DR
Kamaludin Nurdin Marjuni
Apa beda syiah dan
rafidhah? Kapan muncul istilah rafidhah? Tamu situs kita, DR. Kamaluddin Nurdin
Marjuni, membahas masalah ini, lewat makalahnya yang dikirim pada kami lewat
email.
Istilah
"Rafidhah" sering kita dengar di berbagai buku, majalah dan media
massa, baik di Timur Tengah ataupun di Negara-Negara Islam, Namun sayangnya
terdapat beberapa kekeliruan dalam memahaminya, sehingga ungkapan
"Rafidhah" belum begitu dipastikan apakah gelaran tersebut untuk
seluruh sekte Syi’ah, atau hanya sekte-sekte tertentu saja dalam berbagai
aliran Syi'ah?. Untuk menjawab hal ini (hakikat pemakaian istilah
"Rafidhah"), maka penulis dalam tulisan ini akan memaparkan asal-usul
munculnya "Rafidhah".
Kalau melihat sejarah, penamaan Rafidhah ini erat kaitannya dengan gelaran yang
diberikan oleh pendiri syi’ah Zaidiyah yaitu Imam Zain bin Ali, yaitu anak dari
Imam Ali Zainal Abidin, yang bersama para pengikutnya memberontak kepada
khalifah Bani Umayyah Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H.
Salah seorang ulama Syi'ah Zaidiyah Imam Yahya bin Hamzah 'Alawi (w. 749 H)
mendefinisikan Syi’ah Zaidiyah sebagai: "Setiap golongan memiliki doktrin
yang dibawa oleh pemimpin masing-masing. Adapun istilah Zaidiyah muncul setelah
era Imam Zaid bin Ali bin al-Husain. Semenjak itulah Zaidiyah dikenal sebagai
salah satu aliran Syi’ah yang mengatasnamakan nama pemimpinnya".
Jelas dari teks diatas penamaan Syi’ah Zaidiyah dikaitkan dengan Imam Zaid bin
Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, dan Zaidiyah merupakan salah satu
kelompok Syiah terbesar selain Syi'ah Imamiyah dan Syi'ah Isma’iliyah yang
masih eksis sampai saat ini. Imam Ahmad bin Yahya al-Murtadha (w. 840 H) dalam
kitabnya yang terkenal "al-Bahru az-Zahhar" menegaskan, bahwa ada
tiga golongan besar Syi’ah, yaitu: Zaidiyah, Imamiyah dan Isma’ilyah (di kenal
dengan Syi'ah Bathiniyah).
Sumber-sumber sejarah dan kitab-kitab klasik yang membahas tentang
aliran-aliran Islam menjelaskan bahwa sebenarnya sejarah kemunculan Zaidiyah
ditandai ketika Imam Zaid melancarkan revolusi melawan pemerintahan Bani
Umayyah, yang didukung oleh lima belas ribu pasukan berasal dari penduduk Kufah
di Iraq, di mana hal serupa dilakukan sebelumnya oleh kakek Imam Zaid yaitu
imam Hussein bin Ali bin Abi Talib, dan mengalami kegagalan fatal dalam
pertempuran di kota Karbala, dengan menewaskan 61 tentara Imam Hussein bin Ali.
Namun selanjutnya Imam Zaid tidak menerima kegagalan tersebut, justru ia
bersikeras untuk meneruskan revolusi kakeknya dan terus menerus memerangi Bani
Umayyah sampai titik darah penghabisan. Maka ia dan bala tentaranya
meninggalkan kota Kufah menuju tempat kekuasaan gubernur (Yusuf bin Umar
at-Thsaqafi) yang merupakan agen kepala negara ketika itu (Hisyam bin Abdul
Malik bin Marwan) yang berkuasa dari tahun 105 sampai tahun 125 Hijriyah.
Tatkala kedua pasukan tersebut bertemu dan saling berhadap-hadapan, dan sebelum
kedua pasukan tersebut memulai peperangan, pasukan imam Zaid yang berasal dari
penduduk Kufah berkata kepada Imam Zaid: "Kami akan menyokong perjuangamu,
namun sebelumnya kami ingin tahu terlebih dahulu sikapmu terhadap Abu Bakar
Siddiq dan Umar bin Khattab di mana kedua-duanya telah menzalimi kakekmu Imam
Ali bin Abi Thalib". Imam Zaid menjawab: "bagi saya mereka berdua
adalah orang yang baik, dan saya tak pernah mendengar ucapan dari ayahku Imam
Zainal Abidin tentang perihal keduanya kecuali kebaikan. Dan kalaulah saat ini
saya berani melawan dan menantang perang Bani Umayyah, itu disebabkan karena
mereka telah membunuh kakek saya (imam Husain bin Ali). Di samping itu, mereka
telah memberanguskan kota Madinah di tengah teriknya matahari pada siang hari.
Ketika itu terjadilah peperangan sengit di pintu Tiba kota Madinah. Dan tentara
Yazid bin Mu’awiyah (w 63H) ketika itu telah menginjak-injak kehormatan kami,
dan membunuh beberapa orang sahabat. Dan mereka menghujani mesjid dengan
lemparan batu dan api".
Setelah mendengar sikap dan jawaban Imam Zaid, para tentara Kufah meninggalkan
Imam Zaid. Dan Imam Zaid berkata kepada mereka: "kalian telah menolak
saya, kalian telah menolak saya". Semenjak hari itu tentara tersebut
dikenal dengan nama (Rafidhah) . Mereka inilah yang di kemudian hari dikenal
dengan nama golongan Syi’ah Imamiyah al-Itsna ‘Asyariyah.
Peristiwa inilah yang menjadi akar sejarah penggunaan istilah (Rafidhah) bagi
golongan syi’ah Imamiyah, yang di tandai dengan penolakan dukungan perang
mereka bersama Imam Zaid untuk menghadapi gubernur Iraq ketika itu (Yusuf bin
Umar at-Tsaqafi). Sejarah ini dicatat oleh salah satu sejarawan dan ulama
Zaidiyah yang bernama Nasywan al-Himyari (w 573H). Dan dia menegaskan bahwa
Penamaan Rafidha bagi golongan syi’ah, disebabkan oleh penolakan mereka
membantu imam Zaid untuk berpeperang melawan Bani Umayyah. Yaitu, ketika mereka
menanyakan sikap Imam Zaid terhadap Abu Bakar dan Umar. Dan ternyata Imam Zaid
memberikan tanggapan yang positif terhadap kedua mantan khalifah tersebut) .
Dan kemungkinan besar catatan Nasywan inilah yang membuat salah satu tokoh
Mu’tazilah (al-Jahidz) menyimpulkan, bahwa syi’ah sebenarnya terbagi kepada dua
golongan saja, yaitu: Syi'ah Zaidiyah dan Syi'ah Rafidhah. Meskipun demikian,
dia mengakui kalau masih terdapat golongan lain, namun golongan tersebut
baginya tidak terorganisir.
Dari keterangan al-Jahidz nampak jelas bahwa istilah "Rafidhah"
menurutnya adalah dua golongan syi’ah, yaitu: Imamiyah al-Itsna ‘Asyariyah dan
Ismiliyah al-Bathiniyah.
Hemat penulis, berdasarkan keterangan diatas, sebuah kekeliruan bila memandang
perkataan atau istilah "Rafidhah" disamaratakan untuk semua golongan
syi’ah tanpa membedakan antara satu dengan yang lainnya. Seperti yang terjadi
pada salah seorang sejarawan Ahlu Sunnah yang sangat populer yang berasal dari
golongan 'Asy'ariah, yaitu Abdul Qahir al-Baghdadi dalam bukunya "al-Farq
Baina al-Firaq". Di situ disebutkan: "Golongan Rafidhah setelah
wafatnya imam Ali bin Abi Thalib terpecah kepada empat golongan, yaitu:
Zaidiyah, Imamiyah, Kaisaniyah dan Ghulat (ekstrim). Dan anehnya pandangan inipun
diikuti oleh al-Isfarayani yang menegaskan kembali bahwa:
"Golongan-golongan Rafidhah terbagi kepada tiga, yaitu: Zaidiyah, Imamiyah
dan Kaisaniyah".
Kekeliruan ini diingatkan oleh salah seorang ulama syi’ah Zaidiyah "Ahmad
bin Musa at-Thabari". Ia menegaskan bahwa: "Asumsi golongan
al-Hasywiyah (Ahlu Sunnah) terhadap syi’ah, mereka menjuluki semua golongan
syi’ah dengan satu penamaan, yaitu Rafidhah. Pandangan ini dari segi sejarah
tentunya keliru. Sebab yang dimaksud Rafidhah sebenarnya adalah Syi'ah Imamiyah
yang merupakan salah satu golongan Syi’ah. Mereka menolak untuk menyokong imam
Zaid dalam berperang melawan pasukan Umawiyyah, padahal mereka sendiri telah
membai'at imam Zaid. Bahkan pada hakikatnya, golongan imamiyah sendiri memiliki
beberapa sekte lagi, diantaranya: Syi'ah Qaramithah (Isma'iliyah). Pada
kesempatan lain ia menjelaskan bahwa: "Golongan Imamiyah adalah pengikut
imam Musa al-Kazhim bin Ja’far Shadiq (Syi'ah al-Itsna'asyariyah), dan pengikut
imam Isma’il bin Ja’far Shadiq (Syi'ah al-Isma'iliyah".
Kemudian, imam Shalih al-Maqbali ikut menegaskan juga bahwa syi’ah Zaidiyah
bukanlah bagian dari golongan Rafidhah, dan bukan pula golongan Syi’ah ekstim
(ghulat). Ia berkata: (Syi’ah Zaidiyah tidak masuk ke dalam golongan Rafidhah.
Bahkan juga tidak dapat digolongkan kepada syi’ah ekstrim, karena Syi'ah
Zaidiyah memandang baik para sahabat (yang dikafirkan oleh Imamiyah dan
Isma'iliyah), seperti: Utsman, Thalhah, Zubair, Aisyah, terlebih lagi kepada
dua sahabat Rasulullah, khalifah Abu Bakar dan dan Umar .
Terdapat juga pandangan lain dan tak dapat dipertanggung jawabkan
keilmiahannya, yaitu asumsi bahwa Zaidiyah sebenarnya bukan golongan syi’ah,
melainkan ia salah satu dari aliran pemikiran Mu’tazilah. Dengan alasan: jika
ide mengaitkan Zaidiyah dengan Syi’ah atas dasar bahwa pendiri Zaidiyah adalah
berasal dari keturunan ahlu bait, maka begitu juga halnya dengan mu'tazilah,
sesungguhnya ide pemikiran Mu’tazilah juga muncul dari ajaran ahlu bait.
Statemen ini bukan merupakan sesuatu yang aneh dan menimbulkan rasa heran,
sebab Washil bin 'Atha sebagai pendiri Mu’tazilah belajar dari Abu Hasyim
Abdullah bin Muhammad al-Hanafiyyah yang merupakan ahlu bait.
Di samping itu, Zaidiyah bukan mazhab yang ekstrim dan berlebihan, sebagaimana
ekstimnya syi’ah Imamiyah dan Isma'iliyah. Sebagai contoh yang konkrit,
kepemimpinan imam Ali dijadikan fokus utama golongan Syi’ah dan membuahkan
nilai-nilai yang ekstrim. Dan keekstriman tersebut tidak ditemukan dalam sikap
Zaidiyah terhadap imam, di mana Zaidiyah tidak menganggap imam itu ma'sum. Hal
ini disebabkan karena Zaidiyah sangat moderat dalam menilai seorang imam, dalam
arti lain tidak mengkultuskan imam. Ditambah lagi, Zaidiyah tidak mengkafirkan
para sahabat, sebagaimana syi’ah Imamiyah dan Isma’iliyah terang-terangan
mengkafirkan mereka.
Di antara ulama yang berpandangan bahwa Zaidiyah adalah salah satu aliran
pemikiran Mu’tazilah dan bukan bagian dari golongan Syi’ah adalah, DR. Muhammad
Imarah, lalu diikuti oleh Dr. Abdul Aziz al-Maqalih. Keduanya menegaskan bahwa:
"(Zaidiyah adalah salah satu aliran pemikiran dalam Mu’tazilah. Oleh
karena itu, tidaklah tepat pandangan para ulama -baik klasik ataupun
kontemporer- yang menggolongkan Zaidiyah sebagai bagian daripada syi’ah" .
Senada dengan pandangan diatas, Syekh Ali Asfur menafikan Zaidiyah sebagai
bagian dari golongan Syi’ah, dengan alasan yang sama juga bahwa Zaidiyah tidak
mengatakan imam itu ma’sum (terpelihara dari noda dan dosa) .
Hemat penulis ini merupakan asumsi yang keliru dan perlu di tinjau ulang. Sebab
semangat Syi’ah sangat jelas dalam Zaidiyah. Khususnya pada masalah Imamah
(politik), di mana mereka mensyaratkan (seperti halnya Imamiyah dan
Isma'iliyah) bahwa imam mesti berasal dari keturunan Fatimah. Dan bedanya,
kalau Imamiyah dan Isma'iliyah mensyaratkan garis keturunan dari imam Husein
saja, sedangkan Zaidiyah berpendapat dari garis keturunan keduanya, yaitu:
Hasan dan Husein, (dan hal ini juga yang membuat mereka bertengkar secara
interen).
Adapun alasan bahwa Syi'ah Zaidiyah dikenal sebagai golongan yang memiliki
pemikiran yang moderat dan tidak ekstrim dibandingkan golongan Syi’ah Imamiyah
dan Isma'iliyah. Maka alasan inipun tidak dapat diterima. Sebab, kemoderatan
dan keekstriman berpikir merupakan tabi’at tiap golongan dan aliran manapun.
Oleh karena itu, tiap-tiap golongan dapat ditemukan kecenderungan moderat dan
ekstrim, seperti halnya dalam golongan Syi'ah Zaidiyah. Di sanapun terdapat
sekumpulan ulama Zaidiyah yang berpikiran ekstrim yang dikenal dengan golongan
(Syi'ah Zaidiyah al-Jarudiyah). Rincian pandangan golongan ini dapat dibaca
dalam buku penulis tentang teori politik Syi'ah "al-Firaq as-Syi'iyyah wa
Ushuuluha as-Siyasiyah wa Mauqif Ahli Sunnah Minha" USIM, Malaysia, 2009.
Imam Shalih al-Maqbali di lain tempat menjelaskan tentang adanya unsur moderat
dan unsur ekstrim dalam tiap golongan, seperti yang terjadi dalam Syi'ah
Zaidiyah. Ia menjelaskan lebih jauh bahwa: "Sebagian dari pengikut Awam
Zaidiyah ada yang berpandangan bahwa derajat dan kedudukan seorang imam sama
saja dengan kedudukan Nabi … dan hal ini membuktikan bahwa setiap mazhab ada
saja unsur bid’ah didalamnya. Bahkan dipenuhi dengan berbagai bid’ah. Dan
terlebih lagi kalau orang tersebut hanya mengandalkan kepada akal pikirannya
sendiri. Dan yang tepenting serta merupakan realiti bahwa semua mazhab telah
berbuat demikian, walaupun dalam sebagian permasalahan saja" .
Juga
perlu ditandaskan di sini, bahwa ulama Syi’ah Imamiyah telah menegaskan
Zaidiyah sebagai salah satu golongan Syi’ah. Syekh al-Mufid (w 413H) berkata:
"Sesungguhnya syi’ah itu ada dua golongan: Imamiyah dan Zaidiyah) . Dan
Imamiyah yang dimaksudkan disini adalah: Itsna ‘Asyariah dan
Ismal’iliyah".
Pada
tempat lain, Syekh Muhammad Husein al-Kasyiful Ghita dalam penjelasannya
tentang perbedaan Syi’ah Imamiyah Itsna ‘Asyariah dibandingkan syi’ah lain, ia
menegaskan: "
keistimewaan utama yang dimiliki oleh Syi’ah Imamiyah dibandingkan dengan
seluruh golongan dan aliran keislaman yang lain, yaitu keyakinan mereka
terhadap imam dua belas. Dan atas dasar meyakini imam dua belas inilah yang
membuat penamaan golongan imamiyah dengan nama "al-Itsna ‘Asyariah".
Sebab tidak semua golongan Syi’ah meyakini dua belas imam. Oleh karena itu
dapat dikatakan bahwa penamaan Syi’ah mencakupi juga golongan Zaidiyah,
Isma’iliyah, Waqifiyah, Fathiyyah dan lain-lain" . Sebagai pelengkap,
Nasywan al-Humayri menegaskan pembagian gologan Syi’ah kepada enam sekte,
yaitu: (Saba'iyyah, Sahabiyyah, Gharabiyyah, Kamiliyyah, Zaidiyyah dan
Imamiyyah) .
Ada pandangan lain dari Al-Malithi. Ia berpandangan, bahwa Mu’tazilah itu
sebenarnya adalah bagian dari golongan Syi’ah Zaidiyah. Tentu pandangan ini tak
dapat diterima. Sebab tidak dapat dipepertanggunjawabkan keilmiahannya.
Demikianlah asal usul penamaan Rafidhah, yang merupakan gelaran atau julukan
yang diberikan oleh pendiri Syi’ah Zaidiyah yang dikategorikan sebagai salah
satu golongan terbesar Syi’ah selain Syi'ah Imamiyah Itsna’asyariah dan Syi'ah
Isma’iliyah Bathinyah.
DR Kamaludin Nurdin Marjuni
Department of Islamic Theology & Religion
ISLAMIC SCIENCE UNIVERSITY OF MALAYSIA