Oleh: Badrul Tamam
Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada baginda Rasulillah Shallallahu
'Alaihi Wasallam, keluarga
dan para sahabatnya.
Suatu kabar berita mengandung dua kemungkinan, benar atau dusta.
Benar jika dipaparkan sesuai fakta yang sebenarnya. Dan dusta jika tidak
didasarkan pada fakta yang terjadi, baik adanya penambahan ataupun pengurangan.
Apalagi kalau berita itu disampaikan oleh orang yang tidak memiliki pondasi
iman yang mapan, tak dikenal akan keshalihan dan ketakwaannya. Sehingga ia tak
takut akan hari akhirat, di mana dibuka semua yang disembunyikan dan
ditampakkan semua yang ditutup-tutupi, dan setiap orang akan
mempertanggungjawabkannya. Maka melakukan seleksi, ferivikasi, cek dan ricek
menjadi sangat penting. Apalagi kalau berita yang ditayangkan secara masal
untuk membentuk satu opini atau menggiring isu yang diinginkan, jauh lebih kita
berhati-hati meyakini kebenarannya.
Allah Ta'ala memberikan tuntunan kepada hamba-hamba-Nya yang
beriman agar tidak lantas percaya pada suatu berita,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ
تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
"Wahai
orang-orang yang Beriman, apabila datang seorang fasiq dengan membawa suatu
informasi maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan musibah
kepada suatu kaum karena suatu kebodohan, sehingga kalian menyesali perbuatan
yang telah kalian lakukan." (QS. Al-Hujurat: 6)
Ayat ini mengajarkan kepada kaum muslimin agar berhati-hati dalam
menerima berita dan informasi. Karena benar dan tidaknya informasi akan
menentukan penilaiannya kepada sesuatu dan cara menyikapinya. Jika informasi
akurat sehingga membuahkan pengatahuan yang memadahi, maka akan memunculkan
penalian yang benar dan sikap yang tepat. Sebaliknya, jika informasi itu tidak
akurat akan mengakibatkan munculnya penilaian dan keputusan yang salah. Dan
giliran selanjutnya, muncul kezaliman di tengah masyarakat.
Perintah memeriksa suatu berita diungkapkan dengan kalimat (
فَتَبَيَّنُوا ) yang berasal dari kata al-tabayyun. Sementara Hamzah dan
al-Kisa’i membacanya dengan ( فَتَثَبَّتُوْا ) yang berasal dari kata
al-tatsabbut. Keduanya memiliki makna yang mirip.
Asy-Syaukani di dalam Fath al-Qadir menjelaskan, tabayyun maknanya
adalah memahami dan memeriksa dengan teliti. Sedangkan tatsabbut artinya tidak
terburu-buru mengambil kesimpulan seraya melihat berita dan realitas yang ada
sehingga jelas apa yang sesungguhnya terjadi. Atau dalam bahasa lain, berita
itu harus dikonfirmasi, sehingga merasa yakin akan kebenaran informasi tersebut
untuk dijadikan sebuah fakta.
. . . benar dan
tidaknya informasi akan menentukan penilaiannya kepada sesuatu dan cara
menyikapinya . . .
Realitas Tabayyun di Tengah-tengah Umat
Tetapi sayang, tradisi ini kurang diperhatikan oleh kaum muslimin
saat ini. Pada umumnya orang begitu mudah percaya kepada berita di televisi,
koran, majalah, internet, atau media massa lainnya. Padahal media-media
tersebut tidak memperhatikan persoalan iman dan takwa. Bahkan seringnya ikut
menyebarkan kemaksiatan dan pemikiran yang jauh dari nialai islam. Lebih para
lagi, ada sebagian kaum muslimin yang apriori terhadap pemberitaan yang dimunculkan
oleh sesamea muslim yang komitmen terhadap dakwah dan perjuangan Islam, namun
mudah percaya kepada berita yang bersumber dari orang kafir, padahal kekufuran
itu adalah puncak kefasikan. Sehingga dalam pandangan ahlul hadits, orang kafir
sama sekali tidak bisa dipercaya periwayatannya.
Sebagai misal, ketika mereka menuduh seseorang atau kelompok
sebagai teroris, maka serta merta semua orang seperti koor mengikuti berita itu
secara taken of granted.
Akibat dari informasi tersebut, sebagian umat Islam menjadi terpojok dan
terkucil, dan bisa jadi terzalimi. Sementara orang-orang kafir mendapatkan
dukungan sehingga berada di atas angin. Dalam persoalan seperti ini seharusnya
orang Islam berhati-hati, jika tidak mengetahui informasi secara persis maka harus
bersikap tawaqquf (diam) Jangan mudah memberikan respon, pendapat, analisa atau
sikap terhadap orang lain jika informasi yang diperolehnya belum valid. Sebab
jika tidak, ia akan terjerumus pada sikap mengikuti isu, dan akhirnya
menetapkan sebuah keputusan tanpa fakta. Padahal Allah telah berfirman;
وَلَا
تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ
كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
"Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungjawaban." (QS. Al-Isra’: 36)
Maka kami berpesan kepada umat Islam agar selektif dan hati-hati
dalam menerima berita. Karena berita diolah oleh manusia, sedangkan manusia tempatnya
salah dan khilaf, maka kemungkinan salah masih ada. Apalagi mereka juga punya
nafsu dan kepentingan, bisa saja berita diangkat untuk menggiring opini
masyarakat guna kepentingan tertentu. Dan pastinya manusia akan bekerja sesuai
pemikiran dan ideologinya begitu juga para pewarta. Atau bisa juga berita
dibuat karena adanya pesanan atau desakan. Sedangkan kita yang mencerna suatu
berita dan menyimpulkannya, lalu diikuti dengan penilaian dan sikap akan tetap
diminta pertangungjawabannya di hadapan Allah Ta'ala. Jangan sampai kesimpulan
kita malah ikut arus orang-orang kafir dan munafik untuk memadamkan cahaya
Islam, dan mendukung mereka yang terus bekerja untuk menyudutkan dan memerangi
dakwah Islam dan perjuangan menegakkan syariatnya.
Ya Allah tolonglah Islam dan kaum muslimin, hancurkan
musuh-musuh-Mu dan musuh dien ini. Ya Allah jauhkan kami dari bala' dan fitnah.
Tunjukkan yang benar adalah benar sehingga kami bisa mengikutinya. Dan
tunjukkan yang salah itu adalah salah sehingga kami bisa menjauhinya. Amiin