Sunday, April 19, 2015

Meneliti 5 Riwayat Hadits Yang Menghujat Sahabat Mu'awiyah

                                                    
عن إسحاق بن إبراهيم الحنظلي يقول : لا يصح عن النبيفي فضل معاوية بن أبى سفيان شئ.
Ishaq bin Ibrahim Al-Handzali berkata: Tidak ada satupun hadits shahih dari Nabi tentang keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Takhrij Atsar[1]

Atsar Ishaq bin Ibrahim Al-Handzali rahimahullah diriwayatkan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimas (59/106), diriwayatkan pula Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at (2/24) melalui jalan Zahir bin Thahir  dari Ahmad bin Al-Hasan Al-Baihaqi dari Abu Abdillah Al-Hakim dari Abul Abbas Muhammad bin Ya’qub bin Yusuf  Al-‘Ashom dari bapaknya dari Ishaq bin Ibrahim Al-Handzali yang lebih terkenal dengan Ishaq bin Rohuyah rahimahullah.

Atsar ini dha’if  (lemah) baik dari tinjauan sanad maupun matannya. Dalam sanad, ada rawi bernama Zahir bin Thahir Abul Qasim Asy-Syahhaami.Tentang ia Adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Sama’ (pengambilan riwayatnya) shahih, namun ia menyia-nyiakan shalatnya sehingga banyak huffadz (ahlu hadits) meninggalkan riwayat darinya.” [Mizanul I’tidal, 3/95]

Adapun matannya, sangat tampak keganjilan. Bagaimana tidak, Atsar Ishaq menyelisihi sekian banyak hadits marfu’ dari Rasulullah dan bertentangan dengan atsar-atsar shahih tentang keutamaan shahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan  radhiyallahu ‘anhu.

Ibnu Asakir mengisyaratkan penyelisihan tersebut. Beliau berkata setelah meriwayatkan atsar Ishaq: “Riwayat paling shahih tentang keutamaan Mu’awiyah  radhiyallahu ‘anhu adalah Hadits Abu Hamzah dari Ibnu Abbas  radhiyallahu ‘anhu bahwa Mu’awiyah adalah sekretaris Nabi , diriwayatkan Muslim dalam Shahihnya. Kemudian hadits Irbadh (bin Sariyah   radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah mendoakan Mu’awiyah):

اللهم علّمه الكتاب

“Ya Allah ajarkanlah Mu’awiyah Al-Kitab.”,

Juga hadits Ibnu Abi ‘Ami radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah mendoakan Mu’awiyah):

اللهم اجعله هاديا مهديّا

Ya Allah jadikanlah Muawiyah seo radhiyallahu ‘anhung yang mendapat hidayah dan terbimbing.” [Tarikh Dimasyq, 59/106]

Sebagian riwayat shahih tersebut cukup sebagai bantahan bagi mereka yang menyatakan tidak ada sama sekali riwayat mengenai keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan   radhiyallahu ‘anhu [2] 

Mempermainkan Hadits-Hadits Nabi adalah Jalan Ahli Bid’ah.

Hadits dan atsar Maudhu’ (palsu) atau Dha’if (lemah), oleh pa radhiyallahu ‘anhu pengekor hawa nafsu seringkali dijadikan alat meme radhiyallahu ‘anhungi islam, bahkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits shahih tidak ketinggalan dipelintir makna dan pemahamannya kepada makna batil, menurut hawa nafsu mereka.

Atsar Ishaq bin Rahuyah radhiyallahu ‘anhu dapat kita jadikan sebagai sebuah contoh. Kandungan riwayat Ishaq adalah vonis bahwa tidak ada satu pun hadits shahih menetapkan keutamaan Mu’awiyah  radhiyallahu ‘anhu. Jadilah atsar ini dalih untuk mendhaifkan semua riwayat tentang keutamaan beliau  radhiyallahu ‘anhu.

Syubhat ini sudah barang tentu memberikan pengaruh buruk terutama bagi mereka yang tidak mengetahui hadits-hadits nabawi, terlebih ucapan ini dinisbatkan kepada seorang pemuka ahli hadits, Ishaq bin Ibrahim bin Makhlad Al-Handzali Abu Muhammad bin Rahuyah Al-Marwazi (238 H), sahabat karib Imam Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani (241 H).

Akan tetapi Alhamdulillah, syubhat ini terbantah dengan terbuktinya kelemahan riwayat baik dari sisi matan demikian pula sanadnya.
Bahkan seandainya pun atsar ini shahih, bisa ditakwilkan kepada makna bahwa Ishak mungkin saja mengucapkannya ketika belum mengetahui riwayat-riwayat shahih tentang keutamaan Mu’awiyah  radhiyallahu ‘anhu. Takwil ini kita tetapkan karena telah terbukti banyak riwayat shahih tentang keutamaan Mu’awiyah  radhiyallahu ‘anhu, demikian pula ahlul hadits bersepakat akan kemuliaan beliau sebagai salah seorang shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

Pembaca rahimakumullah, untuk lebih melihat sepak terjang musuh-musuh Allah –seperti Syiah Rafidhah- dalam mempermainkan riwayat, kita akan telaah bersama beberapa hadits lemah yang mereka jadikan sandaran untuk mencela Muawiyah demikian pula hadits  atau atsar shahih yang mereka selewengkan maknanya demi menjatuhkan kehormatan Amirul Mukminin Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu.

Sebagian riwayat tersebut sengaja ditampilkan sebagai peringatan bagi seluruh kaum muslimin dari pemikiran pengikut hawa nafsu dan semoga menjadi bekal untuk kita tidak mempedulikan lagi bualan orang-orang yang berpenyakit karena di balik kefasihan yang mereka miliki ada racun yang demikian berbahaya bagi hati seorang mukmin. Wallahul Musta’an.

Diantara Hadits-hadits lemah berisi celaan kepada Mu’awiyah  radhiyallahu ‘anhu.

Hadits Pertama: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan shahabat membunuh Mu’awiyah bin Abi Sufyan  radhiyallahu ‘anhu.

Diriwayatkan dalam sebuah riwayat bahwa Rasulullah bersabda:

إذا رأيتم معاوية على منبري فاقتلوه

“Apabila kalian melihat Mu’awiyah di atas mimbarku, bunuhlah ia.”

Syiah Rafidhah dan musuh-musuh Allah yang bersama mereka menampakkan hadits ini untuk memuaskan kedengkian mereka kepada Mu’awiyah bin abi Sufyan  radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dijadikan salah satu dalil untuk mengkafirkan Mu’awiyah  radhiyallahu ‘anhu.

Sebagai jawaban kita katakan:  “Wahai rafidhah, kalian adalah kaum yang telah tersesat dari jalan kebenaran, buku-buku kalian dipenuhi dengan celaan kepada islam, shahabat, bahkan istri-istri Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam dan ahlul bait, sehingga kami tidak percaya dengan ucapan yang muncul dari mulut-mulut kotor kalian. Termasuk hadits yang kalian bawakan ini.

Wahai Rafidhah, bagaimana mungkin kita menerima celaan kalian atas Mu’awiyah  radhiyallahu ‘anhu sementara salaful ummah, para ulama Ahlul hadits dan kaum muslimin telah bersepakat akan keutamaan Mu’awiyah  radhiyallahu ‘anhu. bahkan tidak ada satu pun ulama ahlus sunnah mencela beliau apalagi berkeyakinan halalnya pembunuhan atas beliau?

Terkait dengan hadits yang kalian bawakan, ketahuilah bahwa hadits ini Maudhu’ (palsu), seluruh jalan-jalan periwayatannya batil.
As-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menyebutkan jalan-jalan hadits ini dalam Silsilah Adh-Dha’ifah dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri, Abdullah bin Mas’ud, Sahl bin Hanif dan Al-Hasan Al-Bashri secara mursal.[3]

Seluruh ulama hadits mendustakannya. Di antara mereka adalah Ayyub As-Sikhtiyani sebagaimana disebutkan Ibnu ‘Ady dalam Al-Kamil Fi Dhu’afa` Ar-Rijal (5/101), Imam Ahmad bin Hanbal dalam Al-‘Ilal hal. 138, Abu Zur’ah Ar-Razi  sebagaimana dinukil dalam Adh-Dhu’afa`2/427), Al-Bukhari dalam Tarikh Al-Ausath (1/256), Ibnu Hibban Al-Busty dalam Al-Majruhin(1/157, 250) dan (2/172), Ibnu ‘Ady dalam Al-Kamil (2/146, 209, 5/101, 200, 314 dan 7/83), Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyk (59/155-158), Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at (2/24) demikian pula Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan dan Ibnu Katsir rahimahumullah.

Al-Bukhari berkata setelah menyebutkan illat (cacat) hadits ini dari jalan yang paling masyhurnya:

«.. ليس لها أصول، ولا يثبت عن النبي خبرٌ على هذا النحو في أحدٍ من أصحاب النبي r، إنما يقولُه أهلُ الضَّعف».

“Hadits ini tidak ada asalnya, dan tidak ada satu kabarpun yang semisal ini (berisi perintah membunuh atau celaan) dari Nabi kepada seorang sahabatpun, hanyalah orang-orang lemah yang berbicara seperti itu.” (Tarikh Al-Ausath (1/256)

Berkata Al-Jauzaqani: “Hadits ini maudhu’ (palsu), Bathil, tidak ada asalnya dalam hadits-hadits (Rasulullah), dan tidak lain hadits ini hasil perbuatan ahli bid’ah para pemalsu hadits, semoga Allah hinakan mereka di dunia dan akhirat, dan barangsiapa meyakini (kandungan) hadits palsu ini dan yang semisalnya atau terbetik dalam hatinya bahwa hadits-hadits ini keluar dari lisan Rasulullah sungguh ia adalah seorang zindiq…” [Al-Abathil Wal Manakir, 1/200]

Tindak-tanduk pengikut hawa nafsu memang sangat membingungkan, menunjukkan kerusakan akal dan hatinya. Mereka berhujjah dengan hadits maudhu’ (palsu) di atas, sementara itu mereka menutup mata akan hadits-hadits shahih tentang keutamaan Mu’awiyah bin Abi Sufyan  radhiyallahu ‘anhu.

Pujian dan doa Rasulullah untuk shahabat Mu’awiyah disembunyikan, kedudukan Mu’awiyah sebagai saudara ipar Rasulullah juga mereka lupakan, seolah-olah tidak ada berita itu, justru berita-berita palsu ditampakkan dan disebarkan. Inikah sikap keadilan? 

Hadits palsu ini, kalau dicermati lebih dalam, justru mengandung celaan kepada seluruh sahabat bahkan ahlul bait semisal Al-Hasan bin ‘Ali  radhiyallahu ‘anhu. Sebuah kejadian tarikh yang masyhur dilalaikan para pencela Mu’awiyah  radhiyallahu ‘anhu, yaitu ‘Amul Jama’ah (Tahun Persatuan) ketika Al-Hasan bin Ali  radhiyallahu ‘anhu menyerahkan kekhilafahan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan  radhiyallahu ‘anhu dan berbaiat kepada beliau  tahun 41 H, dalam keadaan Al-Hasan memiliki pasukan besar dan mampu mengobarkan pertempuran hebat.

Wahai Rafidhah, mengapa Al-Hasan bin Ali  radhiyallahu ‘anhu tidak membunuh Mu’awiyah bin Abi Sufyan  radhiyallahu ‘anhu melaksanakan perintah dan wasiat kakeknya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam – kalau hadits ini memang benar-?.[4]

Terakhir, wahai rafidhah, ketahuilah hadits maudhu’ ini diriwayatkan pula dengan lafadz:

إذا رأيتم معاوية على منبري فاقبلوه

Jika kalian melihat Mu’awiyah di atas mimbarku, terimalah ia.
Kenapa kalian tidak mengambil riwayat yang kedua ini, sebagaimana kalian memakai riwayat pertama yang juga berita dusta? As-Suyuthy berkata dalam Al-Laali` Al-Mashnuu’ah (1/389): “Sesungguhnya riwayat kedua ini lebih masuk akal daripada riwayat pertama.”

Hadits Kedua: Mu’awiyah  radhiyallahu ‘anhu. difitnah sebagai ahli maksiat, memakai baju sutera dan menghamparkan kulit harimau sebagai tempat duduk.

Tuduhan keji ini dilandasi sebuah riwayat panjang, dikeluarkan Al-Imam Abu Dawud dalam As-Sunan Bab Julud An-Numur wa As-Siba’ (Kulit-kulit harimau dan hewan buas) (11/176) no. 3602). Dalam hadits itu dikatakan:

…. قَالَ يَا مُعَاوِيَةُ إِنَّ أَنَا صَدَقْتُ فَصَدِّقْنِي وَإِنْ أَنَا كَذَبْتُ فَكَذِّبْنِي قَالَ أَفْعَلُ قَالَ فَأَنْشُدُكَ بِاللَّهِ هَلْ تَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لُبْسِ الذَّهَبِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَنْشُدُكَ بِاللَّهِ هَلْ تَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لُبْسِ الْحَرِيرِ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَنْشُدُكَ بِاللَّهِ هَلْ تَعْلَمُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ لُبْسِ جُلُودِ السِّبَاعِ وَالرُّكُوبِ عَلَيْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَوَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ هَذَا كُلَّهُ فِي بَيْتِكَ يَا مُعَاوِيَةُ فَقَالَ مُعَاوِيَةُ قَدْ عَلِمْتُ أَنِّي لَنْ أَنْجُوَ مِنْكَ يَا مِقْدَامُ

“…. Berkata Miqdad  radhiyallahu ‘anhu: “Wahai Mu’awiyah, jika aku benar katakan benar, namun jika aku salah katakanlah salah.” Kata Mu’awiyah: “Baiklah.”  Kata Miqdad: “Dengan nama Allah, tahukah engkau bahwa Rasulullah telah melarang untuk memakai emas (yakni bagi kaum lelaki-pen)? Mu’awiyah berkata: Benar. Kata Miqdad: “Dengan nama Allah, tahukah engkau bahwa Rasulullah telah melarang untuk memakai sutera? Mu’awiyah berkata: Benar. Kata Miqdad: “Dengan nama Allah, tahukah engkau bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang memakai kulit hewan buas dan mendudukinya? Mu’awiyah berkata: Benar. Lalu berkata Miqdad: “Demi Allah sungguh aku menyaksikan semua itu ada di rumahmu Wahai Mu’awiyah.” Maka berkatalah Mu’awiyah: “Sungguh aku tahu, aku tidak akan selamat darimu wahai Miqdam.!”

Kisah ini dha’if (lemah), dalam sandanya ada Baqiyyah bin Al-Walid dia seorang mudallis, dan dia melakukan Tadlis Taswiyah[5] sementara ia meriwayatkan hadits dengan ‘An’anah dari gurunya.[6]

Seandainya pun hadits ini shahih, wajib bagi kita berhusnudzon kepada seluruh shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena mereka kaum yang telah diridhoi Allah ta’ala. Demikianlah adab yang dicontohkan salaf. Tidak ada seorang ulama ahlus sunnah memahami hadits Abu Dawud di atas untuk mencela Mu’awiyah  radhiyallahu ‘anhu.

Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafidzahullah ketita mensyarah perkataan Al-Miqdad bin Al-Aswad:

فَوَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ هَذَا كُلَّهُ فِي بَيْتِكَ يَا مُعَاوِيَةُ

“Demi Allah sungguh aku menyaksikan semua itu ada di rumahmu Wahai Mu’awiyah.”

Maksud Miqdam  radhiyallahu ‘anhu, beliau melihat kemungkaran pada sebagian saudara atau keluarga Mu’awiyah. Dan perkara yang diketahui bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan  radhiyallahu ‘anhu tidak setuju hal itu, tidak pula meridhoinya. (Adapun masih adanya kemungkaran pada sebagian keluarga beliau) mungkin saja beliau tidak mengetahui kemungkaran tersebut atau beliau mengetahuinya dan telah melarangnya. Dalam memahami berita seperti ini tentang shahabat, wajib kita bawa kepada makna yang baik sebagai bentuk husnudzon kepada mereka. (Syarah Sunan Abu Dawud Syaikh Abdul Muhsin)

Diantara Hadits dan Atsar Shahih Yang Diselewengkan Maknanya.

Hadits Ketiga: Mu’awiyah  radhiyallahu ‘anhu. dituduh Mencela Ali bin Abi Thalib  radhiyallahu ‘anhu dan memerintahkan rakyatnya mencela Ali  radhiyallahu ‘anhu.

Tuduhan keji terhadap Mu’awiyah ini mereka dasari dengan sebuah riwayat shahih yang mereka pelintir maknanya kepada hawa nafsu mereka.

عن عامر بن سعد بن أبي وقاص قال أمر معاوية سعدا فقال ما منعك أن تسب أبا تراب قال أما ما ذكرت ثلاثا قالهن رسول الله ( فلن أسبه لأن تكون لي واحدة منهن أحب إلي من حمر النعم سمعت رسول الله ( يقول له وقد وخلفه في بعض مغازيه فقال له علي يا رسول الله تخلفني مع النساء والصبيان فقال له رسول الله ( أما ترضى أن تكون مني بمنزلة هرون من موسى إلا أنه لا نبوة بعدي وسمعته يقول في يوم خيبر لأعطين الراية رجلا يحب الله ورسوله ويحبه الله ورسوله».

Dari ‘Amir bin Sa’d bin Abi Waqqash berkata: Mu’awiyah memanggil Sa’d lalu bertanya: “Apa yang menghalangimu mencela Abu Turob ?[7] Sa’d menjawab: Adapun jawaban pertanyaanmu, Ada tiga perkara yang semuanya diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sehingga aku tidak mencelanya (yakni Ali Ra) … Aku mendengar Rasulullah bersabda kepada Ali –ketika beliau tugaskan Ali tinggal di madinah pada sebagian peperangan, dan saat itu Ali berkata: Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apakah engkau tinggalkan aku beserta kaum wanita dan anak-anak kecil (dan aku tidak bisa ikut berperang)? Lalu Beliau bersabda: “Tidakkah engkau ridha wahai Ali, kedudukanmu disisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa? hanya saja (engkau bukan nabi) tidak ada kenabian sesudahku. Dan aku mendengar Beliau bersabda saat perang Khaibar: “Sungguh esok aku akan berikan panji peperangan kepada seorang yang mencintai Allah dan rasulnya dan ia dicintai Allah dan Rasulnya.

Hadits ini tidak diragukan keshahihannya, dikeluarkan Imam Muslim dalam As-Shahih no. 2404. Musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya melihat ada celah dalam hadits ini untuk dibawa kepada makna batil. Sisi tersebut adalah pertanyaan Mu’awiyah kepada Sa’d bin Abi Waqqash:

ما منعك أن تسب أبا تراب

“(Wahai Sa’d) Apa yang menghalangimu mencela Abu Turob (julukan Ali bin Abi Thalib)?

Segera Syiah Rafidhah mengambil kesimpulan keji dari pertanyaan itu bahwa Mu’awiyah membenci Ali bin Abi Thalib dan mengajak manusia membenci dan mencela Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Tidak ada seorang ulama ahlus sunnah pun memahami riwayat ini sebagai celaan atas Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu Coba kalian sebut wahai rafidhy, siapakah ulama yang memaknai hadits ini dengan celaan kepada Mu’awiyah!

Bahkan sebaliknya, riwayat ini justru sanjungan atas Mu’awiyah dan juga Daulah Umawiyah, karena ada tuduhan dari kalangan Rafidhah bahwasannya bani Umayyah telah berbuat makar yaitu: menyembunyikan dan melarang disampaikannya hadits-hadits nabi tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu

Hadits Muslim di atas justru sebaliknya, dalam kisah di atas tampak bagaimana Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhumenetapkan keutamaan Ali bin Abi Thalib yang disampaikan Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu Dan hadits ini sampai kepada kita setelah melalui zaman yang cukup panjang termasuk zaman bani Umayyah.

Akan tetapi rafidhah dan pengikut mereka sebagaimana biasanya menyimpang dari jalan salaf (Shahabat, tabi’in dan atbaut tabiin) dan memilih jalan kesesatan. Mereka memalingkan maknanya kepada pemahaman yang sama sekali tidak pernah terbersit dalam benak ulama salaf.

Pembaca, mari kita simak keterangan salah seorang ulama Syafi’iyyah, Imam An-Nawawi rahimahullah. Beliau berkata: “Tidak ada (dalam perkataan Mu’awiyah) perintah kepada Sa’d untuk mencela Ali, tetapi yang ada hanyalah pertanyaan kepada Sa’d tentang sebab yang menghalanginya dari mencela Ali. (Makna pertanyaan Mu’awiyah): “Wahai Sa’d, Engkau menjauhkan diri dari mencela Ali apakah (kau tinggalkan itu) karena wara’ (yakni karena Allah) atau karena takut (manusia)? Jika Engkau meninggalkannya karena wara’ maka engkau benar dan telah berbuat baik, namun jika engkau meninggalkan karena takut (manusia) maka masalahnya lain.”

Sepertinya Mu’awiyah mengungkapkan pertanyan ini karena Sa’d (di zaman itu) berada di tengah-tengah kaum yang mencela Ali bin Abi Thalib (khawarij) namun tidak mengikuti mereka … maka Mu’awiyah mengajukan pertanyaan ini. (Syarh Shahih Muslim 15/175-176 atau 184-185)

Hadits Keempat: Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu dituduh Memerintahkan pengikutnya memakan harta dengan cara yang batil dan memerintahkan mereka untuk bunuh diri.

Sekali lagi, ini diantara fitnah keji ditujukan kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu Penulis wahyu Allah, kepercayaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Dalam upaya menegakkan syubhat ini mereka ketengahkan sebuar atsar shahih, seorang berkata kepada Abdullah bin ‘Amr bin Al-Ash:

إن ابن عمك معاوية يأمرنا أن نأكل أموالنا بيننا بالباطل ونقتل أنفسنا فسكت عبد الله بن عمرو ساعة ثم قال: أطِعه في طاعة الله واعصه في معصية الله

Sesungguhnya anak pamanmu, Mu’awiyah, menyuruh kami untuk memakan (merampas) harta-harta sebagian kita dengan batil, dan memerintahkan kita untuk membunuh diri-diri kita. Abdullah bin ‘Amr terdiam sejenak (atas pertanyaan itu) lalu beliau  berkata: Taatilah Mu’awiyah dalam ketaatan kepada Allah dan ingkarilah dalam kemaksiatan kepada Allah.”

Atsar ini shahih, Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya kitab Imarah bab (وجوب الوفاء ببيعة الخليفة الأول فالأول )  no. 1844.

Sebagai jawaban atas syubhat ini, kita cukupkan keterangan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (12/476) berkata:

“Sang penanya, ketika mendengar Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhumenyebutkan hadits tentang haramnya memberontak khalifah pertama, adapun yang kedua dibunuh (karena menentang penguasa pertama), muncul dalam benak penanya bahwa sifat ini ada pada Mu’awiyah karena Ali telah dibaiat sebagai khalifah. Maka sang penanya menyangka bahwa nafkah yang dikeluarkan Mu’awiyah untuk para prajuritnya dan pengikutnya dalam peperangan berhadapan dengan Ali radhiyallahu ‘anhu(dahulu dalam perang Shiffin-pen) termasuk memakan harta dengan batil dan termasuk bunuh diri karena peperangan itu (shiffin) adalah perang yang tidak haq…”

Telah lalu dalam pembahasan perang Shiffin, bahwa perang tersebut adalah perang fitnah. Terjadi karena perbedaan ijtihad dua shahabat mulia dalam masalah penegakan qishahsh atas para pembunuh Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu Mereka berdua berhak mendapatkan pahala mujtahid, bukan celaan sebagaimana dilontarkan kaum Rafidhah yang telah buta mata hati mereka. Wal ‘iyadhu billah.

Hadits Kelima: Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu didoakan kejelekan Oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كُنْتُ أَلْعَبُ مَعَ الصِّبْيَانِ فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَوَارَيْتُ خَلْفَ بَابٍ قَالَ فَجَاءَ فَحَطَأَنِي حَطْأَةً وَقَالَ اذْهَبْ وَادْعُ لِي مُعَاوِيَةَ قَالَ فَجِئْتُ فَقُلْتُ هُوَ يَأْكُلُ قَالَ ثُمَّ قَالَ لِيَ اذْهَبْ فَادْعُ لِي مُعَاوِيَةَ قَالَ فَجِئْتُ فَقُلْتُ هُوَ يَأْكُلُ فَقَالَ (( لَا أَشْبَعَ اللَّهُ بَطْنَهُ )) قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى قُلْتُ لِأُمَيَّةَ مَا حَطَأَنِي قَالَ قَفَدَنِي قَفْدَةً

Dari Ibnu Abbas  berkata: Saat aku bermain bersama anak-anak kecil, datang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, aku pun bersembunyi di balik pintu, maka beliau pegang aku seraya berkata: “Pergilah kau panggil Muawiyah kepadaku.” (Aku pergi) lalu aku datang dan kukatakan: Ia sedang makan. Rasulpun bersabda: “Allah tidak akan mengenyangkan perutnya.”

 لَا أَشْبَعَ اللَّهُ بَطْنَهُ

Hadits ini shahih, diriwayatkan Muslim no. 4713. Imam Muslim memahami sebagaimana difahami ulama salaf, ahlul hadits, bahwa Mu’awiyah bukan orang yang pantas mendapatkan doa kejelekan –terlebih telah kita dengar hadits-hadits berisi pujian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Mu’awiyah- sehingga Imam Muslim memasukkan hadits ini termasuk dari keutamaan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu

Sepintas hadits ini memang doa kejelekan untuk Mu’awiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu ‘anhu Namun sebaliknya salafus shaleh justru memahaminya sebagai keutamaan sahabat yang mulia ini.

Oleh karenanya Muslim mengeluarkan hadits ini untuk menetapkan keutamaan shahabat Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu Beliau sebutkan hadits ini dalam bab: “Orang yang dilaknat atau dicerca atau didoakan kejelekan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan ia bukan orang yang pantas mendapatkannya maka doa itu menjadi kesucian, pahala dan rahmah Allah.”

Hal ini berdasarkan sabda beliau dalam Shahih Muslim:

إنما أنا بشرٌ أرضى كما يرضى البشر؛ وأغضبُ كما يغضب البشر، فأيما أحد دعوتُ عليه من أمتي بدعوة ليس لها بأهلٍ أن تجعلَها له طهورا وزكاة وقُربة تُقربه بها منه يوم القيامة”.

“Sungguh aku hanya seorang manusia, ridho sebagaimana manusia juga ridho, dan aku marah sebagaimana manusia juga marah. Maka siapa pun dari umatku yang aku doakan kejelekan, dengan doa yang ia tidak pantas mendapatkannya jadikanlah doaku itu kebersihan, kesucian dan kebaikan yang mendekatkannya kepada Allah  di Hari Kiamat.”

An-Nawawi rahimahullah berkata dalam syarah hadits ini:[8] Apa yang terucap dari Ar-Rasul berupa celaan atau doa semisal ini tidak beliau maksudkan, akan tetapi hal tersebut perkara yang biasa terucap dalam adat orang arab berupa ucapan tanpa niat., seperti ucapan: (تَرِبَت يمينُك) “Celaka tangan mu.”… dan hadits Mu’awiyah (لا أشبع الله بطنه) “Allah tidak akan kenyangkan perutnya.” dan semisalnya. 

Mereka orang Arab tidak memaksudkan sedikitpun hakekat (makna yang terkandung) dari kalimat tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (sebagai manusia biasa) pun khawatir seandainya (muncul dari beliau ucapan yang tidak beliau niatkan)  kemudian doa tersebut dikabulkan, maka beliau meminta Rabbnya dan mengharap kepada-Nya agar ucapan tersebut dijadikan sebagai rahmat, kafarah, kebaikan, kesucian dan pahala (bagi orang yang mendapatkan perkataan tanpa maksud tersebut). Ucapan seperti itu hanya terjadi sesekali dan sangat jarang, dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bukan seorang yang kasar, perkataannya kotor, suka melaknat atau membalas dendam untuk membela diri beliau.”[9]

Ibnu Katsir berkata: “Sungguh Mu’awiyah sangat mengambil manfaat dari doa ini di dunia dan juga di akhirat. Adapun di dunia, semenjak beliau menjadi gubernur di Syam beliau makan sehari tujuh kali, dihidangkan dihadapan beliau qash’ah (nampan besar) berisi daging yang banyak dan bawang beliau makan dari nampan tersebut, dalam sehari beliau makan tujuh kali dengan daging demikian pula kue-kue dan buah-buahan yang banyak (dan beliau tidak kekenyangan) bahkan beliau berkata: “Demi Allah aku tidak kenyang, namun aku berhenti karena letih.” Dan ini hakekatnya adalah nikmat yang didambakan banyak para raja. (Al-Bidayah wan Nihayah)

Adapun kebaikan di akherat tampak dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

فأيما أحد دعوتُ عليه من أمتي بدعوة ليس لها بأهلٍ أن تجعلَها له طهورا وزكاة وقُربة تُقربه بها منه يوم القيامة

Maka siapa pun dari umatku yang aku doakan kejelekan, dengan doa yang ia tidak pantas mendapatkannya jadikanlah doaku itu kebersihan dan kesucian dan kebaikan yang mendekatkannya kepada Allah di Hari Kiamat.”

Penutup

Diantara kaum yang paling getol melakukan berbagai macam kebusukan adalah syiah rafidhah bersama dengan barisan musuh-musuh islam. Tarikh membuktikan andil mereka yang sangat besar dalam membuat kerusakan di muka bumi dan bagaimana mereka terus berupaya mengusik kemurnian islam dengan kesyirikan dan kebid’ahan.

Fakta ini tidak bisa ditutupi atau dipungkiri, lisan-lisan mereka mengucapkan, buku dan tulisan menjadi saksi kedengkian mereka kepada sahabat, istri-istri  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Permusuhan mereka dengan Islam secara umum sangat tampak terlebih khusus permusuhan dengan ahlus sunnah. Hadits-hadits palsu dan lemah, demikian pula tafsiran-tafsiran ngawur terhadap hadits-hadits shahih yang telah bersama kita kaji adalah diantara hadits yang dipakai kaum rafidhah untuk mencela sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu

Permusuhan rafidhah terus berlangsung sejak agama rafidhah dibangun Abdullah bin Saba’ Al-Yahudi hingga saat ini hingga masa yang Allah kehendaki. Kalau bukan ruang yang membatasi, ingin sesungguhnya kita nukilkan ucapan-ucapan kotor salah seorang pembesar Rafidhah yaitu Komaeni, mulutnya banyak dipenuhi caci maki celaan dan cercaan kepada shahabat, istri-istri Rasul bahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ucapan-ucapan kufurnya tertulis dalam buku-buku syi’ah yang tidak mungkin mereka pungkiri.

Semoga Allah selamatkan hati-hati kita dari kedengkian kepada islam dan kaum muslimin, terkhusus generasi terbaik, shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, semoga Allah selamatkan kita dari fitnah-fitnah yang datang seperti potongan malam yang gelap gulita. Amin.


sumber: http://salafartikel.wordpress.com/2012/01/20/benarkah-hadits-menghujat-muawiyah/


[1] Atsar adalah ucapan yang disandarkan kepada shahabat Nabi atau generasi setelahnya. Adapun hadits adalah apa yang disandarkan kepada Rasulullah baik berupa ucapan, perbuatan, taqrir (persetujuan) atau sifat.
[2] Beberapa riwayat Marfu’ dan Atsar tentang keutamaan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhubisa dilihat kembali pada kajian utama Edisi ini berjudul “Keutamaan Mu’awiyah kesepakatan Ahlus sunnah sepanjang Zaman.”
[3] Lihat Juz 10/605-611 hadits no.4930
[4] Berhujjah dengan hadits “Bunuhlah Mu’awiyah.” artinya mencela semua shahabat Nabi yang melihat Mu’awiyah, termasuk yang dicela adalah ahlul bait masuk di antaranya Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhudan Al-Hasan bin Ali, karena tidak ada satupun dari mereka melaksanakan perintah Rasulullahmembunuh Mu’awiyah, bahkan sebaliknya mereka berbaiat dan mengiringi Mu’awiyah berjihad dalam futuhat (pembukaan wilayah baru islam).
[5] Tadlis Taswiyah adalah jenis tadlis yang paling berat. Karena orang yang melakukan Tadlis Taswiyah menggugurkan rawi dha’if di antara dua orang Tsiqah yang salah seorang diantara keduanya mendengar dari yang lain.
[6] Hadits ini dikeluarkan pula Imam Ahmad dalam Al-Musnad (4/132). dalam riwayat Ahmad, Baqiyyah terang-terangan mendengar hadits dari gurunya Bahir bin Sa’d, namun tidak cukup untuk menguatkan bagian yang terkait dengan kisah Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu
[7] Abu Turob adalah julukan sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu
[8] Lihat juga Al-Bidayah Wan-Nihayah Ibnu Katsir (11/402) dan Adz-Dzahabi dalam As-Siyar (3/124) dan ( 14/130)
[9]Makna yang benar tentang hadits disebutkan pula Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (1/164-167) hadits no 82, 83 dan 84.