Saturday, March 14, 2015

Ulama al-Syafi‘iyyah Menegaskan Allah di Atas ‘Arsy

13 March 2014 (news)

Sesungguhnya akidah bahwa Allah di atas ‘Arsy adalah akidah yang hak (benar). Dasarnya berupa dalil-dalil Alquran, Hadis, ijmak ulama, akal, dan fitrah sangat banyak dan sangatlah gamblang. Cukuplah bagi kita merenungi ucapan berikut:
قَالَ بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : فِي الْقُرْآنِ أَلْفُ دَلِيْلٍ أَوْ أَزْيَدُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللهَ تَعَالَى عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ فَوْقَ عِبَادِهِ
“Sebagian tokoh senior mazhab al-Syafi‘i mengatakan, ‘Dalam Alquran terdapat seribu dalil atau lebih yang menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas makhluk dan Allah di atas hamba-Nya.’”[1]
Semoga Allah merahmati al-Imam Ibn Abil-‘Izz al-Hanafi yang telah mengatakan—setelah menyebutkan 18 segi dalil—, “Dan jenis-jenis dalil-dalil ini, seandainya dibukukan tersendiri, maka akan tertulis kurang lebih seribu dalil. Oleh karena itu, para penentang masalah ini hendaknya menjawab dalil-dalil ini. Akan tetapi, sungguh sangatlah mustahil mereka mampu menjawabnya.”[2]
Sesungguhnya akidah ini merupakan syiar Ahlusunah wal Jamaah sejak dahulu hingga sekarang. Ucapan-ucapan para ulama salaf tentang hal ini banyak sekali, tak bisa hitung jumlahnya.[3] Namun, pada kesempatan kali ini, kami akan memfokuskan pada ulama-ulama mazhab al-Syafi‘iyyah seperti al-Imam al-Syafi‘i, al-Muzani, al-Baihaqi, al-Sabuni, al-Bagawi, Abu al-Hasan al-Asy‘ari, dan sebagainya dari para tokoh mazhab al-Syafi‘iyyah, karena kami melihat suatu keajaiban pada zaman sekarang, di mana banyak orang-orang yang menisbahkan diri kepada mazhab al-Syafi‘i sekarang justru menganut paham “Allah di mana-mana” bahkan menganggap sesat orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya.
Aduhai, apalah artinya Anda menisbahkan diri kepada para ulama tersebut kalau memang kenyataannya Anda tidak mengikuti akidah mereka?! Sungguh benar ucapan penyair:
وَكُلٌّ يَدَّعِيْ وَصْلًا بِلَيْلَى             وَلَيْلَى لَا تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَا
Semua orang mengaku punya hubungan dengan Laila
Tetapi Laila tidak mengakuinya[4]
Berikut ini beberapa ucapan para tokoh ulama al-Syafi‘iyyah, yang secara tegas mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy yang sesuai dengan kemuliaan-Nya.[5] Semoga bisa dijadikan renungan bagi kita semuanya:

1.    Al-Imam al-Syafi‘i (150–204 H)

Al-Imam al-Syafi‘i meyakini ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya. Hal ini ditegaskan oleh para ulama al-Syafi‘iyyah sendiri. Akidah al-Imam al-Syafi‘i dalam masalah ini juga diaminkan oleh para tokoh mazhab al-Syafi‘i yang paling tahu tentang mazhab al-Syafi‘i. Al-Imam al-Baihaqi—salah seorang ulama pembela mazhab al-Syafi‘i—berkata setelah membawakan dalil-dalil yang banyak tentang masalah ini, “Asar-asar salaf tentang hal ini sangat banyak sekali. Dan inilah mazhab dan keyakinan al-Imam al-Syafi‘i.”[6]
Demikian juga ditegaskan oleh al-Hafiz Ibn Hajar—salah seorang ulama al-Syafi‘iyyah—, beliau berkata, “Dan al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ahmad ibn Abil-Hawari … dan dari jalan Abu Bakr al-Daba’i ia berkata, ‘Mazhab Ahlusunah terhadap firman Allah “Dan ar-Rahman beristiwa di atas ‘Arsy…” adalah tanpa ditanya bagaimananya. Dan asar-asar dari salaf tentang hal ini banyak sekali. Dan ini adalah jalan al-Imam al-Syafi‘i dan Ahmad ibn Hanbal.’”[7]
Al-Imam al-Syafi‘i berdalil dengan hadis Mu‘awiyah ibn HakamRadhiallahu ‘Anhu dalam beberapa kitabnya.[8]
وَأَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ لَا يَعْتِقَ إِلَّا باَلِغَةً مُؤْمِنَةً ، فَإِنْ كَانَتْ أَعْجَمِيَّةً فَوَصَفَتِ الْإِسْلَامَ أَجْزَأَتْهُ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِلَالٍ ابْنِ أُسَامَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ أَنَّهُ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ n فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ جَارِيَةً لِيْ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ فَجِئْتُهَا وَفَقَدْتُ شَاةً مِنَ الْغَنَمِ فَسَأَلْتُهَا عَنْهَا فَقَالَتْ : أَكَلَهَا الذِّئْبُ فَأَسَفْتُ عَلَيْهَا وَكنُتْ ُمِنْ بَنِيْ آدَمَ فَلَطَمْتُ وَجْهَهَا وَعَلَيَّ رَقَبَةٌ أَفَأَعْتِقُهَا ؟ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ n (أَيْنَ اللهُ ؟) فَقَالَتْ : فِي السَّمَاءِ فَقَالَ (مَنْ أَنَا ؟) فَقَالَتْ : أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ ، قَالَ : (فَأَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ).
Saya lebih suka agar tidak memerdekakan budak kecuali budak yang sudah balig dan mukminah. Seandainya dia non-Arab kemudian bersifat Islam maka sudah mencukupi. Mengabarkan kepada kami Malik dari Hilal ibn Usamah dari ‘Atha’ ibn Yasar dari ‘Umar ibn Hakam[9] berkata, “… Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai penggembala kambing di Gunung Uhud dan al-Jawwaniyyah (tempat dekat Gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?’ Jawab beliau, ‘Bawalah budak itu padaku.’ Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, ‘Di mana Allah?’ Jawab budak tersebut, ‘Di atas langit.’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya lagi, ‘Siapa saya?’ Jawab budak tersebut, ‘Engkau adalah Rasulullah.’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah.’”[10]
Al-Imam al-Syafi‘i membawakan hadis dalam kitab-kitabnya tanpa mengkritik isi kandungannya. Maka hal itu menunjukkan bahwa beliau berhujah dengan hadis ini. Al-Imam al-ZahabiRahimahullahu Ta’ala berkata, “Dalam hadis ini terdapat dua masalah:
Pertama: Disyariatkannya pertanyaan seorang muslim ‘di mana Allah’[11]
Kedua: Jawaban orang yang ditanya ‘di atas langit’. Barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini, maka berarti dia mengingkari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”[12]
Al-Imam al-Syafi‘i Rahimahullahu Ta’ala juga mengatakan:
الْقَوْلُ فِي السُّنَّةِ الَّتِيْ أَنَا عَلَيْهَا وَرَأَيْتُ أَصْحَابَنَا عَلَيْهَا أَهْلَ الْحَدِيْثِ الَّذِيْنَ رَأَيْتُهُمْ وَأَخَذْتُ عَنْهُمْ مِثْلَ سُفْيَانَ وَمَالِكٍ وَغَيْرِهِمَا الإِقْرَارُ بِشَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِيْ سَمَائِهِ يَقْرُبُ مِنْ خَلْقِهِ كَيْفَ شَاءَ وَيَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا كَيْفَ شَاءَ.
“Pendapat dalam sunah (akidah) yang saya yakini dan diyakini oleh kawan-kawan saya ahli hadis yang saya bertemu dengan mereka dan belajar kepada mereka seperti Sufyan, Malik, dan selain keduanya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi secara benar kecuali hanya Allah saja dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya dekat dengan para hamba-Nya sekehendak Dia dan Dia turun ke langit dunia sekehendak-Nya.”[13]
Riwayat dari al-Imam al-Syafi‘i ini sangat tegas menyatakan akan Allah berada di atas langit. Asar ini ternyata juga diriwayatkan dari banyak jalur oleh para ulama. Al-Barzanji (wafat 1103 H)—salah seorang ulama mazhab al-Syafi‘iyyah—menukil ucapan al-Imam al-Syafi‘i di atas dari jalur Yunus ibn ‘Abdil-A‘la, Ibn Hisyam al-Baladi, Abu Saur, Abu Syu‘aib, Harmalah, al-Rabi‘ ibn Sulaiman, dan al-Muzanni.[14]
Demikianlah ketegasan al-Imam al-Syafi‘i. Lantas adakah yang mengambil pelajaran darinya?![15]

2.    Al-Imam al-Muzanni (175–264 H), murid senior al-Imam al-Syafi‘i.

Beliau mengatakan:
[عَالٍ] عَلَى عَرْشِهِ ، وَهُوَ دَانٍ بِعِلْمِهِ مِنْ خَلْقِهِ ، أَحَاطَ عِلْمُهُ بِالأُمُوْرِ …
“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, Dia (Allah) dekat pada hamba-Nya dengan ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu…”[16]
عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ ، بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ ، مَوْجُوْدٌ وَلَيْسَ بِمَعْدُوْمٍ وَلَا بِمَفْقُوْدٍ
“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dengan makhluk-Nya. Allah itu ada, bukannya tidak ada dan hilang.”[17]

3.    Al-Imam ‘Usman ibn Sa‘id al-Darimi(200–280 H)

Beliau berkata:
قَدِ اتَّفَقَتِ الْكَلِمَةُ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ، أَنَّ اللهَ بِكَمَالِهِ فَوْقَ عَرْشِهِ ، فَوْقَ سَمَوَاتِهِ
“Telah bersepakat kalimat kaum muslimin dan kafirin bahwa Allah di atas langit.”[18]

4.    Al-Imam Ibn Khuzaimah (223–311 H)

Beliau berkata:
فَتِلْكَ الْأَخْبَارُ كُلُّهَا دَالَّةٌ عَلَى أَنَّ الْخَالِقَ الْبَارِيَ فَوْقَ سَبْعِ سَمَوَاتِهِ ، لَا عَلَى مَا زَعَمَتِ الٍْمُعَطِّلَةُ : أَنَّ مَعْبُوْدَهُمْ هُوَ مَعَهُمْ فِي مَنَازِلِهِمْ.
“Maka hadis-hadis ini seluruhnya menunjukkan bahwa Pencipta berada di atas langit yang tujuh. Hal ini tidak sebagaimana yang dipersangkakan oleh al-Mu‘attilah (pala penafi/penolak sifat-sifat Allah, Pen.) bahwasanya sembahan mereka bersama mereka di rumah-rumah mereka.”[19]

5.    Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari (260–324 H)

Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari dalam kitabnya al-Ibānah hlm. 405–423 telah memaparkan secara panjang lebar dalil-dalil tentang istiwa dan ketinggian Allah di atas langit-Nya serta membantah orang-orang yang menyimpang dalam masalah ini. Di antara ucapannya:
وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا قَالَ ( الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى )
“Dan bahwasanya Allah di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya, ‘Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) tinggi di atas ‘Arsy.’”[20]
Setelah beliau memaparkan dalil-dalil yang banyak sekali tentang keberadaan Allah di atas ‘Arsy, beliau berucap:
وَزَعَمَتِ الْمُعْتَزِلَةُ وَالْحَرُوْرِيَّةُ وَالْجَهْمِيَّةُ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ ، فَلَزِمَهُمْ أَنَّهُ فِيْ بَطْنِ مَرْيَمَ وَفِيْ الْحُشُوْشِ وَالأَخْلِيَةِ ، وَهَذَا خِلَافُ الدِّيْنِ ، تَعَالَى اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ
“Dan kaum Mu‘tazilah, Haruriyyah, dan Jahmiyyah beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di setiap tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah berada di perut Maryam, tempat sampah, dan WC. Paham ini menyelisihi agama. Maha Tinggi Allah dari perkataan (rendahan) mereka.”[21]
Beliau bahkan menukil ijmak para ulama salaf yang bersepakat akan akidah ini. Beliau mengatakan:
وَأنَهَّ تَعَالىَ فَوْقَ سَمَوَاتِهِ عَلَى عَرْشِهِ دُوْنَ أَرْضِهِ
“Dan mereka (para ulama Ahlusunah) bersepakat … bahwasanya Allah berada di atas langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, bukan di bumi-Nya.”[22]
Demikian ucapan-ucapan emas al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Lantas, adakah yang mau menggunakan akalnya?![23]

5.    Al-Khattabi (319–388 H)

Beliau mengatakan dalam kitabnya Syi‘ar al-Dīn[24]—setelah membawakan beberapa ayat:
فَدَلَّ مَا تَلَوْنَاهُ مِنْ هَذِهِ الآيِ عَلَى أَنَّ اللهَ سبحانه فِي السَّمَاءِ مُسْتَوٍ عَلَى الْعَرْشِ، وَلَوْ كَانَ بِكُلِّ مَكَانٍ لَمْ يَكُنْ لِهَذَا التَّخْصِيْصِ مَعْنًى وَلَا فِيْهِ فَائِدَة ، وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ الْمُسْلِمِيْنَ خَاصَّتِهِمْ وَعَامَّتِهِمْ بِأَنْ يَدْعُوَ رَبَّهُمْ عِنْدَ الْاِبْتِهَالِ وَالرَّغْبَةِ إِلَيْهِ وَيَرْفَعُوْا أَيْدِيَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ وَذَلِكَ لِاسْتِفَاضَةِ الْعِلْمِ عِنْدَهُمْ بِأَنَّ رَبَّهُمْ الْمَدْعُوَّ فِي السَّمَاءِ سُبْحَانَهُ.
“Ayat-ayat yang kami bacakan ini menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas ‘Arsy. Seandainya Allah berada di setiap tempat maka pengkhususan ini tidak ada faedah dan tidak ada maknanya. Dan kebiasaan kaum muslimin baik yang awam maupun yang terpelajar jika berdoa memohon kepada Allah maka mereka mengangkat tangan mereka ke langit. Hal itu karena telah masyhur bagi mereka bahwa Rabb yang mereka berdoa kepada-Nya berada di atas langit.”[25]

6.    Abu al-Qasim Hibatullah ibn al-Hasan al-Lalika’i Rahimahullahu Ta’ala (wafat 418 H)

Beliau mengatakan:
سِيَاقُ مَا رُوِيَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى ( الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ) وَأَنََّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِي السَّمَاءِ وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ : ( إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ). وقال: ( أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ ). وَقَالَ تعالى: ( وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً ). فَدَلَّتْ هَذِهِ الآيَةُ أَنَّهُ تَعاَلىَ فِِي السَّمَاءِ، وَعِلْمُهُ مُحِيْطٌ بِكُلِّ مَكَانٍ مِنْ أَرْضِهِ وَسَمَائِهِ
“Penjelasan tentang apa-apa yang diriwayatkan dalam firman-Nya Ta‘āla: ‘Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) tinggi di atas ‘Arsy.’ (QS Ṭāha [20]: 5). Dan bahwasanya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya di langit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.’ (QS Fāṭir [35]: 10). Dan firman-NyaTa‘āla: ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu.’ (QS al-Mulk [67]: 16). Dan firman-Nya Ta‘āla: ‘Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga.’ (QS al-An‘ām [6]: 61). Ayat-ayat ini menunjukkan bahwasanya Allah Ta‘āla berada di langit dan ilmu-Nya meliputi seluruh tempat di bumi-Nya dan langit-Nya.”[26]

7.    Al-Imam al-Sabuni (373–449 H)

Beliau berkata:
وَيَعْتَقِدُ أَصْحَابُ الْحَدِيْثِ وَيَشْهَدُوْنَ أَنَّ الله سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَوْقَ سَبْعِ سَمَوَاتِهِ عَلَى عَرْشِهِ مُسْتَوٍ، كَمَا نَطَقَ بِهِ كِتَابُهُ فِيْ قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي سُوْرَةِ يُوْنُسٍ: إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ)…
“Para ahli hadis berkeyakinan dan bersaksi bahwasanya AllahSubhanahu wa Ta’ala berada di atas tujuh langit, di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Kitab-Nya dalam surat Yūnus: ‘Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan.’ (QS Yūnus [10]: 3)…”[27]

8.    Abu al-Qasim Isma‘il al-Asbahani al-Syafi‘i (wafat 535 H)

Beliau berkata:
فَصْلٌ فِيْ بَيَانِ أَنَّ الْعَرْشَ فَوْقَ السَّمَوَاتِ، وَأَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فَوْقَ الْعَرْشِ
“Pasal: Penjelasan bahwa ‘Arsy di atas langit dan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ‘Arsy.”[28]

9.    Yahya al-‘Imrani al-Syafi‘i (wafat 558 H)

Beliau berkata:
عِنْدَ أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ وَالسُّنَّةِ أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ بِذَاتِهِ ، بَائِنٌ عَنْ خَلْقِهِ ، عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى فَوْقَ السَّمَوَاتِ ، غَيْرُ مُمَاسٍّ لَهُ ، وَعِلْمُهُ مُحِيْطٌ باِلأَشْيَاءِ كُلِّهَا
“Di sisi ahli hadis dan sunah, bahwasanya Allah Subḥānahudengan Zat-Nya terpisah dari makhluk-Nya, beristiwa di atas ‘Arsy-Nya di atas langit, tanpa menyentuhnya, dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.”[29]

10.  Ibn al-Salah al-Syafi‘i (wafat 643 H)

Beliau telah mengomentari kasidah tentang sunah yang disandarkan kepada Abu al-Hasan al-Karkhi (wafat 532 H). Kasidah tersebut di antaranya:
عَقِيْدَةُ أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ فَقَدْ سَمَتْ *** بِأَرْبَابِ دِيْنِ اللهِ أَسْنَى الْمَرَاتِبِ
عَقَائِدُهُمْ أَنَّ الإِلَهَ بِذَاتِهِ *** عَلَى عَرْشِهِ مَعَ عِلْمِهِ بِالْغَوَائِبِ
Akidah ashabul-hadis telah membawa para pemeluk agama ke derajat yang tinggi
Akidah mereka bahwasanya Allah dengan Zat-Nya di atas ‘Arsy-Nya, disertai ilmu-Nya tentang perkara-perkara gaib
Ibn al-Salah mengomentari kasidah tersebut dengan berkata:
هَذِهِ عَقِيْدَةُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَأَصْحَابِ الْحَدِيْثِ
“Ini adalah akidah Ahlusunah dan aṣḥābul-ḥadīṡ.”[30]

11.  Al-Imam al-Nawawi (631–676 H)

Al-Imam al-Nawawi termasuk ulama yang menegaskan ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya, di antara buktinya[31]:
1)  Beliau mengatakan dalam kitabnya Juz’ fīhi Żikr I‘tiqād Salaf fi al-Hurus wa al-Aṣwāt[32]:
وَنُؤْمِنُ بِأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا أَخْبَرَ فِي كِتَابِهِ وَلَا نَقُوْلُ هُوَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ بَلْ هُوَ فِي السَّمَاءِ وَعِلْمُهُ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ
“Kami beriman bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana Allah kabarkan dalam Kitab-Nya yang mulia. Kami tidak mengatakan bahwa Allah di setiap tempat, bahkan Allah di atas langit dan ilmu-Nya di setiap tempat.”
Lalu beliau membawakan QS al-Mulk [67]: 16, Fāṭir [35]: 10, hadis budak wanita, lalu beliau mengatakan, “Demikian juga dalil-dalil lainnya dalam Alquran dan hadis banyak sekali, kami mengimaninya dan tidak menolaknya sedikit pun.”
2)  Beliau menulis dan menyalin kitab al-Ibānah karya al-Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari.[33] Dan sebagaimana sudah kami sebutkan di muka bahwa al-Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari menegaskan dalam kitabnya tersebut tentang ketinggian Allah.
3)  Dalam kitab berjudul Ṭabaqāt Fuqahā’ al-Syāfi‘iyyah karya Ibn al-Salah yang diringkas dan ditertibkan oleh al-Imam al-Nawawi. Dalam biografi al-Khattabi, beliau sangat menghormati dan mengagungkan al-Khattabi. Salah satunya beliau mengatakan tentang al-Khattabi:
وَصَرَّحَ بِأَنَّهُ فِي السَّمَاءِ
“Dan beliau (al-Khattabi) menegaskan bahwa Allah di atas langit.”[34]
Perhatikanlah, al-Imam al-Nawawi menukil ucapan di atas dengan menyetujuinya. Seandainya beliau tidak menerima ucapan ini, niscaya beliau akan membuangnya atau mengkritiknya atau membantahnya!!
4)  Al-Imam al-Nawawi mengatakan dalam kitabnya Rauḍah al-Ṭālibīn 10/85—salah satu kitab fikih masyhur dalam mazhab al-Syafi‘i:
لَوْ قَالَ لَا إِلَهَ إلَّا اللهُ الْمَلِكُ الَّذِيْ فِي السَّمَاءِ أَوْ إِلَّا مَلِكُ السَّمَاءِ كَانَ مُؤْمِنًا قَالَ اللهُ تَعَالَى ( أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ )
“Seandainya dia (orang kafir) mengatakan ‘tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah, Raja yang di atas langit atau kecuali Raja langit’ maka dia beriman. Allah berfirman: ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit.’ (QS al-Mulk [67]: 16).”
Inilah empat bukti bahwa al-Imam al-Nawawi termasuk ulama yang menegaskan ketinggian Allah di atas langit.

12.  Al-Imam al-Zahabi (673–748 H)

Beliau berkata:
مَقَالَةُ السَّلَفِ وَأَئِمَّةِ السُّنَّةِ بَلِ وَالصَّحَابَةِ وَاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَالْمُؤْمِنُوْنَ أَنَّ الله عزوجل فِي السَّمَاءِ وَأَنَّ اللهَ عَلَى الْعَرْشِ وَأَنَّ اللهَ فَوْقَ سَمَاوَاتِهِ وَأَنَّه يَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا .وَحُجَّتُهُمْ عَلَى ذَلِكَ النُّصُوْصُ وَالآثَارُ.
 وَمَقَالَةُ الْجَهْمِيَّةِ أَنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتعَالَى فِيْ جَمِيْعِ الأَمْكِنَةِ تَعَالَى اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ بَلْ هُوَ مَعَنَا أَيْنَمَا كُنَّا بِعِلْمِهِ
 وَمَقاَلُ مُتَأَخِّرِيْ الْمُتَكَلِّمِيْنَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى لَيْسَ فِيْ السَّمَاءِ وَلَا عَلَى الْعَرْشِ وَلَا عَلَى السَّمَوَاتِ وَلَا فِيْ الأَرْضِ وَلَا دَاخِلَ الْعَالِمِ وَلَا خَارِجَ الْعَالَمِ وَلَا هُوَ بَائِنٌ عَنْ خَلْقِهِ وَلَا مُتَّصِلٍ بِهِمْ.
“Ucapan para salaf dan imam-imam Sunah bahkan para sahabat, Allah, Nabi, dan seluruh kaum mukmin bahwasanya Allah di atas langit dan di atas ‘Arsy, dan bahwa Allah turun ke langit dunia. Hujah-hujah mereka adalah hadis-hadis dan asar-asar yang banyak. Adapun perkataan Jahmiyyah (bahwa) ‘AllahTabāraka wa Ta‘āla ada di seluruh tempat’, Maha Tinggi Allah dari perkataan (rendahan) mereka itu. Namun, Allah bersama kita di mana saja kita berada dengan ilmu-Nya. Dan perkataan ahli kalam kontemporer (bahwa) ‘Allah Ta‘āla tidak di langit, tidak di atas ‘Arsy, tidak di atas langit-(Nya), tidak di bumi, tidak berada di dalam alam, tidak di luar alam, tidak terpisah dari makhluk-Nya, dan tidak pula melekat dengannya’!”[35]
Demikianlah ketegasan para ulama mazhab al-Syafi‘i. Dan ini pun baru sebagian saja, belum seluruhnya.
أُوْلَئِكَ آبَائِيْ فَجِئْنِيْ بِمِثْلِهِمْ           إِذَا جَمَعَتْنَا يَا جَرِيْرُ الْمَجَامِعُ
Merekalah orang tuaku, maka datangkanlah padaku semisal mereka
Apabila perkumpulan mengumpulkan kita, wahai Jarir.[36]
Lantas, siapakah panutan orang-orang yang berpaham “Allah di mana-mana”?! Sesungguhnya mereka telah mengikuti kaum Jahmiyyah, Mu‘tazilah, dan ahli kalam. Semoga Allah memberikan hidayah kepada semuanya ke jalan yang benar.Āmīn.
Disusun oleh Utadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi


[1]     Majmū‘ Fatāwa 1/121, Bayān Talbīs Jahmiyyah 1/155
[2]     Syarḥ ‘Aqīdah al-Ṭaḥawiyyah hlm. 386
[3]     Sebagaimana dipaparkan oleh al-Imam al-Zahabi dalamal-‘Uluww li al-‘Aliyy al-‘Aẓīm dan Ibn al-Qayyim dalam Ijtimā‘ Juyūsy al-Islāmiyyah. Lihat pula tulisan bagus “101 Perkataan Ulama Salaf Tentang Allah di atas Arsy” di <http://gizanherbal.wordpress.com/2011/06/12/101-perkataan-ulama-salaf-tentang-allah-di-atas-arsy-seri-allah-di-atas-arsy/>.
[4]     Al-Risālah al-Tabukiyyah hlm. 27 karya Ibn al-Qayyim
        Faedah: Syair ini termasuk di antara syair-syair yang tidak diketahui siapa pengucapnya.
[5]     Penulis mengambil manfaat sebagian nukilan ucapan ulama salaf ini dari artikel “Aqidah Salafi Shalih fil Uluw wal Istiwa” dari <http://as-salaf.com> dan <http://www.firanda.com>.
[6]     Al-Asmā’ wa al-Ṣifāt 1/517
[7]     Fatḥ al-Bāri 13/407
[8]     Seperti dalam kitabnya al-Umm 5/280 dan al-Risālah: 7–8.
[9]     Dalam sanad al-Imam Malik tertulis “‘Umar ibn Hakam” sebagai ganti dari “Mu‘awiyah ibn Hakam”. Para ulama menilai bahwa hal ini merupakan kesalahan al-Imam Malik. Al-Imam al-Syafi‘i berkata—setelah meriwayatkan hadis ini dari al-Imam Malik—, “Yang benar adalah Mu‘awiyah ibn Hakam sebagaimana diriwayatkan selain Malik, dan saya menduga bahwa Malik tidak hafal namanya.” (al-Risālah hlm. 7–8)
[10]   Hadis ini sahih. Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Juz’ al-Qirā’ah hlm. 70, Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya: 537, Ahmad 5/448, Malik dalam al-Muwaṭṭa’ 2/772, al-Syafi‘i dalamal-Risālah no. 242, dll. Lihat takhrij secara luas tentang hadis ini, komentar ulama ahli hadis tentangnya, dan pembelaan ulama terhadapnya dalam buku kami Membela Hadits Nabi. Perlu saya tambahkan di sini, bahwa di antara ahli bidah yang menghujat hadis ini adalah Muh. Idrus Ramli yang tanpa malu mengatakan bahwa hadis ini adalah mudtarib (simpang siur), lemah, dan tidak bisa dijadikan hujah sebagaimana dalam <http://www.idrusramli.com/2013>. Sungguh—jika dia menyadarinya—ini penghujatan terhadap hadis dan para imam ahli hadis!!
[11]   Al-Imam ‘Abdul-Gani al-Maqdisi Rahimahullahu Ta’alaberkata, “Siapakah yang lebih jahil dan rusak akalnya serta tersesat jalannya melebihi seorang yang mengatakan bahwa tidak boleh bertanya ‘di mana Allah’ setelah ketegasan Rasulullah n\ yang bertanya ‘di mana Allah’?!” (al-Iqtiṣād fi al-I‘tiqād hlm. 89 dan Tadzkirah al-Mu‘tasi hlm. 89–90 syarah Dr. ‘Abdurrazzaq al-Badr)
[12]   Al-‘Uluww li al-‘Aliyy al-‘Aẓīm (hlm. 81—Mukhtaṣar al-Albani—)
[13]   Adab al-Syāfi‘i wa Manāqibuhu hlm. 93 karya Ibn Abi Hatim, I‘tiqād al-Imām al-Syāfi‘i no. 4 karya al-Hakari. Dan dinukil oleh Ibn Qudamah dalam Iṡbāt Ṣifat al-‘Uluww hlm. 123, Ibn al-Qayyim dalam Ijtimā‘ Juyūsy al-Islāmiyyah hlm. 164, al-Zahabi sebagaimana dalam Mukhtaṣar al-‘Uluww hlm. 176, dan al-Suyuti dalam al-Amr bi al-Ittibā‘ hlm. 313.
[14]   ‘Aqīdah al-Imām Nāṣir al-Ḥadīṡ wa al-Sunnah Muḥammad ibn Idrīs al-Syāfi‘i hlm. 89–91
[15]   Semoga Allah merahmati al-Imam Abu Muẓaffar al-Sam‘ani ketika mengatakan, “Tidak pantas bagi seorang untuk membela mazhab al-Syafi‘i dalam masalah fikih tetapi tidak mengikutinya dalam masalah usul (pokok-pokok akidah).” (al-Intiṣar li Aṣḥāb al-Ḥadīṡ hlm. 9)
[16]   Syarḥ al-Sunnah li al-Muzanni hlm. 79 no. 1 (tahqiq: Jamal ‘Azzun)
[17]   Ibid. hlm. 82
[18]   Naqḍ Abi Sa‘īd ‘ala al-Mirisi al-Jahmi al-‘Anīd 1/228
[19]   Kitāb al-Tauḥīd 1/273
[20]   Al-Ibānah fi Uṣūl Diyānah hlm. 17
[21]   Ibid. hlm. 26
[22]   Risālah ila Ahl al-Ṡagr karya Abu al-Hasan al-Asy‘ari hlm. 231–234 (tahqiq: ‘Abdullah ibn Syakir al-Junaidi)
[23]   Semoga Allah merahmati al-Hafiz Abu al-‘Abbas al-Tarqi tatkala berkata, “Saya melihat kaum Jahmiyyah yang meniadakan ‘Arsy dan menakwilkan istiwa, mereka menisbahkan diri kepada Abu al-Hasan al-Asy‘ari. Ini bukanlah awal kebatilan dan kedustaan yang mereka lakukan.” (Risālah fi Żabb ‘an Abil-Ḥasan al-Asy‘ari karya Ibn Dirbas hlm. 111–112)
[24]   Ibn Salah dalam Ṭabaqāt Fuqahā’ al-Syāfi‘iyyah ketika menyebutkan biografi al-Khattabi menyebutkan bahwa salah satu karya tulisnya adalah kitab Syi‘ar Dīn. Beliau menempuh penjelasan berdasarkan dalil tanpa mengikuti cara ahli kalam, sampai beliau mengatakan, “Dan beliau menegaskan dalam kitab tersebut bahwa Allah di atas langit.” Demikianlah al-Imam Ibn Salah menukil dan tidak mengkritiknya sebagai tanda persetujuannya.
[25]   Dinukil Ibn al-Qayyim dalam Taḥżīb al-Sunan 13/35–36 dan sebagiannya dinukil oleh al-Qurtubi dalam al-Asna fi Syarḥ Asmā’illāhi al-Husna hlm. 170.
[26]   Syarḥ Uṣūl al-I‘tiqād karya al-Lalika’i hlm. 387–388
[27]   ‘Aqīdah al-Salaf Aṣḥāb al- Ḥadīṡ hlm. 176
[28]   Al-Ḥujjah bi Bayān al-Maḥajjah 2/83
[29]   Al-Intiṣār fi al-Radd ‘ala al-Qadariyyah al-Asyrār 2/607
[30]   Kitāb al-‘Arsy karya al-Zahabi 2/342
[31]   Dinukil dari al-Dalā’il al-Wafiyyah fi Taḥqīq ‘Aqīdah al-Imām al-Nawawi al-Salafiyyah Am Khalafiyyah hlm. 42–47 karya Syaikhuna Masyhur ibn Hasan Salman.
[32]   Demi inṣāf dan keadilan, kami katakan bahwa kitab ini masih diragukan oleh sebagian ulama dan peneliti akan keabsahannya sebagai buah karya al-Imam al-Nawawi. (Yusuf Abu Ubaidah)
[33]   Lihat Majmū‘ Fatāwa Ibn Taimiyyah 3/224, dan al-‘Uluww2/1248 karya al-Zahabi.
[34]   Taḥżīb Ṭabaqāt Fuqahā’ al-Syāfi‘iyyah 1/470
[35]   Al-‘Uluww hlm. 143
[36]   Diwān Farazdaq 1/418, dan al-Īḍāḥ fi ‘Ulūm Balagah karya al-Khatib al-Qazwini 1/46