Pernah mendengar konsep syahadat ketiga Syi’ah ?
Syahadat ketiga Syi’ah adalah konsep bid’ah yang diada-adakan kaum Syi’ah yang
mengatasnamakan agama [1]. Syahadat ini adalah
tambahan lafadh selain syahadatain yang dikenal oleh umat Islam, yang berisi
tentang pengakuan keimamahan ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu. Syahadat tersebut
berbunyi :
أَشْهَدُ
أَنَّ عَلِيّاً وَلِيُّ الله
”Aku bersaksi bahwa ‘Ali adalah wali Allah”
Tulisan ini merupakan nukilan dari buku yang
berjudul Asy-Syi’ah wat-Tashhih : Ash-Shiraa’ bainasy-Syi’ah
wat-Tasyayyu’ (الشيعة والتصحيح : الصراع
بين الشيعة والتشيع) yang ditulis oleh Dr. Musa
Al-Musawi, seorang (mantan) “Syi’ah” yang ingin “memperbaiki” kondisi
kejumudan, kesesatan, dan kerusakan manhaj aqidah Syi’ah di negeri hitam tempat
ia pernah tinggal : Iran. Penulis merupakan cucu dari salah seorang seorang
tokoh besar Syi’ah : As-Sayyid Abul-Hasan Al-Musawi, yang dikatakan oleh
Muhammad Al-Husain Kasyful-Githa’ dengan perkataannya : Ansaa man qablahu wa
at’aba man-ba’dahu (“Dapat mengubur ingatan orang akan tokoh-tokoh sebelumnya
dan mengecilkan nama-nama yang datang sesudahnya”). Berikut perkataan Dr.
Musa Al-Musawi dengan beberapa catatan kaki dari saya (Abul-Jauzaa’) :
*********
Sayyid Al-Murtadla, salah seorang tokoh ulama
Syi’ah Imamiyyah pada abad ke-5 H, berkata bahwa barangsiapa mengatakan di
dalam adzan :
أَشْهَدُ
أَنَّ عَلِيّاً وَلِيُّ الله
”Aku bersaksi bahwa ‘Ali adalah wali Allah”
maka ia telah melakukan perbuatan yang diharamkan.
Dari pendapat ini jelaslah bahwa konsep syahadat
ketiga yang digunakan untuk panggilan shalat, baru masuk ke dalam Syi’ah
setelah muncul peristiwa Ghaibah Kubra. Namun kebiasaan itu
belum muncul secara resmi dalam kehidupan bermadzhab kecuali setelah Syah
Isma’il Ash-Shafawi memasukkan Iran ke dalam Syi’ah dan memerintahkan para muadzdzin
menyerukan syahadat ketiga dalam panggilan shalat lima waktu.
Begitulah kisah tentang diberinya Imam Ali [2] kedudukan yang tetap dalam memegang khilafah sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Sejak saat itu, seluruh masjid Syi’ah di dunia
mengikuti tata cara yang ditentukan oleh Syah Isma’il Ash-Shafawi sehingga
tanpa satu masjid pun menyimpang dari garis tersebut.
Sebenarnya fuqahaa kita – semoga Allah memaafkan
mereka – berbeda pendapat mengenai hal ini. Ada yang pro dan kontra untuk
memasukkan syahadat ketiga ke dalam adzan. Namun sayangnya, kelompok yang pro
tampak lebih mayoritas daripada kelompok yang kontra. Para fuqahaa yang kontra (yang melarang) bersepakat bahwa mengucapkan syahadat ketiga
itu dijatuhi hukum mati atas pelakunya [3].
Sikap kelompok minoritas fuqahaa kita ini tentu
mendapat tantangan dari kelompok mayoritas. Mereka dituduh keluar dari Tasyayyu’ [4] dan terlepas dari keterikatan dengan ‘Ali dan anak-anaknya. Mereka
disisihkan dan diboikot, tanpa sedikitpun mendapat bantuan. Dan anehnya, sikap
inilah yang diteladani oleh para pengikut yang awam dan bodoh.
Di sini tampak jelas bahwa ashabiyyah (fanatisme) buta telah menguasai sebagian fuqahaa dan orang-orang bodoh.
Mereka saling dukung dalam kejelekan.
Sebenarnya saya sudah bosan mendiskusikan persoalan
ini dengan para fuqahaa kita. Sebab, mereka selalu melontarkan jawaban klise yang sudah ada sejak berabad-abad. Tak sedikit pun
muncul hal-hal baru. Mereka mengatakan bahwa syahadat ketiga bukan merupakan
(tidak diyakini sebagai) bagian dari shalat. Oleh karena itu, tidak ada
halangan untuk memasukkan syahadat ini ke dalam adzan.
Saya telah mengatakan kepada mereka bahwa
persoalannya bukan terletak pada : Apakah syahadat ketiga itu merupakan bagian
dari shalat atau tidak, tapi lebih dari itu. Jelasnya, karena adzan merupakan
ucapan (syahadat) yang disetujui Rasul, maka jadilah ia sunnah taufiqiyyah (yaitu perbuatan shahabat yang disepakati Rasul) yang tidak boleh
dikurangi atau ditambah, sekalipun kalimat tambahan itu sesuai dengan
kenyataan, kebenaran, dan kejujuran.
Mereka juga berkata bahwa syahadat ketiga telah
menjadi bagian syi’ar bagi Syi’ah. Sebab itu, saya katakan kepada mereka bahwa
syiar Islam itu lebih penting daripada syiar Tasyayyu’. Apakah Syi’ah dan
Islam itu adalah dua hal yang berbeda sehingga Syi’ah perlu mempunyai syi’ar
khusus sebagai ciri khasnya ??
Mendapat pertanyaan seperti ini, para fuqahaa itu
hendak melemparkan tanggung jawab kepada selain mereka dengan menyatakan :
“Kami tidak dapat meminta kaum Syi’ah meninggalkan syahadat ketiga dalam adzan
karena ia telah menjadi bagian dari tabiat Syi’ah dan ia tergantung kepadanya
sebagaimana ketergantungan seorang anak dengan susu ibunya”. Sampai di sini pembicaraan kami sia-sia.
Saya telah menyatakan kepada mereka,”Seandainya
Anda semua sepakat atas satu pendapat serta Anda menerangkan hukum Allah dengan
kejelasan dan keberanian, tidak akan timbul perselisihan tentang persoalan
tersebut. Sesungguhnya kewajiban Anda adalah menjelaskan hukum Allah dan
melaksanakannya”.
Mereka (untuk mempertahankan argumentasinya) juga
menyatakan : Sesungguhnya Khalifah Umar bin Khaththab pernah menghapus kalimat حَيَّ عَلَى خَيْرِ العَمَلdari seruan adzan dan
menggantinya dengan الصَّلاةُ خَيْرٌ مِن النَوْم.
Saya katakan kepada mereka : Jawaban yang bersifat
menentang tidak sedikitpun dapat menyampaikan kebenaran. Sekarang seandainya
persoalannya benar seperti yang Anda katakan, pastilah Imam Ali tidak
menguatkannya ketika beliau menjadi khalifah, dan tentulah beliau akan
memerintahkan agar mengganti kalimat tersebut dengan lainnya. Menurut logika
Anda, perbuatan Imam adalah sebagai bukti atas kebenaran atau sahnya perbuatan
tersebut. Selain itu, Anda telah sepakat secara mutlak bahwa syahadat ketiga
tidak pernah ada pada masa Rasul dan para Imam. Ia dimasukkan ke dalam adzan
pada waktu belakangan.
Adapun kalimat الصَّلاةُ خَيْرٌ
مِن النَوْمadalah persoalan yang diperselisihkan. Golongan Islam selain Syi’ah
sepakat bahwa ia telah ada di masa Rasul, sedangkan Syi’ah berpendapat bahwa ia
dibuat oleh Khalifah ‘Umar bin Khaththab.[5] Sungguh jauh bedanya antara persoalan yang telah disepakati dan tidak
diperselisihkan, dengan masalah khilafiyah yang di dalamnya terdapat banyak
perbedaan dan pertentangan pendapat.
Saran Perbaikan :
Saya (Dr. Musa Al-Musawi) tidak pernah ragu bahwa
syahadat ketiga yang sekarang menjadi bagian dari adzan shalat bagi Syi’ah
bukan lagi perbuatan yang bersifat individu, tapi telah memiliki
kharakteristik yang bersifat sentimental, sosial, dan kemadzhaban. Kebiasaan ini memang tidak mudah diubah, apalagi dasar negara (Iran)
yang sistem pemerintahannya berdasarkan madzhab, yang mengembangkan sentimen
kemadzhaban [6], dan memanfaatkan
madzhab sebagai alat untuk berkonfrontasi dengan negara-negara tetangganya yang
mayoritas dari golongan Ahlus-Sunnah; usaha perbaikan di dalam negeri Iran
tampaknya menemui kesulitan yang luar biasa, sebagaimana yang telah saya usahakan
itu.
Namun saya optimis, bahwa suatu saat pemerintahan
“Republik Islam” yang ekstrem itu akan berubah menjadi pemerintahan yang
moderat yang menjadikan persatuan kaum muslimin dan maslahat Islam sebagai
nilai dasarnya. Jika datang itu, maka segala usaha perbaikan tampaknya akan
mendapatkan tanggapan positif, termasuk persoalan syahadat ketiga.
Namun, sebelum sampai ke masa itu, dari sekarang
saya berkewajiban menghimbau kaum Syi’ah, terutama di luar Iran, agar berusaha
dengan sungguh-sungguh untuk kembali kepada adzan yang pernah berkumandang pada
masa Rasul, Imam Ali, dan para Imam Syi’ah. Kemudian, kewajiban yang harus
dipikul oleh kalangan terpelajar dan mereka yang telah sadar dari generasi muda
Syi’ah adalah mengambil peranan dalam memperbaiki madzhab yang mereka ikuti.
Sekali lagi, saya ingin mengatakan bahwa sebenarnya
saya sudah lelah mengharapkan fuqahaa kita agar berani mengatakan yang haq dan
mau berdiri bersama kita dalam arena perjuangan ini. Sebab, kenyataan yang
selama ini kita dapat, selalu bertolak belakang dengan apa yang saya harapkan.
Mereka justru adalah orang yang paling keras mendukung bid’ah ini, baik dalam
pemikiran maupun dalam pratek mereka di masjid-masjid.
Demi Allah, seandainya Imam Ali masih hidup dan
mendengar namanya disebut dalam seruan-seruan shalat yang akan dikumandangkan
dari menara-menara masjid, tentulah ia akan menjatuhkan hukuman mati terhadap
pelaku dan penyebab timbulnya perbuatan tersebut. Apakah sesungguhnya yang kita
inginkan dari melakukan perbuatan demi Ali yang ia sendiri tidak meridlainya ?
Sekali lagi, saya mengharap kepada kaum Syi’ah agar
kembali kepada adzan yang dikumandangkan oleh Bilal Al-Habsyi dari dalam masjid
Rasul dan di hadapan Rasul serta para shahabat, termasuk Imam Ali; dan
hendaklah mereka meminta kepada para muadzdzin di masjid-masjid Syi’ah
berpegang teguh dengan amaliah tersebut. Jika para muadzdzin mau berpegang
teguh dengan amaliah tersebut, maka hal itu akan membuka jalan yang lebih jauh
lagi dan adzan itu akan masuk ke rumah-rumah Syi’ah sebagaimana dahulu ia telah
masuk ke rumah ‘Ali dan Fathimah.
------selesai perkataan Dr. Musa Al-Musawi---------
Sebenarnya masih banyak lagi perkataan-perkataan
Dr. Musa Al-Musawi yang mengkritisi cara beribadah kaum Syi’ah baik dalam
masalah ‘aqidah, manhaj, maupun muamalah dalam kitabnya Asy-Syi’ah
wat-Tashhih : Ash-Shiraa’ bainasy-Syi’ah wat-Tasyayyu’ ; termasuk masalah imamah, wilayatul-faqih, kebiasaan caci-maki terhadap para shahabat, raj’ah, bada’, ziarah kubur, dan lain-lain. Semoga Allah
melindungi kaum muslimin dari makar dan tipu daya kaum Syi’ah.
Wallaahu a’lam bish-shawwab.
Ditulis ulang oleh Abu Al-Jauzaa’.
[1] Syi’ah adalah salah satu sekte yang paling
jago dan produktif dalam membuat bid’ah-bid’ah dalam agama untuk menyesatkan
kaum muslimin.
[2] Mengkhususkan pengebutan gelar ”Al-Imam”
kepada ’Ali bin Abi Thalib adalah perbuatanghulluw yang biasa dilakukan oleh kaum Syi’ah dan
sebagian habaaib (orang yang mengaku keturunan Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wasallam). Jika kita menyebut ’Ali bin Abi Thalib dengan gelar ”Al-Imam”, maka Abu
Bakar dan ’Umar bin Khaththab tentu lebih berhak daripada ’Ali radliyallaahu
’anhum. Telah menjadi salah satu prinsip ’aqidah Ahlus-Sunnah bahwa shahabat
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang paling utama adalah Abu Bakar
Ash-Shiddiq kemudian ’Umar bin Khaththab. Adapun setelah dua shahabat tersebut,
maka Ahlus-Sunnah berselisih pendapat mana yang lebih utama antara ’Utsman bin
’Affan dan ’Ali bin Abi Thalib. Yang rajih, ’Utsman bin ’Affan lebih utama,
baru kemudian setelah itu ’Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhum.
Dalam pembicaraan ini
(yaitu dalam penyebutan ”Al-Imam” bagi ’Ali bin Abi Thalib), nampaknya Dr.Musa
Al-Musawi ingin berbicara dengan orang Syi’ah sesuai dengan kebiasaan
penyebutan mereka dengan harapan apa yang beliau nasihatkan dapat diterima –
sebagaimana telah beliau tegaskan di awal kitab. Wallaahu a’lam.
[Abul-Jauzaa’].
[3] Karena memang bukan agama yang diajarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallamdan yang dilakukan para shahabatnya, termasuk ‘Ali
bin Abi Thalib sendiri [Abu Al-Jauzaa’].
[4] Tasyayyu’ pada awalnya hanya sebatas pada sikap mencintai
’Ali dan mengutamakan ’Ali dalam hal kekhalifahan (tanpa diiringi sikap
membenci para shahabat yang lain). Akan tetapi kemudian istilah tasyayyu’ ini berkembang menjadi ’aqidah dan sikap ghulluw dalam mencintai ’Ali, me-ma’shum-kannya dan
keturunannya, membenci para shahabat lain (bahkan mengkafirkannya) karena
dianggap merebut tahta kekuasaan dari ’Ali, dan yang lain sebagainya. Allahul-Musta’an [Abul-Jauzaa’].
[5] Perkataan Dr. Musa Al-Musawi ini adalah benar. Telah shahih riwayat Abu
Mahdzurah – salah satu muadzdzin Rasulullah shallallaahu ’alaihi
wasallam – secara marfu’ ketika mengajarkan lafadh adzan :
فإذا
أذنت بالأولى من الصبح فقل الصلاة خير من النوم مرتين
”Apabila engkau adzan pertama di waktu
shubuh, maka ucapkanlah : Ash-shalaatu khairum-minan-naum (Shalat itu
lebik baik daripada tidur)" [Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni no. 4 dalam Kitabush-Shalah, Bab : Fii Dzikri Adzaani
Abi Mahdzurah wakh-tilaafir-riwaayaati fiih].
عن
أنس قال من السنة إذا قال المؤذن في أذان الفجر حي على الفلاح قال الصلاة خير من
النوم الصلاة خير من النوم
Dari Anas radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Termasuk sunnah :
Apabila muadzdzin berkata dalam adzan fajar Hayya ‘alal-falaah ; adalah
mengucapkan : Ash-Shalaatu
khairum-minan-naum (2x)”
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa no. 1835; shahih. Riwayat inimauquf, namun dihukumi marfu’ karena perkataan Anas “Termasuk sunnah” (minas-sunnati)
adalah termasuk salah satu lafadh yang dihukumi marfu’ dalam ilmu hadits].
Adapun anggapan Syi’ah bahwa ‘Umar adalah
orang yang membuat bid’ah tatswib ini tidak lain adalah karena kedengkian
mereka yang amat sangat kepada beliau. Semoga Allah selalu
merahmati ‘Umar bin Khaththab dan membalas segala amalnya dengan surga. Kita
katakan kepada kaum Syi’ah : Muutuu bighaidlikum (”Matilah kalian dengan kemarahan kalian”) !! [Abul-Jauzaa’].
[6] Khususnya kepada Ahlus-Sunnah. Dan lebih khusus lagi kepada Salafiyyun
(yang lebih sering mereka sebut dengan Wahabiyyun) ! [Abul-Jauzaa’]