14Jan2015
Bismillaah wal Hamdulillaah
...
Wa Laa Haula Wa
Laa Quwwata illaa Billaah ...
MENGKAFIRKAN KEKAFIRAN
Mengkafirkan
kekafiran adalah Kewajiban Agama, tapi tidak berarti mencerca dan mencaci
makinya. Mengatakan orang kafir sebagai KAFIR adalah Ketentuan Ilahi, tapi
tidak berarti harus memusuhinya, apalagi memerangi dan membunuhnya.
Orang Kafir ada
yang wajib diperangi, tapi ada juga yang haram diperangi. Karenanya, umat Islam
wajib mengetahuinya agar mampu membedakan mana yang harus diperangi dan mana
yang tidak boleh diperangi.
EMPAT GOLONGAN KAFIR
Islam
mengklasifikasikan orang kafir menjadi 4 (empat) golongan, yaitu :
1. KAFIR HARBI :
yaitu orang kafir yang memusuhi dan memerangi Islam dan umatnya.
2. KAFIR DZIMMI :
yaitu orang kafir yang hidup di Negeri Muslim dan menjadi warga yang baik.
3. KAFIR MU'AHID :
yaitu orang kafir di Negari Kafir yang punya perjanjian dengan Negeri Muslim
untuk tidak saling mengganggu, bahkan justru bekerja sama dalam berbagai bidang
untuk maslahat rakyat masing-masing negeri.
4. KAFIR MUSTA'MAN
: yaitu orang kafir yang mendapat HAK DIPLOMATIK atau SUAKA POLITIK di Negeri
Muslim.
Dari keempat
Golongan Kafir tersebut di atas, hanya golongan KAFIR HARBI saja yang WAJIB
DIPERANGI untuk membela dan mempertahankan Islam dari gangguannya. Sedang tiga golongan
kafir yang lainnya HARAM DIPERANGI, bahkan wajib diperlakukan dengan baik dan
adil.
KAFIR MAKHLUQ TERBURUK
Kafir yang mana
pun dinyatakan oleh Allah SWT sebagai Makhluq Terburuk, dan akan
masuk Neraka Jahannam, serta kekal di dalamnya, sebagaimana firman-Nya SWT
dalam QS.98.Al-Bayyinah ayat 6 :
إِنَّ الَّذِينَ
كَفَرُوا مِنْ
أَهْلِ الْكِتَابِ
وَالْمُشْرِكِينَ فِي
نَارِ جَهَنَّمَ
خَالِدِينَ فِيهَا
أُولَٰئِكَ هُمْ
شَرُّ الْبَرِيَّةِ
"Sesungguhnya
orang-orang yang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang yang Musyrik (akan
masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah
seburuk-buruk makhluk."
Kekafiran adalah
seburuk-buruknya perbuatan, sehingga siapa saja yang melakukannya akan menjadi
seburuk-buruknya makhluq. Bagaimana tidak terburuk ? Allah SWT yang
menciptakan manusia dan menjamin rizqinya serta mengaruniakan aneka macam
nikmat-Nya, lalu si manusia mengingkari Allah SWT dan menentangnya, serta
menyembah Tuhan selain-Nya atau mempersekutukan-Nya dengan selain-Nya.
Itulah karenanya,
Luqmanul Hakim memberi nasihat kepada anaknya tentang bahaya kekafiran dan
kemusyrikan, sebagaimana Allah SWT menceritakannya dalam QS.31.Luqman ayat 13 :
وَإِذْ قَالَ
لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ
الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
"Dan
(ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran
kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Namun demikian,
sungguh pun Orang Kafir dinyatakan sebagai Makhluq Terburuk dalam soal Aqidah,
namun tidak berarti dalam hubungan mu'amalat sosial kemasyarakatan tidak ada
orang kafir yang berbuat baik.
Pengklasifikasian
orang kafir menjadi empat golongan, justru untuk membedakan mana orang kafir
yang jahat dan mana yang tidak jahat dalam soal mu'amalat hubungan antar sesama
umat manusia, sehingga umat Islam tidak salah memperlakukan mereka,
PILAR TOLERANSI
Dan dalam rangka
menjaga keharmonisan hubungan antar umat manusia yang lintas agama dan suku
serta budaya, maka Islam telah meletakkan tidak kurang dari 10 (sepuluh) PILAR
TOLERANSI yang akan kita uraikan dalam artikel mendatang.
Sampai jumpa di
artikel
berikutnya
...
Insya Allah ...
Syi'ah termasuk dalam klasifikasi /golongan Kafir Harbi
ini paparannya :
Rapor Merah Akidah Syi’ah
DECEMBER 20, 2014
Sejak dahulu, kelompok sesat Syiah sangat agresif
melakukan makar terselubung terhadap Islam dan umat Islam. Ambisi mereka untuk
merobohkan pilar-pilar Islam pun sangat besar.
Kitab Suci al-Qur’an mereka klaim telah mengalami
banyak perubahan bahkan pemalsuan.1Para istri Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, Ummahatul Mukminin (ibunda kaum mukminin) yang suci, mereka
tuduh berbuat zina.2
Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mulia mereka vonis kafir.3
Sungguh, ini adalah penyimpangan besar dalam kehidupan
beragama kaum Syiah, terutama dalam hal akidah.
Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata,
“Kaum Syiah berambisi menjatuhkan (harga diri) Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam namun tidak berhasil. Akhirnya, mereka mencela para sahabat
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengesankan bahwa
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang jahat.
Sebab, jika beliau orang baik-baik, niscaya para sahabatnya adalah orang-orang
yang baik pula.” (ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimir Rasul, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah, hlm. 580)
Al-Imam Abu Zur’ah ar-Razi rahimahullah berkata,
“Jika engkau melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam , ketahuilah bahwa ia zindiq (seorang yang
menyembunyikan kekafiran). Sebab, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallambagi kita adalah haq dan al-Qur’an adalah haq. Yang menyampaikan
al-Qur’an dan as-Sunnah (kepada kita) adalah para sahabat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mereka mencela para saksi kita (para sahabat) demi
mengenyahkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka lebih pantas untuk dicela. Mereka
adalah orang-orang yang menyembunyikan kekafiran.” (al-Kifayah, al-Khathib
al-Baghdadi, hlm. 49)
Akidah Syiah penuh dengan “catatan
merah”. Beberapa poin akidah mereka pernah dimuat dalam edisi
Asy-Syari’ah yang telah lalu.4
Di antara akidah Syiah yang menarik untuk dikaji dan
dicermati lebih saksama adalah sikap mereka yang sebenarnya terhadap umat Islam
(Sunni) yang kerap mereka sebut dengan Nashibi.5 Hal ini sering luput dari
pembahasan atau sengaja dikaburkan, bahkan dikubur, oleh pihak yang getol
mengampanyekan persatuan antara Sunni dan Syiah.
Sebagai pendahuluan tentang potret nyata kehidupan
kaum Syiah, marilah menyimak persaksian salah seorang (mantan) tokoh besar
Syiah, Sayyid Husain al-Musawi berikut ini.
“Masih segar dalam ingatanku, ayahku pernah berjumpa
dengan orang asing di salah satu pasar Kota Najef, Irak. Ayahku menyukai
kebaikan, sehingga diajaklah orang tersebut ke rumah kami sebagai tamu keluarga
malam itu. Kami pun memuliakannya.
Selepas isya, kami duduk begadang menjamunya. Ketika
itu, aku seorang pemuda yang baru mengawali belajar di al-Hauzah (pusat
pendidikan ilmu agama kaum Syiah). Dari perbincangannya bersama kami, nyatalah
bahwa dia seorang Sunni (sebutan untuk selain Syiah) dari Kota Samira yang
datang ke Najef karena sebuah keperluan.
Malam itu, dia bermalam di rumah kami. Ketika datang
waktu pagi, kami menyajikan makan pagi untuknya dan dia menyantapnya. Seusai
makan pagi, dia berpamitan kepada kami. Ayahku menghadiahinya sejumlah uang
untuk tambahan bekal dalam perjalanannya. Orang itu sangat berterima kasih atas
penghormatan yang kami berikan kepadanya.
Selepas kepergiannya, ayahku memerintahkan agar kasur
yang digunakan tidur oleh tamu tersebut dibakar dan peralatan makan yang
digunakannya dicuci sebersih-bersihnya.” (Lillahi Tsumma lit Tarikh, hlm. 66)
Mengapa sang ayah memerintahnya demikian?
Sayyid Husain al-Musawi menjelaskan, “Sebab, menurut
akidah beliau, Sunni itu najis. Ini adalah akidah orang Syiah secara
keseluruhan. Semua ahli fikih kami menyejajarkan Sunni dengan orang kafir,
orang musyrik, babi, dan menggolongkannya sebagai jenis benda najis.” (Lillahi
Tsumma Lit Tarikh, hlm. 66)
Syiah Mengafirkan dan Menghalalkan Darah
Umat Islam (Sunni)
Mengafirkan umat Islam (Sunni) dan menghalalkan darah
mereka termasuk prinsip dalam agama Syiah.
Penulis Awailul Maqalat berkata, “Aku katakan bahwa
kekafiran Nashibi (baca: Sunni) sungguh termasuk hal prinsip dalam mazhab
Syiah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Mufid dalam kitab al-Muqni’ah dan
lainnya. Tidak ada seorang faqih (ahli fikih) pun yang menyelisihi hal ini.”
(Awailul Maqalat, hlm. 285)6
Dalam kitab al-Hadaiq an-Nadhirah (10/42), disebutkan,
“Tidak ada perselisihan di kalangan kawan-kawan kami ridhwanullah ‘alaihim
tentang vonis kafir terhadap Nashibi (baca: Sunni), najis, halal darah dan
hartanya, dan sama dengan kafir harbi.”7
Al-Khau’i, salah seorang rujukan mereka, menegaskan
bahwa tidak ada perbedaan antara orang murtad, kafir harbi, kafir dzimmi, dan
Nashibi (baca: Sunni). (Minhajus Shalihin 1/116)8
Para pembaca yang mulia, prinsip di atas bukanlah
hasil kajian dari para tokoh Syiah semata. Akan tetapi, itulah akidah mereka
yang dibangun di atas riwayat-riwayat para imam Syiah yang sangat banyak. Hal
ini disebutkan oleh al-Jawahiri dalam kitabnya Jawahirul Kalam (41/436) dalam
bab “Halalnya Darah Nashibi (baca: Sunni)”.
Di antaranya adalah riwayat dari Dawud bin Farqad, ia
berkata, “Aku katakan kepada Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq) ‘alaihissalam,
‘Apa pendapatmu tentang membunuh Nashibi (baca: Sunni)?’
Beliau menjawab, ‘Halal darahnya, namun aku
mengkhawatirkan dirimu. Jika kamu berkesempatan merobohkan dinding hingga
menimpanya atau menenggelamkannya ke dalam air, lakukanlah! Semua itu agar
tidak ada bukti kuat bahwa kamu membunuhnya.’
Aku pun berkata, ‘Bagaimana dengan hartanya?’
Beliau menjawab, ‘Silakan ambil, selama kamu mampu’.”
Dalam kitab mereka Tahdzibul Ahkam (10/213),
disebutkan kisah orang yang mengingkari Abu Bujair—seorang Syiah—karena telah
membunuh tujuh orang Sunni. Akhirnya keduanya berhukum kepada Abu Abdillah,
imam mereka.
Abu Abdillah ‘alaihissalam berkata, “Bagaimana caramu
membunuh mereka, hai Abu Bujair?”
Dia berkata, “Di antara mereka ada yang aku panjat
loteng rumahnya dengan menggunakan tangga, kemudian aku membunuhnya. Sebagian
ada yang berpapasan denganku di sebuah jalan, lantas aku membunuhnya. Sebagian
lagi ada yang aku masuki rumahnya kemudian aku membunuhnya. Semua itu aku
lakukan secara senyap, tak ada orang yang mengetahui jejakku.”
Abu Abdillah ‘alaihissalam berkata, “Hai Abu Bujair,
wajib bagimu (membayar denda). Untuk setiap orang yang kamu bunuh, (dendanya)
satu ekor kambing dan disembelih di Kota Mina, karena kamu melakukannya tanpa
izin dari imam (Syiah). Sekiranya kamu membunuh mereka dengan seizin imam,
niscaya kamu tidak dikenai denda sama sekali.”
Ni’matullah al-Jazairi—salah seorang ulama
mereka—berkomentar tentang riwayat di atas, “Lihatlah denda yang sangat ringan
tersebut. Sebuah denda yang lebih rendah daripada denda membunuh ‘adik
laki-laki mereka’, yaitu anjing buruan, 25 dirham. Tidak pula menyamai denda
membunuh ‘kakak laki-laki mereka’, yaitu Yahudi atau Majusi, 800 dirham.
Sungguh, keadaan mereka (Sunni) di dunia ini lebih hina dan rendah.” (al-Anwar
an-Nu’maniyyah 2/308)9
Betapa murahnya nyawa seorang Sunni di mata kaum
Syiah. Dia lebih rendah daripada Yahudi atau Majusi, bahkan lebih rendah
daripada seekor anjing buruan.
Demikianlah kaum Syiah. Makar terselubung terus mereka
lakukan. Dengan semangat gerilya yang tinggi mereka tebarkan racun-racun akidah
di tengah umat. Tampilan bersahaja dan bersahabat, mereka tonjolkan untuk
menipu umat. Manakala ada peluang untuk menghabisi Sunni, secepat kilat akan
mereka lakukan.
Runtuhnya Daulah Abbasiyah di tangan Tartar, hancurnya
Kota Baghdad, dan melayangnya jutaan nyawa umat Islam, termasuk sang khalifah
kala itu, merupakan salah satu bukti sejarah atas kejahatan dan kesadisan kaum
Syiah.10
Wallahul Musta’an.
Menghalalkan Harta Umat Islam
Tak hanya vonis kafir dan halalnya darah yang
dijatuhkan oleh kaum Syiah terhadap umat Islam. Harta mereka pun halal diambil
dan dimiliki.
Dalam beberapa kitab Syiah11, diriwayatkan dari Abu
Abdillah ‘alaihissalam, dia berkata, “Ambillah harta seorang Nashibi (baca:
Sunni) di mana saja kamu mendapatinya dan serahkan kepada kami al-khumus
(seperlima).”
Dalam kitab Syiah Bihar al-Anwar (93/194—195),
disebutkan12 bahwa Alba’ al-Asadi, seorang Syiah, menjadi pegawai di
pemerintahan Bani Umayyah. Dia mendapati uang sebesar tujuh ratus ribu dinar,
hewan tunggangan, dan budak (milik pemerintah).
Lantas dia membawanya ke hadapan Abu Abdillah
‘alaihissalam dan menyerahkan semua harta itu kepadanya seraya berkata,
“Sesungguhnya aku dipercaya oleh Bani Umayyah untuk memegang wilayah Bahrain.
Aku berkesempatan mengambil kekayaannya sekian dan sekian, yang sekarang ini
kubawa semuanya ke hadapan Anda. Aku meyakini bahwa Allah ‘azza wa jalla tidak
menjadikan harta itu untuk mereka, dan sungguh, semua itu untuk Anda.”
Abu Abdillah ‘alaihissalam berkata, “Bawalah harta itu
kemari!”
Harta itu diletakkan di hadapan Abu Abdillah
‘alaihissalam. Dia berkata, “Kami telah menerima harta ini darimu dan sekarang
kami memberikannya kepadamu. Kami menghalalkannya untukmu dan kami menjaminmu
di hadapan Allah ‘azza wa jalla masuk surga.”
Hukum Menikahi Umat Islam
Diriwayatkan dari Abu Ja’far (Muhammad al-Baqir),
disebutkan kepadanya tentang orang-orang Nashibi (baca: Sunni), dia lalu
berkata, “Jangan kamu menikahi mereka, jangan memakan sembelihan mereka, jangan
pula tinggal bersama mereka.”13
Salah seorang Syiah bertanya kepada Abu Ja’far tentang
wanita Syiah Imamiyyah, apakah boleh dinikahi oleh seorang Nashibi (baca:
Sunni)?
Dia menjawab, “Tidak boleh, karena Nashibi (baca:
Sunni) itu kafir.”14
Hukum Shalat di Belakang Umat Islam
Ath-Thusi—salah seorang tokoh mereka—berkata dalam
ringkasan fikihnya15, “Jangan shalat di belakang orang Nashibi (baca: Sunni)
dan orang yang mencintai Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib -pen.) namun tidak
berlepas diri dari musuh beliau kecuali dalam keadaan bertaqiyah.”
Muhammad al-Baqir ditanya tentang shalat di belakang
selain Syiah. Dia menjawab, “Tidaklah mereka di sisiku kecuali seperti
dinding.”16
Para pembaca yang mulia, dalam akidah Syiah tidak
diperbolehkan shalat di belakang selain Syiah kecuali terpaksa sebagai bentuk
taqiyah (berpura-pura). Itu pun dengan menganggap si imam tak ubahnya seperti
dinding. Wallahul Musta’an.
Hukum Menyalati Umat Islam
Bisa jadi, di antara pembaca ada yang pernah melihat
seorang Syiah turut menyalati jenazah seorang muslim (Sunni). Tentu, kesan yang
ditangkap adalah masya Allah, alias bagus. Namun, perlu pembaca
ketahui bahwa dia tidak melakukannya kecuali karena bertaqiyah (berpura-pura).
Yang lebih mencengangkan, ternyata doa yang dibaca dalam shalat jenazah itu
adalah doa kebinasaan untuk si mayit.
Al-Mufid dalam kitab al-Muqni’ah (hlm. 229—230)
berkata, “Jika si mayit seorang Nashibi (baca: Sunni), shalatkanlah sebagai
bentuk taqiyah (berpura-pura). Kemudian ucapkanlah setelah takbir keempat, ‘Ya
Allah, hamba-Mu putra hamba-Mu ini, tidaklah kami mengetahuinya kecuali
kejelekan. Hinakanlah dia di kalangan para hamba-Mu dan di negeri-negeri-Mu,
masukkanlah dia ke dalam neraka-Mu yang paling dahsyat. Ya Allah, sesungguhnya
dia mencintai para musuh-Mu, memerangi para wali-Mu, dan membenci keluarga
Nabi-Mu. Penuhilah kuburnya dengan api; dari arah depan, kanan, dan kirinya.
Kuasakanlah ular dan kalajengking untuk membinasakannya di kuburnya’.”
Dalam riwayat lain, “Ya Allah, sesungguhnya si fulan
ini, tidaklah kami mengetahuinya kecuali sebagai musuh-Mu dan musuh Rasul-Mu.
Ya Allah, penuhilah kuburnya dengan api, penuhi pula perutnya dengan api, dan
segerakanlah dia masuk ke dalam neraka, karena dia mencintai para musuh-Mu,
memerangi para wali-Mu, dan membenci keluarga Nabi-Mu. Ya Allah, sempitkanlah
kuburnya.”
Ketika jenazahnya diangkat, ucapkanlah, “Ya Allah,
jangan Engkau angkat derajatnya dan jangan pula Engkau sucikan dia.”17
Vonis Najis Terhadap Umat Islam
Sayyid Husain al-Musawi sebagaimana disebutkan dalam
pendahuluan di atas menjelaskan bahwa semua ahli fikih Syiah menyejajarkan
Sunni dengan orang kafir, orang musyrik, babi, dan menggolongkannya sebagai
jenis benda najis.
Sayyid Ni’matullah al-Jazairi berkata, “Sesungguhnya
mereka—Ahlus Sunnah—adalah orang kafir dan najis, menurut kesepakatan ulama
Syiah Imamiyah. Sesungguhnya mereka lebih jelek daripada Yahudi dan Nasrani. Di
antara ciri-ciri Nashibi (baca: Sunni) adalah mendahulukan selain Ali bin Abi Thalib
dalam hal imamah (khilafah).” (al-Anwar an-Nu’maniyyah 2/206—207; dinukil dari
Lillahi Tsumma Lit Tarikh, hlm. 71)
Satu hal yang sangat mencengangkan adalah keyakinan
mereka bahwa seorang Sunni itu lebih najis dari makhluk yang paling najis
sekalipun.
Dalam kitab Bihar al-Anwar (73/72), disebutkan bahwa
Allah belum pernah menciptakan makhluk yang lebih najis daripada anjing. Adapun
seorang Nashibi (baca: Sunni) yang menyelisihi kami, ahlul bait, lebih najis
darinya.
Bejana seorang Sunni hukumnya najis, tanpa diragukan.
Yang lebih berhati-hati dalam membersihkannya adalah dengan debu dan air,
sebagaimana yang dilakukan terhadap bejana yang terkena jilatan anjing.
Sayyid Musthafa al-Khomaeni dalam kitab Tahrir
al-‘Urwah al-Wutsqa (1/89) berkata, “Bahkan, tidak diragukan lagi tentang
najisnya seorang Nashibi (baca: Sunni)… dan yang lebih berhati-hati adalah
membersihkan bejana Nashibi (baca: Sunni) dengan debu dan air sebagaimana yang
dilakukan terhadap bejana yang terkena jilatan anjing.”
Diriwayatkan dari Abu Abdillah bahwasanya dia membenci
bekas minum anak zina, Yahudi, Nasrani, musyrik, dan semua yang menyelisihi
Islam. Yang paling dia benci adalah bekas minum seorang Nashibi (baca:
Sunni).18
Bagaimanakah berjabat tangan dengan seorang Sunni?
Dalam akidah mereka, seusai berjabat tangan dengan
seorang kafir dzimmi, cukup diusapkan ke tanah atau dinding.
Namun, seusai berjabat tangan dengan seorang Sunni,
harus dicuci dengan air. Wallahul Musta’an
Dalam kitab al-Kafi (2/650), disebutkan bahwa
seseorang berkata kepada Abu Abdillah ‘alaihissalam, “Aku bertemu dengan
seorang kafir dzimmi lalu dia mengajakku berjabat tangan.”
Abu Abdillah ‘alaihissalam berkata, “Usapkanlah
tanganmu itu ke tanah atau dinding.”
Orang itu pun berkata, “Bagaimanakah (usai berjabat
tangan) dengan seorang Nashibi (baca: Sunni)?”
Abu Abdillah ‘alaihissalam berkata, “Cucilah
tanganmu!”19
Vonis Kekal di Nereka
Dalam kitab Bihar al-Anwar (27/234), disebutkan bahwa
Abu Ja’far ‘alaihis salam berkata, “Sekiranya semua malaikat yang diciptakan
oleh Allah, semua nabi yang diutus oleh Allah, dan semua syahid memberikan
syafaat kepada seorang Nashibi (baca: Sunni) yang menyelisihi kami, ahlul
bait—maksudnya adalah Syiah—agar Allah mengeluarkannya dari neraka; Allah tidak
akan mengeluarkannya dari neraka selama-lamanya. Allah telah berfirman dalam
Kitab-Nya, ‘Mereka berada di dalamnya untuk selama-lamanya’. ”
Dalam kitab yang sama disebutkan bahwa Ja’far
ash-Shadiq berkata, “Sesungguhnya seorang Nashibi (baca: Sunni) yang
menyelisihi kami ahlul bait—maksudnya adalah Syiah—tidak perlu dihiraukan,
entah dia berpuasa atau shalat, berzina atau mencuri; karena sesungguhnya dia
di neraka! Sesungguhnya dia di neraka!”20
Dari pemaparan di atas dapatlah diambil kesimpulan
bahwa umat Islam (Sunni) di mata kaum Syiah adalah kafir, halal darah dan
hartanya, tidak boleh shalat bermakmum di belakangnya kecuali jika bertaqiyah
(berpura-pura), tidak boleh menyalati jenazahnya kecuali ketika bertaqiyah (berpura-pura)
dan mendoakan kebinasaan atasnya, najis bahkan lebih najis dari anjing, dan
kekal di dalam neraka selama-lamanya. Wallahul Musta’an.
Perlu diketahui, kesimpulan di atas bukanlah
kesimpulan di atas kertas semata, melainkan sebuah prinsip keyakinan (akidah)
yang terhunjam dalam sanubari setiap penganut Syiah, yang akan direalisasikan
dalam bentuk nyata manakala ada peluang dan kesempatan.
Marilah kita simak bersama persaksian Sayyid Husain
al-Musawi berikut ini.
“Ketika pemerintahan Pahlevi di Iran tumbang
pascarevolusi Islam (baca: Syiah) dan Imam Khomaeni dikukuhkan sebagai pemimpin
bangsa, menjadi kewajiban bagi ulama Syiah untuk berkunjung dan memberi ucapan
selamat kepadanya atas kemenangan yang agung ini; yaitu berdirinya Negara Syiah
pertama di era modern ini yang dipimpin oleh para fuqaha (ahli fikih).
Kewajiban ini secara lebih khusus tertuju kepada diriku, karena hubunganku yang
sangat dekat dengan Imam Khomaeni.
Berangkatlah aku ke Iran satu setengah bulan atau
lebih setelah kedatangannya di Teheran, sepulang beliau dari tempat
pengasingannya di Paris, Perancis. Beliau benar-benar menyambut hangat
kunjunganku itu. Kebetulan, kunjungan kali ini tidak bersama para ulama Syiah
Irak lainnya.
Dalam pertemuan khusus itu, beliau berkata kepadaku,
“Sayyid Husain, tibalah saatnya menerapkan wasiat para imam shalawatullah
‘alaihim. Kita akan tumpahkan darah orang-orang Nashibi (baca: Sunni). Kita
akan membunuh anak-anak lelaki mereka dan kita biarkan hidup anak-anak
perempuan mereka. Takkan kita biarkan seorang pun dari mereka lolos dari
penyiksaan. Harta mereka akan menjadi hak milik para pembela Ahlul Bait.
Kita akan enyahkan Makkah dan Madinah dari muka bumi
ini karena telah menjadi markas Wahabi. Sudah seharusnya Kota Karbala menjadi
bumi Allah yang diberkahi lagi suci, kiblat manusia dalam shalat. Dengan
demikian, kita akan wujudkan impian para imam ‘alaihissalam.
Sungguh, telah berdiri sebuah negara yang sejak sekian
tahun lamanya kita perjuangkan. Tidaklah tersisa bagi kita selain mewujudkan
itu semua!!” (Lillahi Tsumma Lit Tarikh, hlm. 73)
Akhir kata, demikianlah sekelumit tentang agama Syiah,
kesesatan, kejahatan, dan bahayanya terhadap umat Islam.
Semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun
penyejuk bagi pencari kebenaran.
Amin….
——footnote—–
1 Disebutkan dalam kitab al-Kafi (yang kedudukannya di
sisi mereka seperti Shahih al-Bukhari di sisi umat Islam) karya Abu Ja’far
Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini 2/634.
Dari Abu Abdillah (Ja’far ash-Shadiq), dia berkata,
“Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad n itu (ada) 17.000
ayat.”
Pada 1/239—240 disebutkan dari Abu Abdillah, dia
berkata, “Sesungguhnya di sisi kami ada Mushaf Fatimah ‘alaihassalam, mereka
tidak tahu apa Mushaf Fatimah itu. Abu Bashir berkata, ‘Apa Mushaf Fatimah
itu?’
Dia (Abu Abdillah) berkata, ‘Mushaf yang isinya 3 kali
lipat dari yang ada di Mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf
pun dari al-Qur’an kalian’.” (Dinukil dari kitab asy-Syiah wal Qur’an
karya Dr. Ihsan Ilahi Zhahir, hlm. 31—32)
Bahkan, salah seorang “ahli hadits” mereka yang
bernama Husain bin Muhammad at-Taqi an-Nuri ath-Thabrisi dalam kitabnya Fashlul
Khithab fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab mengumpulkan berbagai riwayat
dari para imam mereka yang diyakini ma’shum (terjaga dari dosa), bahwa
al-Qur’an yang ada di tangan umat Islam itu telah mengalami perubahan dan
penyimpangan.
2 Dalam kitab mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal karya
ath-Thusi, hlm. 57—60, menukilkan (secara dusta) perkataan sahabat Abdullah bin
Abbas c terhadap Ummul Mukminin Aisyah, “Kamu tidak lain adalah seorang pelacur
dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah n.” (Dinukil dari kitab
Daf’ul Kadzibil Mubin al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin karya
Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha, hlm. 11)
3 Dalam kitab mereka Rijalul Kisysyi, hlm. 12—13 dari
Abu Ja’far (Muhammad al-Baqir), dia berkata, “Manusia (para sahabat)
sepeninggal Nabi n dalam keadaan murtad kecuali tiga orang.”
Aku (perawi) berkata, “Siapa tiga orang itu?”
Dia (Abu Ja’far) berkata, “Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu
Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi….” kemudian menyebutkan surah Ali Imran:
144. (Dinukil dari asy-Syiah al-Imamiyyah al-Itsna ‘Asyariyyah fi Mizanil
Islam, hlm. 89)
Adapun sahabat Abu Bakr ash-Shiddiq z dan Umar bin
al-Khaththab z, dua manusia terbaik setelah Rasulullah n, mereka cela dan
laknat. Bahkan, berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama
mereka.
6 al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah
karya Hamid Masuhali al-Idrisi, hlm. 133.
7 al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah
karya Hamid Masuhali al-Idrisi, hlm. 133.
8 al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah
karya Hamid Masuhali al-Idrisi, hlm. 134.
9 al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm.
136.
10 Anda bisa membaca Kajian Utama edisi ini. Untuk
lebih rinci, silakan baca al-Bidayah wan Nihayah karya al-Imam Ibnu Katsir
(13/200—211), Tarikhul Islam wa Wafayatul Masyahir wal A’lam karya al-Imam
adz-Dzahabi (48/33—40), dan Tarikhul Khulafa’ karya al-Imam as-Suyuthi (hlm.
325—335).
11 Wasail asy-Syiah 9/487, al-Hadaiq an-Nadhirah
10/361, Tahdzib al-Ahkam 4/121, dan Bihar al-Anwar 93/191. Dinukil dari
al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 137.
12 al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 138.
12 al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 138.
13 al-Istibshar 3/184, Tahdzib al-Ahkam 7/303, dan
Wasail asy-Syiah 20/554. Dinukil dari al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah
al-Imamiyyah, hlm. 138.
14 Tahdzib al-Ahkam 7/303.
15 an-Nihayah, hlm. 112.
16 Jawahir al-Kalam 13/196.
17 al-Kafi 3/189, Bihar al-Anwar 44/202, Wasail asy-Syiah
3/70, dan Tahdzib al-Ahkam 3/197. Dinukil dari al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah
al-Imamiyyah, hlm. 141.
18 al-Kafi 3/11, dan Wasail asy-Syiah 1/229. Dinukil
dari al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah al-Imamiyyah, hlm. 143.
19 Dinukil dari al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah
al-Imamiyyah, hlm. 143.
20 Dinukil dari al-Fadhih Li Madzhab asy-Syiah
al-Imamiyyah, hlm. 144.
(dinukil dari Majalah Asy Syariah edisi 101
hlm. 5-12)
Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc.
Syiah Menghalalkan Darah Ahlus Sunnah
DECEMBER 21, 2014
Sejarah Kaum Syiah Rafidhah
tidak terlepas dari perbuatan mereka yang menumpahkan darah kaum muslimin Ahlus
Sunnah wal Jamaah. Mulai dari zaman Utsman bin Affanradhiyallahu ‘anhu hingga
berita yang mereka riwayatkan tentang perbuatan Imam Mahdi mereka saat
menampakkan diri ke permukaan bumi.Sikap kaum Syiah yang menghalalkan darah
kaum muslimin disebabkan dasar keyakinan Syiah terhadap Ahlus Sunnah bahwa:
1. Ahlus Sunnah kafir
Mereka menganggap bahwa yang muslim hanyalah kaum Syiah Rafidhah, sedangkan
yang lain dianggap kafir. Dalam salah satu referensi Syiah, diriwayatkan
oleh al-Barqi bahwa Abu Abdillah berkata, “Tidak seorang pun yang berada
di atas millah Ibrahim ‘alaihi sallam kecuali kami dan Syiah
kami, sedangkan manusia lainnya berlepas diri dari millah tersebut.”
(al-Mahasin, 147) Mereka meriwayatkan bahwa Ali bin Husain radhiyallahu
‘anhum berkata, “Tidak satu pun yang berada di atas fitrah Islam
selain kami dan Syiah kami, sedangkan manusia lainnya berlepas diri darinya.”
(al-Mufid, al-Ikhtishah, hlm. 107)
2. Ahlus Sunnah najis
Mereka juga menganggap bahwa Ahlus Sunnah itu najis sehingga harus dilenyapkan karena status mereka sebagai najis. Ni’matullah al-Jazairi berkata tentang hukum Nawashib (yang dimaksud oleh mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah), “Mereka adalah orang kafir yang najis berdasarkan kesepakatan ulama Syiah imamiyah, lebih jahat dari Yahudi dan Nasrani. Sesungguhnya di antara tanda seorang nashibi adalah mendahulukan selain Ali radhiyallahu ‘anhu dalam hal kepemimpinan.” (al-Anwar an-Nu’maniyah, hlm. 206—207) Karena menganggap Ahlus Sunnah kafir, mereka pun menghalalkan darah Ahlus Sunnah. Mereka meriwayatkan dari Dawud bin Farqad, ia berkata kepada Abu Abdillah, “Apa pendapatmu tentang membunuh seorang Nashibi?” Ia menjawab, “Halal darahnya, namun aku mengkhawatirkan dirimu. Jika engkau mampu merobohkan dinding hingga menimpanya atau menenggelamkannya ke dalam air agar tidak seorang pun menjadi saksi atas perbuatanmu, lakukanlah!” Lalu Dawud bertanya, “Apa pendapatmu tentang hartanya?” Ia menjawab, “Habiskan semampumu.” (Diriwayatkan oleh al-Hur al-Amili dalam Wasail asy-Syiah, 18/463; dalam Biharul Anwar, 27/231)
3. Ahlus Sunnah itu anak zina
Hal ini sebagaimana anggapan mereka bahwa siapa saja selain kaum Syiah dianggap sebagai anak zina. Al-Kulaini meriwayatkan, “Seluruh manusia adalah anak zina (atau berkata, ‘anak-anak pelacur’) kecuali Syiah kami.” (Raudhatul Kafi, 8/135) Berdasarkan hal ini, mereka menghalalkan ditumpahkannya darah Ahlus Sunnah dan harta mereka, yang dianggap sebagai harta rampasan perang. Khomeini berkata tentang harta Ahlus Sunnah, “Jika engkau mampu mengambil hartanya, ambillah dan kirimkan kepada kami seperlimanya.” (Lillahi Tsumma Li at-Tarikh, hlm. 89) Bahkan, mereka memvonis Ahlus Sunnah adalah penghuni neraka. Diriwayatkan oleh ash-Shaduq dalam Tsawabul A’mal wa ‘Iqabul A’mal, dari ash-Shadiq berkata, “Seorang nashibi yang membenci kami—ahlul bait—, tidak peduli apakah dia berpuasa atau shalat, berzina atau mencuri; sesungguhnya ia dalam neraka; sesungguhnya dia dalam neraka.” (Tsawabul A’mal, 215. Riwayat ini disebutkan oleh al-Majlisi dalam Biharul Anwar, 27/235) Diriwayatkan dari Aban bin Taghlib, Abu Abdillah berkata, “Setiap nashibi, meskipun beribadah dan bersungguh-sungguh, pada akhirnya akan terjatuh ke dalam ayat ini, “Bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas.” (al-Ghasyiyah: 3—4) (Tsawabul A’mal, hlm. 247)
2. Ahlus Sunnah najis
Mereka juga menganggap bahwa Ahlus Sunnah itu najis sehingga harus dilenyapkan karena status mereka sebagai najis. Ni’matullah al-Jazairi berkata tentang hukum Nawashib (yang dimaksud oleh mereka adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah), “Mereka adalah orang kafir yang najis berdasarkan kesepakatan ulama Syiah imamiyah, lebih jahat dari Yahudi dan Nasrani. Sesungguhnya di antara tanda seorang nashibi adalah mendahulukan selain Ali radhiyallahu ‘anhu dalam hal kepemimpinan.” (al-Anwar an-Nu’maniyah, hlm. 206—207) Karena menganggap Ahlus Sunnah kafir, mereka pun menghalalkan darah Ahlus Sunnah. Mereka meriwayatkan dari Dawud bin Farqad, ia berkata kepada Abu Abdillah, “Apa pendapatmu tentang membunuh seorang Nashibi?” Ia menjawab, “Halal darahnya, namun aku mengkhawatirkan dirimu. Jika engkau mampu merobohkan dinding hingga menimpanya atau menenggelamkannya ke dalam air agar tidak seorang pun menjadi saksi atas perbuatanmu, lakukanlah!” Lalu Dawud bertanya, “Apa pendapatmu tentang hartanya?” Ia menjawab, “Habiskan semampumu.” (Diriwayatkan oleh al-Hur al-Amili dalam Wasail asy-Syiah, 18/463; dalam Biharul Anwar, 27/231)
3. Ahlus Sunnah itu anak zina
Hal ini sebagaimana anggapan mereka bahwa siapa saja selain kaum Syiah dianggap sebagai anak zina. Al-Kulaini meriwayatkan, “Seluruh manusia adalah anak zina (atau berkata, ‘anak-anak pelacur’) kecuali Syiah kami.” (Raudhatul Kafi, 8/135) Berdasarkan hal ini, mereka menghalalkan ditumpahkannya darah Ahlus Sunnah dan harta mereka, yang dianggap sebagai harta rampasan perang. Khomeini berkata tentang harta Ahlus Sunnah, “Jika engkau mampu mengambil hartanya, ambillah dan kirimkan kepada kami seperlimanya.” (Lillahi Tsumma Li at-Tarikh, hlm. 89) Bahkan, mereka memvonis Ahlus Sunnah adalah penghuni neraka. Diriwayatkan oleh ash-Shaduq dalam Tsawabul A’mal wa ‘Iqabul A’mal, dari ash-Shadiq berkata, “Seorang nashibi yang membenci kami—ahlul bait—, tidak peduli apakah dia berpuasa atau shalat, berzina atau mencuri; sesungguhnya ia dalam neraka; sesungguhnya dia dalam neraka.” (Tsawabul A’mal, 215. Riwayat ini disebutkan oleh al-Majlisi dalam Biharul Anwar, 27/235) Diriwayatkan dari Aban bin Taghlib, Abu Abdillah berkata, “Setiap nashibi, meskipun beribadah dan bersungguh-sungguh, pada akhirnya akan terjatuh ke dalam ayat ini, “Bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas.” (al-Ghasyiyah: 3—4) (Tsawabul A’mal, hlm. 247)
Keyakinan rusak Syiah inilah
yang menyebabkan mereka memenuhi lembaran sejarah dengan menumpahkan darah kaum
muslimin yang tidak sejalan dengan kesesatan dan penyimpangan mereka. Dimulai
dari awal munculnya pencetus pemikiran Rafidhah, Abdullah bin Saba’ al-Yahudi,
hingga munculnya Imam Mahdi versi kaum Syiah. Berikut ini akan kami
paparkan sebagian yang ditulis oleh sejarah dalam kitab para ulama yang menerangkan
tentang sikap Syiah yang sangat mudah menumpahkan darah kaum muslimin.
(Majalah Asy Syariah 101,
hlm. 13-14)
Al-Ustadz Abu Mu’awiyah
Askari