Kamis, 26 Februari 2015, 04:00 WIB
Tanggapan Positif Terhadap Tulisan Ali Mustafa Yaqub " Titik Temu NU-Wahhabi"
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Septiawan Ardiansyah/Penuntut Ilmu, Majelis
Nashirusunnah Depok, Jawa Barat
Menurut sejarah, walau sebagian masih ada yang menafikan kenyataan ini,
istilah Wahabi dibuat fobia oleh sebagian kita. Lalu, nisbah sebenarnya siapa
Wahabi yang mestinya patut dijadikan fobia itu?
Kelompok (firqah) yang
menyimpang sebagaimana diklaim Mohammad Khoiron (Wahabi
dan NU Sama?),
mestinya lebih tepat kepada sekte Wahhabiyah yang sudah ada sejak abad ke-2 H
di Afrika Utara, dipelopori Abdul Wahhab bin Rustum.
Nama Wahhabiyah adalah nisbah kepadanya—pecahan dari sekte Wahbiyah
Ibadhiyah yang berpemahaman Khawarij—nisbah kepada pendiri awalnya, yaitu
Abdullah bin Wahb ar-Rasibi (Lihat Al Farqu Bainal Firaq Al Baghdadi, hlm
80-81, lihat juga Al
Khawarij, Tarikhuhum Wa Araauhum Al I’tiqadiyah Wa Mauqif Al Islam Minha, Dr Ghalib bin ‘Ali ‘Awaji, hlm 95).
Khawarij secara harfiah berarti "Mereka yang keluar". Istilah umum ini
mencakup kelompok dalam Islam yang awalnya mengakui kekuasaan Ali bin Abi
Thalib lalu menolaknya. Dinamakan Khawarij karena keluarnya mereka dari Dinul
Islam dan pemimpin kaum Muslim. Mereka memang mudah mengafirkan kaum Muslim
yang tak sependapat dengan mereka.
Sementara itu, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dilahirkan pada
1115 H/1703 M di Jazirah Arab. Bila ditilik dari lahirnya saja sudah berbeda 10
abad. Namun, istilah Wahabi yang marak justru berkembang pada zaman Syekh
Muhammad bin Abdul Wahhab. Mestinya, dapat saja disebut sebagai Muhammadiyah.
Lalu, mengapa istilah itu tidak dipakai?
Bukankah nama aslinya adalah Muhammad dan Abdul Wahhab itu nama ayahnya?
Kerancuan ini seolah agar dianggap sama saja Wahabi yang kedua dengan Wahabi yang
pertama. Hal ini terkesan menjadi sentimen tersendiri jika tidak disebut
antipati mendalam yang kurang bijak dalam menilai siapa Muhammad bin Abdul
Wahhab sebenarnya.
Di sinilah perspektif lain tentang Wahabi berkembang. Sepengetahuan penulis,
Wahabi ke-2 yang difobiakan ini mengikuti Alquran dan Sunah dengan manhaj (cara
beragama) salafuna shalih berpemahaman para sahabat. Yang dimaksud adalah tiga
generasi Islam permulaan (generasi Rasulullah SAW dengan para sahabat, tabiin,
dan tabi’ut tabi’in) itulah yang kerap disebut as-Salafus Shalih. (HR-Bukhari,
No 3650).
Para ulama tafsir menyimpulkan, mereka adalah orang-orang yang paling
baik, paling selamat, dan paling mengetahui dalam memahami Islam. Mereka juga
para pendahulu yang memiliki kesalehan tertinggi (as-salafu
ash-shalih). Inilah yang
dinamakan dakwah salafiyah.
Selain itu, dakwah ini adalah pelopor gerakan islah (reformasi) yang muncul
menjelang masa kemunduran Islam. Dakwah salafiyah ini juga menyerukan agar
akidah Islam dikembalikan pada asalnya yang murni dan menekankan pada pemurnian
arti tauhid dari syirik, khurafat, dan bid’ah dengan segala manifestasinya.
Maka, di antara prinsip dakwah salafiyah yang dinisbahkan kepada Muhammad bin
Abdul Wahab (1703 –1791 M).
Di antara yang disarikan dari buku Al
Mausu’atul Muyassaroh Fil Adyaan Wal Madzahibil Muaashiroh, WAMY, hlm 227–232: senantiasa merujuk kepada Alquran
dan Sunah yang sahih dalam masalah akidah; berpegang teguh pada manhaj Ahlus
Sunnah wal Jamaah sesuai pemahaman para sahabat; menyerukan pada pemurnian
tauhid; menetapkan tauhid asma dan sifat-sifat Allah tanpa tamsil (perumpamaan), takyif (pencocokan),
dantakwil (interpretasi); menjauhi segala bentuk bid’ah dan
khurafat.
Tak mengafirkan
Dakwah salafiyah sejatinya juga tidak mengafirkan seorang pun dari kaum Muslim,
kecuali bila orang itu melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya.
Karena, ada sabda Rasulullah SAW, "Barang siapa yang berkata kepada
saudaranya (Muslim), 'Wahai kafir', maka pengafiran ini akan kembali kepada
salah satu dari keduanya. Jika dia benar dalam pengafirannya (maka tidak
mengapa), tapi jika tidak, ucapan itu akan kembali kepadanya." [HR
al-Bukhari).
Jadi, perkataan Syekh Sulaiman bin Abdul Wahhab al-Najdi (kakak kandung Muh bin
Abd Wahab) dalam kitab al- Shawaiq al-Ilahiyah fi al-Raddi ‘ala al- Wahabiyah
poin ke-4 yang Mohammad Khoiron kutip bahwa "Muhammad bin Abdul Wahab
mengafirkan lawan polemik dan umat Islam yang tidak sejalan dengannya"
perlu dikaji ulang. Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitabnya yang lain,
Mushlih Mazhlum, hlm 48-50 menyebut bahwa kakaknya menurut beliau telah rujuk
dan bertobat akan perkataannya itu. Hal ini telah dikatakan juga oleh Ibn
Ghonnam, Ibn Bisyr, dan Dr Muh bin Saad as-Syuwair dalam makalahnya
"Sulaiman bin Abdul Wahhab Syaikh Muftaro ‘Alaihi" yang dimuat di
majalah Buhuts
Islamiyyahedisi 60/Tahun 1421
H.
Dan, tuduhan lain bahwa "ilmu fikih dianggap setan berupa manusia karena
bisa berbuat syirik" itu di kitab mana? Di kitabnya, Majmu’ah Muallafat Syaikh: 5/11, 12, dibantah tuduhan itu sebagaimana dalam
suratnya kepada penduduk Qashim, beliau memberikan isyarat terhadap tuduhan
musuh bebuyutannya (Ibnu Suhaim) dan berlepas diri dari tuduhan itu.
"Allah mengetahui orang tersebut telah menuduhku yang bukan-bukan, bahkan
tidak pernah terbetik dalam benakku, di antaranya dia mengatakan bahwasanya aku
mengatakan, ‘Manusia sejak 600 tahun silam tidak dalam keislaman, aku
mengafirkan orang yang bertawasul kepada orang-orang saleh, aku mengafirkan
al-Bushiri, aku mengafirkan orang yang bersumpah dengan selain Allah'.
Jawabanku terhadap tuduhan ini, ‘Mahasuci Engkau ya Rabb kami, sesungguhnya ini
kedustaan yang amat besar."
Idealnya sebagai Muslim terus haus mempelajari agama ini dari sumber asli,
Alquran dan as-Sunah menurut pemahaman para sahabat. Dan, Syekh Muhammad bin
Abdul Wahhab ini ialah mujadid pelopor dakwah Suni yang lurus dan murni.
Sebagai kesimpulan, dakwah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum termasuk
dalam firqah Khawarij, mudah mengafirkan pelaku maksiat (dosa besar),
membangkang dan memberontak terhadap pemerintah Islam, dan keluar dari jamaah
kaum Muslim. Termasuk kategori ini adalah Khawarij generasi awal (Muhakkimah
Haruriyah) dan sempalannya, seperti al-Azariqah, ash-Shafariyyah, dan
an-Najdat—ketiganya sudah lenyap—dan al-Ibadhiyah—masih ada hingga kini.
Maka, bisa saja Khawarij muncul di sepanjang masa, bahkan betul-betul
akan muncul pada akhir zaman, seperti kelompok sesat nan keji, ISIS, yang marak
diberitakan saat ini. (HR al-Bukhari No 6930, Muslim No 1066).
Syekh Muhammad Abdul Wahhab (Ahlus Sunnah wal Jamaah) berkata dalam salah satu
kitabnya, "Segala puji dan karunia dari Allah serta kekuatan hanyalah
bersumber dari-Nya. Sesungguhnya Allah ta’ala telah memberikan hidayah kepadaku
untuk menempuh jalan lurus, yaitu agama yang benar; agama Nabi Ibrahim yang
lurus, dan Nabi Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Alhamdulillah aku
bukanlah orang yang mengajak kepada ajaran sufi, ajaran imam tertentu yang aku
agungkan atau ajaran orang filsafat. Tetapi, aku mengajak hanya kepada Allah
yang tiada sekutu bagi-Nya, dan mengajak kepada Sunah Rasul-Nya yang telah
diwasiatkan kepada seluruh umatnya. Aku berharap tidak menolak kebenaran jika
datang kepadaku."
Adapun tuduhan buruk kepada dakwah Syekh Muhammad Abdul Wahhab berasal dari
(sebagian) tokoh agama yang tidak suka dakwah salafiyah yang tegas ini. Mereka
memutarbalikkan kebenaran. Yang hak dikatakan bathil, begitu pula sebaliknya.
Mereka masih yakin jika mendirikan bangunan dan masjid di atas kuburan,
bertawasul doa meminta bantuan kepada mayit, dan semisalnya masih bagian dari
ajaran Islam. Dan barang siapa yang mengingkarinya, akan dianggap membenci
orang-orang saleh dan para wali. Hal ini yang keliru. Bisa karena kejahilan,
bisa juga karena taklid buta akan ajaran nenek moyang dan qila wa qala (katanya-katanya)
yang tak mendasar.
Mereka tak siap menerima tegasnya hadis larangan berbagai macam bid’ah dengan
masih mempertahankan akar tradisi budaya yang tak mau dihilangkan walau itu
menyelisihi sunah. Atau karena beda pemahaman akan bid’ah dan cara beragamanya.
Maka itulah, barang siapa ingin mengetahui secara utuh pemikiran dan ajaran
Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, ada baiknya lebih objektif lagi membaca
kitabnya, seperti Kitab Tauhid, Kasyfu as-Syubhat, Usul ats-Tsalatsah.
Janganlah kita gegabah menuduh atau mengklaim sesuatu yang bisa jadi belum
benar keabsahannya. Karena, bisa jadi kita terjebak, sadar atau tidak sadar,
pada dosa fitnah. Wallahu ta’ala a’lam.
http://republikaco.xzlyv.mobi/berita/jurnalisme-warga/wacana/15/02/25/nkc4re-perspektif-lain-dari-wahabi
http://sejarah.kompasiana.com/2012/01/01/beda-salafi-dengan-wahabi/)
Sekilas keduanya
nampak sama. Namun, latar belakang lahirnya kedua istilah itu sungguh bertolak
belakang 180 derajat. Istilah salafi lahir sebagai identifikasi sebuah gerakan
pemurnian Islam sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para
sahabatnya. Kata salaf sendiri berarti “yang terdahulu”. Dalam hal ini
pengertian salaf (yang terdahulu) adalah generasi Sahabat Nabi, Tabiin, dan
Tabiut Tabiin. Pengertian itu merujuk kepada sebuah hadis Nabi SAW yang
berbunyi, “Sebaik – baik generasi adalah mereka yang hidup pada masaku,
kemudian sesudahnya lagi, kemudian sesudahnya lagi”. Jadi, salafiyah adalah
ajaran Islam yang merujuk kepada Al-Qur’an dan As Sunnah berdasarkan pemahaman
salafus shalih (tiga generasi awal). Orang – orang yang mengikuti ajaran
salafiyah disebut dengan salafi.
Apa
beda Salafiyah dengan Ahlus Sunnah?
Secara umum umat Islam awam mengartikan Ahlus Sunnah sebagai :
1. Golongan mayoritas
2. Golongan yang selamat, dalam artian bukan salah satu dari 72 golongan yang
terancam api neraka sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis terkenal tentang
perpecahan umat.
3. Lawan dari Syiah. Dewasa ini media kerap mengartikan Ahlus Sunnah
(pengikutnya disebut Sunni) sebagai semua lawan dari kaum syiah. Padahal, kalau
kita cermati pihak – pihak yang berlawanan dengan Syiah sangat banyak dengan
aqidah yang berbeda – beda pula.
4. Paham yang dinisbatkan kepada Imam Abu Hasan al Asy’ary(Asy’ariah) dan Abu
Mansur al Maturidi (Maturidiah). Definisi keempat ini banyak tertulis di
pelbagai buku Pendidikan Agama Islam SMA dan Perguruan Tinggi. Salah satu buku
terkenal yang menyatakan demikian adalah “Teologi Islam” karya Dr. Harun
Nasution.
Dari beberapa definisi di atas, hanya poin nomor 3 yang benar. Adapun poin 4
yang banyak diamini oleh kalangan akademisi jelas salah 100%. Paham Asy’ariah
yang oleh masyarakat luas dikenal sebagai Ahlus Sunnah, justru berasal dari pemikiran
Imam Abu Hasan al Asy’ari ketika beliau mengalami pergolakan batin dalam
mencari kebenaran. Akhirnya Imam Abu Hasan al Asy’ari bertobat dan
kembali kepada ajaran Islam sebagaimana dipahami generasi salafus shalih.
ajaran paham Asy’ariah yang terkenal adalah :
1. membatasi sifat Allah dengan 20 sifat wajib sebagaimana kita kenal
seperti wujud, qidam. baqa’, mukhalafatu lil khawaditsi, dst. Penetapan yang
demikian tidak pernah dilakukan oleh kalangan Sahabat Nabi yang paling memahami
ajaran Islam.
2. mentakwilkan beberapa sifat Allah, seperti “tangan ” Allah ditakwilkan
menjadi kekuasaan Allah, “wajah” Allah ditakwilkan sebagai Ilmu Allah, dan
sebagainya. Pentakwilkan semacam ini tidak pernah dilakukan oleh para Sahabat
Nabi yang telah ditetapkan Rasulullah sebagai generasi terbaik. Para Sahabat
Nabi mengimani semua sifat – sifat Allah tanpa mentakwilkan, meniadakan,
menanyakan bagaimana, serta menyerupakan dengan makhluk. Dengan kata lain
mereka meyakini, benar bahwa Allah memiliki tangan, wajah sebagaimana telah
dinyatakan dalam Al-Qur’an dan As Sunnah, namun tangan Allah, wajah Allah tidak
sama dengan makhluk. Mahasuci Allah dari hal yang demikian.
Terminologi Ahlus Sunnah baru populer setelah abad III Hijriah, untuk
membedakannya dengan berbagai sekte menyimpang semisal Khawarij, Syiah,
Muktazilah, Jabariyah, dan Qadariyah. Dengan kata lain terminologi
Ahlus Sunnah digunakan sebagai penegasan tentang ajaran Islam murni sebagaimana
yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para Sahabat.
Seiring perjalanan waktu kian banyak berbagi pergerakan Islam, partai,
organisasi yang mengklaim berazaskan Ahlus Sunnah. Namun faktanya, tak sedikit
dari berbagai kelompok tersebut yang dalam aqidahnya, metodologinya, atau
tujuan dakwahnya melenceng dari ajaran Ahlus Sunnah yang sesungguhnya. Sebuah
ormas besar yang mengklaim sebagai penggerak dakwah Ahlus Sunnah, nyatanya
ormas tersebut lebih banyak melestarikan berbagai ajaran syirik, bid’ah, dan
pengkultusan terhadap kyai yang amat bertentangan dengan ajaran Ahlus Sunnah
itu sendiri. Oleh karena itu, untuk membedakan Ahlus Sunnah yang sungguhan
dengan Ahlus Sunnah yang hanya sebatas lebel digunakanlah istilah Salafiyah.
Jadi, salafiyah hakekatnya merupakan sebutan lain dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah
untuk membedakannya dari Ahlul Bid’ah Wal Jamaah.
Apa
beda Salafi dengan Wahabi?
Istilah Wahabi dinisbatkan kepada Syaikh Muhamad bin Abdul Wahab at Tamimi,
seorang ulama besar dari Hijaz yang berjuang menegakkan tauhid memberantas
kesyrikan di semenanjung Arabia. Dilihat dari penyebutannya saja istilah ini
sudah rancu, lantaran kata wahabiyah justru mengacu pada ayah Syaikh Muhamad at
Tamimi sebagai penggerak dakwah yang bernama Abdul Wahab. Jika mau fair,
harusnya dakwah beliau disebut Muhamadiyah sesuai dengan nama tokohnya. Akan
tetapi jika nama itu yang digunakan, maka tujuan pemunculan istilah tersebut
sebagai alat penggiring opini negatif terhadap dakwah beliau takkan pernah
terwujud.
Dapat dipastikan istilah wahabiyah sengaja dimunculkan oleh pihak – pihak yang
tak menyenangi dakwah beliau baik dari kalangan kafir maupun dari kalangan kaum
muslimin itu sendiri. Tak cukup dengan sekedar penciptaan opini, musuh – musuh
dakwah tauhid bahkan menciptakan sejarah palsu tentang dakwah beliau . Wahabi
selalu diidentikkan dengan kekerasan, kebrutalan, dan jejak berdarah. Saat ini
pun, ketika terjadi teror yang mengguncang tanah air sebagian orang langsung
menuduh wahabi sebagai biang keroknya. Apalagi bila pelakunya memiliki
identitas jenggot, jidat hitam, celana ngatung, dan istrinya bercadar. Tuduhan
itu sungguh tak berdasar.Pasalnya, dalam berbagai kitab yang ditulis oleh para
ulama yang dicap wahabi, justru menyerukan kepada kaum muslimin untuk mentaati
pemerintahnya. Tak main – main. Taat terhadap penguasa merupakan salah satu pilar
aqidah. Bahkan, Saudi Arabia yang dicap sebagai tempat tumbuh berkembangnya
wahabiyah justru sering menjadi sasaran teror Al Qaida.
Sebetulnya penyebutan istilah wahabi dengan konotasi negatif bukan barang baru
di tanah air. Dulu, di masa pemerintahan Hindia Belanda, istilah tersebut juga
dimunculkan untuk memberi stigma negatif para da’i yang menolak taklid
terhadap mazhab dan menolak pelestarian adat istiadat yang berbau kesyirikan.
Para da’i yang acapkali diberi stigma wahabi kala itu adalah mereka yang
tergabung dalam organisasi Muhammadiyah, Persis, dan Al Irsyad.
Jadi, apa beda salafi dengan wahabi? Perbedaannya adalah pada asal muasal
pemunculan istilah tersebut. Istilah Salafi dimunculkan sebagai identitas atas
sebuah dakwah tauhid yang menyeru kepada umat untuk kembali kepada Al Qur’an
dan As Sunnah berdasarkan pemahaman salafus shalih. Sedangkan, istilah wahabi
dimunculkan oleh musuh – musuh dakwah tauhid baik dari golongan kafir maupun
kaum muslimin sendiri yang kian resah lantaran dakwah ini semakin berkembang
dari hari ke hari. Siapakah golongan umat Islam yang tak menghendaki dakwah
tauhid ini berkembang pesat menyinari hati para insan?
Kaum liberalis yang
memang selalu mengeluarkan fatwa – fatwa super nyeleneh seperti bolehnya
seorang muslimah menikahi pria di luar Islam, bolehnya menghadiri perayaan
Natal (ingat 25 Desember bukanlah hari kelahiran Yesus, melainkan kelahiran
Dewa Matahari dalam mitologi romawi. Saking kentalnya pengaruh kultur Romsawi dalam
ajaran Kristen, sampai – sampai hari sabat yang harusnya jatuh hari sabtu
diganti dengan hari minggu yang merupakan hari kelahiran Dewa Matahari.
Sun=matahari, day=hari, Sunday=hari matahari), dsb
Kalangan penyembah
kubur, pengkultus kyai, dan semacamnya. Bila dakwah tauhid berkembang, para
kyai(Tidak semua kyai, namun memang ada kyai jenis ini) akan kehilangan
kedudukannya, penghasilannya, dan kewibawaannya. Mengapa? Kyai (ada yang
merangkap dukun) tak lagi mendapat amplop dari orang – orang yang meminta
doanya dalam berbagai acara bid’ah, dan orang – orang yang meminta jimat
darinya dengan bayaran mahal. Praktek para kyai ini tak ubahnya seperti
kelakuan para pendeta yang menjual surat pengampunan dosa sebelum terjadinya
Reformasi Protestan.
Demikianlah sedikit
tentang perbedaan latar belakang lahirnya terminologi salafi dan wahabi, yang
banyak orang keliru dalam menyikapinya
(Dikutip dan diselaraskan dari tulisan Muhammad Karyono, 01 January 2012, dalamhttp://sejarah.kompasiana.com/2012/01/01/beda-salafi-dengan-wahabi/)