Oleh: Muhammad Ikhsan
Pendahuluan
Al-Sunnah adalah
salah satu sumber tasyri’ penting dalam Islam. Urgensinya semakin nyata melalui
fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan penfasir al-Qur’an,
bahkan juga sebagai penetap hukum yang independen sebagaimana al-Qur’an
sendiri. Itulah sebabnya, di kalangan Ahl al-Sunnah, menjadi sangat penting
untuk menjaga dan “mengawal” pewarisan al-Sunnah ini dari generasi ke generasi.
Mereka –misalnya- menetapkan berbagai persyaratan yang ketat agar sebuah hadits
dapat diterima (dengan derajat shahih ataupun hasan). Setelah meneliti dan
membuktikan keabsahan sebuah hadits secara sanad, mereka tidak cukup berhenti
hingga di situ. Mereka pun merasa perlu untuk mengkaji matannya; apakah ia
tidak syadz atau mansukh –misalnya-. Demikianlah seterusnya, hingga mereka
dapat menyimpulkan dan mendapatkan hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah.
Di samping Ahl
al-Sunnah –sebagai salah satu kelompok Islam terbesar-, ternyata Syiah Imamiyah
–sebagai salah satu kelompok Syiah terbesar- juga memiliki perhatian khusus
terhadap al-Sunnah. Namun mereka memiliki jalur sanad dan sumber khusus dalam
menerima al-Sunnah yang berbeda dengan sanad dan sumber Ahl al-Sunnah. Ini
tentu saja tidak mengherankan, sebab Syiah Imamiyah memiliki pengertian
tersendiri tentang al-Sunnah. Maka perbedaan ini tidak pelak lagi kemudian
memunculkan perbedaan antara Ahl al-Sunnah dengan mereka dalam persoalan
keaqidahan maupun kefikihan.[1]
Oleh karena itu,
tentu menjadi menarik untuk mengetahui lebih jauh metodologi khas Syiah
Imamiyah dalam melakukan kritik hadits. Dan itulah yang secara singkat akan
dibahas dalam tulisan ini.
Definisi al-Sunnah Menurut Syiah Imamiyah
Definisi al-Sunnah Menurut Syiah Imamiyah
Sebagaimana telah
disinggung, Syiah Imamiyah memiliki batasan dan definisi tersendiri tentang
al-Sunnah. Intinya, al-Sunnah menurut mereka adalah “Perkataan, perbuatan dan
taqrir dari al-Ma’shum.” Dan al-Ma’shum dalam pandangan Syiah Imamiyah
tidak hanya terbatas di kalangan para nabi dan rasul. Para imam mereka juga
termasuk dalam kategori ini. Bahkan pada sebagian kelompok ekstrem Syiah, ada
memandang bahwa kedudukan para imam jauh berada di atas para nabi dan rasul
kecuali Rasulullah saw.[2]
Muhammad Ridha
al-Muzhaffar –salah seorang ulama kontemporer Syiah- menjelaskan,
Al-Sunnah
menurut kebanyakan fuqaha’ adalah “perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi”…Akan
tetapi menurut (Syiah) Imamiyah –setelah meyakini bahwa perkataan al-Ma’shum
dari kalangan Ahl al-Bait setingkat dengan perkataan Nabi saw sebagai sebuah
hujjah yang wajib diikuti oleh para hamba- memperluas batasan al-Sunnah menjadi
sesuatu yang mencakup perkataan, perbuatan dan taqrir setiap al-Ma’shum (dari Ahl
al-Bait). Sehingga al-Sunnah dalam terminologi mereka adalah “perkataan,
perbuatan dan taqrir al-Ma’shum.”
Rahasia di
balik itu semua adalah karena para imam dari kalangan Ahl al-Bait tidaklah sama
dengan para perawi dan ahli hadits yang meriwayatkan dari Nabi –hingga
perkataan mereka baru dapat dijadikan hujjah jika mereka ‘tsiqah’ dalam
periwayatannya. Mereka adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Allah Ta’ala
melalui lisan Nabi-Nya untuk menyampaikan hukum-hukum yang bersifat realita.
Maka mereka tidak mungkin menetapkan hukum, kecuali jika hukum-hukum realita
itu memang berasal dari Allah Ta’ala apa adanya. Dan itu semua (diperoleh)
melalui jalur ilham –seperti Nabi melalui jalur wahyu-, atau melalui
periwayatan (imam) ma’shum sebelumnya.
Berdasarkan ini,
maka penjelasan mereka terhadap hukum bukan termasuk dalam kategori periwayatan
al-Sunnah atau ijtihad dalam menggali sumber-sumber tasyri’, akan tetapi karena
merekalah sumber hukum (tasyri’) itu sendiri. [3]
Penjelasan ini
menunjukkan bahwa perkataan para imam yang ma’shum, baik yang diperoleh melalui jalur
ilham atau jalur lainnya (dikenal dengan istilah ilmu hadits)[4], maupun yang diriwayatkan dan diwariskan
dari imam ma’shum sebelumnya
dari Rasulullah (ilmu mustauda’), termasuk
dalam bagian al-Sunnah yang kedudukannya sederajat dengan al-Sunnah yang
berasal dari Rasulullah saw.
Bahkan lebih dari
itu, Syiah Imamiyah juga
meyakini bahwa tidak ada perbedaan antara perkataan yang diucapkan sang imam
saat ia masih kanak-kanak maupun yang diucapkannya pada usia kematangan
akalnya. Sebab, -menurut mereka- para imam itu tidak mungkin melakukan
kesalahan, sengaja ataupun tidak, sepanjang hayat mereka. Itulah sebabnya,
salah seorang ulama kontemporer Syiah mengatakan,
“Sesungguhnya
keyakinan akan kema’shuman para imam telah membuat hadits-hadits yang berasal
dari mereka serta-merta menjadi shahih, tanpa harus mempersyaratkan adanya
persambungan sanad sampai Rasulullah saw, sebagaimana yang dipersyaratkan di
kalangan Ahl al-Sunnah.”[5]
Ini karena “perkataan para imam itu adalah perkataan
Allah, perintah mereka adalah perintah Allah, ketaatan pada mereka adalah
ketaatan pada Allah, kedurhakaan pada mereka adalah kedurhakaan pada Allah.
Mereka itu tidak mungkin berbicara kecuali dari Allah dan wahyu-Nya.”[6]
Mereka juga meyakini bahwa ilmu mustauda’ yang
melalui jalur pewarisan dari imam ma’shumsebelumnya itu terbagi menjadi dua: (1)
kitab-kitab yang mereka warisi dari Rasulullah[7], dan (2) ilmu yang mereka terima secara
lisan dari beliau saw. Pembagian ini kemudian mengantarkan kita untuk memahami
inti aqidah mereka –dan merupakan rukun penting agama mereka-, yaitu
bahwa Rasulullah saw hanya menyampaikan sebagian
syariat dan menyembunyikan yang lainnya untuk kemudian dititipkan kepada Imam
‘Ali. ‘Aliradhiayyallahu ‘anhu kemudian
memperlihatkan sebagiannya semasa ia hidup, dan menjelang kematiannya barulah
ia menitipkannya kepada al-Husain, putranya. Demikianlah seterusnya, setiap
imam memperlihatkan sebagian “warisan” itu sesuai kebutuhan zamannya, hingga
akhirnya mata rantai keimamahan itu berakhir pada sang imam yang dinanti (al-Muntazhar).[8]
Dengan demikian,
pengetahuan tentang keshahihan dan kelemahan sebuah hadits –dalam pandangan
Syiah Imamiyah– harus
melalui jalur para imam yangma’shum. Selain dari mereka tidak mungkin
melakukan itu, meskipun ia adalah seorang ‘alim yang berilmu tinggi. Al-Sunnah
al-Nabawiyah –bagaimanapun juga- membutuhkan imam yangma’shum untuk
menjelaskan mana yang shahih, dan menyingkirkan yang palsu.[9]
Satu catatan
penting yang harus ditegaskan di sini adalah bahwa Syiah Imamiyah telah
mempersempit cakupan al-Sunnah dengan batasan yang mereka yakini. Berdasarkan
definisi dan penjelasan ulama mereka tentang al-Sunnah, maka periwayatan
al-Sunnah –dalam madzhab Syiah- hanya dimungkinkan melalui jalur Ahl al-Bait.
Dan itupun tidak semua Ahl al-Bait, sebab hanya yang mempunyai predikatma’shum saja
yang dapat melakukannya. Dan itu berarti hanya terbatas
pada “para imam yang dua belas” saja, dan bahwa yang pernah bertemu Rasulullah
saw dari mereka hanyalah ‘Ali radhiyallahu ‘anhu.[10]
Pertanyaannya
adalah: apakah Amirul mu’minin, ‘Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu sanggup
menyampaikan seluruh al-Sunnah itu kepada semua generasi, padahal ia tidak
menyertai Rasulullah saw di setiap waktu? Bukankah Rasulullah saw pernah
melakukan perjalanan jauh, lalu menugaskan ‘Ali sebagai ‘khalifah’ nya di
Madinah –seperti dalam perang Tabuk-? Bukankah ‘Ali juga pernah melakukan
perjalanan jauh, sementara Rasulullah tinggal di Madinah? Belum lagi apa yang
terjadi di dalam kehidupan rumah tangga Nabi saw, sangat tidak mungkin ‘Ali
mengikuti semua itu.
Kita juga
mengetahui dari sejarah bahwa Islam menyebar ke berbagai wilayah, dan
penyebaran itu tidak melalui jalur Ali ibn Abi Thalib. Dengan demikian, menjadi
sangat sulit dipahami pernyataan mereka yang menyatakan bahwa Rasulullah saw
hanya menyampaikan ilmu itu (baca: risalah Islam) kepada seorang pria yang
termasuk Ahl al-Bait beliau.[11]
Di samping itu, ada
hal lain yang sangat kontradiktif dalam pernyataan para ulama Syiah. Seperti
diketahui dalam definisi mereka tentang al-Sunnah, bahwa perkataan para imam
Syiah itu memiliki kedudukan yang sama dengan perkataan Nabi saw. Sebab para
imam itu juga menerima “ilmu” dari Allah melalui jalur ilham, sebagaimana Nabi
menerimanya dari jalur wahyu. Tapi Imam al-Shadiq dan Imam al-Ridha –dua
diantara imam mereka- seringkali mengatakan,
“Sesungguhnya
kami tidak pernah berfatwa kepada manusia berdasarkan pendapat kami sendiri.
Sesungguhnya jika kami berfatwa kepada manusia dengan pendapat kami sendiri,
niscaya kami akan termasuk orang yang binasa. Namun (kami memberi fatwa kepada
mereka) berdasarkan atsar-atsar dari Rasulullah saw, yang kami wariskan dari
generasi ke generasi. Kami menyimpannya seperti manusia menyimpan emas dan
perak mereka.”[12]
Pernyataan ini
–sebagaimana pernyataan-pernyataan beberapa tokoh Syiah lainnya- menunjukkan
bahwa –menurut mereka- para imam itu tidak lebih sebagai perawi dari Rasulullah saw. Tentu saja ini kontradiktif dengan penjelasan ulama
Syiah lainnya bahwa para imam itu memang benar-benar diangkat oleh Allah untuk
menyampaikan hukum Allah langsung yang diperoleh melalui jalur ilham, bukan
sekedar menerimanya dari imam ma’shumsebelumnya.[13]
Sikap Syiah Imamiyah Terhadap
Teks-teks Hadits Mereka
Sikap para ulama
Syiah dalam memandang dan menyikapi teks-teks hadits mereka sendiri, ternyata
berbeda. Secara umum pandangan dan sikap yang berbeda ini terwakili dalam 2
kelompok besar, yaitual-Ikhbariyyun dan al-Ushuliyyun.[14]
Kelompok al-Ikhbariyyun adalah
kelompok SyiahImamiyah yang
melarang ijtihad dan mencukupkan diri dengan mengamalkan “khabar-khabar” (baca:
teks-teks hadits) yang terdapat dalam empat kitab hadits mereka; al-Kafi, Man La Yahdhuruhu
al-Faqih, al-Tahdzib dan al-Istibshar. Tidak
hanya itu, mereka memandang bahwa apa yang terkandung dalam keempat kitab itu qath’i berasal
dari para imam, dan karena itu, mereka tidak perlu melakukan penelitian lebih
lanjut tentang sanadnya. Demikian pula membagi hadits-hadits dalam kitab-kitab
itu menjadishahih, hasan,
dha’if, dan sebagainya, sama sekali tidak perlu.
Mengapa? Sebab semuanya shahihbelaka. Mereka juga menggugurkan dalil ijma’
dan‘aqli. Ilmu
Ushul fiqih tidaklah shahih, karena itu tidak perlu dipelajari. Intinya mereka
mencukupkan diri dengan khabar-khabar yang terdapat dalam rujukan utama mereka.
Karena itu mereka disebut juga al-Akhbariyah, sebuah penisbatan kepada al-akhbar(khabar-khabar).
Tokoh-tokoh
kelompok ini diantaranya adalah al-Kulainy (w. 329 H) penulis al-Kafy, Ibnu
Babawaih al-Qummy (w. 382 H), penulis Man La Yahdhuruhu al-Faqih, dan
al-Mufid (w. 413 H), penulis Awa’il al-Maqalat.
Sedangkan kelompok al-Ushuliyyun adalah
mereka yang memandang perlunya ijtihad, dan bahwa landasan hukum itu terdiri
dari al-Qur’an, al-Sunnah, ijma’ dan dalil ‘aqli. Mereka juga meyakini bahwa
hadits-hadits yang terdapat dalam keempat kitab pegangan itu, sanadnya ada yang shahih, hasan, dandha’if. Oleh
karena itu, diperlukan sebuah kajian terhadap sanadnya pada saat akan diamalkan
atau dijadikan landasan hukum.
Tokoh-tokoh
kelompok ini antara lain adalah: al-Thusy (w. 460 H), penulis al-Istibshar, al-Murtadha
yang dianggap menyusun Nahj al-Balaghah, Muhsin al-Hakim, al-Khu’iy dan
al-Khumainy (Khomeni).
Perbedaan ini
bahkan sampai pada tingkat keluarnya fatwa keharaman untuk shalat di belakang
satu sama lain, dan bahkan saling mengkafirkan satu sama lain.[15] Meskipun keduanya masih termasuk
dalam kelompok Imamiyah Itsna ‘Asyariyah.
Perpecahan ini
diduga memuncak ketika salah seorang ulama hadits mereka, Muhammad Amin
al-Astarabady (w. 1033H) melemparkan tuduhan dan tikaman kepada kelompok
mujtahidin Syiah, yang kemudian membuatnya membagi kelompok Syiah menjadi ‘Akhbary dan
mujtahid. Tidak hanya itu, ia juga memprovokasi pengikutnya untuk menyerang
ilmu Ushul fiqih dan mencukupkan diri dengan hadits-hadits mereka.[16]
Awal Munculnya Pembagian Derajat Hadits dan Perhatian
Terhadap Sanad di Kalangan Syiah
Perbedaan antara
kelompok al-Ikhbariyyun dan al-Ushuliyyun ini
nampaknya sudah lama terjadi. Jauh sebelum masa al-Astarabady. Namun di era
al-Astarabady-lah perbedaan ini berubah menjadi permusuhan yang sangat sengit
antara keduanya. Sebagai bukti misalnya –bahwa perbedaan ini sudah lama ada-,
pandangan kelompok al-Ushuliyyunkemudian menyebabkan lahirnya ide
pembagian hadits menjadi shahih, hasan, muwatstaq, dan dha’ifdi kalangan
Syiah. Ulama
Syiah pertama yang mengeluarkan ide ini adalah Ibnu al-Muthahhir al-Huliyy (w.
726H).[17] Itu artinya, awal mula munculnya
pemikiran untuk memberikan “nilai” kepada sebuah hadits di kalangan Syiah
adalah sekitar abad 7 Hijriyah. Dan ini bertepatan dengan “serangan” Ibnu
Taimiyah terhadap Syiah Imamiyahdalam bukunya, Minhaj al-Sunnah. Salah
satu kritik penting Ibnu Taimiyah adalah rendahnya perhatian dan pengetahuan
Kaum Syiah terhadap ilmu ar-Rijal.[18]
Hal ini diakui
sendiri oleh ulama mereka, al-Hurr al-‘Amily (w. 1104 H). Ia mengakui bahwa
penyebab Kaum Syiah mulai meletakkan istilah shahih, hasandan dha’if untuk hadits mereka serta
memperhatikan sanad, adalah kritik yang ditujukan oleh Ahl al-Sunnah kepada
mereka. Ia mengatakan,
“Salah satu
faidah penyebutan (sanad) adalah…untuk membantah tuduhan ‘orang awam’
–maksudnya Ahl al-Sunnah- terhadap Syiah, bahwa hadits mereka tidak ‘mu’an’an’
dan hanya sekedar dinukil begitu saja dari kitab-kitab para pendahulu mereka.”[19]
Bahkan ia sendiri
(al-‘Amily) memastikan bahwa pembagian derajat hadits yang dilakukan oleh Ibnu
al-Muthahhir itu sepenuhnya adalah upaya untuk meniru Ahl al-Sunnah. Ia
mengatakan,
“Mushthalah
baru itu sesuai dan sama dengan i’tiqad dan mushthalah ‘orang awam’[20]. Bahkan setelah diteliti, memang sepenuhnya
diambil dari kitab-kitab mereka.”[21]
Penjelasan ini
setidaknya menyimpulkan beberapa hal:
Pertama, sanad-sanad yang sekarang kita temukan dalam
riwayat-riwayat mereka itu disusun belakangan, lalu kemudian ditempelkan pada
tekas-teks hadits yang diambil dari kitab pendahulu mereka.
Kedua, perhatian terhadap kritik sanad di kalangan Syiah baru
muncul belakangan –setidaknya sejak abad ketujuh Hijriyah-. Itupun muncul demi
menjaga madzhab mereka dari kritik Ahl al-Sunnah.
Ketiga, upaya penulisan ilmu Mushthalah Hadits versi Syiah
–seperti yang diakui sendiri oleh ulama mereka- sepenuhnya hanya meniru apa
yang telah dituliskan oleh “orang-orang awam” (baca: Ahl al-Sunnah).
Keempat, ini menunjukkan bahwa sejak awal pemunculan Syiah
hingga –setidaknya- abad ketujuh Hijriyah, para ulama Syiah menerima sepenuhnya
hadits-hadits yang terdapat dalam kitab-kitabmu’tamad mereka, tanpa melakukan kritik
terhadap sanad, apalagi matan.
KRITIK SANAD DAN MATAN MENURUT SYIAH IMAMIYAH
Sebagaimana juga
Ahl al-Sunnah, Syiah Imamiyahjuga memiliki
metode kritik sanad dan matan yang khas, meskipun dalam beberapa bagian nampak
sama dengan metode kritik sanad dan matan yang dianut oleh Ahl al-Sunnah.
Metode Kritik Sanad Syiah Imamiyah
Dalam hal ini yang
akan dipaparkan adalah klasifikasi perawi, kajian al-rijal, serta
kajian seputar persambungan dan perputusan sebuah sanad dalam sudut pandang
Syiah Imamiyah.
Klasifikasi
Perawi di Kalangan Imamiyah
Adapun terkait
dengan klasifikasi perawi sebuah hadits yang dapat diterima, dalam pandangan
Syiah Imamiyahdapat
dikatakan hampir sama dengan klasifikasi yang selama ini dikenal dan dipegangi
oleh para ulama hadits Ahl al-Sunnah. Diantara klasifikasi seorang perawi yang maqbul menurut
mereka adalah:
Islam
2. Baligh
3. Berakal
4. ‘Adil
5. Dhabith
Sebagian besar
ulama Imamiyahmenambahkan
syarat “iman”.
Yang dimaksud
“iman” di sini adalah bahwa seorang perawi haruslah seorang penganut madzhabImamiyah Itsna ‘Asyariyyah.[22] Bahkan tidak hanya sekedar
penganut madzhab Imamiyah, sang
perawi haruslah menerima riwayat itu dari para imam. Al-Thusy mengatakan,
“Setelah
diteliti dengan cermat, jelaslah bahwa tidak semua riwayat yang diriwayatkan
oleh seorang ‘imamiyah’ dapat diamalkan secara mutlak. (Sebab yang boleh
diamalkan) hanyalah riwayat-riwayat yang diriwayatkan dari para imam
–alaihissalam- dan dituliskan oleh murid-muridnya.”[23]
Karena itu, jika
seorang penganut Imamiyahmeriwayatkan
hadits dari salah seorang Ahl al-Bait yang tidak termasuk dalam kategori imam,
maka haditsnya pun tidak dapat diamalkan. Dengan kata lain, tidak semua Ahl
al-Bait dapat dijadikan sebagai jalur periwayatan, sebab tidak semua dari
mereka itu berstatus sebagai imam. Itulah sebabnya, riwayat yang disampaikan
oleh keturunan Fathimah r.a melalui al-Hasan r.a –misalnya- tidak dapat
diterima. Bahkan yang melalui jalur al-Husain r.a sekalipun. Al-Thusy
–misalnya- menolak riwayat Zaid ibn Ali Zain al-‘Abidin.[24]
Lalu
bagaimana sikap mereka terhadap riwayat yang berasal dari Ahl al-Sunnah?
Sebagian ulama Syiah[25] membolehkan hal ini dengan beberapa
ketentuan:
Hadits itu
diriwayatkan dari para imam yang ma’shum.
Tidak menyelisihi
riwayat yang dituliskan oleh para ulama Syiah.
Tidak menyelisihi
amalan yang selama ini ada di kalangan mereka.
Salah satu yang
melandasi pandangan ini adalah apa yang diriwayatkan Ja’far al-Shadiq bahwa ia
mengatakan,
“Jika kalian
mengalami suatu perkara yang tidak kalian temukan hukumnya dalam apa yang
diriwayatkan dari kami, maka lihatlah dalam apa yang mereka (kaum awam atau Ahl
al-Sunnah -pen) riwayatkan dari Ali a.s, lalu amalkanlah ia.”
Oleh sebab itu, sebagian kelompok Syiah juga
mengamalkan apa yang diriwayatkan oleh beberapa perawi Ahl al-Sunnah,-seperti
Hafsh ibn Ghiyats, Ghiyats ibn Kallub dan Nuh ibn Darraj- dari para imam
madzhab Imamiyah sesuai
dengan syarat tersebut di atas.[26]
Adapun terkait
dengan kajian al-rijal dari
sudut al-jarh dan al-ta’dil, maka
dalam tradisi hadits Syiah, ke’adalahan seorang perawi dapat ditetapkan dengan
salah satu dari dua hal: (1) tautsiqat khashshah, atau
(2) tautsiqat ‘ammah. Tautsiqat pertama
adalah sebuah pemberian rekomendasi untuk satu atau dua perawi tanpa
adanya suatu predikat khusus untuk mereka. Sedangkan yang kedua adalah
pemberian rekomendasi untuk sekelompok orang dengan batasan dan predikat khusus
dan tertentu.[27]
Salah satu contoh tautsiqat khashshah –menurut
mereka- adalah jika salah seorang imam ma’shumatau salah satu ulama terdahulu[28] memberikan rekomendasi akan ketsiqahan seorang
perawi. Maka dalam kondisi semacam ini, ketsiqahan orang itu harus ditetapkan tanpa banyak
komentar.
Ja’far al-Subhany
mengatakan,
“Metode-metode
seperti ini adalah termasuk metode yang dapat menetapkan ke’tsiqah’an seorang
perawi tanpa perlu komentar lagi. Ini adalah metode-metode khusus yang dapat
menetapkan ke’tsiqah’an individu tertentu. Dan ada pula metode-metode umum yang
disebut dengan ‘tautsiqat ‘ammah’, yang dengannya ke’tsiqah’an sekelompok
perawi dapat ditetapkan…”[29]
Adapun tautsiqat ‘ammah yang
dijadikan sandaran penting dalam madzhab Syiah Imamiyah terdiri
dari beberapa kelompok berikut:
Pertama, Ashhab al-Ijma’. Mereka adalah kelompok yang disepakati (ijma’) keshahihan
semua riwayat yang datang dari mereka. Rincian mereka adalah 6 orang dari
murid-murid al-Baqir, 6 orang dari murid-murid al-Shadiq, dan 6 orang dari
murid-murid Musa al-Kazhim.[30]
Banyak dari
kalangan generasi awal –dan juga belakangan- Syiah Imamiyah yang
meyakini bahwa keshahihan semua riwayat yang berasal dari kelompok ini juga
mencakup semua hadits meski diriwayatkan dari orang yang fasik dan melakukan
pemalsuan hadits.[31] Inilah yang kemudian menyebabkan
sebagian mereka membenarkan semua riwayat kelompok ini, meskipun mengandung
hal-hal yang jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, seperti keyakinan
bahwa al-Qur’an telah diselewengkan, sikap ghuluw terhadap para imam, dan yang
lainnya. Hal ini jelas merupakan akibat dari peremehan mereka terhadap upaya
penelitian yang mendalam terhadap al-Rijal dan juga sanad hadits-hadits
mereka.
Kedua, Masyayikh al-Tsiqat. Mereka adalah beberapa orang –yaitu Muhammad ibn Abi
‘Umair, Shafwan ibn Yahya, dan Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Nashr al-Bizanty-
yang tidak meriwayatkan dan memursalkan sebuah hadits kecuali dari perawi yang tsiqah.[32]Namun ada
sebagian ulama Syiah yang kemudian tidak mengakui ini sebagai sandaran, dengan
alasan sebagian dari mereka telah dituduh berdusta dan membuat hadits palsu,
bahkan dianggap keluar dari akidah Imamiyah.
Ketiga, disamping ketiga nama di atas, ada pula beberapa nama
yang dikenal tidak meriwayatkan hadits kecuali dari orang-orang yang tsiqah. Mereka
diantaranya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Isa, Ja’far ibn Basyir al-Bajaly,
Muhammad ibn Ismail al-Za’farany, dan Ahmad ibn Ali al-Najasyi.[33] Namun sebagaimana sebelumnya, ada
juga ulama Syiah yang tidak menyepakati ini.
Satu hal penting
lain yang juga perlu disebutkan secara singkat di sini adalah sebab-sebab
penetapanal-jarh terhadap
seorang perawi. Seperti Ahl al-Sunnah, sebab-sebab al-jarh Syiah Imamiyahdiantaranya
adalah:[34]
Akidah yang batil.
Tentu yang dimaksud adalah jika sang perawi bukanlah pengikut Imamiyah.
Cacatnya ke’adalahan perawi,
seperti jika ia melakukan dosa besar dan terus-menerus melakukan dosa kecil.
Hafalan yang buruk.
Jika seorang perawi
banyak meriwayatkan dari perawi-perawi yang dhu’afa dan majhulun.
Jika perawi itu
berasal dari kalangan Bani Umayyah, kecuali jika ia seorang pengikut Imamiyah.
Namun yang menjadi
tanda tanya adalah bahwa mereka tidak menganggap keyakinan bahwa al-Qur’an yang
ada saat ini telah diubah dan dikurangi sebagai salah satu sebab jarh bagi
seorang perawi. Al-Mufid –salah seorang ulama mereka- mengakui ini dengan
mengatakan,
“(Penganut
Imamiyah) telah bersepakat bahwa para imam yang sesat itu[35] telah menyeleweng dalam banyak
penyusunan al-Qur’an dan mereka telah menyimpang dari apa yang diturunkan (oleh
Allah) dan sunnah Nabi saw. Sementara Mu’tazilah, Khawarij, Zaidiyah, Murji’ah
dan Ahl al-Hadits telah berijma’ menyelisihi Imamiyah.”[36]
Ini adalah
pengakuan penting bahwa semua kelompok Islam tidak terjebak dalam kesesatan
yang dialami kelompok Imamiyah. Tidak
mengherankan jika al-Thusy mengakui bahwa banyak penulis mereka yang menganut
dan meyakini hal-hal sesat semacam itu. Perlu diketahui pula, bahwa ulama
kontemporer Syiah yang giat menyerukan upaya taqrib(pendekatan)
Sunnah-Syi’ah dalam menyikapi tuduhan tahrif al-Qur’an terbagi menjadi 4
kelompok:
Mengingkari
keberadaan paham ini dalam kitab-kitab mereka, menampakkan seolah-olah
mengkafirkan pelakunya, bahkan berusaha melekatkan tuduhan ini pada kitab-kitab
Ahl al-Sunnah.
Mengakui
keberadaannya dan berusaha memberikan alasan (justifikasi).
Mengakui secara
terang-terangan dan berusaha memberikan argumentasi (hujjah) untuknya.
Menampakkan
seolah-olah mengingkari hal ini, namun diam-diam menetapkannya dengan secara
sembunyi-sembunyi.[37]
Kajian
‘al-Rijal’ di Kalangan Imamiyah
Harus diakui bahwa
para ulama Imamiyah juga
memiliki upaya untuk menjelaskan kondisi semua perawi yang terdapat dalam
berbagai referensi hadits mereka dari sisi ketsiqahan dan kedha’ifannya. Kalangan Imamiyah mengaku
bahwa awal penyusunan referensi dalam bidang ini di kalangan mereka telah
dimulai pada abad 2 H. Mereka beranggapan bahwa kitab ‘Ubaidullah ibn Abi Rafi’[38] sebagai karya pertama mereka dalam
bidang ini. Padahal ‘Ubaidullah ini sama sekali tidak memiliki hubungan apapun
dengan madzhabImamiyah.
Penulisan ilmu ini
menurut mereka terus berlanjut hingga abad 4 H. Namun –seperti pengakuan
mereka- tidak ada satu pun karya dalam bidang ini yang sampai pada mereka,
kecuali yang ditulis pada abad 4 dan 5 H. karya-karya itulah yang kemudian
menjadi rujukan penting mereka selanjutnya. Diantaranya:
Rijal
al-Kisysyi, karya Muhammad ibn Umar yang lebih dikenal dengan
al-Kisysyi (w. 340H). Ia hidup semasa dengan al-Kulainy (w. 329H), dan termasuk
tokoh tsiqah penting
di kalangan mereka.
Fihris al-Najasyi, karya
Abu al-Abbas Ahmad ibn ‘Ali ibn al-Abbas yang lebih dikenal dengan al-Najasyi
(w. 450H).
Rijal Ibn
al-Ghadhairy, karya Ahmad ibn al-Husain al-Ghadhairy (w. 412). Judul
buku ini sebenarnya adalahKitab al-Dhu’afa’. Isinya memuat perawi-perawi
dha’if. Penulisnya bahkan mendha’ifkan banyak ulama dan perawi Imamiyah dengan
alasan sikap ghuluw yang
ada pada diri mereka. Tidak mengherankan jika kemudian ulama Syiah berbeda
pendapat tentang validitas penisbatan buku ini pada Ibn al-Dhafairy setelah
mereka sepakat bahwa ia adalah seorang yang tsiqah dalam pandangan mereka.[39] Belakangan, Ja’far al-Subhany
membenarkan penisbatan kitab ini kepada Ibn al-Dhafairy. Namun jarh dan tadh’ifnya tidak
dapat diterima, dengan alasan kesimpulannya tidak didasarkan pada persaksian
dan riwayat, melainkan hanya didasarkan pada ijtihad pribadinya.[40]
Masih ada karya
lain dalam bidang ini di kalangan Syiah. Namun karya-karya itu dianggap sebagai
sumber sekunder. Namun ada satu hal yang penting untuk dicatat, bahwa masih
banyak perawi majhultersebar dalam
sanad-sanad referensi Syiah, terutama Ushul al-Kafi karya al-Kulainy. Ini berarti
bahwa karya-karya mereka dalam bidang al-rijalbelum mencakup semua perawi yang ada dalam
rujukan hadits Imamiyah. Lebih
dari itu, al-Bahrany (w. 1186H) –salah seorang ulama Imamiyah-mengakui
bahwa jika semua aturan al-jarh wa al-ta’dil diterapkan
pada sanad-sanad yang bertebaran dalam kitab-kitab hadits mereka, maka itu akan
membatalkan banyak sekali hadits-haditsnya.[41]
Bersambung dan Terputusnya Sanad Menurut Syiah Imamiyah
Syiah Imamiyah juga
menekankan tentang keharusan adanya persambungan sanad kepada imam yangma’shum. Meski
sanad itu kemudian tidak bersambung kepada Nabi saw, sebab perkataan imam itu
sendiri adalah hujjah dan
sunnah sehingga tidak perlu dipertanyakan dari mana ia mengambilnya.[42]Tetapi jika sanad itu bersambung kepada
Nabi saw tanpa perantaraan seorang imam, maka hadits semacam ini tidak dapat
diterima. Ini disebabkan oleh:
Keyakinan Syiah Imamiyah bahwa
pengetahuan akan keshahihan sebuah hadits sepenuhnya hanya diketahui
melalui jalur para imam.
Karena Rasulullah
saw telah menyembunyikan sebagian syariat dan hukum kepada para imam untuk
kemudian disebarkan jika saatnya tepat nanti.[43]
Syiah Imamiyah juga
meyakini bahwa sanad-sanad hadits mereka semuanya bersambung kepada para imam melalui perantara kitab-kitab al-Ushul[44]yang ada pada mereka. Namun dalam
buku-buku lain –yang juga merupakan rujuan penting mereka- terdapat pengakuan
‘berbahaya’ yang menyatakan bahwa sanad-sanad kitab-kitab itu sebenarnya
terputus. Tidak hanya itu, al-Thusy misalnya mengakui bahwa banyak dari
penyusun kitab-kitab al-Ushul itu
yang meyakini ‘madzhab yang batil’.[45]Dalam al-Kafy (1/104) disebutkan,
“Sesungguhnya
para ulama kami meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu ‘Abdillah a.s, dan (saat
itu) taqiyyah sangatlah kuat, sehingga mereka menyembunyikan kitab-kitab mereka
(yang menyebabkan kitab-kitab itu) tidak diriwayatkan dari mereka. Maka ketika
mereka semua meninggal, kitab-kitab itupun sampai ke tangan kami. Salah seorang
imam mengatakan, ‘Sampaikanlah ia, karena ia adalah kebenaran’.”
Pertanyaan
pentingnya adalah, siapakah yang menjamin bahwa dalam kondisi taqiyyah dan
ketakutan itu, kitab-kitab yang kemudian sampai kepada mereka itu telah menjadi
sasaran tangan-tangan jahat yang ingin menyesatkan kaum Syiah dengan cara
menambahkan riwayat-riwayat palsu yang dinisbatkan kepada Ahl al-Bait?[46] Salah satu indikasi akan hal itu
adalah banyaknya nash-nash Syiah yang menyentuh hal paling disucikan oleh kaum
muslimin, al-Qur’an al-Karim.[47]
Seorang ulama
Syiah, al-Muhaqqiq al-Qummy mengatakan,
“Riwayat-riwayat
yang ada dalam kitab-kitab kami menunjukkan bahwa para pendusta dan pemalsu
telah memainkan peran mereka dalam kitab-kitab ulama kami, dan bahwa mereka
telah memasukkan (hal-hal baru) kedalamnya.”[48]
Al-Sayyid Abu
Thalib al-‘Alawy al-Hasany mengatakan,
“Sesungguhnya
banyak sanad-sanad Itsna ‘Asyariyah (Imamiyah –pen) yang didasarkan pada
nama-nama yang sebenarnya tidak memiliki wujud. Saya mengetahui dari para
perawi mereka yang banyak meriwayatkan (hadits) ada yang menghalalkan pembuatan
sanad-sanad palsu untuk riwayat-riwayat yang terputus jika sampai ke tangannya.
Bahkan ada diantara mereka yang mengumpulkan riwayat-riwayat Birisjamhur, lalu
menisbatkannya kepada para imam dengan sanad-sanad yang ia buat sendiri. Ketika
ia ditanya tentang itu, ia hanya menjawab, ‘Sandarakanlah hikmah itu kepada
yang memilikinya.’”[49]
Bukti lain akan
adanya peran “tangan-tangan jahat” terhadap kitab-kitab hadits Syiah Imamiyah adalah
sebagai berikut:
Kitab al-Kafy yang
disusun oleh al-Kulainy. Syekh Husain ibn Haidar al-Kurky al-‘Amily (w. 1076H)
menyatakan bahwa kitab ini terdiri dari 50 kitab lengkap dengan sanad yang
semuanya bersambung pada para imam.[50] Sementara ulama awal Syiah, al-Thusy
(w. 360H) menyatakan bahwa kitab al-Kafyhanya terdiri dari 30 kitab dengan semua
periwayatannya.[51] Ini menunjukkan bahwa antara abad 5H
hingga abad 11H, al-Kafy mengalami
pertambahan sebanyak 20 kitab –padahal setiap kitab mencakup puluhan bab, dan
setiap bab mencakup sekumpulan hadits-! Maka Hasyim Ma’ruf –juga seorang ulama
Syiah kontemporer- tidak punya pilihan selain mengakui bahwa kaum ekstrem telah
memasukkan dan merusak hadits-hadits para imam yang terdapat dalam al-Kafy dan
yang lainnya.[52]
Kitab Tahdzib al-Ahkam, yang
disusun oleh al-Thusy. Agha Bazruk al-Taherany dan Muhsin al-‘Amily menyatakan
bahwa jumlah hadits kitab ini mencapai 13590 hadits.[53]Sedangkan al-Thusy sendiri dalam bukunya
yang lain, ‘Uddah al-Ushul,menyebutkan
bahwa jumlah haditsTahdzib-nya adalah sekitar 5000-an hadits. Atau
dengan kata lain, jumlah maksimalnya tidak mencapai 6000 hadits. Ini
menunjukkan bahwa dalam beberapa kurun waktu saja, jumlah hadits Tahdzib bertambah
lebih dari satu kali lipat.
Bukti-bukti ini
sesungguhnya semakin menguatkan bahwa pada dasarnya Syiah Imamiyah pada
awalnya –dan mungkin hingga kini- tidak memiliki perhatian yang cukup besar
untuk mengkaji sanad-sanad hadits mereka. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya, ulamaImamiyah –dalam hal ini al-‘Allamah
al-Huliyy- baru ‘tersentak’ untuk mengkaji untuk mengkaji sanad ketika Ibnu
Taimiyah menuliskan bukunya, Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyyah yang
mengkritik kurangnya perhatian Syiah akan sanad. Metode tashhih dantadh’if yang
kemudian digagas oleh al-‘Allamah al-Huliyy jika diterapkan pada hadits-hadits
Syiah akan ‘membabat habis’ kebanyakan hadits mereka, dan hanya menyisakan
sedikit saja. Ini diakui oleh Syekh Yusuf al-Bahrany, salah seorang ulama
mereka.[54]
Ulama Syiah lain,
Syekh Muhammad Baqir al-Majlisy (w. 1111H)[55] telah mendha’ifkan sebagian besar hadits-hadits
yang ada dalam kitab al-Kafy dalam
kitabnya, Mir’at al-‘Uqul. Namun
anehnya, ia mengatakan,
“Kita
sesungguhnya tidak membutuhkan sanad keempat kitab al-Ushul ini. Dan bila kita
menyebutkan sanadnya, maka itu hanya sekedar untuk ‘tabarruk’ (mencari berkah)
dan meneladani sunnah para salaf.”[56]
Pengakuan lain
datang dari Syekh Abu al-Hasan al-Sya’rany yang menyatakan,
“Sesungguhnya
mayoritas hadits-hadits ushul yang terdapat dalam al-Kafy tidaklah shahih
sanadnya, akan tetapi ia menjadi pegangan dan landasan dikarenakan kandungan
matannya, dan kesesuaiannya dengan ‘akidah yang benar’ (maksudnya akidah
Imamiyah –pen). Dan (untuk hadits yang semacam ini) sanad tidaklah
perlu diperhatikan.”[57]
Penjelasan-penjelasan
ini menunjukkan bahwa hingga kini pun, kajian sanad hadits Syiah Imamiyah masih
menyisakan banyak pertanyaan yang perlu untuk dijelaskan.
Metode Kritik Matan Syiah Imamiyah
Secara umum, dalam
hal ini, Syiah Imamiyahmelakukan
kritik matan dengan 4 cara –yang juga sebenarnya diakui dan digunakan oleh Ahl
al-Sunnah-, yaitu:
Menimbang matan
hadits dengan al-Qur’an
Menimbangnya dengan
al-Sunnah
Menimbangnya dengan
ijma’
Menimbangnya dengan
akal sehat.
Akan tetapi, dalam
prakteknya banyak hal-hal musykil yang kemudian menjadi pembeda antara Ahl
al-Sunnah dan Syiah dalam melakukan kritik matan. Hal itu akan dijelaskan
sebagaimana berikut.
Pertama, menimbangnya matan hadits kepada al-Qur’an.
Para imam Syiah
telah menyatakan kewajiban memaparkan hadits-hadits yang diriwayatkan dari
mereka kepada al-Qur’an. Maka yang sesuai dengan al-Qur’an, itulah yang benar.
Namun jika hadits itu menyelisihi al-Qur’an, maka ia tidak bisa dijadikan
pegangan. Imam al-Ridha mengatakan,
“…Maka
janganlah kalian menerima (riwayat) dari kami yang menyelisihi al-Qur’an. Sebab
jika kami menyampaikan sesuatu pada kalian, kami tidak menyampaikan kecuali
yang sesuai dengan al-Qur’an dan al-Sunnah…Maka jika datang kepada kalian orang
yang menyampaikan hadits yang menyelisihi itu, maka tolaklah! Sebab setiap
perkataan dari kami itu akan disertai dengan hakikat dan cahaya, dan sesuatu
yang tidak ada hakikat dan cahayanya, maka itu adalah perkataan syetan.”[58]
Namun yang menjadi
masalah adalah –seperti telah disinggung sebelumnya-, bahwa Syiah Imamiyahsendiri
meragukan keabsahan al-Qur’an yang ada sekarang ini. Hanya sebagian kecil dari
kalangan al-Ushuliyyun dan al-Ikhbariyyun yang
meyakini bahwa al-Qur’an yang ada saat ini selamat dari tahrif(penyelewengan),
dan bahwa Allah telah menjaganya dari tangan-tangan jahat yang akan merubahnya.
Oleh sebab itu, mereka –yang meyakini kesucian al-Qur’an ini- memandang bahwa
al-Qur’an adalah sumber pertama dalam tasyri’, dan bahwa hadits-hadits yang
terdapat dalam kitab-kitab hadits mereka ada yang shahih dan
tidak.
Maka menghadapi
kenyataan ini, kalangan Syiah yang meyakini adanya tahrif pada
al-Qur’an pun menjadi dilematis. Betapa tidak, terlalu banyak hadits dari para
imam mereka yang memerintahkan untuk merujuk pada al-Qur’an dan bahwa ia adalah
sumber pertama dalam tasyri’ yang
tidak mengalami tahrifdan perubahan. Akibatnya,
mereka terpaksa memilih pandangan yang menyatakan bahwa para imam itu memerintahkan
mereka untuk berpegang pada al-Qur’an yang ada di hadapan kita saat ini,
meskipun telah diselewengkan –menurut mereka- hingga datangnya al-Qa’im
al-Mahdy yang akan mengeluarkan al-Qur’an yang shahih yang dikumpulkan oleh
Imam ‘Ali r.a.
Syekh al-Mufid (w.
413H) menyatakan,
“Sesungguhnya
hadits-hadits yang shahih dari para imam kami a.s (yang menunjukkan) bahwa
mereka memerintahkan untuk membaca apa yang ada dalam mushhaf (al-Qur’an) dan
tidak melampaui batas, baik dengan menambah atau menguranginya, hingga datang
al-Qa’im a.s yang akan membacakan al-Qur’an (yang benar –pen) sesuai dengan
yang diturunkan Allah Ta’ala dan dikumpulkan oleh Amirul mukminin.”[59]
Dan yang harus
diingat adalah bahwa masalah terjadinya tahrif dan pengurangan dalam al-Qur’an
hampir dapat dikatakan telah menjadi ijma’ Syiah terdahulu, kecuali 4 orang
yang tidak meyakininya. Mereka adalah Ibnu Babawaih al-Qummy (w. 382H),
al-Syarif al-Murtadha (w. 436H), al-Thusy (w. 460H), dan al-Fadhl ibn al-Hasan
al-Thibrisy (w. 548H). Dan menurut DR. Nashir al-Qifary, sebagian besar ulama
dan pemikir Syiah Imamiyah kontemporer
telah mulai meyakini ‘sterilitas’ al-Qur’an dari berbagai tahrif dan
bahwa ia adalah sumber tasyri’ pertama. Salah satunya misalnya
yang ditunjukkan oleh Sayyid Murtadha al-Radhawy dalam bukunya al-Burhan ‘ala ‘Adam Tahrif
al-Qur’an. Hanya sangat disayangkan, karena
buku ini justru berusaha melekatkan tuduhantahrif ini melalui jalur Ahl al-Sunnah.
Yaitu bahwa Ahl al-Sunnah-lah yang mengada-ada terhadap Syiah dalam hal ini.[60]
Kedua, menimbangnya dengan al-Sunnah.
Syiah Imamiyah memandang
bahwa al-Sunnah merupakan sumber tasyri’ kedua setelah Kitabullah, dan hal
ini disepakati oleh semua kaum muslimin.[61]Namun sebagaimana telah dijelaskan pula,
bahwa definisi al-Sunnah menurut Syiah adalah perkataan, perbuatan dan
penetapan al-ma’shum.
Oleh sebab itu,
sang imam mempunyai hak untuk mengkhususkan dalil al-Qur’an yang umum, atau
tindakan semacamnya. Atau dengan kata lain, sang imam –karena ia ma’shum-, maka
posisinya sama dengan Nabi saw yang tidak berbicara kecuali berdasarkan wahyu.[62]
Akan tetapi mereka
kemudian dibuat bingung oleh banyaknya perbedaan riwayat antara satu imam
dengan imam lainnya. Bagaimana jika perkataan imam yang datang kemudian berbeda
dengan perkataan imam yang datang sebelumnya? Al-Thusy bahkan menggambarkan
bahwa tidak ada satu riwayat pun, melainkan ada riwayat lain yang
menyelisihinya. Bahkan –ia juga mengakui- kesimpangsiuran ini membuat sebagian
pengikutImamiyah keluar
dan meninggalkan madzhab ini.[63]
Al-Thusy sendiri
mencoba mengompromikan perbedaan ini dengan mengatakan, bahwa perbedaan itu
disebabkan karena sebagian imam harus melakukan taqiyyah demi
menyelamatkan diri. Bahkan dalam kitab al-Kafy, ditemukan nash dari imam mereka
yang justru memerintahkan untuk menampakkan pertentangan pendapat antara imam
bila berhadapan dengan orang banyak.[64]Akibatnya, ulama Syiah menjadi bingung
untuk membedakan, mana perkataan yang diucapkan karena taqiyyah, dan
mana yang tidak. Sehingga lahirlah prinsip bahwa “segala yang menyelisihi kaum
awam (baca: Ahl al-Sunnah) itulah jalan petunjuk.”[65]
Ketiga, menimbangnya dengan ijma’.
Syiah –sebagaimana
juga Ahl al-Sunnah- memandang ijma’ sebagai salah satu sumber tasyri’ dalam
Islam. Hanya saja, terminologi ijma’ dalam pandangan mereka berbeda dengan
terminologi ijma’ menurut Ahl al-Sunnah. Ibn al-Muthahhir al-Huliyy
mendefinisikan ijma’ menurut Syiah dengan mengatakan,
“Ijma’ itu
hanya menjadi hujjah bagi kita jika ia mencakupi perkataan sang (imam) yang
ma’shum. Maka jama’ah apapun, sedikit atau banyak, jika perkataan imam termasuk
dalam perkataan mereka, maka ijma’nya menjadi hujjah karenanya (perkataan imam
–pen), bukan karena kesepakatan mereka.”[66]
Tentu menjadi
jelas, bahwa ijma’ semacam ini tentu tidak memiliki arti, sebab tetap saja yang
menjadi dasar penetapannya adalah ada-tidaknya perkataan imam ma’shum dalam
ijma’ tersebut. Mereka sebenarnya tidak mengakui ijma’ sebagai hujjah.Yang menjadi hujjah tetaplah
perkataan imam yangma’shum. Pengakuan bahwa ijma’ adalah hujjah bagi
mereka hanyalah pengakuan kosong belaka.[67]Sebagai contoh, jika Imam al-Jawad –yang
‘menjabat’ sebagai imam saat ia berusia 7 tahun- mengeluarkan sebuah pendapat,
maka pendapatnya itulah yang menjadi hujjah, meskipun ummat Islam sedunia
menyelisihi apa yang ia katakan.[68]
Keempat, menimbangnya dengan akal.
Secara umum, Syiah Imamiyah juga
mengakui akal sebagai sumber tasyri’ keempat. Dan yang dimaksud dengan
akal di sini adalah “hukum-hukum yang digali sendiri oleh akal”, seperti
keharusan menolak semua kemudharatan, dan menghukumi jahatnya memberikan
hukuman tanpa penjelasan.[69]
Akan tetapi akal
tidaklah dapat berdiri sendiri tanpa adanya dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah dan
ijma’ –dengan semua definisi dan keyakinan mereka tentang ketiga sumber itu-.
Bahkan dengan semua keyakinan mereka tentang ketiga sumber itu, mereka
sebenarnya tidak akan pernah menimbang
hadits-hadits mereka dengan akal sehat, sebab pada akhirnya semua bergantung
pada riwayat-riwayat yang ada dalam kitab-kitab al-Ushulmereka. Syekh al-Mufid menggambarkan tentang “tidak
berfungsinya” akal menghadapi teks-teks hadits Imamiyah,
“Seandainya ia
(maksudnya imam mereka yang masih kanak-kanak) mengatakan sebuah perkataan yang
tidak ada seorang manusia pun sepakat dengannya, itu sudah cukup untuk menjadi
hujjah dan dalil.”[70]
Intinya, bahwa
Syiah Imamiyah tidak
terlalu memfungsikan rambu-rambu kritik matan tersebut. Sebab, seandainya
mereka memfungsikan rambu yang keempat saja –menimbang dengan akal sehat-, maka
–seperti kata DR. al-Qifary- mereka akan menemukan begitu banyak matan-matan
hadits yang jelas kedustaannya atas Islam; baik karena menyerang Kitabullah,
memerangi sunnah Nabi saw, mengkafirkan generasi terbaik ummat ini, dan
menyebutkan akidah-akidah yang tidak ada dalam al-Qur’an. Ini saja sudah cukup
untuk mempertanyakan hadits-hadits mereka.[71]
PENUTUP
Melalui kajian
singkat ini setidaknya kita dapat melihat –meskipun tidak secara terperinci-
bahwa secara garis besar memang ada persamaan antara Ahl al-Sunnah dan Syiah Imamiyah secara
khusus dalam proses melakukan kritik terhadap sanad dan matan. Meskipun
kemudian dalam penerapannya terdapat perbedaan yang sangat jauh antara
keduanya. Sebagai contoh, jika Ahl al-Sunnah sejak awal menjadikan sanad
sebagai salah satu pijakan utama dalam menerima hadits, maka Syiah justru
‘terlambat’ untuk menyadari itu. Bahkan, -seperti diakui oleh ulama mereka
sendiri- perhatian terhadap sanad itu muncul bukan karena memang hal itu
penting, akan tetapi sekedar untuk memunculkan ‘pembelaan’ di hadapan Ahl
al-Sunnah.
Akhirnya, masih
banyak hal yang perlu dijawab oleh kalangan Syiah Imamiyah terkait
dengan hal ini. Semoga kelak ada sebuah kesadaran untuk benar-benar mendasarkan
keberagamaan dan ketaatan pada Allah dengan landasan ilmiah yang dapat
dipertanggungjawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
1.Awa’il
al-Maqalat fi al-Madzahib al-Mukhtarat:
Luthfullah al-Shafy. Al-Mathba’ah al-‘Ilmiyyah Qum. Cetakan pertama 1398 H.
2.Bihar al-Anwar
al-Jami’ah li Durar Akhbar al-A’immah al-Athhar: Muhammad Baqir al-Majlisy (w. 1111 H), Mua’assasah
al-Wafa’ Beirut. Cetakan kedua 1983 M.
3.Da’irah al–Ma’arif al-Syi’iyyah: Hasan al-Amin. Dar al-Ta’aruf
li al-Mathbu’at, Beirut. Cetakan keempat 1989 M.
4.Al-Fahrasat: Muhammad ibn al-Hasan al-Thusy. Al-Mathba’ah
al-Haidariyah, Nejef. Cetakan kedua 1960 M.
5.Al-Imam
al-Shadiq: Muhammad Abu
Zahrah. Dar al-Fikr al-‘Araby, Kairo. T.t.
6.Al-Istibshar fi
Ma Ikhtalafa min al-Akhbar: Abu Ja’far
Muhammad ibn al-Hasan al-Thusy (w. 460 H). Dar al-Adhwa’, Beirut. Cetakan kedua
1992 M.
7.Al-I’tiqadat: Abu Ja’far Muhammad ibn Babawaih al-Qummy (w. 381 H).
Cetakan Iran 1320 H.
8.Kulliyat fi
‘Ilm al–Rijal: Ja’far
al-Subhany. Dar al-Mizan Beirut. Cetakan pertama 1990 M.
9.Lu’lu’ah al–Bahrain fi al-Ijazat wa Tarajum Rijal al-Hadits:
Yusuf ibn Ahmad al-Bahrany (w. 118 6H). Tahqiq: Muhammad Shadiq Bahr al-Ulum.
Dar al-Adhwa’ Beirut. Cetakan kedua 1986 M.
10. Ma’a ‘Ulama’ al–Najf: Muhammad Jawab
Mughniyah. Dar al-Jawad Beirut 1984 M.
11. Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah fi
Naqdh Kalam al-Syi’ah wa al-Qadariyah: Taqiyy al-Din Ahmad ibn
Taimiyah. Tahqiq: DR. Muhammad Rasyad Salim. Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo.
Cetakan kedua 1989 M.
12. Miqyas al-Hidayah fi ‘Ilm
al-Dirayah: ‘Abdullah al-Mamqany (1351 H). Tahqiq: Muhammad
Ridha al-Mamqany. Mu’assasah Alu al-Bait, Beirut. Cetakan pertama 1991 M.
13. Mir’at al-‘Uqul fi Syarh Akhbar
Ali al-Rasul(Syarah kitab al-Kafy): Muhammad Baqir al-Majlisy (w. 1111 H). Dar
al-Kutub al-Islamiyah, Teheran. Cetakan kedua 1363 H.
14. Nasy’at Ulum al-Hadits wa
Mushthalahihi: DR. Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib. Kulliyat Dar
al-‘Ulum, Universitas Kairo 1965 M.
15. Qawa’id al-Hadits:
Muhyi al-Din al-Musawy al-Gharify. Dar al-Adhwa’, Beirut. Cetakan kedua 1986 M.
16. Raudhah al-Jannat fi Ahwal
al-‘Ulama’ wa al-Sadat: Muhammad Baqir al-Khawansary (w. 1313 H).
Al-Mathba’ah al-Haidariyah 1950 M.
17. Tarikh al-Imamiyah wa Aslafihim
min al-Syi’ah: DR. Abdullah Fayyadh. Mu’assasah al-A’lamy li
al-Mathbu’at, Beirut. Cetakan ketiga 1986 M.
18. Tautsiq al-Sunnah Baina al-Syi’ah
al-Imamiyah wa Ahl al-Sunnah: Ahmad Haris Suhaimi. Dar al-Salam,
Mesir. Cetakan pertama 2003 M.
19. Al-Syi’ah Hum Ahl al-Sunnah:
DR. Muhammad al-Tijany al-Samawy. Mu’assasah al-Fajr, London. Cetakan pertama
1993 M.
20. Ashl al-Syi’ah wa Ushuluha:
Muhammad Husain Alu Kasyif al-Ghtha’. Dar al-Adhwa’ Beirut. Cetakan pertama
1991 M.
21. Al-Ushul al-‘Ammah li al-Fiqh
al-Muqaran: Muhammad Taqiy al-Hakim. Dar al-Andalus. Cetakan kedua
1989 M.
22. Ushul Fiqih: Muhammad
Ridha al-Muzhaffar. Dar al-Nu’man, Nejef. Cetakan kedua 1967 M.
23. Ushul al-Kafy wa Furu’uh:
Muhammad ibn Ya’qub al-Kulainy (w. 329 H). Dar al-Adhwa’, Beirut. Cetakan
pertama 1399 H.
24. Ushul Madzhab al–Syi’ah al-Imamiyah al-Itsnay
‘Asyariyah: DR. Nashir ibn Abdillah ibn Ali al-Qifary. Jami’ah
al-Imam Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah. Cetakan pertama 1993 M.
Menyoal
Validitas Hadits Syi’ah (Oleh: Bahrul Ulum*)
Konsep
Batil Hadits Syiah, dari Cacat Ruwat hingga Cacat Sanad
Kaum
Syiah, Golongan Pemalsu Hadits Terdepan
jika
Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis Shahih Bukhari-Muslim
yang mesti ditolak adalah perkataan yang batil
Bagaimana
Mengikuti Keluarga Nabi ?
SUMBER
AJARAN SYIAH SERI (DUA)