Monday, August 3, 2015

Waktu Puasa Arafah Ketika kaum Muslimin Wukuf Di Arafah ! Bukan Masalah Khilafiyah dan Bermudah-Mudahan dalam Mengamalkan Syariat Islam ! (5)

Perdebatan (Comments) Ilmiyah Terkait Waktu Puasa Arafah !
Waktu Puasa Arafah Ketika kaum Muslimin Wukuf Di Arafah ! Bukan Masalah Khilafiyah dan Bermudah-Mudahan dalam Mengamalkan Syariat Islam ! (1)
Waktu Puasa Arafah Ketika kaum Muslimin Wukuf Di Arafah ! Bukan Masalah Khilafiyah dan Bermudah-Mudahan dalam Mengamalkan Syariat Islam ! (2)
Waktu Puasa Arafah Ketika kaum Muslimin Wukuf Di Arafah ! Bukan Masalah Khilafiyah dan Bermudah-Mudahan dalam Mengamalkan Syariat Islam ! (3)
Waktu Puasa Arafah Ketika kaum Muslimin Wukuf Di Arafah ! Bukan Masalah Khilafiyah dan Bermudah-Mudahan dalam Mengamalkan Syariat Islam ! (4)
8.Kapan Puasa Arofah?!
Diterbitkan pada 29 September 2014
Tidak diragukan lagi akan keutamaan puasa hari Arofah, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ

"Puasa hari Arofah aku berharap kepada Allah agar penebus (dosa) setahun sebelumnya dan setahun sesudahnya" (HR Muslim no 197)

Tidak diragukan pula bahwa para ulama telah berbeda pendapat dalam hal ini menjadi dua pendapat :



Pertama : Waktu puasa Arofah disesuaikan dengan wukufnya para jama'ah haji di padang Arofah. Dan ini adalah pendapat jumhur mayoritas ulama sekarang, seperti Syaikh Bin Baaz rahimahullah, Al-Lajnah Ad-Daaimah, dan Syaikh Abdul Muhsin Al-'Abbad Al-Badr hafizohullah


Kedua : Waktu puasa Arofah di sesuaikan dengan ru'yah hilal bulan Dzulhijjah pada masing-masing wilayah. Dan inilah pendapat yang mashyur dari Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin rahimahullah, yang kemudian diikuti oleh murid-murid senior beliau seperti Asy-Syaikh Kholid Al-Muslih, dan Asy-Syaikh Kholid Al-Musyaiqih. Demikian juga merupakan fatwa Syaikh Abdullah bin Al-Jibrin rahimahullah (http://ibn-jebreen.com/fatwa/vmasal-11952-.html)



          Masalah perbedaan ini juga telah banyak dibahas di dunia maya seperti di (http://www.ahlalhdeeth.com/vb/forum/ المنتدى-الشرعي-العام/164117-بحث-حول-مسألة-تحديد-يوم-عرفة-إذا-اختلفت-المطالع), kami hanya menukil dan meringkas serta menambah sedikit tambahan dalam tulisan ini.



          Karena ini adalah masalah khilafiyah, maka tentunya harus ada kelapangan dada untuk legowo dalam menghadapi permasalahan ini, tidak perlu ngotot apalagi menuduh orang yang berbeda pendapat dengan tuduhan yang tidak-tidak, seperti meniru pemikiran khawarij atau ahlul bid'ah ?!. Permasalahan ini sebagaimana permasalahan khilafiyah fiqhiyah yang lainnya yang hendaknya kita berlapang dada. Jika setiap permasalahan khilaf kita ngotot maka kita akan selalu ribut.

Diantara sebab bentuk kekauan dan "sikap keras" dalam permasalahan ini adalah anggapan bahwa permasalahan ini telah ada nash (yaitu dalil yang tidak mengandung kecuali satu kemungkinan saja, dan tegas dalam penunjukannya). Sehingga barang siapa yang menyelisihi nash pantas untuk disalahkan !!


Jika seandainya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda ((Puasa hari Arofah adalah puasa dimana para jam'ah haji sedang wukuf di padang Arofah)), tentunya ini adalah nash dalam permasalahan ini, dan tentu para ulama tidak akan khilaf dalam memahami redaksi tersebut. Akan tetapi kenyataannya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ "Puasa hari Arofah...". Disinilah muncul perbedaan dalam memahami sabda Nabi tersebut, apakah maksudnya adalah "hari dimana para jama'ah haji sedang wukuf di Arofah"?, ataukah yang dimaksud adalah "hari tanggal 9 Dzulhijjah, yang dinamakan dengan hari Arofah?".

          Ternyata khilaf ini sudah ada sejak zaman ulama terdahulu.

Ulama yang memilih pendapat pertama, diantaranya :

Ibnu Rojab Al-Hanbali rahimahullah, beliau berkata

ويوم عرفة هو يوم العتق من النار فيعتق الله من النار من وقف بعرفة ومن لم يقف بها من أهل الأمصار من المسلمين فلذلك صار اليوم الذي يليه عيدا لجميع المسلمين في جميع أمصارهم من شهد الموسم منهم ومن لم يشهده لاشتراكهم في العتق والمغفرة يوم عرفة

Dan hari 'Arofah adalah hari pembebasan dari neraka, maka Allah membebaskan dari neraka orang yang wukuf di Arofah dan juga orang yang tidak wukuf dari para penduduk kota-kota dari kaum muslimin. Karenanya jadilah hari setelah hari Arofah adalah hari raya bagi seluruh kaum muslimin di seluruh kota-kota mereka, baik yang menghadiri musim haji maupun yang tidak menghadiri, karena kesamaan mereka dalam pembebasan dari neraka dan ampunan Allah pada hari Arofah" (Lathoiful Ma'aarif hal 276)

Ulama yang memilih pendapat kedua, diantaranya adalah :

Ibnu Abidin rahimahullah, beliau berkata :

لأن اختلاف المطالع إنما لم يعتبر في الصوم لتعلقه بمطلق الرؤية. وهذا بخلاف الاضحية فالظاهر أنها كأوقات الصلوات يلزم كل قوم العمل بما عندهم، فتجزئ الاضحية في اليوم الثالث عشر وإن كان على رؤيا غيرهم هو الرابع عشر والله أعلم.

"Karena perbedaan mathla' hanyalah tidak mu'tabar  (tidak dianggap) pada permasalahan puasa karena puasa berkaitan dengan terlihatnya hilal secara mutlak. Hal ini berbeda dengan udhiyah (penyembelihan kurban), maka dzohirnya ia seperti waktu-waktu sholat, maka wajib bagi setiap kaum beramal dengan apa yang ada pada mereka. Maka sah udlhiyah pada hari ke 13 (dzulhijjah) meskipun berdasarkan ru'yah selain mereka adalah hari ke 14 dzulhijjah, wallahu a'lam". (Hasyiah Rodd Al-Muhtaar 2/432)

Ibnu Abidin justru memandang tidak ada perbedaan mathla' dalam menentukan awal puasa ramadhan, akan tetapi untuk masalah penyembelihan korban justru beliau memandang adanya perbedaan mathla', maka masing-masing beramal dengan ru'yahnya masing-masing.

          Demikianlah para ulama mutaqoddimin telah berselisih akan hal ini, akan tetapi penulis lebih condong kepada pendapat kedua yang menyatakan bahwa penentuan hari Arofah dikembalikan kepada ru'yah di negeri masing-masing.

Adapun dari sisi dalil adalah sebagai berikut :

PERTAMA : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menamakan puasa Arofah meskipun kaum muslimin belum melaksanakan haji, bahkan para sahabat telah mengenal puasa Arofah yang jatuh pada 9 dzulhijjah meskipun kaum muslimin belum melasanakan haji.

Dalam sunan Abu Dawud :

عَنْ هُنَيْدَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنِ امْرَأَتِهِ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.

Dari Hunaidah bin Kholid dari istrinya dari sebagian istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata : "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa pada 9 Dzulhijjah, hari 'Aasyuroo' (10 Muharraom) dan tiga hari setiap bulan" (HR Abu Dawud no 2439 dan dishahihkan oleh Al-Albani, namun hadits ini diperselihkan akan keshahihannya)

Ini menunjukkan bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam terbiasa puasa Arofah.

Tatkala mengomentari lafal hadits ((أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا فِي صَوْم النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ)) "Orang-orang (yaitu para sahabat) berselisih tentang puasa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (tatkala di padang Arofah)", Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

هَذَا يُشْعِرُ بِأَنَّ صَوْم يَوْمِ عَرَفَةَ كَانَ مَعْرُوفًا عِنْدَهُمْ مُعْتَادًا لَهُمْ فِي الْحَضَر ، وَكَأَنَّ مَنْ جَزَمَ بِأَنَّهُ صَائِم اِسْتَنَدَ إِلَى مَا أَلِفَهُ مِنْ الْعِبَادَةِ ، وَمَنْ جَزَمَ بِأَنَّهُ غَيْرُ صَائِمٍ قَامَتْ عِنْدَهُ قَرِينَةُ كَوْنِهِ مُسَافِرًا

"Ini mengisyaratkan bahwasanya puasa hari Arofah adalah perkara yang dikenal di sisi para sahabat, terbiasa mereka lakukan tatkala tidak bersafar. Seakan-akan sahabat yang memastikan bahwasanya Nabi berpuasa bersandar kepada kebiasaan Nabi yang suka beribadah. Dan sahabat yang memastikan bahwa Nabi tidak berpuasa berdalil adanya indikasi Nabi sedang safar" (Fathul Baari 6/268)

Padahal kita tahu bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hanya berhaji sekali -yaitu haji wadaa'- dan ternyata Nabi dan para sahabat sudah terbiasa puasa di hari Arofah meskipun tidak ada muslim yang wukuf di padang Arofah.

Tentu sebelum Islam sudah ada orang-orang Arab yang wukuf di Arofat dari kalangan kaum musyrikin (kecuali kaum Quraisy yang wukufnya di Al-Muzdalifah). Akan tetapi pembicaraan kita tentang ikut serta meraih ampunan yang Allah berikan kepada kaum muslimin yang sedang wukuf di padang Arofah. Dan tatkala Nabi dan para sahabatnya terbiasa puasa hari Arofah ternyata tidak ada seorang muslimpun yang wukuf di Arofah. Ini menujukan bahwa konsentrasi penamaan puasa Arofah berkaitan dengan waktu 9 Dzulhijjah dan bukan pada tempat padang Arofah yang para jama'ah haji sedang wukuf di situ.

Al-Khirosyi berkata :

(قَوْلُهُ : وَعَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ) هَذِهِ الْمَوَاسِمُ الْمُشَارُ بِقَوْلِهِ وَغَيْرِهِ مِنْ الْمَوَاسِمِ ، وَعَاشُورَاءُ وَنِصْفُ شَعْبَانَ مَوْسِمٌ مِنْ حَيْثُ الصَّوْمُ وَغَيْرُهُ مِمَّا يُطْلَبُ فِيهِ، وَالْمَوَاسِمُ جَمْعُ مَوْسِمٍ الزَّمَنُ الْمُتَعَلِّقُ بِهِ الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ وَلَمْ يُرِدْ بِعَرَفَةَ مَوْضِعَ الْوُقُوفِ بَلْ أَرَادَ بِهِ زَمَنَهُ وَهُوَ الْيَوْمُ التَّاسِعُ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ

“Hari Arafah dan Asyura -sebagaimana yang disebutkan- adalah salah satu dari musim-musim ibadah. Jika ditinjau dari sisi puasa maka Hari Asyura’ dan Nisfu Sya’ban dan yang lainnya adalah musim ibadah yang dituntut untuk berpuasa pada musim tersebut. Musim adalah waktu yang terkait dengan suatu hukum syariat. Bukanlah yang dimaksud dengan lafal "Arofah" adalah tempat wukuf, akan tetapi yang dimaksud adalah waktunya, yaitu waktu wukufnya yaitu 9 Dzulhijjah" (Syarh Mukhtashor Al-Kholil) 

KEDUA : Kita bayangkan bagaimana kondisi kaum muslimin -taruhlah- sekitar 200 tahun yang lalu, sebelum ditemukannya telegraph, apalagi telepon. Maka jika puasa Arofah penduduk suatu negeri kaum muslimin harus sesuai dengan wukufnya jama'ah haji di padang Arofah, maka bagaimanakah puasa Arofahnya penduduk negeri-negeri yang jauh dari Mekah seperti Indonesia, India, Cina dll 200 tahun yang lalu? apalagi 800 atau 1000 tahun yang lalu?.

Demikian juga bagi yang hendak berkurban, maka sejak kapankah ia harus menahan untuk tidak memotong kuku dan mencukur rambut?,  dan kapan ia boleh memotong kambing kurbannya?, apakah harus menunggu kabar dari Mekah?, yang bisa jadi datang kabar tersebut berbulan-bulan kemudian?.

Kalaupun akhirnya telah datang kabar setelah setengah bulan atau sebulan misalnya -padahal terjadi perbedaan antara ru'yah mereka dengan Mekah- maka sama sekali tidak dinukil mereka lalu mengqodo kesalahan mereka.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
أنا نعلم بيقين أنه ما زال في عهد الصحابة والتابعين يري الهلال في بعض أمصار المسلمين بعد بعض، فإن هذا من الأمور المعتادة التي لا تبديل لها، ولابد أن يبلغهم الخبر في أثناء الشهر، فلو كانوا يجب عليهم القضاء لكانت هممهم تتوفر على البحث عن رؤيته في سائر بلدان الإسلام، كتوفرها على البحث عن رؤيته في بلده، ولكان القضاء يكثر في أكثر الرمضانات، ومثل هذا لو كان لنقل، ولما لم ينقل دل على أنه لا أصل له، وحديث ابن عباس يدل على هذا
"Kita tahu dengan yakin bahwasanya semenjak zaman sahabat dan tabi'in telah terlihat hilal di sebagian negeri kaum muslimin setelah terlihat di negeri yang lainnya (yaitu terjadi perbedaan hari dari terlihatnya hilal-pen). Karena ini merupakan perkara yang biasa yang tidak tergantikan. Dan pasti akan sampai kabar di tengah bulan (akan perbedaan hilal mereka dengan hilal yang terlihat di hijaz-pen). Kalau memang wajib bagi mereka untuk mengqodo' maka tentu semangat mereka untuk mencari tahu tentang terlihatnya hilal di seluruh negeri kaum muslimin sebagaimana semangat mereka untuk melihat hilal di negeri mereka. Dan tentu pula akan banyak terjadi qodo di sebagian besar bulan Ramadhan. Hal seperti ini, kalau seandainya terjadi maka tentu akan dinukilkan. Maka tatkala tidak dinukilkan (kalau mereka mengqodo) maka ini menunjukkan perkara ini tidak ada asalnya. Dan hadits Ibnu Abbas menunjukkan akan hal ini" (Majmuu' A-Fataawa 1/12)

          Karenanya di zaman Ibnu Hajar terjadi perbedaan antara penduduk mekah dan penduduk Mesir dalam menentukan hari Arofah dan hari raya 'Idul Adha. Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وكانت الوقفة يوم الجمعة بعد تنازع بمكة مع أن العيد كان بالقاهرة يوم الجمعة
"Tatkala itu wuquf (padang Arofah) di Mekah hari jum'at -setelah terjadi perselisihan-, sementara hari raya idul adha di Qohiroh (Mesir) adalah hari jum'at" (Inbaa' Al-Ghomr bi Abnaa' al-Umr fi At-Taariikh 2/425)

Beliau juga berkata :

وفي الثالث والعشرين من ذي الحجة وصل بالمبشر من الحاج ... وأخبر بأن الوقفة كانت يوم الاثنين وكانت بالقاهرة يوم الأحد ، فتغيظ السلطان ظنا منه أن ذلك من تقصير في ترائي الهلال ، فعرفه بعض الناس أن ذلك يقع كثيرا بسبب اختلاف المطالع ؛ وبلغني أن العيني شنع على القضاة بذلك السبب فلما اجتمعنا عرفت السلطان أن الذي وقع يقدح في عمل المكيين عند من لا يرى باختلاف المطالع ، حتى لو كان ذلك في رمضان للزم المكيين قضاء يوم

"Pada tanggal 23 Dzulhijjah sampailah pembawa kabar berita dari haji...., ia mengabarkan bahwa wukuf (di padang Arofah) pada hari senin, dan di Qohiroh (Mesir) jatuh pada hari Ahad. Maka Sultan (Mesir) pun marah karena menyangka bahwa perbedaan ini timbul karena kurang (serius) dalam melihat hilal. Maka ada sebagian orang yang menjelaskan kepada Sultan bahwasanya hal ini sering terjadi karena perbedaan mathla'. Dan telah sampai kabar kepadaku bahwasanya Al-'Aini mencela para qodhi disebabkan hal ini. Maka tatkala kami bertemu, maka akupun menjelaskan kepada Sultan bahwasanya apa yang terjadi hanyalah merusak amalan penduduk Mekah menurut yang berpendapat bahwasanya tidak ada perbedaat mathla', bahkan jika terjadi di bulan Ramadhan maka wajib bagi penduduk Mekah untuk mengqodo sehari" (Inbaa' Al-Ghomr bi Abnaa' al-Umr fi At-Taariikh 8/78)

Kejadian di atas menunjukkan bahwa Mesir lebih dahulu melihat hilal daripada Mekah, sehingga Mekah 9 dzulhijjahnya (wukufnya) jatuh pada hari senin, sementara Mesir 9 Dzulhijjahnya jatuh pada hari ahad yaitu sehari sebelumnya. Jika para ulama memandang harus satu mathla' maka seharusnya penduduk Mekah harus mengikuti penduduk Mesir, sehingga mereka telah salah dalam menentukan waktu wukuf di padang Arofah, demikian juga jika hal ini terjadi di bulan Ramadhan berarti taktala Mesir lebih dahulu puasa maka penduduk Mekah baru berpuasa sehari setelahnya maka penduduk Mekah harus mengqodo' puasa sehari. Akan tetapi Ibnu Hajar menjelaskan kepada sulton bahwasanya hukum ini hanya berlaku bagi yang memandang tidak ada perbedaan mathla', akan tetapi tidak berlaku bagi yang memandang adanya perbedaan mathla'. Dzohir kisah ini menunjukkan Ibnu Hajar rahimahullah condong kepada pendapat perbedaan pelaksanaan puasa Arofah jika memang waktu melihat hilalnya berbeda. [ ????????????? ]

KETIGA : Jika memang yang ditujukkan adalah menyesuaikan dengan waktu wukufnya para jama'ah haji di padang Arofah (dan bukan tanggal 9 Dzulhijjah berdasarkan masing-masing negeri), maka bagaimanakah cara berpuasanya orang-orang di Sorong Irian Jaya, yang perbedaan waktu antara Mekah dan Sorong adalah 6 jam?.  [ ???????? ]

Jika penduduk Sorong harus berpuasa pada hari yang sama -misalnya- maka jika ia berpuasa sejak pagi hari (misalnya jam 6 pagi WIT) maka di Mekah belum wukuf tatkala itu, bahkan masih jam 12 malam. Dan tatkala penduduk Mekah baru mulai wukuf -misalnya jam 12 siang waktu Mekah-, maka di Sorong sudah jam 6 maghrib?. Lantas bagaimana bisa ikut serta menyesuaikan puasanya dengan waktu wukuf??
KEEMPAT : Jika seandainya terjadi malapetaka atau problem besar atau bencana atau peperangan, sehingga pada suatu tahun ternyata jama'ah haji tidak bisa wukuf di padang Arofah, atau tidak bisa dilaksanakan ibadah haji pada tahun tersebut, maka apakah puasa Arofah juga tidak bisa dikerjakan karena tidak ada jama'ah yang wukuf di padang Arofah?

Jawabannya tentu tetap boleh dilaksanakan puasa Arofah meskipun tidak ada yang wukuf di padang Arofah. Ini menunjukkan bahwa puasa Arofah yang dimaksudkan adalah pada tanggal 9 Dzulhijjah.

Maka barang siapa yang satu mathla' dengan Mekah dan tidak berhaji maka hendaknya ia berpuasa di hari para jama'ah haji sedang wukuf di padang Arofah, akan tetapi jika ternyata mathla'nya berbeda -seperti penduduk kota Sorong- maka ia menyesuaikan 9 dzulhijjah dengan ru'yah hilal setempat.

          Intinya permasalahan ini adalah permasalahan khilafiyah. Meskipun penulis lebih condong kepada pendapat kedua -yaitu setiap negeri menyesuaikan 9 dzulhijjah berdasarkan ru'yah hilalnya-, akan tetapi sebagaimana kita ketahui bersama bahwasanya pendapat pertamapun sangat kuat dan dipilih oleh mayoritas ulama kontemporer.

Permasalahan seperti ini sangatlah tidak pantas untuk dijadikan ajang untuk saling memaksakan pendapat, apalagi menuding dengan tuduhan kesalahan manhaj atau kesalahan aqidah dan sebagainya. Semoga Allah mempersatukan kita di atas ukhuwwah Islamiyah yang selalu berusaha untuk dikoyak oleh Syaitan dan para pengikutnya. Hendaknya kita beradab dengan adab para ulama dalam permasalahan khilafiyah, dan hendaknya kita mengenal manhaj salaf dalam menyikapi permasalahan khilafiyah. Jangan sampai kita mengaku-ngaku bermanhaj ahlus sunnah tapi justru tidak tahu manhaj ahlus sunnah dalam permasalahan khilafiyah.

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 04-12-1435 H / 29 September 2014 M

Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja

www.firanda.com

Comments   
# indounlocker 2014-09-29 17:52
nomor 2 .........

Puasa ‘Arafah disyariatkan pada tahun kedua —ada juga riwayat yang menyebutkan tahun pertama— setelah hijrah bersamaan dengan disyariatkannya shalat ‘Idul Fitri dan Îdul Adh-hâ. Adapun wukuf di ‘Arafah sebagai bagian dari manasik haji, disyariatkan pada tahun keenam setelah hijrah.

Maknanya, pada tahun kedua, ketiga, keempat, dan kelima setelah hijrah, Rasulullah s.a.w. dan para sahabat telah melaksanakan puasa ‘Arafah tanpa ada seorang pun melaksanakan wukuf di ‘Arafah. Saat disyariatkan, puasa ‘Arafah tidak dikaitkan dengan peristiwa wukuf di ‘Arafah. (Lihat: Zâdul Ma'âd, II/101, Fathul Bârî, III/442; Hâsyiyah al-Jumal, VI/203; dan Subulus Salâm, I/60)

# Dr. Kamaruddin 2014-09-29 16:35
Walaubagaimana pun pada Zaman serba canggih masakini dimana komunikasi terlalu mudah diseluruh pelusuk dunia mama penyatuan Umat Islam adalah amat penting. Memang ibadah puasa masih boleh dikekalkan kpd nampak nya anak bulan, Eidul Adha adalah berkait dengan ibadah haji di Mekah. Justeru adalah molek dan sangat sesuai waktu wukuf diselaraskan diseluruh dunia. Jadi umat Islam bersatu untuk berpuasa pada 9 ZulhijjahZulhij jah. Dan tidak timbul ada orang berpuasa pada 9 Zulhijjah dinegara sendiri manakala jemaah Haji sudah menyambut Eidul Adha. Jika dapat dilaksanakan pasti akan mendapat reda Allah. Wal-Allah-hu aklam.
# ogit 2014-09-30 07:04
Puasa Arofah atau Puasa Jakarta?
Syukron
# Aminullah Yasin 2014-09-30 13:37
Artikel yang sangat bermanfaat ustadz, jazakallah khairon.

Ada sedikit yang ingin ana komentari :

Ketika antum menyebutkan dalil-dalil pendapat kedua yang antum rojihkan, antum sebutkan pernyataan Ibnu Taimiyyah. Padahal secara tegas Ibnu Taimiyyah sendiri berpendapat ikhtilaful matholi' tidak mu'tabar dalam hukum.

Pernyataan Ibnu Taimiyyah yang antum kutip adalah sedang dalam pembahasan "bulughul ilmi", / penyampaian hasil rukyatul hilal ke negeri-negeri lain.

Coba perhatikan pernyataan beliau sebelumnya :

فالصواب في هذا واللّه أعلم ما دل عليه قوله "صومكم يوم تصومون، وفطركم يوم تفطرون، وأضحاكم يوم تضحون"‏‏، فإذا شهد شاهد ليلة الثلاثين من شعبان أنه رآه بمكان من الأمكنة قريب أو بعيد؛ وجب الصوم‏.
‏ وكذلك إذا شهد بالرؤية نهار تلك الليلة إلى الغروب؛ فعليهم إمساك ما بقي، سواء كان من إقليم أو إقليمين‏.‏
والاعتبار ببلوغ العلم بالرؤية في وقت يفيد،فأما إذا بلغتهم الرؤية بعد غروب الشمس، فالمستقبل يجب صومه بكل حال، لكن اليوم الماضي‏:‏ هل يجب قضاؤه‏؟‏ فإنه قد يبلغهم في أثناء الشهر أنه رؤي بإقليم آخر، ولم ير قريباً منهم، الأشبه أنه إن رؤي بمكان قريب، وهو ما يمكن أن يبلغهم خبره في اليوم الأول، فهو كما لو رؤي في بلدهم ولم يبلغهم‏.
‏‏Setelah menjelaskan cukup panjang, diakhir beliau memberi satu kesimpulan :
والحجة فيه أنا نعلم بيقين أنه مازال في عهد الصحابة والتابعين يري الهلال في بعض أمصار المسلمين بعد بعض،..‏
Jadi jelas, pernyataan beliau -rahimahullah- yang antum kutip adalah sedang menjawab permasalahan lain, bukan masalah apakah ikhtilaful matholi' mu'tabar atau tidak?
Jika kita perhatikan dengan seksama pernyataan Ibnu Taimiyyah tersebut, justru malah membantah hujjah yang antum kemukakan :
Kita bayangkan bagaimana kondisi kaum muslimin -taruhlah- sekitar 200 tahun yang lalu, sebelum ditemukannya telegraph, apalagi telepon. Maka jika puasa Arofah penduduk suatu negeri kaum muslimin harus sesuai dengan wukufnya jama'ah haji di padang Arofah, maka bagaimanakah puasa Arofahnya penduduk negeri-negeri yang jauh dari Mekah seperti Indonesia, India, Cina dll 200 tahun yang lalu? apalagi 800 atau 1000 tahun yang lalu?.
wallahu a'lam.

# Firanda Andirja 2014-09-30 17:29
Benar komentar antum, dan ana tidak sedang menukil pendapat Ibnu Taimiyyah dan tidak juga sedang membantah beliau atau mengumpulkan seluruh perkataan beliau tentang hal ini. Ana hanya menukil logika berfikir beliau yang bagus yang sesuai dengan sisi bantahan yang ana sampaikan.

Baarokallahu fiik

# abdulrozaq 2014-09-30 18:31
Bismillah,

mau tanya tadz,

Tahun ini kan di indo dn mekah berbeda hari 'ied nya.

dikampung saya ta'mir masjid setempat sepakat untuk ikut hari 'ied di hari sabtu sama dgn saudi, dan penyembelihan udhiyah jg hari sabtu. Namun bagaimana dgn saya yang disitu sudah ikut patungan untuk qurban sapi 7 orang jika di hari sabtu ituu saya masih berpuasa dan ikut yang hari minggu sholat ied nya. Keterima ga itu qurban saya ustadz?

# fahmi mubarok 2014-10-01 04:03

bismillah ... afwan tadz .. ada sebagian ustadz yang memberikan jawaban dalm masalh ini dengan mengtakan .. kita shaum ikut saudi tapi lebaran ikut pemerintah .. bgaimana pendpat ustadz ? syukran
# hendri kebonmaen 2014-10-01 05:48
sedikit aja, kalau masalah telepon dan telegraph kurang pas dijadikan referensi. kalau masih mau jadi referensi kenapa gak sekalian saja berangtkat hajinya naik kuda. agar tidak ada perbedaan lagi. kita sudah di jaman informasi ya dipergunakan untuk kemaslahatan saja. kanpermasalahan nya ada di ketidakmaun dari umat islam (atau para pemimpinnya) untuk menyatukan kapan dan dimana waktu itu dimulai? kalau dimulai dari jazirah arab ya benar kita puasa arofahnya hari sabtu. tapi kalau pertama kali hilal tanggal 1 muncul di indonesia atau lebih timur lagi ya mestinya puasa arofah itu hari jum'at besok. 

wallalhu'alam

# soleimam 2014-10-01 06:35

ini jaman kontemporer.. jaman informasi terbuka.. sdh pada tahu perbedaan waktu ga lebih dari 12 jam.. sorong-arafah/m ekkah selisih 6 jam masih di hari yg sama tanggal 9 dzulhijjah.. brazil-mekkah selisih ga sampe 12 jam. itu artinya sama dng saat jamah haji wukuf di arofah. makanya rukyat global utk muslim lebih tepat diterapkan agar tidak ada perbedaan antar sesama muslim... jangan biarkan orang2 kafir tepuk tangan ngetawain perselisihan qt. wallahu a'lam

9.Puasa Arafah Sepanjang Sejarah hingga 1435 H

Oleh Agus Hasan Bashori Lc, M.Ag.

(Mudir Ma’had Ali al-Aimmah, YBM Malang)

Melanjutkan makalah Puasa Arofah Ikut wukuf di Arofah[1] saya tulis makalah ini. Makalah ini asalnya adalah pengajian kitab al-Umm tadi malam di Masjid Jami’ al-Umm (Kamis 2 -10-2014 M/ 8 Dzulhijah 1435 H).

Secara umum kapan puasa arofah? Jawabannya: ada dua madzhab besar:

Pertama: Puasa arafah itu sesuai dengan Hari wuquf jamaah haji di Arofah, (berdasar rukyah Makkah, Syam atau lainnya). Semua Negara islam yang harinya sama dan mendengar ada rukyah di waktu yang bermanfaat untuk sahur puasa berarti sama. Sebab perintah Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersifat umum untuk seluruh muslim agar puasa berdasarkan rukyah sebagian mereka dimanapun mereka berada. Islam itu ruhnya adalah agama universal bukan terkotak-kotak mengikuti bangsa atau Negara masing-masing. Ini madzhab jumhur ulama, bersifat paling kuat dalilnya dan paling menyatukan umat Islam. ini bersifat idealis.

Kedua: Puasa hari arofah adalah tanggal 9 Dzulhjjah di masing-masing bangsa atau negri atau Negara, atau mathla’ atau kawasan tidak ada kaitannya dengan wukufnya jamaah haji di arofah, dan tidak ada kaitannya dengan bangsa lain. Pokoknya nafsi-nafsi, tidak perlu melihat jamaah haji, bisa sebelum mereka wukuf di Arofah atau sesudah mereka wukuf. Saudi, Mesir, Tunis, Maghribi, Kuwait, Bahrain, Yaman, Palestina, India, Indonesia, masing-masing memikirkan dan mengurus negaranya sendiri, berhari raya sendiri-sendiri. Begitu kira-kira kesimpulannya[2]. Pendapat ini mudah diamalkan dan realita umat Islam sejak dulu, namun apakah ini sudah ideal, apalagi zaman sekarang, disaat orang kafir saja berlomba untuk melakukan persatuan-persatuan di banyak bidang.

Karena kajian “malang ini” adalah tentang kitab al-Umm maka kita mulai dari ucapan Imam Syafi’i rahimahullah: “Bab Puasa hari Arafah dan hari Asyura’:

َ (قَالَ الشَّافِعِيُّ) : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ قَالَ حَدَّثَنَا دَاوُد بْنُ شابور وَغَيْرُهُ عَنْ أُمِّ قَزْعَةَ عَنْ أَبِي الْخَلِيلِ عَنْ أَبِي حَرْمَلَةَ عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُالسَّنَةِ وَالسَّنَةِ الَّتِي تَلِيهَا وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةً» قَالَ فَأُحِبُّ صَوْمَهَا إلَّا أَنْ يَكُونَ حَاجًّا فَأُحِبُّ لَهُ تَرْكَ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ لِأَنَّهُ حَاجٌّ مُضَحٍّ مُسَافِرٌ وَلِتَرْكِ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَوْمَهُ فِي الْحَجِّ وَلِيَقْوَى بِذَلِكَ عَلَى الدُّعَاءِ، وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ يَوْمُ عَرَفَةَ.[3]
Imam Mawardi berkomentar:
قَوْلُ الشَّافِعِيِّ، وَسَائِرِ الْفُقَهَاءِ إِنَّ الْأَوْلَى لَهُمْ أَنْ يُفْطِرُوا يَوْمَ عَرَفَةَ، لِمَا رُوِيَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَهَى عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَةَ وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّاسَ اخْتَلَفُوا فِي صِيَامِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – بِعَرَفَةَ قَالَ: فَأَرْسَلَتْ أُمُّ الْفَضْلِ عَلَى يَدَيِ الْعَبَّاسِ قَدَحًا فِيهِ لَبَنُ الْأَوْرَاكِ، فَشَرِبَهُ وَهُوَ واقفٌ عَلَى بَعِيرِهِ بِالْمَوْقِفِ.

وَرَوَى ابْنُ أَبِي نَجِيحٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ: سُئِلَ ابْنُ عُمَرَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ، فَقَالَ: حَجَجْتُ مَعَ النبي – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – فَلَمْ يَصُمْهُ، وَمَعَ أَبِي بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ، وَأَنَا لَا أَصُومُهُ، وَلَا آمُرُ بِصِيَامِهِ، وَلَا أَنْهَى عَنْهُ وَلِأَنَّ فِي إِفْطَارِهِ تَقْوِيَةً عَلَى أَدَاءِ حَجِّهِ، وَعَلَى الدُّعَاءِ وَأَفْضَلُ الدُّعَاءِ يَوْمَ عَرَفَةَ[4].

Imam Syafi’i juga mengingatkan bahwa penentuan masalah kapan wuquf di Arofah adalah masalah Ijtihad, oleh karena itu kalau salah menentukan maka haji orang-orang tetap sah (tanggung jawab dipikul Imam yang menentukan). Beliau berkata antara lain:
: وَكَذَلِكَ (يجزئ عنه) لَوْ حَجَّ فِي عَامٍ أَخْطَأَ النَّاسُ فِيهِ يَوْمَ عَرَفَةَ[5]؛ لِأَنَّ حَجَّهُمْ يَوْمَ يَحُجُّونَ كَمَا فِطْرُهُمْ يَوْمَ يُفْطِرُونَ وَأَضْحَاهُمْ يَوْمَ يُضَحُّونَ؛ لِأَنَّهُمْ إنَّمَا كُلِّفُوا الظَّاهِرَ فِيمَا يَغِيبُ عَنْهُمْ فِيمَا بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ[6]،
Tentang penentuan puasa, hari, raya idul fitri, arofah dan haji Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda diantaranya (kita pilih yang dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma):
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَصُومُوا قَبْلَ رَمَضَانَ صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَالَتْ دُونَهُ غَيَايَةٌ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا
Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda, “Janganlah kalian berpuasa sebelum Ramadhan. Berpuasalah karena melihatnya dan berbukalah karena melihatnya. Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari.” (HR al-Tirmidzi no. 624; Ibnu Hibban no. 2301)

Ini jika tidak berhasil merukyah dan tidak ada kabar rukyah, maka masing-masing berijtihad untuk berpuasa dan berhari raya sendiri-sendiri (sesuai dg kemungkinan yang ada pada penduduk negri itu)

Namun jika ada yang memberitakan kalau sudah ada rukyah maka harus ikut rukyah tersebut.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma bahwa:

جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلَالَ قَالَ أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ قَالَ نَعَمْ قَالَ يَا بِلَالُ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا
Telah datang seorang Arab Badui kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alayhi wasallam kemudian berkata, “Sungguh saya telah melihat hilal¤. Rasulullah bertanya, “Apakah anda bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah dan bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah Rasulullah?” Orang tersebut menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah bersabda, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia (khalayak) agar mereka berpuasa besok.” (HR Imam yang lima, disahihkan oleh Khuzaimah & Ibnu Hiban).

Demikianlah nabi shallallahu ‘alayhi wasallam yang tidak melihat hilal tersebut begitu ada berita dari orang badui, tanpa menanyakan badui di mana, berapa jaraknya, tapi hanya Tanya apakah kamu muslim? Maka Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam langsung megikuti rukyah ini.

Jika tidak ada kabar rukyah sama sekali maka kembali kepada masing-masing melakukan ikmal, dan puasa atau hari raya sendiri-sendiri, meski berdekatan seperti Madinah dan Syam:

Negri Syam

Hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan dari Kuraib:

أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بَعَثَتْهُ إلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ : فَقَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبَّاسٍ ، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ : مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَالَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ، فَقَالَ : أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ : نَعَمْ ، وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ ، فَقَالَ : لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ أَوْ نَرَاهُ ، فَقُلْتُ : أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ ؟ فَقَالَ : لَا ، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ):
Bahwa Ummul Fadl telah mengutusnya untuk menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata, “Aku memasuki Syam lalu menyelesaikan urusan Ummul Fadhl. Dan bulan Ramadhan tiba saat aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Setelah itu (aku pulang), aku memasuki kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu ‘Abbas lalu bertanya kepadaku dan menyebut persoalan hilal’. Dia bertanya, ‘Kapan kalian melihat hilal?’ Aku menjawab, ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah kamu sendiri melihatnya?’ Aku jawab lagi, ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya. Lalu mereka berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’ Dia berkata lagi, ‘Tapi kami (di Madinah) melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga kami menyempurnakan bilangan tiga puluh hari atau hingga kami melihatnya (sendiri)[7].’ Aku lalu bertanya, ‘Tidak cukupkah kita berpedoman pada ru’yat dan puasa Muawiyyah?’ Dia menjawab, ‘Tidak, (sebab) demikianlah[8] Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam telah memerintahkan kepada kami’. ( HR. Muslim no. 1819; Abu Dawud no. 1985; al-Tirmidzi 629; al-Nasa’i no. 2084; Ahmad no. 2653).
Demikianlah praktek dan realita puasa dan hari raya zaman itu. Sangat realistis. Syam dan Madinah yang berada dalam satu Khilafah berpuasa dan berhari raya beda sebab factor keterbatasan informasi.
Haji Tahun 824 H
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Inba` al-Ghamr Bi Anba` al-Umrpada kejadian tahun 824 H menyebutkan bahwa hari raya idul Adha di Mesir terjadi pada hari Jumat, sementara wukuf di Arofah baru hari itu yaitu jumat.
Haji tahun 828 H
Empat tahun kemudian, menurut catatan al-Hafizh Ibnu Hajar di kitab yang sama, bahwa wukuf di Arofah jatuh pada hari Senin, sedangkan di kairo hari Arofah adalah hari Ahad.
Haji tahun 1357 H/ 1939 M
Arofah 1357 H
Syaikh Ahmad Syakir menceritakan peristiwa tujuh puluh lima tahun yang lalu dalam risalahnya: Awail al-Syuhur al-Arabiyyah (halaman 3) bahwa mahkamah tinggi syariat menetapkan tanggal 1 dzulhijjah tahun 1357 H jatuh pada hari Sabtu, sehingga arofah jatuh pada hari Ahad dan idul adhha hari senin (30 Januari 1939).
Beberapa hari setelah itu, disiarkan di Muqaththam (Gunung sebelah Timur Kairo) bahwa di Saudi Arabia tidak terlihat hilal sehingga diputuskan ikmal, maka tanggal 1 Dzulhijjah adalah Ahad, sehingga wukuf pada hari Senin, dan Idul Adhha hari Selasa (31 Januari 1939).
Sepuluh hari kemudian, hari jumat 21 Februari 1939, surat kabar al-Balagh melalui korespondennya yang ada di Bombai India melaporkan di awal Februari 1939 M bahwa umat Islam India merayakan idul Adha hari Rabu, berbeda dengan Negara-negara Islam yang lain, tidak senin, tidak selasa tapi Rabo! Demikianlah realitanya, berdasarkan madzhab kedua, ini realistis, sesuai dengan realitanya, masing-masing berdiri sendiri tidak ada kaitannya dengan umat Islam atau Negara Islam lainnya.
Apa ini ideal? Apakah ini perlu dipertahankan? Apakah ini sesuai dengan universalitas Islam? apakah sesuai dengan keumuman dan kemutlakan perintah mengikuti rukyah dimanapun? Apakah ini sesuai dengan keinginan Rasulullahshallallahu ‘alayhi wasallam? Apakah ini paling utama, apalagi di zaman revolusi informasi ini?
Jika realita seperti ini boleh, apakah kalau bersatu tidak boleh? Atau malah lebih afdhal lagi?
Kalau Negara-negara ASEAN bersatu bukankah lebih baik?
Kalau Negara-negara di Timur Tengah bersatu bukankah itu lebih baik?
Kalau india dan timur tengah bersatu bukankah ini lebih baik?
Apalagi sekarang sudah ada kesepakatan bilateral antara Saudi dan Mesir untuk melanjutkan proyek pembangunan jembatan “al-Malik Abdullah bin Abdul Aziz” yang menghubungkan dua Negara itu. Jembatan itu memanjang dari daerah Tabuk antara Ra`su Humaid dan selat Tairan sampai pintu masuk teluk aqobah di Mesir melintasi Laut Merah. Tahukan Anda berapa jaraknya? Hanya 50 km. ditambah lagi mulai ada pembicaraan untuk membuat terowongan bawah tanah melewati bawah laut merah! Maka apakah dua Negara yang hanya berjarak 50 km ini harus berbeda tanggal, puasa dan hari raya? Tentu tidak, maka yang baik dan yang rajih adalah harus bersatu.
Perhatikan gambar berikut:
 Saudi dan Mesir 1
Saudi dan Mesir 2
Seandainya Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam sekarang hidup dan mengetahui apakah senang umatnya menonjolkan negaranya masing-masing, membatasi sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam dengan mengatakan: kami orang mesir memiliki rukyat sendiri, tidak ada hubungannya dengan Saudi, dan kami Saudi tidak ada urusannya dengan Mesir?!
Oleh karena itu SYAIKH ALBANI berkata dalam Silsilah al-Shahihah (6/ bagian I/254)
” … ونرى أن من الواجب على الحكومات الإسلامية أن يوحدوا يوم صيامهم و يوم فطرهم ، كما يوحدون يوم حجهم ، و لريثما يتفقون على ذلك ، فلا نرى لشعوبهم أن يتفرقوا بينهم ، فبعضهم يصوم مع دولته ، و بعضهم مع الدولة الأخرى ، و ذلك من باب درء المفسدة الكبرى بالمفسدة الصغرى كما هو مقرر في علم الأصول.. ” اهـ
Jadi sudah menjadi kewajiban pemerintah islam atau pemerintah muslim untuk memperhatikan ini, karena ini tugasnya. Imam Hasan Bashri berkata tentang umara`:
” هم يلون من أمورنا خمساً : الجمعة والجماعة ، والعيد ، والثغور ، والحدود ، والله لا يستقيم الدين إلا بهم ، وإن جاروا وظلموا ” . اهـ ،
“mereka mengurusi 5 perkara dari urusan kami: shalat jum’at, shalat jamaah, hari raya, pengamanan daerah-daerah perbatasan (jihad), dan pelaksanaan hukum-hukum Islam.”[9]
Semua kembali kepada semangat bersatu dan mengamalkan dalil secara maksimal
HAJI TAHUN 845 H
Beginilah seharusnya, dibangun kesadaran jika sudah ada berita hilal :
Tahun 845 H, wukuf di Arofah ditetapkan berdasarkan rukyat ahli Syam (berbeda dengan ijtihad Ibnu Abbas di zamannya) ini betul-betul mengamalkan hadits Nabishallallahu ‘alayhi wasallam “shumu lirukyatihi!”
Al-hafizh ibnu Hajar dalam kitab yang sama di peristiwa tahun 845 mengatakan bahwa wukuf di Arofah itu ditetapkan berdasarkan rukyat ahli Syam. Ceritanya: “Sampainya jamaah haji di makkah pada waktu sahar (menjelang subuh) hari Kamis (30 dzulqa’dah atau 1 dzulhijjah), penduduk Makkah tidak berhasil melihat hilal awal Dzulhijjah pada malam Kamisnya, karena banyak mendung. Mereka bertanya kepada penduduk Makkah, mereka tidak ada yang tahu adanya rukyat hilal.
Mereka di hari kamis itu tetap seperti itu, dengan kesimpulan “ikmal” bahwa wukuf (tanggal 9 Dzulhijjah) akan jatuh pada hari sabtu. Qadhi al-Syafi’i mengarahkan mereka agar keluar pada hari Kamis dan berjalan menuju Arafah agar mendapatkan wukuf di jumat malam sabtu sebagai bentuk kehati-hatian dan dilanjutkan wukuf hari Sabtu. Tatkala mereka dalam kebingungan tersebut masuklah jamaah haji dari Syam, mereka mengabarkan bahwa hilal 1 dzulhijjah telah terlihat pada malam Kamis, dan telah disahkan oleh Qadhi mereka, maka penduduk Makkah memutuskan berdasarkan rukyah Syam ini, dan mereka wukuf hari Jumat dan meninggalkan Arofah di malam Sabtu seperti biasa.”
Haji tahun 1435 H
Kita di Indonesia, TAHUN 1435 H malam rabo (malam 30 dzul qa’dah) jam 19 sudah diputuskan, “karena tdk melihat hilal di seluruh Indonesia maka tanggal satu Dzulhijjah jatuh hari jumat, arofah hari sabtu dan ahad hari raya.
Lalu ada berita bahwa ada rukyat di Saudi Arabiya dan diputuskan di sana tanggal 1 kamis, wuquf hari jumat, hari raya sabtu.
Yang unik. Mesir di tahun 1435 H ini sama dengan Saudi!
Ringkasannya dalam segi ilmiah, dakwah dan amaliyyah:
1.Sisi ilmiah: Yang rajih menurut kami adalah madzhab jumhur ulama yaitu tauhid al-Rukyah, bukan ikhtilaf al-Mathali’. Bahwa khithab untuk ikut rukyah diarahkan kepada umumnya umat Islam. maka bilamana kaum muslimin melihat hilal di negri mana saja hal itu mengikat kaum muslimin yang lain, dalam puasa, idul fitri maupun haji dan idul Adha, sebab kaum muslimin adalah umat yang satu, dan negri mereka adalah negri yang satu, apakah negri-negri itu berdekatan maupun jauh.
2.Sisi dakwah: supaya yang rajih dan yang mempersatukan umat ini bisa berlaku maka wajib disosialisasikan atau diwacanakan dalam forum-forum nasional, regional dan internasional, termasuk di pusat-pusat kajian dan pendidikan umat Islam.
3.Sisi amaliyyah: sambil menunggu proses pewacanaan dan sosialisasi, maka Negara-negara islam melakukan puasa dan hari raya sebagaimana biasa. Dan kalau bisa ikut menfasilitasi pewacanaan dan sosialisasi tersebut.
bagi para ulama dan da’i, sambil menunggu proses tersebut, apa yang bisa diamalkan maka diamalkan. Misal, puasa arofah ikut wukuf di arofah atau juga hari rayanya jika memungkinkan dan maslahat tanpa madharat. Jika maslahatnya ditangguhkan ya ditangguhkan, yaitu ikut Negara masing-masing. Jadi sifatnya kondisional. Selagi ini masalah ijtihadiyyah maka fleksibel, bisa saja kita mengamalkan yang marjuh menurut kita untuk kemaslahatan.
Untuk keperluan ini saya sampaikan sekaligus sebagai penutup yaitu fatwa Para masyayikh yang tergabung dalam Lajnah Daimah yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
Soal: apakah kami bisa puasa di sini dua hari untuk puasa Arofah, sebab kita mendengar di radio bahwa besuk puasa Arofah, yang ini bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah di negri kami.
Ka'bah 1297 H. 1880 M
هل نستطيع أن نصوم هنا يومين لأجل صوم يوم عرفة؛ لأننا هنا نسمع في الراديو أن يوم عرفة غدًا يوافق ذلك عندنا الثامن من شهر ذي الحجة؟
jawab:
يوم عرفة هو اليوم الذي يقف الناس فيه بعرفة ، وصومه مشروع لغير من تلبس بالحج، فإذا أردت أن تصوم فإنك تصوم هذا اليوم، وإن صمت يومًا قبله فلا بأس، وإن صمت الأيام التسعة من أول ذي الحجة فحسن؛ لأنها أيام شريفة يستحب صومها؛ لقول النبي صلى الله عليه وسلم: « ما من أيام العمل الصالح فيهن خير وأحب إلى الله من هذه الأيام العشر” قيل: يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: “ولا الجهاد في سبيل الله، إلا رجل خرج بنفسه وماله، ثم لم يرجع من ذلك بشيء » رواه البخاري . وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء

عضو الرئيس

عبد الله بن غديان / عبد العزيز بن عبد الله بن باز ( “[10]

Hari arofah adalah hari yang manusia berwukuf di dalamnya di Arofah, dan puasanya disyariatkan bagi selain jamaah haji. Jika anda ingin berpuasa maka puasalah hari ini. Jika anda puasa satu hari sebelumnya maka boleh, jika anda puasa 9 hari dari tanggal 1 dzulhijjah maka baik, karena itu hari-hari utama dianjurkan puasanya, karena sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam: “ tidak ada kumpulan hari-hari yang amal di dalamnya lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dari pada sepuluh hari ini. Ditanyakan: tidak juga jihad di jalan Allah? Beliau bersabda: tidak juga jihad di jalan Allah kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya dan tidak pulang membawa sedikitpun darinya (alias mati syahid) (HR. Bukhari)
Wabillahi al-Taufiq, washallallahu ala nabiyyina Muhammad wa alihi washahbih wa sallam.
Jangan lupa mendokan kami. Barokallahu fikum
Malang, Kamis 9 Dzulhijjah 1435 H.
________________________________
[2] : القول بيوم عرفة هو اليوم التاسع من ذي الحجة وأنه علم على الزمان لا المكان فغير صحيح ، والدليل على أنه علم على المكان اتفاق العلماء أن أهل الموقف إذا أخطئوا عرفة ووقفوا يوم العاشر فبان بعد انتهاء وقته بأن وقوفهم كان خطأً ، فيجزئهم ذلك الوقوف وحجهم صحيح ، بل رجح شيخ الإسلام ابن تيمية أن هذا اليوم الذي أخطئوا فيه هو يوم عرفة باطناً وظاهراً ولا خطأ في ذلك ، لأن يوم عرفة هو اليوم الذي يعرف فيه الناس . ( انظر : ” مجموع الفتاوى ” ( 22 / 211 ) ) ، قال ابن رجب في ” فتح الباري ” وكذلك النووي في ” المجموع ” ( 5 / 29 ) : ” .. يوم عرفة هوَ اليوم الذي يظهر للناس ، أنه يوم عرفة ، سواء كانَ التاسع أو العاشر..” اهـ .
[3] مختصر المزني8 / 155
[4] الماوردي: الحاوي الكبير (3 / 472):
[5] Al-umm 1/264
الأم للشافعي 2 / 111
قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلَوْ اشْتَبَهَتْ الشُّهُورُ عَلَى أَسِيرٍ فَتَحَرَّى شَهْرَ رَمَضَانَ فَوَافَقَهُ أَوْ مَا بَعْدَهُ مِنْ الشُّهُورِ فَصَامَ شَهْرًا أَوْ ثَلَاثِينَ يَوْمًا أَجْزَأَهُ، وَلَوْ صَامَ مَا قَبْلَهُ فَقَدْ قَالَ قَائِلٌ لَا يَجْزِيهِ إلَّا أَنْ يُصِيبَهُ أَوْ شَهْرًا بَعْدَهُ فَيَكُونُ كَالْقَضَاءِ لَهُ وَهَذَا مَذْهَبٌ. وَلَوْ ذَهَبَ ذَاهِبٌ إلَى أَنَّهُ إذَا لَمْ يَعْرِفْهُ بِعَيْنِهِ فَتَأَخَّاهُ أَجْزَأَهُ قَبْلُ كَانَ أَوْ بَعْدُ، كَانَ هَذَا مَذْهَبًا وَذَلِكَ أَنَّهُ قَدْ يَتَأَخَّى الْقِبْلَةَ، فَإِذَا عَلِمَ بَعْدَ كَمَالِ الصَّلَاةِ أَنَّهُ قَدْ أَخْطَأَهَا أَجْزَأَتْ عَنْهُ وَيُجْزِي ذَلِكَ عَنْهُ فِي خَطَأِ عَرَفَةَ وَالْفِطْرِ، وَإِنَّمَا كُلِّفَ النَّاسُ فِي الْمَغِيبِ الظَّاهِرُ، وَالْأَسِيرُ إذَا اشْتَبَهَتْ عَلَيْهِ الشُّهُور فَهُوَ مِثْلُ الْمَغِيبِ عَنْهُ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
(قَالَ الرَّبِيعُ) : وَآخِرُ قَوْلِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يُجْزِيهِ إذَا صَامَهُ عَلَى الشَّكِّ حَتَّى يُصِيبَهُ بِعَيْنِهِ أَوْ شَهْرًا بَعْدَهُ وَآخِرُ قَوْلِهِ فِي الْقِبْلَةِ كَذَلِكَ لَا يُجْزِيهِ وَكَذَلِكَ لَا يُجْزِيهِ إذَا تَأَخَّى، وَإِنْ أَصَابَ الْقِبْلَةَ فَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ إذَا كَانَ تَأَخِّيهِ بِلَا دَلَالَةٍ وَأَمَّا عَرَفَةُ وَيَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى فَيُجْزِيهِ؛ لِأَنَّ هَذَا أَمْرٌ إنَّمَا يَفْعَلُهُ بِاجْتِمَاعِ الْعَامَّةِ عَلَيْهِ وَالصَّوْمُ وَالصَّلَاةُ شَيْءٌ يَفْعَلُهُ فِي ذَاتِ نَفْسِهِ خَاصَّةً
[6] الأم للشافعي (2 / 142)
[7] Sebab di zaman itu butuh 1 bulan untuk membawa berita hilal di Syam ke Madinah, jadi, ya sendiri-sendiri, masing-masing dengan rukyah sendiri-sendiri.
[8] Kata “demikianlah Rasulullah memerintahkan kami” ini kembali kepada Rasulullahshallallahu ‘alayhi wasallam, hadits yang ada bahkan riwayat Ibnu Abbas sendiri adalah “Shumu li rukyatihi” sebagaimana di atas.
[9] Ibnu Rajab, Jamiul Ulum wal hikam, halaman 456.
[10] فتاوى اللجنة ” (10 / 393 ) )
Posted on October 3, 2014 by admin .binamasyarakat.com

10.complements

Pendapatyang menyatakan puasa Arafah mengikuti Arab Saudi, sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Utsman bin ‘Abdillah As-Salimi hafizhahullah, salah seorang ulama besar di Yaman, dan termasuk murid senior Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimauhllah. Dalam salah satu pelajaran yang disampaikan ba’da zhuhur tanggal 3 Dzulhijjah yang lalu, beliau ditanya:
Apakah kita beridul Adha (yakni mulai menyembelih hewan kurban) dengan mengikuti Arab Saudi, sementara kami di Maroko, meskipun hal ini menyelisihi dan mendahului waliyul amr (pemerintah), dan hal ini juga bisa menimbulkan fitnah sebagaimana yang anda ketahui?
Maka beliau menjawab:
Idul Adha wajib atas seluruh kaum muslimin untuk mengikuti negeri Al-Haramain (Arab Saudi), karena pelaksanaan ibadah haji berada di sana, sehingga yang dijadikan patokan adalah pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah (sesuai dengan yang di Arab Saudi), maka hendaknya kalian melaksanakan puasa hari Arafah ketika di negara Arab Saudi juga berpuasa, yaitu ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah.
Adapun waliyul amr (pemerintah), baik di Maroko maupun negeri yang lain, tidak boleh bagi mereka untuk menyelisihi umat Islam (yang berpatokan pada pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah di Saudi tersebut).
Namun apabila kalian khawatir terjadinya fitnah, jika kalian sanggup, maka hendaknya kalian menyembelih hewan kurban pada hari nahr secara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak mampu, maka pada hari keduanya tidak mengapa. Hari-hari penyembelihan itu banyak, yaitu hari nahr (10 Dzulhijjah), tanggal 11, tanggal 12, dan menurut pendapat yang benar adalah juga tanggal 13 sebagaimana yang dikatakan Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama yang lain.
Sehingga kalian boleh memilih, tidak mengapa bagi kalian untuk mengakhirkan dan mengikuti negeri kalian dalam menyembelih hewan kurban jika khawatir timbul fitnah. Wabillahit taufiq.
Akan tetapi hendaknya kalian tetap merasa bahwa hari Id (yang benar) adalah bersama dengan negeri Saudi Arabia. Semoga Allah memberikan taufik kepada kalian.
Adapun untuk shalat id, maka dilakukan pada hari kedua (dari hari nahr, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah) selama di negeri tersebut semuanya melaksanakan id bersama dengan pemerintah setempat, sehingga jika khawatir terjadi fitnah, maka boleh mengakhirkan shalat id pada hari kedua.
Kesimpulan
Kaum muslimin di Indonesia -sebagaimana yang telah diumumkan sendiri oleh pemerintah-, diberi keleluasaan untuk memilih waktu puasa Arafah dan hari Id-nya, silakan mengikuti pemerintah atau boleh juga mengikuti Arab Saudi. Dari keterangan para ulama di atas, maka Insya Allah tidak mengapa bagi setiap muslim di negeri ini untuk menentukan waktu puasa dan hari rayanya sesuai dengan pendapat yang menurut dia lebih tepat (tentunya dalam memilih pendapatnya itu harus dengan didasari oleh ilmu, tanpa ada sikap taqlid, apalagi memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu diri dan kelompoknya), karena masing-masing pendapat tersebut berdasarkan ijtihad para ulama yang bersumber dari dalil-dalil yang syar’i.
Pemerintah memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk memilih waktu puasa dan hari rayanya, sehingga kalau dia berpuasa dan berhari raya tidak bersamaan waktunya dengan pemerintah, ini bukan termasuk bentuk ketidaktaatan kepada waliyul amr.


KAMIS, OKTOBER 02, 2014
IKut Mekkah atau rukyah hilal negara masing - masing ?
Alghifari Smith

WUQUF DI ARAFAH ADALAH ACUAN.

Mufti Agung Al-Quds, Palestina, Syaikh Mohammed Hussein mengingatkan kaum Muslimin di seluruh dunia, bahwa Arab Saudi melalui kesaksian hilal, hendaknya diikuti negeri-negeri lainnya. Sebab kiblat dan pusat jamaah haji ada di tanah suci Mekkah al-Mukarramah.

“Sebab ini berkaitan dengan ibadah lainnya. Jumat (3/10) adalah Hari Arafah, di mana jutaan jamaah haji berkumpul di padang Arafah, maka umat Muslim lainnya yang tidak haji disunahkan puasa Arafah,” ujar Mufti Hussein.

Demikian pula, Sabtu di Mekkah dan tempat-tempat lainnya di seluruh dunia sama-sama melaksanakan Hari Raya Idul Adha 1435.

Mahkamah Agung Saudi Arabia meminta kaum Muslimin di seluruh dunia agar mengacu pada putusan Saudi Arabia sebagai kiblat yang memimpin jutaan umat Islam di seluruh dunia yang berhaji ke Tanah Suci.
“Berbeda dengan Idul Fitri yang memungkinkan perbedaan, tetapi ini Idul Adha, acuannya adalah jamaah haji di tanah suci Mekkah al-Mukarramah, umat Islam seluruh dunia merayakan Idul Adha pada saat yang sama dengan Arab Saudi,” bunyi pernyataan.
Di samping berkaitan dengan penampakan bulan (rukyatul hilal) tersebut, tentunya, yang paling pokok adalah saat jamaah haji seluruhnya melaksanakan wuquf di Arafah pada Jumat (3/10) nanti, sebagai puncak ibadah haji. Ini bisa disaksikan dari seluruh dunia.
Dalam rangka penyatuan penanggalan Kalender Dunia Islam, Organisasi Konferensi Islam (OKI) sebenarnya pernah membuat kesepakatan yang dikenal dengan Konvensi Istambul 1978. Konvensi Istambul adalah pertemuan Musyawarah Ahli Hisab dan Ru’yat di Istanbul, Turki tahun 1978 yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 19 Negara Islam (termasuk Indonesia), ditambah dengan tiga Lembaga Kegiatan Masyarakat Islam di Timur Tengah dan Eropa.
Ada tiga kesepakatan terpenting Konvensi Istambul, yaitu pertama, sepakat satunya penanggalan bagi dunia Islam. Kedua, ru’yatul hilal (penglihatan bulan) suatu negara berlaku untuk semua negara. Ketiga, Mekkah Al-Mukarramah dijadikan sentral ru’yatul hilal dan pusat informasi ke seluruh negeri-negeri Islam.
Di tengah situasi global yang semakin mendewasakan umat Islam, semoga ukhuwah Islamiyah, persatuan dan kesatuan umat Islam, dapat terwujud di tengah perbedaan penetapan yang ada, khususnya dalam penetapan satu Ramadhan, 1 Dzulhijjah, Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha.
Terlepas dari perbedaan itu semua, kami hanya mengingatkan kepada Pihak Pemerintah RI, terutama Kementerian Agama, hendaknya memperhatikan acuan pelaksanaan ibadah haji adalah di tanah suci Mekkah al-Mukarramah, sebab ini berkaitan dengan ibadah-ibadah lainnya. Seperti saat wuquf di Arafah, Jumat nanti 9 Dzulhijjah (3/10), sehingga disebut Haji Akbar. Maka umat Islam di seluruh dunia lainnya, dianjurkan untuk melaksanakan puasa Arafah.
Esok harinya, Sabtu 10 Dzulhijjah berarti Hari Raya Idul Adha bagi umat Islam di seluruh dunia.
Jika kemudian Pemerintah RI melalui Kementerian Agama, yang dibacakan oleh Wamenag Nasaruddin Umar, menetapkan Idul Adha adalah Ahad (5/10), lalu mereka puasa Arafah berarti Sabtu (4/10). Yang menjadi tanda tanya sangat besar adalah puasa Arafah mengikuti Arafah yang mana? Padahal pula, Sabtu (4/10) itu kaum Muslimin di Mekkah al-Mukarramah dan di seluruh dunia, sedang melaksanakan shalat Idul Adha. Ini berarti, keputusan pemerintah tentang hari puasa Arafah yang jatuh pada Hari Raya adalah haram hukumnya. Kalau ini diikuti pula oleh jutaan umat Islam, maka berdosalah pemerintah dan umat Islam bila melaksanakan putusan itu.
Lalu, apakah keputusan sepenting itu dan menyangkut umat Islam mayoritas Indonesia tersebut, ditetapkan oleh Wakil Menag. Padahal Menteri Agama sebagai Amirul Haj Indonesia sedang berada di tanah suci Mekkah, mendengar sendiri dan menyaksikan sendiri ibadah haji di sana ?
Kami juga hanya mengingatkan kepada seluruh kaum Muslimin di manapun berada, hendaknya mengikuti haji di tanah suci sebagai acuan pelaksanaaan ibadah terkait, termasuk puasa Arafah dan penentuan Hari Raya Idul Adha 1435 tahun ini.
Bagi Pemerintah RI melalui Kemenag, masih terbuka perubahan keputusan buatan manusia, demi tanggung jawab di hadapan Allah dan tanggung jawab di hadapan jutaan umat Muslim Indonesia khususnya.
Dan kisruh seperti ini tidak akan ada ketika institusi pemersatu kaum muslimin, Khilafah Islamiyah 'alaa Minhaajin Nubuwwah telah tegak di tengah-tengah umat.


PUASA ARAFAH DAN IDUL ADHA, IKUT PEMERINTAH ATAU ARAB SAUDI?

Pendapat kedua: puasa Arafah mengikuti Arab Saudi, namun idul adha mengikuti pemerintah ?
Ini sebagaimana yang disebutkan oleh Asy-Syaikh ‘Utsman bin ‘Abdillah As-Salimi hafizhahullah, salah seorang ulama besar di Yaman, dan termasuk murid senior Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimauhllah. Dalam salah satu pelajaran yang disampaikan ba’da zhuhur tanggal 3 Dzulhijjah yang lalu, beliau ditanya:
Apakah kita beridul Adha (yakni mulai menyembelih hewan kurban) dengan mengikuti Arab Saudi, sementara kami di Maroko, meskipun hal ini menyelisihi dan mendahului waliyul amr (pemerintah), dan hal ini juga bisa menimbulkan fitnah sebagaimana yang anda ketahui?
Maka beliau menjawab:
Idul Adha wajib atas seluruh kaum muslimin untuk mengikuti negeri Al-Haramain (Arab Saudi), karena pelaksanaan ibadah haji berada di sana, sehingga yang dijadikan patokan adalah pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah (sesuai dengan yang di Arab Saudi), maka hendaknya kalian melaksanakan puasa hari Arafah ketika di negara Arab Saudi juga berpuasa, yaitu ketika para jama’ah haji melakukan wukuf di Arafah.
Adapun waliyul amr (pemerintah), baik di Maroko maupun negeri yang lain, tidak boleh bagi mereka untuk menyelisihi umat Islam (yang berpatokan pada pelaksanaan ibadah haji dan hari Arafah di Saudi tersebut).
Namun apabila kalian khawatir terjadinya fitnah, jika kalian sanggup, maka hendaknya kalian menyembelih hewan kurban pada hari nahr secara sembunyi-sembunyi. Kalau tidak mampu, maka pada hari keduanya tidak mengapa. Hari-hari penyembelihan itu banyak, yaitu hari nahr (10 Dzulhijjah), tanggal 11, tanggal 12, dan menurut pendapat yang benar adalah juga tanggal 13 sebagaimana yang dikatakan Asy-Syafi’i dan sekelompok ulama yang lain.
Sehingga kalian boleh memilih, tidak mengapa bagi kalian untuk mengakhirkan dan mengikuti negeri kalian dalam menyembelih hewan kurban jika khawatir timbul fitnah. Wabillahit taufiq.
Akan tetapi hendaknya kalian tetap merasa bahwa hari Id (yang benar) adalah bersama dengan negeri Saudi Arabia. Semoga Allah memberikan taufik kepada kalian.
Adapun untuk shalat id, maka dilakukan pada hari kedua (dari hari nahr, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah) selama di negeri tersebut semuanya melaksanakan id bersama dengan pemerintah setempat, sehingga jika khawatir terjadi fitnah, maka boleh mengakhirkan shalat id pada hari kedua. Kaum muslimin di Indonesia -sebagaimana yang telah diumumkan sendiri oleh pemerintah-, diberi keleluasaan untuk memilih waktu puasa Arafah dan hari Id-nya, silakan mengikuti pemerintah atau boleh juga mengikuti Arab Saudi. Dari keterangan para ulama di atas, maka Insya Allah tidak mengapa bagi setiap muslim di negeri ini untuk menentukan waktu puasa dan hari rayanya sesuai dengan pendapat yang menurut dia lebih tepat (tentunya dalam memilih pendapatnya itu harus dengan didasari oleh ilmu, tanpa ada sikap taqlid, apalagi memilih pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu diri dan kelompoknya), karena masing-masing pendapat tersebut berdasarkan ijtihad para ulama yang bersumber dari dalil-dalil yang syar’i.

DAN BAGI YANG MENGIKUTI PENDAPAT KEDUA, DIA MEMILIKI DASAR:
* PUASA ARAFAH DISESUAIKAN WAKTUNYA DENGAN WAKTU WUKUFNYA JAMA’AH HAJI DI ARAFAH. SESUAI DENGAN NAMANYA, BAHWA PUASA ARAFAH ADALAH PUASA YANG DILAKUKAN KETIKA JAMA’AH HAJI MELAKUKAN WUKUF DI ARAFAH. WALLAHU A’LAM.
* PEMERINTAH MEMBERIKAN KELELUASAAN KEPADA MASYARAKAT UNTUK MEMILIH WAKTU PUASA DAN HARI RAYANYA, SEHINGGA KALAU DIA BERPUASA DAN BERHARI RAYA TIDAK BERSAMAAN WAKTUNYA DENGAN PEMERINTAH, INI BUKAN TERMASUK BENTUK KETIDAKTAATAN KEPADA WALIYUL AMR.
* ADAPUN UNTUK SHALAT ID-NYA, BOLEH BAGI DIA UNTUK MELAKUKANNYA BERSAMAAN DENGAN PEMERINTAH KARENA BIASANYA MAYORITAS UMAT ISLAM DI NEGERI INI MENGIKUTI PEMERINTAH, SEHINGGA JIKA DIKHAWATIRKAN TIMBUL FITNAH, TIDAK MENGAPA UNTUK MELAKUKAN SHALAT ID SESUAI DENGAN PEMERINTAH NEGERI INI, BERBEDA DENGAN PUASA YANG ITU MERUPAKAN AMALAN YANG TIDAK NAMPAK.
Wallahu a’lam bish shawab.
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=556)
http://dzulhijjah.wordpress.com/2014/09/25/puasa-arafah-dan-idul-adha-ikut-pemerintah-atau-arab-saudi/

Ada keanehan lagi mengikuti keanehan yang sudah ada, yaitu meski banyak yang puasa Arafah ikut ketetapan Pemerintah Saudi Arabia, yaitu hari Senin, ternyata ketika shalat Idul Adha tidak ikut. Sebaliknya, giliran shalat Idul Adha malah ikut ketetapan Pemerintah Indonesia, yaitu hari Rabu. Hehe, ternyata ada ketidak-konsistenan dalam bertaqlid. Padahal seharusnya kalau taqlidnya ikut Pemerintah Saudi Arabia, yaitu puasa Arafah hari Senin, maka shalat Idul Adha-nya harus hari Selasa, sesuai taqlidnya.
Sebab kalau shalatnya hari Rabu, sama saja shalat tanggal 11 Dzulhijjah. Dan kalau mau jujur, sebenarnya dengan cara begitu justru merupakan bid`ah yang nyata, karena sepanjang sejarah Rasulullah SAW tidak pernah shalat Idul Adha tanggal 11 Dzulhijjah. Kalau pun beliau pernah mengqadha` shalat Ied, karena memang beliau baru tahu setelah waktu shalat Ied terlewat.
Sedangkan yang satu ini, sejak awal sudah niat mau puasa Arafah hari Senin ikut Saudi, tapi mau shalat Ied hari Rabu. Padahal kan harusnya kalau mau shalat Ied hari Rabu, harus yakin bahwa hari Rabu adalah tanggal 10 Dzulhijjah, berarti puasa sunnahnya hari Selasa tanggal 9 Dzulhijjah.
Tapi ya inilah keanehan bangsaku, kelakuannya sering bertaqlid separo-separo. Orang Jawa bilang,"Ngono yo ngono ming ojo ngono". 
Tapi menghadapi teman-teman yang model begini, saya sering jawab sambil ngejoke, prinsinya seperti hafalan si zaman SD dulu, Men Sana In Corpore Sano. Lu mau kesana gue mau kesono.
Maksudnya?
Ya, terserah lah. Namanya juga taqlid. Sesama tukang taqlid dilarang saling mendahului. Toh puasa Arafah cuma sunnah bukan wajib. Nggak puasa juga kagak nape-nape.
 Wallahu a`lambishshsawab,

Pemerintah/Ulil Amri " TIDAK MELARANG/MENGANGGAP BUGHOT" kalau waktu "Puasa Arafah" Merujuk pada saat Kaum Muslimim Wukuf di Arafah ( Saudi Arabia). Pemerintah/Ulil Amri bahkan mempersilahkan Umat Islam untuk memilih " Manhaj yang diyakini" untuk menentukan waktu Puasa Arafah ! Keputusan Pemerintah/Ulil Amri tergantung masukan/perundingan para ulamanya/sidang isbat. Kenapa tidak dilakukan terobosan " untuk mengkaji lebih dalam", Dalil mana yang lebih Sarih/Shahih dalam mengambil keputusan waktu Puasa Arafah. Keanehan yang dilakukan sebagian orang, Puasa ikut Saudi...Idul Adha ikut keputusan Pemerintah, ini namanya "mempermainkan Aqidah dan Munafik !!, mau enaknya ambil jalan tengah. Juga para ustadz yang mendalami masalah ini, harus berani mempelajari/lebih kritis dan dialektis terkait kebenaran ilmunya. jangan ditarik-tarik ke masalah " kepatuhan kepada ulil amri". tidak takut ancaman Allah azza wa jalla ?