Definisi Fanatik
- Fanatik atau dalam bahasa arabnya disebut dengan “Ta’ashub” adalah anggapan yang diiringi sikap yang paling benar dan membelanya dengan membabi buta. Benar dan salahnya, wala’ dan bara’nya diukur dan didasarkan keperpihakan pada golongan. Fanatik ini bisa terjadi antar madzhab, kelompok, organisasi, suku atau negara. (Lihat kembali Majalah Al-Furqon hal. 13 edisi 5 Th. 11) -majalah yang dikelola Ustadz Abu Ubaidah (editor)-Adapun madzhab ialah pendapat seseorang mujtahid tentang hukum sesuatu, yaitu pendapat yang digali dari Al-Qur’an dan hadits dengan kekuatan ijtihadnya.
- Madzhab yang masyhur ada empat: Madzhab Hanafi (Abu Hanifah rahimahullah), madzhab Maliki (imam Malik rahimahullah), madzhab Syafi’i (imam Syafi’i rahimahullah), madzhab Hanbali (imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah)
- Sekalipun sebenarnya ada beberapa madzhab lainnya
seperti madzhab Dhahiriyyah, Zaidiyyah, Sufyaniyyah dan sebagainya. Semua madzhab
dapat diambil pendapatnya jika benar dan dapat pula ditinggalkan jika
salah, karena memang tidak ada yang ma’shum (terjaga dari kesalahan) kecuali
Al-Qur’an dan sunnah Nabi. (Lihat Syarh Lum’ah Al-I’tiqad hal. 166-167 oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah).
Fenomena Fanatik
Mazdhab
Fenomena fanatik madzhab sangat nyata terpampang tak terelakkan,
baik dalam lembaran kitab madzhab klasik dan kontemporer maupun dalam fakta
kehidupan. Muatannya sesak dengan saling tuding-menuding, menghujat, dan
mencela satu sama lain sehingga memantapkan kita semua bahwa klaim mereka
selama ini “semua madzhab adalah benar” hanyalah omong kosong belaka
yang tidak ada buktinya.
Sejarah menjadi saksi bahwa fanatik buta terhadap madzhab hingga
detik ini telah menelan korban yang tak sedikit jumlahnya. Berikut saya akan
turunkan beberapa ucapan para ahli fanatisme madzhab yang masing-masing
mengkalim bahwa kebenaran pada pihaknya sendiri sedangkan kebatilan pada pihak
madzhab lainnya.
- Dari mazdhab Hanafiyyah, Muhammad ‘Alauddin, seorang tokoh yang cukup
populer dalam madzhab Hanafi pernah berkata:
فَلَعْنَةُ رَبِّنَا أَعْدَادَ رَمْلٍ عَلَى مَنْ رَدَّ قَوْلَ أَبِيْ حَنِيْفَةَ
La’nat Rabb kami sejumlah
bilangan pasir
Terhadap orang yang
menolak perkataan Abu Hanifah. (Ad-Durrul Mukhtar 1/48-49).
Abul Hasan Al-Karkhiy Al-Hanafi juga mengatakan: “Setiap ayat dan hadits yang menyelisihi
penganut madzhab kami (Hanafiyyah), maka dia harus dita’wil (diselewengkan
artinya) atau mansukh (dihapus hukumnya)”. (Lihat Ma Laa Yajuzu Al-Khilaf
Bainal Muslimin hal. 95).
- Dalam madzhab Malikiyyah,
mayoritas para penganutnya mempunyai sebuah peribahasa lucu:
لَوْ لَمْ يَكُنْ مَالِكاً لَكَانَ الدِّيْنُ هَالِكًا
Seandainya bukan karena
Malik, maka agama ini akan hancur.
- Dalam madzhab Syafi’iyyah, imam Al-Juwaini As-Syafi’i rahimahullah berkata:
“Menurut kami, setiap orang berakal dan seluruh kaum muslimin, baik di
timur maupun barat, jarak dekat maupun jauh wajib mengikuti madzhab
Syafi’i. Bagi orang yang masih awam dan jahil, mereka harus mengikuti
madzhab Syafi’i dan tidak mencari pengganti lainnya”. (Lihat Mughitsul Al-Khalq hal. 15-16)
- Dalam madzhab Hanabilah, seorang
diantara mereka pernah mengungkapkan:
أَنَا حَنْبَلِيٌّ مَا حَيَيْتُ وَإِنْ أَمُتْ فَوَصِيَّتِيْ لِلنَّاسِ أَنْ يَتَحَنْبَلُوْا
Saya seorang (bermazdhab)
hanbali selama hidup dan matiku
Wasiat saya kepada
manusia agar mereka bermadzhab Hanbali. (Lihat Irwa’ul
Ghalil 1/22-23 karya
Al-Albani)
Ucapan-ucapan serupa seringkali kita jumpai dari kalangan ahli
fanatik madzhab, bahkan diantara mereka sangat keterlaluan dalam menjunjung
tinggi imamnya, memperjuangkan madzhabnya, berkoar agar manusia hanya
mengikutinya, mencoreng habis madzhab selainnya serta berusaha sekuat tenaga
menjatuhkan kedudukan lawannya.
Tragisnya, sebagian mereka mengangkat kedudukan imam madzhabnya
pada derajat yang belum pernah dijangkau oleh
seorang pun dari sahabat Nabi.
Perhatikanlah ungkapan ‘Alauddin
Al-Haskafiy Al-Hanafiy ketika
memuji imam Abu Hanifahrahimahullah:
“Kesimpulanya, imam Abu Hanifah merupakan mu’jizat Nabi yang paling besar
setelah Al-Qur’an. Cukuplah sebagai keutamaan beliau adalah tersohornya
madzhab beliau. Tidak pernah dia mengeluarkan suatu pendapat melainkan ada dari
imam kaum muslimin yang mengambilnya. Sejak zaman beliau hingga hari ini, Allah
selalu menguatkan madzhabnya bagi para penganutnya hingga Isa bin Maryam kelak
akan berhukum dengan madzhabnya…”.
(Lihat Ad-Durrul
Mukhtar 1/55-58 diringkas
dari Zawabi’ fi Wajhi Sunnah hal. 223 oleh Syaikh Sholah Maqbul
Ahmad dan Kutub Hadzara Minha
Ulama’ (1/158-167)
oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman).
Wajibkah Bermadzhab dengan salah satu empat madzhab?
Banyak kaum muslimin berkeyakinan, baik yang masih awam maupun
kyainya bahwa seorang muslim wajib mengikuti salah satu madzhab dari empat
madzhab. Sungguh ini merupakan anggapan yang salah fatal dan kejahilan yang
mendalam. (Lihat Halil Muslim
Mulzam bi Ittib’ Madzhab Mu’ayyanhal. 5 oleh Syaikh Muhammad Sulthan
Al-Ma’shumi rahimahullah).
Apa yang disindir oleh Syaikh
Al-Ma’shumi rahimahullah di atas bukan hanya omong
kosong tetapi fakta dan nyata. Banyak para penulis dan penceramah
memprogandakan wajibnya bermadzhab. Simaklah apa yang dikatakan Ahmad As-Shawi rahimahullah, salah
seorang shufi bermadzhab Maliki dan beraqidah Asya’irah (wafat th. 1241 H)
dalam Hasyiyah Al-Jalalain (3/10): “Tidak boleh taklid selain
kepada empat madzhab walaupun sesuai dengan perkataan sahabat, hadits maupun
ayat. Orang yang diluar empat madzhab adalah sesat dan menyesatkan, bahkan
dapat menjebloskannya ke lubang kekufuran, sebab mengambil tekstual Al-Qur’an dan
hadits termasuk sumber kekufuran !!!”.
Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah mengomentari ucapan ini:
“Ucapan As-Shawi di atas merupakan ucapan yang paling kotor. Seandainya
seseorang mencari ucapan yang lebih kotor darinya, mungkin dia tak menemukannya.
Hal itu mempengaruhi dirinya dalam menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan akal dan
fanatik madzhab. Kita memohon kepada Allah keselamatan”. (Ar-Radd Ala
Rifa’i wal Buthi hal.47)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Minhaj Sunnah (3/412): “Tidak ada seorangpun dari
kalangan ahli sunnah yang mengatakan: “kesepakatan imam empat adalah hujjah
yangma’shum”, “Kebenaran hanya pada imam empat saja” atau “Siapa yang
tidak mengikutinya berarti salah”. Bahkan, apabila ada seorang yang di luar penganut
madzhab empat -seperti Sufyan
Tsaurirahimahullah, Al-Auza’i rahimahullah, Laits bin Sa’ad rahimahullah dan ulama’ lainnya- suatu perkataan
yang bertentangan dengan pendapat madzhab empat, maka harus ditimbang dengan
Al-Qur’an dan sunnah. Pendapat yang sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah, itulah
yang lebih kuat”.
Dalil-Dalil Tercelanya Fanatik
Dalil Pertama:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah
orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa
azab yang pedih.
(QS. An-Nur: 63).
- Imam
Ahmad rahimahullah berkata: “Saya heran dengan suatu kaum yang telah mengenal sanad
hadits dan keabsahannya kemudian mereka berpegang dengan pendapat Sufyan (Ats-Tsauri) padahal Allah berfirman (beliau
membawakan ayat di atas) lalu berkata: Tahukah engkau apa itu fitnah?
Fitnah adalah syirik. Bisa jadi jikalau dia menolak sebagian sunnah Nabi,
maka akan bercokol dalam hatinya suatu penyimpangan hingga dia hancur binasa”.
Semoga Allah merahmati Imam
Ahmad. Kalau demikian kecaman keras beliau terhadap orang yang
menentang sunnah Nabi dengan pendapat imam
Sufyan Tsauri rahimahullah padahal beliau adalah salah
satu ulama besar, lantas bagaimana kalau seandainya beliau melihat manusia
zaman sekarang yang bukan hanya menolak sunnah dengan perkataan alim ulama,
tetapi mereka menentang sunnah dengan pendapat para tokoh agama (kyai) yang juhala’
(bodoh), rasionalis, politikus bahkan para artis dan pelawak yang miskin ilmu.
Hanya kepada Allah-lah kita mengadu semua ini.
Dalil Kedua:
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ اْلأَسْبَابُ
(Yaitu) ketika
orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya,
dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus
sama sekali.
(QS. Al-Baqarah: 166).
Syaikh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi rahimahullah berkata dalam risalahnya
“Halil Muslim Mulzam…” hal. 31: “Ketahuilah bahwa ayat ini adalah halilintar
keras bagi para para ahli taklid karena sikap membeonya mereka terhadap ucapan
dan pendapat manusia dalam masalah agama, baik mereka masih hidup atau sudah
meninggal dunia! Taklid dalam masalah aqidah dan ibadah! Masalah halal dan
haram! Karena semua masalah ini harus bersumber dari Allah dan rasul-Nya, bukan
diambil dari pendapat dan pemikiran seorang, lebih-lebih dari para tokoh
penyesat agama”.
Dalil Ketiga:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah
kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara
sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala)
amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.
(QS. Al-Hujurat: 2).
Imam Ibnu Qoyyim rahimahullah dalam I’lamul Muwaqqiin (1/60) berkomentar: “Apabila
mengeraskan suara mereka di atas suara rasul saja dapat menyebabkan gugurnya
amalan mereka, lantas bagaimana kiranya dengan mendahulukan dan mengedepankan
pendapat, akal, perasaan, politik dan pengetahuan di atas ajaran rasul?
Bukankah ini lebih layak untuk sebagai faktor penggugur amalan mereka?”
Dalil Keempat:
قَالَ النَّبِيُّ: “وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ بَدَا لَكُمْ مُوْسَى ثُمَّ اتَّبَعْتُمُوْهُ وَتَرَكْتُمُوْنِيْ لَضَلَلْتُمْ عَنْ سَوَاءِ السَّبِيْلِ وَلَوْ كَانَ حَيًّا وَأَدْرَكَ نُبُوَّتِيْ لاَتَّبَعَنِيْ”.
Rasulullah bersabda:
“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Musa hadir di tengah
kalian lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku, maka sungguh kalian telah
tersesat dari jalan yang lurus. Kiranya Musa hidup dan menjumpai kenabianku,
dia pasti mengikutiku.
(Hasan. riwayat Ad-Darimi
dalam Sunannya (441) dan Ahmad (3/471, 4/466) Lihat Al-Misykah (177) oleh Al-Albani).
Maksudnya apabila kita meninggalkan sunnah Nabi dan mengikuti
Musa, seorang nabi mulia yang pernah diajak bicara oleh Allah, maka kita akan
tersesat dari jalan yang lurus. Lantas bagaimana pendapatmu apabila kita
meninggalakan sunnah Nabi dan mengikuti para kyai, tokoh agama, ustadz,
mubaligh, cendekiawan dan sebagainya yang sangat jauh bila dibandingkan dengan
Nabi Musa?. Pikirkanlah!
(Lihat Muqaddimah Bidayatus
Suul hal. 6 oleh Syaikh Al-Albani).
Dalil Kelima:
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: “يُوْشِكُ أَنْ تَنْزِلَ عَلَيكُْم ْحِجَارَةٌ مِنَ السَّمَاءِ, أَقُوْلُ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَتَقُوْلُوْنَ: قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ وَعُمَرُ؟!”
Ibnu Abbas berkata:
“Hampir saja kalian akan dihujani batu dari langit. Aku katakan: Rasulullah
bersabda demikian lantas kalian membantahnya: Tapi Abu Bakar dan Umar berkata
demikian?!”(Shahih. Riwayat Ahmad 1/337 dan Al-Khatib dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih 1/145).
Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alu Syaikh rahimahullah berkata dalam kitabnya Taisir Aziz Al-Hamid hal. 483:
“Jikalau perkataan yang muncul dari Ibnu Abbas ini diperuntukkan pada orang yang
menentang sunnah dengan pendapat Abu
Bakar dan Umar yang telah diketahui bersama kedudukan
mereka berdua, lantas bagaimana kiranya apa yang akan beliau katakan terhadap
orang yang menetang sunnah nabi dengan dengan tokoh dan imam madzhab yang
dianutnya? Lalu menjadikan pendapat orang tersebut sebagai tolok ukur Al-Qur’an
dan sunnah, bila keduanya sesuai dengan pendapat tokohnya maka diterima dan
bila bertentangan dengan pendapat tokohnya maka ditolak atau ditakwil. Kepada
Allah kita memohon pertolongan”
(Lihat pula Al-Qaulul Mufid (2/152) oleh Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah cet. Dar Ibnu Jauzi).
Dampak Negatif Fanatik
Fanatisme memunculkan berbagai dampak negatif yang sangat
berbahaya bagi pribadi secara khusus dan masyarakat secara umum. Demi
kewaspadaan kita semua agar tidak terjerat dalam belenggunya, akan kami
paparkan beberapa dampak tersebut:
1. Memejamkan mata dari argumen yang kuat dan berpegang
dengan argumen yang rapuh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menandaskan:
“Mayoritas orang-orang fanatik mazdhab tidak mendalami Al-Qur’an
dan sunnah kecuali segelintir orang saja. Sandaran mereka hanyalah
hadits-hadits lemah, pendapat-pendapat rapuh atau hikayat-hikayat dari para
tokoh ulama’ yang bisa jadi benar dan bisa jadi bohong”. (Majmu’ Fatawa
22/254).
2. Mementahkan dalil shahih karena bertentangan dengan
madzhab.
Bahkan seringkali mereka mementahkan dalil shahih dengan uslub yang kasar. Sebagai
contoh, KH. Sirajuddin
Abbas dalam bukunya “40
Masalah Agama” Juz 1 hal. 186 -cet. Kedua puluh sembilan- tatkala mengomentari
hadits Abu Malik Al-Asyja’iy tentang bid’ahnya qunut shubuh terus-menerus
sebagaimana dilakukan mayoritas kaum muslimin di Indonesia: “Nampaknya Thariq
ini tidak dapat dipercayai omongannya dan mungkin ini bukan perkataan Thariq,
tetapi disebut-sebut oleh
orang lain dan dikatakan ucapan Tahriq!!!”.
3. Menyulut api perselisihan dan permusuhan
Persatuan dan kedamaian terasa mustahil terwujudkan bila penyakit
fanatik madzhab masih bercokol di dada kaum muslimin. Bahkan api kebencian,
percekcokan dan perpecahan bertambah menyala-nyala dalam kehidupan. Imam Dzahabi rahimahullah menceritakan dalam Mizanul I’tidal (4/51) bahwa Muhammad bin Musa
Al-Balasaghuniy rahimahullah pernah berkata: “Seandainya aku
menjadi pemimpin, niscaya aku akan mengambil pajak dari penganut madzhab
Syafi’i”.
Dalam muqaddimah buku “Halil
Muslim Mulzam bi Ittiba’ Madzhabin Mu’ayyan” oleh Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi rahimahullah diceritakan begini:
“Rombongan Jepang pernah berkeinginan masuk agama Islam. Untuk
melaporkan keperluannya, mereka pergi ke sebuah lembaga Islam di kota Tokyo.
Ternyata para pengurusnya dari berbagai madzhab. Orang India mengatakan:
“Rombongan ini wajib mengikuti madzhab Abu Hanifah karena beliau adalah pelita
umat sedangkan orang
Indonesia “Jawa” menyahut: “Madzhab Syafi’i lebih utama untuk dianut”.
Mendengar keributan para pengurus tersebut, rombongan Jepang terheran-heran dan
merasa kebingungan sehingga akhirnya mereka tidak jadi masuk Islam”.
- Nyarisnya, sumber permusuhan itu biasanya
berinduk pada masalah fiqih belaka. Imam Dzahabirahimahullah menceritakan dalam Siyar A’lam Nubala’ (17/477) bahwa Abu Abdillah Muhammad bin Fadhl Al-Farra’ pernah menjadi imam shalat
di masjid Abdullah selama enam puluh tahun lamanya, beliau bermadzhab
Syafi’i dan melakukan qunut (shubuh). Setelah itu, imam shalat diambil
alih oleh seorang yang bermadzhab Maliki, beliau tidak qunut (shubuh).
Karena hal ini menyelisihi tradisi masyarakat, akhirnya mereka bubar
meninggalkannya seraya berkomentar: “Shalatnya gak pecus!!!”.
4. Menolak kebenaran sekalipun sudah jelas hujjahnya
Imam Ibnul Jauzy rahimahullah mengatakan:
“Termasuk tipu daya Iblis terhadap para fuqaha’ yaitu tatkala
jelas kebenaran berada di tangan lawannya, dia akan tetap bersikukuh
mempertahankan pendapatnya dan merasa sesak dada untuk menerima kebenaran dari
lawannya, bahkan dia akan berusaha menggulingkan lawan padahal sudah jelas dia
yang benar. Hal seperti ini sangat nista sekali, karena fungsi dialog adalah
mencari kebenaran sebagaimana dikatakan oleh Syafi’i: “Tidak pernah saya
berdialog dengan seseorang yang menolak kebenaran kecuali dia hina di hadapanku
dan tidak pernah saya berdialog dengan seseorang yang menerima kebenaran kecuali
dia berwibawa dalam pandanganku. Tidak pernah saya berdialog dengan seseorang
kecuali saya akan mengikuti kebenaran, bila kebenaran memang bersamanya saya
akan mengikutinya dan bila kebenaran bersamaku dia mengikutiku”(Talbis Iblis
hal.120).
5. Mempermainkan dalil demi membela madzhabnya.
Contohnya banyak sekali, saya akan tampilkan satu contoh saja:
Ahmad As-Shawi rahimahullah berkata dalam Hasyiyah Jalalain (3/307-308) ketika menafsirkan surat
Fathir:
أَفَمَن زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَءَاهُ حَسَنًا
Maka apakah orang yang
dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini
pekerjaan itu baik.
(QS. Fathir: 8).
Katanya:
“Ayat ini turun kepada kelompok Khawarij yang merubah makna
Al-Qur’an hadits dan menghalalkan darah dan harta kaum muslimin sebagaimana
dapat kita saksikan sekarang pada cikal bakalnya yang berada di Hijaz yaitu
Wahhabiyyah! Mereka menyangka bahwa kelompoknya di atas hujjah padahal tidak
sama sekali. Ketahuilah mereka adalah manusia pendusta. Syetan telah
menjangkiti mereka sehingga membuat mereka lupa dari mengingat Allah. Merekalah
bala tentara Syetan. Ketahuilah bahwa bala tentara Syetan pasti merugi. Kita
memohon kepada Allah agar meluluhlantahkan kekuatan mereka”.
Lihatlah wahai saudaraku, bagaimana fanatik madzhab membuat buta
para pemeluknya sehingga mengeluarkan kata yang tak terkontrol oleh akal
warasnya. Saya di sini bukan untuk membantah kedustaan ini sebab sebagaimana
kata seorang penyair:
ئِمَّةُ حَقٍّ كَالشُّمُوْشِ اشْتِهَارُهُمْ فَمَاانْطَمَسُوْا إِلاَّ مَنْ بِهِ عُمَى
Para Imam Kebenaran,
Popularitas mereka seperti matahari
Tidak ada yang mencela
mereka kecuali orang yang buta.
6. Merubah nash demi kepentingan madzhab.
Contohnya banyak sekali, saya akan tampilkan satu contoh saja:
Atsar tentang qunut shubuh yang diriwayatkan oleh imam Ahmad (3/472), Ibnu Majah (1241), Tirmidzi(2/252) dan
beliau menshahihkannya:
عَنْ ماَلِكٍ الأَشْجَعِيِّ قَالَ : قُلْتُ لأَبِيْ: يَا أَبَتِ! إِنَّكَ صَلَّيْتَ وَرَاءَ النَّبِيِّ وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيٍّ هَا هُنَا بِاالْكُوْفَةِ, أَكَانُوْا يَقْنُتُوْنَ فِيْ الْفَجْرِ؟ قَالَ : أَيْ بُنَيَّ مُحْدَثٌ
Dari Malik Asyja’iy berkata: “Saya pernah bertanya kepada
ayahku: “Wahai ayahku! Engkau pernah shalat di belakang Rasulullah, Abu Bakar,
Umar, Utsman dan Ali di Kufah sini selama lima tahun lamanya, apakah mereka
melakukan qunut shubuh? Jawab beliau: ‘Wahai anakku, Itu merupakan perkara
baru”!!
Dalam kitab Al-Majmu’
Syarh Muhadzab (3/484) karya
imam Nawawi, cetakan yang ditahqiq oleh Syaikh Muhammad Najib Al-Muti’iy,
seorang tokoh mazdhab Syafi’i di Mesir sekarang tertulis begini:
أَيْ بُنَيَّ فَحَدِّثْ
Wahai anakku,
ceritakanlah!!
Hal ini tidak lain kecuali karena dampak fanatik madzhab yang
mengakar kuat pada dirinya. Dalam kitabnyaAn-Nafilah fil Ahaditsil Bathilah (1/47), Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini rahimahullah, salah seorang
ulama’ ahli hadits Mesir murid Syaikh Al-Albani menceritakan bahwa beliau
pernah mendengar Syaikh
Muhammad Najib Al-Muti’iy rahimahullah mengatakan: “Shalatnya orang yang
meninggalkan qunut shubuh secara sengaja hukumnya batal tidak sah”!
Sungguh alangkah indahnya apa yang pernah saya baca dalam Silsilah Ahadits Dha’ifah (3/388) karya Al-Muhaddits Al-Albani rahimahullah, kata beliau:
“Dalam biografi Abul Hasan
Al-Kurjiy As-Syafi’i rahimahullah (wafat th. 532 H) diceritakan
bahwabeliau tidak melakukan qunut shubuh seraya berkata: “Tidak ada hadits
shahih tentang hal itu”. Syaikh
Al-Albani rahimahullah mengomentari:
“Ini
menunjukkan akan kedalaman ilmu dan inshafnya (keadilan), semoga Allah
merahmatinya. Beliau termasuk orang yang diselamatkan Allah dari belenggu
fanatik madzhab. Kita memohon kepada Allah agar termasuk mereka”.
7. Memalsukan hadits demi menjunjung madzhab.
Fanatik madzhab mempunyai andil yang cukup besar dalam pemalsuan
hadits demi membela madzhab. Contohnya, hadits palsu bikinan orang-orang
fanatik madzhab Abu
Hanifah rahimahullah sebagai berikut:
سَيَأْتِيْ مِنْ بَعْدِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ النُّعْمَانَ بْنَ ثَابِتٍ وَيُكْنَى أَبَا حَنِيْفَةَ لَيُحْيِيَنَّ دِيْنَ اللهِ وَسُنَّتِيْ عَلَى يَدَيْهِ
Akan datang setelahku
seorang yang bernama Nu’man bin Tsabit dan kunyah-nya Abu Hanifah, sungguh dia
akan menghidupkan agama Allah dan sunnahku.
(Lihat Tanzih Syari’ah 2/30 karya Ibnu ‘Arraq dan Tarikh Baghdad 2/289 karya Al-Khatib Al-Bahgdadi).
Lebih ngeri lagi pernah dikatakan kepada Ma’mun bin Ahmad Al-Harawi rahimahullah: “Bagaimana
pendapatmu tentang Syafi’i dan para pengikutnya di Khurasan?” Dia menjawab:
“Menceritakanku Ahmad
bin Abdillah bin Mi’dan rahimahullah dari Anas secara marfu’:
يَكُوْنًُ فِيْ أُمَّتِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ مُحَمَّدَ بْنَ إِدْرِيْسَ أَضَّّرَ عَلَى أُمَّتِيْ مِنْ إِبْلِيْسَ وَيَكُوْنُ فِيْ أُمَّتِيْ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ أَبَا حَنِيْفَةَ هُوَ سِرَاجُ أُمَّتِيْ
Akan datang pada umatku
seorang yang bernama Muhammad bin Idris (nama imam Syafi’i), dia lebih
berbahaya bagi umatku daripada Iblis. Dan akan datang pada umatku seorang
bernama Abu Hanifah, dia adalah pelita umatku.
(Lihat Lisanul Mizan (5/7-8) karya Ibnu Hajar dan Tadrib Rawi (1/277) karya As-Suyuthi).
Hadits ini disamping maudhu’ (palsu), juga bertentangan dengan
ketegasan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa pelita umat adalah Nabi Muhammad
sebagaimana dalam surat Al-Ahzab: 46.
8. Mewajibkan taklid kepada seorang imam madzhab.
Para fanatisme madzhab akan menyerukan kepada kaumnya tentang
kewajiban taklid yaitu mengambil pendapat seorang tanpa mengetahui dalilnya.
Bahkan, untuk mencapai tujuan ini, mereka membuat hadits dusta yaitu:
مَنْ قَلَّدَ عَالِمًا لَقِيَ اللهَ سَالِمًا
Barangsiapa yang taklid
kepada seorang alim, maka dia akan berjumpa Allah dengan selamat.
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha rahimahullah pernah ditanya tentang
hadits ini dalam Majalah Al-Manar (34/759) lalu beliau menjawab : “Itu bukan
hadits”. Hal ini disetujui oleh Syaikh
Muhammad Nasiruddin Al-Albani rahimahullah dalam Silislah Ahadits Ad-Dha’ifah (551).
Berikut ucapan para propagandis taklid beserta
sedikit sanggahannya:
a. Al-Baijury dalam “Jauharah Tauhidnya” pernah
mengungkapkan:
فَوَاجِبٌ تَقْلِيْدُ حَبْرٍ مِنْهُمْ كَذَا حَكَى الْقَوْمُ بِلَفْظٍ يُفْهَمُ
Sewajibnya untuk taklid
kepada seorang alim diantara mereka
Demikianlah diceritakan
oleh suatu kaum dengan lafadz yang mudah difahami.
- Syaikh
Muhammad Ahmad Al-Adawi rahimahullah berkata dalam Al-Jadid ‘ala Jauharah Tauhid hal. 111 mengomentari bait di
atas: “Kami belum mendapati pendahulu bagi penulis yang mewajibkan
taklid”.
b. KH. Ahmad Masduqi, wakil Ro’is PWNU Jatim berkata dalam
bukunya “Konsep Dasar Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama’ah” hal. 60 cet. Pelita
Dunia Surabaya: “Apabila sejak ratusan tahun yang lalu sampai sekarang sebagian
besar umat Islam di seluruh dunia yang termasuk dalam golongan Ahlus sunnah wal
Jam’ah (ala mereka -pent-) membanarkan adanya kewajiban
taklid bagi orang yang
tidak mencukupi syarat-syarat untuk berijtihad…”.
Ini adalah ucapan batil dari akarnya dan kebohongan nyata!. Tidak
pernah ada kewajiban seperti ini dari Allah, Rasulullah hatta imam madzhab
sekalipun, karena pendapat mereka itu kadang benar dan kadang juga salah.
Seringkali para imam imam madzhab berpendapat suatu pendapat lalu setelah jelas
baginya dalil, dia ruju’ (kembali) kepada dalil. Para imam sendiri telah
mengucapkan perkataan-perkataan berharga tentang haramnya taklid kepada mereka.
Imam Syafi’i sendiri pernah berkata:
كُلُّ مَا قُلْتُ وَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ خِلاَفُ قَوْلِيْ مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيْثُ النَّبِيِّ أَوْلَى وَلاَ تُقَلِّدُوْنِيْ
Setiap ucapan saya yang
bertentangan dengan hadits shahih, maka hadits Nabi lebih utama dan janganlah
kalian taklid kepadaku. (Adab Syafi’i wa Manaqibuhu (1/66) oleh Ibnu Abi Hatim).
Tentang haramnya taklid dan bahayanya, para ulama sudah membahas
secara tuntas seperti imam:
1. Ibnu Qoyyim
Al-Jauziyyah rahimahullah dalam I’lam Muwaqqi’in,
2. Syaikh Shalih
Al-Fulani dalam Iqhadhul Himami Ulil Abshar,
3. Syaikh Muhammad
Sulthan Al-Ma’shumi Al-Hujandi dalam Halil Muslim Mulzam bi Ittiba’i Madzhabin
Mu’ayyanin,
4. Syaikh Muhammad
‘Ied Al-Abbasi dalam Bid’ah Ta’ashub Madzhabi,
5. Muhammad
Nasiruddin Al-Albani dalam muqaddimah Sifat Shalat Nabi
dan masih banyak lainnya lagi.
10. Menutup pintu ijtihad.
KH. Ahmad Masduqi berkata dalam bukunya yang berjudul Konsep Dasar Ahlus Sunnah wal
Jama’ah, hal. 60:
“Atau dengan lain perkataan, belum pernah ada orang yang mampu
memasuki “Pintu Ijthad Yang Mutlaq” semenjak dahulu sampai sekarang, meskipun
pintu tersebut tidak pernah ditutup. Dan apabila di sana-sini banyak kita
jumpai orang-orang yang berlagak pilon mengaku sebagai mujtahid, artinya
menggali sendiri dari Al-Qur’an dan Al-hadits dalam menjalankan syari’at Islam
dan tidak mau mengikuti pendapat imam madzhab, maka sebenarnya mereka tidak
lebih dari orang-orang yang membebek kepada guru-guru mereka yang masih belum
memahami benar-benar arti ijtihad, apalagi memenuhi syarat-syarat untuk
berijtihad”.
Ucapan di atas salah
fatal, tipu daya tak samar, kesesatan nyata dan ajaran baru yang diusung oleh orang-orang
yang tidak bertanggung jawab sehingga berdampak negatif yaitu sikap kolot
terhadap pendapat madzhab.