Dalam artikel hadits tsaqalain di
blog ini[1] telah dijelaskan bagaimana ‘aqidah Syi’ah tentang ke-ma’shuman para
imam mereka dengan mendudukkannya – secara ghulluw – di atas derajat para Nabi
dan Rasul. Pada kesempatan kali ini, saya akan tuliskan secara ringkas beberapa
nukilan perkataan Al-Khomainiy – semoga Allah membalas kejahatannya terhadap
Islam dan kaum muslimin dengan setimpal – akan pelecehannya terhadap diri
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Satu pelecehan yang tidak ia katakan
pada imam mereka, namun malah ia lemparkan pada imam kaum muslimin sepanjang
jaman, Muhammad Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Khomainiy berkata :
لو كانت مسألة الإمامة قد تم تثبيتها في القرآن، فإنَّ أولئك الذين لا يعنون
بالإسلام والقرآن إلَّا لأغراض الدنيا والرئاسة، كانوا يتخذون من القرآن وسيلة
لتنفيذ أغراضهم المشبوهة، ويحذفون تلك الآيات من صفحاته، ويسقطون القرآن من أنظار
العالمين إلى الأبد.....
“Seandainya perkara
imaamah telah ditetapkan dalam Al-Qur’an secara sempurna, maka mereka yang
tidak memberikan perhatian kepada Al-Qur’an dan Islam kecuali keinginan
memperoleh dunia dan kepemimpinan; akan mengambil Al-Qur’an sebagai wasilah
(perantara) untuk melaksanakan keinginan-keinginan mereka yang tersembunyi.
Mereka juga membuang ayat-ayat dari lembar-lembar Al-Qur’an dan menggugurkannya
dari pandangan alam semesta untuk selama-lamanya…..” [Kasyful-Asraar, hal.
131].
وواضح أنَّ النبي لو
كان بلغ بأمر الإمامة طبقاً لما أمر به الله، وبذل المساعي في هذه المجال، لما
نشبت في البلدان الإسلامية كل هذه الإختلافات....
“Dan telah jelas
bahwasannya Nabi jika ia menyampaikan perkara imaamah sebagaimana yang Allah
perintahkan (padanya) dan mencurahkan segenap kemampuannya dalam permasalahan ini,
niscaya perselisihan yang terjadi di berbagai negeri Islam tidak akan
berkobar…..” [idem, hal. 155].
لقد جاء الأنبياء
جميعاً من أجل إرساء قواعد العدالة في العالم؛ لكنَّهم لم ينجحوا حتَّى النبي محمد
خاتم الأنبياء، الذي جاء لإصلاح البشرية وتنفيذ العدالة وتربية البشر، لم ينجح في
ذلك....
“Sungguh semua Nabi
telah datang untuk menancapkan keadilan di dunia, akan tetapi mereka tidak
berhasil. Bahkan termasuk Nabi Muhammad, penutup para Nabi, dimana beliau
datang untuk memperbaiki umat manusia, menginginkan keadilan, dan mendidik
manusa – tidak berhasil dalam hal itu….” [Nahju Khomainiy, hal 46].
إِنَّ النبي أحجم عن
التطرق إلى الإمامة في القرآن؛ لخشيته أن يُصاب القرآن من بعده بالتحريف، أو أن
تشتد الخلافات بين المسلمين، فيؤثر ذلك على الإسلام...
“Sesungguhnya Nabi
menahan diri dari menyinggung permasalahan imaamah dalam Al-Qur’an karena
beliau khawatir Al-Qur’an akan mengalami perubahan (tahriif) sepeninggalnya,
atau semakin hebatnya perselisihan di antara kaum muslimin sehingga berpengaruh
terhadap Islam…” [Kasyful-Asraar, hal 149].
Ada beberapa
‘pelajaran’ yang dapat kita petik dari perkataan Al-Khomeini di atas, yaitu :
1. Al-Khomainiy
mengakui bahwa Al-Qur’an yang disampaikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tidak menyinggung tentang imaamah (versi Raafidlah) sebagaimana yang
mereka gembar-gemborkan. Ini benar.
2. Keyakinan
Raafidlah tentang perkara imaamah bukan berasal dari Al-Qur’an dan penjelasan
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang disampaikan pada umatnya.
3. Khomainiy telah
menuduh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian risalah –
terutama imaamah – kepada umat manusia dan tidak melaksanakan apa yang telah
diperintahkan Allah ta’ala kepadanya.
Ini merupakan satu
kelancangan yang teramat besar dari Khomainiy yang ia lontarkan kepada beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam demi menegakkan ‘aqidahnya dan ‘aqidah kaumnya
yang buram. Padahal Allah ta’ala telah berfirman :
فَإِنْ أَعْرَضُوا
فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا إِنْ عَلَيْكَ إِلا الْبَلاغُ
“Jika mereka berpaling
maka Kami tidak mengutus kamu sebagai pengawas bagi mereka. Kewajibanmu tidak
lain hanyalah menyampaikan (risalah)” [QS. Asy-Syuuraa : 48].
يَا أَيُّهَا
الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ
فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
“Hai Rasul,
sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu
kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya” [QS. Al-Maaidah : 67].
قُلْ إِنِّي لَنْ
يُجِيرَنِي مِنَ اللَّهِ أَحَدٌ وَلَنْ أَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا * إِلا
بَلاغًا مِنَ اللَّهِ وَرِسَالاتِهِ
Katakanlah:
"Sesungguhnya aku sekali-kali tiada seorang pun yang dapat melindungiku
dari (adzab) Allah dan sekali-kali tiada akan memperoleh tempat berlindung
selain daripada-Nya". Akan tetapi (aku hanya) menyampaikan (peringatan)
dari Allah dan risalah-Nya.“ [QS. Al-Jin : 22-23].
إِنَّ الَّذِينَ
يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا
بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ
وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ
“Sesungguhnya
orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa
keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya
kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula)
oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati” [QS. Al-Baqarah : 159].
Allah ta’ala telah
memberi kewajiban kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk
menyampaikan semua risalah dari Allah ta’ala dalam penyampaian isi/kandungan
Al-Qur’an kepada manusia. Allah pun memberi ancaman jika beliau tidak
melaksanakannya, pada hakekatnya beliau tidak menyampaikan amanat. Selain itu,
Allah juga memberi ancaman akan adzab yang pedih bagi siapa saja yang
menyembunyikan apa yang diturunkan Allah berupa keterangan dan petunjuk.
‘Aqidah Ahlus-Sunnah
mengatakan bahwa beliau telah menyampaikan semua risalah yang telah
dibebankannya kepada manusia. Tidak ada satu kewajiban melainkan beliau telah
tunaikan. Konsekuensinya, jika beliau tidak menyampaikan perkara imaamah
(sebagaimana keyakinan Raafidlah), maka perkara tersebut memang bukan bagian
yang Allah wajibkan untuk beliau sampaikan kepada umatnya.
Jika Khomainiy
mengatakan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menyampaikan risalah
imaamah, maka hanya ada dua kemungkinan yang harus ia ambil – yang tidak ada
bagian ketiganya :
a. Perkara imaamah
itu memang tidak ada, sehingga beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukan
termasuk orang yang menyembunyikan (tidak menyampaikan) amanat Allah.
b. Perkara imaamah
itu ada, sehingga beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam termasuk orang yang
menyembunyikan (tidak menyampaikan) amanat Allah.
Silakan
ditimbang-timbang,…. kemungkinan mana kira-kira yang akan diambil kaum Syi’ah
Raafidlah pendukung Khomainiy……
4. Khomeini
menyatakan bahwa para Nabi, termasuk Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa
sallam telah gagal dalam pembinaan umat.
Jika Khomainiy
menganggap para Nabi telah gagal, siapakah yang dianggap berhasil menurut
timbangannya ? Para imamnya ?
Inilah sebagian
‘kekurangajaran’ Khomainiy – semoga Allah memberikan balasan setimpal atas
kejahatannya terhadap Islam dan kaum muslimin - …..
Ajaran imaamah (versi
Syi’ah) memang bukan berasal dari Al-Qur’an dan penjelasan Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam. Setelah mengetahui ‘kenyataan pahit’ itu, Khomainiy justru ‘rela’
mengorbankan diri pribadi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam demi hawa
nafsunya daripada meninggalkan agamanya yang sarat dengan kebusukan.
Semoga sedikit
keterangan ini dapat bermanfaat bagi Penulis dan kaum muslimin.
[Abul-Jauzaa’ – yang dalam
masalah ini banyak mengambil manfaat dari keterangan Prof. Dr. Ahmad
Al-Ghaamidiy hafidhahullah – http://abul-jauzaa.blogspot.com –
perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor, 16610].
[1] Silakan baca : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/11/ahlul-bait-adalah-jaminan-keselamatan.html.
COMMENTS
Anonim mengatakan...
Assalamu alaykum akhi,
Kmaren ana dah sampaikan hal ini kepada orang2 yg suka khomeini. Rupanya mereka
merespon bahwa kitab diatas dipalsukan oleh orang2 wahhabi. Saya infokan link
nya:
https://syiahnews.wordpress.com/2010/12/25/pelurusan-sarjana-sunni-atas-pemalsuan-kitab-kasyful-asrar-karya-imam-khomaini-oleh-wahabbi-dr-ibrahim-ad-dasuki-syata-membongkar-kejahatan-wahabbi/
sekiranya ada penjelasan dr ustadz/ulama ttg hal ini
Arif Rahman
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.
Seandainya ada pemalsuan, kita ingkari semua pemalsuan itu. Siapapun pelakunya. Pertanyaan
pentingnya adalah:
"Apakah pernyataan Khomeini yang terkutip di atas adalah palsu?".
Saya telah membaca beberapa ulasan tulisan yang dikatakan dari Ibraahiim
Ad-Dasuuqiy. Ibraahiim Ad-Daasuuqiy sendiri telah mengisyaratkan bahwa tidak
semua yang diterjemahkan adalah salah - terlepas pembahasan Ad-Dasuuqiy yang
sangat membela Khomeiniy dan cenderung kepada Syi'ah Raafidlah - .
Saya terus terang tidak bisa bahasa Persia, sehingga apa yang ada hanya
membandingkan hasil terjemahan yang katanya dari Ibraahiim Ad-Dasuuqiy dengan
terjemahan Dr. Muhammad Al-Bandariy. So, hakimnya siapa ?.
Abu Al-Jauzaa' :
Label: Al-Qur'an dan Tafsir
Allah menurunkan Al-Qur’an untuk
kemaslahatan umat manusia. Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk yang harus
dijadikan pedoman oleh setiap insan yang mengharapkan keselamatan dunia dan
akhirat. Tidak ada kitab yang mampu menjelaskan arti kehidupan dengan benar
selain Al-Qur’an. Allah berfirman :
الَمَ * ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لّلْمُتّقِينَ
“Alif Laam Miim.
Inilah kitab tidak ada keraguan di dalamnya, sebagai petunjuk untuk orang-orang
yang bertaqwa” [QS. Al-Baqarah : 1].
Dalam ayat lain,
lebih tegas Allah menjelaskan bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk kepada jalan
yang paling lurus. Allah berfirman :
إِنّ هَـَذَا
الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشّرُ الْمُؤْمِنِينَ الّذِينَ
يَعْمَلُونَ الصّالِحَاتِ أَنّ لَهُمْ أَجْراً كَبِيراً
“Sesungguhnya Al
Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi
khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi
mereka ada pahala yang besar” [QS. Al-Israa’ : 9].
Kandungan Al-Qur’an
selain sarat dengan kemaslahatan umum, juga merupakan kumpulan dari seluruh
kebaikan yang tersimpan dalam kitab-kitab samawi terdahulu. Al-Qur’an berperan
sebagai muhaimin, yaitu barometer penilaian. Kebaikan adalah yang dinilai baik
oleh Al-Qur’an. Kejelekan adalah segala sesuatu yang bertentangan dengan
semangat Al-Qur’an. Allah berfirman :
وَأَنزَلْنَآ
إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقّ مُصَدّقاً لّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ
وَمُهَيْمِناً عَلَيْهِ
“Dan Kami telah
turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap kitab-kitab yang lain itu” [QS. Al-Maidah : 48].
Al-Qur’an juga
berfungsi sebagai syifaa’ (obat) bagi berbagai penyakit, terutama penyakit
hati. Allah berfirman :
وَنُنَزّلُ مِنَ
الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لّلْمُؤْمِنِينَ وَلاَ يَزِيدُ
الظّالِمِينَ إَلاّ خَسَاراً
“Dan Kami turunkan
dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain
kerugian” [QS. Al-Israa’ : 82].
Al-Qur’an bebas dari
kebathilan, juga terbebas dari kontradiksi ayat-ayatnya. Allah berfirman :
لاّ يَأْتِيهِ
الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنزِيلٌ مّنْ حَكِيمٍ
حَمِيدٍ
“Yang tidak datang
kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang
diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji” [QS. Fushshilat :
42].
Ringkasnya, tidak ada
kitab yang sempurna di dunia selain Al-Qur’an. Tidak ada petunjuk yang lebih
baik daripada petunjuk Al-Qur’an. Tidak ada kitab samawi yang seotentik
Al-Qur’an. Kitab-kitab agama lain tidak terjamin kebenaran dan keasliannya.
Para tokoh agama mereka telah menodai kesucian dan keabsahannya. Sedangkan Al-Qur’an
bersih dari semua itu. Inilah salah satu keistimewaan agama kita dimana
landasan agamanya dijaga sendiri oleh-Nya. Allah berfirman :
إِنّا نَحْنُ
نَزّلْنَا الذّكْرَ وَإِنّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami
yang menurunkan Al-Qur’an dan Kami (pula) yang menjaganya” [QS. Al-Hijr : 9].
Pertanyaan yang
timbul sekarang : Siapa yang sudi memberikan perhatian kepada kitab ini ? Siapa
yang akan membacanya dengan penghayatan ? Siapa yang akan mengamalkan
nilai-nilai Al-Qur’an ? Jawabnya, tentu kita. Siapa lagi yang akan
menghormatinya kalau bukan kita, umat Islam sendiri ?
Dalam sebuah hadits,
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mendudukkan posisi Al-Qur’an yang
berfungsi sebagai sarana mengangkat derajat seseorang sekaligus juga
menghinakan kedudukannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِنَ اللهَ يَرْفَعُ
بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَاماً وَيَضَعُ بِهِ آخَرِيْنَ
“Sesungguhnya Allah
akan mengangkat derajat beberapa kaum dengan Kitab ini (Al-Qur’an) dan (juga)
menghinakan dengannya kaum yang lain” [HR. Muslim dan Ibnu Majah].
Bagaimana agar kita
selamat dari ancaman Al-Qur’an yang bisa menghinakan sebagian manusia ?
Saudara-Saudaraku, Allah memerintahkan manusia agar merenungkan kandungan
Al-Qur’an, tidak hanya sekedar membacanya saja. Al-Qur’an diturunkan agar
diperhatikan isinya. Allah berfirman :
كِتَابٌ
أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لّيَدّبّرُوَاْ آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكّرَ أُوْلُو
الألْبَابِ
“Ini adalah sebuah
kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan
ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”
[QS. Shaad : 29].
Dengan tadabbur atau
penghayatan dalam membaca, akan terpancarlah petunjuk dan hidayah serta
cahayanya akan menerangi kehidupan manusia. Ia akan memperoleh ilmu yang banyak
darinya. Al-Aajurriy rahimahullah pernah berkata : “Barangsiapa yang menghayati
firman Allah, niscaya akan mengenal Allah. Akan mengetahui keagungan kerajaan
dan kekuasaan-Nya serta curahan karunia-Nya yang banyak kepada kaum mukminin.
Ia juga mengetahui kewajiban dan senantiasa waspada dari peringatan Allah.
Siapa saja yang demikian kondisinya ketika membaca dan menyimak Al-Qur’an,
niscaya Al-Qur’an akan menjadi obat penawar baginya. Dia akan merasa
berkecukupan meski tanpa harta, percaya diri meski tanpa keluarga. Keinginannya
saat membaca Al-Qur’an adalah : Kapan aku bisa mengambil pelajaran dari apa
yang kubaca. Bukan kapan aku menyelesaikan surat ini dan itu. Sebab, membaca
Al-Qur’an adalah ibadah, tidaklah wajar jika dikerjakan dengan hati yang lalai”
[Akhlaqu Hamalatil-Qur’an, hal. 10].
Allah menjelaskan
faktor penyebab orang tidak mendapatkan hidayah menuju jalan yang lurus, karena
tidak mau memperhatikan nilai-nilai dan bersikap angkuh saat mendengarkan
Al-Qur’an. Allah berfirman :
قَدْ كَانَتْ
آيَاتِي تُتْلَىَ عَلَيْكُمْ فَكُنتُمْ عَلَىَ أَعْقَابِكُمْ تَنكِصُونَ * مُسْتَكْبِرِينَ بِهِ سَامِراً تَهْجُرُونَ
“Sesungguhnya
ayat-ayatKu (Al Quran) selalu dibacakan kepada kamu sekalian, maka kamu selalu
berpaling ke belakang, dengan menyombongkan diri terhadap Al Quran itu dan
mengucapkan perkataan-perkataan keji terhadapnya di waktu kamu bercakap-cakap
di malam hari” [QS. Al-Mukminun : 66-67].
Orang-orang kafir
Quraisy, mereka menghalangi dakwah Nabi dengan cara melarang masyarakat mendengarkan
bacaan Al-Qur’an. Sebab mereka tahu, pengaruh Al-Qur’an yang besar terhadap
ahti-hati manusia. Allah berfirman :
وَقَالَ الّذِينَ
كَفَرُواْ لاَ تَسْمَعُواْ لِهَـَذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْاْ فِيهِ لَعَلّكُمْ
تَغْلِبُونَ
Dan orang-orang yang
kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al
Quran ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan
mereka." [QS. Fushshilat : 26].
Allah juga mencela
orang mukmin yang tidak khusyu’ ketika mendengar bacaan Al-Qur’an untuk
memperingatkan supaya tidak menyerupai orang-orang kafir yang tuli pendengaran
dan hatinya dari ayat Allah. Allah berfirman :
أَلَمْ يَأْنِ
لِلّذِينَ آمَنُوَاْ أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقّ
وَلاَ يَكُونُواْ كَالّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ
الأمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مّنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang
waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat
Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah
mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya,
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi
keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik” [QS.
Al-Hadiid : 16].
Ayat-ayat di atas
menunjukkan pentingnya Al-Qur’an dan keharusan untuk menghayati bacaannya.
Dengan penghayatan makna yang tersimpan dalam Al-Qur’an, niscaya keimanan
seseorang akan bertambah. Ibnul-Qayyim rahimahullah pernah mengatakan : “Tidak
ada sesuatu yang paling bermanfaat melebihi manfaat bacaan Al-Qur’an yang
diiringi perenungan dan penghayatan”. Beliau menambahkan : : “Seandainya
orang-orang mengetahui manfaat besar yang timbul dari membaca Al-Qur’an dengan
perenungan, niscaya mereka akan menyibukkan diri dengannya” [Miftah
Daaris-Sa’adah, hal. 204].
Oleh karena itu,
sebelum memulai membaca Al-Qur’an, semestinya seseorang membekali diri dengan
metode praktis agar ia dapat meraih manfaat dari Al-Qur’an. Ibnul-Qayyim
rahimahullah menyatakan : “Bila engkau ingin meraih manfaat dari Al-Qur’an,
maka kerahkan hatimu sepenuhnya ketika membaca atau mendengarkannya. Fokuskan
pendengaran dengan baik. Bersikaplah seperti layaknya seorang yang sedang
diajak komunikasi oleh Dzat yang berbicara dengannya (Al-Qur’an)” [Al-Fawaaid,
hal. 5].
Dengan kemudahan dari
Allah, orang yang mempraktekkan cara ini saat membaca atau mendengarkan ayat
Al-Qur’an, akan menggenggam ilmu dan amal sekaligus. Semoga Allah memudahkan
kita untuk menghormati kitab-Nya dengan sepenuh penghormatan, sehingga
Al-Qur’an menjadi pembela dan pemberi syafa’at kepada kita pada hari Kiamat
kelak. Amin.