Associate Professor of
Islamic Philosophy
Head of Programme Da’wah and
Islamic Management
Univeristi Sains Islam
Malaysia
SIAPAKAH
AHLU SUNNAH WAL JAMA'AH? DR. Kamaluddin Nurdin Marjuni Setiap golongan, kelompok,
puak dan sekte dalam pemikiran Islam, masing-masing mengklaim bahawa golongan
mereka saja yang benar dan betul serta selamat akidahnya. Sekalipun hal itu
mereka lakukan dengan sengaja memelesetkan nash-nash (teks) dan lafadz-lafadz
hadits demi membenarkan dan membela golongan dan puak masing-masing. Dan sering kita mendengar bahwa akidah yang
selamat adalah akidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, namun yang menjadi persoalan
adalah siapakah yang dimaksud sebagai Ahlu Sunnah atau dengan kata lain: Apakah
Asy’ariyah & Maturidiyah merupakan bagian dari Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?.
Atau Ahlu Sunnah adalah Wahabi atau Salafi saja?. Sebelum lebih jauh
menjelaskan akidah Ahlu Sunnah, terlebih dahulu penulis menukil sebuah hadits
yang menjadi rebutan bagi semua golongan untuk berada dalam pilihan Rasulullah
Saw untuk memenangi golongan yang selamat yaitu: عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- (افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ اثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ اثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةٌ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ) -ابن ماجه- وفي رواية (مَا أَنَا عَلَيْهَا الْيَوْمَ وَأَصْحَابِيْ» ، -ابن ماجه-. “Telah berpecah kaum Yahudi menjadi tujuh
puluh satu atau tujuh puluh dua golongan ; dan telah berpecah kaum Nashara
menjadi tujuh puluh satu atau tujuh puluh dua golongan; sedang umatku akan
berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya akan masuk neraka kecuali
satu. Yaitu golongan yang berada dalam jama’ah (Ibnu Majah). Dan riwayat
lain “Yaitu orang-orang yang berada pada
jalanku dan jalannya para sahabatku di hari ini” (Tirmidzi). Dijumpai dari
teks hadits di atas kalimah “al-Jama’ah” yang memberikan sebuah ilustrasi
bahawa golongan yang selamat adalah golongan yang tidak berpecah dan menempuh
jalan Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh baginda Rasulullah Saw dan para
sahabatnya pada masa itu. Dari sinilah muncul istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.
Definisi Ahlu Sunnah Wal Jama'ah Setiap golongan, puak, persatuan dan mazhab
memiliki pendiri atau sekurang-kurangnya ada yang memulakan perjalanan
organisasi tersebut, sehingga memiliki ketua, pemimpin ataupun pengarah, namun
Ahlu Sunnah tidak demikian, ia tidak memiliki pendiri, ketua, pemimpin. Oleh karena itu Ahlu Sunnah bukanlah
golongan sebuah puak atau golongan tertentu, seperti puak Asy’ariah,
Maturidiyah, Wahabiah, Hanafiah, Malikiah, Syafi’iyyah dan mazhab-mazhab lain
yang masing-masing memiliki pendiri dan pengetua dan dikenal khalayak ramai.
Melainkan Ahlu Sunnah merupakan satu
standar pemahaman, pemikiran agama yang mengandung aspek nilai yang mulia dan
murni. Oleh karena tidak ada yang
boleh jawab tentang siapa pendiri dan pemimipin Ahlu Sunnah, maka ada baiknya
kalau kita mulakan dengan definisi Ahlu Sunnah itu sendiri. Dalam bahasa
Arab kalimah “Ahlu” berarti keluarga, kerabat, famili, pemilik[1]. Kemudian dalam kamus "Lisan al-Arab",
kata as-Sunnah dari sudut etimologi diartikan sebagai as-Sayr (perjalanan).
Baik orang itu berjalan dalam kebajikan, kebaikan atau keburukan[2]. Sedangkan
dalam pengertian epistemologi, as-Sunnah diartikan sebagai: "Pedoman hidup
Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Baik berupa ilmu pengetahuan, keyakinan dan
kepercayaan (ideologi), perkataan (ucapan), perbuatan (praktikal), dan
ajaran-ajaran sunnah tersebut wajib diikuti dan ditaati oleh ummat. Oleh
karena itu kalau dikatakan bahawa: si
fulan adalah pengikut Ahlu Sunnah, berarti ia adalah orang yang mengikuti jalan
yang lurus[3]. Adapun pengertian al-Jama'ah, dalam etimologi diartikan sebagai
"Penggabungan sesuatu dengan lainnya". Sebagaiaman yang
disinyalir oleh Ragib al-Asfahani, bahawa al-Jama'ah artinya adalah:
"Menghubungkan seseuatu dengan lainnya, maksudnya menghimpunkannya"[4]. Sedangkan dalam pengertian epistemologi,
al-Jama'ah adalah salaf al-Ummah[5]. Difinisi di
atas memberikan ilustrasi bahawa yang
dimaksud Ahlu Sunnah adalah mereka yang mengikuti cara hidup Rasulullah Saw,
para sahabatnya, tabi'in dan siapa saja yang mengikuti mereka, dengan
menghindarkan diri dari amalan bid'ah, di sepanjang zaman dan tempat. Untuk menyimpulkan dari tiga definisi
kalimah di atas, dapat dikatakan Dengan mudah bahawa Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
adalah mereka yang mengikuti sunnah Rasulullah Saw dan sunnah para shahabatnya.
Kesimpulan ini telah ditegaskan oleh Ibnul Jauzi,”Tidak diragukan bahawa orang yang mengikuti atsar (sunnah) Rasulullah
Saw dan para sahabatnya adalah Ahlus Sunnah”[6].
Oleh karena itu
istilah ”Ahlu Sunnah Wal Jama’ah” adalah golongan terdahulu, muncul sebelum
adanya mazhab Hanafiah, Malikiah, Syafi’iah dan Hanabilah, sebab ia adalah
mazhab para sahabat yang menerima langsung ajaran-ajaran agama dari Rasulullah
Saw, bagi siapa saja yang menyalahi mazhab dan pendirian sahabat, maka mereka
dianggap bid’ah di sisi Ahli Sunnah Wal Jama’ah[7]. Perlu disebutkan juga bahawa istilah Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah sebenarnya dimunculkan dan disosialisasikan di tengah masyarakat
untuk membedakan ajaran Islam yang murni, benar, betul dan lurus dari pembawa
risalah Islam Rasulullah Saw dari ajaran Islam yang sudah terpengaruh dengan
beberapa pemikiran-pemikiran menyimpang dan menyeleweng, seperti arah pemikiran
Jahmiyah, Qodariyah, Syi’ah dan Khawarij.
Sehingga
orang-orang yang berpegang teguh dan mengamalkan hakikat ajaran Islam yang
betul-betul murni tersebut dinamakan “Ahlus Sunnah Wal Jama’ah”. Hal ini
dijelaskan dengan tegas oleh Imam Malik ketika beliau ditanya : “Siapakah
sebenarnya Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab: Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak
mempunyai laqb (julukan) yang sudah popular (di masyarakat saat itu). Jadi Ahlu
Sunnah bukanlah Jahmiyah, Qadariyah, dan Syi’ah” [8]. Sekalipun sudah jelas pendefinisian Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah sebagaimana yang telah disebutkan, namun dalam kenyataannya
ulama masih juga berbeda pendapat tentang siapakah sebenarnya dari golongan
Islam yang berhak menjadi Ahlu Sunnah Wal Jama’ah?. Oleh karena itu
perbincangan istilah ini sangat luas pemakaiannya, dan tidak henti-hentinya
dibahas dan diangkat menjadi persoalan. bahkan Ibnu Taimiyah terkadang hanya
menyebutkan "Ahlu Sunnah" saja, tanpa diiringi dengan sebutan
"al-Jama'ah". Hal ini dilakukan
oleh Ibnu Taimiyah dengan maksud untuk membedakan antara Islam Sunni dengan
Islam Syi'ah. Jadi sebutan Ahlu sunnah tanpa menyebut al-Jama'ah,
dimaksudkan bagi semua golongan Islam yang menetapkan dan mengakui kepemimpinan
Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Oleh karena itu dalam hal ini golongan
seperti, Asy'ariah dan Maturidiyah adalah golongan Ahlu Sunnah. Ini bagi Ibnu
Taimiyah adalah pengertian secara umum. Adapun secara pengertian khas (spesifik), Ahlu Sunnah
yang dimaksud hanya terbatas kepada Ahlu Hadits dan Sunnah, yaitu bagi mereka
yang mengakui sifat-sifat Allah Swt secara harfiah tanpa dita'wilkan, mereka
meyakini bahwa al-Qur'an adalah Kalamullah bukan makhluk, mempercayai takdir
dan persoalan-persoalan akidah lainnya[9].
Berdasarkan dua pengertian di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahawa Ibnu
Taimiyah mengkhususkan istilah Ahlu Sunnah kepada ulama Salaf. Namun beliau
tidak membatasi julukan Ahlu Sunnah hanya kepada mereka. Akan tetapi beliau
memberikan kesempatan kepada golongan dan puak lainnya berafiliasi dalam
lingkup Ahlu Sunnah, seperti golongan, Asy'ariyah, Maturidiyah dan Zhahiriyah
yang ikut membantah ajaran Islam Syi'ah. Adapun golongan Mu'tazilah dan Khawarij bagi Ibnu
Taimiyah tidak berhak digolongkan dan dijuluki sebagai Ahlu Sunnah, karena
mereka mengatakan al-Qur'an makhluk (Haadits), Allah tidak dapat dilihat di
akhirat dengan mata kepala, melainkan dilihat dengan mata hati saja, dan
persoalan akidah lainnya. Di samping itu, pada masa kontemporari
saat ini gerakan Wahabi tidak mengakui golongan Asy'ariah dan Maturidiyah
sebagai Ahlu Sunnah, sebab kedua golongan
tersebut menta'wilkan sifat-sifat Allah Swt. Ini suatu persolan lain, yang
sepatutnya tidak ditimbulkan dalam masa ini, sebab hanya menambah perpecahan
umat, sehingga umat Islam yang sebelumnya terbagi kepada dua puak besar yaitu
Sunni dan Syi'ah, menjadi tiga puak yaitu Sunni Wahabi, Sunni Asy'ari Maturidi,
dan Syi'ah, perpecahan ini memberikan kesempatan pihak luar Islam untuk mengadu
domba umat. Oleh karena itu sebaiknya
kesemua pihak menahan, menunda, mengurangi dan akhirnya berhenti untuk berlawan
antara sesama golongan khususnya dalam lingkup Sunni. Sebab tidak mendatangkan manfaat untuk Islam, bahkan membahayakan
agama, dan perlu kita ingat bersama bahawa musuh kita bukan dari kita,
melainkan dari luar agama, sebagaimana yang ditegaskan oleh firman Allah: ) وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ ( -البقرة: 120-.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu
mengikuti agama mereka”. (al-Baqarah, 120). Alangkah baiknya kalau kita bersatupadu dalam agama dan tidak bercerai
berai bak buih di lautan, sebaiknya kita mengangkat satu syi’ar agama sebagai
satu muslim “One Muslim”, dalam istilah al-Qur’an dikenal dengan “Ummatan
wahidatan” atau satu umat, firman Allah Swt: )إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ( -الأنبياء: 92-. “Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama
kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”.
(al-Anbiyaa, 92). Berkaitan denga selamat atau tidak selamatnya suatu golongan,
dalam hal ini Syi’ah turut juga mengaku bahawa akidah golongan merekalah yang
akan selamat dan sesuai dengan tuntunan dan ajaran Rasulullah Saw, untuk
jelasnya penulis nukilkan beberapa periwayatan hadits Syi’ah seperti berikut: (إِنِّي تَارِكٌ فِيْكُمْ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْا مِنْ بَعْدِي أَبَدًا: كَتَابَ اللهِ وَعِتْرَتِي أَهْلُ بَيْتِي) “Sesungguhnya aku tinggalkan kepadamu sekalian
sesuatu yang kalau engkau berpegang teguh kepadanya, maka kamu tidak akan sesat
setelah aku tiada, yaitu: Kitab Allah (al-Qur’an) dan keluargaku Ahlul Bait”.
Syi’ah sepakat akan kebenaran riwayat ini asalnya dari lisan Rasulullah Saw, namun sebenarnya riwayat aslinya adalah "كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِ اللهِ" yaitu: Kitab Allah (al-Qur’an)
dan Sunnah Rasul (Hadits). Oleh karenanya riwayat ini adalah bentuk
penyimpangan Syi’ah dengan menambahkan dan mengurangi teks hadits Rasulullah
Saw[10]. Dalam kitab syi’ah lain “al-Hikmah ad-Durriyyah”
karangan Ahmad bin Sulaiman (ulama Syi’ah Zaidiyah) disebutkan: (سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا هَالِكَةٌ إِلاَّ فِرْقَةٌ وَاحِدٌة، قِيْلَ: وَمَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟، قَالَ: هُمْْ مُعْتَزِلَةُ الشِّيْعَةِ وَشِيْعَةُ الْمُعْتَزِلَةِ) “Umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga
golongan, semuanya akan hancur kecuali satu. Yaitu Mu’tazila Syi’ah dan Syi’ah
Mu’tazilah”. Tidak ada keraguan untuk menilai penyimpangan riwayat di atas,
sebab pertanyaan ditujukan kepada Nabi Muhammad, sedangkan ketika itu belum ada
golongan yang dinamakan Syi’ah maupun Mu’tazilah. نشأة الفرق وتفرقها Perpecahan Teologi Islam Darul Kutub Ilmiah,
Bairut-Lebanon (Hal:288) ISBN 2-7451-7246-8 Apapun halnya, sepatutnya
pertikaian antara sesama Ahlu Sunnah sebaiknya dihentikan dan bukan masanya
lagi, Islam semakin berpecah-pecah akibat sifat saling menjatuhkan antara
sesama yang mengaku Islam Sunni, yaitu antara aliran Asy’ariah, Maturidiah,
Salafiah, Wahabiah dan lain-lain. Semua
golongan tersebut masuk dalam frame ”Ahlu Sunnah”. Atau secara umumnya
diistilahkan sebagai ”salaf dan khalaf”. Dalam dunia maya seperti facebook,
blog, twitter dan lainnya ditemui penamaan website dengan slogan yang mengarah
kepada pencelaan antar golongan, seperti penyantuman nama ”anti Wahabi”, ”anti Asy’ari”,
dll. Pelabelan-pelabelan seperti di atas sangat merugikan umat Islam, khususnya
antara pengikut aliran sunnah sendiri, sebab ia akan menjadi konsumsi publik.
Implikasinya, seakan-akan Islam adalah agama perpecahan, tidak menginginkan
persatuan dan kedamaian antara sesama pemeluknya. Kita harus membangun bukan
meruntuhkan, berdialog bukan menghujat, maju dan melangkah bersama-sama bukan
mundur teratur bersama-sama. Jangan menjajah teman sendiri, golongan sendiri,
cukuplah kita dijajah oleh orang luar ”non muslim” dan itupun belum kita selesaikan
sampai sekarang, dikarenakan sibuk dengan pertengkaran dan perseteruan antara
mazhab. Keadaan yang demikian, akibatnya ukhuwah Islamiyah rusak, persaudaraan
Islam bubar, timbul saling dengki-mendengki, benci-membenci sehingga ummat
Islam menjadi lumpuh tidak berdaya, sekalipun jumlahnya besar. Padahal Allah
SWT telah memperingatkan: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَومٌ مِّن قَوْمٍ عَسَى أَن يَكُونُوا خَيْراً مِّنْهُمْ) “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum
(golongan) memperolok-olok kaum (golongan) yang lain (karena) boleh jadi mereka
(yang diperolok-olok) lebih baik dari mereka yang memperolok-olok”.
(al-Hujuraat:11). Umat Islam tidak berlu disibukkan dengan perkara-perkara
Takfir dan Tadhlil atau mengkafirkan orang lain dan menyesatkannya, biarlah
Allah di hari kiamat yang mengadili makhluknya, sebab kebenaran yang hakiki
hanya Allah yang memilikinya dan bukan hambaNya. Ulama masing-masing golongan
hanya sebatas ijtihad, yaitu berusaha mencari kebenaran dan kepastian, betul dan
salah dalam berijtihad Nabi Saw telah memberikan penilaian, sebagaimana sabda
beliau: "إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ” “Seorang
hakim, apabila berijtihad dan ijtihadnya betul, maka baginya dua pahala, namun
apabila ijitihadnya salah, maka baginya satu pahala”. (HR. Bukhari,no: 6919).
Kita bekerjasama dalam perkara yang kita sefaham, dan saling memaafkan satu
sama lain terhadap perkara yang kita perselisihkan. Dengan konsep kembali ke
ajaran masing-masing dan tidak memaksakan golongan lain, dalam mimbar ini kita
mengharap persaudaran dan hidup berdampingan akan teralisasi. Alangkah indahnya
persaudaraan sesama Islam, tanpa menghiraukan puak, kelompok dan alirannya.
Kalau kita sama-sama merenungi ucapan imam at-Thahawi: "وَلاَ نُكَفِّرُ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ بِذَنْبٍ مَا لَمْ يَسْتَحِلُّهٌ"
“Tidaklah kami kafirkan seseorang dari umat Islam (Ahli Kiblat) selama ia tidak
menghalalkan perkara dosa yang ia perbuat”. Maksudnya, antara sesama mukmin dan
muslim tidak perlu saling mengkafirkan. Sebab melabelkan kafir atau muslim itu
adalah urusan Allah, bukan urusan manusia. Masalah “Takfir” sangat berat,
karena menyangkut urusan station terakhir yaitu, Surga atau Neraka. Persamaan
tidak akan pernah terjadi dalam dunia ini, Allah berfirman: (وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ) “Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat”. (Huud:118). )وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لآمَنَ مَن فِي الأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعاً أَفَأَنتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُواْ مُؤْمِنِينَ( " Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah
beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya".
(Yuunus:99). Ayat di atas menegaskan bahwa dalam lipatan dan rentetan sejarah
manusia semenjak dari Nabi Adam as, sebenarnya sudah wujud pertentangan antara
golongan. Oleh karena itu, tidak ada salahnya berbeda dan bersilang pendapat,
tapi jangan sampai perbedaan tersebut meningkat kepada permusuhan. Boleh
menganggap salah golongan lain, tapi jangan mencela dan mencaci. Tanamkan sikap
toleransi bukan ta’assub, menyambung persaudaraan sesama muslim bukannya
memutuskan hubungan, berdialog bukan berseteru antara satu sama lain.
Prioritaskan bendera ”agama” bukan bendera ”mazhab” dan ”golongan”.
-------------------------------------------------- ------------------------------
[1] DR. Kamaluddin Nurdin, Kamus Sinonim
Arab-Indonesia, “Syawarifiyyah”, hal 138. [2]
Ibnu Manzhur, 1406H, Lisanul Arab, Beirut-Lebanon, al-Maktab al-Islamy. hal
13/226. [3] Ibnu Manzhur, 1406H, Lisanul Arab,
Beirut-Lebanon, al-Maktab al-Islamy. hal 13/226. [4] Raghib
al-Asfahani, al-Mufradat fi Gharib al-Qur'an, Beirut-Lebanon, Darul Ma'rifat,
hal 96, 97. [5] Yang dimaksud dengan
"Pemikiran Salafi" di sini ialah metode berpikir (Manhaj Fikri) yang
tercerimin dalam pemahaman generasi terbaik dari ummat ini. Yakni para sahabat
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, dengan berpedoman kepada
hidayah al-Qur'an dan tuntunan Nabi Saw. Lihat: Ibnu Abi al-'Izz, 1997, Syarh
Aqidah at-Thahawi, Muassasah ar-Risalah, Beirut-Lebanon. [6] Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, hal 16. [7] Ibnu Taimiyah, Minhaj as-Sunnah, 1/256. [8] Ibnu abdil Barr, Al-Intiqa fi Fadlail at-
Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha. Hal 35. [9] Ibnu
Taimiyah, 1306 H, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, Muassasah Qordova, 2/221. [10] Imam Malik, al-Muwattha’, bab “an-Nahyu ‘Anil
Qaul bil Qadri”.