Thursday, July 24, 2014

Hinaan Al-Khomainiy terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam

Dalam artikel hadits tsaqalain di blog ini[1] telah dijelaskan bagaimana ‘aqidah Syi’ah tentang ke-ma’shuman para imam mereka dengan mendudukkannya – secara ghulluw – di atas derajat para Nabi dan Rasul. Pada kesempatan kali ini, saya akan tuliskan secara ringkas beberapa nukilan perkataan Al-Khomainiy – semoga Allah membalas kejahatannya terhadap Islam dan kaum muslimin dengan setimpal – akan pelecehannya terhadap diri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Satu pelecehan yang tidak ia katakan pada imam mereka, namun malah ia lemparkan pada imam kaum muslimin sepanjang jaman, Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Al-Khomainiy berkata :

لو كانت مسألة الإمامة قد تم تثبيتها في القرآن، فإنَّ أولئك الذين لا يعنون بالإسلام والقرآن إلَّا لأغراض الدنيا والرئاسة، كانوا يتخذون من القرآن وسيلة لتنفيذ أغراضهم المشبوهة، ويحذفون تلك الآيات من صفحاته، ويسقطون القرآن من أنظار العالمين إلى الأبد.....

“Seandainya perkara imaamah telah ditetapkan dalam Al-Qur’an secara sempurna, maka mereka yang tidak memberikan perhatian kepada Al-Qur’an dan Islam kecuali keinginan memperoleh dunia dan kepemimpinan; akan mengambil Al-Qur’an sebagai wasilah (perantara) untuk melaksanakan keinginan-keinginan mereka yang tersembunyi. Mereka juga membuang ayat-ayat dari lembar-lembar Al-Qur’an dan menggugurkannya dari pandangan alam semesta untuk selama-lamanya…..” [Kasyful-Asraar, hal. 131].

وواضح أنَّ النبي لو كان بلغ بأمر الإمامة طبقاً لما أمر به الله، وبذل المساعي في هذه المجال، لما نشبت في البلدان الإسلامية كل هذه الإختلافات....

“Dan telah jelas bahwasannya Nabi jika ia menyampaikan perkara imaamah sebagaimana yang Allah perintahkan (padanya) dan mencurahkan segenap kemampuannya dalam permasalahan ini, niscaya perselisihan yang terjadi di berbagai negeri Islam tidak akan berkobar…..” [idem, hal. 155].

لقد جاء الأنبياء جميعاً من أجل إرساء قواعد العدالة في العالم؛ لكنَّهم لم ينجحوا حتَّى النبي محمد خاتم الأنبياء، الذي جاء لإصلاح البشرية وتنفيذ العدالة وتربية البشر، لم ينجح في ذلك....

“Sungguh semua Nabi telah datang untuk menancapkan keadilan di dunia, akan tetapi mereka tidak berhasil. Bahkan termasuk Nabi Muhammad, penutup para Nabi, dimana beliau datang untuk memperbaiki umat manusia, menginginkan keadilan, dan mendidik manusa – tidak berhasil dalam hal itu….” [Nahju Khomainiy, hal 46].

إِنَّ النبي أحجم عن التطرق إلى الإمامة في القرآن؛ لخشيته أن يُصاب القرآن من بعده بالتحريف، أو أن تشتد الخلافات بين المسلمين، فيؤثر ذلك على الإسلام...

“Sesungguhnya Nabi menahan diri dari menyinggung permasalahan imaamah dalam Al-Qur’an karena beliau khawatir Al-Qur’an akan mengalami perubahan (tahriif) sepeninggalnya, atau semakin hebatnya perselisihan di antara kaum muslimin sehingga berpengaruh terhadap Islam…” [Kasyful-Asraar, hal 149].

Ada beberapa ‘pelajaran’ yang dapat kita petik dari perkataan Al-Khomeini di atas, yaitu :

1. Al-Khomainiy mengakui bahwa Al-Qur’an yang disampaikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyinggung tentang imaamah (versi Raafidlah) sebagaimana yang mereka gembar-gemborkan. Ini benar.

2. Keyakinan Raafidlah tentang perkara imaamah bukan berasal dari Al-Qur’an dan penjelasan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan pada umatnya.

3. Khomainiy telah menuduh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian risalah – terutama imaamah – kepada umat manusia dan tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah ta’ala kepadanya.

Ini merupakan satu kelancangan yang teramat besar dari Khomainiy yang ia lontarkan kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam demi menegakkan ‘aqidahnya dan ‘aqidah kaumnya yang buram. Padahal Allah ta’ala telah berfirman :

فَإِنْ أَعْرَضُوا فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا إِنْ عَلَيْكَ إِلا الْبَلاغُ

“Jika mereka berpaling maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak lain hanyalah menyampaikan (risalah)” [QS. Asy-Syuuraa : 48].

يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya” [QS. Al-Maaidah : 67].

قُلْ إِنِّي لَنْ يُجِيرَنِي مِنَ اللَّهِ أَحَدٌ وَلَنْ أَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا * إِلا بَلاغًا مِنَ اللَّهِ وَرِسَالاتِهِ

Katakanlah: "Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorang pun yang dapat melindungiku dari (adzab) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung selain daripada-Nya". Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya.“ [QS. Al-Jin : 22-23].

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati” [QS. Al-Baqarah : 159].

Allah ta’ala telah memberi kewajiban kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan semua risalah dari Allah ta’ala dalam penyampaian isi/kandungan Al-Qur’an kepada manusia. Allah pun memberi ancaman jika beliau tidak melaksanakannya, pada hakekatnya beliau tidak menyampaikan amanat. Selain itu, Allah juga memberi ancaman akan adzab yang pedih bagi siapa saja yang menyembunyikan apa yang diturunkan Allah berupa keterangan dan petunjuk.

‘Aqidah Ahlus-Sunnah mengatakan bahwa beliau telah menyampaikan semua risalah yang telah dibebankannya kepada manusia. Tidak ada satu kewajiban melainkan beliau telah tunaikan. Konsekuensinya, jika beliau tidak menyampaikan perkara imaamah (sebagaimana keyakinan Raafidlah), maka perkara tersebut memang bukan bagian yang Allah wajibkan untuk beliau sampaikan kepada umatnya.

Jika Khomainiy mengatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan risalah imaamah, maka hanya ada dua kemungkinan yang harus ia ambil – yang tidak ada bagian ketiganya :

a. Perkara imaamah itu memang tidak ada, sehingga beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukan termasuk orang yang menyembunyikan (tidak menyampaikan) amanat Allah.

b. Perkara imaamah itu ada, sehingga beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam termasuk orang yang menyembunyikan (tidak menyampaikan) amanat Allah.

Silakan ditimbang-timbang,…. kemungkinan mana kira-kira yang akan diambil kaum Syi’ah Raafidlah pendukung Khomainiy……

4. Khomeini menyatakan bahwa para Nabi, termasuk Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah gagal dalam pembinaan umat.

Jika Khomainiy menganggap para Nabi telah gagal, siapakah yang dianggap berhasil menurut timbangannya ? Para imamnya ?

Inilah sebagian ‘kekurangajaran’ Khomainiy – semoga Allah memberikan balasan setimpal atas kejahatannya terhadap Islam dan kaum muslimin - …..

Ajaran imaamah (versi Syi’ah) memang bukan berasal dari Al-Qur’an dan penjelasan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Setelah mengetahui ‘kenyataan pahit’ itu, Khomainiy justru ‘rela’ mengorbankan diri pribadi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam demi hawa nafsunya daripada meninggalkan agamanya yang sarat dengan kebusukan.

Semoga sedikit keterangan ini dapat bermanfaat bagi Penulis dan kaum muslimin.
[Abul-Jauzaa’ – yang dalam masalah ini banyak mengambil manfaat dari keterangan Prof. Dr. Ahmad Al-Ghaamidiy hafidhahullah  http://abul-jauzaa.blogspot.com – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor, 16610].

COMMENTS

Anonim mengatakan...
Assalamu alaykum akhi, 
Kmaren ana dah sampaikan hal ini kepada orang2 yg suka khomeini. Rupanya mereka merespon bahwa kitab diatas dipalsukan oleh orang2 wahhabi. Saya infokan link nya:
https://syiahnews.wordpress.com/2010/12/25/pelurusan-sarjana-sunni-atas-pemalsuan-kitab-kasyful-asrar-karya-imam-khomaini-oleh-wahabbi-dr-ibrahim-ad-dasuki-syata-membongkar-kejahatan-wahabbi/
sekiranya ada penjelasan dr ustadz/ulama ttg hal ini
Arif Rahman

Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.
Seandainya ada pemalsuan, kita ingkari semua pemalsuan itu. Siapapun pelakunya. Pertanyaan pentingnya adalah:
"Apakah pernyataan Khomeini yang terkutip di atas adalah palsu?".
Saya telah membaca beberapa ulasan tulisan yang dikatakan dari Ibraahiim Ad-Dasuuqiy. Ibraahiim Ad-Daasuuqiy sendiri telah mengisyaratkan bahwa tidak semua yang diterjemahkan adalah salah - terlepas pembahasan Ad-Dasuuqiy yang sangat membela Khomeiniy dan cenderung kepada Syi'ah Raafidlah - . 
Saya terus terang tidak bisa bahasa Persia, sehingga apa yang ada hanya membandingkan hasil terjemahan yang katanya dari Ibraahiim Ad-Dasuuqiy dengan terjemahan Dr. Muhammad Al-Bandariy. So, hakimnya siapa ?.



 Abu Al-Jauzaa' :   

Allah menurunkan Al-Qur’an untuk kemaslahatan umat manusia. Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk yang harus dijadikan pedoman oleh setiap insan yang mengharapkan keselamatan dunia dan akhirat. Tidak ada kitab yang mampu menjelaskan arti kehidupan dengan benar selain Al-Qur’an. Allah berfirman :
الَمَ * ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لّلْمُتّقِينَ
“Alif Laam Miim. Inilah kitab tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk untuk orang-orang yang bertaqwa” [QS. Al-Baqarah : 1].
Dalam ayat lain, lebih tegas Allah menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk kepada jalan yang paling lurus. Allah berfirman :
إِنّ هَـَذَا الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشّرُ الْمُؤْمِنِينَ الّذِينَ يَعْمَلُونَ الصّالِحَاتِ أَنّ لَهُمْ أَجْراً كَبِيراً
“Sesungguhnya Al Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” [QS. Al-Israa’ : 9].
Kandungan Al-Qur’an selain sarat dengan kemaslahatan umum, juga merupakan kumpulan dari seluruh kebaikan yang tersimpan dalam kitab-kitab samawi terdahulu. Al-Qur’an berperan sebagai muhaimin, yaitu barometer penilaian. Kebaikan adalah yang dinilai baik oleh Al-Qur’an. Kejelekan adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan semangat Al-Qur’an. Allah berfirman :
وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقّ مُصَدّقاً لّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu” [QS. Al-Maidah : 48].
Al-Qur’an juga berfungsi sebagai syifaa’ (obat) bagi berbagai penyakit, terutama penyakit hati. Allah berfirman :
وَنُنَزّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ الظّالِمِينَ إَلاّ خَسَاراً
“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” [QS. Al-Israa’ : 82].
Al-Qur’an bebas dari kebathilan, juga terbebas dari kontradiksi ayat-ayatnya. Allah berfirman :
لاّ يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنزِيلٌ مّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
“Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji” [QS. Fushshilat : 42].
Ringkasnya, tidak ada kitab yang sempurna di dunia selain Al-Qur’an. Tidak ada petunjuk yang lebih baik daripada petunjuk Al-Qur’an. Tidak ada kitab samawi yang seotentik Al-Qur’an. Kitab-kitab agama lain tidak terjamin kebenaran dan keasliannya. Para tokoh agama mereka telah menodai kesucian dan keabsahannya. Sedangkan Al-Qur’an bersih dari semua itu. Inilah salah satu keistimewaan agama kita dimana landasan agamanya dijaga sendiri oleh-Nya. Allah berfirman :
إِنّا نَحْنُ نَزّلْنَا الذّكْرَ وَإِنّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur’an dan Kami (pula) yang menjaganya” [QS. Al-Hijr : 9].
Pertanyaan yang timbul sekarang : Siapa yang sudi memberikan perhatian kepada kitab ini ? Siapa yang akan membacanya dengan penghayatan ? Siapa yang akan mengamalkan nilai-nilai Al-Qur’an ? Jawabnya, tentu kita. Siapa lagi yang akan menghormatinya kalau bukan kita, umat Islam sendiri ?
Dalam sebuah hadits, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mendudukkan posisi Al-Qur’an yang berfungsi sebagai sarana mengangkat derajat seseorang sekaligus juga menghinakan kedudukannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَاماً وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
“Sesungguhnya Allah akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan Kitab ini (Al-Qur’an) dan (juga) menghinakan dengannya kaum yang lain” [HR. Muslim dan Ibnu Majah].
Bagaimana agar kita selamat dari ancaman Al-Qur’an yang bisa menghinakan sebagian manusia ? Saudara-Saudaraku, Allah memerintahkan manusia agar merenungkan kandungan Al-Qur’an, tidak hanya sekedar membacanya saja. Al-Qur’an diturunkan agar diperhatikan isinya. Allah berfirman :
كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لّيَدّبّرُوَاْ آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكّرَ أُوْلُو الألْبَابِ
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran” [QS. Shaad : 29].
Dengan tadabbur atau penghayatan dalam membaca, akan terpancarlah petunjuk dan hidayah serta cahayanya akan menerangi kehidupan manusia. Ia akan memperoleh ilmu yang banyak darinya. Al-Aajurriy rahimahullah pernah berkata : “Barangsiapa yang menghayati firman Allah, niscaya akan mengenal Allah. Akan mengetahui keagungan kerajaan dan kekuasaan-Nya serta curahan karunia-Nya yang banyak kepada kaum mukminin. Ia juga mengetahui kewajiban dan senantiasa waspada dari peringatan Allah. Siapa saja yang demikian kondisinya ketika membaca dan menyimak Al-Qur’an, niscaya Al-Qur’an akan menjadi obat penawar baginya. Dia akan merasa berkecukupan meski tanpa harta, percaya diri meski tanpa keluarga. Keinginannya saat membaca Al-Qur’an adalah : Kapan aku bisa mengambil pelajaran dari apa yang kubaca. Bukan kapan aku menyelesaikan surat ini dan itu. Sebab, membaca Al-Qur’an adalah ibadah, tidaklah wajar jika dikerjakan dengan hati yang lalai” [Akhlaqu Hamalatil-Qur’an, hal. 10].
Allah menjelaskan faktor penyebab orang tidak mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus, karena tidak mau memperhatikan nilai-nilai dan bersikap angkuh saat mendengarkan Al-Qur’an. Allah berfirman :
قَدْ كَانَتْ آيَاتِي تُتْلَىَ عَلَيْكُمْ فَكُنتُمْ عَلَىَ أَعْقَابِكُمْ تَنكِصُونَ *  مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سَامِراً تَهْجُرُونَ
“Sesungguhnya ayat-ayatKu (Al Quran) selalu dibacakan kepada kamu sekalian, maka kamu selalu berpaling ke belakang, dengan menyombongkan diri terhadap Al Quran itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap di malam hari” [QS. Al-Mukminun : 66-67].
Orang-orang kafir Quraisy, mereka menghalangi dakwah Nabi dengan cara melarang masyarakat mendengarkan bacaan Al-Qur’an. Sebab mereka tahu, pengaruh Al-Qur’an yang besar terhadap ahti-hati manusia. Allah berfirman :
وَقَالَ الّذِينَ كَفَرُواْ لاَ تَسْمَعُواْ لِهَـَذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْاْ فِيهِ لَعَلّكُمْ تَغْلِبُونَ
Dan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka." [QS. Fushshilat : 26].
Allah juga mencela orang mukmin yang tidak khusyu’ ketika mendengar bacaan Al-Qur’an untuk memperingatkan supaya tidak menyerupai orang-orang kafir yang tuli pendengaran dan hatinya dari ayat Allah. Allah berfirman :
أَلَمْ يَأْنِ لِلّذِينَ آمَنُوَاْ أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقّ وَلاَ يَكُونُواْ كَالّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الأمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مّنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik” [QS. Al-Hadiid : 16].
Ayat-ayat di atas menunjukkan pentingnya Al-Qur’an dan keharusan untuk menghayati bacaannya. Dengan penghayatan makna yang tersimpan dalam Al-Qur’an, niscaya keimanan seseorang akan bertambah. Ibnul-Qayyim rahimahullah pernah mengatakan : “Tidak ada sesuatu yang paling bermanfaat melebihi manfaat bacaan Al-Qur’an yang diiringi perenungan dan penghayatan”. Beliau menambahkan : : “Seandainya orang-orang mengetahui manfaat besar yang timbul dari membaca Al-Qur’an dengan perenungan, niscaya mereka akan menyibukkan diri dengannya” [Miftah Daaris-Sa’adah, hal. 204].
Oleh karena itu, sebelum memulai membaca Al-Qur’an, semestinya seseorang membekali diri dengan metode praktis agar ia dapat meraih manfaat dari Al-Qur’an. Ibnul-Qayyim rahimahullah menyatakan : “Bila engkau ingin meraih manfaat dari Al-Qur’an, maka kerahkan hatimu sepenuhnya ketika membaca atau mendengarkannya. Fokuskan pendengaran dengan baik. Bersikaplah seperti layaknya seorang yang sedang diajak komunikasi oleh Dzat yang berbicara dengannya (Al-Qur’an)” [Al-Fawaaid, hal. 5].
Dengan kemudahan dari Allah, orang yang mempraktekkan cara ini saat membaca atau mendengarkan ayat Al-Qur’an, akan menggenggam ilmu dan amal sekaligus. Semoga Allah memudahkan kita untuk menghormati kitab-Nya dengan sepenuh penghormatan, sehingga Al-Qur’an menjadi pembela dan pemberi syafa’at kepada kita pada hari Kiamat kelak. Amin.