واعتقد إبطال كل مذهب سواه ، فهو كافر بإظهاره ما أظهر من
خلاف ذلك
“Oleh
karena itu, kita mengkafirkan semua orang yang beragama selain agama Islam,
atau abstain terhadap (kekafiran) mereka, atau ragu-ragu (akan kekafiran
mereka), atau membenarkan madzhab mereka; meskipun yang bersangkutan
menampakkan keislamannya, meyakininya (Islam), dan meyakininya batilnya setiap
madzhab selain agama Islam. Ia tetap kafir dikarenakan ia menampakkan sesuatu
yang menyelisihinya (yang ia yakini)” [Asy-Syifaa bi-Ta’riifi
Huquuqil-Musthafaa, 2/1071].
Al-Bahuutiy
rahimahullah berkata saat menjelaskan sebab-sebab kekafiran:
( أَوْ
لَمْ يُكَفِّرْ مَنْ دَانَ ) أَيْ تَدَيَّنَ ( بِغَيْرِ الْإِسْلَامِ
كَالنَّصَارَى ) وَالْيَهُودِ ( أَوْ شَكَّ فِي كُفْرِهِمْ أَوْ صَحَّحَ
مَذْهَبَهُمْ ) فَهُوَ كَافِرٌ لِأَنَّهُ مُكَذِّبٌ لِقَوْلِهِ تَعَالَى : {
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي
الْآخِرَةِ مِنْ الْخَاسِرِينَ } .
“(Atau
tidak mengkafirkan orang yang beragama), yaitu memeluk agama (selain Islam,
seperti Nashaaraa) dan Yahudi (atau ragu-ragu tentang kekufuran mereka atau
membenarkan madzhab mereka), maka ia kafir karena mendustakan firman-Nya ta’ala
: ‘Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi’ (QS. Aali ‘Imraan : 85)” [Kasysyaaful-Qinaa’, 5/146].
Untuk
menghukumi kekafiran orang yang tidak mengkafirkan orang kafir, perlu perincian
terkait status orang kafirnya:
1. Orang kafir asli.
Orang
kafir asli yang tidak pernah masuk agama Islam dari kalangan Yahudi[1],
Nashrani[2], orang-orang musyrik[3], dan yang semisalnya yang kekufurannya
ditegaskan Allah dan Rasul-Nya berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah
tanpa ada perselisihan; maka orang yang tidak mengkafirkan mereka, ragu akan
kekafiran mereka, abstain dalam kekafiran mereka, atau bahkan membenarkan agama
mereka, maka ia kafir berdasarkan ijmaa’.
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ومن لم يقر بأن بعد مبعث محمد لن
يكون مسلم إلا من آمن به واتبعه باطنا وظاهرا فليس بمسلم ومن لم يحرم التدين بعد
مبعثه بدين اليهود والنصارى بل من لم يكفرهم ويبغضهم فليس بمسلم بإتفاق المسلمين
“Dan
barangsiapa yang tidak mengakui bahwa setelah diutusnya Muhammad seseorang
tidak dianggap muslim kecuali orang yang beriman kepadanya dan mengikutinya
secara lahir dan batin; maka ia bukan muslim. Barangsiapa yang tidak
mengharamkan beragama Yahudi dan Nashara setelah diutusnya Nabi ﷺ, bahkan barangsiapa
yang tidak mengkafirkan mereka dan membenci (agama) mereka, maka ia bukan
muslim berdasarkan kesepakatan kaum muslimin” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 27/464].
Asy-Syaikh
‘Abdullah bin ‘Abdirrahmaan Abu Buthain rahimahullah berkata:
أجمع المسلمون على كفر من لم يكفر
اليهود والنصارى، أو شك في كفرهم
“Kaum
muslimin sepakat atas kafirnya orang yang tidak mengkafirkan orang Yahudi dan
Nashara, atau ragu akan kekafiran mereka” [Ad-Durarus-Saniyyah, 2/207 &
8/160].
Hal sama
dengan individu-individu yang telah ditegaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah akan
kekafirannya tanpa ada perselisihan seperti Fir’aun[4], Haamaan, Qaaruun[5],
Abu Lahab[6], dan yang semisalnya; maka orang yang tidak mengkafirkan mereka
dihukumi sama dengan sebelumnya.
2. Orang yang murtad dari Islam.
Orang yang murtad dari Islam terbagi
menjadi dua:
a.
Orang yang mengumumkan dengan jelas kekafiran dan kemurtadan dirinya
dari agama Islam kepada agama selainnya, maka statusnya seperti golongan nomor
1 di atas dari kalangan Yahudi, Nashrani, Majusi, Hindu, Budha, dan yang
semisalnya. Orang yang tidak mengkafirkan mereka, ragu akan kekafiran mereka,
abstain dalam kekafiran mereka, atau bahkan membenarkan agama mereka; maka ia
kafir.
b.
Orang yang melakukan kekafiran namun dirinya menyangka di atas Islam
dan/atau ia tidak menganggap kafir atas perbuatannya, maka dalam hal ini dibagi
menjadi dua golongan.
Golongan pertama. Orang yang melakukan
kekafiran yang jelas dan disepakati tentang kekafirannya; maka orang yang tidak
mengkafirkan mereka dihukumi kafir setelah datang penjelasan dan/atau hujjah
tegak atasnya, karena mungkin dalam dirinya (orang yang tidak mengkafirkan)
terdapat syubhat atau kejahilan.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah setelah
menegaskan perkataan orang-orang Huluuliyyah dan yang berpemahaman
wihdatul-wujuud lebih jelek dan lebih kufur dibandingkan orang Nashara, beliau
berkata:
ولهذا يلبسون على من لم يفهمه فهذا كله كفر باطنا
وظاهرا بإجماع كل مسلم ومن شك فى كفر هؤلاء بعد معرفة قولهم ومعرفة دين الإسلام
فهو كافر كمن يشك فى كفر اليهود والنصارى والمشركين
“Karenanya, mereka mengelabuhi orang yang
tidak memahaminya. Maka semua ini adalah kufur secara bathin dan dhaahir
berdasarkan ijmaa’ semua orang muslim. Barangsiapa yang ragu akan kekufuran
mereka setelah mengetahui (hakekat) perkataan mereka dan mengetahui (hakekat)
agama Islam, maka ia kafir seperti kafirnya orang yang ragu akan kekufuran
Yahudi, Nashrani, dan orang-orang musyrik” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 2/368].
Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy
rahimahullah berkata :
وكل من حكم
الشرع بتكفيره فإنه يجب تكفيره ومن لم يكفر من كفره الله ورسوله فهو كافر مكذب لله
ورسوله وذلك إذا ثبت عنده كفره بدليل شرعي
“Setiap orang yang dihukumi syari’at tentang
kekafirannya, wajib bagi kita untuk mengkafirkannya. Barangsiapa yang tidak
mengkafirkan orang yang dikafirkan Allah dan Rasul-Nya ﷺ, maka ia kafir
karena mendustakan Allah dan Rasul-Nya ﷺ. Pengkafiran
tersebut dilakukan apabila telah tetap baginya akan kekafirannya[7] berdasarkan
dalil syar’iy” [Al-Fataawaa As-Sa’diyyah, 1/215].
Ulama
Lajnah Daaimah pernah ditanya tentang hukum orang yang tidak mengkafirkan orang
kafir, mereka rahimahumullah menjawab:
من ثبت كفره
وجب اعتقاد كفره والحكم عليه به وإقامة ولي الأمر حد الردة عليه إن لم يتب، ومن لم
يكفر من ثبت كفره فهو كافر، إلا أن تكون له شبهة في ذلك، فلا بد من كشفها
“Barangsiapa
yang telah tetap kekufurannya, wajib untuk meyakininya kekufurannya, mengukumi
kafir terhadapnya, dan ulil-amri menegakkan hukum orang murtad[8] kepada yang
bersangkutan apabila tidak bertaubat. Dan barangsiapa yang tidak mengkafirkan
orang yang telah tetap kekafirannya, maka ia kafir. Kecuali apabila ia memiliki
syubhat tentang hal tersebut, maka (syubhat tersebut) harus dihilangkan[9]”
[Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 2/93].
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah pernah
ditanya tentang hukum orang yang meninggalkan shalat dan melakukan amalan
kesyirikan, beliau berkata (dengan peringkasan) :
حكم من ترك الصلاة من المكلفين الكفر الأكبر في
أصح قولي العلماء وإن لم يعتقد ذلك هو؛ لأن الاعتبار في الأحكام بالأدلة الشرعية
لا بعقيدة المحكوم عليه.
وهكذا من تعاطى مكفرا من المكفرات كالاستهزاء
بالدين، والذبح لغير الله، والنذر لغير الله، والاستغاثة بالأموات وطلبهم النصر
على الأعداء أو شفاء المرض ونحو ذلك لقول الله عز وجل: قُلْ أَبِاللَّهِ
وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ * لا تَعْتَذِرُوا قَدْ
كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ[1]، وقوله سبحانه: قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي
وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ * لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ
أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ، وقوله سبحانه: إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ
الْكَوْثَرَ * فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.
"Hukum orang mukallaf (yang telah
dibebani syariat) yang meninggalkan shalat adalah kufur akbar menurut pendapat
paling shahih diantara dua pendapat yang beredar di kalangan ulama apabila ia
tidak berkeyakinan bolehnya meninggalkan shalat. Hal itu dikarenakan yang
dianggap dalam hukum adalah dalil-dalil syar'iy, bukan keyakinan orang yang
dihukumi terhadapnya.
Begitu pula orang yang melakukan
perbuatan-perbuatan kufur seperti istihzaa' (mengolok-olok) agama, menyembelih
untuk selain Allah, bernadzar kepada selain Allah, beristighatsah kepada orang
mati, memohon kepada mereka pertolongan dari musuh-musuh atau kesembuhan dari
penyakit, dan yang lainnya berdasarkan firman Allah 'azza wa jalla : "Katakanlah:
"Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu
berolok-olok?'. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah
beriman" (QS. At-Taubah : 65-66). Juga berdasarkan firman-Nya subhaanahu
wa ta'ala : "Katakanlah: "Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan
demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang
pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)" (QS. Al-An'aam : 162-163).
Juga firman-Nya : "Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang
banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan menyembelihlah" (QS.
Al-Kautsar : 1-2).
........
ومن لم يكفر الكافر فهو مثله إذا أقيمت عليه
الحجة وأبين له الدليل فأصر على عدم التكفير، كمن لا يكفر اليهود أو النصارى أو
الشيوعيين أو نحوهم ممن كفره لا يلتبس على من له أدنى بصيرة وعلم.
"Dan barangsiapa yang tidak
mengkafirkan orang kafir, maka ia semisal dengannya (kafir) apabila telah
ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan padanya dalil, lalu ia bersikeras
untuk tidak mengkafirkannya; seperti status (kafirnya) orang yang tidak
mengkafirkan orang Yahudi, Nashara, komunis, dan semisalnya dari kalangan yang
tidak samar lagi kekufurannya bagi orang yang memiliki pemahaman dan ilmu
minimal......" [selengkapnya : http://www.binbaz.org.sa/fatawa/226].
Dalam fatwa lain beliau rahimahullah
berkata:
أما من جحد وجوبها وقال الصلاة غير واجبة، فهذا
كافر عند الجميع، ومن شك في كفره فهو كافر نعوذ بالله، وهكذا من قال إن الزكاة لا
تجب أي جحد وجوبها أو صيام رمضان جحد وجوبه، فهذا يكفر بذلك؛ لأنه مكذب لله
ولرسوله، ومكذب لإجماع المسلمين فيكون كافراً.
ومن شك في كفره فهو كافر بعدما يبين له الدليل
ويوضح له الأمر، يكون كافراً بذلك لكونه كذب الله ورسوله، وكذب إجماع المسلمين.
وهذه أمور عظيمة يجب على طالب العلم التثبت فيها،
وعدم العجلة فيها حتى يكون على بينة وعلى بصيرة، وهكذا العامة يجب عليهم في ذلك أن
يتثبتوا، وألاَّ يقدموا على شيء حتى يسألوا أهل العلم، وحتى يتبصروا؛ لأن هذه
مسائل عظيمة، مسائل تكفير وليست مسائل خفيفة.
“….. Adapun orang yang mengingkari
kewajibannya (shalat), lantas ia berkata : 'Shalat itu tidak wajib', maka orang
ini kafir berdasarkan kesepakatan seluruh ulama. Barangsiapa yang ragu akan
kekafirannya, maka ia kafir - na'uudzu billah - . Begitu pula orang yang mengatakan
zakat tidak wajib - yaitu mengingkari kewajibannya - , atau mengingkari
kewajiban puasa di bulan Ramadlaan; maka orang ini dikafirkan dengan sebab itu.
Hal itu dikarenakan ia mendustakan Allah dan Rasul-Nya, serta mendustakan ijmaa
kaum muslimin sehingga ia menjadi kafir.
Barangsiapa yang ragu akan kekafirannya,
maka ia kafir setelah dijelaskan kepadanya dalil dan diterangkan kepadanya
hakekat perkaranya. Ia kafir dikarenakan ia mendustakan Allah dan Rasul-Nya,
serta mendustakan ijmaa' kaum muslimin.
Ini adalah perkara-perkara besar yang
wajib bagi penuntut ilmu untuk melakukan tatsabbut padanya dan tidak
tergesa-gesa, hingga dirinya berada di atas bukti dan pengetahuan. Begitu juga
masyarakat umum (orang-orang awam), wajib bagi mereka untuk tatsabbut dan tidak
mendahului dalam sesuatupun hingga mereka bertanya terlebih dahulu kepada ulama
dan mereka memiliki pemahaman yang benar. Karena permasalahan ini adalah sangat
besar. Permasalahan takfiir bukan permasalahan yang ringan” [selengkapnya : http://www.binbaz.org.sa/fatawa/4150].
Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz Ar-Raajihiy
rahimahullah pernah ditanya tentang dlaabith pengkafiran orang yang tidak
mengkafirkan orang-orang musyrik seperti Ibnu Sinaa, seperti misal ada orang
yang berkata : ‘Aku tidak mengkafirkan Ibnu Sinaa, menurutku ia seorang
muslim’. Apakah orang ini dikafirkan ?. Beliau hafidhahullah menjawab:
إذا كان عنده لبس , ولا يعرف حاله , لا يكفر حتى
يتبين له أمره , لكن من عرف أنه كافر وأنه ملحد , ولم يكفره فهذا داخل في هذا
الناقض , لكن قد لا يتبين هذا لبعض الناس , فالذي لا يتبين له يبين له حاله.
“Apabila ia memiliki kesamaran dan tidak
mengetahui keadaan dirinya (Ibnu Sinaa), maka tidak dikafirkan hingga
dijelaskan kepadanya keadaannya (Ibnu Sinaa). Akan tetapi bagi orang yang
mengenal bahwa Ibnu Sinaa kafir dan mulhid, namun ia tidak mengkafirkannya,
maka ini masuk dalam pembatal keislaman tersebut. Akan tetapi kadang hal ini
tidak jelas bagi sebagian orang, sehingga bagi orang yang tidak jelas, perlu
dijelaskan keadaannya (Ibnu Sinaa) kepadanya” [Syarh Nawaaqidlil-Islaam].
Sebagaimana kaedah umum dalam
pengkafiran, maka di sini butuh penjelasan dan penegakkan hujjah terhadap orang
(yang tidak mengkafirkan) tersebut jika ia bodoh atau memiliki syubhat. Akan tetapi
dalam prakteknya secara individu, maka tidak sama. Tergantung detail/jenis
permasalahannya, keadaan individunya, serta situasi dan kondisinya. Kadang
'udzur diberikan kepada si Fulaan, namun tidak si 'Alaan.
Golongan kedua. Orang yang melakukan perbuatan
yang kekafirannya diperselisihkan para ulama Ahlus-Sunnah. Sebagian ulama
mengatakan kafir yang mengeluarkannya dari agama, sebagian yang lain tidak
sampai mengeluarkannya dari agama. Seperti misal orang yang meninggalkan rukun
Islam yang empat selain syahadat dengan tetap mengakui kewajibannya. Maka orang
yang tidak mengkafirkan golongan ini tidak dikafirkan.
Asy-Syaikh ‘Abdul-‘Aziiz bin Baaz
rahimahullah pernah berkata ketika menjelaskan permasalahan kekafiran orang
yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat:
......................
وقال آخرون من أهل العلم: إنه لا يكفر بذلك؛ لأنه
لم يجحد وجوبها، بل يكون عاصياً وكافراً كفراً دون كفر وشركاً دون شرك، لكن لا
يكون كافراً كفراً أكبر. قاله جمع من أهل العلم. ومن شك في كفر هذا لا يكون
كافراً؛ لأنه محل اجتهاد بين أهل العلم، فمن رأى بالأدلة الشرعية أنه كافر وجب
عليه تكفيره، ومن شك في ذلك، ولم تظهر له الأدلة ورأى أنه لا يكفر كفراً أكبر بل
كفر أصغر فهذا معذور في اجتهاده، ولا يكون كافراً بذلك.
أما من جحد وجوبها وقال الصلاة غير واجبة، فهذا
كافر عند الجميع، ومن شك في كفره فهو كافر نعوذ بالله، وهكذا من قال إن الزكاة لا
تجب أي جحد وجوبها أو صيام رمضان جحد وجوبه، فهذا يكفر بذلك؛ لأنه مكذب لله
ولرسوله، ومكذب لإجماع المسلمين فيكون كافراً.
ومن شك في كفره فهو كافر بعدما يبين له الدليل
ويوضح له الأمر، يكون كافراً بذلك لكونه كذب الله ورسوله، وكذب إجماع المسلمين.
“Ulama lain berpendapat bahwasannya orang
yang meninggalkan shalat (karena malas) tidak kafir, karena ia tidak
mengingkari kewajibanya. Namun ia termasuk orang yang bermaksiat dengan
kekafiran di bawah kekafiran (kufur ashghar), kesyirikan di bawah kesyirikan
(syirik ashghar). Pendapat itu dikatakan oleh sekelompok ulama. Barangsiapa
yang ragu akan kekufurannya, maka tidak kafir karena permasalahan tersebut
merupakan ranah ijtihad di kalangan ulama. Barangsiapa yang melihat dalil-dalil
syar'iy bahwa ia (orang yang meninggalkan shalat) adalah kafir, maka wajib
baginya untuk mengkafirkannya. Barangsiapa yang ragu akan kekafirannya dan
tidak nampak baginya dalil-dalil (yang mengkonsekuensikan pengkafirannya) dan kemudian
berpandangan orang tersebut tidak dikafirkan dengan kufur akbar, namun sebatas
kufur ashghar saja, maka ini diberikan udzur dalam ijtihadnya. Ia tidak kafir
dengan sebab itu” [selengkapnya : http://www.binbaz.org.sa/fatawa/4150].
Permasalahan lain misalnya kafir tidaknya
orang yang meminta kepada penghuni kubur agar ia (si mayyit) berdoa kepada
Allah untuknya. Ini juga diperselisihkan ulama. Sebagian mengatakan syirik
akbar, sedangkan jumhur ulama mengatakan syirik ashghar yang dapat
menghantarkan kepada syirik akbar.[10]
Begitu pula dengan permasalahan
pengkafiran orang muslim yang terjatuh dalam kesyirikan, apakah dipersyaratkan
penegakkan hujjah ataukah tidak.
Ulama Lajnah Daaimah yang dipimpin oleh
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahumullah menjelaskan :
وبذا يعلم أنه لا يجوز لطائفة الموحدين الذين
يعتقدون كفر عباد القبور أن يكفروا إخوانهم الموحدين الذين توقفوا في كفرهم حتى
تقام عليهم الحجة؛ لأن توقفهم عن تكفيرهم له شبهة وهي اعتقادهم أنه لا بد من إقامة
الحجة على أولئك القبوريين قبل تكفيرهم بخلاف من لا شبهة في كفره كاليهود والنصارى
والشيوعيين وأشباههم، فهؤلاء لا شبهة في كفرهم ولا في كفر من لم يكفرهم، والله ولي
التوفيق، ونسأله سبحانه أن يصلح أحوال المسلمين، وأن يمنحهم الفقه في الدين، وأن
يعيذنا وإياهم من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، ومن القول على الله سبحانه وعلى
رسوله صلى الله عليه وسلم بغير علم، إنه ولي ذلك والقادر عليه.
"Dengan demikian diketahui bahwa
tidak boleh bagi golongan muwahhidiin (orang yang mentauhidkan Allah) yang
meyakininya kekafiran para penyembah kubur untuk mengkafirkan saudaranya
muwahhidiin lain yang tawaqquf dalam kekafiran mereka (penyembah kubur) hingga
ditegakkan hujjah kepada mereka. Sikap tawaqquf mereka terhadap pengkafiran
para penyembah kubur karena memiliki syubhat, yaitu keyakinan mereka bahwa
harus ada penegakan hujjah terhadap para penyembah kubur tersebut sebelum
pengkafirannya[11]. Berbeda halnya dengan golongan yang tidak ada syubhat dalam
pengkafirannya seperti orang Yahudi, Nashrani, komunis, dan yang semisalnya.
Golongan ini tidak ada syubhat dalam pengkafirannya dan tidak pula (ada
syubhat) dalam pengkafiran orang yang tidak mengkafirkan golongan ini. Dan
Allah lah Yang memberi taufik. Kami memohon kepada Allah subhaanahu wa ta'ala
untuk memperbaiki keadaan kaum muslimin, menganugerahkan pemahaman agama kepada
mereka, serta melindungi kita dan mereka dari kejelekan diri kita dan amal
perbuatan kita. Serta melindungi kita dari berbicara tentang Allah subhaanahu
wa ta'ala dan Rasul-Nya ﷺ tanpa ilmu. Sesungguhnya
Ia Maha Kuasa atas hal itu" [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 2/99].
Sebagaimana perkataan Asy-Syaikh Ibnu
Baaz rahimahullah di atas, permasalahan takfiir adalah permasalahan besar,
bukan permasalahan yang ringan. Kadang seseorang memiliki bukti yang jelas akan
kekafiran seseorang, namun yang lain tidak memilikinya atau mempunyai takwil.
Contoh misalnya : Ada seseorang pernah
melihat Fulaan muslim dengan mata kepalanya sendiri menyembah patung Budha,
mendengar perkataannya ia meminta sesuatu kepadanya, dan memberikan sesajen
kepadanya di dalam rumahnya sehingga ia yakin akan kekafiran (murtad) Fulaan
tersebut. Namun apa yang ia lihat ternyata tidak dilihat oleh orang lain karena
Fulaan menampakkan keislamannya seperti mengerjakan shalat dan puasa. Orang
yang tidak melihat tentu berbeda sikap dan penghukumannya dengan orang yang
melihat, sehingga ia tidak mengkafirkan sebagaimana pengkafiran orang pertama.
Contoh lain : Ada seseorang yang
mendengar ‘Alaan mengatakan Allah tidak pernah berbicara dan berfirman dalam
bentuk apapun. Ini adalah perkataan kufur dan merupakan bentuk penghinaan
terhadap Allah ta’ala. Ia pun mengkafirkannya. Kemudian ada orang lain
mendengar perkataan ‘Alaan tidak menganggapnya sebagai kekufuran dan tidak
mengkafirkan ‘Alaan karena dianggapnya ucapan itu merupakan bagian dari
perbedaan pendapat biasa di kalangan ulama[12]. Seandainya diasumsikan si
‘Alaan kafir karena telah ditegakkan hujjah oleh orang pertama yang
mendengarnya, maka tidak mengkonsekuensikan ia harus otomatis mengkafirkan
orang kedua yang mempunyai syubhat di kepalanya.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah :
فمن عيوب أهل البدع تكفير بعضهم بعضا ومن ممادح
أهل العلم أنهم يخطئون ولا يكفرون وسبب ذلك أن أحدهم قد يظن ما ليس بكفر كفرا وقد
يكون كفرا لأنه تبين له أنه تكذيب للرسول وسب للخالق والآخر لم يتبين له ذلك فلا
يلزم إذا كان هذا العالم بحاله يكفر إذا قاله أن يكفر من لم يعلم بحاله
“Maka termasuk diantara aib-aib
ahlul-bida’ adalah pengkafiran sebagian mereka terhadap sebagian yang lain, dan
termasuk diantara yang menunjukkan terpujinya para ulama adalah mereka sekedar
menyalahkan tanpa mengkafirkan. Penyebabnya, salah seorang diantara mereka
kadang menyangka sesuatu yang bukan merupakan kekufuran sebagai kekufuran, dan
yang lain (menghukumi) sebagai kekufuran karena nampak jelas baginya perbuatan
itu merupakan pendustaan terhadap Rasul dan penghinaan terhadap Al-Khaaliq.
Adapun yang lain tidak nampak hal itu padanya (sehingga tidak mengkafirkannya).
Maka tidaklah mengkonsekuensikan orang yang mengetahui keadaannya sehingga ia
mengkafirkan apabila ada yang mengatakannya; untuk mengkafirkan orang yang
tidak mengetahui keadaannya” [Minhaajus-Sunnah, 5/251].
Ahlus-Sunnah tidak mengenal takfir MLM,
takfir berantai disebabkan karena tidak menyepakati pendapat mereka. Prinsip
ini berasal dari ahli bid’ah.
Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah
berkata saat menjelaskan ragam pendapat di kalangan kelompok Murji’ah:
واختلفت المرجئة في إكفار المتأولين على ثلاثة
أقاويل:
فقالت الفرقة الأولى منهم: لا نكفر أحداً من
المتأولين إلا من أجمعت الأمة على إكفاره.
وقالت الفرقة الثانية منهم أصحاب أبي شمر أنهم
يكفرون من رد قولهم في القدر والتوحيد ويكفرون الشاك في الشاك.
وقالت الفرقة الثالثة منهم: الكفر هو الجهل بالله
فقط ولا يكفر بالله إلا الجاهل به، وهذا قول جهم بن صفوان.
“Kelompok Murji’ah berselisih pendapat
dalam pengkafiran muta’awwiliin (orang-orang yang salah ta’wiil[13]) dalam tiga
pendapat:
Kelompok pertama mengatakan : Kami tidak
mengkafirkan seorang pun dari kalangan muta’awwiliin kecuali orang yang telah
disepakati umat[14] akan kekafirannya.
Kelompok kedua dari kalangan pengikut Abu
Syimr mengkafirkan orang yang menolak pendapat mereka dalam permasalahan qadar
dan tauhiid[15], dan mereka mengkafirkan orang yang ragu-ragu dalam
mengkafirkan orang yang ragu-ragu (terhadap kekafiran orang yang menolak
pendapat mereka).
Kelompok ketiga mengatakan bahwa
kekufuran itu hanyalah bodoh terhadap Allah saja. Tidak ada orang yang kufur terhadap
Allah kecuali orang yang jahil terhadapnya. Ini perkataan Jahm bin Shafwaan”
[Maqaalatul-Islaamiyyiin].
Kita harus senantiasa ingat akan sabda
Nabi ﷺ:
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ ِلأَخِيْهِ: يَا كَافِرُ،
فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا، إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ، وَإِلاَّ رَجَعَتْ
عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang mengatakan kepada
saudaranya: ‘Wahai kafir’ maka ucapan itu akan kembali kepada salah satu dari
keduanya. Apabila (saudaranya itu) seperti yang ia katakan (maka ia memang
kafir); namun apabila tidak, maka tuduhannya itu akan kembali kepadanya (yang
mengatakan)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 60].
Semoga apa yang dituliskan ini ada
manfaanya, wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[bahan bacaan : Syarh Nawaaqidlul-Islaam
oleh Naashir bin Ahmad Al-‘Adniy, Syarh Nawaaqidlil-Islaam oleh ‘Abdurrahmaan
bin Naashir Al-Barraak, Al-Ilmaam bi-Syarh Nawaaqidlil-Islaam oleh Dr.
‘Abdul-‘Aziiz Ar-Rays, dan beberapa artikel di internet].
[1]
Allah ta’ala berfirman:
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ
وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ
بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ
اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair
itu putra Allah" dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putra Allah".
Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan
orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka
sampai berpaling?” [QS. At-Taubah : 30].
[2]
Allah ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ
هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang
yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam"
[QS. Al-Maaidah : 17].
[3]
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ
الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni
ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal
di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk” [QS. Al-Bayyinah : 6].
[4]
Allah ta’ala berfirman:
كَدَأْبِ آلِ فِرْعَوْنَ وَالَّذِينَ مِنْ
قَبْلِهِمْ كَذَّبُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ فَأَهْلَكْنَاهُمْ بِذُنُوبِهِمْ
وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَكُلٌّ كَانُوا ظَالِمِينَ
“(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan
Fir’aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka
mendustakan ayat-ayat Tuhannya maka Kami membinasakan mereka disebabkan
dosa-dosanya dan Kami tenggelamkan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya; dan
kesemuanya adalah orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Anfaal : 54].
[5]
Allah ta’ala berfirman:
وَقَارُونَ وَفِرْعَوْنَ وَهَامَانَ وَلَقَدْ
جَاءَهُمْ مُوسَى بِالْبَيِّنَاتِ فَاسْتَكْبَرُوا فِي الأرْضِ وَمَا كَانُوا
سَابِقِينَ
“Dan (juga) Qaaruun, Fir’aun, dan
Haamaan. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa
bukti-bukti) keterangan-keterangan yang nyata. Akan tetapi mereka berlaku
sombong di (muka) bumi, dan tiadalah mereka orang-orang yang luput (dari
kehancuran itu)” [QS. Al-Ankabuut : 39].
[6]
Allah ta’ala berfirman:
تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ (1) مَا
أَغْنَى عَنْهُ مَالُهُ وَمَا كَسَبَ (2) سَيَصْلَى نَارًا ذَاتَ لَهَبٍ (3)
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ (4) فِي جِيدِهَا حَبْلٌ مِنْ مَسَدٍ (5)
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan
sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan
apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan
(begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut”
[QS. Al-Lahab : 1-5].
[7]
Yaitu ia mengetahui perbuatan tersebut termasuk kekufuran.
[8]
Yaitu hukum bunuh.
[9]
Dengan penjelasan dan penegakan hujjah.
[10]
Silakan baca : Hukum Meminta kepada Mayit agar Berdoa kepada Allah
untuknya.
[11]
Permasalahan apakah dipersyaratkan penegakan hujjah terhadap orang yang
terjatuh pada sebagian perkara kesyirikan diperselisihkan para ulama kita.
Sebagian ulama Najd tidak mensyaratkannya, namun jumhur ulama mensyaratkannya.
Pendapat kedua inilah yang lebih kuat yang dipegang oleh Ibnul-‘Arabiy,
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab,
‘Abdurrahmaan bin Naashir As-Sa’diy, Al-Albaaniy, Muhammad bin Shaalih
Al-‘Utsaimiin rahimahumullah, dan banyak yang lain.
Permasalahan ini telah banyak dibahas
dalam Blog ini.
[12]
Saya pernah mendengar dan melihat di rekaman video Youtube seorang dai
mengatakan bahwa kekufuran Jahmiyyah tersebut adalah sekedar perbedaan pendapat
saja.
[13]
Menurut versi pemahaman mereka.
[14]
Umat di sini adalah termasuk dari kalangan ahli bid’ah, sehingga cakupan
kekafiran sangatlah sedikit.
[15]
Maksud dari ‘tauhiid’ versi mereka adalah penafikkan terhadap Allah dari
sifat-sifat-Nya yang azaliyyah.
Penjelasan Kaidah: Barangsiapa Tidak
Mengkafirkan Orang Kafir, Dia Menjadi Kafir
Kamis, 19 Maret 2015
Persoalan
takfir (menghukumi kafir) tentunya bukan sebuah perkara yang remeh. Ibarat
pisau bermata dua, jika dilakukan tanpa kaedah yang berlaku, akan berbalik
kepada diri sendiri. Di sisi lain jika tidak diberlakukan, juga akan merusak
tauhid yang ada pada dirinya. Maka, hal ini sudah seharusnya dilakukan sesuai
dalil yang masyru’ dan kaidah yang berlaku.
Diantara
dalil yang sering dijadikan acuan dalam masalah takfir adalah kaidah dari para
ulama ahli tauhid, yaitu: man lam yukaffir al-kafir fahuwa kafir (Barangsiapa
yang tidak mengkafirkan orang kafir maka dia kafir). Kaidah ini pada dasarnya
merujuk kepada ayat atau hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menjelaskan tentang larangan menolak atau mengingkari sesuatu yang telah
dijelaskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam hal ini, Allah telah menjelaskan
secara gamblang tentang kekufuran keyakinan yang dianut oleh orang Yahudi dan
Nasrani atau penjelasan tentang jenis tindakan kekufuran lainnya.
“Dan tiadalah yang mengingkari ayat-ayat
kami selain orang-orang kafir.” (Al-Ankabut : 47)
Oleh
karena itu, ketika seseorang tidak menyakini kekafiran terhadap orang-orang
yang telah disebut kafir oleh Allah, maka secara tidak langsung dia sedang
menolak kebenaran ayat Al-Qur’an. Sudah jelas, bahwa menolak keterangan dari
Al-Qur’an tentu hukumnya adalah kafir.
Namun naifnya, kaidah ini sering kali dijadikan
dalil oleh sebagian aktivis Islam untuk menvonis setiap person yang terindikasi
melakukan kekufuran atau kesyirikan tanpa proses yang benar. Tidak hanya itu,
bahkan mereka tidak segan-segan menvonis kafir setiap orang yang tidak
mengkafirkan pelaku kekufuran atau kesyirikan secara ta’yin. Nah, apakah
kesimpulan tersebut sesuai dengan pemahamana ulama? Kalau memang tidak,
bagaimana para ulama menjelaskan kaidah tersebut?
Bagi yang sering membuka Kitab Tauhid, kaidah
tersebut sudah tidaklah asing bagi mereka. Kaidah “Barangsiapa Yang Tidak
Mengkafirkan Orang Kafir Maka Dia Telah Kafir” ini sangat masyhur dan merupakan
pembatal ketiga di antara pembatal-pembatal keislaman yang disebutkan oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah. Dalam kitab tauhidnya, beliau
berkata :
من لم يكفر المشركين أو يشك في كفرهم أو صحح
مذهبهم كفر
“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan
oran-orang musyrik atau ragu dengan kekufuran mereka atau membenarkan mazhab
mereka maka dia kafir.” (Majmu’ah Rasaa’il Fii At Tauiid Wa Al Iman, hal. 385)
Walaupun
kaidah ini lebih masyhur dikenal dari Syaikh Muhammad bin Adul Wahhab, namun
sebenarnya jauh beberapa abad sebelum beliau, kaidah tersebut telah dimunculkan
oleh beberapa ulama salaf terdahulu. Misalnya Sufyan bin Uyainah dalam kitab
As-Sunnah karangan Abdullah bin Ahmad, disebutkan bahwa beliau berkata:
القرآن كلام الله عز وجل من قال
مخلوق فهو كافر ، ومن شك في كفره فهو كافر
“Al-Qur’an
adalah kalamullah ‘azza wa jalla, barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an makhluk
maka dia kafir, dan barangsiapa ragu atas kekufuran mereka maka dia juga
kafir.” (Abdullah Bin Ahmad, As-sunnah, no. 25)
Ibnu
Al-Muqri dalam kitabnya Ar-Raudhoh, beliau menukil perkataan Ibnu Hajar
Al-Haitsami, “Barangsiapa yang tidak mengkafirkan kelompok Ibnu ‘Arabi maka ia
sama seperti tidak mengkafirkan orang Yahudi dan Nasrani.” (Ibnu Hajar
Al-Haitsami, Al’ilam Biqawati’il islam, hal. 379)
Imam
An-Nawawi berkata, “Orang yang tidak mau mengkafirkan para pemeluk agama selain
Islam seperti Nasrani atau dia ragu dengan kekufuran mereka atau membenarkan
ajaran mereka, maka dia kafir meskipun pada saat itu dia mengaku Islam dan
yakin dengan hal itu.” (An-Nawawi, Raudhatu Thalibin, 10/70)
Demikian
juga perkataan ulama-ulama lain seperti, Abi Zur’ah Ar-Razi dalam kitab Syarh
Ushul Itiqod Al-Lalikai, perkataan Salamah bin Syubaib An-Naisaburi dalam kitab
Tahzib Ibnu Hajar, perkataan Muhammad bin Sahnun Al-Maliki, perkataan Ibnu
Taimiyah dan lain-lain sebagainya.
Kesimpulannya,
kaidah tersebut sebenarnya telah ada pada masa para tabi’in masih hidup. Jadi,
salah jika ada yang menyatakan bahwa kaidah ini dimunculkan oleh Syaikh Ibnu
Taimiyah kemudian dipopulerkan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan
ulama-ulama Nejd. (Lihat: Al-Maqdisi: Risalah Atsalatsiniyah, hal. 231)
Penjelasan Kaedah “Man lam
yukaffir al-kafir fahuwa kafir”
Perlu
dipahami, kaidah ini tidak bisa diterapkan secara mutlak begitu saja. Namun
harus disertai dengan penjelasan yang lebih rinci. Karena disamping kajiannya
yang rumit, kaidah tersebut memiliki rambu-rambu yang harus diperhatikan.
Ketika rambu-rambu tersebut diabaikan, maka sangat gampang terjerumus dalam
pemahaman Khawarij, yaitu mudah mengkafirkan orang lain.
Kaidah
ini juga tidak bisa diberlakukan secara mutlak. Dalam arti lain ketika ada
orang yang tidak mengkafirkan orang yang melakukan kekufuran (seperti pelaku
syirik, orang yang mengingkari kewajiban shalat atau perbuatan-perbuatan kufur
lainnya), tidak langsung serta merta divonis kafir. Karena bisa jadi dia tidak
mengkafirkan mereka karena belum terpenuhinya syarat atau ada
penghalang-penghalang lainnya, seperti pelaku kekufuran tersebut jahil atau
belum mengerti hakikat perbuatan yang dia lakukan. Sehingga sangat keliru jika
melihat orang yang tidak mau mengkafirkan pelaku kesyirikan secara ta’yin
(person) langsung dianggap kafir.
Contoh praktisnya adalah hukum
meninggalkan shalat. Para ulama fikih berbeda pendapat dalam menghukumi orang
yang meninggalkan shalat karena malas, apakah dia kafir atau tidak?
Jumhur ulama Hanafiah, Malikiah, dan
Syafi’ah tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena enggan atau
malas. Sementara menurut Imam Ahmad hukumnya kafir. Maka barangsiapa yang
menjadikan kaidah ini “Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir maka dia
kafir” dalam seluruh bentuk kekufuran, sementara di sisi lain dia condong
dengan Madzhab Imam Ahmad, maka tentu akan menimbulkan konsekuensi untuk
mengkafirkan mazhab jumhur fuqaha yang lain, karena mereka tidak mengkafirkan
orang yang meninggalkan shalat disebabkan malas.
Kemudian efek lebih lanjut adalah, jika
dia berpendapat bahwa jumhur ulama Hanafiah, Malikiah dan Syafi’iah telah kafir
(disebabkan tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena malas),
maka konsekuensinya adalah dia akan menerapkan kaidah tersebut kepada orang
yang tidak mengkafirkan para jumhur ulama tersebut. Artinya, mereka juga akan
mengkafirkan orang yang tidak mau mengkafirkan jumhur ulama tersebut. Nah,
betul jika pada akhirnya ada yang menyimpulkan bahwa efek dari hal itu, mereka
dapat mengkafirkan seluruh kaum muslimin tanpa terkecuali.
Tentunya pemahaman seperti ini sangat
keliru dan terlalu ghuluw (ekstrem) dalam menerapkan konsep takfir. Padahal
sikap ghuluw sendiri sangat dilarang oleh agama dalam segala hal. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mewanti-wanti umatnya agar menghindari
diri dari sikap ghuluw. Beliau bersabda, “Jauhilah oleh kalian semua sikap
ghuluw, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian celaka lantaran ghuluw
dalam urusan dien (agama).” (HR. Ahmad)
Para ulama telah sepakat bahwa ‘illah
(sebab) dikafirkannya seseorang dalam kaidah tersebut adalah karena
pengingkarannya kepada dalil yang menjalaskan kekafiran seseorang. Jadi pada
dasarnya, kaidah ini diberlakukan hanya kepada orang yang tidak mau
mengkafirkan mereka yang telah ditetapkan oleh nash—baik Al-Qur’an maupun
hadits—sebagai kafir. Misalnya seseorang yang telah disebutkan Allah tentang
kekafirannya secara ta’yin (person) dalam Al-Qur’an, seperti Fir’aun, Hamman,
Qarun dan Abu Lahab. Ataupun kelompok yang disebutkan Allah tentang
kekafirannya, semisal kafirnya Yahudi dan Nasrani, atau selain itu. Secara global, Allah juga menyebutkan bahwa hakim
yang tidak memutuskan perkara dengan hukum Allah maka dia kafir.
Nah, Ketika seseorang menolak untuk
mengkafirkan mereka yang disebutkan kafir oleh nash yang qath’i tersebut, maka
dia adalah kafir karena menolak atau tidak meyakini hujjah syar’iyah (dalil
syar’i) yang ada dalam Al-Qur’an dan hadits. Perlu ditekankan juga bahwa syarat
hujjah (khabar) yang digunakan dalam menvonis kafir seseorang haruslah khabar
yang shahih dan disepakati oleh para ulama.
Qadhi Iyadh, salah seorang ulama tabi’in
menyebutkan tentang orang yang memberi udzur kepada sebagian orang Nasrani,
beliau berkata, “Semua yang berkata demikian adalah kafir karena para ulama
telah bersepakat tentang kafirnya orang yang tidak mengkafirkan Nasrani dan
Yahudi atau bahkan tawaqquf dan ragu atas kekafiran mereka.” (Qadhi ‘Iyadh,
Asyifa’ Bita’rif Huquqi Al-Mustofa, hal. 846)
Dalam Syarh Matan Al-Iqna’, Imam
Al-Bahuti menjelaskan tentang sebab dikafirkannya seseorang menurut kaidah
tersebut. Beliau mengatakan, “Orang yang tidak mengkafirkan mereka yang
menganut agama selain Islam seperti Nasrani dan Yahudi atau dia ragu atas
kekufuran mereka atau membenarkan ajaran mereka, maka dia kafir disebabkan
mendustai firman Allah, ‘Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat
termasuk orang-orang yang rugi.’”(Lihat: Kasyfu Al-Qana ‘An Matan Al-Iqna’, 6/171)
Para ulama menggunakan kaidah ini sebagai
bentuk ketegasan mereka terhadap perbuatan kufur. Dengan adanya kaidah
tersebut, kaum muslimin diharapkan bisa terhindar dari perbuatan kufur dan
segala macam fitnah yang bisa menyesatkan mereka. Syaikh Al-Maqdisi berkata,
“Setelah saya mengkaji dan meneliti perkataan ulama tentang kaidah ini, maka
jelaslah bahwa mereka menggunakan kaidah ini sebagai tindakan tegas untuk
melawan segala bentuk kekufuran yang merajalela tersebar pada zaman mereka.
Kaidah ini dimunculkan untuk mewanti-wanti kaum muslimin dari fitnah tersebut
dan agar mereka menghindari diri dari kekufuran berserta pelakunya.” (Lihat:
Abu ‘Ashim Muhammad Al-Maqdisi: Risalah Atsalatsiniyah, hal. 231)
Jadi menurut Al-Maqdisi, makna kaidah ini
yang benar adalah, “Barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir, di mana
kekafiran mereka telah dijelaskan secara qath’i dalam ayat Al-Qur’an dan
hadits, dan syarat ketentuannya telah terpenuhi serta seluruh penghalang takfir
pada diri pelaku tersebut hilang, kemudian seseorang tidak mengkafirkan orang
yang disebutkan dalam nash tersebut, maka menurut ijmak ulama dia kafir karena
mendustakan nash qath’i. (lihat: Abu ‘Ashim Muhammad Al-Maqdisi: Risalah
Atsalatsiniyah, hal. 232)
Penerapan Kaedah “Man lam
yukaffir al-kafir fahuwa kafir” Berdasarkan Rincian
Supaya lebih mudah dalam memahami kaidah
tersebut, perlu adanya klarifikasi tentang jenis orang kafir itu sendiri. Sebab
dengan seperti itu, akan lebih mudah memetakan siapa yang layak masuk dalam
kaidah ini dan siapa yang tidak. Berikut ini pembagian orang kafir beserta
penjelasan dan penerapan kaidah tersebut.
1. Kafir Asli
Maksud kafir asli adalah seperti Yahudi,
Nasrani, Majusi dan sebagainya. Dalam hal ini barangsiapa yang tidak
mengkafirkan mereka atau ragu akan kekafiran mereka atau menganggap pemahaman
mereka itu benar, maka ia telah kafir berdasarkan ijmak (kesepakatan ulama’).
Hal ini sebagaimana telah disebutkan oleh banyak ulama. Kekafiran tersebut
dikarenakan ia menolak nash-nash yang menerangkan bathilnya aqidah selain Islam
dan kafir nya dien selain Islam.
2. Kafir karena Murtad
(Keluar dari Islam)
Dalam hal ini orang murtad sendiri dibagi
menjadi dua kategori :
Pertama, Siapa saja yang menyatakan
secara terang-terangan bahwa dia telah berganti agama dari Islam kepada agama
selainnya seperti Yahudi, Nasrani atau Atheis, maka hukum orang ini seperti
hukum kafir asli. Syaikh Ibnu Utsaimin berkata, “Barangsiapa yang mengingkari
tentang kekafiran orang Yahudi dan Nasrani di mana mereka tidak beriman kepada
ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mendustainya, maka dia
telah berdusta kepada Allah. Hukum mendustai Allah adalah kafir, dan
barangsiapa yang ragu dengan kekafiran mereka maka dia juga kafir. (Ibnu
al-Utsaimin, Fatawa Wa Ahkamuhu Al-Dakhilin Fi Al-Islam, hal. 42)
Kedua, Siapa saja yang melakukan tindakan
yang termasuk pembatal keislaman, akan tetapi ia menyangka bahwa perbuatan itu
bukanlah pembatal keislaman dan ia masih merasa sebagai seorang muslim. Maka
dalam hal ini terbagi dalam dua kategori:
a. Barangsiapa yang melakukan perbuatan
pembatal keislaman yang sharih (jelas dan nyata) seperti menghujat dan menghina
Allah ta’ala, maka orang ini telah kafir menurut ijmak, dan barangsiapa yang
tawaqquf atas kekafirannya, maka ia termasuk salah satu dari dua kelompok berikut:
Barangsiapa yang mengakui dan meyakini
bahwa menghujat Allah adalah kekafiran dan perbuatan itu menjatuhkan pelakunya
pada kekafiran, tetapi dia bertawaqquf dari menvonis kafir secara mu’ayyan
(individu atau person) disebabkan ketidaktahuan atau karena syubhat (keraguan)
yang dia lihat, maka orang yang bertawaqquf ini telah melakukan kesalahan dan
ucapannya tergolong bathil. Akan tetapi, ia tidak dikafirkan karena ia tidak
menolak khabar tersebut (bahwa menghujat dan menghina Allah adalah kekufuran)
atau mendustakannya, bahkan dia meyakini dan menerima khabar (hadits dan ayat
Al-Qur’an) dan ijmak bahwa menghina Allah adalah kekufuran.
Barangsiapa yang pada dasarnya memang
mengingkari dan menolak bahwa menghina Allah hukumnya kafir, maka ia telah kafir
setelah adanya penjelasan (hujjah-hujjah syar’iyyah). Orang tersebut dikafirkan
karena ia menolak khabar dan ijmak. Hal ini sebagaimana orang yang mengaku
muslim tetapi menyembah kuburan dan
menolak untuk menyatakan bahwa perbuatan itu adalah kekufuran, maka
orang ini telah kafir dikarenakan ia menolak nash-nash dan ijmak. Sedangkan
orang yang mengakui bahwa perbuatan tersebut termasuk kekufuran, tetapi ia tawaqquf dari mengkafirkan
pelakunya secara mu’ayyan karena ia melihat masih adanya syubhat, maka orang
ini tidak boleh dikafirkan.
b. Barangsiapa yang melakukan pembatal
keislaman yang masih diperselisihkan hukumnya, seperti meninggalkan shalat
fardhu tanpa udzur syar’i umpamanya. Maka penetapan kekafirannya adalah masalah
khilafiyyah (masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama). Orang yang
berbeda pendapat dalam hal ini tidak boleh dikafirkan, tidak boleh juga disebut
ahli bid’ah atau orang fasik walaupun dalam hal ini ia telah melakukan
kesalahan.
Demikianlah penjelasan dan penerapan
kaidah man lam yukaffir al-kafir fahuwa kafir. Kesimpulannya adalah kaidah ini
bisa diterapkan ketika orang kafir yang dimaksud sudah jelas kekafirannya
berdasarkan nash syar’i yang qath’i, bukan sesuatu yang masih mukhtalaf
atau masih diperselisihkan. Selain itu,
ketika kaidah ini diterapkan dalam hal takfir ta’yin (mengkafirkan person),
maka dia harus melalui proses syar’i yaitu memahami kondisi atau keadaan obyek
yang ingin dihukumi (melihat syarat dan penghalang-pengahalang takfir), melakukan kajian tahqiqul manath (mengaitkan
seluruh kondisi obyek dengan dasar teori hukum syar’i) dan bentuk kekufuran
yang dilakukannya adalah sesuatu yang telah disepakati oleh para ulama.
Semoga dengan memahami dan memperhatikan
rambu-rambu yang ada dalam kaidah tersebut, kita akan semakin bisa mendudukkan
sesuatu dengan ilmu dan tidak mudah terjerumus dalam sikap ghuluw dalam
memahami konsep takfir. Wallahu a’lam bishawab
Penulis: Fahrudin
Referensi:
Ibnu Hajar Al-Haitsami, Al’ilam
Biqawati’il islam
Muhammad bin Abdul Wahab, Majmu’ah
Rasaa’il Fii At Tauiid Wa Al Iman
Abdullah Bin Ahmad, As-sunnah
An-Nawawi, Raudhatu Thalibin
Qodhi ‘iyadh, Asyifa’ Bita’rif Huquqi
Al-Mustofa
Manshur bin yunus Al-Bahuti, Kasyfu
Al-Qona ‘An Matan Al-Iqna’
Abu ‘Ashim Muhammad Al-Maqdisi: Risalah
Atsalatsiniyah
Ibnu al-Utsaimin, Fatawa Wa Ahkamuhu
Al-Dakhilin Fi Al-Islam
Maktabah syamilah, versi maktab da’wah
ar-raudhoh
Tidak
Mengkafirkan Orang Kafir Adalah Kekufuran
Mohon dimaklumi sebelumnya, mungkin ada pembaca yang “merasa tidak nyaman”
dengan pembahasan “kafir” dan “mengkafirkan”, akan tetapi ternyata pembahasan
ini dibahas lengkap dan detail oleh ulama kita dalam pembahasan aqidah tauhid,
di mana seorang muslim wajib mengetahuinya karena merupakan aqidah dasar kita.
Bisa jadi merasa tidak nyaman atau bahkan
ada yang “alergi” dengan pembahasan ini, karena selama ini pembahasn “kafir”
dan “mengkafirkan” adalah adalah pembahasan yang seolah-olah seram, menakutkan
serta merusak persaudaraan dan toleransi. Anggapan ini TIDAK BENAR, pembahasan
mengenai hal ini apabila dipelajari secara benar dan berdasarkan dalil (bukan
berdasarkan perasaan dan sangkaan semata), maka dalam pembahasan ini
didapatkan:
1. Ketegasan dalam agama Islam, tidak ada
yang “abu-abu”, apabila ia tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka
disebut kafir sesuai nash dan dalil
2. Indah dan lembutnya ajaran Islam,
pembahasan “mengkafirkan” tidak diterapkan serampangan dan langsung memvonis
saja, tetapi ada prosesnya dan rinciannya. Tidak dibenarkan seseorang langsung
memvonis saudara se-Islam dengan “kafir” tanpa kaidah yang benar, terlebih lagi
ada pembahasan “takfir mutlak” dan “takfir mu’ayyan”.
Pembaca yang semoga dirahmati Allah,
belakangan ini ada wacana yang dihembuskan cukup masif bahwa:
“Non-muslim tidak boleh dipanggil kafir”
Mereka beralasan bawa kata-kata “kafir”
adalah kata-kata yang kasar dan menunjukkan intoleransi. Tentu pendapat ini
TIDAK BENAR dan PERLU DILURUSKAN.
Sebagai orang indonesia kita perlu
kembali pada pengertian “kafir” pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia):
“Kafir: Orang yang tidak beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya”
Jadi, sangat tepat apabila kita katakan
dan kita sebut non-muslim dengan sebutan “kafir”
Sebuah ungkapan yang bijak:
.
لِكُلِّ مَقَامٍ مَقَال
“Setiap tempat ada ucapan yang layak”
Tentu kita TIDAK memanggil orang yang
tidak beriman atau non-muslim dengan panggilan seperti ini:
“Hai kafir, mau ke mana?”
“Perkenalkan ini tetanggaku yg kafir”
Tentu kata-kata “kafir” kita posisikan
sesuai dengan tempatnya, BUKAN DIHAPUS ATAU TIDAK DIGUNAKAN SAMA SEKALI dengan
alasan perasaan semata atau alasan yang dibuat-buat.
Menghapus atau tidak menggunakan
kata-kata kafir bertentangan dengan aqidah dasar Islam. Agama Islam adalah
agama yang tegas dan tidak abu-abu. Salah satu aqidah Islam adalah mengkafirkan
orang kafir dan menyebut mereka dengan “kafir”, sebagaimana Allah Ta’ala
menyebut mereka langsung dalam Al-Quran,
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ
هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ
اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ
حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ
مِنْ أَنْصَارٍ
Sesungguhnya TELAH KAFIRLAH orang-orang
yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al
Masih berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Rabbku dan juga Rabbmu”.
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan Allah, maka pasti Allah mengharamkan
kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang
zalim itu seorang penolongpun. (QS. Al-Maaidah: 72)
Al-Qadhi ‘Iyadh menjelaskan,
ولهذا نكفِّر كل من دان بغير ملة المسلمين من
الملل ، أو وقف فيهم، أو شك ، أو صحَّح مذهبهم
“Oleh karena itu, kita mengkafirkan semua
orang yang beragama selain agama kaum muslimin atau orang yang sejalan dengan
mereka atau ragu-ragu (dengan agama) atau membenarkan agama mereka.” [Asy-Syifa
Bita’rif huquqil Musthafa 2/1071]
Salah satu aqidah kita adalah apabila
tidak mengkafirkan orang kafir, maka ini adalah bentuk kekufuran. Sebagaimana
salah satu pembatal keIslaman, yaitu
الثالث : من لم يكفر المشركين أو شك في كفرهم أو
صحح مذهبهم : كفَرَ إجْماعاً
“Barangsiapa yang tidak mengkafirkan
orang musyrik atau ragu-ragu bahwa mereka kafir atau membenarkan mazhab
(ajaran) mereka maka ini adalah kekufuran secara ijma’.” [Nawaqidul Islam poin
ke-3]
Sangat banyak dalil dan nash yang
menunjukkan bahwa orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya adalah
orang yang disebut dengan sebutan “kafir”
Salah satu dalil yang paling nyata dan
hampir mayoritas muslim tahu adalah surat Al-Kafirun, sangat jelas mereka yanh
tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dipanggil dengan sebutan “kafir”
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا
أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا
أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا
أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6
Katakanlah, “Hai orang-orang yang kafir,
aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian bukan penyembah apa
yang aku sembah. Dan aku tidak pernah men]adi penyembah apa yang kalian sembah,
dan kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untuk
kalianlah agama kalian, dan untukkulah agamaku.” [QS. Al-Kafirun: 1-6]
Allah Ta’ala juga berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ
الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang KAFIR
yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka jahannam;
mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS. Al
Bayyinah: 6)
Dalil-dalil di atas sudah sangat jelas
dan sangat nyata bahwa orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
Rasul-Nya pantas disebut “kafir”, hanya saja penyebutan ini tentu sesuai
keadaannya yang layak sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Adapun beralasan dengan “intoleransi”,
maka ini alasan yang dibuat-buat saja. Agama Islam adalah agama yang indah,
toleransi dan memerintahkan berlaku adil kepada orang kafir sekalipun.
Allah Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن
تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tiada melarang kamu untuk BERBUAT
BAIK dan berlaku ADIL terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahah: 8)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy
rahimahullah menafsirkan,
لا ينهاكم الله عن البر والصلة، والمكافأة
بالمعروف، والقسط للمشركين، من أقاربكم وغيرهم، حيث كانوا بحال لم ينتصبوا لقتالكم
في الدين والإخراج من دياركم، فليس عليكم جناح أن تصلوهم، فإن صلتهم في هذه
الحالة، لا محذور فيها ولا مفسدة
“Allah tidak melarang kalian untuk
BERBUAT BAIK, menyambung silaturrahmi, membalas kebaikan ,berbuat ADIL kepada
orang-orang MUSYRIK baik dari keluarga kalian dan orang lain. Selama mereka
tidak memerangi kalian karena agama dan selama mereka tidak mengusir kalian
dari negeri kalian, maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan mereka
karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak ada
larangan dan tidak ada kerusakan.” [Taisir Karimir Rahmah hal. 819, Dar Ibnu
Hazm]
Demikian semoga bermanfaat
Penyusun: Raehanul Bahraen
Penghapusan
Kata Kafir dan Potensi Kaburnya Wala’ dan Bara’
Sabtu, 2 Maret 2019
Munas NU yang merekomendasikan kata kafir
diubah menjadi non muslim, memantik respon berbagai pihak. Mulai dari komentar
tokoh, ulama, ustadz hingga meme menghiasi ketidaksetujuan terhadap rekomendasi
tersebut.
Alternatif yang diberikan pun tak luput
menuai kontroversi. Kata muwatin (Rakyat sebuah negara) dianggap bukanlah
padanan yang pas untuk menggantikan kata kafir, karena ini berpeluang
mengaburkan batasan-batasan dalam Islam yang dibangun atas dasar keimanan.
Kafir adalah Istilah Syar’i
Kata kafir adalah istilah syar’i untuk
menyebut orang-orang yang yang tidak beriman. Dalam kata kafir, tidak ada
maksud diskriminatif terhadap non muslim. Karena kafir itu hanya sifat bagi
siapa saja yang belum mengakui prinsip-prinsip keimanan. Setelah ia mengakui
prinsip-prinsip keimanan dan bersyahadat, maka ia tidak lagi disebut kafir.
Hal ini bisa ditinjau dari makna kafir
itu sendiri, baik secara etimologis maupun terminologis. Secara etimologis,
kata kafir berasal dari kata al-satru (الستر) dan at-taghtiyah (التغطية) yaitu menutupi.
(Dr. Ibrahim bin Muhammad al-Buraikan, al-Madkhal li Dirasat al-Aqidah, hlm.
181).
Secara terminologis, kata kafir
sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah :
الكفر
عدم الايمان بالله ورسله سواء كان معه تكذيب أو لم يكن معه تكذيب بل شك وريب أو
إعراض عن هذا كله حسدا أو كبرا أو اتباعا لبعض الأهواء الصارفة عن اتباع الرسالة
“Kekufuran artinya tidak beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, baik karena mendustakannya atau tidak. Termasuk ragu atau
berpaling darinya, baik karena iri, sombong, mengikuti nafsu yang mengajak
untuk menyimpang dari risalah Islam.” (Majmu’ Fatawa, 12/335)
Penggunaan kata kafir tidak muncul
setelah Islam berkuasa, namun sejak awal turunnya wahyu. Dalam Al-Qur’an, Allah
telah mengkafirkan semua orang di luar Islam, termasuk ahli kitab dan
orang-orang musyrik. Allah berfirman :
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ
هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang
yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam”.” (QS. Al
Maidah: 72)
لَّقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ
ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang
yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu salah satu dari yang tiga”.” (QS. Al
Maidah: 72)
Dua ayat di atas menunjukkan bahwa Allah
telah mengkafirkan orang-orang ahli kitab yang menuhankan Isa ‘Alaihissalam
putra Maryam dan memiliki tiga tuhan. Pengkafiran dalam ayat tersebut tidak
didasarkan karena kebaikan mereka atau status kewarganegaraan mereka, akan
tetapi karena keyakinan mereka yang menyimpang. Ath-Thabari mengatakan :
وإن لم ينته هؤلاء الإسرائيليون عما يقولون في
الله من عظيم القول، ليمسنَّ الذين يقولون منهم:”إن المسيح هو الله”، والذين
يقولون:”إن الله ثالث ثلاثة”، وكل كافر سلك سبيلهم= عذابٌ أليم، بكفرهم بالله
“Jika orang-orang Israil tidak
meninggalkan apa yang mereka yakini tentang Allah, yaitu keyakinan inti mereka,
yang berkeyakinan bahwa “sesungguhnya Isa al-Masih adalah Allah”, dan yang
berkeyakinan “sesungguhnya Allah adalah satu dari yang tiga”, semua kafir yang
mengikuti ajaran mereka = mendapat adzab yang pedih karena kekafiran mereka
kepada Allah.” (Tafsir ath-Thabari, 10/483)
Ayat lain dengan redaksi yang lebih
lengkap, Allah mengkafirkan siapa saja di luar Islam, baik dari golongan ahli
kitab maupun orang-orang musyrik. Allah berfirman.
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ
الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir
yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam;
mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (QS.
Al-Bayyinah : 6)
Sebab mereka masuk neraka dan di dunia
menjadi seburuk-buruk makhluk adalah kekafiran mereka. Hal ini sebagaimana
dikatakan dalam tafsir :
إن الذين كفروا -من اليهود والنصارى ومن
المشركين- يدخلون يوم القيامة في جهنم ماكثين فيها أبدًا، أولئك هم شرّ الخليقة؛
لكفرهم بالله، وتكذيبهم رسوله
“Sesungguhnya orang-orang kafir -dari
Yahudi, Nashara dan musyrik- pada hari kiamat akan masuk neraka Jahannam kekal
di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk karena kekafiran mereka kepada
Allah dan pengingkaran mereka terhadap Rasul-Nya.” (Al-Mukhtashar fi Tarsir,
hlm.559)
Maka jelaslah bahwa kafir adalah istilah
syar’i dalam Islam untuk menyebut orang-orang di luar Islam, baik dari ahli
kitab maupun orang-orang musyrik. Allah telah mengkafirkan mereka, begitu juga
Rasul-Nya shalallahu ‘alaihi wa sallam. Maka wajib bagi umat Islam untuk
mengkafirkan orang-orang yang dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Wajib Bara’ kepada Orang Kafir
Selain wajib mengkafirkan orang-orang di
luar Islam, kita juga diwajibkan untuk bara’ (berlepas diri) dari orang-orang
kafir. Karena al-wala’ wal bara’ juga merupakan bagian prinsip dalam Islam.
Seorang muslim dilarang untuk mengangkat orang kafir menjadi pemimpin, dilarang
pula menjadikan mereka sebagai teman dekat atau mencintai mereka. Sedangkan
mengganti kata kafir berpotensi mengaburkan prinsip wala’ dan bara’. Padahal
Islam dibangun di atas prinsip wala’ dan baro yang ini tergambar dalam kalimat
tauhid. La Ilaha, yang bermakna berlepas diri dari kekufuran dan Illallah yang
artinya hanya loyal kepada Allah dan orang-orang yang diizinkan-Nya.
Allah berfirman :
لَّا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ
أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil
orang-orang kafir menjadi wali (teman akrab, pemimpin, pelindung, penolong)
dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” (Qs. Ali Imran : 28)
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا
تَتَّخِذُواْ ٱلۡيَهُودَ وَٱلنَّصَٰرَىٰٓ أَوۡلِيَآءَۘ بَعۡضُهُمۡ أَوۡلِيَآءُ
بَعۡضۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu);
sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara
kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk
golongan mereka.” (QS. al-Maidah: 51)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan :
ينهى تعالى عباده المؤمنين عن موالاة اليهود
والنصارى الذين هم أعداء الإسلام وأهله ، قاتلهم الله، ثم أخبر أن بعضهم أولياء
بعض، ثم تهدد وتوعد من يتعاطى ذلك فقال
ومن يتولهم منكم فإنه منهم إن الله لا يهدي القوم الظالمين
“Allah ta’ala melarang para hamba-Nya
yang beriman untuk setia kepada Yahudi dan Nashrani yang mereka adalah
musuh-musuh agama Islam dan kaum muslimin. Allah memerangi mereka, kemudian
mengabarkan bahwa sebagian mereka menolong sebagian yang lain. Kemudian mengancam
mereka yang melanggar ; (siapa yang setia kepada mereka (kafir) maka
sesungguhnya ia termasuk bagian dari mereka, sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/132)
Dari prinsip al-wala’ wal bara’ ini, muncul
hukum-hukum yang berkaitan tentang hubungan antara muslim dan kafir. Seperti
larangan menikahi mereka, putusnya hak warisan, larangan mendoakannya, larangan
mengucapkan salam, larangan menyerupai mereka, berjihad memerangi mereka dan
sebagainya. Karena dasar hubungan antara muslim dan kafir adalah permusuhan,
sebagaimana Allah berfirman :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ
وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada
fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (QS. Al-Anfal : 39)
Allah memerintahkan kepada umat Islam
untuk terus memerangi mereka, karena tabi’at mereka tidak akan pernah senang
kepada orang-orang Islam. Sehingga mengkafirkan orang kafir adalah unsur yang
wajib diyakini orang Islam tanpa ragu. Bukan maksud untuk mendiskriminasi
mereka, namun ini adalah istilah syar’i yang memiliki konsekuensi dalam
keyakinan dan hukum. Wallahu ‘alam bish showab.
Penulis: Zamroni; Editor: Arju
Bolehkah
Kita Mencintai
Orang Kafir ?
Diposting oleh Abu Al-Jauzaa
Tanya : Apakah ayat ”Allah tiada melarangmu untuk berbuat baik
dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan
tidak (pula) mengusirmu dari negerimu” [QS. Al-Mumtahanah : 8]; bisa dijadikan
alasan atau dalil bahwa kita diperbolehkan mencintai orang kafir ?
Jawab : Allah ta’ala berfirman :
لاّ يَنْهَاكُمُ اللّهُ عَنِ الّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرّوهُمْ
وَتُقْسِطُوَاْ إِلَيْهِمْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
”Allah tiada melarangmu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berlaku adil” [QS. Al-Mumtahanah : 8].
Ayat di atas tidak mengandung pengertian
kecintaan sama sekali kepada salah seorang kafir sebagaimana dikatakan oleh
sebagian orang. Akan tetapi ayat tersebut hanyalah merupakan rukhshash
(keringanan) dari Allah dalam hal hubungan dan muamalah dengan orang-orang
kafir secara baik dan penuh kebajikan, sebagai balasan atas kebaikan yang telah
mereka lakukan kepada kita.
Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :
هذه الآية رخصة من الله تعالى في صلة الذين لم
يعادوا المؤمنين ولم يقاتلوهم. قال ابن زيد: كان هذا في أول الإسلام عند الموادعة
وترك الأمر بالقتال ثم نسخ. قال قتادة: نسختها {فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ
وَجَدْتُمُوهُمْ} وقيل: كان هذا الحكم لعلة وهو الصلح، فلما زال الصلح بفتح مكة
نسخ الحكم وبقي الرسم يتلى
”Ayat ini merupakan rukhshah (keringanan)
dari Allah ta’ala dalam hal menjalin hubungan dengan orang-orang (kafir) yang
tidak memusuhi dan memerangi orang-orang mukmin. Ibnu Zaid berkata : ’Sikap
semacam ini terjadi di permulaan Islam saat perdamaian dan gencatan senjata,
lalu dihapus’. Qatadah berkata : ’Ayat tersebut dihapus (mansukh) oleh ayat :
’Maka bunuhlah orang musyrik itu dimana saja kamu menjumpainya’ (QS. At-Taubah
: 5)’. Dan dikatakan : ’Hukum (dalam ayat) ini berlaku karena ada sebab, yaitu perdamaian.
Ketika hilang hukum perdamaian dengan adanya Fathu Makkah, maka terhapuslah
hukumnya, dan tersisa bacaannya” [Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan, 18/59].
Dan yang benar bahwa hukum yang
terkandung dalam ayat ini tetap berlaku (tidak terhapus secara mutlak)[1].
Berbuat baik kepada orang kafir dalam hal
muamalah keduniaan tidaklah mengharuskan untuk menanamkan kecintaan kepada
mereka dalam hati. Hal itu dikarenakan kecintaan mempunyai konsekuensi
pembolehan untuk menjadikan mereka teman dekat, pemimpin, penolong,
mempercayakan amanah kepada mereka, dan yang lainnya sebagaimana dijelaskan
oleh para ulama. Perbuatan tersebut terlarang secara asal dalam Islam,
berdasarkan firman Allah ta’ala :
لاّ يَتّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ
أَوْلِيَآءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّهِ
فِي شَيْءٍ إِلاّ أَن تَتّقُواْ مِنْهُمْ تُقَاةً
”Janganlah orang-orang mukmin mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang
siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali
karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka”. [QS.
Aali ’Imraan : 28]
الّذِينَ يَتّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَآءَ
مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزّةَ فَإِنّ العِزّةَ
للّهِ جَمِيعاً
”(Yaitu) orang-orang yang mengambil
orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka
sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah”. [QS. An-Nisaa’ : 139]
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata
:
ثُمَّ اَلْبِرُّ وَالصِّلَة وَالْإِحْسَان لَا
يَسْتَلْزِمُ التَّحَابُبَ وَالتَّوَادُدَ اَلْمَنْهِيَّ عَنْهُ فِي قَوْلِهِ
تَعَالَى : (لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاَللَّهِ وَالْيَوْم اَلْآخِر يُوَادُّونَ
مَنْ حَادَّ اَللَّه وَرَسُولَهُ) . اَلْآيَة فَإِنَّهَا عَامَّةٌ فِي حَقِّ مَنْ
قَاتَلَ وَمَنْ لَمْ يُقَاتِلْ وَاَللَّه أَعْلَمُ.
”Kemudian, kebajikan, hubungan, dan
kebaikan (yang kita lakukan kepada orang kafir) tidaklah mengharuskan adanya
kecintaan dan kasih sayang yang dilarang oleh Allah untuk dilakukan sebagaimana
terdapat dalam firman Allah ta’ala : ‘Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang
yang menentang Allah dan Rasul-Nya’ (QS. Al-Mujaadilah : 22). Ayat ini bersifat umum, berlaku bagi setiap
orang kafir yang memerangi maupun tidak memerangi. Wallaahu a’lam”
[Fathul-Baariy, 5/233].
Asy-Syaikh ’Abdul-’Aziz bin Baaz
rahimahullah berkata :
معنى الآية المذكورة عند أهل العلم: الرخصة في
الإحسان إلى الكفار , والصدقة عليهم إذا كانوا مسالمين لنا, بموجب عهد أو أمان أو
ذمة, وقد صح في السنة ما يدل على ذلك, كما ثبت في الصحيح أن أم أسماء بنت أبي بكر
قدمت عليها في المدينة في عهد النبي صلى الله عليه وسلم وهي مشركة تريد الدنيا,
فأمر النبي صلى الله عليه وسلم أسماء أن تصل أمها, وذلك في مدة الهدنة التي وقعت
بين النبي صلى الله عليه وسلم وبين أهل مكة , وصح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه
أعطى عمر جبة من حرير, فأهداها إلى أخ له بمكة مشرك, فهذا وأشباهه من الإحسان الذي
قد يكون سببا في الدخول في الإسلام, والرغبة فيه, وإيثاره على ما سواه, وفي ذلك
صلة للرحم, وجود على المحتاجين, وذلك ينفع المسلمين ولا يضرهم, وليس من موالاة
الكفار في شيء كما لا يخفى على ذوي الألباب والأبصار.
”Makna ayat tersebut[2] menurut para
ulama adalah : keringanan dalam hal berbuat baik kepada orang-orang kafir dan
memberi sedekah kepada mereka jika mereka menyerah kepada kita dengan
menggunakan perjanjian atau jaminan atau dzimmah (suaka politik), dan ada
shahih dalam sunnah yang menunjukkan hal tersebut. Sebagaimana yang ditetapkan
dalam kitab Ash-Shahiih bahwa ibu Asmaa’ bintu Abi Bakr pernah mendatangi
Asmaa’ di Madinah pada masa Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam, padahal ibunya
itu seorang musyrik yang menginginkan dunia. Maka Nabi memerintahkan Asmaa’
untuk menjalin hubungan dengannya[3], dan itu berlangsung selama masa
perdamaian yang terjadi antara Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam dengan
penduduk Makkah. Dan telah shahih dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam
bahwa beliau pernah memberi jubah sutera kepada ’Umar, lalu ’Umar
menghadiahkannya kepada saudaranya di Makkah yang masih musyrik.[4] Hal itu dan
juga contoh-contoh kebaikan lain yang serupa merupakan salah satu bentuk yang
tidak jarang menjadi sebab masuknya orang ke dalam agama Islam atau mencitrakan
baik pada Islam serta pengutamaan Islam atas yang lainnya. Dan hubungan seperti
itu hanya sekedar hubungan nasab yang memberikan manfaat kepada kaum muslimin
dan tidak memberikan mudlarat kepada mereka. Dan bukan pula termasuk sama
sekali dalam pengertian wala’ (loyalitas) terhadap orang-orang kafir,
sebagaimana hal itu sudah tidak asing lagi bagi orang-orang yang berakal”
[Majmuu Fataawaa wa Maqaalaat Ibni Baaz, 1/302-303].
Itulah keluasan dan keadilan Islam.
Keluasan dalam arti bahwa Islam tidak melarang kaum muslimin untuk bermuamalah
dengan kaum kuffar yang tidak memerangi kaum muslimin; baik dalam hubungan
silaturahim dengan anggota keluarga, jual-beli, dan yang lainnya. Keadilan
dalam arti bahwa Islam melarang kaum muslimin untuk berbuat segala macam kedhaliman
kepada mereka yang tidak berbuat dhalim kepada kita, dan membalas segala
kebaikan yang telah mereka lakukan pada kita (dalam batas-batas syari’at).
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam telah bersabda :
إِنَّ الْمُقْسِطِينَ عِنْدَ اللَّهِ عَلَى
مَنَابِرَ مِنْ نُورٍ عَنْ يَمِينِ الرَّحْمَنِ عَزَّ وَجَلَّ وَكِلْتَا يَدَيْهِ
يَمِينٌ الَّذِينَ يَعْدِلُونَ فِي حُكْمِهِمْ وَأَهْلِيهِمْ وَمَا وَلُوا
”Sesungguhnya orang-orang yang berbuat
adil berada di sisi Allah di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya, di
sebelah kanan Ar-Rahman ‘Azza wa Jalla, dan kedua tangan Allah adalah kanan.
Yaitu, orang-orang yang berlaku adil dalam hukum, adil dalam keluarga dan adil
dalam melaksanakan tugas yang dibebankan kepada mereka” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 1827].
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[Abul-Jauzaa’ - perumahan ciomas permai,
ciapus, ciomas, bogor - 16071434/26052013 – 01:39].
[1]
Yaitu bolehnya bermuamalah dan berbuat baik kepada orang-orang kafir
yang tidak memusuhi kaum muslimin atau terikat perjanjian dengan kaum muslimin.
[2]
Yaitu firman Allah ta’ala :
لاّ يَنْهَاكُمُ اللّهُ عَنِ الّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرّوهُمْ
وَتُقْسِطُوَاْ إِلَيْهِمْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
”Allah tiada melarangmu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil” [QS. Al-Mumtahanah : 8].
[3]
Hadits yang dimaksud adalah :
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَتْ: " قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ
فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ: وَهِيَ رَاغِبَةٌ،
أَفَأَصِلُ أُمِّي؟ قَالَ: نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ "
Dari Asmaa’ bintu Abi Bakr radliyallaahu
‘anhumaa, ia berkata : Ibuku pernah datang menemuiku yang waktu itu ia masih
dalam keadaan musyrik (kafir) di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Lalu aku pun meminta fatwa kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Aku berkata : “Ibuku (datang menemuiku) dalam keadaan berharap
kebaikanku (kepadanya). Apakah aku boleh menyambung hubungan dengan ibuku?”.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Iya, sambunglah hubungan
dengan ibumu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2620].
[4]
Hadits yang dimaksud adalah :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ عُمَرَ
بْنَ الْخَطَّابِ رَأَى حُلَّةً سِيَرَاءَ عِنْدَ بَابِ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ: يَا
رَسُولَ اللَّهِ، لَوِ اشْتَرَيْتَ هَذِهِ فَلَبِسْتَهَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ
وَلِلْوَفْدِ إِذَا قَدِمُوا عَلَيْكَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّمَا يَلْبَسُ هَذِهِ مَنْ لَا خَلَاقَ لَهُ فِي
الْآخِرَةِ، ثُمَّ جَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِنْهَا حُلَلٌ فَأَعْطَى عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْهَا
حُلَّةً، فَقَالَ عُمَرُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَسَوْتَنِيهَا وَقَدْ قُلْتَ فِي
حُلَّةِ عُطَارِدٍ مَا قُلْتَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: إِنِّي لَمْ أَكْسُكَهَا لِتَلْبَسَهَا فَكَسَاهَا عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَخًا لَهُ بِمَكَّةَ مُشْرِكًا "
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar : Bahwasannya
‘Umar bin All-Khaththab melihat sebuah pakaian bergaris (yang dijual) di dekat
pintu masjid. Ia berkata : “Wahai Rasululah, jika engkau membeli baju ini lalu
engkau pakai di hari Jum’at dan untuk menerima utusan jika mereka datang
menemuimu”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Orang
yang mengenakan pakaian ini hanyalah orang yang tidak mendapatkan bagiannya di
akhirat”. Kemudian (setelah beberapa saat), Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam diberi pakaian yang sama dan memberikannya kepada ‘Umar bin Al-Khaththab.
Lalu ‘Umar berkata : “Wahai Rasulullah, apakah engkau menyuruhku untuk
memakainya, padahal engkau telah mengatakan dengan apa yang dulu pernah engkau
katakan kepadaku”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Aku
memberimu bukanlah dengan tujuan agar engkau memakainya”. Maka ‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu (menerimanya dan) memberikannya kepada salah
seorang saudaranya yang masih musyrik di Mekkah” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 886].
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2013/05/bolehkah-kita-mencintai-orang-kafir.html?m=0
Diposting oleh Abu Al-Jauzaa'
Apakah ada orang kafir yang baik hati ?
Ada, tidak sedikit. Tentu kita tidak lupa tentang Abu Thaalib, paman Nabi ﷺ. Dirinya telah
mengorbankan segala yang ia miliki untuk membela Nabi ﷺ dari ancaman
orang-orang kafir Quraisy. Akan tetapi di akhir hayatnya ia tetap tidak mau
masuk Islam. Lantas bagaimana nasibnya di akhirat ? Bahagia atau celaka ? Jawab
: celaka.
عن الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ لِلنَّبِيِّ ﷺ: مَا
أَغْنَيْتَ عَنْ عَمِّكَ فَإِنَّهُ كَانَ يَحُوطُكَ وَيَغْضَبُ لَكَ، قَالَ: هُوَ
فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ، وَلَوْلَا أَنَا لَكَانَ فِي الدَّرَكِ الْأَسْفَلِ
مِنَ النَّارِ
Dari Al-'Abbaas bin
'Abdil-Muthallib radliyallaahu 'anhu, ia berkata kepada Nabi ﷺ : “Apakah
engkau bisa memberikan sesuatu kepada pamanmu (Abu Thaalib). Sesungguhnya ia
dulu telah melindungimu dan marah untuk (membela)-mu”. Beliau ﷺbersabda : “Ia berada di pinggir neraka yang
dangkal. Seandainya saja bukan karena aku (syafa’atku), niscaya ia berada di
dalam kerak neraka paling dalam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhariy no. 3883].
Amal kebaikan orang kafir di dunia tidak
akan bermanfaat untuk menyelamatkannya dari siksa neraka. Tokoh wanita kafir
peraih Nobel perdamaian, yang suka menolong orang-orang miskin dan lemah, namun
memurtadkan banyak orang serta memindahkan satu bentuk kekafiran (penyembah
sapi) kepada kekafiran yang lain (penyembah 'Isa'alaihis-salaam dan ibunya[1]); bagaimana nasibnya kelak di akhirat ?.
Jawab : neraka. Ini jawaban dalam perspektif ‘aqidah Islam[2].
Banyak contoh lain yang semisal. Diantara
yang terdapat dalam riwayat adalah sosok Mulaikah, ibu Salamah bin Yaziid
Al-Ju'fiy radliyallaahu 'anhu.
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ يَزِيدَ الْجُعْفِيِّ، قَالَ:
انْطَلَقْتُ أَنَا وَأَخِي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ
قَالَ: قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أُمَّنَا مُلَيْكَةَ كَانَتْ تَصِلُ
الرَّحِمَ، وَتَقْرِي الضَّيْفَ، وَتَفْعَلُ وَتَفْعَلُ، هَلَكَتْ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ، فَهَلْ ذَلِكَ نَافِعُهَا شَيْئًا؟ قَالَ: لَا
Dari Salamah bin Yaziid Al-Ju'fiy, ia
berkata : Aku bersama saudaraku pernah pergi menemui Rasulullah ﷺ. Kami berkata
(kepada beliau ﷺ) : "Wahai
Rasulullah, sesungguhnya ibu kami, Mulaikah, dulu orang yang gemar menyambung
silaturahim, memuliakan tamu, dan berbuat banyak kebaikan. Ia telah meninggal
semasa Jahiliyyah. Apakah kebaikannya tersebut bermanfaat baginya?".
Beliau ﷺ menjawab :
"Tidak" [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/478; shahih].
Dalam riwayat lain dari jalan Ibnu
Mas'uud :
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: جَاءَ ابْنَا
مُلَيْكَةَ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ
فَقَالَا: إِنَّ أُمَّنَا كَانَتْ تُكْرِمُ الزَّوْجَ، وَتَعْطِفُ عَلَى
الْوَلَدِ، قَالَ: وَذَكَرَ الضَّيْفَ غَيْرَ أَنَّهَا كَانَتْ وَأَدَتْ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ، قَالَ: " أُمُّكُمَا فِي النَّارِ "، فَأَدْبَرَا،
وَالشَّرُّ يُرَى فِي وُجُوهِهِمَا، فَأَمَرَ بِهِمَا، فَرُدَّا، فَرَجَعَا
وَالسُّرُورُ يُرَى فِي وُجُوهِهِمَا، رَجِيَا أَنْ يَكُونَ قَدْ حَدَثَ شَيْءٌ،
فَقَالَ: أُمِّي مَعَ أُمِّكُمَا
Dari Ibnu Mas'uud, ia berkata : Dua orang
anak Mulaikah mendatangi Nabi ﷺ. Mereka berkata :
“Sesungguhnya ibu kami semasa hidupnya dulu memuliakan suami dan
berlemah-lembut kepada anak". Kemudian mereka menyebutkan siakp ibunya
terhadap tamu. Namun ibunya tersebut melakukannya pada masa Jahiliyyah (dan
kini telah meninggal). Nabi ﷺ bersabda :
"Ibu kalian di neraka". Maka mereka pergi dan kekecewaan terlihat di
wajah keduanya. Keduanya lalu diperintahkan untuk kembali dan nampak kegembiran
di wajah keduanya. Mereka berharap telah terjadi sesuatu. Namun Nabi ﷺ bersabda :
“Ibuku[3] bersama ibu kalian berdua (di
neraka)" [Diriwayatkan oleh Ahmad 1/398, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no.
1534, dan yang lainnya].
Begitu pula dengan kisah Ibnu Jud'aan
yang meninggal dalam keadaan kafir semasa Jahiliyyah.
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، ابْنُ جُدْعَانَ، كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَصِلُ الرَّحِمَ،
وَيُطْعِمُ الْمِسْكِينَ، فَهَلْ ذَاكَ نَافِعُهُ؟ قَالَ: لَا يَنْفَعُهُ، إِنَّهُ
لَمْ يَقُلْ يَوْمًا: رَبِّ اغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْمَ الدِّينِ
Dari 'Aaisyah, ia berkata : "Wahai
Rasulullah, Ibnu Jud'aan dulu di masa Jahiliyyah selalu menyambung silaturahim
dan memberi makan orang-orang miskin. Apakah itu berguna baginya di akhirat?".
Beliau ﷺ menjawab :
"Tidak akan berguna baginya, karena ia tidak pernah mengucapkan : 'Ya
Allah, ampunilah dosa-dosaku di Hari Pembalasan nanti" [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 214].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
مَعْنَى هَذَا الْحَدِيث : أَنَّ مَا كَانَ
يَفْعَلهُ مِنْ الصِّلَة وَالْإِطْعَام وَوُجُوه الْمَكَارِم لَا يَنْفَعهُ فِي
الْآخِرَة ؛ لِكَوْنِهِ كَافِرًا ، وَهُوَ مَعْنَى قَوْله ﷺ : (
لَمْ يَقُلْ رَبّ اِغْفِرْ لِي خَطِيئَتِي يَوْم الدِّين ) أَيْ لَمْ يَكُنْ
مُصَدِّقًا بِالْبَعْثِ ، وَمَنْ لَمْ يُصَدِّق بِهِ كَافِر وَلَا يَنْفَعهُ عَمَل
“Makna hadits ini : apa saja yang ia
perbuat dahulu berupa menyambung silaturahim, memberi makan (orang-orang
miskin), dan perbuatan mulia tidak bermanfaat baginya di akhirat dikarenakan
dirinya berstatus kafir. Itulah makna sabda beliau ﷺ : ‘Ia tidak
pernah mengucapkan : Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku di Hari Pembalasan nanti’;
yaitu ia tidak membenarkan hari kebangkitan. Dan barangsiapa yang tidak
membenarkan hari kebangkitan, maka ia kafir dan tidak bermanfaat baginya amal
kebaikan (kelak di akhirat)” [Syarh Shahiih Muslim, 3/87].
Allah ﷻ telah
berfirman:
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ
اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ
أَنْصَارٍ
"Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu
seorang penolong pun" [QS. Al-Maaidah : 72].
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ
يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
"Barangsiapa mencari agama selain
agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,
dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi" [QS. Aali 'Imraan :
85].
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ
فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
"Dan Kami hadapi segala amal yang
mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang
berterbangan" [QS. Al-Furqaan : 23].
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَلِقَاءِ
الآخِرَةِ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ هَلْ يُجْزَوْنَ إِلا مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Dan orang-orang yang mendustakan
ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan
mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka
kerjakan" [QS. Al-A'raf : 147].
Al-Qaadliy
'Iyaadl rahimahulah berkata:
وَقَدْ اِنْعَقَدَ الْإِجْمَاع عَلَى أَنَّ
الْكُفَّار لَا تَنْفَعهُمْ أَعْمَالهمْ ، وَلَا يُثَابُونَ عَلَيْهَا بِنَعِيمٍ
وَلَا تَخْفِيف عَذَاب ، لَكِنَّ بَعْضهمْ أَشَدّ عَذَابًا مِنْ بَعْض بِحَسَبِ
جَرَائِمهمْ
"Dan telah terjadi ijmaa'
bahwasannya amal kebaikan orang-orang kafir tidak akan memberikan manfaat bagi
mereka, tidak akan diberikan pahala atasnya berupa kenikmatan dan keringanan
adzab. Akan tetapi sebagian mereka diberikan adzab yang lebih keras dibandingkan
yang lain sesuai dengan kadar kejahatan/dosa mereka" [Syarh Shahiih
Muslim, 3/87].
Allah ﷻ tidak akan
pernah berbuat dhalim terhadap hamba-Nya. Amal kebaikan mereka (orang-orang
kafir) akan Allah ﷻ balas di dunia
dengan lunas, sedangkan di akhirat mereka tak lagi mempunyai kebaikan untuk
dibalas sehingga neraka adalah tempat kembalinya.
Allah ﷻ berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا
وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا
يُبْخَسُونَ * أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ
وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
"Barangsiapa yang menghendaki
kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan
pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan
dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka
dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan
sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan?" [QS. Huud : 15-16].
Nabi ﷺ bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مُؤْمِنًا حَسَنَةً
يُعْطَى بِهَا فِي الدُّنْيَا، وَيُجْزَى بِهَا فِي الْآخِرَةِ، وَأَمَّا
الْكَافِرُ فَيُطْعَمُ بِحَسَنَاتِ مَا عَمِلَ بِهَا لِلَّهِ فِي الدُّنْيَا
حَتَّى إِذَا أَفْضَى إِلَى الْآخِرَةِ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَةٌ يُجْزَى بِهَا
"Sesungguhnya Allah ﷻ tidak
mendhalimi satu kebaikan pun dari seorang mukmin, diberi dengannya di dunia dan
dibalas dengannya di akhirat. Adapun orang kafir, ia diberi makan dengan
kebaikan yang dilakukannya karena Allah di dunia; hingga apabila tiba di
akhirat, dirinya tidak memiliki kebaikan untuk dibalas" [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 2808].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga yang sedikit ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 09032019]
NB : Di bawah adalah cuplikan pemahaman
agama Islam Nusantara yang baru direkayasa seseorang untuk mengakomodasi
penganut agama lain dalam ‘aqidah Islam.
[1] Nasrani
sering mengatakan mereka tidak Maryam (Maria) dan/atau patungnya, akan tetapi
hanya sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah ﷻ dengan
sedekat-dekatnya saja. Maryam/Maria dikultuskan kaum Nasrani (Katolik) dalam
peribadahan mereka. Dalam ‘aqidah Islam, ini adalah kesyirikan sebagaimana
kesyirikan orang-orang musyrik Arab yang difirmankan Allah ﷻ:
أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ
اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى
اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ
يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah
agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung
selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya
mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya".
Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka
berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang
pendusta dan sangat ingkar” [QS. Az-Zumar : 3].
[2] Allah ﷻ berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ
هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
"Sesungguhnya telah KAFIRLAH
orang-orang yang berkata : 'Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra
Maryam" [QS. Al-Maaidah : 17].
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ
ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا
عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Sesungguhnya KAFIRLAH orang-orang
yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga[2]",
padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang
Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti
orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih"
[QS. Al-Maaidah : 73].
[3] Disebutkan
dalam sebuah hadits:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: زَارَ النَّبِيُّ ﷺ
قَبْرَ أُمِّهِ، فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ، فَقَالَ: " اسْتَأْذَنْتُ
رَبِّي فِي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِي
أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي، فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ
الْمَوْتَ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : “(pada
suatu waktu) Nabi ﷺ berziarah ke kubur
ibunya, lalu beliau menangis sehingga orang-orang di sekitar beliau pun ikut
menangis. Beliau ﷺbersabda : “Sesungguhnya aku telah memohon izin
Rabb-ku untuk memintakan ampun untuknya, namun Ia tidak mengizinkanku. Dan aku
meminta izin-Nya untuk menziarahi kuburnya, dan Ia mengizinkanku.
Maka berziarahlah kalian ke kubur, karena itu akan mengingatkan kalian
kepada kematian” [No. 976].
An-Nawawiy rahimahullah berkata
tentang hadits di atas:
فِيهِ جَوَاز زِيَارَة الْمُشْرِكِينَ فِي
الْحَيَاة ، وَقُبُورهمْ بَعْد الْوَفَاة ؛ لِأَنَّهُ إِذَا جَازَتْ زِيَارَتهمْ
بَعْد الْوَفَاة فَفِي الْحَيَاة أَوْلَى ، وَقَدْ قَالَ اللَّه تَعَالَى : { وَصَاحِبْهُمَا
فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا } وَفِيهِ : النَّهْي عَنْ الِاسْتِغْفَار لِلْكُفَّارِ
. قَالَ الْقَاضِي عِيَاض رَحِمَهُ اللَّه : سَبَب زِيَارَته صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْرهَا أَنَّهُ قَصَدَ قُوَّة الْمَوْعِظَة وَالذِّكْرَى
بِمُشَاهَدَةِ قَبْرهَا ، وَيُؤَيِّدهُ قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي آخِر الْحَدِيث : ( فَزُورُوا الْقُبُور فَإِنَّهَا تُذَكِّركُمْ الْمَوْت ) .
“Dalam hadits tersebut terdapat
penjelasan tentang kebolehan untuk menziarahi orang-orang musyrik saat masih
hidup, dan menziarahi kubur mereka setelah meninggal. Hal itu dikarenakan
apabila diperbolehkan untuk menziarahi mereka setelah meninggal, maka ketika
hidup lebih layak untuk kebolehannya. Allah ﷻ telah
berfirman: ‘Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik’ (QS. Luqmaan :
15).
Dalam hadits tersebut juga terdapat
penjelasan tentang larangan untuk memintakan ampun kepada orang-orang kafir.
Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullah berkata : ‘Faktor penyebab ziarahnya
Nabi ﷺ ke kubur ibunya
yaitu karena beliau ﷺ ingin menguatkan
nasihat dan peringatan dengan mengunjungi kuburnya’. Hal tersebut dikuatkan
dengan sabda beliau ﷺyang ada di akhir hadits : ‘Berziarahlah kalian
ke kubur, karena itu akan mengingatkan kalian kepada kematian” [Syarh Shahih
Muslim, 7/45].
Tidak
Boleh Memulai Salam Kepada Orang Kafir
Bismillah.
Terdapat hadis dari sahabat Abu Hurairah
–radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
لا تبدأوا اليهود والنصارى بالسلام، وإذا لقيتم
أحدهم في طريق فاضطروه إلى أضيقه
“Janganlah kamu memulai salam kepada
orang-orang Yahudi dan juga orang Nasrani. Justru, sekiranya kamu berjumpa
dengan mereka di jalan, jangan Anda berikan kepada mereka jalan yang longgar
(sementara anda berada pada posisi sempit)” (HR. Ahmad).
Hadits di atas secara tegas menjelaskan
larangan memulai salam kepada orang kafir.
Meski hadits di atas hanya menyinggung
kaum Yahudi dan Nasrani, namun ini bukan berarti pembatasan. Orang-orang kafir
lainnya; selain Yahudi dan Nasrani, berlaku hukum yang sama dalam hal ini,
yaitu dilarang memulai salam kepada mereka.
Dalam Fatawa Islam no. 3681 diterangkan,
ولا فرق بين أهل الكتاب وغيرهم من الملل من حيث
إنهم كفار ضالون جميعاً، من مات منهم وهو على ما هو عليه من الكفر فهو خالد في
النار أبداً .
“Tidak ada bedanya
antara Ahlulkitab (Yahudi dan Nasrani) dengan penganut agama-agama
lain, dari tinjauan bahwa mereka adalah kafir. Seluruhnya berada pada jalan
yang salah. Siapa di antara mereka yang meninggal dunia, sementara ia masih
berpegang pada keyakinan kufur, dia berada di neraka selamanya.
Bila Mereka yang Memulai Salam?
Ada tiga rincian dan cara menjawabnya,
Pertama, yakin bahwa ucapan ‘salam’
mereka isinya doa buruk kepada kita secara jelas. Maka kita jawab wa
‘alaikum (dan demikian juga bagimu).
Karena Nabi shallallahu’alaihi
wasallam bersabda,
ان اليهود اذا سلموا وقالوا : السام عليكم,
فقولوا : وعليكم
“Orang Yahudi apabila mengucapkan salam
dan mengucapkan as-saamu ‘alaikum (semoga kematian menimpamu), maka jawablah
Wa’alaikum’ (dan demikian juga bagimu)” (HR. Muslim).
As-Saam artinya kematian. Kalimat
ini hampir seirama dengan as-salaam, namun maknanya berbeda jauh.
Karena as-salaam maknanya keselamatan.
Sebenarnya kalau kita jawab
dengan wa ‘alaikumussaam.(semoga kematian menimpamu) itu akan lebih adil.
Namun, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah, beliau hanya
mengajarkan cukup dijawab wa ‘alaikum saja. Di samping itu, seorang
muslim adalah manusia bermartabat dan luhur kedudukannya. Maka ucapan-ucapan
buruk, bukanlah kelas mereka untuk mengucapkannya. Terlebih, jawaban wa
‘alaikum dilihat dari maknanya, itu sudah cukup untuk menjawab.
Kedua, ragu apakah salam mereka berupa
doa baik atau buruk, maka kita jawab dengan jawaban yang sama seperti jenis
pertama, yaitu wa ‘alaikum (dan demikian juga bagimu).
Ketiga, yakin dan jelas, bahwa
mereka mengucap salam dengan salam yang kita kenal, yakni assalamu
‘alaikum… dst. Maka kita jawab dengan jawaban setimpal, yakni wa’alaikumussalam…
Karena Allah memerintahkan dalam
Al-Quran,
وَإِذَا حُيِّيتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا
بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan
suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari
padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)” (QS.
An-Nisa`: 86).
Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah
menjelaskan,
يعني على الأقل ردهاو لكن هل يرد بمثله, يعني غير
المسلم أو أكثر أو أقل؟ أما الأقل فلا يجوز, وأما مثله فجائز, وأما الزيادة فلأظهر
عدم جوازها, لأنه اذا كان لا يجوز أن يبدأه بالسلام فان الزيادة بمنزلة الابتداء,
لأن فيه زيادة اكرام و تعظيم و احترام, اذا يرد عليه بالمثل
“Minimal kita jawab, tapi apakah salam
orang kafir itu kita jawab dengan yang semisal, atau lebih atau kurang?”
Adapun menjawabnya dengan salam yang
kurang (maksdunya tidak setimpal tapi kurang), maka tidak boleh.
Adapun setimpal, hukumnya boleh.
Adapun menjawabnya dengan jawaban yang
lebih baik, maka tampaknya tidak boleh. Karena bila memulai salam kepada mereka
tidak boleh, maka menjawab salam mereka dengan jawaban yang lebih baik, juga
hukumnya sama. Karena dalam hal tersebut terdapat tambahan pemuliaan,
pengagungan dan penghormatan.
Oleh karenanya yang tepat, kita jawab
dengan jawaban yang semisal.
(Lihat: Fathu dzi al-jalal wa al-ikram,
hal. 239).
Penjelasan terkait tiga rincian di atas,
bisa dipelajari di buku Majmu’ Fatawa Ibni ‘Utsaimin jilid ke 3, halaman 36.
Sekian…
Wallahua’lam bis shawab.
Ditulis di: PP. Hamalatulqur’an
Yogyakarta, 16 Muharram 1439 / 06-09-2017
Penulis: Ahmad Anshori
Apakah
Orang Kafir akan Dihisab di Akhirat?
Pada hari kiamat, Allah Ta’ala akan
menampakkan amal baik dan amal buruk seorang hamba untuk memberikan balasan
yang adil (hisab). Para ulama berbeda pendapat, apakah hisab pada hari kiamat
ini berlaku untuk semua manusia, baik muslim ataupun kafir, atau hanya khusus
berlaku untuk orang-orang beriman saja? Para ulama berbeda menjadi dua
pendapat.
Pertama, orang kafir akan dihisab
pada hari kiamat.
Mereka berdalil dengan firman Allah
Ta’ala,
وَلَوْ تَرَى إِذْ وُقِفُوا عَلَى رَبِّهِمْ
قَالَ أَلَيْسَ هَذَا بِالْحَقِّ قَالُوا بَلَى وَرَبِّنَا قَالَ فَذُوقُوا
الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
“Dan seandainya kamu melihat ketika
mereka dihadapkan kepada Tuhannya (tentulah kamu melihat peristiwa yang
mengharukan). Allah berfirman, “Bukankah (kebangkitan) ini benar?” Mereka
menjawab, “Sungguh benar, demi Tuhan kami.” Allah berfirman, “Karena itu
rasakanlah adzab ini, disebabkan kamu mengingkari(nya)” (QS. Al-An’am [6]:
30).
Allah Ta’ala juga berfirman,
إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ (25) ثُمَّ إِنَّ
عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ (26)
“Sesungguhnya kepada Kami-lah mereka
kembali. Kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka” (QS.
Al-Ghasyiyah [88]: 25-26).
Mereka juga berdalil dengan firman Allah
Ta’ala,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آمَنُوا
اتَّبِعُوا سَبِيلَنَا وَلْنَحْمِلْ خَطَايَاكُمْ وَمَا هُمْ بِحَامِلِينَ مِنْ
خَطَايَاهُمْ مِنْ شَيْءٍ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ (12) وَلَيَحْمِلُنَّ
أَثْقَالَهُمْ وَأَثْقَالًا مَعَ أَثْقَالِهِمْ وَلَيُسْأَلُنَّ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ عَمَّا كَانُوا يَفْتَرُونَ (13)
“Dan berkatalah orang-orang kafir kepada
orang-orang yang beriman, “Ikutilah jalan kami, dan nanti kami akan memikul
dosa-dosamu.” Dan mereka (sendiri) sedikit pun tidak (sanggup) memikul
dosa-dosa mereka. Sesungguhnya mereka adalah benar-benar orang pendusta. Dan
sesungguhnya mereka akan memikul beban (dosa) mereka, dan beban- beban (dosa
yang lain) di samping beban-beban mereka sendiri. Dan sesungguhnya mereka akan
ditanya pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka ada-adakan” (QS.
Al-‘Ankabuut [29]: 12-13).
Pendapat Kedua, mereka tidak akan
dihisab pada hari kiamat.
Para ulama yang berpendapat seperti ini
berdalil dengan firman Allah Ta’ala,
كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ
لَمَحْجُوبُونَ
“Sekali-kali tidak. Sesungguhnya mereka
pada hari itu benar-benar tertutup dari (rahmat) Tuhan mereka” (QS.
Al-Muthaffifin [83]: 15).
Maksudnya, orang-orang kafir tidak akan
melihat wajah Allah Ta’ala di akhirat. [1]
Allah Ta’ala berfirman,
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَى عِلْمٍ عِنْدِي
أَوَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَهْلَكَ مِنْ قَبْلِهِ مِنَ الْقُرُونِ
مَنْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُ قُوَّةً وَأَكْثَرُ جَمْعًا وَلَا يُسْأَلُ عَنْ
ذُنُوبِهِمُ الْمُجْرِمُونَ
“Qarun berkata, ‘Sesungguhnya aku hanya
diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku.’ Dan apakah ia tidak mengetahui
bahwa Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat
daripadanya dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya
kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka” (QS.
Al-Qashash [28]: 78).
Mereka juga berdalil dengan firman Allah
Ta’ala,
وَلَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ وَلَا يَنْظُرُ
إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Dan Allah tidak akan berkata-kata dengan
mereka dan tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat. Dan tidak (pula)
akan mensucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih” (QS. Ali ‘Imran [3]:
77).
Mereka berargumentasi bahwa hari kiamat
itu seperti sebuah ujian. Ujian terkadang terdapat pertanyaan dan pembicaraan
secara lisan. Namun, terkadang tidak. Sehingga ayat-ayat di atas tidaklah
bertentangan.
Pendapat yang Terpilih dari Dua Pendapat
Di Atas
Bahwa orang-orang kafir akan dihisab di
akhirat untuk menunjukkan atau menampakkan amal perbuatan mereka dan
membalasnya, sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam surat Al-An’am ayat 30 di
atas. Sebagaimana juga ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala,
يُنَبَّأُ الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ
وَأَخَّرَ
“Pada hari itu diberitakan kepada manusia
apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya.” (QS. Al-Qiyamah
[75]: 13)
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
‘anhuma berkata,
لا يسألون سؤال شفقة ورحمة وإنما يسألون سؤال
تقريع وتوبيخ
“Mereka tidaklah ditanya dalam rangka
belas kasihan atau memberikan rahmat Mereka itu hanyalah ditanya dalam rangka
mencela dan merendahkan mereka, mengapa kalian berbuat seperti ini dan seperti
itu?” [2]
Al-Hasan rahimahullah berkata,
لا يسألون سؤال استعلام وإنما يسألون سؤال تقريع
وتوبيخ
“Mereka tidaklah ditanya dalam rangka
meminta pengakuan (atau persetujuan). Akan tetapi, mereka hanyalah ditanya
dalam rangka mencela dan merendahkan mereka” [3]
Mereka tidaklah dihisab dalam ranka
menampakkan dan meminta pengakuan atas amal baik dan amal buruk, karena
orang-orang kafir tidaklah memiliki amal kebaikan sedikit pun. Allah Ta’ala
berfirman,
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ
فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka
kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang
berterbangan” (QS. Al-Furqan [25]: 23).
Dan di antara faidah dari hisab mereka
pada hari kiamat adalah dilipatgandakannya adzab dan hukuman bagi yang semakin
bertambah kekafirannya, karena neraka itu berlapis-lapis. Allah Ta’ala
berfirman,
الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ
اللَّهِ زِدْنَاهُمْ عَذَابًا فَوْقَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوا يُفْسِدُونَ
“Orang-orang yang kafir dan menghalangi
(manusia) dari jalan Allah, kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas
siksaan (siksaan yang berlipat ganda, pen.) disebabkan mereka selalu berbuat
kerusakan” (QS. An-Nahl [16]: 88).
Wallahu a’lam. [4]
Diselesaikan menjelang maghrib, Rotterdam
NL 24 Sya’ban 1438/20 Mei 2017
Yang senantiasa membutuhkan rahmat dan
ampunan Rabb-nya,
Penulis: Muhammad Saifudin Hakim
Catatan kaki:
[1] Lihat Tafsir Jalalain, 1/797.
[2] Tafsir Al-Baghawi, 4/338.
[3] Tafsir Al-Baghawi, 3/545.
[4] Pembahasan ini diringkas dari kitab Al-Imaan bimaa Ba’dal Maut, hal. 189-192.
https://muslim.or.id/31196-apakah-orang-kafir-akan-dihisab-di-akhirat.html
[1] Lihat Tafsir Jalalain, 1/797.
[2] Tafsir Al-Baghawi, 4/338.
[3] Tafsir Al-Baghawi, 3/545.
[4] Pembahasan ini diringkas dari kitab Al-Imaan bimaa Ba’dal Maut, hal. 189-192.
https://muslim.or.id/31196-apakah-orang-kafir-akan-dihisab-di-akhirat.html
Takut
Dikuasai Kaum Kafir?
Ketakutan dan kekhawatiran itu wajar. Namun tentunya jangan sampai membuat kita
bersikap arogan dan ekstrem. Semuanya harus dihadapi dengan ilmu dan
ketaqwaan. Cobalah rengungi ayat ini:
الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ
قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا
اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“(Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah
dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya
manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah
kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka
menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik
Pelindung“. (Ali Imron: 173)
Imam Abu Ja’far Ath Thobari rahimahullah berkata:
فزادهم ذلك من تخويف من خوَّفهم أمرَ أبي سفيان
وأصحابه من المشركين، يقينًا إلى يقينهم، وتصديقًا لله ولوعده ووعد رسوله إلى
تصديقهم، ولم يثنهم ذلك عن وجههم الذي أمرهم رسول الله صلى الله عليه وسلم بالسير
فيه، ولكن ساروا حتى بلغوا رضوان الله منه،
“Ketika mereka ditakut takuti oleh
seseorang bahwa pasukan Abu Sufyan dan pasukan kaum musyrikin (akan menyerang),
bertambahlah keyakinan mereka, dan semakin membenarkan janji Allah dan
rosulNya, DAN TIDAK MEMBUAT MEREKA BERPALING DARI MELAKSANAKAN PERINTAH ROSUL
untuk berjalan menuju tempat yang telah diperintahkan oleh beliau, namun mereka
tetap berjalan sampai mendapatkan keridloan Allah” (Tafsir Ath Thobari).
Subhanallah…!!
Demikianlah ahli ilmu dan iman. ketakutan
dan kekhawatiran tidak membuat mereka terprovokasi. Tidak juga membuat
berpaling dari perintah Rasul.
Saudaraku..
Kekhawatiran yang ditebar saat ini hadapilah dengan tawakkal dan kembali kepada
Allah. Jangan sampai memalingkan kita dari berilmu dan beramal. Teruslah
istiqomah di atas jalan salafusholeh.
Yakinlah, sehebat apapun makar kaum
kuffar untuk menghancurkan islam pasti akan rapuh di hadapan sabar dan
ketaqwaan. Sebagaimana firman Allah:
وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا لَا يَضُرُّكُمْ
كَيْدُهُمْ شَيْئًا إِنَّ الله بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطٌ
“Dan jika kamu terus bersabar dan
bertaqwa, tidak akan membahayakanmu tipu daya mereka sedikitpun” (Ali
Imron:121).
Tipu daya kaum kafir akan berhasil di
saat kesabaran dan ketaqwaan kita rapuh.
Penulis: Ust.
Badrusalam, Lc.
“Kamu
Tidak Akan Mendapati Suatu Kaum Yang Beriman Kepada Allah Dan Hari Akhir,
Saling Berkasih-Sayang Dengan Orang-Orang Yang Menentang Allah Dan Rasul-Nya
Sekalipun Orang-Orang Itu Adalah Bapak-Bapak Atau Anak-Anak Atau
Saudara-Saudara Atau Keluarga Mereka” [QS. Al-Mujaadalah : 22].
https://lamurkha.blogspot.com/2019/03/kamu-tidak-akan-mendapati-suatu-kaum.html
https://lamurkha.blogspot.com/2019/03/kamu-tidak-akan-mendapati-suatu-kaum.html