Mungkin ungkapan di atas terlalu berlebihan jika anda baca. Namun jika anda mencoba untuk memahami kisah dan ulasan di bawah ini mudah-mudahan anda bisa berpandangan sama dengan yang tokoh yang mengucapkan perkataan ini. Mari bersama simak ulasan dan kisah di bawah ini,
Di saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, kejiwaan para sahabat menjadi goncang. Keadaan berubah menjadi genting, orang munafik di Madinah semakin menjadi-jadi, yahudi dan nasrani riang gembira dan murtadlah gelombang manusia di jazirah arab, baik daerah badui pegunungan maupun perkotaan. Yang lain tidak lagi membayar zakat yang dulu pernah mereka tunaikan kepada pegawa-pegawai sang Nabi tercinta, shalat jum’at tidak lagi didirikan selain di Makkah dan Madinah.
Kondisi ini membuat kaum Muslimin (para sahabat) bagaikan domba yang kehujanan di malam yang gelap gulita. Karena kehilangan Nabi mereka –shallallahu ‘alaihi wasallam-, kondisi ini diperparah karena sedikitnya mereka (hanya di Madinah, Makkah dan Thaif yang hanya ribuan, selain itu jutaan orang di seluruh Jazirah Arab yang baru masuk Islam murtad semua sepeninggal Nabi) yang bisa jadi jutaan orang itu berbalik menyerang secara serentak menyerbu Madinah dan membunuh semua pendudukanya dan habislah riwayat Islam di Bumi ini.
Aisyah radhiyallahu anha menggambarkan kondisi ini dengan mengatakan, “Demi Allah, jika masalah ini berada di pundak saya, niscaya masalah ini jika menimpa gunung yang besar pasti akan menghancurkannya.”
Di tengah kondisi yang sangat dan super genting tersebut, Abu Bakar yang ditunjuk menjadi khalifah kaum Muslimin justru mengambil kebijakan yang ‘memperparah’ kondisi. Pasukan Usamah yang belum berangkat ke Syam menyerang Romawi karena peristiwa wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan segera diberangkatkan oleh Abu Bakar. Padahal Madinah lebih butuh tentara-tentara tersebut untuk pertahanan. Kondisi di Madinah dan juga di dunia Arab secara umum lebih parah dari sekedar memberangkatkan pasukan besar yang akan ekspansi menyerang daerah di luar Arab.
Bukankah menyerang musuh Islam pada saat kondisi aman itu lebih baik dan lebih strategis?, begitu pandangan para sahabat, terutama Umar bin Khathab yang menolak dengan keras rencana Abu Bakar ini. Sebagian yang lain mengatakan, “Sesungguhnya mayoritas kaum Muslimin dan bangsa arab memandang secara tidak bagus apa yang engkau pandang, oleh karena itu tidak pantas anda memecah jamaah kaum Muslimin!”
Namun dengan tegas Abu Bakar menolak mentah-mentah semua pandangan sahabat tersebut. Ia mengatakan, “Demi Allah, saya tidak akan melepas ikatan yang telah disimpulkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, walaupun burung-burung itu menghujani kita, binatang buas sudah siap memangsa kita di sekeliling Madinah, dan anjing-anjing itu berjalan di kaki-kaki ummahatul mukminin, saya tetap dan pasti akan memberangkatkan pasukan Usamah!”
Setelah itu Allah melapangkan dada para sahabat menerima putusan Abu Bakar tersebut dan pasukan Usamah berangkat.
Apa yang terjadi setelah itu?
Ibnu Katsir menuturkan, “Keluarnya pasukan Usamah pada waktu itu adalah maslahat terbesar pada kondisi yang sangat genting seperti itu, mereka berangkat dan tidak satupun daerah di kawasan Arab yang mereka lalui melainkan dibuat takut dengan pasukan besar yang lewat di hadapan mereka. Mereka pun berkomentar, ‘Tidaklah mereka (pasukan Usamah) keluar dari sebuah kaum melainkan mereka memiliki pasukan besar yang tidak terkalahkan’. Pasukan pun terus melanjutkan ekspedisi ini dan menghabiskan waktu 40 hari, atau ada yang berkata 70 hari, kemudian mereka kembali dengan selamat dan menang mendapatkan ghanimah (harta rampasan perang) yang sangat banyak. Setelah itu Abu Bakar menyiapkan kaum Muslimin yang lain bersama pasukan yang baru kembali tersebut untuk memerangi kaum Murtad dan yang menolak membayar zakat”
Karena itu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Al-Baihaqi, Abu Hurairah memuji Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan mengatakan, “Demi Allah, Dzat yang tidak ada tuhan selain Dia, jika seandainya Abu Bakar tidak dijadikan Khalifah, niscaya Allah tidak lagi disembah” beliau mengulanginya untuk yang kedua dan mengulanginya lagi untuk yang ketiga.
Kemudian ada yang menyangkalnya, “Kenapa anda bilang begitu wahai Abu Hurairah?”,
Pertanyaan di atas langsung dijawab oleh beliau, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerahkan 700 pasukan Usamah bin Zaid ke Syam, namun ketika pasukan itu tiba di Dzu Khasyab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat, kaum Arab disekitar Madinah murtad, maka berkumpullah para sahabat di hadapan Abu Bakar, mereka mengatakan, ‘Wahai Abu Bakar, kembalikan mereka itu, anda akan memberangkatkan mereka ke Romawi sedangkan bangsa Arab di sekitar Madinah murtad?’
Abu Bakar menjawab, ‘Demi Dzat yang tidak ada tuhan selain-Nya, meskipun anjing-anjing itu berjalan di kaki istri-istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, saya tidak akan pulangkan pasukan yang telah Rasulullah arahkan untuk ekspedisi penyerangan, dan saya tidak akan turunkan bendera yang telah ditancapkan oleh Rasulullah’.
Dengan keputusan seperti itu, Abu Bakar memberangkatkan pasukan Usamah. Maka tidak ada satupun Kabilah yang ingin murtad melainkan setelah melihat pasukan ini mereka berkata, ‘Jikalau mereka tidak memiliki kekuatan, niscaya mereka tidak akan mengeluarkan pasukan sebesar ini dari Madinah, akan tetapi kita biarkan mereka sampai mereka berhadapan dengan Romawi’. Akhirnya pasukan itu berhadapan dengan Romawi, memerangi dan mengalahkan mereka, dan pulang dengan selamat. Dan kaum Arab yang melihat kepulangan mereka ini akhirnya teguh di atas Islam.”
Bahan Bacaan: Al-Bidayah wa Al-Nihayah, Ibnu Katsir, Darul Fikr, 1407 H, Jilid ke V, hal 304-305.