Beberapa kalangan menyebut komunitas muslim Indonesia terbangun
di atas madzhab ”Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah”. Sama halnya dengan beberapa negara
tetangga seperti Malaysia, Brunei, Singapura, atau Thailand Selatan. Bersamaan
dengan itu, terjadilah friksi dimana sebagian kelompok dikeluarkan oleh yang
lainnya dari lingkup madzhab Ahlus-Sunnah. Tentu saja, urusan
keluar-mengeluarkan itu tidak akan banyak berarti karena Ahlus-Sunnah bukanlah
perusahaan yang dipimpin oleh seorang direktur sehingga berhak mengeluarkan
karyawan sekehendak dirinya. Madzhab Ahlus-Sunnah punya kaidah dan aturan yang
telah dikenal semenjak jaman generasi awal Islam. Oleh karena itu, tulisan ini
akan mengajak Pembaca untuk membandingkan antara pengakuan dan hakekat yang ada
dalam madzhab Ahlus-Sunnah. Tapi,…. sebelum menginjak pada inti tulisan, ada
baiknya kita ketahui apa itu makna Ahlus-Sunnah.
Tentang Ahlus-Sunnah
Penamaan Ahlus-Sunnah telah ada sejak generasi pertama Islam.
Ketika menafsirkan firman Allah ta’ala :
يَوْمَ تَبْيَضّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدّ وُجُوهٌ فَأَمّا الّذِينَ اسْوَدّتْ
وُجُوهُهُمْ أَكْفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ
تَكْفُرُونَ
“Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan
ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam muram mukanya
(kepada mereka dikatakan): “Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu
rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.” (QS. Ali ‘Imran : 106); Ibnu ‘Abbas berkata :
حين تبيض وجوه أهل السنة والجماعة, وتسود وجوه أهل البدعة والفرقة
“Adapun orang yang putih wajahnya, mereka adalah Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah; adapun orang yang hitam wajahnya, mereka adalah Ahlul-Bid’ah dan sesat”
[lihat Tafsir
Ibnu Katsir 3/139; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1421].
Kemudian istilah ini menjadi sangat masyhur di era selanjutnya
akibat munculnya berbagai penyimpangan dalam agama. Di antara ulama terdahulu
yang menyebut istilah Ahlus-Sunnah di antaranya :
Al-Hasan (Al-Bashri) rahimahullah berkata :
يا أهل السنة ترفقوا رحمكم الله فإنكم من أقل الناس
“Wahai Ahlus-Sunnah, berlaku baik/lembutlah ! Semoga Allah memberikan rahmat kepada
kalian. Karena sesungguhnya kalian adalah golongan yang paling sedikit dari
kalangan manusia” [Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalikai 1/57,
tahqiq : Ahmad bin Mas’ud bin Hamdan, Cet. 2/1411].
Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah berkata :
إني أخبر بموت الرجل من أهل السنة وكأني أفقد بعض أعضائي
“Apabila aku dikabarkan tentang meninggalnya seorang dari Ahlus-Sunnah, seolah-olah hilang salah
satu anggota tubuhku” [idem, hal. 60].
Malik bin Anas rahimahullah berkata :
أهل السنة الذين ليس لهم لقب يعرفون به، لا جهمي ولا قدري ولا رافضي
”Ahlus-Sunnah adalah orang-orang yang tidak mempunyai laqab/gelar tertentu
yang mereka dikenal dengannya. (Mereka) bukanlah Jahmiy, bukan Qadariy, dan bukan pula Rafidliy” [Al-Intiqaa’ oleh Ibnu ‘Abdil-Barr, hal. 35].
Al-Waki’ (guru Al-Imam Asy-Syafi’i) rahimahullah berkata :
أهل السنة يقولون : الإيمان : قول وعمل ، والمرجئة يقولون : الإيمان
قول ، والجهمية يقولون : الإيمان : المعرفة
“Ahlus-Sunnah mengatakan : Iman itu perkataan dan perbuatan. Murji’ah
mengatakan : Iman itu perkataan saja. Adapun Jahmiyyah, mereka mengatakan :
Iman itu hanya ma’rifat saja” [Asy-Syari’ah oleh Al-Imam Al-Ajurri 1/288, tahqiq : Al-Walid bin Muhammad
An-Nashr; Muassasah Qurthubah, Cet. 1/1417].
Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata ketika menjelaskan beberapa prinsip aqidah
dalam masalah taqdir :
مثل حديث: «الصادق المصدوق» ومثل ما كان مثله في القدر والرؤية والقرآن
وغيرها من السنن مكروه، ومنهي عنه، لا يكون صاحبه، وإن كان بكلامه سنة من أهل السنة
حتى يدع الجدال ويسلم. ويؤمن بالآثار
“…..(Tidak boleh baginya untuk berbicara tanpa ilmu) sebagaimana
hadits Ash-Shadiqul-Mashduq (yaitu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam) dan hadits-hadits yang semisal dalam masalah taqdir, ru’yah (yaitu melihat Allah di surga
kelak bagi kaum mukminin – Abu Al-Jauzaa’), Al-Qur’an, dan yang lainnya dari sunnah-sunnah. Hal
ini adalah dibenci dan dilarang. Pelakunya tidak termasuk Ahlus-Sunnah – walaupun perkataan
(kadang) mencocoki sunnah – sampai ia meninggalkan perdebatan dalam
masalah-masalah tersebut dan mengimani atsar” [Ushulus-Sunnah lil-Imam Ahmad bin Hanbal dari riwayat ‘Abdus bin
Malik Al-‘Athaar, point ke-12; Maktabah Al-Misykah].
Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata :
وأما الصواب من القول في رؤية المؤمنين ربهم عز وجل يوم القيامة ، وهو
ديننا الذي ندين الله به ، وأدركنا عليه أهل السنة والجماعة فهو : أن أهل الجنة يرونه
على ما صحت به الأخبار عن رسول الله
“Adapun yang benar dari permasalahan melihatnya kaum mukminin
kepada Rabbnya ‘azza wa jalla di hari kiamat, maka hal itu merupakan agama kami yang
kami beragama dengannya. Dan kami mengetahui bahwa Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah berpendapat bahwa Ahlul-Jannah akan melihat Allah sesuai dengan
khabar shahih yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam” [Sharihus-Sunnah oleh Ath-Thabari hal. 4 –
Maktabah Al-Misykah :www.almeskhat.net/books].
Dan lain-lain
Adapun pengertian/definisi dari Ahlus-Sunnah (wal-Jama’ah), maka
Ibnul-Jauzi rahimahullahmenjelaskan :
ولا ريب في أن أهل النقل والأثر المتبعين آثار رسول الله صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وآثار أصحابه هم أهل السنة لأنهم على تلك الطريق التي لم يحدث فيها
حادث : وإنما وقعت الحوادث والبدع بعد رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وأصحابه .
“Tidak dapat diragukan lagi bahwa Ahlun-Naql wal-Atsar adalah orang-orang yang
mengikuti jejak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam beserta para shahabatnya.
Mereka adalah Ahlus-Sunnah, karena mereka berada di atas jalan tersebut yang di
sana tidak ada hal-hal yang baru diada-adakan. Sebab, hal-hal yang baru dan
bid’ah itu baru muncul sepeninggal Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya” [Talbis-Iblis oleh Ibnul-Jauzi 1/24,
tahqiq : Dr. As-Sayyid Al-Jumailiy; Daarul-Kitaab Al-‘Arabiy, Cet. 1/1405].
Abu Muhamad bin Hazm (Ibnu Hazm) rahimahullah berkata :
وأهل السنة الذين نذكرهم أهل الحق ومن عداهم فأهل البدعة فإنهم – إي
أهل السنة – الصحابة رضي الله عنهم وكل من سلك نهجهم من خيار التابعين رحمة الله عليهم،
ثم أصحاب الحديث ومن اتبعهم من الفقهاء جيلا فجيلا إلى يومنا هذا ومن اقتدى بهم من
العوام في شرق الأرض وغربها رحمة الله عليهم
“Ahlus-Sunnah yang kami sebutkan adalah Ahlul-Haq, sedangkan
selain mereka adalah ahlul-bid’ah. Sesungguhnya mereka (Ahlus-Sunnah) adalah
para shahabat radliyallaahu ‘anhum dan orang-orang yang
berjalan di atas manhaj mereka dari kalangan tabi’in – semoga Allah melimpahkan
rahmat kepada mereka, kemudian Ashhaabul-Hadits dan orang yang mengikuti mereka
dari kalanganfuqahaa, generasi demi generasi, sampai sekarang ini. Demikian pula
orang-orang yang mencontoh mereka dari orang-orang awam di bagian Timur dan
Barat bumi ini. Semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka semua” [Al-Fashlu
fil-Milal wal-Ahwaa’ wan-Nihaal oleh Ibnu Hazm 2/113 – melalui perantaraan ’Aqiidatu
Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah fish-Shahaabatil-Kiraam oleh Dr. Naashir bin ’Ali Alusy-Syaikh
1/29; Maktabah Ar-Rusyd, Cet. 1/1413].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
لأنهم متمسكون بكتاب الله وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم، وما اتفق
عليه السابقون الأولون من المهاجرين والأنصار والذين اتبعوهم بإحسان
“Karena mereka (Ahlus-Sunnah) adalah orang-orang yang
berpegang-teguh kepada Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam, dan apa-apa yang disepakati oleh As-Saabiquunal-Awwaluun dari kalangan Muhajirin,
Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik” [Majmu’
Al-Fataawaa oleh Ibnu Taimiyyah 3/375, takhrij : ’Aamir Al-Jazzaar &
Anwar Baaz; Daarul-Wafaa’, Cet. 3/1426].
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
وهم أهل السنة والجماعة : المتمسكون بكتاب الله وسنة رسوله صلى الله
عليه وسلم وبما كان عليه الصدر الأول من الصحابة والتابعين وأئمة المسلمين في قديم
الدهر وحديثه
“Mereka adalah Ahlus-Sunnah : (Yaitu) orang-orang yang
berpegang-teguh pada Kitabullah (Al-Qur’an), Sunnah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam, dan pada apa-apa yang ada pada generasi awal dari kalangan
shahabat, tabi’in, dan imam-imam kaum muslimin, baik pada masa dahulu dan
sekarang” [Tafsir Ibnu Katsir 3/434 – melalui perantaraan Ilmut-Tauhid ‘inda Ahlis-Sunnah wal-Jama’aholeh Dr. Muhammad Yusriy
hal. 23, Cet. Th. 1425].
Al-Alusiy rahimahullah berkata :
(اعلم) أن أهل السنة والجماعة هم أهل السلام والتوحيد، المتمسكون بالسنن
الثابتة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم في العقائد والنحل والعبادات الباطنة والظاهرة……فإن
السنة في الأصل تقع على ما كان عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم، وما سنه أو أمر
به من أصول الدين وفروعه،……وتطلق أيضا على ما كان عليه السلف الصالح في مسائل الامامة
والتفضيل، والكف عما شجر بين أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم
“(Ketahuilah) bahwasannya Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, mereka
adalah Ahlul-Islam
wat-Tauhid, orang-orang yang berpegang-teguh pada sunah-sunnah yang telah
tetap dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam hal aqidah, madzhab,
dan ibadah baik secara bathin ataupun dhahir….. . Kata As-Sunnah itu pada
asalnya adalah setiap perkara yang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallamberada di atasnya dan apa
yang telah sunnahkan atau perintahkan dengannya, baik dalam permasalahan ushuluddin maupun permasalahan furu’….. (Kata ini) juga
dimutlakkan pada setiap perkara yang mana as-salafush-shalih berada di atasnya, baik
dalam masalah imamah, pengutamaan (di antara shahabat), maupun menahan diri
dari setiap perkara yang para shahabat Rasulullahshallallaahu
‘alaihi wasallam berselisih padanya” [Ghayaatul-Amaaniy fir-Radd ‘alan-Nabhaaniy oleh Mahmud Syukri Al-Alusi
1/428].
Dari penjelasan beberapa imam di atas, maka dengan bahasa
ringkas pengertian Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah adalah orang-orang yang mengamalkan
apa-apa yang telah diamalkan oleh Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan para shahabatnya, serta
menjauhi perkara baru dan bid’ah dalam agama.
Selanjutnya akan saya berikan beberapa contoh perkara dalam
agama beserta cara pandang Ahlus-Sunnah dalam memahami dan mengamalkannya.
Harapan saya, kita semua dapat ‘membandingkan’ realitas klaim sebagian orang
yang menganggap dirinya bagian dari Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, apakah mereka
memang merupakan bagian darinya atau bukan……
Dalam masalah pemahaman ayat Al-Qur’an dan As-Sunnah
Ash-Shahihah, terutama yang berkaitan dengan al-asma’ wa sifat Allah.
Ahlus-Sunnah menetapkan apa-apa yang Allah ta’ala dan Rasul-Nya telah
tetapkan atas diri-Nya, baik itu nama-nama maupun sifat-sifat Allah ta’ala dan
mensucikan-Nya dari segala aib dan kekurangan-kekurangan, sebagaimana hal
tersebut telah disucikan oleh Allah dan Rasul-Nya. Wajib untuk menetapkan sifat
Allah sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah
tanpa adanya tahrif (menyimpangan maknanya), ta’thil (meniadakannya), takyif (menanyakan bagaimananya),
dan tamtsil
/ tasybih (menyerupakan dengan makhluk-Nya).
وقال الوليد بن مسلم : سألت الأوزاعي ومالك بن أنس وسفيان الثوري والليث
بن سعد عن الأحاديث فيها الصفات ؟ فكلهم قالوا لي : أمروها كما جاءت بلا تفسير
Al-Walid bin Muslim berkata : Aku pernah bertanya kepada
Al-Auza’iy, Malik bin Anas, Sufyan Ats-Tsauriy, dan Al-Laits bin Sa’d tentang
hadits-hadits yang berkenaan dengan sifat, maka setiap dari mereka menjawab :
“Perlakukanlah (ayat-ayat tentang Sifat Allah) sebagaimana datangnya tanpa
tafsir (yaitu : jangan kamu tanya tentang bagaimana sifat itu)” [Diriwayatkan
oleh Adz-Dzahabi dalamAl-‘Ulluw, berserta Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 142 no. 134 dengan sanad shahih; Al-Maktab Al-Islamy, Cet.
1/1401].
Mereka semua adalah para ulama dari kalangan kibaaru
atbaa’it-tabi’in dimana Al-Auza’iy adalah imam penduduk Dimasyq, Malik bin Anas
adalah imam penduduk Madinah, Sufyan Ats-Tsauriy adalah imam penduduk Kufah,
dan Al-Laits bin Sa’d adalah imam penduduk Mesir. Telah dihikayatkan ijma’ atas
hal tersebut setelah era mereka dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang faqih dari
‘Iraq.
Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata ketika menjelaskan prinsip-prinsip aqidah :
الإيمان بما جاء عن الله تعالى في كتابه المبين على ما أراده الله من
غير زيادة، ولا نقص، ولا تحريف. الإيمان بما جاء عن رسول الله، صلى الله عليه وسلم
، في سنة رسول الله، صلى الله عليه وسلم ، على ما أراده رسول الله، صلى الله عليه وسلم
، من غير زيادة ولا نقص ولا تحريف.
“Beriman kepada Allah ta’ala yang terdapat dalam
Al-Qur’an sebagaimana yang dikehendaki-Nya tanpa adanya penambahan,
pengurangan, dan tahrif (= ta’wil; yaitu mengubah lafadh nama dan sifat Allah atau mengubah
maknanya atau menyelewengkan dari makna sebenarnya). Beriman kepada apa-apa
yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam sunnahnya sebagaimana
yang dikehendaki oleh beliau tanpa adanya penambahan, pengurangan, dan tahrif [Lihat Lum’atul-I’tiqad oleh Imam Ibnu Qudamah
Al-Maqdisi; syarah oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin hal. 14; download dariwww.almeskhat.net/books].
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata :
كل ما وصف الله من نفسه في كتابه فتفسيره تلاوته والسكوت عليه
“Segala sifat yang Allah sifatkan bagi diri-Nya di dalam
Al-Qur’an, penafsirannya adalah (dhahir) bacaannya dan diam terhadapnya”
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-I’tiqaad hal. 118 no. 296, tahqiq :
Ahmad ’Ishaam Al-Kaatib, Daarul-Aafaaq, Cet. 1/1401; dan Al-Asmaa’
wash-Shifat 2/307 no. 869, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Hasyidi;
Maktabah As-Suwadiy. Atsar ini shahih].
Ahlus-Sunnah tidak mengenal tahrif-tahrif bathil seperti sifat dua tangan
Allah dibawa kepada makna ”dua nikmat” atau ”dua kekuatan” seperti kaum
Asy’ariyyah. Mereka tidak mengingkari keberadaan sifat-sifat tersebut hanya
karena khawatir menyamakan dengan makhluk sebagaimana kekhawatiran yang dialami
oleh ahlul-bida’, karena mereka (Ahlus-Sunnah) tahu bahwa tidak ada sesuatupun
dari makhluq yang serupa dengan-Nya. Ahlus-Sunnah bukanlah musyabbihah. Mereka juga tidak
menanyakan bagaimana sifat Allah itu, karena pertanyaan-pertanyaan semacam ini
hakekatnya merupakan sikap takalluf terhadap apa-apa yang Allah tidak berikan ilmu-Nya
kepada manusia. Mempertanyakan dan memikirkan kaifiyah sifat Allah merupakan
bid’ah yang menyesatkan. Allah telah berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha
Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].
Ahlus-Sunnah juga tidak mengenal Tafwidl (menyerahkan maknanya
kepada Allah), karena mereka telah mengetahui sifat-sifat Allah. Sungguh
mustahil bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah yang diturunkan melalui bahasa Arab,
melalui lisan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam, yang diturunkan untuk
memberi petunjuk kepada manusia; namun tidak diketahui maknanya oleh Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam beserta para shahabatnya. Mengenai Tafwidl, maka Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyyahrahimahullah mengatakan :
وأما الصنف الثالث ـ وهم [أهل التجهيل] ـ فهم كثير من المنتسبين
إلى السنة، واتباع السلف، يقولون: إن الرسول صلى الله عليه وسلم لم يعرف معاني ما
أنزل اللّه إليه من آيات الصفات، ولا جبريل يعرف معاني الآيات، ولا السابقون الأولون
عرفوا ذلك. وكذلك قولهم في أحاديث الصفات: إن معناها لا يعلمه إلا اللّه، مع أن
الرسول تكلم بها ابتداءً
”Adapun kelompok yang ketiga adalah Ahlut-Tajhiil. Kebanyakan mereka adalah
orang-orang yang berintisab kepada Sunnah yang mengaku mengikuti kaum Salaf dan
mengatakan : ”Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam tidak mengetahui
makna-makna ayat-ayat sifat yang diturunkan kepada beliau. Demikian juga Jibril ’alaihis-salaam, ia tidak mengetahui
makna-makna ayat tersebut, tidak juga orang-orang yang pertama masuk Islam itu
mengetahui maknanya. Demikian juga dengan pendapat mereka mengenai
hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah, sebab makna-makna yang terkandung di
dalamnya tidak ada yang tahu kecuali hanya Allah semata, padahal Rasulullahshallallaahu
’alaihi wasallam telah menyinggung masalah ini sejak semula” [Majmu’ul-Fataawaa 5/31-34].
’Aqidah tafwidl ini jelas bathil. Oleh karena itu Syaikhul-Islam rahimahullah pun berkata :
وأما التفويض : فإن من المعلوم أن الله – تعالى – أمرنا أن نتدبر القرآن،
وحضنا على عقله وفهمه؛ فكيف يجوز مع ذلك أن يُراد منا الإعراض عن فهمه، ومعرفته، وعقله
”Adapun Tafwidl (menyerahkan makna kepada Allah), sesungguhnya telah
diketahui bahwa Allahta’ala memerintahkan untuk memahami Al-Qur’an dan mendorong kita untuk
memikirkan dan memahaminya. Maka bagaimana kita dibolehkan berpaling dari
mengenal, memahami dan memikirkan ?”.
Hingga beliau berkata dengan tegas dalam permasalahan ini :
فتبين أن قول أهل التفويض الذين يزعمون أنهم متبعون للسنة والسلف من
شر أقوال أهل البدع والإلحاد
”Maka jelas bahwa Ahlut-Tafwidl yang menyangka dirinya mengikuti As-Sunnah dan
As-Salaf adalahseburuk-buruk perkataan Ahlul-Bid’ah dan ilhad” [lihat selengkapnya dalam Dar’ut-Ta’arudl
Al-’Aql wan-Naql juz 1 bagian 16 hal. 201-205 – dinukil melalui perantaraan Al-Ajwibatul-Mufiidah karya Jamal bin Furaihan
Al-Haritsi, Cet. 3, catatan kaki atas pertanyaan nomor 40].
Dalam masalah : “Apakah Allah beristiwaa’ di atas ‘Arsy ?”.
Ahlus-Sunnah beriman bahwa Allah berada di atas langit dan ber-istiwaa’ (bersemayam) di ‘Arsy-Nya
berdasarkan nash Al-Qur’an, As-Sunnah Ash-Shahiihah, dan ijma’. Mereka tidak
men-tahrif-kan maknanya dengan makna bathil seperti ”menguasai” (istilaa’).
Dari Ja’far bin ’Abdillah, bahwasannya seseorang pernah bertanya
kepada Imam Malik bin Anasrahimahullah tentang firman Allah : [الرّحْمَـَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىَ] “Ar-Rahman (Allah) beristiwaa’ di atas ‘Arsy” (QS. Thaha : 5); (yaitu
dengan pertanyaan : ) “Bagaimana istiwa’nya Allah di atas ‘Arsy ?”. Maka Imam
Malik berkata :
الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال
عنه بدعة، فإني أخاف أن تكون ضالاً
“Kaifiyah-nya (bagaimananya) tidak diketahui (di luar akal manusia untuk
mengetahuinya), namunistiwaa’ Allah itu tidaklah majhul (= maksudnya : maknanya telah
jelas).
Mengimaninya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah. Aku khawatir bahwa
dirimu menjadi sesat (atas pertanyaan itu)” [Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalika’i 2/398;
tahqiq : Ahmad bin Mas’ud bin Hamdan, Cet. 2/1411].[1]
وروى أبو إسحاق الثعلبي المفسر قال سئل الأوزاعي عن قوله تعالى ثم استوى
على العرش قال هو على عرشه كما وصف نفسه
Diriwayatkan Abu Ishaq Ats-Tsa’labi Al-Mufassir ia berkata :
Al-Auza’i pernah ditanya tentang firman Allah : Tsummas-tawaa ‘alal-‘Arsy, ia menjawab : “Dia
(Allah) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang telah Dia sifatkan bagi diri-Nya”
[Diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, berserta Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 138 no. 122; Al-Maktab
Al-Islamy, Cet. 1/1401].
Dari Muhammad bin Ahmad bin Nadlr bin Binti Mu’awiyyah bin ’Amru rahimahullah ia berkata :
كان أبو عبد الله الأعرابي جارنا وكان ليلة أحسن ليل وذكر لنا أن ابن
أبي دؤاد سأله أتعرف في اللغة استوى بمعنى إستولى فقال لا أعرفه
“Abu ‘Abdillah Al-A’rabiy [2] adalah tetangga kami.
Malam-malamnya adalah malam paling indah. Diceritakan kepada kami bahwa Ibnu
Abi Du’ad bertanya kepadanya : “Apakah engkau mengetahui dalam bahasa Arab
bahwa makna istawaa (bersemayam) itu adalah istaulaa’ (menguasai) ?”. Maka
beliau menjawab : “Aku tidak mengetahuinya” [Diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi
dalam Al-‘Ulluw, berserta Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal.
194 no. 240; Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401. Sanad riwayat ini adalah jayyid].
Abdullah bin Mubarak rahimahullah (salah seorang ulama
generasi tabi’in mulia lagi masyhur) berkata :
نعرف ربنا فوق سبع سماوات على العرش إستوى بائنا منه خلقه ولا نقول
كما قالت الجهمية أنه ها هنا وأشار إلى الأرض
“Kami mengetahui Rabb kami berada di atas tujuh lapis langit,
bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya. Dan kami tidak
mengatakan seperti yang dikatakan oleh Al-Jahmiyyah bahwasannya Allah ada di
sini”. Beliau menunjuk ke arah bumi. [Dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal dalam As-Sunnah hal. 111, 175, dan 307; Ad-Darimi dalam Ar-Radd
‘alal-Jahmiyyah hal. 67, 162; dan Al-Baihaqi dalam Al-Asma’
wash-Sifat hal. 2/335 – takhrij dinukil melalui perantaraan‘Aqidatus-Salaf
Ashhaabil-Hadits oleh Abu ’Utsman Isma’il Ash-Shabuniy hal. 40 no. 28, tahqiq dan
takhrij : Badr bin ’Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet.
2/1415. Sanad riwayat ini adalah hasan].
عن أبي مطيع البلخي : أنه سأل أبا حنيفة عمن قال : لا أعرف ربي في السماء
أم في الأرض ؟ فقال : قد كفر ، لأن الله يقول : الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سبع
سماواته، قلت : فإن قال : إنه على العرش ، ولكن يقول : لا أدري العرش في السماء أم
في الأرض ؟ قال : هو كافر، لأنه أنكر أنه في السماء ، فمن أنكر أنه في السماء فقد كفر
Abu Muthi’ Al-Balkhi bahwasannya ia bertanya kepada Abu Hanifah
tentang orang yang mengatakan : ’Aku tidak mengetahui bahwa Rabbku di langit
atau di bumi’. Beliau menjawab : “Sungguh dia telah kafir, karena Allah ta’ala
telah berfirman : {الرّحْمَـَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىَ} “Ar-Rahman (Allah) beristiwaa’ di atas ‘Arsy” (QS. Thaha : 5); sedang
‘Arsy-Nya berada di atas langit”. Kemudian aku (Abu Muthi’) berkata : ”(Jika
dia mengatakan) bahwasannya Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, akan tetapi dia
mengatakan tidak tahu apakah ‘Arsy-Nya berada di langit atau di bumi?”. Maka
beliau (Abu Hanifah) menjawab : ”Ia telah kafir karena ia telah mengingkari
keberadaan Allah di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari keberadaan
keberadaan Allah di langit, maka dia telah kafir” [lihat Al-‘Ulluw oleh Adz-Dzahabi dengan Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal.
136 no. 118, Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401; dan Syarh Al-‘Aqidah
Ath-Thahawiyyah oleh Ibnu Abil-’Izz Al-Hanafy hal. 386-387, tahqiq : Dr.
’Abdullah bin ’Abdil-Muhsin At-Turkiy, takhrij : Syu’aib Al-Arna’uth, Muassasah
Ar-Risalah, Cet. 9/1417].
Al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (Ibnu
Khuzaimah) rahimahullah berkata :
من لم يقر بأن الله تعالى على عرشه قد استوى فوق سبع سماواته فهو كافر
بربه
“Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah ta’ala di atas ‘Arsy-Nya dan Dia
beristiwaa’ (bersemayam) di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir terhadap
Rabb-Nya…. [Shahih; lihatMa’rifatu ‘Ulumil-Hadiits hal. 54 oleh Al-Hakim An-Naisabury – Maktabah Al-Misykah :www.almeskhat.net/books].
Al-Baihaqi rahimahullah berkata ketika menjelaskan madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam menetapkan sifat
istiwaa’ Allah ta’ala :
والاثار عن السلف في مثل هذا كثيرة. وعلى هذه الطريق يدل مذهب الشافعي
رضي الله عنه. وإليها ذهب أحمد بن حنبل والحسين بن الفضل البجلي……
”Atsar-atsar yang berasal dari kalangan salaf yang memiliki
pengertian seperti ini (yaitu Allah ber-istiwaa’ di atas ’Arsy) banyak jumlahnya. Dan jalan ini menunjukkan
kepada madzhab Asy-Syafi’i. Dan begitu pula pendapat Ahmad bin Hanbal,
Al-Husain bin Al-Fadhl,…..” [Al-Asmaa’ wash-Shifaat oleh Al-Baihaqi 2/308 no. 870, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad
Al-Hasyidi; Maktabah As-Suwadiy].
‘Aqidah ini sesuai dengan firman Allah :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا
وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا
كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
”Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa;
Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam
bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa
yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” [QS. Al-Hadiid : 4].
Juga hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau bertanya
kepada budak Mu’awiyyah bin Al-Hakam As-Sulami radliyallaahu ‘anhu :
أين الله قالت في السماء قال من أنا قالت أنت رسول الله قال أعتقها
فإنها مؤمنة
“Dimanakah Allah ?”. Ia menjawab : “Allah di atas langit”. Beliau kembali bertanya :
“Siapakah
aku ?”.Ia menjawab : “Engkau adalah Rasulullah”. Kemudian beliau
bersabda : “Bebaskanlah/ medekakanlah dia, karena sesungguhnya ia
seorang mukminah”. [HR. Muslim no. 537, Abu Dawud no. 930, An-Nasai 3/14-16, dan
lain-lain].
Juga sabdanya shallallaahu ‘alaihi wasallam yang lain :
الراحمون يرحمهم الرحمن ارحموا أهل الأرض يرحمكم من في السماء
“Orang-orang yang penyayang, mereka itu akan disayangi oleh
Ar-Rahman (Allah). Sayangilah penduduk bumi, niscaya kalian akan disayang Dzat
yang berada di atas langit (yaitu Allah)” [HR. Abu Dawud no. 4941, Ahmad 2/160, dan yang lainnya; shahih].
Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu berkata :
والعرش على الماء والله على العرش يعلم ما أنتم عليه
“‘Arsy itu di atas air dan Allah di atas ‘Arsy. Ia mengetahui
apa-apa yang kamu kerjakan” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul-Kabiir no. 8987. Al-Haitsami
berkata : “Rijalnya adalah rijal shahih”].
Dalam masalah : “Apakah Allah turun ke langit dunia setiap
sepertiga malam terakhir ?”.
Ahlus-Sunnah mengimani sifat Nuzul (turun) sebagaimana adanya.
Dengannya Ahlus-Sunnah tidak pernah menyamakan turunnya Allah dengan turunnya
makhluk. Cara pemahaman dalam hal ini adalah sebagaimana telah dituliskan di
atas, yaitu tanpa tahrif, takyif, ta’thil, dan tamtsil/tasybih.
عن محمد بن سلام قال : سألت عبد الله بن مبارك في نزول الرب ليلة نصف
من شعبان. فقال عبد الله : يا ضعيف ليلة النصف، ينزل في كل ليلة. فقال الرجل : يا أبا
عبد الرحمن، كيف ينزل ؟ أليس يخلو ذلك المكان منه ؟. فقال : ينزل كيف يشاء
Dari Muhammad bin Sallam ia berkata : Aku pernah bertanya kepada
Abdullah bin Mubarak (seorang ulama tabi’i yang mulia) tentang turunnya Allah
pada malam Nishfu Sya’ban. Beliau menjawab : “O, riwayat Nishfu Sya’ban itu
lemah. Justru Allah turun setiap malam”. Seorang laki-laki menyela : “Bagaimana
Dia turun ? Berarti tempat bersemayam-Nya kosong ?”. Beliau menjawab : “Dia
turun dengan cara yang Dia kehendaki” [‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadits oleh Abu ‘Utsman Isma’il
Ash-Shabuni hal. 48 no. 42, tahqiq dan takhrij : Badr bin ’Abdillah Al-Badr;
Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415].
Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah pernah ditanya berkenaan
dengan hadits An-Nuzul. Maka beliau menjawab :
ينزل بلا كيف
“Dia (Allah) turun tanpa ada pertanyaan : ‘bagaimana’ (yaitu :
dengan cara yang tidak kita ketahui)”[‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadits oleh Abu ‘Utsman Isma’il
Ash-Shabuni hal. 48 no. 73, tahqiq dan takhrij : Badr bin ’Abdillah Al-Badr;
Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415].
Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata :
رواها علماء الحجاز والعراق، عن النبي صلى الله عليه وسلم في نزول الرب
(جل وعلا) إلى السماء الدنيا، كل ليلة نشهد شهادة مقر بلسانه، مصدق بقلبه مستيقن بما
في هذه الأخبار من ذكر نزول الرب، من غير أن نصف الكيفية، لأن نبينا المصطفى لم يصف
لنا كيفيه نزول خالقنا إلى سماء الدنيا، وأعلمنا أنه ينزل. والله (جل وعلا) لم يترك،
ولا نبيه صلى الله عليه وسلم بيان ما بالمسلمين الحاجة إليه، من أمر دينهم.
فنحن قائلون
مصدقون بما في هذه الاخبار من ذكر النزول غير متكلفين القول بصفته أو بصفة الكيفية،
إذ النبي صلى الله عليه وسلم لم يصف لنا كيفيه النزول.
“Telah diriwayatkan oleh ulama Hijaz dan ‘Iraq dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam tentang turunnya Rabb ‘azza wa jalla ke langit dunia (langit
terendah) pada setiap malam, yang kami akui dengan pengakuan seorang yang
mengaku dengan lidahnya, membenarkan dengan hatinya, serta meyakini keterangan
yang tercantum di dalam khabar-khabar tentang turunnya Allah ‘azza wa jalla tanpa menggambarkan kaifiyah-nya (bagaimananya), karena
Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam memang tidak menjelaskan kepada kita tentang kaifiyah (cara) turunnya Khaliq kita
ke langit dunia dan beliaushallallaahu ‘alaihi wasallam hanya memberitahukan kepada kita bahwa Rabb kita turun.
Sementara itu, Allah ‘azza wa jalla dan juga Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah meninggalkan satu
penjelasan pun (untuk disampaikan) bagi kaum muslimin yang dibutuhkan dari
perkara agama mereka. Oleh karena itu, kita mengatakan dan membenarkan apa-apa
yang terdapat di dalam khabar-khabar ini perihal turunnya Rabb, tanpa memaksakan
diri membicarakan sifat dan kaifiyahnya, sebab Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam memang tidak mensifatkan kepada kita tentang kaifiyah turun-Nya” [Kitabut-Tauhid oleh Ibnu Khuzaimah
1/289-290, tahqiq : Dr. ‘Abdul-‘Aziz bin Ibrahim Syahwan; Daarur-Rusyd, Cet.
1/1408].
قال الإمام ابن الإمام عبد الرحمن بن أبي حاتم الرازي حدثنا أبو شعيب
وأبو ثور عن أبي عبد الله محمد بن إدريس الشافعي رحمه الله تعالى قال القول في السنة
التي أنا عليها ورأيت أصحابنا عليها أهل الحديث الذين رأيتهم وأخذت عنهم مثل سفيان
ومالك وغيرهما الاقرار بشهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وأن الله تعالى
على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وأن الله تعالى ينزل إلى سماء الدنيا كيف شاء
Telah berkata Al-Imam Ibnul-Imam ‘Abdirrahman bin Abi Hatim
Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu
‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah ta’ala, ia berkata : “Perkataan
yang masuk dalam perkara Sunnah dimana aku berada di atasnya, dan aku melihat
para shahabat kami juga berada di atasnya dari kalangan Ahlul-Hadits yang aku
saksikan dan aku mengambil ilmunya seperti Sufyan, Malik, dan selainnya :
(Yaitu) Penegaskan atas kesaksian bahwasannya tiada tuhan yang berhak disembah
kecuali Allah dan bahwasannya Muhammad itu utusan Allah. Sesungguhnya Allah
ta’ala berada di atas ‘Arsy-Nya di atas langit-Nya, mendekat kepada makhluk-Nya
sebagaimana yang Ia kehendaki. Dan sesungguhnya Allah ta’ala turun ke langit
dunia menurut bagaimana yang Ia kehendaki” [Ijtimaa’ul-Juyuusy hal. 118 oleh Ibnul-Qayyim; Maktabah Al-Misykah].
Hal itu sesuai dengan apa disabdakan oleh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam :
ينزل ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل
الآخر فيقول من يدعوني فأستجيب له ومن يسألني فأعطيه ومن يستغفرني فأغفر له
“Rabb kami tabaraka wa ta’ala turun setiap malamnya ke langit
dunia pada saat tinggal sepertiga malam yang terakhir. Maka Allah berfirman :
‘Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa yang
meminta kepada-Ku, niscaya akan Aku beri. Dan barangsiapa yang meminta ampun
kepada-Ku, niscaya Aku ampuni” [HR. Al-Bukhari no. 7494 dan Muslim no. 758].
Hadits-hadits tentang nuzul ini mencapai derajat mutawatir.
Dalam masalah : “Larangan Mendirikan Bangunan atau Masjid di
Atas Kubur”.
Ahlus-Sunnah mengimani bahwa tidak boleh membangun bangunan atau
masjid di atas kubur. Membangun masjid di atas kubur menjadi salah satu wasilah kesyirikan dengan
pengagungan orang-orang shalih yang telah mati (yang di kubur di tempat itu)
dan bahkan meminta hajat kepada mereka untuk dikabulkan.
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah bersabda ketika
sakit menjelang wafat :
لعن الله اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مسجدا قالت ولولا ذلك
لأبرزوا قبره غير أني أخشى أن يتخذ مسجدا
“Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nashrani karena mereka
menjadikan kubur nabi mereka sebagai masjid”. (Aisyah berkata) : “Kalau
bukan karena hal itu, niscaya kubur beliau akan dinampakkan, hanya saja aku
takut kubur beliau akan dijadikan masjid” [HR. Al-Bukhari no. 1330].
‘Aisyah dan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum berkata,”Ketika Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallammenjelang wafat, beliau menutupkan bajunya ke wajah. Ketika
merasa gerah beliau membukanya dan bersabda :
لعنة الله على اليهود والنصارى اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد يحذر ما
صنعوا
“Semoga Allah melaknat Yahudi dan Nashrani karena mereka
menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid.” Aisyah berkata : “Nabi
memperingatkan semisal perbuatan mereka” [HR. Al-Bukhari No. 435, Muslim No.
531, dan yang lainnya].
Ummu Habibah dan Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhuma menceritakan kepada
Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam tentang gereja yang mereka lihat di Habasyah (Ethiopia), dan
banyak gambar (patung) di dalamnya, beliau lantas bersabda :
إن أولئك إذا كان فيهم الرجل الصالح فمات بنوا على قبره مسجدا وصوروا فيه تلك الصور أولئك شرار الخلق عند الله يوم القيامة
“Mereka itu (orang Nashrani) jika ada seorang shalih meninggal,
mereka membangun masjid di atas kuburannya, dan membuat gambar (patung)nya. Mereka
itu sejelek-jelek makhluk di sisi Allah pada hari kiamat” [HR. Al-Bukhari no. 427 dan
Muslim no. 528].
Al-Hafidh Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah berkata :
هذا الحديث يدل على تحريم بناء المساجد على قبور الصالحين ، وتصوير
صورهم فيها كما يفعله النصارى ، ولا ريب أن كل واحد منهما محرم على انفراده ، فتصوير
صور الآدميين محرم ، وبناء القبور على المساجد بانفراده محرم …..
“Hadits ini menunjukkan haramnya membangun masjid di atas kubur
orang-orang shalih dan menggambar mereka seperti dilakukan oleh orang Nashrani.
Tidak diragukan lagi bahwa masing-masing perbuatan itu diharamkan. Melukis
manusia diharamkan dan membangun qubur di masjid juga diharamkan………” [Fathul-Baariy
Syarh Shahih Al-Bukhari oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy 3/202, tahqiq : Mahmud bin Sya’ban
bin ‘Abdil-Maqshud dll.; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 1/1417].
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan :
وكل ذلك لقطع الذريعة المؤدية إلى عبادة من فيها كما كان السبب في عبادة
الأصنام . انتهى .
“Semua (larangan) itu bertujuan memutus jalan menuju peribadatan
kepada penghuni kubur. Sebab larangan ini sama halnya dengan sebab dilarangnya
ibadah terhadap patung-patung (yang semula tujuan dari pembuatan patung-patung tersebut adalah
untuk mengingat orang-orang shalih, namun akhirnya akhirnya patung itu juga
diibadahi – Abu Al-Jauzaa’)” [Lihat Fathul Majiid oleh ’Abdurrahman bin Hasan bin Muhammad bin
’Abdil-Wahhab hal. 220, ta’liq : Ibnu Baaz; Al-Maktabah At-Taufiqiyyah, Tanpa
Tahun].
Ahlus-Sunnah adalah orang yang komitmen terhadap Sunnah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Termasuk pengamalan
hadits shahih di atas. Tentu saja ini banyak bertolak belakang dengan sebagian
pengamalan orang-orang yang ‘mengaku’ ber-intisab pada madzhab Ahlus-Sunnah di masyakarat. Justru mereka lah
pihak-pihak yang membangun kubur dan masjid sebagai tempat peribadahan yang tak
terpisahkan sekaligus menyemarakkannya.
Al-Imam Al-Faqih Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i berkata dalam
kitab Az-Zawajir
‘an Iqtiraafil-Kabaair(1/120) :
” الكبيرة الثالثة والرابعة والخامسة والسادسة والسابعة والثامنة والتسعون
اتخاذ القبور مساجد ، وإيقاد السرج عليها واتخاذها أوثاناً ، والطواف بها ، واستلامها
، والصلاة إليها “.
“Dosa besar ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh, kedelapan,
dan kesembilanpuluh adalah menjadikan kuburan sebagai masjid, menyalakan obor
di atasnya, menjadikannya sebagai berhala, berjalan berputar-putar
mengelilinginya, dan shalat menghadapnya” [selesai].
*****
Itulah sedikit ringkasan tentang beberapa pokok aqidah (dan
amalan) Ahlus-Sunnah. Tentu saja, masih banyak hal lain yang tidak tersinggung
di sini. Saya persilakan ikhwah penuntut ilmu lainnya yang melengkapi. Semoga
bermanfaat dan mohon maaf atas segala kesalahan…………..
Abu Al-Jauzaa’ 1429
Catatan
kaki :
[1] Sekaligus ini membuktikan madzhab salaf yang berlaku di era Imam
Malik dimana beliau tidak men-ta’wil sifat Allah (yaitu istiwaa’), dan tidak pula men-tafwidl-nya (menyerahkan maknanya kepada Allah).
[2] Seorang pakar bahasa di jamannya (151-231 H).