Menurut ustadz Abu Usamah, syiah adalah aliran yang sesat dan
berbahaya. Selain karena aqidahnya yang busuk dan banyak menyimpang, syi’ah pun
berani menghina Allah ta’ala.
“Sangat busuk sekali Aqidah Syi’ah itu.
Mereka meyakini bahwa Allah memiliki Aqidah bada’ yang berarti dan megimani
bahwa Allah tidak mengetahui sedikitpun tentang sesuatu yang akan terjadi
kecuali bila sudah terjadi” tegas Qari’ bersuara merdu itu.
Sedangkan Aqidah Ahlussunnah sangat
bertentangan dengan Aqidah sesat itu. Ahlussunnah sangatlah yakin bahwa Allah
memiliki ilmu tentang sesuatu yang belum terjadi dan apa ayng akan terjadi
selanjutnya.
“Aqidah Ahlussunnah sangat mengagungkan
Allah, sedang syi’ah sangat keji. Pantas saja mereka tidak menghargai para
sahabat bahkan melaknat orang yang menemai perjuangan Rasulullah semasa
hidupnya. Allah saja tidak dihormati apalagi para sahabat!”. Tuturnya.
Beliau mengisahkan tentang seorang tentara
yang melihat langsung kekacauan syariat yang dibawa oleh syiah. “ saya pernah
didatangi oleh seorang tentara yang pernah ditugaskan menjadi pasukan
perdamaian di Libanon. Beliau mengisahkan bahwa mereka baru tahu kesesatan
syiah dan melihat sendiri kesesatannya. Beliau menuturkan bahwa dia melihat
orang syiah yang sholat berjamaah. Suatu ketika datanglah pedagang yang
menjajakan dagangannya, seketika jamaah yang belum selesai sholatnya menuju
pedagang dan kembali ke jamaahnya setelah berbelanja.” Tuturnya kembali.
Ustadz Abu Usamah juga menjelaskan bahwa
target syiah selanjutnya adalah mensyiahkan negara Indonesia. Dalam sela sela
kajiannya ustadz Abu Usamah menantang dedengkot Syiah dalam hafalan Quran .
“Gak ada dedengkot Syiah yang hafal Al-Quran.
Saya tantang, apakah mereka ada yang hafal AlQuran? Saya yakin bocah-bocah
Ahlussunnah lebih banyak yang hafal Quran dibanding mereka” tutupnya.
Membantah Syi’ah: Masalah
Pengingkaran terhadap Qadar
بِسْمِ اللهِ الرَّ حْمٰنِ الرَّ حِيْمِ
Di antaranya ucapan mereka,
“Sesungguhnya Allah tidak
mentakdirkan apapun juga di masa azali dan bahwa Allah tidak pernah dan tidak
akan menginginkan kejelekan.”[176]
Padahal, Imam
Muslim meriwayatkan bahwa firman Allah subhanahu wa ta’ala,
“Sesungguhnya Kami menciptakan
segala sesuatu menurut ukuran.”(Qomar: 49) turun ketika orang-orang musyrik mendebat dalam masalah itu.[177]
Sebagian tokoh
ulama mengatakan bahwa telah diriwayatkan banyak hadits yang diriwayatkan
melalui lebih dari seratus orang sahabat dalam masalah penetapan takdir dan
yang berkaitan dengannya.[178] Telah datang pula dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Setiap umat mempunyai golongan
majusi, dan majusinya umat ini adalah orang-orang yang mengatakan bahwa tidak
ada takdir.”[179]
Jika kamu
telah mengetahui hal tersebut, maka ketahuilah bahwa Allah telah mengetahui
segala sesuatu sebelum keberadaannya baik secara global maupun terperinci, menyeluruh
maupun parsial. Dia mengetahui segala yang terkait dengannya, menetapkan takdir
bagi segala sesuatu di zaman azali, sehingga semuanya tidak akan bertambah
maupun berkurang, tidak pula maju ataupun mundur dan bahwasanya tidak akan
didapati sesuatu melainkan dengan kehendak dan keinginan Allah. Allah Maha Tahu
atas segala sesuatu. Apa yang Allah takdirkan maka akan ada, apa yang
dikehendaki maka akan terjadi dan apa yang maka tidak dikehendaki tidak akan
terjadi. Hal seperti itu tetap dengan sepintas pikiran maupun dalil yang mutawatir dan diketahui secara yakin, sehingga siapa saja yang mengingkari
sesuatu yang langsung ditunjukkan oleh akal dan mengingkari nash yang mutawatir ini, jika ia tidak menjadi
kafir maka tidak kurang untuk menjadi orang yang fasik.
________________________________
176 Al-Kafi (1/155-160) (1/209) cet. Darul Adhwa’.
177 HR. Muslim
no. 2656 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
“Datang kaum musyrikin Quraisy mendebat Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam tentang takdir, maka
turunlah ayat,“(Ingatlah) pada hari mereka
diseret ke neraka atas muka mereka. (Dikatakan kepada mereka), ‘Rasakanlah
sentuhan api neraka’ Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut
ukuran’(Al-Qomar: 48-49)
178 Guru kami,
Muqbil rahimahullah, mempunyai kitab yang
sangat berharga, yaitu Al-Jami’ Ash-Shahih fil Qodar di mana padanya beliau membantah orang-orang Rafidhah dan
selainnya dari kalangan ahli bid’ah dan hawa nafsu yang mengingkari takdir.
179 HR. Abu
Dawud no. 4692 dari Hudzaifah, Ahmad no. 5584 dari Ibnu Umar, dan Al-Baihaqi
jilid 1 hal. 203 dari Hudzaifah. Tetapi, dalam sanadnya terdapat Umar bin
Abdillah maula Gufrah dan diadhaif sebagaimana dalam At-Taqrib. Di dalamnya
juga terdapat rawi yang tidak dikenal, dan hadits tersebut disebutkan oleh
Ibnul Jauzi dalam Al-Ilal Al-Mutanahiyah no. 227 dan beliau mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih.
Juga datang
dalam riwayat Abu Dawud no. 4691, Al-Hakim no. 286, dan Al-Baihaqi (10/203)
dari jalan Abu Hazim dari Ibnu Umar dengan lafazh: Orang-orang Qodariyyah
adalah majusi umat ini. Tetapi, sanadnya terputus, di mana Abu Hazim Salamah
bin Dinar tidak mendengar dari Ibnu Umar sebagaimana dalam Tuhfatul Asyrafhadits no. 7088 pada biografi rawi ini dan sebagaimana dalamTahdzibut Tahdzib.
[Dari: Risalatun fir Raddi ‘alal
Rafidhah; Penulis: Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil
Wahhab; Ta’liq & Tahqiq: Abu Bakr Abdur Razzaq bin
Shalih bin Ali An-Nahmi; Judul
Indonesia: Bantahan & Peringatan atas Agama Syiah Rafidhah; Penerjemah: Abu Hudzaifah Yahya; Penerbit: Penerbit Al-Ilmu]
MENIMBANG SYI’AH (Bagian ke-11)
BY SIGABAH
BENCANA AQIDAH · 20 APRIL 2015
Syiah dan Rukun Iman: Qadha’ dan Qadar
Keyakinan Syiah tentang 5 rukun iman telah selesai dibahas pada
beberapa dua edisi sebelumnya. Pada edisi ini hendak ditampilkan keyakinan
Syiah tentang rukun iman terakhir (Qadha’ dan Qadar). Tentang Qadha’ dan Qadar, Syiah—seperti pada rukun
Iman yang lain—juga punya pandangan yang jauh berbeda dengan umat Islam.
Jika kita kembali menelaah literatur-literatur salaf yang mengupas tentang
aliran-aliran teologi dalam Islam berikut pemikirannya, maka akan kita dapatkan
bahwa jajaran ulama Syiah periode awal sepakat menetapkan eksistensi Qadar. Pendapat bahwa perbuatan
makhluk tidak terkait dengan takdir Allah SWT. Muncul pada saat pemikiran
teologis Syiah mulai bergesekan dengan pemikiran Mu’tazilah, tepatnya pada abad
keempat hijriah.
Agaknya, periode itulah yang dijadikan patokan oleh para ahli
untuk menentukan awal pengingkaran Syiah terhadap Qadar.[1] Buku-buku teologi
Islam mencatat, bahwa maraknya pengingkaran QadarAllah SWT. Di kalangan Syiah
ini diperkirakan terjadi sejak munculnya Muhammad bin an-Nu’man al-Mufid
bersama para pengikutnya.
Pandangan Syiah terhadap Qadha’ dan Qadar ini antara lain diuraikan
oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Dalam Maqalat al-Islamiyin,[2] beliau menegaskan bahwa dalam
menyikapi Af’al al-Ibad (pekerjaan-pekerjaan hamba),
pandangan Syiah Rafidhahterbagi menjadi tiga
kategori:
Meyakini bahwa semua perbuatan makhluk diciptakan oleh Allah
SWT.
Tidak mempercayai bahwa perbuatan makhluk adalah ciptaan Allah
SWT.
Bersikap netral. Kelompok ini mengatakan tidak ada pemaksaan
pada setiap perbuatan makhluk—pendapat ini sama dengan pendapat sekte Jahmiyah.
Namun seorang hamba juga tidak boleh menyerah pada nasib—yang ini lebih dekat
pada pendapat sekte Mu’tazilah (Qadariyah).
Tentu saja klasifikasi terhadap kerangka pemikiran Syiah yang
dibuat oleh al-Asy’ari ini berlandasan pada data-data otentik dari Syi’ah,
berikut data empiris berdasarkan penelitian dan pengalaman beliau. Hal itu
terbukti, bahwa ketika menjelaskan akidahnya mengenai qadar, Ibnu Babawaih al-Qummi
agaknya menunjuk pada salah satu klasifikasi yang dibuat al-Asy’ari tadi.
Dengan tanpa ketegasan teoritis, Ibnu Babawaih dalam Aqaid ash-Shaduqmenyatakan sebagai berikut:
إِعْتِقَادُنَا فِي أَفْعَالِ العِبَادِ أَنَّهَا مَخْلُوْقَةٌ خَلْقَ
تَقْدِيْرٍ لَا خَلْقَ تَكْوِيْنٍ, وَ مَعْنَى ذَلِكَ أَنَّهُ لَمْ يَزَلِ اللهُ عَالِماً
بِمَقَادِرِهَا.
“Keyakinan
kami mengenai perbuatan makhluk ialah: bahwa perbuatan itu diciptakan dengan
penciptaan takdir, bukan penciptaan pembentukan. Artinya adalah bahwa Allah
SWT. Senantiasa mengetahui takdirnya makhluq.”[3]
Namun, ketidak-lugasan penyampaian Ibnu Babawaih tersebut
memberikan indikasi bahwa Allah SWT. hanya mengetahui segala perbuatan makhluk
saja, tidak memberi arti Allah SWT. bisa berkehendak apa saja pada setiap
makhluknya, sesuai dengan artiqadar yang sesungguhnya.
Kemudian, ulama Syiah yang lain memberikan penjelasan akan
keyakinan Syiah Itsna Asyariyah yang sesungguhnya terhadapqadar Allah SWT., seperti yang
dikemukakan al-Mufid dalam penegasannya berikut:
الصَحِيْحُ عَنْ آلِ مُحَمَّدٍ صلّى الله عليه و سلّم أَنَّ أَفْعَالَ
العِبَادِ غَيْرُ مَخْلُوْقَةٍ لله,َ وَ الَّذِيْ ذَكَرَهُ أَبُوْ جَعْفَرٍ قَدْ جَاءَ
بِهِ حَدِيْثٌ غَيْرُ مَعْمُوْلٍ بِهِ, وَ لَا مَرْضِيِّ الْإِسْنَادِ, وَ الأَخْبَارُ
الصَّحِيْحَةُ بِخِلَافِهِ.
“Yang
benar dari keluarga Muhammad SAW. Ialah: bahwa sesungguhnya perbuatan makhluk
itu tidak diciptakan oleh Allah SWT. Sementara apa yang disampaikan Abu Ja’far
adalah hadits-hadits yang tidak bisa dipakai.
Selain sanadnya tidak baik, hadits-hadits
yangshahih juga bertentangan dengannya.”[4]
Senada dengan penegasan diatas, adalah jawaban dari pertanyaan
yang pernah diajukan kepada Abu al-Hasan ar-Ridha AS (diklaim pihak Syiah
sebagai Imam ke-8). bahwa ketika beliau ditanyakan oleh seseorang mengenai
keyakinannya tentang qadar Allah SWT; apakah qadar itu diciptakan Allah SWT.
Atau tidak? Lalu beliau menjawab:
لَوْ كَانَ خَالِقًا لَهَا لَمَا تَبَرَّأَ مِنْهَا وَ قَدْ قَالَ سُبْحَانَهُ
وَ تَعَالَى أَنَّ اللهَ بَرِيْءٌ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ وَ رَسُوْلُهُ, وَ لَمْ يُرِدْ
البَرَاءَةَ مِنْ خَلْقِ ذَوَاتِهِمْ وَ إِنَّمَا تَبَرَّأَ مِنْ شِرْكِهِمْ وَ قَبَائِحِهِمْ.
“Andaikan
Allah SWT. Yang menciptakan perbuatan makhluk, tentu Dia tidak akan melepaskan
diri darinya, sementara Dia telah berfirman: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya
terbebas diri dari orang-orang musyrik.” Allah SWT. Tidak bermaksud melepaskan
diri dari menciptakan mereka, namun melepaskan diri dari kesyirikan dan kejelekan mereka.”[5]
Lebih tegas lagi, al-Hurr al-Amili (w. 1104 H), salah seorang
ulama Syiah terkemuka, mengupas kajian seputar qadar dalam bab spesifik dengan
judul “Sesungguhnya Allah SWT. menciptakan segala sesuatu selain perbuatan
makhluk.” Dalam kitabnya al-Fushul al-Muhimmah fi Ushul
al-Aimmah, dia mengatakan bahwa Syiah Imamiyah dan Mu’tazilah meyakini
bahwa semua perbuatan makhluk timbul dari dirinya sendiri, merekalah yang
menciptakan perbuatan-perbuatan itu.[6]
Ulama Syiah yang lain, Muhammad Shadiq ath-Thabathaba’I, juga
memberikan ketegasan yang sama: “Syiah Imamiyah dan Mu’tazilah berkeyakinan
bahwa semua perbuatan dan gerak-gerik makhluk itu terjadi dengan kekuatan dan
keinginan mereka sendiri. Merekalah yang menjadikan pekerjaan-pekerjaan itu.
Sedangkan ayat-ayat yang menerangkan bahwa Allah SWT. yang menciptakan segala
sesuatu, itu adakalanya sudah di takhsis (dikhususkan maksud dan
tujuannya) dengan selain perbuatan makhluk, atau ditakwil bahwa Allah SWT. Yang
menciptakan segala sesuatu dengan tanpa perantara, atau dengan perantara
makhluk-Nya.”[7]
Dari beberapa penegasan ulama-ulama Syiah ini, jelaslah kiranya,
bagaimana sebenarnya kepercayaan mereka berkenaan denganqadar Allah SWT. bahwa akidah
mereka dalam hal ini sebetulnya tidak ada bedanya dengan sekte Mu’tazilah –
yang menyimpang.
Namun, sebagaimana disinggung di atas, tampaknya keyakinanqadar ala Mu’tazilah ini dianut
oleh orang-orang Syiah pasca abad ketiga hijriah, sebagaimana disampaikan oleh
Ibnu Taimiyah. Sedangkan Syiah yang hidup pada abad-abad sebelumnya malah
memiliki keyakinan yang berseberangan. Hal ini didasarkan pada riwayat-riwayat
yang disampaikan langsung oleh A’immah Ahlul Bait, al-Kulaini antara lain
meriwayatkan hadits sebagai berikut:
قَالَ أَبُو جَعْفَر وَأَبُو عَبْدِ اللهِ: إِنَّ اللهَ أَرَحْمُ بِخَلْقِهِ
مِنْ أَنْ يُجْبِرَ خَلْقَهُ عَلَى الذُّنُوبِ ثُمَّ يُعَذِّبَهُمْ عَلَيْهَا وَاللهُ
أَعزُّ مِنْ أَنْ يُرِيْدَ أَمْرًا فَلَا يَكُوْنُ، قَالَ: فَسُئِلَا عَلَيْهِمَا السَّلَامُ
هَلْ بَيْنَ الْجَبْرِ وَالْقَدَرِ مَنْزِلَةٌ ثَالِثَةٌ؟ قَالَا: نَعَمْ أَوْسَعُ
مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْاَرْضِ.
Abu
Ja’far dan Abu Abdillah berkata: “sesungguhnya Allah SWT. Tidak akan memaksa
hamba-Nya untuk mengerjakan perbuatan dosa lalu menghukumnya, sebab betapa
besar kasih sayang-Nya. Dan Allah SWT. Tidak mungkin menginginkan sesuatu lalu
tidak terjadi, karena Dia sangat berkuasa. Rawi berkata: Lalu keduanya
ditanyakan: “apakah antara pemaksaan dan takdir ada tempat ketiga? Beliau
menjawab: “Ya, (tempat itu) lebih luas dari ruangan yang ada di antara langit
dan bumi.[8]
Kedua Imam ini menegaskan bahwa pendapat mereka tentangqadar adalah tidak membenarkan al-Jabr dan at-Tafwidh (fatalisme). Mereka memegang maqam ketiga yang lebih netral,
tidak mengikuti madzhab Mu’tazilah. Lebih tegas lagi, Abu Abdillah AS (Diklaim
Syiah sebagai Imam ke-6). Mengatakan: “Kamu bertanya tentang perkataan
orang-orang Qadariyah (kelompok yang meniadakanqadar pada Allah SWT.), (apa yang
mereka katakan) bukanlah agamaku dan bukan pula agama leluhurku, tak kutemukan
seorang pun dari keluargaku berpendapat seperti itu.”[9] Abu Abdillah AS. Melanjutkan:
“Celakalah Qadariyah (free
will), apakah mereka tidak membaca firman Allah ‘Kecuali istri Luth,
kami tetapkan dia temasuk orang-orang yang dihukum.’ Celaka mereka, kalau bukan
Allah yang menaqdirkannya, lalu siapa?”
Al-Qummi meriwayatkan dalam kitab tafsirnya: “. . .Orang-orang
Qadariyah yang menafikan takdir, yang mengira bahwa mereka bisa berbuat baik
atau sebaliknya, kapan pun mereka mau, adalah orang-orang Majusi dari umat
Muhammad SAW. Padahal musuh-musuh Allah SWT. Itu mengingkari Masyi’ah dan Takdir.”[10]
Yang perlu menjadi catatan disini adalah, kendati Syiah generasi
awal menetapkan eksistensi takdir Allah SWT., akan tetapi pendapat yang umum
dipegang oleh mayoritas umat Syiah masa kini adalah pendapat generasi kemudian
yang menafikan takdir, yang diadopsi dari teologi Mu’tazilah. Sementara status
dari teologi Mu’tazilah (Syiah) yang menafikan takdir sama halnya dengan
teologi Jabariyah yang hanya menetapkan takdir. Kedua teologi ini hanya
menggunakan sebagian dalil dan meninggalkan dalil yang lain. Sementara yang
mengambil jalan tengah adalah teologi yang menggunakan nash-nash dan argumentasi secara
sempurna, yang sesuai dengan Kitabullah. Ayat-ayat al-Qur’an telah menegaskan
bahwa makhluk memiliki kemauan, kemampuan dan perbuatan, namun semuanya
bergantung pada kehendak Allah SWT.[11] Inilah akidah yang dipedomani
oleh umat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Allah SWT. Berfirman:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلِيمًا حَكِيمًا
“Dan
kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Insan [76]: 30).
Paparan data dan fakta tentang keyakinan Syiah terhadap 6 rukun
iman—yang telah disampaikan pada beberapa edisi yang lalu dan
sekarang—menunjukkan betapa Syiah telah menyimpang dari ajaran Islam, sehingga
tidak mudah untuk dikatakan bahwa penganut Syiah sebagai orang Islam.
By Apad Ruslan, diadaptasi dari
buku Mungkinkah
SUNNAH-SYIAH DALAM UKHUWAH? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah
Bergandengan Tangan, Mungkinkah?)
[1]Ibn Taimiyah, Minhaj as-Sunnah, juz 2 hlm. 29.
[2]Al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin, juz 1 hlm. 114-115.
[3]Ibnu Babawaih al-Qummi, Aqaid ash-Shaduq, hlm. 78.
[4]Al-Mufid, Syarh Aqa’id ash-Shaduq, hlm. 12.
[5]Ibid, hlm. 13.
[6]Al-Hurr al-Amili, al-Fushul al-Muhimmah fi Ushul
al-Aimmah, hlm. 80-81.
[7]Muhammad Shadiq
ath-Thabathaba’I, Majalis al-Muwahhidin fi Bayani
Ushul ad-Din, hlm. 21 dan al-Qazwini, Qala’id al-Kharaid, hlm. 60.
[8]Al-Kulaini, al-Kafi, juz 1 hlm. 159.
[9]Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, juz 5 hlm. 56.
[10]Al-Qummi, Tafsir Al-Qummi, juz 1 hlm. 226-227 dan
al-Majlisi,Bihar
al-Anwar, juz 5 hlm. 9.
[11]Al-Qifari, Ushul Madzhab asy-Syi’ah, juz 2 hlm. 774-785.