Daftar Artikel :
Persatuan
(Lagi)
Rincian
Memanggil dengan kata “Wahai Orang Kafir”
Tahukah
Anda, Apa Yang Paling Dibenci Orang Kafir?
Bukti
Toleransi Islam Terhadap Agama Lainnya
Toleransi
Bukan Berarti Korbankan Akidah
Benarkah
Kata Kafir Digunakan Hanya di Mekkah?
Persatuan (Lagi)
Abu Al-Jauzaa'
Nabi ﷺ bersabda:
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ
الثَّيِّبُ الزَّانِ وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ
لِلْجَمَاعَةِ
“Tidak halal darah seorang muslim yang
bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak untuk diibadai melainkan Allah
dan bersaksi bahwasannya aku adalah utusan Allah; kecuali dengan dengan satu
diantara tiga perkara : (1) orang yang pernah menikah lalu berzina; (2) jiwa
dibalas dengan jiwa, dan (3) orang yang meninggalkan agamanya (murtad), yang
memisahkan diri dari jama’ah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1676].
An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan salah satu
makna al-mufaariqu lil-jamaa'ah dari para ulama:
كل خارج عن
الجماعة ببدعة أو بغي أو غيرهما وكذا الخوارج
"Setiap orang yang keluar dari jama'ah
dengan kebid'ahan, pemberontakan, atau yang lainnya. Begitu juga dengan
Khawaarij" [Syarh Shahiih Muslim, 11/165].
Artinya, perbuatan bid'ah dan berbagai
bentuk pemberontakan yang keluar dari makna mendengar dan taat kepada pemimpin
muslim yang sah; maka itu paradoks dengan makna persatuan, dan persatuan itu
identik dengan jama'ah.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
ومن لم يندفع
فساده في الأرض إلا بالقتل قُتل، مثل المفرق لجماعة المسلمين، والداعي إلى البدع
في الدين. قال تعالى: {من أجل ذلك كتبنا على بني إسرائيل أنه من قتل نفساً بغير
نفس أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعاً} [المائدة: 32]، وفي الصحيح عن
النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: ((إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما)).
وقال: ((من
جاءكم وأمركم على رجل واحد يريد أن يفرق جماعتكم فاضربوا عنقه كائناً من كان))
"Barangsiapa yang kerusakannya di muka
bumi tidak dapat dihentikan kecuali dengan pembunuhan, maka ia (boleh) dibunuh.
Misalnya orang yang memisahkan diri dari jama'ah kaum muslimin dan penyeru
kebid'ahan dalam agama. Allah ta'ala berfirman : 'Oleh karena itu Kami tetapkan
(suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya' (QS. Al-Maaidah : 32).
Dalam kitab Ash-Shahiih dari Nabi ﷺ, beliau bersabda :
'Apabila dua orang khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang paling akhir baiatnya
di antara mereka'. Beliau ﷺ juga bersabda :
'Barangsiapa yang mendatangi kalian sedangkan perkara kalian berkumpul pada
diri satu orang (pemimpin/ulil-amri) yang dirinya itu hendak memecah belah
jama'ah kalian, maka bunuhlah siapapun ia" [Majmuu' Al-Fataawaa,
28/108-109].
Bid'ah serta paham memberontak, enggan
untuk mendengar dan taat (terhadap ulil-amri); bertentangan dengan makna
persatuan.
Apakah kita bermimpi akan terjalin
persatuan dengan orang/kelompok yang keberadaan/eksistensinya justru menjadi
sebab perpecahan umat ?
Benar,
dulu Nabi ﷺ pernah mengadakan
perjanjian dengan orang Yahudi dengan melahirkan beberapa butir kesepakatan
untuk kemaslahatan yang kaum muslimin - yang saat itu masih belum kuat.
Sebagian ulama menjelaskan bahwa kesepakatan dalam perjanjian (Piagam Madinah)
itu dalam konteks ayat:
لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ
الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ
دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ
"Allah
tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil" [QS.
Al-Mumtahanah : 8].
Meski
demikian, bara'ah dan kebencian kaum muslimin terhadap orang kafir dan
kekafirannya tetap ada dan wajib sebagaimana difirmankan Allah ta'ala dalam
ayat:
لاّ تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ
بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الاَخِرِ يُوَآدّونَ مَنْ حَآدّ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ
كَانُوَاْ آبَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
“Kamu
tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya
sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak atau anak-anak atau
saudara-saudara atau keluarga mereka” [QS. Al-Mujaadalah : 22].
Dalam realitas kehidupan sehari-hari pun,
insya Allah terpraktekkan, seperti misal kerjasama kaum muslimin dengan orang
kafir dalam menjaga stabilitas dan keamanan lingkungan (desa, RT, RW), saling
menghormati hak dan tidak saling mengganggu, dan yang semisalnya.
Tolong-menolong dalam mengatasi krisis dan bencana. Banyak ikhwah yang telah
berpartisipasi.
Sama
halnya dengan kerjasama kaum muslimin pada umumnya seperti NU, Muhammadiyyah,
Persis, PKS, HTI, dan yang lainnya. Insya Allah kita hidup rukun dan saling
menghormati (kecuali gerombolan yang sering main
persekusi ngalahin kerja pak polisi). Berkumpul melakukan kerjabakti
bersama, menjadi anggota DKM masjid komplek, menjadi panitia kurban di
lingkungan sekitar, dan hal lainnya. Hubungan muamalah yang baik di kantor, di
pasar, di jalan, dan yang lainnya. Atau bersama-sama menangkal permurtadan
(Kristenisasi).
Sayang
memang, ada yang menginginkan lebih. Persatuan dalam 'aqidah, manhaj, dan
pemikiran. Memang tak vulgar dikatakan, tapi cukup dapat dirasakan.
Mencampurkan yang haq dan yang bathil. Yang bathil disamarkan dengan nama
'khilaf ulama'. Bahkan yang syirik pun dianjurkan agar kita meninjau ulangnya
seperti shalawat nariyyah. Mungkin nanti menyusul qasidah burdah, dan yang
lainnya. Yang bid'ah menjadi bukan bid'ah. Semua akhirnya berbungkus khilaf
ulama. Semua kelompok dianggap benar berlabel al-firqatun-naajiyyah. Apakah ini
ilusi ? Tidak, lha wong saya lihat dan dengar sendiri kok rekamannya. Bahkan
muncul kemudian dagelan istilah 'pengkapling surga'...😀😎. Haloo..... how are you ? Have you been to see
the doctor yet??
Allah ta'ala berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا
تَفَرَّقُوا
"Dan berpeganglah kamu semuanya
kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai" [QS. Aali
'Imraan : 103].
Ath-Thabariy rahimahullah menjelaskan
ayat tersebut:
وتمسَّكوا بدين الله الذي أمركم به، وعهده الذي
عَهده إليكم في كتابه إليكم، من الألفة والاجتماع على كلمة الحق، والتسليم لأمر
الله
“Dan
berpegah teguhlah kepada agama Allah yang telah Allah perintahkan kepada kalian
dengannya, perjanjian-Nya yang telah Allah mandatkan kepada kalian dalam
Kitab-Nya untuk menjalin persahabatan dan persatuan DI ATAS KALIMAT AL-HAQ,
serta tunduk terhadap perintah Allah” [Tafsiir Ath-Thabariy, 7/70].
Ibnu Mas'uud radliyallaahu 'anhu berkata:
إِنَّ هَذَا الصِّرَاطَ مُحْتَضَرٌ، تَحْضُرُهُ
الشَّيَاطِينُ يُنَادُونَ: يَا عِبَادَ اللَّهِ، هَذَا الطَّرِيقُ، فَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ، فَإِنَّ حَبْلَ اللَّهِ الْقُرْآنُ
“Sesungguhnya jalan ini dihadiri para
setan yang menyeru: 'Wahai hamba-hamba Allah, inilah jalanmu.' Oleh karena itu
berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah, sesungguhnya tali Allah itu adalah
Al-Qur'an” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 3317].
Perkataan Ibnu Mas’uud ini serupa dengan
yang ada dalam riwayat:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ:
" خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِﷺ
خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: " هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ "، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا
عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: " هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ
سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ "، ثُمَّ قَرَأَ: وَأَنَّ هَذَا
صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ
بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata :
Rasulullah ﷺ membuatkan kami satu
garis kemudian beliau bersabda : “Ini adalah jalan Allah” Kemudian beliau
menggaris beberapa garis dari sebelah kanan dan sebelah kirinya, lalu beliau ﷺ bersabda : “Ini
adalah jalan-jalan, yang pada setiap jalan tersebut ada setan yang mengajak
kepadanya.” Kemudian beliau membaca ayat “dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini
adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti
jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari
jalan-Nya” (QS. Al-An’am (6) : 153) [Diriwayatkan oleh Ahmad, Ad-Daarimiy,
dll.].
Penjelasan riwayat Ibnu Mas’uud ini
memberikan faedah bagi kita bahwa:
1.
Berpegang pada tali Allah maksudnya adalah berpegang teguh pada
Kitabullah.
2.
Berpegang pada tali Allah adalah dengan menetapi jalan yang lurus
(ash-shiraathul-mustaqiim). Ibnu Mas’uud berkata:
الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ الَّذِي تَرَكَنَا
عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِﷺ
“Maksud
jalan yang lurus adalah jalan yang ditinggalkan Rasulullah ﷺ kepada kami”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani, shahih].
Selaras
dengan sabda Nabi ﷺ :
تفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة،
كلهم في النار إلا ملة واحدة». قالوا: ومن هي يا رسول الله؟ قال: ما أنا عليه
وأصحابي
“Akan
berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golonan. Semuanya masuk neraka
kecuali satu”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah
?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya”.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata:
وهذا الأصل العظيم وهو الإعتصام بحبل الله جميعا
وأن لا يتفرق هو من أعظم أصول الإسلام ومما عظمت وصية الله تعالى به فى كتابه
ومما عظم ذمه لمن تركه من أهل الكتاب وغيرهم ومما
عظمت به وصية النبى فى مواطن عامة وخاصة مثل قوله عليكم بالجماعة فإن يد الله على
الجماعة
“Ini
adalah pokok yang agung, yaitu berpegang teguh semuanya kepada tali Allah dan
agar tidak berpecah-belah. Perkara ini termasuk pokok Islam yang paling agung
dan termasuk wasiat Allah yang besar yang Allah wasiatkan dalam Kitab-Nya;
celaan Allah yang sangat keras terhadap orang yang meninggalkannya (berpegang
teguh terhadap tali Allah) dari kalangan Ahli Kitab dan yang laiunnya; serta
termasuk wasiat Nabi ﷺ yang paling agung dalam
beberapa tempat secara umum maupun khusus, misalnya sabda beliau ﷺ : ‘Wajib atas
kalian berpegang pada Jama’ah, karena tangan Allah di atas Jama’ah” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 22/359].
Intinya, perintah untuk bersatu adalah bersatu
dalam berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman
salaful-ummah. Ini adalah diantara pokok Islam yang paling agung.
Terakhir, ….. kaum muslimin pada prinsipnya
adalah bersaudara, namun mereka diberikan walaa’ dan baraa’ sesuai kadarnya.
Diberikan walaa’ berdasarkan kadar ketaatannya dan kesesuaiannya terhadap
sunnah; serta diberikan baraa’ berdasarkan jenis dan kadar kemaksiatan dan
penyimpangannya dari pokok-pokok Ahlus-Sunnah.
Jika kita ingin persatuan, maka tempuhlah
jalannya dengan menetapi ketauhidan serta berpegang pada Al-Qur’an dan
As-Sunnah berdasarkan pemahaman salaful-ummah. Jangan sekedar berdendang
tentang persatuan namun melupakan jalannya……
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa – dps – 02122017].
Rincian
Memanggil dengan kata “Wahai Orang Kafir”
Memanggil dengan kata-kata “wahai orang kafir” ada rinciannya sesuai dengan keadaan dan hikmahnya. Berikut rinciannya:
1.Menggunakan
panggilan kafir secara umum (tidak menunjuk person tertentu), maka ini ada
contohnya dalam Al-Quran
2.Menggunakan panggilan kepada orang kafir
sebagai panggilan, misalnya “hai kafir, ke sini”, maka ini suatu hal yang tidak
hikmah dan dihindari
3.Menggunakan panggilan kafir kepada seorang
muslim, hal ini tidak boleh sembarangan dan asal-asalan. Hal ini berat
perkaranya dan apabila tidak bisa dibuktikan maka tuduhan kembali kepada si
penyeru pertama
Berikut penjelasannya:
1. Menggunakan panggilan kafir secara
umum (tidak menunjuk person tertentu), maka ini boleh sesuai tuntunan keadaan
Hal ini sebagaimana kita dapati pada ayat
Al-Quran, misalnya surat Al-Kafirun:
Allah Ta’ala berfirman:
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا
أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا
أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5)
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6
Katakanlah, “Hai orang-orang yang kafir,
aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian bukan penyembah apa
yang aku sembah. Dan aku tidak pernah men]adi penyembah apa yang kalian sembah,
dan kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untuk
kalianlah agama kalian, dan untukkulah agamaku.” [QS. Al-Kafirun: 1-6]
2. Menggunakan panggilan kepada orang
kafir sebagai panggilan, misalnya “hai kafir, ke sini”, maka ini suatu hal yang
tidak hikmah dan dihindari
Sebagaimana yang dijelaskan pada Syabakah
Islamiyah asuhan syaikh Abdullah Al-Faqih:
فلا شك أن من لم يكفر الكافر أو يشك في كفره أنه
كافر، وهذا أصل أصيل في الإسلام، إلا أن هذا لا يعني ما ذكره السائل من إسماع
الكافر كونه كافراً، بل الغالب أن ذلك يتنافى مع الحكمة، إذ كيف يقال هذا الكلام
لمن يرجى تأليفه على الإسلام، لا سيما وأن الكافر قد يعتقد أنه على حق، فإسماعه
هذه الكلمة مقتض لتنفيره عن سماع الحق وعن قبوله إياه. ويستثنى من هذا حالة وهي
فيما إذا اقتضت المصلحة الشرعية ذلك، ويغلب أن يكون هذا في حق المعاند،
“Tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa
yang tidak mengkafirkan orang kafir atau meragukan kekafiran mereka maka ia juga
kafir. Ini adalah landasan paling dasar dalam Islam, akan tetapi tidak
sebagaimana yang disebutkan oleh penanya yaitu memperdengarkan seruan
(panggilan) kafir pada orang yang statusnya kafir (misalnya memanggil: hai
kafir), bahkan mayoritasnya panggilan ini bertentangan dengan hikmah. Bagaimana
bisa dikatakan ucapan (panggilan) ini kepada mereka yang diharapkan hatinya
agar cenderung kepada Islam? Lebih-lebih pada orang kafir yang berkeyakinan
bahwa (agama) mereka adalah benar. Memperdengarkan panggilan seperti ini akan
berkonsekuensi membuat manusia lari dari mendengar dan menerima kebenaran.
Dikecualikan hal ini pada keadaan ada mashlahat syar’iyyah, mayoritasnya
dilakukan pada orang-orang yang menentang (ngeyel).” [Syabakah Islamiyyah
no.39380]
3. Menggunakan panggilan kafir kepada
seorang muslim, hal ini tidak boleh sembarangan dan asal-asalan. Berat
perkaranya dan apabila tidak bisa dibuktikan maka kembali kepada si penyeru
pertama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ
فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا
“Apabila seseorang mengatakan kepada
saudaranya (muslim): ‘Wahai Kafir’, maka akan kembali kepada salah satunya.”
[HR. Bukhari & Muslim]
Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa
hadits peringatan bagi seorang muslim agar tidak asal-asalan dan sembarangan
memanggil “hai kafir” kepada saudaranya se-Islam. Beliau berkata,
أن الحديث سيق لزجر المسلم عن أن يقول ذلك لأخيه
المسلم
“Hadits ini terdapat larangan keras bagi
seorang muslim dari memanggil saudaranya yang juga muslim dengan panggilan ini
(hai kafir).” [Fathul Bari 10/481]
Demikian juga syaikh Abdul aziz bin Baz
menjelaskan hadits ini larangan bagi seseorang asal-asalan mengkafirkan
saudaranya. Beliau berkata,
يعني: إذا لم يكن من قيل له ذلك صالحًا لها رجعت
إلى من قالها، فلا يجوز للمسلم أن يكفر أخاه، ولا أن يقول: يا عدو الله ولا يا
فاجر إلا بدليل
“Yaitu apabila saudaranya yang dipanggil
(dituduh) tersebut tidak layak (dipanggil kafir), maka tuduhan akan kembali
kepaanya. Tidak boleh seorang muslim mengkafirkan saudaranya (tanpa kaidah yan
benar). Tidak boleh juga berkata ‘wahai musuh Allah’, ‘wahai fajir’ kecuali
adanya dalil.’ [Fatwa syaikh bin Baz no. 17189]
Penyusun: Raehanul Bahraen
https://muslim.or.id/45464-rincian-memanggil-dengan-kata-wahai-orang-kafir.html
Semenjak kemunculan
paham agama Islam Nusantara, ‘aqidah Islam terancam dirusak dari dalam.
Permisivisme terhadap praktek-praktek non-syari’at dengan dalih mengakomodasi
kultur/budaya lokal mulai gencar dilakukan. Seperti misal pembelaan praktek
pemberian sesajen alaHindu dan animisme, ritual mapag Dewi Sri,
nyadran, dan yang lainnya dari praktek-praktek bermuatan kesyirikan[1]. Sekat-sekat yang membatasi
muslim dan kafir secara sistematis ingin di-uninstall. Dikatakan, semua
agama mempunyai kesempatan masuk surga. Dalam kesempatan lain, istilah kafir
harus dihilangkan dalam lisan warga muslim Indonesia dan digantikan dengan
‘warga negara non-muslim’; sebagaimana terkutip dalam (inti) hasil pertemuan
naas sebuah ormas beberapa waktu lalu. (Herannya), dibela pula oleh tokoh agama
lulusan S3 Timur Tengah yang namanya pernah tersebut dalam kasus dugaan korupsi
pertambangan yang ditangani KPK. Bak gayung bersambut, assist ‘fatwa’
yang diberikan ormas tersebut disambut gembira ria banyak oknum yang dikenal
anti-syari’at Islam.
Diantara celoteh mereka
dari kalangan partisan : “….Kafir adalah
terminologi Qurani, namun siapa yg kafir, tersesat, siapa yg paling beriman,
ini yg paling tahu hanya Tuhan, yg bisa kita lakukan melawan pengkafiran di
ruang publik…… Dorong saja aturan klau pengkafiran itu masuk dlm ujaran
kebencian (hate speech), saya akan berjuang unt ini”. Siap-siap saja
orang yang mengatakan ‘kafir’ akan dituntut masuk bui. Sudah ada pihak yang
berkeinginan mewujudkannya. Tidak cukup itu. Orang PGI yang tidak paham
syari’at Islam urun bicara. Mereka merasa senang dan memberi dukungan. Ada pula
pihak yang siap meneror secara psikis. Kalau ada yang bilang kafir lagi, dapat
ganjaran tempeleng tangan. Lengkap sudah perangkatnya. Ada juru fatwanya, ada
intelektual agama pembelanya, ada (persiapan) perangkat politiknya, dan ada
tukang pukulnya.
Lantas, apa sih sebenarnya
makna kafir itu ? Siapa saja yang termasuk orang kafir ? Dan apakah orang kafir
selamat masuk surga ?
Kafir dalam Kamus
Bahasa Indonesia terdefinisi sebagai berikut:
kafir
: n tidak percaya kpd Allah dan Rasul-Nya
[Kamus Bahasa
Indonesia, hal. 657; Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Cet. Thn.
2008].[2]
Kafir (كافر) adalah
isim faa’il dari kata kafara (كَفَرَ) – kafara,
yakfuru, kufran wa kufraanan. Jamaknya kuffaar (كُفَّارٌ).
Kata kafara secara bahasa artinya ‘menutupi’. Petani
disebut kaafir (dengan bentuk jamak kuffaar)
karena ia menggali benih di tanah lalu menutupinya, sebagaimana terdapat dalam
firman Allah ﷻ:
كَمَثَلِ غَيْثٍ
أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ
“Seperti hujan yang
tanam-tanamannya mengagumkan para petani” [QS. Al-Hadiid : 20].
Adapun secara istilah,
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan:
والكفر هو عدم الايمان سواء كان معه تكذيب أو
إستكبار أو إباء أو إعراض فمن لم يحصل فى قلبه التصديق والانقياد فهو كافر
“Kufur adalah ketiadaan
iman kepada Allah dan Rasul-Nya, baik dengan pendustaan, kesombongan,
penolakan, atau berpaling[3]. Maka barangsiapa yang
tidak didapatkan dalam hatinya tashdiiq (pembenaran) dan inqiyaad (ketundukan),
maka ia kafir” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/639].
Begitu pula Ibnu
Hazm rahimahullah yang berkata:
الجحد لشيء مما صح البرهان أنه لا إيمان إلا
بتصديقه كفرٌ ، والنطق بشيء من كل ما قام البرهان أن النطق به كفرٌ كفر ، والعمل
بشيء مما قام البرهان بأنه كفرٌ كفر
“Mengingkari sesuatu
yang telah shahih petunjuk/dalilnya bahwa tidak ada keimanan melainkan dengan membenarkannya;
adalah kekufuran. Mengucapkan sesuatu yang telah ada petunjuk/dalil bahwa
mengucapkannya merupakan kekufuran; adalah kekufuran. Mengamalkan sesuatu yang
telah ada petunjuk/dalil bahwa mengamalkannya merupakan kekufuran; adalah
kekufuran” [Al-Fash, 3/256].
Kekufuran adalah lawan
dari keimanan. As-Suyuuthiy rahimahullah berkata:
ما كان تركه كفرا ، ففعله إيمان ، وما لا فلا
“Segala sesuatu yang
dengan meninggalkannya disebut kekufuran, maka mengerjakannya adalah keimanan.
Dan apa saja yang tidak demikian, maka tidak pula demikian” [Al-Asybah wan-Nadhaair].
So, di sini jelas. Dalam konteks agama Islam secara
global, barangsiapa yang tidak beriman dengan pokok-pokok syari’at Islam, maka
kafir hukumnya. Karena itu, dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa golongan
orang-orang kafir, diantaranya:
1. Orang Musyrik Penyembah Berhala
Allah ﷻ berfirman:
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى
اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ أُولَئِكَ يَنَالُهُمْ نَصِيبُهُمْ مِنَ
الْكِتَابِ حَتَّى إِذَا جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا يَتَوَفَّوْنَهُمْ قَالُوا أَيْنَ
مَا كُنْتُمْ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالُوا ضَلُّوا عَنَّا وَشَهِدُوا
عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِينَ
"Maka siapakah
yang lebih dhalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah atau
mendustakan ayat-ayat-Nya? Orang-orang itu akan memperoleh bahagian yang telah
ditentukan untuknya dalam Kitab (Lauh Mahfudh); hingga bila datang kepada
mereka utusan-utusan Kami (malaikat) untuk mengambil nyawanya, (di waktu itu)
utusan Kami bertanya: "Di mana (berhala-berhala) yang biasa kamu sembah
selain Allah?" Orang-orang musyrik itu menjawab: "Berhala-berhala itu
semuanya telah lenyap dari kami," dan mereka mengakui terhadap diri mereka
bahwa mereka adalah ORANG-ORANG YANG KAFIR" [QS. Al-A'raaf : 37].
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ
مِنْ دُونِهِ لا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ إِلا كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى
الْمَاءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ بِبَالِغِهِ وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ
إِلا فِي ضَلالٍ
“Hanya bagi
Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka
sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka,
melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air
supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya.
Dan doa (ibadah) ORANG-ORANG KAFIR itu, hanyalah sia-sia belaka” [QS.
Ar-Ra’d : 14].
ثُمَّ قِيلَ لَهُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
تُشْرِكُونَ * مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالُوا ضَلُّوا عَنَّا بَلْ لَمْ نَكُنْ
نَدْعُو مِنْ قَبْلُ شَيْئًا كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ الْكَافِرِينَ
“Kemudian dikatakan
kepada mereka: "Manakah berhala-berhala yang selalu kamu persekutukan
(yang kamu sembah) selain Allah?" Mereka menjawab: "Mereka telah
hilang lenyap dari kami, bahkan kami dahulu tiada pernah menyembah
sesuatu". Seperti demikianlah Allah menyesatkan ORANG-ORANG KAFIR”
[QS. Al-Mu’min : 73-74].
Dikarenakan kekafiran
mereka, maka tempat kembalinya adalah neraka, sebagaimana perkataan
Ibraahiim ‘alaihis-salaam terhadap kaumnya:
وَقَالَ إِنَّمَا اتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِ
اللَّهِ أَوْثَانًا مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَيَلْعَنُ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
“Dan berkata
Ibrahim: "Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah
adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan
dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang
lain) dan sebahagian kamu mela'nati sebahagian (yang lain); dan tempat
kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun”
[QS. Al-Ankabuut : 25].
2. Orang Kristen (Nasrani)
Allah ﷻ berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ
اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
"Sesungguhnya
telah KAFIRLAH orang-orang yang berkata : 'Sesungguhnya Allah itu ialah Al
Masih putra Maryam" [QS. Al-Maaidah : 17].
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ
اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ
يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ
أَلِيمٌ
"Sesungguhnya
KAFIRLAH orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari
yang tiga[4]",
padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang
Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti
orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih"
[QS. Al-Maaidah : 73].
قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ
هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ إِنْ عِنْدَكُمْ
مِنْ سُلْطَانٍ بِهَذَا أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ * قُلْ
إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ * مَتَاعٌ
فِي الدُّنْيَا ثُمَّ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ ثُمَّ نُذِيقُهُمُ الْعَذَابَ
الشَّدِيدَ بِمَا كَانُوا يَكْفُرُونَ
"Mereka
(orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak".
Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujah tentang ini. Pantaskah
kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?. Katakanlah:
"Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah
tidak beruntung". (Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian
kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang
berat, disebabkan KEKAFIRAN mereka" [QS. Yuunus : 68-70].
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا *
لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا * تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ
وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا * أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ
وَلَدًا * وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا * إِنْ كُلُّ مَنْ
فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آَتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا
"Dan mereka
berkata: "Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak".
Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang SANGAT MUNGKAR,hampir-hampir
langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung
runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan
tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada
seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha
Pemurah selaku seorang hamba" [QS. Maryam: 88-93].
Kemana tempat kembali
mereka ?. Jawab : Neraka. Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ
الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ
هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
"Sesungguhnya
orang-orang KAFIR yakni AHLI KITAB dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke
neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk
makhluk" [QS. Al-Bayyinah : 6].
Ahli kitab adalah
orang-orang Nasrani dan Yahudi[5].
3. Orang (Beragama) Yahudi
Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ لا يَحْزُنْكَ
الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آمَنَّا
بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ وَمِنَ الَّذِينَ هَادُوا
سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُونَ لِقَوْمٍ آخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ يُحَرِّفُونَ
الْكَلِمَ مِنْ بَعْدِ مَوَاضِعِهِ يَقُولُونَ إِنْ أُوتِيتُمْ هَذَا فَخُذُوهُ
وَإِنْ لَمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا
"Hai Rasul,
janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera
(memperlihatkan) KEKAFIRANNYA, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan
dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum
beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat
suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan
orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka mengubah
perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan:
"Jika diberikan ini (yang sudah diubah-ubah oleh mereka) kepada kamu, maka
terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah"
[QS. Al-Maaidah : 41].
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ
الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ
مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ
أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا
لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلا يُؤْمِنُونَ
إِلا قَلِيلا
"Yaitu
orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka
berkata: "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan
(mereka mengatakan pula): "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak
mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): "Raa`ina", dengan
memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: "Kami
mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami", tentulah itu
lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka,
karena KEKAFIRAN mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis"
[QS. An-Nisaa' : 46].
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ
وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ
بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ
اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
"Orang-orang
Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang Nasrani berkata:
"Al Masih itu putera Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan
mulut mereka, mereka meniru perkataan ORANG-ORANG KAFIR yang terdahulu.
DILAKNATI Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?" [QS
At-Taubah : 30].
قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ
هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ إِنْ عِنْدَكُمْ
مِنْ سُلْطَانٍ بِهَذَا أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Mereka (orang-orang
Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah;
Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada
di bumi. Kamu tidak mempunyai hujah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan
terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” [QS. Yuunus : 68].
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا
مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لأوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ
يَخْرُجُوا وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ
فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ
يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا
يَا أُولِي الأبْصَارِ
“Dia-lah yang
mengeluarkan ORANG-ORANG KAFIR di antara Ahli Kitab dari kampung-kampung mereka
pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan
keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat
mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada
mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah
mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah
mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka
ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai
pandangan” [QS. Al-Hasyr : 2].
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا
يَقُولُونَ لإخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ
أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِنْ
قُوتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
“Apakah kamu tiada
memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka
yang KAFIR dari kalangan Ahli Kitab: ‘Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya
kami pun akan keluar bersama kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada
siapa pun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan
membantu kamu’. Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar
pendusta” [QS. Al-Hasyr : 11].
Sama nasibnya dengan
orang Nasrani dan orang kafir lainnya, orang Yahudi masuk neraka. Dalilnya QS.
Al-Bayyinah ayat 6 yang telah disebutkan di atas.
Jelas sekali
penunjukkan ayat-ayat di atas akan kekafiran orang penyembah berhala, Nasrani
(Kristen), dan Yahudi.
Kita harus
meyakini satu-satunya agama yang benar adalah Islam. Selain
Islam, pasti kafir. Barangsiapa yang memilih agama selain Islam, maka
termasuk orang yang merugi di akhirat. Siapa yang bilang ?. Allah ﷻ dan
Rasul-Nya ﷺ. Saya hanya menukil dan
mengimaninya (karena pasti benar).
Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
“Sesungguhnya agama
(yang diridlai) di sisi Allah hanyalah Islam” [QS. Aali ‘Imraan : 19].
Qataadah bin
Di’aamah rahimahumallah ketika menjelaskan ayat tersebut
berkata:
وَالإِسْلامُ: شَهَادَةُ أَنَّ لا إِلَهَ إِلا
اللَّهُ، وَالإِقْرَارُ بِمَا جَاءَ بِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ، وَهُوَ دِينُ
اللَّهِ الَّذِي شَرَّعَ لِنَفْسِهِ، وَبَعَثَ بِهِ رُسُلَهُ، وَدَلَّ عَلَيْهِ
أَوْلِيَاءَهُ، لا يَقْبَلُ غَيْرَهُ وَلا يَجْزِي إِلا بِهِ
“Dan Islam itu adalah
persaksian bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah ﷻ dan
menetapkan syari’at yang datang dari sisi Allah ﷻ. Itulah
agama Allah ﷻ yang disyari’atkan oleh
diri-Nya, yang Allah ﷻ utus dengannya para
Rasul-Nya, dan Allah memberikan petunjuk dengannya para kekasih-Nya. Allah
tidak menerima agama selain Islam dan tidak memberikan pahala melainkan
dengannya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy 5/281-282; shahih].
Allah ﷻ berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا
فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari
agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)
daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” [QS. Aali
‘Imraan : 85].
Rasulullah ﷺ bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ
بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ
وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwa
Muhammad berada di Tangan-Nya. Tidaklah ada seorang pun dari umat ini yang
mendengar tentangku, baik Yahudi maupun Nasrani, kemudian ia meninggal dalam
keadaan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya, kecuali ia termasuk
penduduk neraka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 153].
Apa nggak capek
tangan Anda nempeleng jutaan orang yang mengatakan kafir dan
orang-orang kafir pasti masuk neraka dengan membaca ayat-ayat dan riwayat di
atas dalam ceramah dan nasihat/taushiyyah mereka ?. Apa itu nggak ekuivalen
dengan rasa kesal karena firman Allah ﷻ dan
sabda Rasulullah ﷺ ?. Apa nggak takut
dosa karena rasa marah dan kesal terhadap firman Allah ﷻ dan
sabda Rasulullah ﷺ ?.
Kemudian,…… ada
seseorang yang kasih ceramah beberapa waktu lalu dengan potongan transkrip
sebagai berikut:
"….Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Mekkah, yaitu
untuk memberi, menyebut nama orang-orang penyembah berhala, paganis, yang tidak
memiliki kitab suci, tidak memiliki agama yang benar. Animism boleh dikata.
Agnostik. Klenik. Tapi setelah Nabi Muhammad hijrah ke Kota Madinah, tidak ada
istilah kafir untuk warga negara Madinah yang non muslim. Ada tiga suku non
muslim, (yaitu) suku Bani Qainuqa', Bani Quraidlah, wan-Nadhiir...disebut
non-muslim. Tidak disebut kafir. Ini harus kita jelaskan secara
ilmiah...."
[selesai kutipan]
Ditambah lagi
halusinasi seseorang yang berkata:
“Maka, saat hijrah, Rasul Shallallahu Alayhi Wasallam
menyepakati piagam bernegara bersama seluruh komponen di Madinah.
Dalam piagam itu ada hak dan kewajiban yang sama. Kata kafir
tidak digunakan dalam piagam itu untuk menyebut kelompok-kelompok Yahudi yang
ikut dalam kesepakatan itu. Karena piagam Madinah bukan tentang prinsip akidah
tapi tentang membangun ruang bersama untuk semua….”
[selesai kutipan]
Omongan ndabul alias
dusta.
Ayat-ayat di atas sebagai
bantahannya. QS. An-Nisaa', Al-Maaidah, At-Taubah, Al-Hasyr, dan Al-Bayyinah
termasuk Madaniyyah (turun di Madinah), sehingga dipahami bahwa konteks
KEKAFIRAN Yahudi dan Nasrani (Kristen) di situ mencakup Yahudi dan Nasrani
penduduk Madinah. Selain itu, kekafiran tidak disebabkan faktor geografis, akan
tetapi disebabkan ‘aqidah dan amalan kekafiran yang dimiliki pelakunya.
Bagaimana tidak
dikatakan KAFIR kepada orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya
serta syari’at yang beliau ﷺ bawa[6],
tidak beriman kepada Al-Qur’an[7],
merubah ayat-ayat Allah, berbuat kesyirikan, dan mengakui Allah ﷻ mempunyai
anak ?.
Tentang QS. Aali
‘Imraan ayat 12:
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ
وَتُحْشَرُونَ إِلَى جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
“'Katakanlah kepada
orang-orang yang KAFIR: Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan
digiring ke dalam neraka Jahanam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya”
maka ‘Aashim bin ‘Umar
bin Qataadah rahimahullah (w. 126/127 H) – ulama taabi’iinyang
sangat menguasai ilmu maghaaziy – menjelaskan:
لَمَّا أَصَابَ اللَّهُ قُرَيْشًا يَوْمَ
بَدْرٍ، جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَهُودَ فِي
سُوقِ بَنِي قَيْنُقَاعَ، ثُمَّ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَقَالَ: " يَا
مَعْشَرَ يَهُودٍ أَسْلِمُوا قَبْلَ أَنْ يُصِيبَكُمُ اللَّهُ بِمِثْلِ مَا
أَصَابَ بِهِ قُرَيْشًا، قَالُوا لَهُ: يَا مُحَمَّدُ لا يَغُرَّنَّكَ مِنْ
نَفْسِكَ أَنْ قَتَلْتَ نَفَرًا مِنْ قُرَيْشٍ كَانُوا أَعْمَارًا لا يَعْرِفُونَ
الْقِتَالَ، إِنَّكَ وَاللَّهِ لَوْ قَاتَلْتَنَا لَعَرَفْتَ أَنَّا نَحْنُ
النَّاسَ، وَأَنَّكَ لَمْ تَلْقَ مِثْلَنَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ ﷻ
فِي ذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِمْ قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ وَتُحْشَرُونَ
إِلَى جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمِهَادُ إِلَى قَوْلِهِ: لَعِبْرَةً لأُولِي
الأَبْصَارِ "
“Ketika Allah ﷻ memberikan
kekalahan kepada kaum Quraisy pada perang Badr, Rasulullah ﷺ (memerintahkan
untuk) mengumpulkan orang-orang Yahudi di pasar Bani Qainuqaa’. Kemudian beliau
tiba di Madinah lalu bersabda : ‘Wahai orang-orang Yahudi, masuklah ke agama
Islam sebelum Allah menimpakan kepada kalian kekalahan semisal yang menimpa
orang-orang Quraisy’. Mereka berkata kepada beliau ﷺ :
‘Wahai Muhammad, janganlah tertipu dengan dirimu sendiri karena engkau telah
membunuh sekelompok orang-orang Quraisy. Mereka adalah orang-orang yang tidak
berpengalaman lagi tidak mengerti tentang peperangan. Sesungguhnya jika engkau
memerangi kami – demi Allah –, niscaya engkau akan tahu bahwa kami adalah
ahlinya, dan engkau pun akan tahu bahwa engkau belum pernah menemui orang
sehebat kami (di medan perang)’. Maka Allah ﷻ menurunkan
ayat terkait perkataan mereka :'Katakanlah kepada orang-orang yang KAFIR:
Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka
Jahanam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya. Sesungguhnya telah ada tanda
bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan
berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata
kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah
menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada
yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati’ (QS.
Aali 'Imraan : 12)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya
no. 3234; sanadnya hasan hingga ‘Aashim[8]].
Ibnu Ishaaq rahimahullah –
ulama ahli sejarah – menetapkannya juga sebagaimana diriwayatkan oleh
Ibnul-Mundzir dalam Tafsiir-nya no. 272 dengan sanad hasan.
Intinya, QS. Aali
'Imraan ayat 12 berbicara kepada orang-orang KAFIR dari kalangan Yahudi Madinah.
Juga tentang ayat:
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا
مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لأوَّلِ الْحَشْرِ
“Dia-lah yang
mengeluarkan ORANG-ORANG KAFIR di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka
pada saat pengusiran kali yang pertama” [QS. Al-Hasyr : 2]
Mujaahid bin Jabr
Al-Makkiy dan Qataadah bin Di’aamah rahimahumallah menjelaskan
ayat tersebut berkenaan dengan Yahudi Bani Nadliir [Diriwayatkan oleh
Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 22/497; sanadnya shahih dari
perkataan Mujaahid dan Qataadah]. Inilah yang dikuatkan oleh Ath-Thabariy rahimahullah [idem,
22/496-497].
Tentang piagam Madinah,
ada statement yang menetapkan eksistensi kata “kafir” di
dalamnya.
Muhammad bin Musim bin
Syihaab Az-Zuhriy rahimahullah meriwayatkan sebagian butir
kesepakatan dalamn Piagam Madinah itu sebagai berikut:
لا يَقْتُلُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنًا فِي كَافِرٍ،
وَلا يَنْصُرُ كَافِرًا عَلَى مُؤْمِنٍ
“Seorang mukmin tidak
boleh membunuh mukmin yang lain karena pembunuhan terhadap ORANG KAFIR, dan
tidak boleh menolong ORANG KAFIR untuk membunuh orang mukmin….” [Diriwayatkan
oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Al-Amwaal no. 518 dan Ibnu
Zanjuuyah dalam Al-Amwaal no. 750 dengan sanad shahih sampai
Az-Zuhriy].
Ibnu Ishaaq rahimahullah juga
meriwayatkannya sebagaimana disebutkan dalam‘Uyuunul-Atsar oleh
Ibnu Sayyidin-Naas Al-Ya’muriy, 1/318.
So, Yahudi dan Nasrani dalam perspektif syari’at
dinamakan KAFIR, baik sebelum atau setelah Nabi ﷺ hijrah
ke Madinah, sampai hari ini dan sampai hari kiamat.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
واتفقوا على تسمية اليهود والنصارى كفارًا
"Para ulama
sepakat dalam penamaan Yahudi dan Nasrani (Kristen) sebagai orang-orang kafir”
[Maraatibul-Ijmaa’, hal. 119 – melalui perantaraan Muhammad
‘Imaarah fii Miizaani Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah hal. 377].
Al-Ghazaaliy rahimahullah berkata:
اليهود والنصارى وأهل الملل كلهم من المجوس
وعبدة الأوثان وغيرهم، فتكفيرهم منصوص عليه في الكتاب ومجمع عليه بين الأمة
“Yahudi, Nasrani (Kristen),
serta semua penganut agama lain dari kalangan Majusi, penyembah berhala, dan
yang lainnya; maka pengkafiran terhadap mereka termaktub dalam nash-nash
Al-Qur’an dan disepakati oleh umat Islam” [Al-Iqtishaad fil-I’tiqaad –
melalui perantaraan As-Sabiilu fii Ushuulil-Fiqh, 1/77].
Syaikhul-Islaam Ibnu
Taimiyyyah rahimahullah berkata:
فإن اليهود والنصارى كفار كفرا معلوما
بالإضطرار من دين الإسلام
“Sesungguhnya Yahudi
dan Nasrani (Kristen) adalah orang-orang kafir, dengan kekufuran yang diketahui
secara pasti dalam agama Islam” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 35/201].
Sekali lagi
: Statusnya kafir, dinamakan kafir, dan wajib dikafirkan; berlaku semenjak
zaman Nabi ﷺ hingga hari kiamat kelak.
Tidak akan pernah berubah.
Lantas ada sebagian
orang tergopoh-gopoh bikin 'noise' bahwa pembelaan
fatwa/rekomendasi (nyleneh) tersebut untuk menghindari konflik dalam pergaulan
sosial akibat panggilan seorang muslim kepada temannya yang Kristen, Katolik,
Hindu, Budha, dan Konghucu: “Hai kafir !!”.
Ini adalah halusinasi
yang terlalu berlebihan. Adakah kita dalam keseharian memanggil saudara kita
(jika ada)[9],
kolega/rekan kita, atasan-bawahan kita yang beragama bukan Islam dengan : “Hai
kafir, saya mau kasih kamu sesuatu. Hai kafir, ke sini dong. Hai kafir, saya
mau pergi….dst”. Mereka memanggil dengan namanya, atau dengan awalan “Bapak,
Ibu, Mas, Mbak, Teteh, Akang, Koh, Bli, Mbok,… dan yang lainnya. Ini
realitas umum yang tidak dikarang-karang.
Saya belum pernah
menemukan ustadz atau ulama yang mengajarkan untuk memanggil dalam pergaulan
sehari-hari dengan ‘hai kafir’, walaupun ‘aqidah/keimanan mereka memang
kafir. Kalaupun ada, sudah pasti ini outlier yang tidak boleh
dijadikan sarana generalisasi. Disamping menegaskan KEKAFIRAN orang yang
beragama selain Islam (dan kita memang harus meyakini dan mengikrarkannya),
Al-Qur’an dan hadits tak luput menjelaskan bagaimana cara berinteraksi dengan
orang-orang kafir non-Islam. Akan saya contohkan….
Tahu Fir’aun kan ?.
Itu,…. orang yang mengaku tuhan dan berbuat kerusakan di muka bumi.
Allah ﷻ berfirman:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا الْمَلأ مَا
عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي
“Dan berkata Firaun:
‘Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku” [QS.
Al-Qashshash : 38].
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلا فِي الأرْضِ وَجَعَلَ
أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ
وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
“Sesungguhnya
Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya
berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak
laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya
Firaun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan” [QS. Al-Qashshash : 4].
Tapi apa yang
diperintahkan Allah ﷻ kepada Musa ‘alaihis-salaam saat
Ia memerintahkannya untuk berkomunikasi dengannya dalam rangka meluruskan dan
mendakwahinya ?. Allah ﷻ berfirman (kepada
Musa ‘alaihis-salaam):
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى *
فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
“Pergilah kamu
berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
mudah-mudahan ia ingat atau takut” [QS. Thaha : 43-44].
Allah ﷻ juga
menceritakan kisah Nuuh ‘alaihis-salaam ketika memanggil
anaknya yang tidak menyambut seruan dakwahnya untuk naik ke atas kapal:
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ
كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ
مَعَنَا وَلا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ
“Dan bahtera itu
berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil
anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Wahai
anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama
orang-orang yang kafir” [QS. Huud : 42].
Nuuh ‘alaihis-salaam tetap
memanggil anaknya dengan seruan kasih sayang : yaa bunayya (wahai
anaku), bukan “hai kafir, naiklah ke atas kapal”.
Begitu pula dengan cara
berkomunikasi Ibraahiim ‘alaihis-salaam kepada ayahnya, Azhar,
yang menyembah berhala. Allah ta’ala berfirman:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ
إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا * إِذْ قَالَ لأبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ
مَا لا يَسْمَعُ وَلا يُبْصِرُ وَلا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا * يَا أَبَتِ إِنِّي
قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا
سَوِيًّا * يَا أَبَتِ لا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ
لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا * يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ
الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا
“Ceritakanlah (Hai
Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia
adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia
berkata kepada bapaknya: ‘Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang
tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolongmu sedikitpun.Wahai
bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang
tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu
jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan.
Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai
bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang
Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan” [QS. Maryam: 41-42].
Ibraahiim tidak menyebut
‘Wahai kafir’, akan tetapi panggilan penuh adab yaitu yaa abati (wahai
ayahku). Bersamaan dengan itu, Ibraahiim tetap menganggap ayahnya adalah orang
yang sesat, sebagaimana firman Allah ﷻ tentang
doa Ibraahiim ‘alaihis-salaam:
وَاغْفِرْ لأبِي إِنَّهُ كَانَ مِنَ
الضَّالِّينَ
“Dan ampunilah
bapakku[10],
karena sesungguhnya ia adalah termasuk golonganorang-orang yang sesat” [QS.
Asy-Syu’araa’ : 86].
Tentu ini berbeda
konsep dengan Islam Liberal dan agama Islam Nusantara yang hendak berdalih
dengan masalah komunikasi untuk mengeliminasi pengakuan kekafiran dalam lisan
seorang muslim terhadap penganut agama lain. Hendak membungkam lisan kita untuk
menyatakan kekafiran orang yang beragama selain Islam.
Kalaupun ada sebagian
orang yang dalam kesehariannya memanggil temannya yang tidak beragama Islam
dengan “Hai kafir, ke sini” dan yang semisal dengan perkataan ini; saya
yakin sedikit jumlahnya. Dan kebanyakan dari yang sedikit itu justru
ditimbulkan akibat konflik sosial lain sehingga memanas (timbul kemarahan,
emosi) bermuara pada sentimen keagamaan. Juga debat-debat di dunia maya antar umat
beragama saling caci-maki yang mayoritasnya menggunakan akun anonim.
Kalaupun mau mengatur,
aturlah masalah ketertiban umum dan kerukunan bersama di luar masalah yang
telah diatur/ditetapkan oleh agama. Tidak usah sok-sokan menjadi
pahlawan ingin merubah aturan agama dengan dalih menjaga toleransi kebhinekaan.
Allah ﷻ yang menciptakan manusia
(jauh) lebih tahu kemaslahatan ciptaan-Nya. Dan kenyataannya, dari semenjak
zaman Nabi ﷺ, para sahabat, taabi’iin, atbaa’ut-taabi’iin,
imam yang empat, para ulama Ahlus-Sunnah setelahnya, dan masyarakat Islam
secara umum tidak ada masalah dengan kata ‘kafir’ tersebut. Aman-aman saja.
Mereka tetap hidup damai menjauhi kedhaliman terhadap orang lain walaupun
berstatus kafir.
Sebaliknya, kaum
muslimin sama sekali tidak merasa keberatan dianggap sebagai domba sesat,
kafir, golongan yang tidak selamat, akan disiksa para dewa, atau semisal yang
saya pribadi tidak tahu secara persis peristilahan setiap agama. Kita tetap
menghormati mereka, tidak mendhalimi mereka meskipun mereka meyakini hal-hal
tersebut kepada kita (kaum muslimin). Dan memang itu telah berjalan selama ini.
Jadi apa masalahnya ?. Saya tahu, banyak Anda menjadi ompong giginya saat
berhadapan dengan orang non-Islam.
Saya tidak mengingkari
kalau ada seorang muslim menyebut temannya yang tidak beragama Islam dengan
kata ‘non-muslim’. Tidak masalah[11].
Dan memang ini cukup elegan kita terapkan dalam pergaulan sehari-hari. Tapi
bukan berarti kita pensiun mengatakan kafir terhadap non-muslim. Tidak. Tetap
kita katakan secara ‘internal’, karena memang harus dikatakan sebagai bagian
dari ‘aqidah yang harus ada pada setiap muslim.
Dengan mengatakan
non-muslim bukan berarti kita tidak mengamalkan
ayat:
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ
أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ
اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ
نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah
orang-orang mukmin mengambil ORANG-ORANG KAFIR menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri
(siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” [QS. Aali ‘Imraan : 28].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا
تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي
الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil ORANG-ORANG YAHUDI DAN NASRANI menjadi
pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian
yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Maaidah : 55].
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى
يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا
تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ
مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ
يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah
kamu nikahi WANITA-WANITA MUSYRIK, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari WANITA MUSYRIK, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan ORANG-ORANG
MUSYRIK (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya
budak yang mukmin lebih baik dari ORANG MUSYRIK walaupun dia menarik hatimu.
Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan
izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran” [QS. Al-Baqarah : 221].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ
بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى
الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui
tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka
(benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami
mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi ORANG-ORANG
KAFIR itu dan ORANG-ORANG KAFIR itu tidak halal pula bagi
mereka” [QS. Al-Mumtahanah : 10].
Dan ayat-ayat lain yang
berbicara tentang orang kafir dari kalangan musyrik, Yahudi, Nasrani, dan yang
lainnya.
Ayat-ayat di atas tetap
kita imani, amalkan, dan berlaku pada mereka (orang kafir).Non-muslim tetap
kafir.
Jangan khawatir wahai
bapak-bapak yang terhormat – presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota, dan
pemangku jabatan lainnya – bahwa dengan ‘aqidah ini kami akan menghancurkan
bangsa ini, meneror penduduk non-muslim (kafir), membuat bom dan meledakkannya
di gereja, pura, dan vihara. Kami insyaAllah akan tetap taat
aturan – selama itu ma’ruuf – , menjaga keamanan dan
ketertiban, serta tidak melakukan pemberontakan terhadap penguasa yang sah[12].
Karena Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil-amri di antara
kamu” [QS. An-Nisaa’ : 59].
Rasulullah ﷺ bersabda:
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، وَإِنِ اسْتُعْمِلَ
حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
“Dengar dan taatlah,
meskipun yang memerintahkan kalian adalah seorang budak Habsyiy yang kepalanya
seperti kismis” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 693 & 696 &
7142, Ibnu Maajah no. 2860, dan yang lainnya].
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ
وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ
أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib atas seorang
muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia
sukai atau ia benci, kecuali apabila ia diperintah untuk berbuat kemaksiatan.
Apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar
dan tidak boleh taat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1839].
Inilah yang diajarkan
guru-guru kami saat mengajarkan prinsip-prinsip Ahlus-Sunnah yang diantaranya
berbunyi:
وَلا نَرَى الْخُرُوجَ عَلَى الأَئِمَّةِ وَلا
الْقِتَالَ فِي الْفِتْنَةِ، وَنَسْمَعُ وَنُطِيعُ لِمَنْ وَلاهُ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ أَمْرَنَا وَلا نَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، وَنَتَّبِعُ السُّنَّةَ
وَالْجَمَاعَةَ، وَنَجْتَنِبُ الشُّذُوذَ وَالْخِلافَ وَالْفُرْقَةَ
“Dan kami memandang
tidak bolehnya keluar ketaatan (memberontak) kepada para pemimpin (kaum
muslimin) dan mengobarkan peperangan di masa fitnah. Kami senantiasa mendengar
dan taat kepada orang yang Allah ‘azza wa jalla berikan kekuasaan untuk mengatur
urusan kami. Kami tidak akan melepaskan tangan kami dari ketaatan. Kami
mengikuti sunnah dan jama’ah, serta menjauhkan diri dari keganjilan,
penyelisihan, dan perpecahan”[13] [Syarh
Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’aholeh Al-Laalikaa’iy, 1/176-180 no.
321-322].
Sebagaimana kami
menolak perkataan para propagandis pluralisme dan liberalisme agama karena
Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka kami pun mentaati kalian – wahai pemimpin kami –
juga karena Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sebagaimana kami menolak dengan tegas paham takfiriy yang
bermudah-mudah dalam mengkafirkan sesama muslim, maka kami pun menolak dengan tegas paham Murji’ah yang tidak
mau mengkafirkan golongan yang ditetapkan secara jelas sebagai orang kafir oleh
Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ sebagaimana
di atas.
Kami berdoa kepada
Allah ﷻ agar para pemimpin negara
ini senantiasa diberikan petunjuk dapat menjalankan amanahnya dengan baik dalam
mengurus rakyat serta dijauhkan dari ulama-ulama suu’ dan
pembisik jahat yang akan membawa musibah bagi negeri tercinta dan umat Islam.
Kami mencintai negeri
kami dan menginginkan kebaikan bagi negeri kami[14].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ –
09032019].
[1] Silakan baca artikel : Modifikasi Kesyirikan.
[2] Semoga tidak ada re-definisi
untuk mengakomodasi pemahaman agama Islam Nusantara.
Silakan buka website
: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kafir.
Smartphone kita juga dapat diinstal aplikasi KBBI :
Sia-sia punya HP
berlabel ‘smart (phone)’, jika pemiliknya stupid hanya
dipakai buat nge-game dan chatting.
[3] Rincian macam-macam kekufuran
(akbar) dapat dibaca dalam artikel : Macam-macam Kekufuran Akbar. Adapun pembagian kekafiran secara global, silakan dibaca
artikel yang ditulis oleh guru kami, Ustadzunaa Yaziid Jawwas hafidhahullah : Prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Terhadap Masalah
Kufur Dan Takfir (Pengkafiran).
[4] Ajaran
Trinitas, konsep pokok teologi Kristen.
[5] Rincian
lebih lanjut tentang siapa saja yang termasuk Ahli Kitab, silakan baca artikel
:Siapakah Ahlul-Kitaab ?.
[6] Qataadah
bin Di’aamah rahimahullah (w. 117 H) ketika menjelaskan ayat:
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ
اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى
الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ
اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Dan setelah datang
kepada mereka Al-Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka,
padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat
kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang
telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas
orang-orang yang ingkar itu” [QS. Al-Baqarah : 89]
ia berkata:
كَانَتِ الْيَهُودُ تَسْتَفْتِحُ بِمُحَمَّدٍ ﷺ
عَلَى كُفَّارِ الْعَرَبِ مِنْ قَبْلُ، وَقَالُوا: اللَّهُمَّ ابْعَثْ هَذَا
النَّبِيَّ الَّذِي نَجِدُهُ مكتوبا فِي التَّوْرَاةِ يُعَذِّبُهُمْ
وَيَقْتُلُهُمْ، فَلَمَّا بَعَثَ اللَّهُ نبيه مُحَمَّدًا ﷺ
فَرَأَوْا أَنَّهُ بُعِثَ مِنْ غَيْرِهِمْ كَفَرُوا بِهِ حَسَدًا لِلْعَرَبِ،
وَهُمْ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ رَسُولُ، يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي
التَّوْرَاةِ، فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ
عَلَى الْكَافِرِينَ
“Dulu orang-orang Yahudi
biasa memohon kedatangan Muhammad ﷺ untuk mendapatkan
kemenangan atas orang-orang kafir bangsa ‘Arab. Mereka berdoa : ‘Ya Allah,
utuslah Nabi yang kami dapati tertulis dalam Taurat ini yang akan mengadzab dan
membunuh mereka’. Namun ketika Allah ﷻ mengutus
Nabi-Nya – Muhammad - ﷺ lalu mereka (Yahudi)
melihatnya diutus dari kalangan selain mereka, mereka mengingkarinya karena
hasad terhadap bangsa ‘Arab. Padahal mereka mengetahui beliau ﷺ adalah
Rasul yang mereka dapati tertulis dalam Taurat di sisi mereka. ‘Maka setelah
datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar
kepadanya’ (QS. Al-Baqarah : 89)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy
dalam Jaami’ul-Bayaan 2/239; shahih].
Inilah kelakuan
orang-orang Yahudi Madinah dari kalangan Bani Qainuqaa’, Bani Quraidhah, dan
Bani Nadliir menyikapi Nabi ﷺ dan risalah yang beliau
bawa.
Mush’ab bin Sa’d rahimahumallah (w.
103 H) berkata:
سَأَلْتُ أَبِي قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ
بِالأَخْسَرِينَ أَعْمَالا هُمْ الْحَرُورِيَّةُ؟ قَالَ: لَا، هُمْ الْيَهُودُ
وَالنَّصَارَى، أَمَّا الْيَهُودُ فَكَذَّبُوا مُحَمَّدًا ﷺ
وَأَمَّا النَّصَارَى فَكَفَرُوا بِالْجَنَّةِ، وَقَالُوا: لَا طَعَامَ فِيهَا
وَلَا شَرَابَ، وَالْحَرُورِيَّةُ الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ
بَعْدِ مِيثَاقِهِ، وَكَانَ سَعْدٌ يُسَمِّيهِمُ الْفَاسِقِينَ "
Aku pernah bertanya
kepada ayahku (yaitu Sa’d bin Abi Waqqaash radliyallaahu ‘anhu) tentang ayat
: Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang
orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ (QS. Al-Kahfi : 103), apakah
mereka itu orang-orang Haruuriyyah (Khawaarij) ?. Ia menjawab : “Tidak, mereka
itu orang-orang Yahudi dan Nasrani. Adapun Yahudi, mereka mendustakan
Muhammad ﷺ, sedangkan Nasrani mengingkari
Jannah (surga). Mereka (Nasrani) berkata : ‘Tidak ada makanan dan minuman di
dalamnya’. Haruuriyyah, maka mereka itu ‘orang-orang yang melanggar
perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh’ (QS. Al-Baqarah : 27)”. Sa’d
menamakan mereka (Haruuriyyah) orang-orang fasiq [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 4728].
Inilah penilaian
sahabat Nabi ﷺ tentang keadaan Yahudi dan
Nasrani.
[7] ‘Abdullah
bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu saat menjelaskan ayat:
كَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى الْمُقْتَسِمِينَ
“Sebagaimana (Kami
telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (adzab) kepada orang-orang
yang membagi-bagi (Kitab Allah)” [QS. Al-Hijr : 90]
ia berkata:
آمَنُوا بِبَعْضٍ، وَكَفَرُوا بِبَعْضٍ،
الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى
“Mereka beriman kepada
sebagian ayat dan mengingkari sebagian yang lain. Mereka itu adalah Yahudi dan
Nasrani” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4705].
[8] Ada
riwayat marfuu’ dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa, ia berkata:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَمَّا أَصَابَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قُرَيْشًا يَوْمَ
بَدْرٍ وَقَدِمَ الْمَدِينَةَ جَمَعَ الْيَهُودَ فِي سُوقِ بَنِي قَيْنُقَاعَ،
فَقَالَ: " يَا مَعْشَرَ يَهُودَ أَسْلِمُوا قَبْلَ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ
مَا أَصَابَ قُرَيْشًا "، قَالُوا: يَا مُحَمَّدُ لَا يَغُرَّنَّكَ مِنْ
نَفْسِكَ أَنَّكَ قَتَلْتَ نَفَرًا مِنْ قُرَيْشٍ كَانُوا أَغْمَارًا لَا
يَعْرِفُونَ الْقِتَالَ إِنَّكَ لَوْ قَاتَلْتَنَا لَعَرَفْتَ أَنَّا نَحْنُ
النَّاسُ وَأَنَّكَ لَمْ تَلْقَ مِثْلَنَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ ﷻ
فِي ذَلِكَ: قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ......
Dari Ibnu 'Abbaas :
Ketika Rasulullah ﷺ tiba di Madinah pasca
beliau mengalahkan orang-orang Quraisy pada perang Badr, orang-orang Yahudi
berkumpul di pasar Bani Qainuqa’. (Lalu datanglah) Nabi ﷺ dan
bersabda (kepada mereka) : "Wahai orang-orang Yahudi, masuklah ke agama Islam
sebelum kalian ditimpa hal yang menimpa orang-orang Quraisy". Mereka
berkata : "Wahai Muhammad, janganlah tertipu dengan dirimu sendiri karena
engkau telah membunuh sekelompok orang-orang Quraisy. Mereka adalah orang-orang
dungu yang tidak mengerti tentang peperangan. Seandainya engkau memerangi kami,
niscaya engkau akan tahu bahwa engkau belum pernah menemui orang sehebat kami
(di medan perang). Maka Allah ﷻ menurunkan ayat terkat hal
itu : 'Katakanlah kepada orang-orang yang KAFIR: Kamu pasti akan
dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahanam. Dan itulah
tempat yang seburuk-buruknya' (QS. Aali 'Imraan : 12)....."
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3001].
Hanya saja
sanadnya dla’iif.
[9] Saudara
berdasarkan nasab.
Pembahasan hukum
memanggil orang kafir dengan sebutan ‘saudara’ dapat dibaca dalam artikel
: Hukum Memanggil Non-Muslim Sebagai Saudara.
[10] Namun
setelah mengetahui ayahnya mati dalam keadaan kafir/musyrik, maka ia tidak lagi
mendoakan memintakan ampunan kepadanya. Allah ﷻ berfirman:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا
أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ
مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ * وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ
إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا
تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ
لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
“Tiadalah sepatutnya
bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi
orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat
(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah
penghuni neraka Jahanam. Permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk
bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada
bapaknya itu. Maka, ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh
Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya” [QS. At-Taubah: 114].
[11] Silakan
baca artikel (tahun 2012) : Istilah Non-Muslim dan Upaya Deradikalisasi.
[12] Dalam
Blog ini telah banyak artikel yang mengulas tema ini, diantaranya:
m. dan lain-lain.
[13] Selengkapnya
bisa dibaca dalam artikel ‘Aqiidah Abu Haatim Ar-Raaziy dan Abu Zur’ah
Ar-Raaziy rahimahumallah.
[14] Silakan
baca artikel Cinta Tanah Air dan Negeri.
Tahukah
Anda, Apa Yang Paling Dibenci Orang Kafir?
Ya, ada satu hal yang sangat mereka benci, yaitu bila anda menjadi seorang muslim yang benar-benar paham agama anda dan loyal kepada agama anda.
Karena itu untuk melawan kebencian orang
kafir bukan dengan cara berteriak, atau membuat huru-hara, namun sujudlah
dengan khusyu‘ kepada Allah Ta’ala, atau lantunkanlah ayat-ayat al
Qur’an dengan penuh penghayatan, atau hadirilah kajian-kajian yang mengajak
anda memurnikan Islam anda, atau tutuplah aurat istri dan anak anak anda, dan
demikian seterusnya.
Walau anda diam seribu bahasa, namun anda
tekun mempelajari dan mengamalkan Islam yang murni, bukan Islam yang masuk
angin karena telah dibawa ka alam JIN, niscaya orang-orang kafir murka dan
sekaligus gentar.
Sobat, sadarilah sejatinya mereka bukan
benci kepada wajah anda yang tampan atau cantik jelita, tidak pula benci kepada
rasa anda sebagai orang jawa atau sunda atau lainnya, tidak pula karena anda
kaya atau pandai.
Satu hal yang menjadikan mereka murka dan
benci kepada anda ialaha karena anda hanya sudi mengabdi kepada Allah Ta’ala semata,
dan hanya mau meneladani sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam semata, jauh dari budaya yang menyimpang atau rekayasa tangan
manusia. SImak dan camkan firman Allah Ta’ala berikut:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ هَلْ تَنقِمُونَ
مِنَّا إِلاَّ أَنْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ مِن
قَبْلُ وَأَنَّ أَكْثَرَكُمْ فَاسِقُونَ
“Katakanlah: “Hai Ahli kitab, apakah kamu
memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang
diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang
kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik?”” (QS. Al Maidah:
59).
Dahulu, Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dan sahabatnya dimusuhi, dibenci, diusir dan diperangi
juga karena alasan yang sama, enggan mengakui sesembahan selain Allah Ta’ala,
baik yang berupa manusia semisal nabi Isa alaihissalam, atau bebatauan atau
pepohonan atau hewan atau lainnya.
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ
حَقٍّ إِلَّا أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ
“Orang-orang yang telah diusir dari
kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata:
“Tuhan kami hanyalah Allah”” (QS. Al Hajj: 40).
Jadi, kalau anda ingin membalas kejahatan
dan melawan mereka, maka hanya ada satu cara yaitu murnikan ibadah anda hanya
kepada Allah Ta’ala dan satukan panutan anda hanya Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan hanya dengan ini pula anda akan berjaya.
Sobat! Mari dengan pekikkan takbir ALLAHU
AKBAR kita kobarkan tauhid dan singkirkan syirik.
Penulis: Ust. Dr. Muhammad Arifin Baderi
https://muslim.or.id/28771-tahukah-anda-apa-yang-paling-dibenci-orang-kafir.html
https://muslim.or.id/28771-tahukah-anda-apa-yang-paling-dibenci-orang-kafir.html
Bukti
Toleransi Islam Terhadap Agama Lainnya
Agama Islam adalah agama yang sangat
menjunjung tinggi keadilan. Kedalian bagi siapa saja, yaitu menempatkan sesuatu
sesuai tempatnya dan memberikan hak sesuai dengan haknya. Begitu juga dengan
toleransi dalam beragama. Agama Islam melarang keras berbuat zalim dengan agama
selain Islam dengan merampas hak-hak mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ
يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن
تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahah: 8)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir
As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan, “Allah tidak melarang kalian
untuk berbuat baik, menyambung silaturrahmi, membalas kebaikan , berbuat adil
kepada orang-orang musyrik, baik dari keluarga kalian dan orang lain. Selama
mereka tidak memerangi kalian karena agama dan selama mereka tidak mengusir
kalian dari negeri kalian, maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan
mereka karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak
ada larangan dan tidak ada kerusakan.” [1]
Akan tetapi toleransi ada batasnya dan
tidak boleh kebablasan. Semisal mengucapkan “selamat natal” dan menghadiri
acara ibadah atau ritual kesyirikan agama lainnya. Karena jika sudah urusan
agama, tidak ada toleransi dan saling mendukung.
Berikut beberapa bukti bahwa Islam adalah
agama yang menjunjung toleransi terhadap agama lainnya dan tentunya bukan
toleransi yang kebablasan, diantaranya:
1. Ajaran berbuat baik terhadap tetangga
meskipun non-muslim
Berikut ini teladan dari salafus shalih
dalam berbuat baik terhadap tetangganya yang Yahudi. Seorang tabi’in dan beliau
adalah ahli tafsir, imam Mujahid, ia berkata, “Saya pernah berada di sisi
Abdullah bin ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu
berkata,
ياَ غُلاَمُ! إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ
بِجَارِنَا الْيَهُوْدِي
”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai
(menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita
terlebih dahulu”.
Lalu ada salah seorang yang berkata,
آليَهُوْدِي أَصْلَحَكَ اللهُ؟!
“(kenapa engkau memberikannya) kepada
Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisimu”.
‘Abdullah bin ’Amru lalu berkata,
إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْصِي بِالْجَارِ، حَتَّى خَشَيْنَا أَوْ رُؤِيْنَا أَنَّهُ
سَيُوّرِّثُهُ
‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau
beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.” [2]
2. Bermuamalah yang baik dan tidak boleh
dzalim terhadap keluarga dan kerabat meskipun non-muslim
Misalnya pada ayat yang menjelaskan
ketika orang tua kita bukan Islam, maka tetap harus berbuat baik dan berbakit
kepada mereka dalam hal muamalah. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا
مَعْرُوفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk
mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu,
maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik.” (QS. Luqman: 15)
3. Islam melarang keras membunuh non-muslim
kecuali jika mereka memerangi kaum muslimin.
Dalam agama Islam orang kafir yang boleh
dibunuh adalah orang kafir harbi yaitu kafir yang memerangi kaum
muslimin. Selain itu semisal orang kafir yang mendapat suaka atau ada
perjanjian dengan kaum muslimin semisal kafir dzimmi, kafir musta’man dan kafir
mu’ahad, maka dilarang keras untuk dibunuh. Jika melanggar maka ancamannya
sangat keras.
مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ
لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ
عَامًا
“Barangsiapa membunuh seorang kafir
dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga
itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. ”[3]
4. Adil dalam hukum dan peradilan
terhadap non-muslim
Contohnya ketika Umar bin Khattab radhiallahu’anhu membebaskan
dan menaklukkan Yerussalem Palestina. Beliau menjamin warganya agar tetap bebas
memeluk agama dan membawa salib mereka. Umar tidak memaksakan mereka memluk
Islam dan menghalangi mereka untuk beribadah, asalkan mereka tetap membayar
pajak kepada pemerintah Muslim. Berbeda ketika bangsa dan agama lain mengusai,
maka mereka melakukan pembantaian.
Umar bin Khattab juga memberikan
kebebasan dan memberikan hak-hak hukum dan perlindungan kepada penduduk
Yerussalem walaupun mereka non-muslim.
Ajakan toleransi agama yang “kebablasan”
Toleransi berlebihan ini, ternyata sudah
ada ajakannya sejak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperjuangkan
agama Islam.
Suatu ketika, beberapa orang kafir
Quraisy yaitu Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul
Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mereka menawarkan tolenasi kebablasan kepada beliau, mereka
berkata:
يا محمد ، هلم فلنعبد ما تعبد ، وتعبد ما نعبد ،
ونشترك نحن وأنت في أمرنا كله ، فإن كان الذي جئت به خيرا مما بأيدينا ، كنا قد
شاركناك فيه ، وأخذنا بحظنا منه . وإن كان الذي بأيدينا خيرا مما بيدك ، كنت قد
شركتنا في أمرنا ، وأخذت بحظك منه
“Wahai Muhammad, bagaimana jika kami
beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami.
Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian
dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami,
maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih
baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”[4]
Kemudian turunlah ayat berikut yang
menolak keras toleransi kebablasan semacam ini,
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ
مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ
مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ
دِينِ
“Katakanlah (wahai Muhammad kepada
orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa
yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak
pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula)
menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah
agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6).
Demikian semoga bermanfaat.
@Perpus FK UGM
Catatan kaki
[1] Taisir Karimir Rahman hal.
819, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet. Ke-1, 1424 H
[2] Al Irwa’ Al-ghalil no. 891
[3] HR. An Nasa’i. dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
[4] Tafsir Al Qurthubi 20: 225, Darul Kutub Al-Mishriyyah, cet. Ke-II, 1386 H
Penyusun: Raehanul Bahraen
https://muslim.or.id/23967-bukti-toleransi-islam-terhadap-agama-lainnya.html [2] Al Irwa’ Al-ghalil no. 891
[3] HR. An Nasa’i. dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
[4] Tafsir Al Qurthubi 20: 225, Darul Kutub Al-Mishriyyah, cet. Ke-II, 1386 H
Penyusun: Raehanul Bahraen
Toleransi
Bukan Berarti Korbankan Akidah
Sebagian di antara para tokoh agama yang membolehkan natal bersama atau ucapan “selamat Natal” berdalih dengan firman Allah:
لَّا
يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَـٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ
يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَـٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ
إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾ إِنَّمَا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ
ٱلَّذِينَ قَـٰتَلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَـٰرِكُمْ
وَظَـٰهَرُوا۟ عَلَىٰٓ إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ
فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ ﴿٩﴾
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan
mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan
barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim” (QS al-Mumtaḥanah [60]: 8–9).
Mereka telah lalai atau pura-pura lalai
bahwa berbuat baik kepada orang kafir, sekalipun memang boleh, bukan berarti
kita mengorbankan akidah dan prinsip kita dengan melakukan loyalitas dan cinta
kepada mereka yang terlarang dalam agama.
Allah Ta‘āla berfirman:
لَّا
تَجِدُ قَوْمًۭا يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ يُوَآدُّونَ مَنْ
حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوْ كَانُوٓا۟ ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ
أَوْ إِخْوَٰنَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ كَتَبَ فِى قُلُوبِهِمُ
ٱلْإِيمَـٰنَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍۢ مِّنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّـٰتٍۢ تَجْرِى
مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ
وَرَضُوا۟ عَنْهُ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ حِزْبُ ٱللَّهِ ۚ أَلَآ إِنَّ حِزْبَ ٱللَّهِ
هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ ﴿٢٢﴾
“Kamu tak akan mendapati kaum yang
beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang
yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau
anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah
orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan
mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka
ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. Allah rida terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap
(limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah ḥizbullāh (golongan Allah).
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya ḥizbullāh (golongan Allah) itu adalah
golongan yang beruntung” (QS al-Mujādilah [58]: 22).
Ibn al-Jauzi Rahimahullahu Ta’ala mengatakan
ketika menafsirkan QS al-Mumtaḥanah [60]: 8, “Ayat ini merupakan keringanan
tentang bolehnya menyambung tali kerabat terhadap orang-orang kafir yang tidak
memerangi kaum Muslimin dan bolehnya berbuat baik kepada mereka sekalipun
loyalitas (saling mencintai) terputus dari mereka”.
Bahkan dalam surat al-Mumtaḥanah itu
sendiri terdapat penjelasan gamblang tentang prinsip pokok akidah walā’ (loyalitas
kepada setiap muslim) dan barā’ (membenci dan memusuhi orang kafir)
seperti firman Allah Ta‘āla:
يَـٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ عَدُوِّى وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَآءَ
تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِٱلْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا۟ بِمَا جَآءَكُم مِّنَ
ٱلْحَقِّ يُخْرِجُونَ ٱلرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ ۙ أَن تُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ رَبِّكُمْ
إِن كُنتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَـٰدًۭا فِى سَبِيلِى وَٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِى ۚ
تُسِرُّونَ إِلَيْهِم بِٱلْمَوَدَّةِ وَأَنَا۠ أَعْلَمُ بِمَآ أَخْفَيْتُمْ وَمَآ
أَعْلَنتُمْ ۚ وَمَن يَفْعَلْهُ مِنكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ ﴿١﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu
sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang;
padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu,
mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah,
Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari
keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara
rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku
lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan
barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah
tersesat dari jalan yang lurus” (QS al-Mumtaḥanah [60]: 1).
قَدْ
كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌۭ فِىٓ إِبْرَٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ إِذْ
قَالُوا۟ لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَٰٓؤُا۟ مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن
دُونِ ٱللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ ٱلْعَدَٰوَةُ
وَٱلْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَحْدَهُۥٓ إِلَّا قَوْلَ
إِبْرَٰهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَآ أَمْلِكُ لَكَ مِنَ ٱللَّهِ
مِن شَىْءٍۢ ۖ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ
ٱلْمَصِيرُ ﴿٤﴾
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang
baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka
berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari
daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan
telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya
sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada
bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada
dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata): “Ya
Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah
kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali” (QS al-Mumtaḥanah [60]:
4).
Nah, di antara bentuk loyalitas kepada
orang kafir yang terlarang adalah ikut serta dalam hari raya mereka dan
mengucapkan selamat natal kepada mereka. Jadi, masalah ini merupakan
masalah akidah bukan masalah adat semata!
Ingat, di zaman Nabi sudah ada umat
Nashrani dan Yahudi yang memiliki hari besar, namun tidak pernah Nabi dan
sahabat ikut memeriahkan perayaan mereka. Apakah kita berani mengatakan kalau
Nabi dan sahabat tidak toleran ?! Pikirkanlah….
Penulis: Ust. Abu Ubaidah Yusuf As Sidawi
https://muslim.or.id/29176-toleransi-bukan-berarti-korbankan-akidah.html
https://muslim.or.id/29176-toleransi-bukan-berarti-korbankan-akidah.html
Benarkah Kata Kafir Digunakan Hanya di
Mekkah?
Di penghujung Februari 2019 ini, umat
Islam diguncang dengan sebuah polemik yang membuat dahi mengernyit. Pasalnya
Musyawarah Nasional (MUNAS) Nadhatul Ulama (NU) 2019 di Pondok Pesantren
Miftahul Huda Al Azhar, Banjar Jawa Barat Kamis (28/02/2019) menyatakan istilah
kafir diganti menjadi non-muslim.
Salah satu alasan yang dikemukakan adalah
istilah kafir tidak dipergunakan ketika di Madinah untuk menyebut penduduk yang
tidak beragama Islam pada masa Rasulullah.
“Dalam sistem kewarganegaraan pada suatu
negara bangsa dalam bahasa arabnya ‘Muwatonah’ tidak dikenal istilah kafir.
Maka, setiap warga negara memiliki kedudukan dan haq yang sama di mata
konstitusi. Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Makkah yaitu untuk
menyebut nama orang-orang penyembah berhala, paganis yang tidak memiliki kitab
suci dan agama yang benar, animisme, ignostik, klenik tetapi istilah Nabi
Muhammad hijrah ke kota Madinah tidak ada istilah kafir untuk warga negara
Madinah yang non muslim. Ada 3 suku non muslim; suku Bani Qainuqa’, suku Bani
Quraidzah, suku Bani Nadzir disebut non muslim, tidak disebut
kafir.” Pernyataan Said Aqil Siraj saat Munas.
Klaim yang menyebutkan bahwa istilah
kafir tidak dipergunakan di Madinah itu menjadi perbincangan yang hangat dan
dibantah oleh berbagai pihak. Maka tak ayal jika muncul suara-suara yang membantah
keras pernyataan kontroversial ini.
Kata Kafir di dalam Al-Quran
Salah satu yang menjadi polemik umat
Islam adalah penggantian kata kafir menjadi non muslim. Bagaimana mungkin kita
umat Nabi Muhammad yang dianugerahi Al-Quran sebagai pedoman hidup, berani
mengganti istilah yang termaktub di dalamnya.
Padahal jika kita membuka Al-Quran,
tertera jelas bahwa Allah menggunakan istilah kafir bagi orang-orang yang tidak
menjadikan Allah sebagai Rabbnya.
قُلْ
يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ﴿١﴾ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَا أَنتُمْ
عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣﴾ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَا
أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥﴾ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾
“Katakanlah: Hai orang-orang kafir, Aku
tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang
aku sembah, Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan
kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS.Al-Kafirun : 1-6)
Surat ini turun di Makkah saat Rasulullah
menjawab bujukan dan rayuan dari kaum kafir Quraisy untuk bersekutu dalam
masalah sesembahan. Maka, dengan tegas Rasul menolak dan menjawabnya dengan
wahyu surat ini.
Lalu, apakah sebutan kafir hanya
diperuntukkan bagi kaum kafir Quraisy yang menyembah berhala Latta, Uzza dan
Hubal? Tentu tidak. Dalam ayat yang lain Allah juga secara jelas memfirmankan
dalam Al-Quran.
لَمْ
يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ
حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
“Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan
orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan
(agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.”(QS.Al-Bayyinah : 1)
Dalam ayat pertama surat Al-Bayyinah ini
Allah jelas mengatakan bahwa orang kafir adalah para ahli kitab, yaitu Yahudi
dan Nasrani dan orang musyrik. Tidak dibedakan di antara keduanya dalam masalah
penyebutan istilah di dalam Al-Quran. Dan perlu kita ketahui surat ini
termasuk surat Madaniyah, turun di kota Madinah.
Jadi, klaim bahwa penggunaan kata kafir
hanya di Makkah dan diperuntukkan bagi para penyembah berhala itu adalah
kesalahan. Karena wahyu yang turun di Madinah pun tetap menggunakan istilah
kafir bagi semua orang yang tidak meyakini Allah sebagai Rabbnya baik Yahudi,
Nasrani maupun musyrik.
Ayat yang lain juga secara jelas
menyebutkan Yahudi dan Nasrani adalah kafir.
وَقَالَتِ
ٱليَهُودُ عُزَيرٌ ٱبنُ ٱللَّهِ وَقَالَتِ ٱلنَّصَٰرَى ٱلمَسِيحُ ٱبنُ ٱللَّهِ
ذَٰلِكَ قَولُهُم بِأَفوَٰهِهِمۖ يُضَٰهُِونَ قَولَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن
قَبلُ قَٰتَلَهُمُ ٱللَّهُ أَنَّىٰ يُؤفَكُونَ ٣٠ ٱتَّخَذُواْ أَحبَارَهُم
وَرُهبَٰنَهُم أَربَابا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلمَسِيحَ ٱبنَ مَريَمَ وَمَا
أُمِرُواْ إِلَّا لِيَعبُدُواْ إِلَٰها وَٰحِدا لَّا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ
سُبحَٰنَهُۥ عَمَّا يُشرِكُونَ ٣١
“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair itu
putra Allah,’ dan orang Nasrani berkata, ‘Al-Masih itu putra Allah.’ Demikian
itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang
kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai
berpaling?
Mereka menjadikan orang-orang alimnya,
dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka
mempertuhankan) al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah
Rabb Yang Maha Esa; tidak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci
Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 30—31)
Kata Kafir dalam Sirah
Dalam episode sirah nabawiyah disebutkan
bahwa Rasulullah berhijrah ke Madinah setelah berdakwah selama 13 tahun di
Makkah. Tepatnya pada tahun 622 M Rasulullah tiba di kota yang sebelumnya
bernama Yastrib itu.
Di Madinah, penduduknya dibagi menjadi
tiga golongan besar, yaitu Muslim (Muhajirin dan Anshar), Musyrikin (terdiri
dari banyak suku kecil dan didominasi suku terbesar, Aus dan Khazraj) dan
Yahudi (terdiri banyak suku, suku terbesar adalah Bani Nadhir, Quraidzah dan
Qainuqa’).
Keadaan yang begitu majemuk maka sering
terjadi perbedaan pendapat dan perdebatan. Maka, Rasulullah memprakarsai sebuah
perjanjian bersama dan didukung semua golongan masyarakat.
Perjanjian ini mempunyai tujuan untuk
membangun masyarakat baru yang bernegara, menekankan kerja sama, persamaan
antara hak dan kewajiban di antara semua golongan,baik dalam kehidupan politik,
sosial, agama serta mewujudkan pertahanan dan perdamaian. Perjanjian inilah
yang kemudian disebut dengan Piagam Madinah.
Berkaitan dengan klaim bahwa kata kafir
tidak lagi dipergunakan lagi ketika Rasul di Madinah terbantahkan adanya piagam
Madinah ini. Dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam disebutkan bahwa
pada piagam Madinah tepatnya di point 14 menyebutkan:
١٤. ولا يقتل مؤمن مؤمنا فى
كافر ولا ينصر كافرا على مؤمن
Pasal 14: Seorang mukmin tidak boleh
membunuh orang beriman lainnya lantaran ia membunuh orang kafir. Tidak boleh
pula orang beriman membantu orang kafir untuk (membunuh) orang beriman.
Secara jelas Ibnu Hisyam menuliskan kata
kafir di dalam kitabnya. Yang artinya memang pada masa itu Rasulullah
menggunakan kata kafir untuk orang-orang yang tidak memeluk dien Islam.
Jadi, kesimpulannya adalah pernyataan
tentang kata kafir hanya untuk penyembah berhala dan tidak digunakan lagi pada
periode di Madinah adalah keliru. Dan sekali lagi kata kafir adalah kata yang
digunakan Allah untuk menyebut orang di luar Islam. Sepantasnya kita hamba
Allah menggunakan istilah yang telah tertulis di dalam firman-Nya.
Penulis: Dhani El_Ashim
Editor: Arju
Editor: Arju
Sumber
Munawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi
Muhammad, Jakarta, Gema Insani Press.
J.Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip
Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Quran, Jakarta,
Rajawali Press.
Sirah Nabawiyah, Ibnu HIsyam, Beirut,
Darul Khair
Barangsiapa
Yang Tidak Mengkafirkan Orang Yang Telah Dikafirkan Allah Dan Rasul-Nya ﷺ, Maka Ia Kafir
Karena Mendustakan Allah Dan Rasul-Nya ﷺ.
https://lamurkha.blogspot.com/2019/03/barangsiapa-yang-tidak-mengkafirkan.html
Persatuan, Dengan Syarat Tak Mengusik (Mengkritik) 'Aqidah Dan Amalan Mereka ? Tidak Akan Terwujud Diatas Perbedaan Manhaj Dan Akidah (Manhaj Bunglon, Mutalawwin)
Persatuan, Dengan Syarat Tak Mengusik (Mengkritik) 'Aqidah Dan Amalan Mereka ? Tidak Akan Terwujud Diatas Perbedaan Manhaj Dan Akidah (Manhaj Bunglon, Mutalawwin)
Orang-Orang
Yang Menggenggam Sesuatu Di Atas Bara Api