Tuesday, March 5, 2019

“Kamu Tidak Akan Mendapati Suatu Kaum Yang Beriman Kepada Allah Dan Hari Akhir, Saling Berkasih-Sayang Dengan Orang-Orang Yang Menentang Allah Dan Rasul-Nya Sekalipun Orang-Orang Itu Adalah Bapak-Bapak Atau Anak-Anak Atau Saudara-Saudara Atau Keluarga Mereka” [QS. Al-Mujaadalah : 22].



Daftar Artikel :
Persatuan (Lagi)
Rincian Memanggil dengan kata “Wahai Orang Kafir”
Tahukah Anda, Apa Yang Paling Dibenci Orang Kafir? 
Bukti Toleransi Islam Terhadap Agama Lainnya
Toleransi Bukan Berarti Korbankan Akidah
Benarkah Kata Kafir Digunakan Hanya di Mekkah?

Persatuan (Lagi)

Abu Al-Jauzaa'
Nabi bersabda:

لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى رَسُولُ اللَّهِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ الثَّيِّبُ الزَّانِ وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

“Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak untuk diibadai melainkan Allah dan bersaksi bahwasannya aku adalah utusan Allah; kecuali dengan dengan satu diantara tiga perkara : (1) orang yang pernah menikah lalu berzina; (2) jiwa dibalas dengan jiwa, dan (3) orang yang meninggalkan agamanya (murtad), yang memisahkan diri dari jama’ah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1676].

An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan salah satu makna al-mufaariqu lil-jamaa'ah dari para ulama:

كل خارج عن الجماعة ببدعة أو بغي أو غيرهما وكذا الخوارج

"Setiap orang yang keluar dari jama'ah dengan kebid'ahan, pemberontakan, atau yang lainnya. Begitu juga dengan Khawaarij" [Syarh Shahiih Muslim, 11/165].
Artinya, perbuatan bid'ah dan berbagai bentuk pemberontakan yang keluar dari makna mendengar dan taat kepada pemimpin muslim yang sah; maka itu paradoks dengan makna persatuan, dan persatuan itu identik dengan jama'ah.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:

ومن لم يندفع فساده في الأرض إلا بالقتل قُتل، مثل المفرق لجماعة المسلمين، والداعي إلى البدع في الدين. قال تعالى: {من أجل ذلك كتبنا على بني إسرائيل أنه من قتل نفساً بغير نفس أو فساد في الأرض فكأنما قتل الناس جميعاً} [المائدة: 32]، وفي الصحيح عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: ((إذا بويع لخليفتين فاقتلوا الآخر منهما)).
وقال: ((من جاءكم وأمركم على رجل واحد يريد أن يفرق جماعتكم فاضربوا عنقه كائناً من كان))

"Barangsiapa yang kerusakannya di muka bumi tidak dapat dihentikan kecuali dengan pembunuhan, maka ia (boleh) dibunuh. Misalnya orang yang memisahkan diri dari jama'ah kaum muslimin dan penyeru kebid'ahan dalam agama. Allah ta'ala berfirman : 'Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya' (QS. Al-Maaidah : 32).
Dalam kitab Ash-Shahiih dari Nabi , beliau bersabda : 'Apabila dua orang khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang paling akhir baiatnya di antara mereka'. Beliau juga bersabda : 'Barangsiapa yang mendatangi kalian sedangkan perkara kalian berkumpul pada diri satu orang (pemimpin/ulil-amri) yang dirinya itu hendak memecah belah jama'ah kalian, maka bunuhlah siapapun ia" [Majmuu' Al-Fataawaa, 28/108-109].
Bid'ah serta paham memberontak, enggan untuk mendengar dan taat (terhadap ulil-amri); bertentangan dengan makna persatuan.
Apakah kita bermimpi akan terjalin persatuan dengan orang/kelompok yang keberadaan/eksistensinya justru menjadi sebab perpecahan umat ?
Benar, dulu Nabi pernah mengadakan perjanjian dengan orang Yahudi dengan melahirkan beberapa butir kesepakatan untuk kemaslahatan yang kaum muslimin - yang saat itu masih belum kuat. Sebagian ulama menjelaskan bahwa kesepakatan dalam perjanjian (Piagam Madinah) itu dalam konteks ayat:

لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

"Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil" [QS. Al-Mumtahanah : 8].
Meski demikian, bara'ah dan kebencian kaum muslimin terhadap orang kafir dan kekafirannya tetap ada dan wajib sebagaimana difirmankan Allah ta'ala dalam ayat:

لاّ تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الاَخِرِ يُوَآدّونَ مَنْ حَآدّ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوَاْ آبَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara atau keluarga mereka” [QS. Al-Mujaadalah : 22].
Dalam realitas kehidupan sehari-hari pun, insya Allah terpraktekkan, seperti misal kerjasama kaum muslimin dengan orang kafir dalam menjaga stabilitas dan keamanan lingkungan (desa, RT, RW), saling menghormati hak dan tidak saling mengganggu, dan yang semisalnya. Tolong-menolong dalam mengatasi krisis dan bencana. Banyak ikhwah yang telah berpartisipasi.
Sama halnya dengan kerjasama kaum muslimin pada umumnya seperti NU, Muhammadiyyah, Persis, PKS, HTI, dan yang lainnya. Insya Allah kita hidup rukun dan saling menghormati (kecuali gerombolan yang sering main persekusi ngalahin kerja pak polisi). Berkumpul melakukan kerjabakti bersama, menjadi anggota DKM masjid komplek, menjadi panitia kurban di lingkungan sekitar, dan hal lainnya. Hubungan muamalah yang baik di kantor, di pasar, di jalan, dan yang lainnya. Atau bersama-sama menangkal permurtadan (Kristenisasi).
Sayang memang, ada yang menginginkan lebih. Persatuan dalam 'aqidah, manhaj, dan pemikiran. Memang tak vulgar dikatakan, tapi cukup dapat dirasakan. Mencampurkan yang haq dan yang bathil. Yang bathil disamarkan dengan nama 'khilaf ulama'. Bahkan yang syirik pun dianjurkan agar kita meninjau ulangnya seperti shalawat nariyyah. Mungkin nanti menyusul qasidah burdah, dan yang lainnya. Yang bid'ah menjadi bukan bid'ah. Semua akhirnya berbungkus khilaf ulama. Semua kelompok dianggap benar berlabel al-firqatun-naajiyyah. Apakah ini ilusi ? Tidak, lha wong saya lihat dan dengar sendiri kok rekamannya. Bahkan muncul kemudian dagelan istilah 'pengkapling surga'...😀😎. Haloo..... how are you ? Have you been to see the doctor yet??
Allah ta'ala berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا

"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai" [QS. Aali 'Imraan : 103].
Ath-Thabariy rahimahullah menjelaskan ayat tersebut:

وتمسَّكوا بدين الله الذي أمركم به، وعهده الذي عَهده إليكم في كتابه إليكم، من الألفة والاجتماع على كلمة الحق، والتسليم لأمر الله

“Dan berpegah teguhlah kepada agama Allah yang telah Allah perintahkan kepada kalian dengannya, perjanjian-Nya yang telah Allah mandatkan kepada kalian dalam Kitab-Nya untuk menjalin persahabatan dan persatuan DI ATAS KALIMAT AL-HAQ, serta tunduk terhadap perintah Allah” [Tafsiir Ath-Thabariy, 7/70].
Ibnu Mas'uud radliyallaahu 'anhu berkata:

إِنَّ هَذَا الصِّرَاطَ مُحْتَضَرٌ، تَحْضُرُهُ الشَّيَاطِينُ يُنَادُونَ: يَا عِبَادَ اللَّهِ، هَذَا الطَّرِيقُ، فَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ، فَإِنَّ حَبْلَ اللَّهِ الْقُرْآنُ

“Sesungguhnya jalan ini dihadiri para setan yang menyeru: 'Wahai hamba-hamba Allah, inilah jalanmu.' Oleh karena itu berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah, sesungguhnya tali Allah itu adalah Al-Qur'an” [Diriwayatkan oleh Ad-Daarimiy no. 3317].
Perkataan Ibnu Mas’uud ini serupa dengan yang ada dalam riwayat:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، قَالَ: " خَطَّ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ خَطًّا، ثُمَّ قَالَ: " هَذَا سَبِيلُ اللَّهِ "، ثُمَّ خَطَّ خُطُوطًا عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ شِمَالِهِ، ثُمَّ قَالَ: " هَذِهِ سُبُلٌ عَلَى كُلِّ سَبِيلٍ مِنْهَا شَيْطَانٌ يَدْعُو إِلَيْهِ "، ثُمَّ قَرَأَ: وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

Dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata : Rasulullah membuatkan kami satu garis kemudian beliau bersabda : “Ini adalah jalan Allah” Kemudian beliau menggaris beberapa garis dari sebelah kanan dan sebelah kirinya, lalu beliau bersabda : “Ini adalah jalan-jalan, yang pada setiap jalan tersebut ada setan yang mengajak kepadanya.” Kemudian beliau membaca ayat “dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya” (QS. Al-An’am (6) : 153) [Diriwayatkan oleh Ahmad, Ad-Daarimiy, dll.].
Penjelasan riwayat Ibnu Mas’uud ini memberikan faedah bagi kita bahwa:
1.    Berpegang pada tali Allah maksudnya adalah berpegang teguh pada Kitabullah.
2.    Berpegang pada tali Allah adalah dengan menetapi jalan yang lurus (ash-shiraathul-mustaqiim). Ibnu Mas’uud berkata:

الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ الَّذِي تَرَكَنَا عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ

“Maksud jalan yang lurus adalah jalan yang ditinggalkan Rasulullah kepada kami” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani, shahih].
Selaras dengan sabda Nabi :

تفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة، كلهم في النار إلا ملة واحدة». قالوا: ومن هي يا رسول الله؟ قال: ما أنا عليه وأصحابي

“Akan berpecah umatku ini menjadi tujuh puluh tiga golonan. Semuanya masuk neraka kecuali satu”. Mereka (para shahabat) bertanya : “Siapakah ia wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Apa-apa yang aku dan para shahabatku berada di atasnya”.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وهذا الأصل العظيم وهو الإعتصام بحبل الله جميعا وأن لا يتفرق هو من أعظم أصول الإسلام ومما عظمت وصية الله تعالى به فى كتابه
ومما عظم ذمه لمن تركه من أهل الكتاب وغيرهم ومما عظمت به وصية النبى فى مواطن عامة وخاصة مثل قوله عليكم بالجماعة فإن يد الله على الجماعة

“Ini adalah pokok yang agung, yaitu berpegang teguh semuanya kepada tali Allah dan agar tidak berpecah-belah. Perkara ini termasuk pokok Islam yang paling agung dan termasuk wasiat Allah yang besar yang Allah wasiatkan dalam Kitab-Nya; celaan Allah yang sangat keras terhadap orang yang meninggalkannya (berpegang teguh terhadap tali Allah) dari kalangan Ahli Kitab dan yang laiunnya; serta termasuk wasiat Nabi yang paling agung dalam beberapa tempat secara umum maupun khusus, misalnya sabda beliau : ‘Wajib atas kalian berpegang pada Jama’ah, karena tangan Allah di atas Jama’ah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 22/359].
Intinya, perintah untuk bersatu adalah bersatu dalam berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salaful-ummah. Ini adalah diantara pokok Islam yang paling agung.
Terakhir, ….. kaum muslimin pada prinsipnya adalah bersaudara, namun mereka diberikan walaa’ dan baraa’ sesuai kadarnya. Diberikan walaa’ berdasarkan kadar ketaatannya dan kesesuaiannya terhadap sunnah; serta diberikan baraa’ berdasarkan jenis dan kadar kemaksiatan dan penyimpangannya dari pokok-pokok Ahlus-Sunnah.
Jika kita ingin persatuan, maka tempuhlah jalannya dengan menetapi ketauhidan serta berpegang pada Al-Qur’an dan As-Sunnah berdasarkan pemahaman salaful-ummah. Jangan sekedar berdendang tentang persatuan namun melupakan jalannya……
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa – dps – 02122017].

Rincian Memanggil dengan kata “Wahai Orang Kafir”

Memanggil dengan kata-kata “wahai orang kafir” ada rinciannya sesuai dengan keadaan dan hikmahnya. Berikut rinciannya:


1.Menggunakan panggilan kafir secara umum (tidak menunjuk person tertentu), maka ini ada contohnya dalam Al-Quran

2.Menggunakan panggilan kepada orang kafir sebagai panggilan, misalnya “hai kafir, ke sini”, maka ini suatu hal yang tidak hikmah dan dihindari

3.Menggunakan panggilan kafir kepada seorang muslim, hal ini tidak boleh sembarangan dan asal-asalan. Hal ini berat perkaranya dan apabila tidak bisa dibuktikan maka tuduhan kembali kepada si penyeru pertama

Berikut penjelasannya:

1. Menggunakan panggilan kafir secara umum (tidak menunjuk person tertentu), maka ini boleh sesuai tuntunan keadaan

Hal ini sebagaimana kita dapati pada ayat Al-Quran, misalnya surat Al-Kafirun:

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6

Katakanlah, “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah men]adi penyembah apa yang kalian sembah, dan kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untuk kalianlah agama kalian, dan untukkulah agamaku.” [QS. Al-Kafirun: 1-6]

2. Menggunakan panggilan kepada orang kafir sebagai panggilan, misalnya “hai kafir, ke sini”, maka ini suatu hal yang tidak hikmah dan dihindari

Sebagaimana yang dijelaskan pada Syabakah Islamiyah asuhan syaikh Abdullah Al-Faqih:

فلا شك أن من لم يكفر الكافر أو يشك في كفره أنه كافر، وهذا أصل أصيل في الإسلام، إلا أن هذا لا يعني ما ذكره السائل من إسماع الكافر كونه كافراً، بل الغالب أن ذلك يتنافى مع الحكمة، إذ كيف يقال هذا الكلام لمن يرجى تأليفه على الإسلام، لا سيما وأن الكافر قد يعتقد أنه على حق، فإسماعه هذه الكلمة مقتض لتنفيره عن سماع الحق وعن قبوله إياه. ويستثنى من هذا حالة وهي فيما إذا اقتضت المصلحة الشرعية ذلك، ويغلب أن يكون هذا في حق المعاند،

“Tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa yang tidak mengkafirkan orang kafir atau meragukan kekafiran mereka maka ia juga kafir. Ini adalah landasan paling dasar dalam Islam, akan tetapi tidak sebagaimana yang disebutkan oleh penanya yaitu memperdengarkan seruan (panggilan) kafir pada orang yang statusnya kafir (misalnya memanggil: hai kafir), bahkan mayoritasnya panggilan ini bertentangan dengan hikmah. Bagaimana bisa dikatakan ucapan (panggilan) ini kepada mereka yang diharapkan hatinya agar cenderung kepada Islam? Lebih-lebih pada orang kafir yang berkeyakinan bahwa (agama) mereka adalah benar. Memperdengarkan panggilan seperti ini akan berkonsekuensi membuat manusia lari dari mendengar dan menerima kebenaran. Dikecualikan hal ini pada keadaan ada mashlahat syar’iyyah, mayoritasnya dilakukan pada orang-orang yang menentang (ngeyel).” [Syabakah Islamiyyah no.39380]

3. Menggunakan panggilan kafir kepada seorang muslim, hal ini tidak boleh sembarangan dan asal-asalan. Berat perkaranya dan apabila tidak bisa dibuktikan maka kembali kepada si penyeru pertama

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا

“Apabila seseorang mengatakan kepada saudaranya (muslim): ‘Wahai Kafir’, maka akan kembali kepada salah satunya.” [HR. Bukhari & Muslim]

Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa hadits peringatan bagi seorang muslim agar tidak asal-asalan dan sembarangan memanggil “hai kafir” kepada saudaranya se-Islam. Beliau berkata,

أن الحديث سيق لزجر المسلم عن أن يقول ذلك لأخيه المسلم

“Hadits ini terdapat larangan keras bagi seorang muslim dari memanggil saudaranya yang juga muslim dengan panggilan ini (hai kafir).” [Fathul Bari 10/481]

Demikian juga syaikh Abdul aziz bin Baz menjelaskan hadits ini larangan bagi seseorang asal-asalan mengkafirkan saudaranya. Beliau berkata,

يعني: إذا لم يكن من قيل له ذلك صالحًا لها رجعت إلى من قالها، فلا يجوز للمسلم أن يكفر أخاه، ولا أن يقول: يا عدو الله ولا يا فاجر إلا بدليل

“Yaitu apabila saudaranya yang dipanggil (dituduh) tersebut tidak layak (dipanggil kafir), maka tuduhan akan kembali kepaanya. Tidak boleh seorang muslim mengkafirkan saudaranya (tanpa kaidah yan benar). Tidak boleh juga berkata ‘wahai musuh Allah’, ‘wahai fajir’ kecuali adanya dalil.’ [Fatwa syaikh bin Baz no. 17189]
Penyusun: Raehanul Bahraen
https://muslim.or.id/45464-rincian-memanggil-dengan-kata-wahai-orang-kafir.html 



Semenjak kemunculan paham agama Islam Nusantara, ‘aqidah Islam terancam dirusak dari dalam. Permisivisme terhadap praktek-praktek non-syari’at dengan dalih mengakomodasi kultur/budaya lokal mulai gencar dilakukan. Seperti misal pembelaan praktek pemberian sesajen alaHindu dan animisme, ritual mapag Dewi Sri, nyadran, dan yang lainnya dari praktek-praktek bermuatan kesyirikan[1]. Sekat-sekat yang membatasi muslim dan kafir secara sistematis ingin di-uninstall. Dikatakan, semua agama mempunyai kesempatan masuk surga. Dalam kesempatan lain, istilah kafir harus dihilangkan dalam lisan warga muslim Indonesia dan digantikan dengan ‘warga negara non-muslim’; sebagaimana terkutip dalam (inti) hasil pertemuan naas sebuah ormas beberapa waktu lalu. (Herannya), dibela pula oleh tokoh agama lulusan S3 Timur Tengah yang namanya pernah tersebut dalam kasus dugaan korupsi pertambangan yang ditangani KPK. Bak gayung bersambut, assist ‘fatwa’ yang diberikan ormas tersebut disambut gembira ria banyak oknum yang dikenal anti-syari’at Islam.

Diantara celoteh mereka dari kalangan partisan : ….Kafir adalah terminologi Qurani, namun siapa yg kafir, tersesat, siapa yg paling beriman, ini yg paling tahu hanya Tuhan, yg bisa kita lakukan melawan pengkafiran di ruang publik…… Dorong saja aturan klau pengkafiran itu masuk dlm ujaran kebencian (hate speech), saya akan berjuang unt ini”. Siap-siap saja orang yang mengatakan ‘kafir’ akan dituntut masuk bui. Sudah ada pihak yang berkeinginan mewujudkannya. Tidak cukup itu. Orang PGI yang tidak paham syari’at Islam urun bicara. Mereka merasa senang dan memberi dukungan. Ada pula pihak yang siap meneror secara psikis. Kalau ada yang bilang kafir lagi, dapat ganjaran tempeleng tangan. Lengkap sudah perangkatnya. Ada juru fatwanya, ada intelektual agama pembelanya, ada (persiapan) perangkat politiknya, dan ada tukang pukulnya.
Lantas, apa sih sebenarnya makna kafir itu ? Siapa saja yang termasuk orang kafir ? Dan apakah orang kafir selamat masuk surga ?
Kafir dalam Kamus Bahasa Indonesia terdefinisi sebagai berikut:
kafir : n tidak percaya kpd Allah dan Rasul-Nya
[Kamus Bahasa Indonesia, hal. 657; Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Cet. Thn. 2008].[2]
Kafir (كافر) adalah isim faa’il dari kata kafara (كَفَرَ) – kafara, yakfuru, kufran wa kufraanan. Jamaknya kuffaar (كُفَّارٌ). Kata kafara secara bahasa artinya ‘menutupi’. Petani disebut kaafir (dengan bentuk jamak kuffaar) karena ia menggali benih di tanah lalu menutupinya, sebagaimana terdapat dalam firman Allah :
كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ
Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani” [QS. Al-Hadiid : 20].
Adapun secara istilah, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan:
والكفر هو عدم الايمان سواء كان معه تكذيب أو إستكبار أو إباء أو إعراض فمن لم يحصل فى قلبه التصديق والانقياد فهو كافر
“Kufur adalah ketiadaan iman kepada Allah dan Rasul-Nya, baik dengan pendustaan, kesombongan, penolakan, atau berpaling[3]. Maka barangsiapa yang tidak didapatkan dalam hatinya tashdiiq (pembenaran) dan inqiyaad (ketundukan), maka ia kafir” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/639].
Begitu pula Ibnu Hazm rahimahullah yang berkata:
الجحد لشيء مما صح البرهان أنه لا إيمان إلا بتصديقه كفرٌ ، والنطق بشيء من كل ما قام البرهان أن النطق به كفرٌ كفر ، والعمل بشيء مما قام البرهان بأنه كفرٌ كفر
“Mengingkari sesuatu yang telah shahih petunjuk/dalilnya bahwa tidak ada keimanan melainkan dengan membenarkannya; adalah kekufuran. Mengucapkan sesuatu yang telah ada petunjuk/dalil bahwa mengucapkannya merupakan kekufuran; adalah kekufuran. Mengamalkan sesuatu yang telah ada petunjuk/dalil bahwa mengamalkannya merupakan kekufuran; adalah kekufuran” [Al-Fash, 3/256].
Kekufuran adalah lawan dari keimanan. As-Suyuuthiy rahimahullah berkata:
ما كان تركه كفرا ، ففعله إيمان ، وما لا فلا
“Segala sesuatu yang dengan meninggalkannya disebut kekufuran, maka mengerjakannya adalah keimanan. Dan apa saja yang tidak demikian, maka tidak pula demikian” [Al-Asybah wan-Nadhaair].
So, di sini jelas. Dalam konteks agama Islam secara global, barangsiapa yang tidak beriman dengan pokok-pokok syari’at Islam, maka kafir hukumnya. Karena itu, dalam Al-Qur’an disebutkan beberapa golongan orang-orang kafir, diantaranya:
1.    Orang Musyrik Penyembah Berhala
Allah  berfirman:
فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أَوْ كَذَّبَ بِآيَاتِهِ أُولَئِكَ يَنَالُهُمْ نَصِيبُهُمْ مِنَ الْكِتَابِ حَتَّى إِذَا جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا يَتَوَفَّوْنَهُمْ قَالُوا أَيْنَ مَا كُنْتُمْ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالُوا ضَلُّوا عَنَّا وَشَهِدُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كَانُوا كَافِرِينَ
"Maka siapakah yang lebih dhalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya? Orang-orang itu akan memperoleh bahagian yang telah ditentukan untuknya dalam Kitab (Lauh Mahfudh); hingga bila datang kepada mereka utusan-utusan Kami (malaikat) untuk mengambil nyawanya, (di waktu itu) utusan Kami bertanya: "Di mana (berhala-berhala) yang biasa kamu sembah selain Allah?" Orang-orang musyrik itu menjawab: "Berhala-berhala itu semuanya telah lenyap dari kami," dan mereka mengakui terhadap diri mereka bahwa mereka adalah ORANG-ORANG YANG KAFIR" [QS. Al-A'raaf : 37].
لَهُ دَعْوَةُ الْحَقِّ وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ لا يَسْتَجِيبُونَ لَهُمْ بِشَيْءٍ إِلا كَبَاسِطِ كَفَّيْهِ إِلَى الْمَاءِ لِيَبْلُغَ فَاهُ وَمَا هُوَ بِبَالِغِهِ وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلا فِي ضَلالٍ
Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) doa yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatu pun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya sampai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan doa (ibadah) ORANG-ORANG KAFIR itu, hanyalah sia-sia belaka” [QS. Ar-Ra’d : 14].
ثُمَّ قِيلَ لَهُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ تُشْرِكُونَ * مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالُوا ضَلُّوا عَنَّا بَلْ لَمْ نَكُنْ نَدْعُو مِنْ قَبْلُ شَيْئًا كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ الْكَافِرِينَ
Kemudian dikatakan kepada mereka: "Manakah berhala-berhala yang selalu kamu persekutukan (yang kamu sembah) selain Allah?" Mereka menjawab: "Mereka telah hilang lenyap dari kami, bahkan kami dahulu tiada pernah menyembah sesuatu". Seperti demikianlah Allah menyesatkan ORANG-ORANG KAFIR” [QS. Al-Mu’min : 73-74].
Dikarenakan kekafiran mereka, maka tempat kembalinya adalah neraka, sebagaimana perkataan Ibraahiim ‘alaihis-salaam terhadap kaumnya:
وَقَالَ إِنَّمَا اتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَيَلْعَنُ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
Dan berkata Ibrahim: "Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu mela'nati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun” [QS. Al-Ankabuut : 25].
2.    Orang Kristen (Nasrani)
Allah  berfirman:
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ
"Sesungguhnya telah KAFIRLAH orang-orang yang berkata : 'Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putra Maryam" [QS. Al-Maaidah : 17].
لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
"Sesungguhnya KAFIRLAH orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga[4]", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih" [QS. Al-Maaidah : 73].
قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَذَا أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ * قُلْ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ * مَتَاعٌ فِي الدُّنْيَا ثُمَّ إِلَيْنَا مَرْجِعُهُمْ ثُمَّ نُذِيقُهُمُ الْعَذَابَ الشَّدِيدَ بِمَا كَانُوا يَكْفُرُونَ
"Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?. Katakanlah: "Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung". (Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan KEKAFIRAN mereka" [QS. Yuunus : 68-70].
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا * لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا * تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا * أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا * وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا * إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آَتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا
"Dan mereka berkata: "Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak". Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang SANGAT MUNGKAR,hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba" [QS. Maryam: 88-93].
Kemana tempat kembali mereka ?. Jawab : Neraka. Allah  berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
"Sesungguhnya orang-orang KAFIR yakni AHLI KITAB dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk" [QS. Al-Bayyinah : 6].
Ahli kitab adalah orang-orang Nasrani dan Yahudi[5].
3.    Orang (Beragama) Yahudi
Allah  berfirman:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ لا يَحْزُنْكَ الَّذِينَ يُسَارِعُونَ فِي الْكُفْرِ مِنَ الَّذِينَ قَالُوا آمَنَّا بِأَفْوَاهِهِمْ وَلَمْ تُؤْمِنْ قُلُوبُهُمْ وَمِنَ الَّذِينَ هَادُوا سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ سَمَّاعُونَ لِقَوْمٍ آخَرِينَ لَمْ يَأْتُوكَ يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ مِنْ بَعْدِ مَوَاضِعِهِ يَقُولُونَ إِنْ أُوتِيتُمْ هَذَا فَخُذُوهُ وَإِنْ لَمْ تُؤْتَوْهُ فَاحْذَرُوا
"Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) KEKAFIRANNYA, yaitu di antara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka: "Kami telah beriman", padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka mengubah perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan: "Jika diberikan ini (yang sudah diubah-ubah oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka hati-hatilah" [QS. Al-Maaidah : 41].
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَيَقُولُونَ سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاسْمَعْ غَيْرَ مُسْمَعٍ وَرَاعِنَا لَيًّا بِأَلْسِنَتِهِمْ وَطَعْنًا فِي الدِّينِ وَلَوْ أَنَّهُمْ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَاسْمَعْ وَانْظُرْنَا لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَقْوَمَ وَلَكِنْ لَعَنَهُمُ اللَّهُ بِكُفْرِهِمْ فَلا يُؤْمِنُونَ إِلا قَلِيلا
"Yaitu orang-orang Yahudi, mereka merubah perkataan dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: "Kami mendengar", tetapi kami tidak mau menurutinya. Dan (mereka mengatakan pula): "Dengarlah" sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): "Raa`ina", dengan memutar-mutar lidahnya dan mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: "Kami mendengar dan patuh, dan dengarlah, dan perhatikanlah kami", tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena KEKAFIRAN mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sangat tipis" [QS. An-Nisaa' : 46].
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ
"Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah". Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan ORANG-ORANG KAFIR yang terdahulu. DILAKNATI Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?" [QS At-Taubah : 30].
قَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا سُبْحَانَهُ هُوَ الْغَنِيُّ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ إِنْ عِنْدَكُمْ مِنْ سُلْطَانٍ بِهَذَا أَتَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ
Mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: "Allah mempunyai anak". Maha Suci Allah; Dia-lah Yang Maha Kaya; kepunyaan-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Kamu tidak mempunyai hujah tentang ini. Pantaskah kamu mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?” [QS. Yuunus : 68].
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لأوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَارِ
Dia-lah yang mengeluarkan ORANG-ORANG KAFIR di antara Ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka, bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin, bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari (siksaan) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah mencampakkan ketakutan ke dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan” [QS. Al-Hasyr : 2].
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نَافَقُوا يَقُولُونَ لإخْوَانِهِمُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِنْ قُوتِلْتُمْ لَنَنْصُرَنَّكُمْ وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
Apakah kamu tiada memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang KAFIR dari kalangan Ahli Kitab: ‘Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kami pun akan keluar bersama kamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu’. Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta” [QS. Al-Hasyr : 11].
Sama nasibnya dengan orang Nasrani dan orang kafir lainnya, orang Yahudi masuk neraka. Dalilnya QS. Al-Bayyinah ayat 6 yang telah disebutkan di atas.
Jelas sekali penunjukkan ayat-ayat di atas akan kekafiran orang penyembah berhala, Nasrani (Kristen), dan Yahudi.
Kita harus meyakini satu-satunya agama yang benar adalah Islam. Selain Islam, pasti kafir. Barangsiapa yang memilih agama selain Islam, maka termasuk orang yang merugi di akhirat. Siapa yang bilang ?. Allah  dan Rasul-Nya . Saya hanya menukil dan mengimaninya (karena pasti benar).
Allah  berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلامُ
Sesungguhnya agama (yang diridlai) di sisi Allah hanyalah Islam” [QS. Aali ‘Imraan : 19].
Qataadah bin Di’aamah rahimahumallah ketika menjelaskan ayat tersebut berkata:
وَالإِسْلامُ: شَهَادَةُ أَنَّ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ، وَالإِقْرَارُ بِمَا جَاءَ بِهِ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ، وَهُوَ دِينُ اللَّهِ الَّذِي شَرَّعَ لِنَفْسِهِ، وَبَعَثَ بِهِ رُسُلَهُ، وَدَلَّ عَلَيْهِ أَوْلِيَاءَهُ، لا يَقْبَلُ غَيْرَهُ وَلا يَجْزِي إِلا بِهِ
“Dan Islam itu adalah persaksian bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah  dan menetapkan syari’at yang datang dari sisi Allah . Itulah agama Allah  yang disyari’atkan oleh diri-Nya, yang Allah  utus dengannya para Rasul-Nya, dan Allah memberikan petunjuk dengannya para kekasih-Nya. Allah tidak menerima agama selain Islam dan tidak memberikan pahala melainkan dengannya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy 5/281-282; shahih].
Allah  berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” [QS. Aali ‘Imraan : 85].
Rasulullah  bersabda:
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya. Tidaklah ada seorang pun dari umat ini yang mendengar tentangku, baik Yahudi maupun Nasrani, kemudian ia meninggal dalam keadaan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya, kecuali ia termasuk penduduk neraka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 153].
Apa nggak capek tangan Anda nempeleng jutaan orang yang mengatakan kafir dan orang-orang kafir pasti masuk neraka dengan membaca ayat-ayat dan riwayat di atas dalam ceramah dan nasihat/taushiyyah mereka ?. Apa itu nggak ekuivalen dengan rasa kesal karena firman Allah  dan sabda Rasulullah  ?. Apa nggak takut dosa karena rasa marah dan kesal terhadap firman Allah  dan sabda Rasulullah  ?.
Kemudian,…… ada seseorang yang kasih ceramah beberapa waktu lalu dengan potongan transkrip sebagai berikut:
"….Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Mekkah, yaitu untuk memberi, menyebut nama orang-orang penyembah berhala, paganis, yang tidak memiliki kitab suci, tidak memiliki agama yang benar. Animism boleh dikata. Agnostik. Klenik. Tapi setelah Nabi Muhammad hijrah ke Kota Madinah, tidak ada istilah kafir untuk warga negara Madinah yang non muslim. Ada tiga suku non muslim, (yaitu) suku Bani Qainuqa', Bani Quraidlah, wan-Nadhiir...disebut non-muslim. Tidak disebut kafir. Ini harus kita jelaskan secara ilmiah...."
[selesai kutipan]
Ditambah lagi halusinasi seseorang yang berkata:
“Maka, saat hijrah, Rasul Shallallahu Alayhi Wasallam menyepakati piagam bernegara bersama seluruh komponen di Madinah.
Dalam piagam itu ada hak dan kewajiban yang sama. Kata kafir tidak digunakan dalam piagam itu untuk menyebut kelompok-kelompok Yahudi yang ikut dalam kesepakatan itu. Karena piagam Madinah bukan tentang prinsip akidah tapi tentang membangun ruang bersama untuk semua….”
[selesai kutipan]
Omongan ndabul alias dusta.
Ayat-ayat di atas sebagai bantahannya. QS. An-Nisaa', Al-Maaidah, At-Taubah, Al-Hasyr, dan Al-Bayyinah termasuk Madaniyyah (turun di Madinah), sehingga dipahami bahwa konteks KEKAFIRAN Yahudi dan Nasrani (Kristen) di situ mencakup Yahudi dan Nasrani penduduk Madinah. Selain itu, kekafiran tidak disebabkan faktor geografis, akan tetapi disebabkan ‘aqidah dan amalan kekafiran yang dimiliki pelakunya.
Bagaimana tidak dikatakan KAFIR kepada orang yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta syari’at yang beliau  bawa[6], tidak beriman kepada Al-Qur’an[7], merubah ayat-ayat Allah, berbuat kesyirikan, dan mengakui Allah  mempunyai anak ?.
Tentang QS. Aali ‘Imraan ayat 12:
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ وَتُحْشَرُونَ إِلَى جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
'Katakanlah kepada orang-orang yang KAFIR: Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahanam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya
maka ‘Aashim bin ‘Umar bin Qataadah rahimahullah (w. 126/127 H) – ulama taabi’iinyang sangat menguasai ilmu maghaaziy – menjelaskan:
لَمَّا أَصَابَ اللَّهُ قُرَيْشًا يَوْمَ بَدْرٍ، جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ يَهُودَ فِي سُوقِ بَنِي قَيْنُقَاعَ، ثُمَّ قَدِمَ الْمَدِينَةَ، فَقَالَ: " يَا مَعْشَرَ يَهُودٍ أَسْلِمُوا قَبْلَ أَنْ يُصِيبَكُمُ اللَّهُ بِمِثْلِ مَا أَصَابَ بِهِ قُرَيْشًا، قَالُوا لَهُ: يَا مُحَمَّدُ لا يَغُرَّنَّكَ مِنْ نَفْسِكَ أَنْ قَتَلْتَ نَفَرًا مِنْ قُرَيْشٍ كَانُوا أَعْمَارًا لا يَعْرِفُونَ الْقِتَالَ، إِنَّكَ وَاللَّهِ لَوْ قَاتَلْتَنَا لَعَرَفْتَ أَنَّا نَحْنُ النَّاسَ، وَأَنَّكَ لَمْ تَلْقَ مِثْلَنَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي ذَلِكَ مِنْ قَوْلِهِمْ قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ وَتُحْشَرُونَ إِلَى جَهَنَّمَ وَبِئْسَ الْمِهَادُ إِلَى قَوْلِهِ: لَعِبْرَةً لأُولِي الأَبْصَارِ "
“Ketika Allah  memberikan kekalahan kepada kaum Quraisy pada perang Badr, Rasulullah  (memerintahkan untuk) mengumpulkan orang-orang Yahudi di pasar Bani Qainuqaa’. Kemudian beliau tiba di Madinah lalu bersabda : ‘Wahai orang-orang Yahudi, masuklah ke agama Islam sebelum Allah menimpakan kepada kalian kekalahan semisal yang menimpa orang-orang Quraisy’. Mereka berkata kepada beliau  : ‘Wahai Muhammad, janganlah tertipu dengan dirimu sendiri karena engkau telah membunuh sekelompok orang-orang Quraisy. Mereka adalah orang-orang yang tidak berpengalaman lagi tidak mengerti tentang peperangan. Sesungguhnya jika engkau memerangi kami – demi Allah –, niscaya engkau akan tahu bahwa kami adalah ahlinya, dan engkau pun akan tahu bahwa engkau belum pernah menemui orang sehebat kami (di medan perang)’. Maka Allah  menurunkan ayat terkait perkataan mereka :'Katakanlah kepada orang-orang yang KAFIR: Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahanam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya. Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur). Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati (QS. Aali 'Imraan : 12)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya no. 3234; sanadnya hasan hingga ‘Aashim[8]].
Ibnu Ishaaq rahimahullah – ulama ahli sejarah – menetapkannya juga sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir dalam Tafsiir-nya no. 272 dengan sanad hasan.
Intinya, QS. Aali 'Imraan ayat 12 berbicara kepada orang-orang KAFIR dari kalangan Yahudi Madinah.
Juga tentang ayat:
هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لأوَّلِ الْحَشْرِ
Dia-lah yang mengeluarkan ORANG-ORANG KAFIR di antara ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama” [QS. Al-Hasyr : 2]
Mujaahid bin Jabr Al-Makkiy dan Qataadah bin Di’aamah rahimahumallah menjelaskan ayat tersebut berkenaan dengan Yahudi Bani Nadliir [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 22/497; sanadnya shahih dari perkataan Mujaahid dan Qataadah]. Inilah yang dikuatkan oleh Ath-Thabariy rahimahullah [idem, 22/496-497].
Tentang piagam Madinah, ada statement yang menetapkan eksistensi kata “kafir” di dalamnya.
Muhammad bin Musim bin Syihaab Az-Zuhriy rahimahullah meriwayatkan sebagian butir kesepakatan dalamn Piagam Madinah itu sebagai berikut:
لا يَقْتُلُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنًا فِي كَافِرٍ، وَلا يَنْصُرُ كَافِرًا عَلَى مُؤْمِنٍ
“Seorang mukmin tidak boleh membunuh mukmin yang lain karena pembunuhan terhadap ORANG KAFIR, dan tidak boleh menolong ORANG KAFIR untuk membunuh orang mukmin….” [Diriwayatkan oleh Al-Qaasim bin Sallaam dalam Al-Amwaal no. 518 dan Ibnu Zanjuuyah dalam Al-Amwaal no. 750 dengan sanad shahih sampai Az-Zuhriy].
Ibnu Ishaaq rahimahullah juga meriwayatkannya sebagaimana disebutkan dalam‘Uyuunul-Atsar oleh Ibnu Sayyidin-Naas Al-Ya’muriy, 1/318.
So, Yahudi dan Nasrani dalam perspektif syari’at dinamakan KAFIR, baik sebelum atau setelah Nabi  hijrah ke Madinah, sampai hari ini dan sampai hari kiamat.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata:
واتفقوا على تسمية اليهود والنصارى كفارًا
"Para ulama sepakat dalam penamaan Yahudi dan Nasrani (Kristen) sebagai orang-orang kafir” [Maraatibul-Ijmaa’, hal. 119 – melalui perantaraan Muhammad ‘Imaarah fii Miizaani Ahlis-Sunnah wal-Jamaa’ah hal. 377].
Al-Ghazaaliy rahimahullah berkata:
اليهود والنصارى وأهل الملل كلهم من المجوس وعبدة الأوثان وغيرهم، فتكفيرهم منصوص عليه في الكتاب ومجمع عليه بين الأمة
“Yahudi, Nasrani (Kristen), serta semua penganut agama lain dari kalangan Majusi, penyembah berhala, dan yang lainnya; maka pengkafiran terhadap mereka termaktub dalam nash-nash Al-Qur’an dan disepakati oleh umat Islam” [Al-Iqtishaad fil-I’tiqaad – melalui perantaraan As-Sabiilu fii Ushuulil-Fiqh, 1/77].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyyah rahimahullah berkata:
فإن اليهود والنصارى كفار كفرا معلوما بالإضطرار من دين الإسلام
“Sesungguhnya Yahudi dan Nasrani (Kristen) adalah orang-orang kafir, dengan kekufuran yang diketahui secara pasti dalam agama Islam” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 35/201].
Sekali lagi : Statusnya kafir, dinamakan kafir, dan wajib dikafirkan; berlaku semenjak zaman Nabi  hingga hari kiamat kelak. Tidak akan pernah berubah.
Lantas ada sebagian orang tergopoh-gopoh bikin 'noise' bahwa pembelaan fatwa/rekomendasi (nyleneh) tersebut untuk menghindari konflik dalam pergaulan sosial akibat panggilan seorang muslim kepada temannya yang Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu: “Hai kafir !!”.
Ini adalah halusinasi yang terlalu berlebihan. Adakah kita dalam keseharian memanggil saudara kita (jika ada)[9], kolega/rekan kita, atasan-bawahan kita yang beragama bukan Islam dengan : “Hai kafir, saya mau kasih kamu sesuatu. Hai kafir, ke sini dong. Hai kafir, saya mau pergi….dst”. Mereka memanggil dengan namanya, atau dengan awalan “Bapak, Ibu, Mas, Mbak, Teteh, Akang, Koh, Bli, Mbok,… dan yang lainnya. Ini realitas umum yang tidak dikarang-karang.
Saya belum pernah menemukan ustadz atau ulama yang mengajarkan untuk memanggil dalam pergaulan sehari-hari dengan ‘hai kafir’, walaupun ‘aqidah/keimanan mereka memang kafir. Kalaupun ada, sudah pasti ini outlier yang tidak boleh dijadikan sarana generalisasi. Disamping menegaskan KEKAFIRAN orang yang beragama selain Islam (dan kita memang harus meyakini dan mengikrarkannya), Al-Qur’an dan hadits tak luput menjelaskan bagaimana cara berinteraksi dengan orang-orang kafir non-Islam. Akan saya contohkan….
Tahu Fir’aun kan ?. Itu,…. orang yang mengaku tuhan dan berbuat kerusakan di muka bumi.
Allah  berfirman:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا الْمَلأ مَا عَلِمْتُ لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرِي
Dan berkata Firaun: ‘Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku” [QS. Al-Qashshash : 38].
إِنَّ فِرْعَوْنَ عَلا فِي الأرْضِ وَجَعَلَ أَهْلَهَا شِيَعًا يَسْتَضْعِفُ طَائِفَةً مِنْهُمْ يُذَبِّحُ أَبْنَاءَهُمْ وَيَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ إِنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ
Sesungguhnya Fir’aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Firaun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan” [QS. Al-Qashshash : 4].
Tapi apa yang diperintahkan Allah  kepada Musa ‘alaihis-salaam saat Ia memerintahkannya untuk berkomunikasi dengannya dalam rangka meluruskan dan mendakwahinya ?. Allah  berfirman (kepada Musa ‘alaihis-salaam):
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى * فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” [QS. Thaha : 43-44].
Allah  juga menceritakan kisah Nuuh ‘alaihis-salaam ketika memanggil anaknya yang tidak menyambut seruan dakwahnya untuk naik ke atas kapal:
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ وَنَادَى نُوحٌ ابْنَهُ وَكَانَ فِي مَعْزِلٍ يَا بُنَيَّ ارْكَبْ مَعَنَا وَلا تَكُنْ مَعَ الْكَافِرِينَ
Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Wahai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir” [QS. Huud : 42].
Nuuh ‘alaihis-salaam tetap memanggil anaknya dengan seruan kasih sayang : yaa bunayya (wahai anaku), bukan “hai kafir, naiklah ke atas kapal”.
Begitu pula dengan cara berkomunikasi Ibraahiim ‘alaihis-salaam kepada ayahnya, Azhar, yang menyembah berhala. Allah ta’ala berfirman:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَبِيًّا * إِذْ قَالَ لأبِيهِ يَا أَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لا يَسْمَعُ وَلا يُبْصِرُ وَلا يُغْنِي عَنْكَ شَيْئًا * يَا أَبَتِ إِنِّي قَدْ جَاءَنِي مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِي أَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا * يَا أَبَتِ لا تَعْبُدِ الشَّيْطَانَ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلرَّحْمَنِ عَصِيًّا * يَا أَبَتِ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَمَسَّكَ عَذَابٌ مِنَ الرَّحْمَنِ فَتَكُونَ لِلشَّيْطَانِ وَلِيًّا
Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al-Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya: ‘Wahai bapakku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolongmu sedikitpun.Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan” [QS. Maryam: 41-42].
Ibraahiim tidak menyebut ‘Wahai kafir’, akan tetapi panggilan penuh adab yaitu yaa abati (wahai ayahku). Bersamaan dengan itu, Ibraahiim tetap menganggap ayahnya adalah orang yang sesat, sebagaimana firman Allah  tentang doa Ibraahiim ‘alaihis-salaam:
وَاغْفِرْ لأبِي إِنَّهُ كَانَ مِنَ الضَّالِّينَ
Dan ampunilah bapakku[10], karena sesungguhnya ia adalah termasuk golonganorang-orang yang sesat” [QS. Asy-Syu’araa’ : 86].
Tentu ini berbeda konsep dengan Islam Liberal dan agama Islam Nusantara yang hendak berdalih dengan masalah komunikasi untuk mengeliminasi pengakuan kekafiran dalam lisan seorang muslim terhadap penganut agama lain. Hendak membungkam lisan kita untuk menyatakan kekafiran orang yang beragama selain Islam.
Kalaupun ada sebagian orang yang dalam kesehariannya memanggil temannya yang tidak beragama Islam dengan “Hai kafir, ke sini” dan yang semisal dengan perkataan ini; saya yakin sedikit jumlahnya. Dan kebanyakan dari yang sedikit itu justru ditimbulkan akibat konflik sosial lain sehingga memanas (timbul kemarahan, emosi) bermuara pada sentimen keagamaan. Juga debat-debat di dunia maya antar umat beragama saling caci-maki yang mayoritasnya menggunakan akun anonim.
Kalaupun mau mengatur, aturlah masalah ketertiban umum dan kerukunan bersama di luar masalah yang telah diatur/ditetapkan oleh agama. Tidak usah sok-sokan menjadi pahlawan ingin merubah aturan agama dengan dalih menjaga toleransi kebhinekaan. Allah  yang menciptakan manusia (jauh) lebih tahu kemaslahatan ciptaan-Nya. Dan kenyataannya, dari semenjak zaman Nabi , para sahabat, taabi’iinatbaa’ut-taabi’iin, imam yang empat, para ulama Ahlus-Sunnah setelahnya, dan masyarakat Islam secara umum tidak ada masalah dengan kata ‘kafir’ tersebut. Aman-aman saja. Mereka tetap hidup damai menjauhi kedhaliman terhadap orang lain walaupun berstatus kafir.
Sebaliknya, kaum muslimin sama sekali tidak merasa keberatan dianggap sebagai domba sesat, kafir, golongan yang tidak selamat, akan disiksa para dewa, atau semisal yang saya pribadi tidak tahu secara persis peristilahan setiap agama. Kita tetap menghormati mereka, tidak mendhalimi mereka meskipun mereka meyakini hal-hal tersebut kepada kita (kaum muslimin). Dan memang itu telah berjalan selama ini. Jadi apa masalahnya ?. Saya tahu, banyak Anda menjadi ompong giginya saat berhadapan dengan orang non-Islam.
Saya tidak mengingkari kalau ada seorang muslim menyebut temannya yang tidak beragama Islam dengan kata ‘non-muslim’. Tidak masalah[11]. Dan memang ini cukup elegan kita terapkan dalam pergaulan sehari-hari. Tapi bukan berarti kita pensiun mengatakan kafir terhadap non-muslim. Tidak. Tetap kita katakan secara ‘internal’, karena memang harus dikatakan sebagai bagian dari ‘aqidah yang harus ada pada setiap muslim.
Dengan mengatakan non-muslim bukan berarti kita tidak mengamalkan ayat:
لا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Janganlah orang-orang mukmin mengambil ORANG-ORANG KAFIR menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” [QS. Aali ‘Imraan : 28].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil ORANG-ORANG YAHUDI DAN NASRANI menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhalim” [QS. Al-Maaidah : 55].
وَلا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Dan janganlah kamu nikahi WANITA-WANITA MUSYRIK, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari WANITA MUSYRIK, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan ORANG-ORANG MUSYRIK (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari ORANG MUSYRIK walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran” [QS. Al-Baqarah : 221].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi ORANG-ORANG KAFIR itu dan ORANG-ORANG KAFIR itu tidak halal pula bagi mereka” [QS. Al-Mumtahanah : 10].
Dan ayat-ayat lain yang berbicara tentang orang kafir dari kalangan musyrik, Yahudi, Nasrani, dan yang lainnya.
Ayat-ayat di atas tetap kita imani, amalkan, dan berlaku pada mereka (orang kafir).Non-muslim tetap kafir.
Jangan khawatir wahai bapak-bapak yang terhormat – presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota, dan pemangku jabatan lainnya – bahwa dengan ‘aqidah ini kami akan menghancurkan bangsa ini, meneror penduduk non-muslim (kafir), membuat bom dan meledakkannya di gereja, pura, dan vihara. Kami insyaAllah akan tetap taat aturan – selama itu ma’ruuf – , menjaga keamanan dan ketertiban, serta tidak melakukan pemberontakan terhadap penguasa yang sah[12]. Karena Allah  berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil-amri di antara kamu” [QS. An-Nisaa’ : 59].
Rasulullah  bersabda:
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا، وَإِنِ اسْتُعْمِلَ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ
Dengar dan taatlah, meskipun yang memerintahkan kalian adalah seorang budak Habsyiy yang kepalanya seperti kismis” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 693 & 696 & 7142, Ibnu Maajah no. 2860, dan yang lainnya].
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada penguasa/umaraa’) pada apa-apa yang ia sukai atau ia benci, kecuali apabila ia diperintah untuk berbuat kemaksiatan. Apabila penguasa itu menyuruh untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1839].
Inilah yang diajarkan guru-guru kami saat mengajarkan prinsip-prinsip Ahlus-Sunnah yang diantaranya berbunyi:
وَلا نَرَى الْخُرُوجَ عَلَى الأَئِمَّةِ وَلا الْقِتَالَ فِي الْفِتْنَةِ، وَنَسْمَعُ وَنُطِيعُ لِمَنْ وَلاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَمْرَنَا وَلا نَنْزِعُ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ، وَنَتَّبِعُ السُّنَّةَ وَالْجَمَاعَةَ، وَنَجْتَنِبُ الشُّذُوذَ وَالْخِلافَ وَالْفُرْقَةَ
“Dan kami memandang tidak bolehnya keluar ketaatan (memberontak) kepada para pemimpin (kaum muslimin) dan mengobarkan peperangan di masa fitnah. Kami senantiasa mendengar dan taat kepada orang yang Allah ‘azza wa jalla berikan kekuasaan untuk mengatur urusan kami. Kami tidak akan melepaskan tangan kami dari ketaatan. Kami mengikuti sunnah dan jama’ah, serta menjauhkan diri dari keganjilan, penyelisihan, dan perpecahan”[13] [Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’aholeh Al-Laalikaa’iy, 1/176-180 no. 321-322].
Sebagaimana kami menolak perkataan para propagandis pluralisme dan liberalisme agama karena Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka kami pun mentaati kalian – wahai pemimpin kami – juga karena Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sebagaimana kami menolak dengan tegas paham takfiriy yang bermudah-mudah dalam mengkafirkan sesama muslim,  maka kami pun menolak dengan tegas paham Murji’ah yang tidak mau mengkafirkan golongan yang ditetapkan secara jelas sebagai orang kafir oleh Allah  dan Rasul-Nya  sebagaimana di atas.
Kami berdoa kepada Allah  agar para pemimpin negara ini senantiasa diberikan petunjuk dapat menjalankan amanahnya dengan baik dalam mengurus rakyat serta dijauhkan dari ulama-ulama suu’ dan pembisik jahat yang akan membawa musibah bagi negeri tercinta dan umat Islam.
Kami mencintai negeri kami dan menginginkan kebaikan bagi negeri kami[14].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 09032019].
[1]    Silakan baca artikel : Modifikasi Kesyirikan.
[2]    Semoga tidak ada re-definisi untuk mengakomodasi pemahaman agama Islam Nusantara.
Smartphone kita juga dapat diinstal aplikasi KBBI :
Sia-sia punya HP berlabel ‘smart (phone)’, jika pemiliknya stupid hanya dipakai buat nge-game dan chatting.
[3]    Rincian macam-macam kekufuran (akbar) dapat dibaca dalam artikel : Macam-macam Kekufuran Akbar. Adapun pembagian kekafiran secara global, silakan dibaca artikel yang ditulis oleh guru kami, Ustadzunaa Yaziid Jawwas hafidhahullah : Prinsip Ahlus Sunnah Wal Jama’ah Terhadap Masalah Kufur Dan Takfir (Pengkafiran).
[4]    Ajaran Trinitas, konsep pokok teologi Kristen.
[5]    Rincian lebih lanjut tentang siapa saja yang termasuk Ahli Kitab, silakan baca artikel :Siapakah Ahlul-Kitaab ?.
[6]    Qataadah bin Di’aamah rahimahullah (w. 117 H) ketika menjelaskan ayat:
وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu” [QS. Al-Baqarah : 89]
ia berkata:
كَانَتِ الْيَهُودُ تَسْتَفْتِحُ بِمُحَمَّدٍ عَلَى كُفَّارِ الْعَرَبِ مِنْ قَبْلُ، وَقَالُوا: اللَّهُمَّ ابْعَثْ هَذَا النَّبِيَّ الَّذِي نَجِدُهُ مكتوبا فِي التَّوْرَاةِ يُعَذِّبُهُمْ وَيَقْتُلُهُمْ، فَلَمَّا بَعَثَ اللَّهُ نبيه مُحَمَّدًا فَرَأَوْا أَنَّهُ بُعِثَ مِنْ غَيْرِهِمْ كَفَرُوا بِهِ حَسَدًا لِلْعَرَبِ، وَهُمْ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ رَسُولُ، يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ، فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Dulu orang-orang Yahudi biasa memohon kedatangan Muhammad  untuk mendapatkan kemenangan atas orang-orang kafir bangsa ‘Arab. Mereka berdoa : ‘Ya Allah, utuslah Nabi yang kami dapati tertulis dalam Taurat ini yang akan mengadzab dan membunuh mereka’. Namun ketika Allah  mengutus Nabi-Nya – Muhammad -  lalu mereka (Yahudi) melihatnya diutus dari kalangan selain mereka, mereka mengingkarinya karena hasad terhadap bangsa ‘Arab. Padahal mereka mengetahui beliau  adalah Rasul yang mereka dapati tertulis dalam Taurat di sisi mereka. ‘Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya’ (QS. Al-Baqarah : 89)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 2/239; shahih].
Inilah kelakuan orang-orang Yahudi Madinah dari kalangan Bani Qainuqaa’, Bani Quraidhah, dan Bani Nadliir menyikapi Nabi  dan risalah yang beliau bawa.
Mush’ab bin Sa’d rahimahumallah (w. 103 H) berkata:
سَأَلْتُ أَبِي قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأَخْسَرِينَ أَعْمَالا هُمْ الْحَرُورِيَّةُ؟ قَالَ: لَا، هُمْ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى، أَمَّا الْيَهُودُ فَكَذَّبُوا مُحَمَّدًا وَأَمَّا النَّصَارَى فَكَفَرُوا بِالْجَنَّةِ، وَقَالُوا: لَا طَعَامَ فِيهَا وَلَا شَرَابَ، وَالْحَرُورِيَّةُ الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ، وَكَانَ سَعْدٌ يُسَمِّيهِمُ الْفَاسِقِينَ "
Aku pernah bertanya kepada ayahku (yaitu Sa’d bin Abi Waqqaash radliyallaahu ‘anhu) tentang ayat : Katakanlah: ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ (QS. Al-Kahfi : 103), apakah mereka itu orang-orang Haruuriyyah (Khawaarij) ?. Ia menjawab : “Tidak, mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani. Adapun Yahudi, mereka mendustakan Muhammad , sedangkan Nasrani mengingkari Jannah (surga). Mereka (Nasrani) berkata : ‘Tidak ada makanan dan minuman di dalamnya’. Haruuriyyah, maka mereka itu ‘orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh’ (QS. Al-Baqarah : 27)”. Sa’d menamakan mereka (Haruuriyyah) orang-orang fasiq [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4728].
Inilah penilaian sahabat Nabi  tentang keadaan Yahudi dan Nasrani.
[7]    ‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhu saat menjelaskan ayat:
كَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى الْمُقْتَسِمِينَ
Sebagaimana (Kami telah memberi peringatan), Kami telah menurunkan (adzab) kepada orang-orang yang membagi-bagi (Kitab Allah)” [QS. Al-Hijr : 90]
ia berkata:
آمَنُوا بِبَعْضٍ، وَكَفَرُوا بِبَعْضٍ، الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى
“Mereka beriman kepada sebagian ayat dan mengingkari sebagian yang lain. Mereka itu adalah Yahudi dan Nasrani” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4705].
[8]    Ada riwayat marfuu’ dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَمَّا أَصَابَ رَسُولُ اللَّهِ قُرَيْشًا يَوْمَ بَدْرٍ وَقَدِمَ الْمَدِينَةَ جَمَعَ الْيَهُودَ فِي سُوقِ بَنِي قَيْنُقَاعَ، فَقَالَ: " يَا مَعْشَرَ يَهُودَ أَسْلِمُوا قَبْلَ أَنْ يُصِيبَكُمْ مِثْلُ مَا أَصَابَ قُرَيْشًا "، قَالُوا: يَا مُحَمَّدُ لَا يَغُرَّنَّكَ مِنْ نَفْسِكَ أَنَّكَ قَتَلْتَ نَفَرًا مِنْ قُرَيْشٍ كَانُوا أَغْمَارًا لَا يَعْرِفُونَ الْقِتَالَ إِنَّكَ لَوْ قَاتَلْتَنَا لَعَرَفْتَ أَنَّا نَحْنُ النَّاسُ وَأَنَّكَ لَمْ تَلْقَ مِثْلَنَا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ فِي ذَلِكَ: قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا سَتُغْلَبُونَ......
Dari Ibnu 'Abbaas : Ketika Rasulullah  tiba di Madinah pasca beliau mengalahkan orang-orang Quraisy pada perang Badr, orang-orang Yahudi berkumpul di pasar Bani Qainuqa’. (Lalu datanglah) Nabi  dan bersabda (kepada mereka) : "Wahai orang-orang Yahudi, masuklah ke agama Islam sebelum kalian ditimpa hal yang menimpa orang-orang Quraisy". Mereka berkata : "Wahai Muhammad, janganlah tertipu dengan dirimu sendiri karena engkau telah membunuh sekelompok orang-orang Quraisy. Mereka adalah orang-orang dungu yang tidak mengerti tentang peperangan. Seandainya engkau memerangi kami, niscaya engkau akan tahu bahwa engkau belum pernah menemui orang sehebat kami (di medan perang). Maka Allah  menurunkan ayat terkat hal itu : 'Katakanlah kepada orang-orang yang KAFIR: Kamu pasti akan dikalahkan (di dunia ini) dan akan digiring ke dalam neraka Jahanam. Dan itulah tempat yang seburuk-buruknya' (QS. Aali 'Imraan : 12)....." [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3001].
Hanya saja sanadnya dla’iif.
[9]    Saudara berdasarkan nasab.
Pembahasan hukum memanggil orang kafir dengan sebutan ‘saudara’ dapat dibaca dalam artikel : Hukum Memanggil Non-Muslim Sebagai Saudara.
[10]   Namun setelah mengetahui ayahnya mati dalam keadaan kafir/musyrik, maka ia tidak lagi mendoakan memintakan ampunan kepadanya. Allah  berfirman:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ * وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam. Permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya” [QS. At-Taubah: 114].
[11]   Silakan baca artikel (tahun 2012) : Istilah Non-Muslim dan Upaya Deradikalisasi.
[12]   Dalam Blog ini telah banyak artikel yang mengulas tema ini, diantaranya:
m.   dan lain-lain.
[14]   Silakan baca artikel Cinta Tanah Air dan Negeri.

Tahukah Anda, Apa Yang Paling Dibenci Orang Kafir? 

Ya, ada satu hal yang sangat mereka benci, yaitu bila anda menjadi seorang muslim yang benar-benar paham agama anda dan loyal kepada agama anda.

Karena itu untuk melawan kebencian orang kafir bukan dengan cara berteriak, atau membuat huru-hara, namun sujudlah dengan khusyu‘ kepada Allah Ta’ala, atau lantunkanlah ayat-ayat al Qur’an dengan penuh penghayatan, atau hadirilah kajian-kajian yang mengajak anda memurnikan Islam anda, atau tutuplah aurat istri dan anak anak anda, dan demikian seterusnya.
Walau anda diam seribu bahasa, namun anda tekun mempelajari dan mengamalkan Islam yang murni, bukan Islam yang masuk angin karena telah dibawa ka alam JIN, niscaya orang-orang kafir murka dan sekaligus gentar.
Sobat, sadarilah sejatinya mereka bukan benci kepada wajah anda yang tampan atau cantik jelita, tidak pula benci kepada rasa anda sebagai orang jawa atau sunda atau lainnya, tidak pula karena anda kaya atau pandai.
Satu hal yang menjadikan mereka murka dan benci kepada anda ialaha karena anda hanya sudi mengabdi kepada Allah Ta’ala semata, dan hanya mau meneladani sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam semata, jauh dari budaya yang menyimpang atau rekayasa tangan manusia. SImak dan camkan firman Allah Ta’ala berikut:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ هَلْ تَنقِمُونَ مِنَّا إِلاَّ أَنْ آمَنَّا بِاللّهِ وَمَا أُنزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلُ وَأَنَّ أَكْثَرَكُمْ فَاسِقُونَ
“Katakanlah: “Hai Ahli kitab, apakah kamu memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik?”” (QS. Al Maidah: 59).
Dahulu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya dimusuhi, dibenci, diusir dan diperangi juga karena alasan yang sama, enggan mengakui sesembahan selain Allah Ta’ala, baik yang berupa manusia semisal nabi Isa alaihissalam, atau bebatauan atau pepohonan atau hewan atau lainnya.
الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِن دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَن يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ
“Orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”” (QS. Al Hajj: 40).
Jadi, kalau anda ingin membalas kejahatan dan melawan mereka, maka hanya ada satu cara yaitu murnikan ibadah anda hanya kepada Allah Ta’ala dan satukan panutan anda hanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hanya dengan ini pula anda akan berjaya.
Sobat! Mari dengan pekikkan takbir ALLAHU AKBAR kita kobarkan tauhid dan singkirkan syirik.
Bukti Toleransi Islam Terhadap Agama Lainnya

Agama Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi keadilan. Kedalian bagi siapa saja, yaitu menempatkan sesuatu sesuai tempatnya dan memberikan hak sesuai dengan haknya. Begitu juga dengan toleransi dalam beragama. Agama Islam melarang keras berbuat zalim dengan agama selain Islam dengan merampas hak-hak mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahah: 8)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan, “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menyambung silaturrahmi, membalas kebaikan , berbuat adil kepada orang-orang musyrik, baik dari keluarga kalian dan orang lain. Selama mereka tidak memerangi kalian karena agama dan selama mereka tidak mengusir kalian dari negeri kalian, maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan mereka karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak ada larangan dan tidak ada kerusakan.” [1]
Akan tetapi toleransi ada batasnya dan tidak boleh kebablasan. Semisal mengucapkan “selamat natal” dan menghadiri acara ibadah atau ritual kesyirikan agama lainnya. Karena jika sudah urusan agama, tidak ada toleransi dan saling mendukung.
Berikut beberapa bukti bahwa Islam adalah agama yang menjunjung toleransi terhadap agama lainnya dan tentunya bukan toleransi yang kebablasan, diantaranya:
1. Ajaran berbuat baik terhadap tetangga meskipun non-muslim
Berikut ini teladan dari salafus shalih dalam berbuat baik terhadap tetangganya yang Yahudi. Seorang tabi’in dan beliau adalah ahli tafsir, imam Mujahid, ia berkata, “Saya pernah berada di sisi Abdullah bin ‘Amru sedangkan pembantunya sedang memotong kambing. Dia lalu berkata,
ياَ غُلاَمُ! إِذَا فَرَغْتَ فَابْدَأْ بِجَارِنَا الْيَهُوْدِي
”Wahai pembantu! Jika anda telah selesai (menyembelihnya), maka bagilah dengan memulai dari tetangga Yahudi kita terlebih dahulu”.
Lalu ada salah seorang yang berkata,
آليَهُوْدِي أَصْلَحَكَ اللهُ؟!
“(kenapa engkau memberikannya) kepada Yahudi? Semoga Allah memperbaiki kondisimu”.
‘Abdullah bin ’Amru lalu berkata,
إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوْصِي بِالْجَارِ، حَتَّى خَشَيْنَا أَوْ رُؤِيْنَا أَنَّهُ سَيُوّرِّثُهُ
‘Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat terhadap tetangga sampai kami khawatir kalau beliau akan menetapkan hak waris kepadanya.” [2]
2. Bermuamalah yang baik dan tidak boleh dzalim terhadap keluarga dan kerabat meskipun non-muslim
Misalnya pada ayat yang menjelaskan ketika orang tua kita bukan Islam, maka tetap harus berbuat baik dan berbakit kepada mereka dalam hal muamalah. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS. Luqman: 15)
3. Islam melarang keras membunuh non-muslim kecuali jika mereka memerangi kaum muslimin.
Dalam agama Islam orang kafir yang boleh dibunuh adalah orang kafir harbi yaitu kafir yang memerangi kaum muslimin. Selain itu semisal orang kafir yang mendapat suaka atau ada perjanjian dengan kaum muslimin semisal kafir dzimmi, kafir musta’man dan kafir mu’ahad, maka dilarang keras untuk dibunuh. Jika melanggar maka ancamannya sangat keras.
مَنْ قَتَلَ قَتِيلًا مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَجِدْ رِيحَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Barangsiapa membunuh seorang kafir dzimmi, maka dia tidak akan mencium bau surga. Padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun. ”[3]
4. Adil dalam hukum dan peradilan terhadap non-muslim
Contohnya ketika Umar bin Khattab radhiallahu’anhu membebaskan dan menaklukkan Yerussalem Palestina. Beliau menjamin warganya agar tetap bebas memeluk agama dan membawa salib mereka. Umar tidak memaksakan mereka memluk Islam dan menghalangi mereka untuk beribadah, asalkan mereka tetap membayar pajak kepada pemerintah Muslim. Berbeda ketika bangsa dan agama lain mengusai, maka mereka melakukan pembantaian.
Umar bin Khattab juga memberikan kebebasan dan memberikan hak-hak hukum dan perlindungan kepada penduduk Yerussalem walaupun mereka non-muslim.
Ajakan toleransi agama yang “kebablasan”
Toleransi berlebihan ini, ternyata sudah ada ajakannya sejak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperjuangkan agama Islam.
Suatu ketika, beberapa orang kafir Quraisy yaitu Al Walid bin Mughirah, Al ‘Ash bin Wail, Al Aswad Ibnul Muthollib, dan Umayyah bin Khalaf menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menawarkan tolenasi kebablasan kepada beliau, mereka berkata:
يا محمد ، هلم فلنعبد ما تعبد ، وتعبد ما نعبد ، ونشترك نحن وأنت في أمرنا كله ، فإن كان الذي جئت به خيرا مما بأيدينا ، كنا قد شاركناك فيه ، وأخذنا بحظنا منه . وإن كان الذي بأيدينا خيرا مما بيدك ، كنت قد شركتنا في أمرنا ، وأخذت بحظك منه
“Wahai Muhammad, bagaimana jika kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, maka kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.”[4]
Kemudian turunlah ayat berikut yang menolak keras toleransi kebablasan semacam ini,
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ. لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ. وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ. لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”. (QS. Al-Kafirun: 1-6).
Demikian semoga bermanfaat.
@Perpus FK UGM
Catatan kaki
[1] Taisir Karimir Rahman hal. 819, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet. Ke-1, 1424 H
[2] Al Irwa’ Al-ghalil no. 891
[3] HR. An Nasa’i. dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
[4] Tafsir Al Qurthubi 20: 225, Darul Kutub Al-Mishriyyah, cet. Ke-II, 1386 H
Penyusun: Raehanul Bahraen
https://muslim.or.id/23967-bukti-toleransi-islam-terhadap-agama-lainnya.html  

Toleransi Bukan Berarti Korbankan Akidah

Sebagian di antara para tokoh agama yang membolehkan natal bersama atau ucapan “selamat Natal” berdalih dengan firman Allah:

لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَـٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَـٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ ﴿٨﴾ إِنَّمَا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ قَـٰتَلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَأَخْرَجُوكُم مِّن دِيَـٰرِكُمْ وَظَـٰهَرُوا۟ عَلَىٰٓ إِخْرَاجِكُمْ أَن تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُمْ فَأُو۟لَـٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ ﴿٩﴾
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS al-Mumtaḥanah [60]: 8–9).
Mereka telah lalai atau pura-pura lalai bahwa berbuat baik kepada orang kafir, sekalipun memang boleh, bukan berarti kita mengorbankan akidah dan prinsip kita dengan melakukan loyalitas dan cinta kepada mereka yang  terlarang dalam agama.
Allah Ta‘āla berfirman:
لَّا تَجِدُ قَوْمًۭا يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ يُوَآدُّونَ مَنْ حَآدَّ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ وَلَوْ كَانُوٓا۟ ءَابَآءَهُمْ أَوْ أَبْنَآءَهُمْ أَوْ إِخْوَ‌ٰنَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ كَتَبَ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلْإِيمَـٰنَ وَأَيَّدَهُم بِرُوحٍۢ مِّنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّـٰتٍۢ تَجْرِى مِن تَحْتِهَا ٱلْأَنْهَـٰرُ خَـٰلِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ ۚ أُو۟لَـٰٓئِكَ حِزْبُ ٱللَّهِ ۚ أَلَآ إِنَّ حِزْبَ ٱللَّهِ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ ﴿٢٢﴾
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam Surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah ḥizbullāh (golongan Allah). Ketahuilah, bahwa sesungguhnya ḥizbullāh (golongan Allah) itu adalah golongan yang beruntung” (QS al-Mujādilah [58]: 22).
Ibn al-Jauzi Rahimahullahu Ta’ala mengatakan ketika menafsirkan QS al-Mumtaḥanah [60]: 8, “Ayat ini merupakan keringanan tentang bolehnya menyambung tali kerabat terhadap orang-orang kafir yang tidak memerangi kaum Muslimin dan bolehnya berbuat baik kepada mereka sekalipun loyalitas (saling mencintai) terputus dari mereka”.
Bahkan dalam surat al-Mumtaḥanah itu sendiri terdapat penjelasan gamblang tentang prinsip pokok akidah walā’ (loyalitas kepada setiap muslim) dan barā’ (membenci dan memusuhi orang kafir) seperti firman Allah Ta‘āla:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَتَّخِذُوا۟ عَدُوِّى وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَآءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِم بِٱلْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا۟ بِمَا جَآءَكُم مِّنَ ٱلْحَقِّ يُخْرِجُونَ ٱلرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ ۙ أَن تُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ رَبِّكُمْ إِن كُنتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَـٰدًۭا فِى سَبِيلِى وَٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِى ۚ تُسِرُّونَ إِلَيْهِم بِٱلْمَوَدَّةِ وَأَنَا۠ أَعْلَمُ بِمَآ أَخْفَيْتُمْ وَمَآ أَعْلَنتُمْ ۚ وَمَن يَفْعَلْهُ مِنكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ ﴿١﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus” (QS al-Mumtaḥanah [60]: 1).
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌۭ فِىٓ إِبْرَ‌ٰهِيمَ وَٱلَّذِينَ مَعَهُۥٓ إِذْ قَالُوا۟ لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَءَ‌ٰٓؤُا۟ مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ ٱلْعَدَ‌ٰوَةُ وَٱلْبَغْضَآءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا۟ بِٱللَّهِ وَحْدَهُۥٓ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَ‌ٰهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَآ أَمْلِكُ لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن شَىْءٍۢ ۖ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ ٱلْمَصِيرُ ﴿٤﴾
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatu pun dari kamu (siksaan) Allah.” (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakal dan hanya kepada Engkaulah kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali” (QS al-Mumtaḥanah [60]: 4).
Nah, di antara bentuk loyalitas kepada orang kafir yang terlarang adalah ikut serta dalam hari raya mereka dan mengucapkan selamat natal kepada mereka. Jadi, masalah ini merupakan masalah akidah bukan masalah adat semata!
Ingat, di zaman Nabi sudah ada umat Nashrani dan Yahudi yang memiliki hari besar, namun tidak pernah Nabi dan sahabat ikut memeriahkan perayaan mereka. Apakah kita berani mengatakan kalau Nabi dan sahabat tidak toleran ?! Pikirkanlah….

Benarkah Kata Kafir Digunakan Hanya di Mekkah?

Di penghujung Februari 2019 ini, umat Islam diguncang dengan sebuah polemik yang membuat dahi mengernyit. Pasalnya Musyawarah Nasional (MUNAS) Nadhatul Ulama (NU) 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Azhar, Banjar Jawa Barat Kamis (28/02/2019) menyatakan istilah kafir diganti menjadi non-muslim.
Salah satu alasan yang dikemukakan adalah istilah kafir tidak dipergunakan ketika di Madinah untuk menyebut penduduk yang tidak beragama Islam pada masa Rasulullah.
“Dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa dalam bahasa arabnya ‘Muwatonah’ tidak dikenal istilah kafir. Maka, setiap warga negara  memiliki kedudukan dan haq yang sama di mata konstitusi. Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Makkah yaitu untuk menyebut nama orang-orang penyembah berhala, paganis yang tidak memiliki kitab suci dan agama yang benar, animisme, ignostik, klenik tetapi istilah Nabi Muhammad hijrah ke kota Madinah tidak ada istilah kafir untuk warga negara Madinah yang non muslim. Ada 3 suku non muslim; suku Bani Qainuqa’, suku Bani Quraidzah, suku Bani Nadzir disebut non muslim, tidak disebut kafir.” Pernyataan Said Aqil Siraj saat Munas.
Klaim yang menyebutkan bahwa istilah kafir tidak dipergunakan di Madinah itu menjadi perbincangan yang hangat dan dibantah oleh berbagai pihak. Maka tak ayal jika muncul suara-suara yang membantah keras pernyataan kontroversial ini.
Kata Kafir di dalam Al-Quran
Salah satu yang menjadi polemik umat Islam adalah penggantian kata kafir menjadi non muslim. Bagaimana mungkin kita umat Nabi Muhammad yang dianugerahi Al-Quran sebagai pedoman hidup, berani mengganti istilah yang termaktub di dalamnya.
Padahal jika kita membuka Al-Quran, tertera jelas bahwa Allah menggunakan istilah kafir bagi orang-orang yang tidak menjadikan Allah sebagai Rabbnya.
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ ﴿١﴾ لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ ﴿٢﴾ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٣﴾ وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ ﴿٤﴾ وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ ﴿٥﴾ لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ ﴿٦﴾
“Katakanlah: Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah, Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah, Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS.Al-Kafirun : 1-6)
Surat ini turun di Makkah saat Rasulullah menjawab bujukan dan rayuan dari kaum kafir Quraisy untuk bersekutu dalam masalah sesembahan. Maka, dengan tegas Rasul menolak dan menjawabnya dengan wahyu surat ini.
Lalu, apakah sebutan kafir hanya diperuntukkan bagi kaum kafir Quraisy yang menyembah berhala Latta, Uzza dan Hubal? Tentu tidak. Dalam ayat yang lain Allah juga secara jelas memfirmankan dalam Al-Quran.
لَمْ يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
“Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.”(QS.Al-Bayyinah : 1)
Dalam ayat pertama surat Al-Bayyinah ini Allah jelas mengatakan bahwa orang kafir adalah para ahli kitab, yaitu Yahudi dan Nasrani dan orang musyrik. Tidak dibedakan di antara keduanya dalam masalah penyebutan istilah di dalam Al-Quran. Dan perlu kita ketahui surat ini termasuk  surat Madaniyah, turun di kota Madinah.
Jadi, klaim bahwa penggunaan kata kafir hanya di Makkah dan diperuntukkan bagi para penyembah berhala itu adalah kesalahan. Karena wahyu yang turun di Madinah pun tetap menggunakan istilah kafir bagi semua orang yang tidak meyakini Allah sebagai Rabbnya baik Yahudi, Nasrani maupun musyrik.
Ayat yang lain juga secara jelas menyebutkan Yahudi dan Nasrani adalah kafir.
وَقَالَتِ ٱليَهُودُ عُزَيرٌ ٱبنُ ٱللَّهِ وَقَالَتِ ٱلنَّصَٰرَى ٱلمَسِيحُ ٱبنُ ٱللَّهِ ذَٰلِكَ قَولُهُم بِأَفوَٰهِهِمۖ يُضَٰهِ‍ُونَ قَولَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِن قَبلُ قَٰتَلَهُمُ ٱللَّهُ أَنَّىٰ يُؤفَكُونَ ٣٠ ٱتَّخَذُواْ أَحبَارَهُم وَرُهبَٰنَهُم أَربَابا مِّن دُونِ ٱللَّهِ وَٱلمَسِيحَ ٱبنَ مَريَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلَّا لِيَعبُدُواْ إِلَٰها وَٰحِدا لَّا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ سُبحَٰنَهُۥ عَمَّا يُشرِكُونَ  ٣١
“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair itu putra Allah,’ dan orang Nasrani berkata, ‘Al-Masih itu putra Allah.’ Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?
Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) al-Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Rabb Yang Maha Esa; tidak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Dia. Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (At-Taubah: 30—31)
Kata Kafir dalam Sirah
Dalam episode sirah nabawiyah disebutkan bahwa Rasulullah berhijrah ke Madinah setelah berdakwah selama 13 tahun di Makkah. Tepatnya pada tahun 622 M Rasulullah tiba di kota yang sebelumnya bernama Yastrib itu.
Di Madinah, penduduknya dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu Muslim (Muhajirin dan Anshar), Musyrikin (terdiri dari banyak suku kecil dan didominasi suku terbesar, Aus dan Khazraj) dan Yahudi (terdiri banyak suku, suku terbesar adalah Bani Nadhir, Quraidzah dan Qainuqa’).
Keadaan yang begitu majemuk maka sering terjadi perbedaan pendapat dan perdebatan. Maka, Rasulullah memprakarsai sebuah perjanjian bersama dan didukung semua golongan masyarakat.
Perjanjian ini mempunyai tujuan untuk membangun masyarakat baru yang bernegara, menekankan kerja sama, persamaan antara hak dan kewajiban di antara semua golongan,baik dalam kehidupan politik, sosial, agama serta mewujudkan pertahanan dan perdamaian. Perjanjian inilah yang kemudian disebut dengan Piagam Madinah.
Berkaitan dengan klaim bahwa kata kafir tidak lagi dipergunakan lagi ketika Rasul di Madinah terbantahkan adanya piagam Madinah ini. Dalam kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam disebutkan bahwa pada piagam Madinah tepatnya di point 14 menyebutkan:
١٤. ولا يقتل مؤمن مؤمنا فى كافر ولا ينصر كافرا على مؤمن
Pasal 14: Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran ia membunuh orang kafir. Tidak boleh pula orang beriman membantu orang kafir untuk (membunuh) orang beriman.
Secara jelas Ibnu Hisyam menuliskan kata kafir di dalam kitabnya. Yang artinya memang pada masa itu Rasulullah menggunakan kata kafir untuk orang-orang yang tidak memeluk dien Islam.
Jadi, kesimpulannya adalah pernyataan tentang kata kafir hanya untuk penyembah berhala dan tidak digunakan lagi pada periode di Madinah adalah keliru. Dan sekali lagi kata kafir adalah kata yang digunakan Allah untuk menyebut orang di luar Islam. Sepantasnya kita hamba Allah menggunakan istilah yang telah tertulis di dalam firman-Nya.
Penulis: Dhani El_Ashim
Editor: Arju
Sumber
Munawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Jakarta, Gema Insani Press.
J.Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Quran, Jakarta, Rajawali Press.
Sirah Nabawiyah, Ibnu HIsyam, Beirut, Darul Khair

Barangsiapa Yang Tidak Mengkafirkan Orang Yang Telah Dikafirkan Allah Dan Rasul-Nya , Maka Ia Kafir Karena Mendustakan Allah Dan Rasul-Nya .
https://lamurkha.blogspot.com/2019/03/barangsiapa-yang-tidak-mengkafirkan.html
Persatuan, Dengan Syarat Tak Mengusik (Mengkritik) 'Aqidah Dan Amalan Mereka ? Tidak Akan Terwujud Diatas Perbedaan Manhaj Dan Akidah (Manhaj Bunglon, Mutalawwin)
Orang-Orang Yang Menggenggam Sesuatu Di Atas Bara Api