7. Al-Imam Ibnu Utsaimin :Shaum Arafah Tidak Mengikuti Saudi
Assalamualaikum warahmatullah
Topik ini telah dibahas di
milis salafyITB menjelang idul adha kemarin.Walaupun sudah berlalu, niscaya
akan selalu kita jumpai ditahun tahun mendatang, sehingga Admin merasa perlu
untuk membawa topik ini di blog.Mudah-mudahan ada keterangan lain
dari pengunjung blog yang bisa kita saling menimba ilmu dan informasi.Karena
kita ketahui persoalan ini telah terjadi perbedaan pendapat.Kaminukilkan
dua fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin dalam hal ini.
Fatwa Pertama
Syaikh Utsaimin
ditanya oleh para pekerja negara lain di kedutaan saudi dimana mereka
punya masalah berkaitan dengan puasa ramadhan dan puasa arafah.Kelompok pertama
mengatakan”Kami akan berpuasa dan berbuka mengikuti Saudi”.Kelompok kedua “Kami
akan mengikuti negara kami”.Dan kelompok yang satu lagi berkata“Kami akan puasa
ramadhan sesuai negara kami, akan tetapi mengikuti Saudi untuk puasa arafah”
نحن هنا نعاني بخصوص صيام شهر رمضان المبارك وصيام يوم عرفة ، وقد انقسم الأخوة هناك إلى ثلاثة أقسام :
قسم يقول : نصوم مع المملكة ونفطر مع المملكة .
قسم يقول نصوم مع الدولة التي نحن فيها ونفطر معهم .
قسم يقول : نصوم مع الدولة التي نحن فيها رمضان ، أما يوم عرفة فمع المملكة .
وعليه آمل من فضيلتكم الإجابة الشافية والمفصلة لصيام شهر رمضان المبارك ، ويوم عرفة مع الإشارة إلى أن دولة . . . وطوال الخمس سنوات الماضية لم يحدث وأن وافقت المملكة في الصيام لا في شهر رمضان ولا في يوم عرفة ، حيث إنه يبدأ صيام شهر رمضان . بعد إعلانه في المملكة بيوم أو يومين ، وأحيانا ثلاثة أيام .
فأجاب :
اختلف العلماء رحمهم الله فيما إذا رؤي الهلال في مكان من بلاد المسلمين دون غيره ، هل يلزم جميع المسلمين العمل به ، أم لا يلزم إلا من رأوه ومن وافقهم في المطالع ، أو من رأوه ، ومن كان معهم تحت ولاية واحدة ، على أقوال متعددة ، وفيه خلاف آخر .
والراجح أنه يرجع إلى أهل المعرفة ، فإن اتفقت مطالع الهلال في البلدين صارا كالبلد الواحد ، فإذا رؤي في أحدهما ثبت حكمه في الآخر ، أما إذا اختلفت المطالع فلكل بلد حكم نفسه ، وهذا اختيار شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله تعالى وهو ظاهر الكتاب والسنة ومقتضى القياس :
أما الكتاب فقد قال الله تعالى : ( فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون ) فمفهوم الآية : أن من لم يشهده لم يلزمه الصوم .
وأما السنة فقد قال النبي صلى الله عليه وسلم ( إذا رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا ) مفهوم الحديث إذا لم نره لم يلزم الصوم ولا الفطر .
وأما القياس فلأن الإمساك والإفطار يعتبران في كل بلد وحده وما وافقه في المطالع والمغارب ، وهذا محل إجماع ، فترى أهل شرق آسيا يمسكون قبل أهل غربها ويفطرون قبلهم ، لأن الفجر يطلع على أولئك قبل هؤلاء ، وكذلك الشمس تغرب على أولئك قبل هؤلاء ، وإذا كان قد ثبت هذا في الإمساك والإفطار اليومي فليكن كذلك في الصوم والإفطار الشهري ولا فرق .
ولكن إذا كان البلدان تحت حكم واحد وأَمَرَ حاكمُ البلاد بالصوم ، أو الفطر وجب امتثال أمره ؛ لأن المسألة خلافية ، وحكم الحاكم يرفع الخلاف .
وبناء على هذا صوموا وأفطروا كما يصوم ويفطر أهل البلد الذي أنتم فيه سواء وافق بلدكم الأصلي أو خالفه ، وكذلك يوم عرفة اتبعوا البلد الذي أنتم فيه
Syaikh Utsaimin menjawab:
Ulama berbeda pandangan mengenai apakah jika hilal tampak di suatu negeri
melazimkan negeri lainnya mengikuti beramal dengannya.Ataukah hanya bagi yang
melihat hilal atau bagi negeri yang satu mathla’ dengannya atau wilayah yang
satu pemerintahan.Disini terjadi banyak sudut pandang yang berbeda.
Yang Rajih (unggul)
,bahwasannya hal ini dikembalikan kepada ahli ilmu.Jika dua negeri
bertepatan atau satu mathla’ maka dihitung seperti
satu negeri.Jika salahsatunya melihat, maka berlaku hukum yang sama
bagi negeri yang satunya tadi.Iniadalah pendapat yang dipilih oleh
Syaikhul Islam Ibnu taimiyah.Dan inilah yang sesuai dengan kitab dan
sunnah serta qiyas.
Adapun dalil Al-Kitab :
فمن شهد منكم الشهر فليصمه ومن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر يريد الله بكم اليسر ولا يريد بكم العسر ولتكملوا العدة ولتكبروا الله على ما هداكم ولعلكم تشكرون
(……Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu……….. 2:185)
Mafhum ayat ini, yang tidak
melihat maka tidak diwajibkan.
Adapun dalil as-sunnah
Sabda Rasulullah shalallahu alaihi wasalam: إذا رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا
( Apabila kalian melihat (hilal) berpuasa dan berbukalah )
Mafhum hadist ini, jika tidak
melihat maka tidak wajib.
Adapun dalil qiyas :
Waktu dimulai dan berakhiranya puasa tiap hari di tiap negeri berdsarkan waktu
lokal terbit dan tenggelamnya matahari
Akan tetapi jika ada dua
wilayah dibawah satu peemrintahan,kemudia penguasa memerintahkan satu wilayah
berpuasa atau berbuka maka wajib bagi negeri satunya untuk mengikuti.Karena
permasalahan ini khilafiyah, sedangkan keputusan hakim menghilangkan khilaf.
Berdasar ini maka berpuasalah
serta berbuka menurut penduduk negeri kalian dimana kalian sedang berada,sama
saja apakah cocok dengan keputusan negeri asal kalian atau tidak.Demikian pula
hari arafah, ikutilah negeri dimana kalian berada
Fatwa kedua
Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya
apabila terjadi perbedaan hari arafah dikarenakan penampakan hilal yang berbeda
di negeri yang berbeda,apakah kita berpuasa mengikuti negeri dimana kita
tinggal ataukan mengikuti negeri haramain (Saudi Arabia)
Dijawab beliau :
والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع ، فمثلا إذا كان الهلال قد رؤي بمكة ، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع ، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد ، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم ، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة ، هذا هو القول الراجح ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول ( إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا ) وهؤلاء الذين لم ير في جهتهم لم يكونوا يرونه ، وكما أن الناس بالإجماع يعتبرون طلوع الفجر وغروب الشمس في كل منطقة بحسبها ، فكذلك التوقيت الشهري يكون كالتوقيت اليومي . [ مجموع الفتاوى 20 ]
Persoalan ini terjadi
perbedaan pendapat dikalangan ahli ilmu,apakah hilal itu satu bagi seluruh
dunia ataukah berbeda sesuai perbedaan mathla’.
Pandangan yang rajih adalah
berbeda berdasar perbedaan mathla’ (dimana hilal itu dilihat di berbagai
tempat).Misalnya, jika hilal sudah dapat terlihat di Mekah, dan hari ini adalah
hari kesembilan.Kemudian di negeri lain hilal dapat dilihat sehari sebelum
nampak di Mekah,maka hari arafah di Mekah adalah hari kesepuluh bagi
mereka,maka ini tidak diperbolehkan bagi mereka untuk berpuasa di hari
ini,karena hari tersebut adalah hari idul adha bagi mereka.
Atau sebaliknya jika hal ini
terjadi dimana mereka melihat bulan sehari setelah Mekah,maka hari kesembilan
(Dzulhijah) adalah tanggal 8 Djulhijjah bagi mereka,maka mereka harus berpuasa
di tanggal 9 menurut mereka (walaupun bertepatan tanggal 10 bagi Mekah).Inilah
pandangan yang rajih karena Nabi shalallahu alaihi wassalam mengatakan :
إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا
“Apabila kamu melihat (hilal)
berpuasalah, dan (juga) jika kamu melihatnya maka berbukalah”
Maka mereka yang tidak
melihat hilal di negerinya maka dia belum melihatnya (sebagaimana hadist
diatas).Sebagaimana manusia telah sepakat (ijma) menganggap terbitnya fajar
atau terbenamnya matahari itu sesuai daerahnya.Dengan demikian penentuan waktu
masuknya bulan sebagaimana penentuan waktu harian (yang berbeda tiap
daerah).Ini adalah ijma’ para ulama.Olehkarenanya, penduduk asia timur memulai
puasa sebelum penduduk bagian barat.Dan berbuka sebelum
mereka.Demikian juga matahari yang terbit dan tenggelam
saling berbeda.Untuk yang seperti puasa harian ini berbeda maka
begitu juga untuk puasa bulanan maka tentu sama.
Akan tetapi jika dua wilayah dalam satu pemerintahan, maka keputusan penguasa
untuk berbuka dan berpuasa harus diikuti.Karena ini masalah khilafiyah
sedangkan keputusan hakim itu mengankat khilaf. (Hukmul hakim yarfa’ul khilaf)
Berdasar ini maka berpuasa dan berbukalah bersama penduduk dimana kalian
sekarang tinggal, entah sama dengan negeri asal kalian atau tidak.Demikian juga
shaum arafah, ikuti di negeri dimana kalian tinggal.(Majmu’ fatawa 20)
22 Komentar »
Abu Umair As-Sundawy said
Januari 26, 2007 @ 2:08 am
Berkaitan dengan ini , saya
tuliskan beberapa komentar saya dimilis yang belum terjawab smpai sekarang,
Pertama,Ada yang bisa
tunjukkan fatwa atau kitab ulama salaf atau mutaakhirin yang membahas panjang
lebar mengenai fiqih teknis shaum arafah yang mana terikat waktu dan tempat
dengan prosesi haji di saudi.Sehingga ikut saudi.
Jazaakumullah khoiron.Saya baru mendapati Al-Masail jilid 5
Ustadz Abd.HakimAbdat), dan fatwa syaikh Salim Al-Hilaly dalam website
beliau dalam artikel التنبئة والتعرفة في أحكام صيام يوم عرفة
Namun keduanya tidak
membawakan pemahaman/fatwa para ulama salaf, syukran jika ada yang bisa bantu
saya.
Kedua
Yakni masalah idul adha yang selalu berulang,
Idul adha kemarin masih adanya ikhwah yang menyelisihi penguasa dalam melakukan
sholat ied.Silahkan bahas dalilnya apa dan siapa saja dari fatwa ulama untuk
kita diskusikan?
Alhamdulillah ada dua tulisan
bagus , dari akhuna Abu Shilah di blognya.Yakni seharusnya kita
berhariraya bersama penguasa/pemerintah.
Silahkan baca :
1.Atsar Salaf & Perkataan ‘Ulama Tentang Sholat ‘Iedain Bersama Hukkam (http://tholib.wordpress.com/2007/01/14/atsar-salaf-perkataan-ulama-tentang-sholat-iedain-bersama-hukkam/)
2.Fatwa asy-Syaikh al-Albani
tentang Sholat Dua Hari Raya Bersama Pemerintah
Ada yang berdalih, bahwa
karena kita shaum arafahnya musti mengikuti wukuf arafah, maka tentunya iedul
adha nya adalah keesokan harinya..Dan tidak ada ketaatan kepada penguasa karena
ini maksiat!,jadi tidak ada dasarnya penundaan sholat ‘ied.
Coba berilah saya faidah dari
hadit ini :
Umair ibn Anas meriwayatkan
dari kerabatnya yang berasal dari Anshar bahwa mereka berkata, “kami tidak
melihat hilal syawwal. Karena itu di pagi harinya kami berpuasa. Lalu di
penghujung siang (menjelang zuhur) datang rombongan di mana mereka bersaksi di
hadapan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam bahwa mereka telah melihat hilal
kemarin. Maka, rasul segera menyuruh mereka untuk berbuka pada hari itu dan
menunaikan shalat ied pada keesokan harinya. (HR Ahmad, Abu Daud, al-Nasai, dan
Ibnu Majah)
Berdasar hadist diatas,bukan
kah boleh menunda, seandainya kita yakin idul adhanya setelah wukuf saudi?
Terakhir, di komplek
perumahan saya di bogor, ada mesjid “kita” menyelenggarakan lebih awal berbeda
dengan pemerintah,coba bagi yang punya kasus semisal
di lingkungannya.Apaperlu masjid kecil (dengan halaman tidak bisa dibilang
besar) menyelenggarakan sendiri, tidakkah lebih baik bersama penduduk lain di
lapangan yang besar misalnya? Sudah begitu, yang datang banyak yg dari jauh,
hanya karena ingin sholat mengikuti saudi?!
Apakah sudah izin ke
pemerintah (depag minimalnya)? Tidakkah ini keluar dari ketaatan pemerintah? Contoh
kasus,DDII setiap iedul adha mengikuti saudi (tentu berdasar
pemahaman/keyakinannya setelah dibahas), tapi mereka selalu minta izin dengan
surat dan ditandatangani Depag. Sudahkah mesjid kita demikian?
Wassalamualaikum
warahmatullah
Semoga ada yang bisa beri faidah kepadasaya.Al-Ustadz Abu l-Jauzaa,
tafadhdhol…
Abu Umair As-Sundawy
Abu Al-Jauzaa' said
Apabila kita membuka beberapa buku fiqh, pembahasan mengenai penentuan
Idul-Adlha atau awal Dzulhijjah memang tidak sedalam dan sedetail pembahasan
penentuan awal Ramadlan (puasa) dan Syawal (Idul-Fithri) dengan segala
perbedaan pendapatnya (antara yang rajih dan marjuh). Biasanya bahasan-bahasan
yang ada diberikan sedikit kesimpulan dengan kalimat : “Hal itu juga diqiyaskan
dengan Idul-Adlha” atau kata yang semisal.
Sebelumnya mohon maaf kepada
Pak Admin jika Abu Al-Jauzaa’ kembali berkesimpulan yang sedikit berbeda dengan
apa yang ditulis di atas. Juga pada Al-Akh Al-Ustadz Abu ‘Umair, silakan
koreksi jika memang salah. Atau siapapun yang mempunyai ilmu tentang hal ini. Start akan dimulai dengan hadits
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu. Adapun hadits Kuraib/Ibnu ‘Abbas (HR. Muslim
1087, Tirmidzi 647, dan Abu Dawud 1021) akan disinggung kemudian.
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda :
الصوم يوم تصومون , و الفطر يوم تفطرون , و
الأضحى يوم تضحون
“Puasa adalah hari dimana
kalian berpuasa, dan berbuka (Idul-Fithri) adalah hari dimana kalian berbuka,
dan berkurban (Idul-Adlha) adalah hari dimana kalian berkurban” (shahih, lihat
Silsilah Ash-Shahiihah nomor 224).
Para ulama beristinbath dengan hadits ini bahwasannya puasa dan hari raya
adalah bersama jama’ah kaum muslimin.
Ibnul-Qayyim dalam
Tahdzibus-Sunan (3/214) mengatakan :
و قيل : فيه الرد على من يقول إن من عرف طلوع
القمر بتقدير حساب المنازل جاز له أن يصوم و يفطر , دون من لم يعلم , و قيل : إن
الشاهد الواحد إذا رأى الهلال و لم يحكم القاضي بشهادته أنه لا يكون هذا له صوما ,
كما لم يكن للناس
“Dikatakan bahwa : Di dalam hadits tersebut ada bantahan terhadap orang-orang
yang mengatakan : ‘barangsiapa yang mengetahui terbitnya bulan (hilal)
berdasarkan hasil hisab (perhitungan) daerahnya, maka boleh baginya berpuasa
dan berhari raya (dengan hisab tersebut), berbeda dengan orang yang tidak
mengetahui’. Juga dikatakan : ‘Sesungguhnya apabila seseorang sendirian melihat
hilal, maka qadli memutuskan dengan persaksiannya, bahkan tidak ada hak baginya
untuk berpuasa, sebagaimana tidak ada hak pula bagi orang selainnya’. [selesai]
Berkata Abul-Hasan As-Sindi
dalam Hasyiyah-nya terhadap Sunan Ibnu Majah setelah ia menyampaikan hadits Abu
Hurairah yang diriwayatkan oleh Tirmidzi :
و الظاهر أن معناه أن هذه الأمور ليس للآحاد فيها
دخل , و ليس لهم التفرد فيها , بل الأمر فيها إلى الإمام و الجماعة , و يجب على
الآحاد اتباعهم للإمام و الجماعة , و على هذا , فإذا رأى أحد الهلال , و رد الإمام
شهادته ينبغي أن لا يثبت في حقه شيء من هذه الأمور , و يجب عليه أن يتبع الجماعة
في ذلك
“Yang nampak dari hadits ini maknanya adalah bahwa perkara-perkara ini bukanlah
diserahkan kepada setiap orang, dan tidak ada hak bagi mereka untuk menyendiri
dalam perkara-perkara tersebut. Bahkan urusan tentang perkara-perkara tersebut
diserahkan kepada imam (penguasa) dan jama’ah (kaum muslimin), maka wajib atas
setiap individu untuk mengikuti imam dan jama’ah (kaum muslimin). Oleh karena
itu maka apabila salah seorang ada yang melihat hilal, dan sang imam menolak
persaksiannya, maka seharusnya tidak ada hak baginya sedikitpun dalam
perkara-perkara ini, serta wajib atas dirinya untuk mengikuti jama’ah dalam hal
tersebut”. [selesai]
Apabila kita pahami perkataan
dua ulama di atas dan juga hadits Abu Hurairah yang telah disebutkan,
insyaAllah perkaranya mudah. Yaitu : Kita hendaknya berpuasa dan berhari raya bersama orang banyak.
Khusus untuk penentuan puasa dan Ramadlan, perkaranya lebih “luas” berdasarkan
hadits Kuraib. Hadits Kuraib menceritakan khilaf perbedaan antara puasanya ahli
Madinah dan ahli Syam sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
(karena perbedaan mathla’ hilal). Hadits Kuraib tersebut adalah :
أن أم الفضل بنت الحارث بعثته إلى معاوية بالشام
قال فقدمت الشام فقضيت حاجتها واستهل علي رمضان وأنا بالشام فرأيت الهلال ليلة
الجمعة ثم قدمت المدينة في آخر الشهر فسألني عبد الله بن عباس رضى الله تعالى
عنهما ثم ذكر الهلال فقال متى رأيتم الهلال فقلت رأيناه ليلة الجمعة فقال أنت
رأيته فقلت نعم ورآه الناس وصاموا وصام معاوية فقال لكنا رأيناه ليلة السبت فلا
نزال نصوم حتى نكمل ثلاثين أو نراه فقلت أو لا تكتفي برؤية معاوية وصيامه فقال لا
هكذا أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di
Syam. Berkata Kuraib : Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua
keperluannya. Dan tampaklah oleh ku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam,
dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke
Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku
(tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya
; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan) ? Jawabku : “Kami melihatnya pada malam
Jum’at”. Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ? Jawabku : “Ya ! Dan
orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”. Ia
berkata : “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami
berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat
hilal (bulan Syawwal)”. Aku bertanya : “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah
(penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah ? Jawabnya : “Tidak ! Begitulah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami.” (HR. Muslim
1087, Tirmidzi 647, dan Abu Dawud 1021)
Berdasarkan pemahaman hadits
Kuraib, maka kalimat dalam hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : “Hari
dimana kalian berpuasa/berbuka” dapat diartikan dengan : Hari dimana
orang-orang di negerimu berpuasa/berbuka sesuai dengan apa yang diputuskan oleh
imam di negerimu”. Sampai di sini ana kira banyak di antara kita bersepakat.
Namun,….. apakah dua kasus tersebut (puasa dan berbuka) dapat disamakan dengan
Berkurban/Idul-Adlha ? Itu yang akan menjadi bahasan kita sekarang ………..
Sebelumnya perlu dicatat bahwa hadits Kuraib yang dijadikan dalil oleh para
ulama dalam pembolehan perbedaan mathla’ adalah hadits yang menceritakan
tentang penentuan mulai Ramadlan dan Syawal. Tidak terkait secara khusus dengan penentuan bulan
Dzulhijjah yang di dalamnya ada ibadah haji yang otomatis menentukan waktu
wuquf dan hari Nahr (penyembelihan), yaitu tanggal 10 Dzulhijjah (walaupun
banyak yang mengqiyaskannya pada Idul-Adlha).
Bila kita kembalikan kepada hadits Abu Hurairah di atas, apakah
sebenarnya makna kalimat [و الأضحى يوم تضحون] : “Berkurban (Idul-Adlha) adalah hari dimana
kalian berkurban” ?
Banyak ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits nabawi yang menjelaskan bahwa
pelaksanaan ibadah kurban di bulan Dzulhijjah sangat erat kaitannya dengan
rangkaian ibadah haji akbar yang dilaksanakan di Tanah Suci. Dalil-dali
tersebut adalah :
1. QS. Al-Baqarah : 189
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلّةِ قُلْ هِيَ
مَوَاقِيتُ لِلنّاسِ وَالْحَجّ
“Mereka bertanya kepadamu tentang bul;an sabit. Katakanlah : Bulan sabit itu
adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”.
2. QS. Al-Maidah : 97 :
جَعَلَ اللّهُ الْكَعْبَةَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ
قِيَاماً لّلنّاسِ وَالشّهْرَ الْحَرَامَ وَالْهَدْيَ وَالْقَلاَئِدَ ذَلِكَ
لِتَعْلَمُوَاْ أَنّ اللّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ
وَأَنّ اللّهَ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan
urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram, had-ya, qalaid.
(Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah
mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
3. QS. Al-Hajj : 26 – 28
وَأَذّن فِي النّاسِ بِالْحَجّ يَأْتُوكَ رِجَالاً
وَعَلَىَ كُلّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلّ فَجّ عَميِقٍ * لّيَشْهَدُواْ مَنَافِعَ
لَهُمْ وَيَذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ فِيَ أَيّامٍ مّعْلُومَاتٍ عَلَىَ مَا
رَزَقَهُمْ مّن بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُواْ مِنْهَا وَأَطْعِمُواْ الْبَآئِسَ
الْفَقِيرَ وَإِذْ بَوّأْنَا لإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَن لاّ تُشْرِكْ
بِي شَيْئاً وَطَهّرْ بَيْتِيَ لِلطّآئِفِينَ وَالْقَآئِمِينَ وَالرّكّعِ
السّجُودِ *
“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat
Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun
dengan Aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan
orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku’ dan sujud. Dan berserulah
kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu
dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap
penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan
supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki
yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah
sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan
orang-orang yang sengsara dan fakir.”
4. QS. Al-Hajj : 33 – 36
لَكُمْ فِيهَا مَنَافِعُ إِلَىَ أَجَلٍ مّسَمّى
ثُمّ مَحِلّهَآ إِلَىَ الْبَيْتِ الْعَتِيقِ * وَلِكُلّ أُمّةٍ جَعَلْنَا مَنسَكاً
لّيَذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ عَلَىَ مَا رَزَقَهُمْ مّن بَهِيمَةِ الأنْعَامِ
فَإِلَـَهُكُمْ إِلَـَهٌ وَاحِدٌ فَلَهُ أَسْلِمُواْ وَبَشّرِ الْمُخْبِتِينَ *
الّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَالصّابِرِينَ عَلَىَ مَآ
أَصَابَهُمْ وَالْمُقِيمِي الصّلاَةِ وَمِمّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ *
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مّن شَعَائِرِ اللّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ
فَاذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ عَلَيْهَا صَوَآفّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُواْ
مِنْهَا وَأَطْعِمُواْ الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرّ كَذَلِكَ سَخّرْنَاهَا لَكُمْ
لَعَلّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Bagi kamu pada binatang-binatang hadyu itu ada beberapa manfa’at, sampai
kepada waktu yang ditentukan, kemudian tempat wajib (serta akhir masa)
menyembelihnya ialah setelah sampai ke Baitul Atiq (Baitullah). Dan bagi
tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka
menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada
mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah
kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh
(kepada Allah), (yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah
hati mereka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka,
orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan
sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka. Dan telah Kami
jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh
kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu
menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila
telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang
rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang
meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu,
mudah-mudahan kamu bersyukur.”
5. Hadits dari Jabir
radliyallaahu ‘anhu :
وَعَنْ جَابِرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ
نَحَرْتُ هَاهُنَا, وَمِنًى كُلُّهَا مَنْحَرٌ, فَانْحَرُوا فِي رِحَالِكُمْ,
وَوَقَفْتُ هَاهُنَا وَعَرَفَةُ كُلُّهَا مَوْقِفٌ, وَوَقَفْتُ هَاهُنَا وَجَمْعٌ
كُلُّهَا مَوْقِفٌ [صحيح. رواه مسلم ( 2 / 893 / 145 )]
“Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : Aku BERKURBAN di
sini dan Mina seluruhnya tempat PENYEMBELIHAN KURBAN, maka BERKURBANLAH di
tempat kemah-kemahmu. Aku wuquf di sini dan Arafah seluruhnya tempat wuquf. Aku
menginap di sini dan Mudzdalifah seluruhnya tempat menginap” (HR. Muslim).
6. Hadits dari Abdullah bin
‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhu :
وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوِ بْنِ
اَلْعَاصِ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ وَقَفَ فِي حَجَّةِ
اَلْوَدَاعِ, فَجَعَلُوا يَسْأَلُونَهُ, فَقَالَ رَجُلٌ: لَمْ أَشْعُرْ,
فَحَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ. قَالَ: ” اِذْبَحْ وَلَا حَرَجَ ” فَجَاءَ
آخَرُ, فَقَالَ: لَمْ أَشْعُرْ, فَنَحَرْتُ قَبْلَ أَنْ أَرْمِيَ, قَالَ: ” اِرْمِ
وَلَا حَرَجَ ” فَمَا سُئِلَ يَوْمَئِذٍ عَنْ شَيْءٍ قُدِّمَ وَلَا أُخِّرَ إِلَّا
قَالَ: ” اِفْعَلْ وَلَا حَرَجَ [صحيح. رواه البخاري ( 83 )، ومسلم ( 1306 ).]
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berhenti pada haji wada’
dan orang-orang saling bertanya kepada beliau. Seorang laki-laki bertanya :
‘Aku tidak sadar, aku telah mencukur sebelum MENYEMBELIH KURBAN’. Beliau
bersabda : ‘Sembelihlah kurban, tidak apa-apa’. Seorang lain dating dan
bertanya : ‘Aku tidak sadar, aku tidak MENYEMBELIH KURBAN sebelum melempar
jumrah’. Beliau menjawab : ‘Melemparlah tidak apa-apa’. Pada hariitu beliau
tidak ditanya dengan sesuatu yang didahulukan dan diakhirkan kecuali beliau
menjawab : ‘Kerjakanlah, tidak apa-apa’ (Muttafaqun ‘alaih)
7. Hadits ‘Ashim bin ‘Adi
radliyallaahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ أَرْخَصَ لِرُعَاة
اَلْإِبِلِ فِي اَلْبَيْتُوتَةِ عَنْ مِنًى, يَرْمُونَ يَوْمَ اَلنَّحْرِ, ثُمَّ
يَرْمُونَ اَلْغَدِ لِيَوْمَيْنِ, ثُمَّ يَرْمُونَ يَوْمَ اَلنَّفْرِ [صحيح. رواه
أبو داود ( 1975 )، والنسائي ( 5 / 273 )، والترمذي ( 955 )، وابن ماجه ( 3037 )،
وأحمد ( 4 / 450 )، وابن حبان ( 1015 موارد ). وقال الترمذي: حسن صحيح]
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan
pada para penggembala unta untuk bermalam di luar kota Mina. Mereka melempar
pada HARI RAYA KURBAN, mereka melempar besok dan besok lusa untuk dua hari,
kemudian mereka melempar pada hari nafar (tanggal 14)” (HR. Abu Dawud,
An-Nasa’I, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Ibnu Hibban dalam Al-Mawaarid dengan
sanad shahih).
8. Hadits Jabir radliyallaahu
‘anhu ia berkata :
رَمَى رَسُولُ اَللَّهِ اَلْجَمْرَةَ يَوْمَ
اَلنَّحْرِ ضُحًى, وَأَمَّا بَعْدَ ذَلِكَ فَإِذَا زَادَتْ اَلشَّمْسُ [صحيح. رواه
مسلم ( 1299 ) ( 314 ). وفيه: " وأما بعد، فإذا زالت الشمس " برفع
" بعد " ودون لفظ: " ذلك ".]
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melempar jumrah pada HARI RAYA
KURBAN, lalu ia melempar jumrah sebelum fajar, kemudian pergi dan turun (ke
Mekkah)” (HR. Muslim).
9. Hadits Al-Miswar bin
Mahramah radliyallaahu ‘anhu :
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ نَحَرَ قَبْلَ أَنْ
يَحْلِقَ, وَأَمَرَ أَصْحَابَهُ بِذَلِكَ [صحيح. رواه البخاري ( 1811 ).]
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam MENYEMBELIH KURBAN
sebelum mencukur dan menyuruh para shahabat untuk melakukan demikian” (HR.
Bukhari)
10. Hadits dari Abdullah bin
‘Umar radliyallaahu ‘anhu :
تمتع رسول الله صلى الله عليه وسلم في حجة الوداع
بالعمرة إلى الحج وأهدى فساق معه الهدي من ذي الحليفة وبدأ رسول الله صلى الله
عليه وسلم فأهل بالعمرة ثم أهل بالحج فتمتع الناس مع النبي صلى الله عليه وسلم
بالعمرة إلى الحج فكان من الناس من أهدى فساق الهدي ومنهم من لم يهد فلما قدم
النبي صلى الله عليه وسلم مكة قال للناس من كان منكم أهدى فإنه لا يحل لشيء حرم
منه حتى يقضي حجة ومن لم يكن منكم أهدى فليطف بالبيت وبالصفا والمروة وليقصر
وليحلل ثم ليهل بالحج فمن لم يجد هديا فليصم ثلاثة أيام في الحج وسبعة إذا رجع إلى
أهله فطاف حين قدم مكة واستلم الركن أول شيء ثم خب ثلاثة أطواف ومشى أربعا فركع
حين قضى طوافه بالبيت عند المقام ركعتين ثم سلم فانصرف فأتى الصفا فطاف بالصفا
والمروة سبعة أطواف ثم لم يحلل من شيء حرم منه حتى قضى حجة ونحر هديه يوم النحر
وأفاض فطاف بالبيت ثم حل من كل شيء حرم منه وفعل مثل ما فعل رسول الله صلى الله
عليه وسلم من أهدى وساق الهدي من الناس وعن عروة أن عائشة رضى الله تعالى عنها
أخبرته عن النبي صلى الله عليه وسلم في تمتعه بالعمرة إلى الحج فتمتع الناس معه
بمثل الذي أخبرني سالم عن بن عمر رضى الله تعالى عنهما عن رسول الله صلى الله عليه
وسلم
“Ketika haji wada’ Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melaksanakan haji
tamattu’ dengan mendahulukan umrah sebelum haji. Beliau MENYEMBELIH KURBAN dari
Dzul Hulaifah. Beliau memulai ihram untuk umrah, setelah itu beliau melaksanakan
umrah untuk haji. Orang-orang pun mengikuti Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam dengan memulai ihram untuk umrah, baru kemudian ihram untuk haji
secara tamattu’. Sebagian mereka membawa HEWAN KURBAN, dan sebagian yang lain
tidak. Setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tiba di Makkah, beliau
bersabda kepada para jama’ah haji : ‘Siapa di antara kalian yang membawa HEWAN
KURBAN, janganlah bertahallul sebelum menyelesaikan hajinya, dan siapa di
antara kalian yang tidak membawa HEWAN KURBAN, lakukanlah haji tamattu’ dengan
thawaf di Baitullah, kemudian sa’I antara Shafa dan Marwah, lalu memotong
rambut, kemudian bertahallul, setelah itu ihram lagi untuk haji. Siapa yang
tidak mampu memberikan HEWAN KURBAN, maka berpuasalah 3 hari selama pelaksanaan
ibadah haji dan 7 hariketika berada kembali di kampung halamannya” (HR. Bukhari
nomor 1691).
11. Dari Abu Hurairah
radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
بعثني أبو بكر الصديق في الحجة التي أمره عليها
رسول الله صلى الله عليه وسلم قبل حجة الوداع في رهط يؤذنون في الناس يوم النحر لا
يحج بعد العام مشرك ولا يطوف بالبيت عريان
“Aku diutus oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq pada suatu haji yang diperintahkan oleh
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebelum haji wada’, dalam suatu
rombongan yang memberikan pengumuman kepada kaum muslimin pada HARI RAYA KURBAN
(yang isi pengumuman tersebut adalah : ) “Setelah tahun ini orang musyrik tidak
boleh berhaji dan orang yang telanjang (tidak menutup aurat) tidak boleh thawaf
di Baitullah”
قال بن شهاب فكان حميد بن عبد الرحمن يقول يوم
النحر يوم الحج الأكبر من أجل حديث أبي هريرة
Berkata Ibnu Syihaab : Humaid bin Abdirrahman mengatakan : “HARI RAYA KURBAN
adalah Hari Haji Akbar, menurut hadits Abu Hurairah tersebut (HR. Muslim nomor
1347).
12. Dan lain-lain.
Dari dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah di atas di atas secara jelas
menunjukkan bahwa pelaksanaan Hari Raya Kurban (Yaumun-Nahr) dan penyembelihan
(tanggal 10 Dzulhijjah) terkait dengan ibadah haji akbar yang dilakukan di
Makkah.
Allah berfirman :
وَأَذَانٌ مّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النّاسِ
يَوْمَ الْحَجّ الأكْبَرِ أَنّ اللّهَ بَرِيَءٌ مّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
فَإِن تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لّكُمْ وَإِن تَوَلّيْتُمْ فَاعْلَمُوَاْ أَنّكُمْ
غَيْرُ مُعْجِزِي اللّهِ وَبَشّرِ الّذِينَ كَفَرُواْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan (inilah) pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada manusia pada hari Haji
Akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang
musyrikiin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu
lebih baik bagimu dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya
kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir
(bahwa mereka akan mendapat siksa pedih)” (QS. At-Taubah : 3).
Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari
(8/407) berkata ketika mengomentari perkataan Humaid bin ‘Abdirrahman (dalam
hadits nomor 10 di atas – yaitu : النحر
يوم الحج الأكبر) mengatakan : “Ia
mengambil istinbath tersebut dari firman Allah Surat At-Taubah ayat 3 di atas
dan dari seruan yang dikumandangkan oleh Abu Hurairah atas perintah Abu Bakar
pada Hari Nahar. Itu menunjukkan bahwa yang dimaksud Haji Akbar adalah Hari
Nahar”.
Dan riwayat bahwa Hari Nahar
merupakan Hari haji Akbar terdapat secara marfu’ dalam kitab Shahih.
Ada penafsiran lain tentang
Hari Haji Akbar selain Hari Nahar, yaitu hari ‘Arafah (lihat secara lengkap
perincian makna ini dalam Tafsir Ath-Thabari dan Fathul-Bari juz 4 halaman
407-408.
Beberapa pendapat mengenai
Hari Haji Akbar tersebut dapat dirangkum menjadi keseluruhan hari-hari haji,
termasuk hari ‘Arafah, hari Mina, hari Mudzdalifah, hari Nahar, dan hari-hari
Tasyriq (walaupun yang terkuat menunjukkan bahwa makna Hari Haji Akbar adalah
hari ‘Arafah dan Hari Nahar – tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah. Dan ini merupakan
pendapat dari Ibnu ‘Umar, ‘Atha’, Mujahid, Ibnu ‘Abbas, ‘Ali, Ibnu Abi ‘Aufa,
Mughirah bin Syu’bah, dan yang lainnya. Allahu a’lam).
Kembali kepada hadits di awal
pembahasan :
الصوم يوم تصومون , و الفطر يوم تفطرون , و
الأضحى يوم تضحون
“Puasa adalah hari dimana kalian berpuasa, dan berbuka (Idul-Fithri) adalah
hari dimana kalian berbuka, dan berkurban (Idul-Adlha) adalah hari dimana
kalian berkurban”
Dari beberapa riwayat yang ada
menunjukkan bahwa Hari Nahar dimana orang-orang melakukan penyembelihan adalah
Hari Nahar-nya orang yang beribadah haji di tanah haram. Bukan selainnya.
Konsekuensi hukum yang ada adalah : Ketika kita menentukan hari Arafah dimana
kita disunnahkan melakukan puasa Arafah, serta hari Nahar ketika kita
diperintahkan menyembelih; maka hal itu merujuk kepada pelaksanaan Haji Akbar
di Tanah Haram.
Perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk menyembelih
hewan kurban tidak hanya kepada mereka yang melaksanakan haji saja. Tapi juga
kepada mereka yang tidak/belum melaksanakan haji sebagaimana perintahnya
shallallaahu ‘alaihi wasallam :
يا أيها
الناس إن على كل أهل بيت في كل عام أضحية وعتيرة أتدرون ما العتيرة هذه التي يقول
الناس الرجبية
“Wahai manusia, sesungguhnya wajib bagi setiap keluarga pada setiap tahunnya
qurban dan ‘atiirah”. Beliau berkata : “Tahukah kalian apakah ‘atiirah itu ?
yaitu yang dikatakan orang sebagai Ar-Rajabiyyah” (HR. Ahmad 4/215, Abu Dawud
2788, Tirmidzi 1518, Nasai 7/167, dan Ibnu Majah 3125; dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Al-Misykah nomor 1478).
Hadits di atas diucapkan ketika wuquf di ‘Arafah. Namun perkataan beliau
tentang perintah menyembelih tersebut umum, baik bagi orang yang ada di ‘Arafah
maupun di luar ‘Arafah. Allaahu a’lam.
Jika al-akh Abu ‘Umair menyinggung tentang puasa ‘Arafah, otomatis hal
tersebut sama dengan Hari Nahar, yaitu mengacu pelaksanaan wuquf di ‘Arafah
(lihat penjelasan tentang makna Haji Akbar di atas).
صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي
قبله والسنة التي بعده
“Berpuasa di hari ‘Arafah aku
mengharap Allah menghapus dosa-dosa pada tahun lalu dan dosa-dosa pada tahun
yang akan dating” (HR. Muslim 1162).
ما من السنة يوم أحب إلي من أن أ صوم من يوم عرفة
“Tidak ada hari dalam setahun yang lebih aku sukai untuk berpuasa pada hari itu
daripada hari ‘Arafah” (HR. Ath-Thabari dalam Tahdzibul-Aatsaar 1/600,691
dengan sanad hasan).
NB :
Jika dalam pelaksanaan Hari Nahar kita yang kebetulan berbeda dengan
Pemerintah, maka minta ijin pelaksanaan Shalat dan yang lainnya kepada Umaraa’
adalah sangat dianjurkan untuk menghindari fitnah dan sebagai sikap
penghormatan kita kepada waliyul-amri. Dan jika pelaksanaan tersebut malah
menimbulkan mudlarat yang besar, maka tidak apa-apa mengikuti Pemerintah sebagaimana
kita mengambil pelajaran dari apa yang dilakukan oleh Ibnu Mas’ud ketika shalat
di belakang ‘Utsman bin ‘Affan secara tamam (4 raka’at) di Mina. Padahal yang
masyru’ adalah qashar 2 raka’at. Ibnu Mas’ud enggan menyelisihi ‘Utsman yang
waktu bertindak sebagai Amirul-Mukminiin, dengan tetap shalat di belakangnya.
Ia menghindari mudharat yang lebih besar, yang di akhir perkataannya ketika
ditanya oleh orang-orang : “Sesungguhnya perselisihan itu adalah tercela”.
Riwayat selengkapnya dapat dibaca di bawah :
أن عثمان
رضي الله عنه صلى بمنى أربعا , فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي
صلى الله عليه وسلم ركعتين , و مع أبي بكر ركعتين , و مع عمر ركعتين , و مع عثمان
صدرا من إمارته ثم أتمها , ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين
متقبلتين , ثم إن ابن مسعود صلى أربعا ! فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت
أربعا ?! قال : الخلاف شر . و سنده صحيح . و روى
أحمد ( 5 / 155 )
Kemarin kita shalat di “mesjid” yang sama ya Abu ‘Umair di Bogor ?
Apabila ada ikhwah lain yang mempunyai pendapat berbeda, silakan ditampilkan.
Dan jika itu yang benar, semoga kita semua diberikan petunjuk untuk
mengikutinya. Ahlan wa Sahlan !!
Allaahu a’lam
Abu Al-Jauzaa' said
Ralat :
QS. Al-Hajj : 26-28 salah
dalam penyusunannya. Dan mohon kepada Admin untuk memperbaiki sesuai ayat
berikut :
وَإِذْ بَوّأْنَا لإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ
الْبَيْتِ أَن لاّ تُشْرِكْ بِي شَيْئاً وَطَهّرْ بَيْتِيَ لِلطّآئِفِينَ
وَالْقَآئِمِينَ وَالرّكّعِ السّجُودِ * وَأَذّن فِي النّاسِ بِالْحَجّ يَأْتُوكَ
رِجَالاً وَعَلَىَ كُلّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِن كُلّ فَجّ عَميِقٍ * لّيَشْهَدُواْ
مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ فِيَ أَيّامٍ مّعْلُومَاتٍ عَلَىَ
مَا رَزَقَهُمْ مّن بَهِيمَةِ الأنْعَامِ فَكُلُواْ مِنْهَا وَأَطْعِمُواْ
الْبَآئِسَ الْفَقِيرَ
[Ayat ke 26 tertulis di
paling akhir]
Juga tertulis : “Ibnu Hajar
dalam Fathul-Bari (8/407) berkata ketika mengomentari perkataan Humaid bin
‘Abdirrahman (dalam hadits nomor 10 di atas – yaitu : النحر
يوم الحج الأكبر) mengatakan : ……..”; yang
benar :
“Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari
(8/407) berkata ketika mengomentari perkataan Humaid bin ‘Abdirrahman (dalam
hadits nomor 11 di atas – yaitu : النحر
يوم الحج الأكبر) mengatakan : ……”
Abu Umair
As-Sundawy said
Januari 27, 2007 @ 11:51 pm
Walhamdulillah, syukran atas
komentarnya,
Sesungguhnya ini bukan
bermaksud menyanggah atau tidak setuju, hanya meminta penjelasan dan informasi
saja…….secara pribadi sementara ini saya masih cenderung nyaman dengan pendapat
Imam Ibnu Utsaimin (A’lam,aslam wa ahkam :))
1.Bagaimana Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasalam ketika tidak ada kewajiban haji bagi kaum muslimin
berhariraya iedul adha? (Kita tahu kewajiban haji itu sekitar 9 tahun setelah
idul adha dilakukan, betulkah perayaan idul adha terikat waktu dan tempat?)
2.Mengenai dalil-dalil quran
dan hadist yang mafhumnya menunjukkan keterikatan dengan prosesi ibadah haji,
sekali lagi saya bertanya, mengapa tidak ada(?) keterangan yang jelas dari para
sahabat atau ulama fikih? Mengapa masalah yang dialami sejak dahulu tidak ada
keterangan tegas? Apakah pemahaman akan keterikatan waktu& tempat dengan
saudi ada pendahulunya?
Saya pribadi menemukan ada
kalu memang mau ditarik-tarik, tapi hanya pengambilan tersirat (mafhum) bukan
tersurat(manthuq)nya.Ini yang membuat saya tidak yakin,(setidaknya yang
pernah saya temui di dalam Al-Umm (2/145),Ibu Rajab dalam Lathoiful Maarif (Hal
482,486),AL-Bahuuti dalam Syarah Muntahaa al-Iradat 2/37,Imam Nawawi dalam
Raudhoh at-Tholibin 2/80, tapi seperti apa yang saya katakan, tidak tegas
tersurat dan sebatas pemahaman kita yang membaca)
3.Allah berfirman :“Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”.
Jadi “mawaqit” bagi kaum
muslimin untuk beribadah dari ayat diatas itu patokannya apa? Hilal? atau
Penanggalan saudi?Kalau hilal, bukannya penampakan hilal berbeda-beda tiap
wilayah?
4.Alasan menolak menqiyaskan
hadist kuraib tidak untuk iedul adha? Ibnu Hajar mengatakan “Hilal dzulhijjah
kal fitr”
5.Adakah keterangan bagaimana
Rasulullah di Madinah berhari raya?Apakah berdasar hilal atau memang hari
arafah di Mekah?Kalau iya, ada keterangannya?
6.Ada tidak keterangan
khulafa rosyidin mengumumkan atau mengirim utusan bagi muslimin diluar mekah
untuk berhari raya mengikuti saudi?
7.Kalau kita konsisten
mengikuti saudi, bagaimana jika membuat penanggalan negara kita Dzulqo’dah
menjadi 28 hari, dan dzulhijjah menjadi 31 hari?
8.Hari tasyriq bagaiamana,
ikut saudi juga?
Wassalam
Abu Umair As-Sundawy
Abu Al-Jauzaa' said
Sungguh, jika Abu ‘Umair
mengatakan bahwa beliau tidak bermaksud menyanggah atau tidak setuju, maka Abu
Al-Jauzaa’ tidak akan berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Abu ‘Umair.
Abu ‘Umair berkata : “1.Bagaimana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam
ketika tidak ada kewajiban haji bagi kaum muslimin berhariraya iedul adha?
(Kita tahu kewajiban haji itu sekitar 9 tahun setelah idul adha dilakukan,
betulkah perayaan idul adha terikat waktu dan tempat?) “.
Abu Al-Jauzaa’ berkata : Terus terang, ana baru mengetahui
bahwasannya ‘Idul-Adlha (Yaumun-Nahar) itu baru ada 10 tahun setelah diwajibkan
haji sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Akh Abu ‘Umair. Namun apabila kita
perhatikan bahwa yang dimaksud Yaumun-Nahar dalam ayat-ayat dan hadits, maka
(sepengetahuan ana) Yaumun-Nahar itu adalah hari dimana para jama’ah haji
menyembelih hadyu sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam dalam haji wada’. Namun jika yang dipahami adalah perintah menyembelih
secara umum, maka banyak ayat Al-Qur’an yang tidak terkait dengan haji. Allaahu
a’lam.
Tentang Puasa Arafah (dan tentu juga Yaumun-Nahar-nya sehari setelah
Arafah). Apakah memang tidak terikat waktu dan tempat ?
Idem dengan al-akh Abu ‘Umair, ana juga sebenarnya sama mempunyai pertanyaan yang sampai saat
ini belum ketemu jawaban yang memuaskan yang disertai dengan dalil-dalil (kalau
ada, tolong dijelaskan di sini, syukran). Pertanyaan tersebut adalah :
“Apakah Hari ‘Arafah dan Hari Nahar dengan segala keutamaannya itu (termasuk
Puasa ‘Arafah) disebabkan karena adanya peristiwa hajinya kaum muslimin atau
semata-mata dzatnya tanggal 9 dan 10 Dzulhijjah ?”.
Tentu beberapa dalil di bawah
patut kita cermati bila ingin jawabannya :
1. Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha :
ما من يوم أكثر من أن يعتق الله فيه عبدا من
النار من يوم عرفة وإنه ليدنو ثم يباهي بهم الملائكة فيقول ما أراد هؤلاء
“Tidak ada hari Allah membebaskan hambaNya dari api neraka seperti hari Arafah.
Sesungguhnya, Dia mendekat, kemudian Dia banggakan mereka di hadapan para
malaikatNya sambil berkata: Apa yang diinginkan oleh mereka?” HR. Muslim)
Berkata Ibnu Abdil Barr,”Inl
menunjukkan, bahwa mereka diampuni, karena Dia tidak akan berbangga dengan
pelaku dosa dan kesalahan, kecuali setelah taubat dan pengampunan”. (At-Tamhid
l/120).
2. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhuma,
bahwasannya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ان الله عز وجل يباهي ملائكته عشية عرفة بأهل
عرفة فيقول انظروا إلى عبادي آتوني شعثا غبرا
“Sesungguhnya Allah berbangga kepada para malaikat-Nya pada sore Arafah dengan
orang-orang di Arafah, dan berkata: “Lihatlah keadaan hambaku, mereka
mendatangiku dalam keadaan kusut dan berdebu” (HR. Ahmad 2/224).
3. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
صيام يوم عرفة أحتسب على الله أن يكفر السنة التي
قبله والسنة التي بعده
“Berpuasa di hari ‘Arafah aku mengharap Allah menghapus dosa-dosa pada tahun
lalu dan dosa-dosa pada tahun yang akan datang” (HR. Muslim 1162).
ما من السنة يوم أحب إلي من أن أ صوم من يوم عرفة
“Tidak ada hari dalam setahun yang lebih aku sukai untuk berpuasa pada hari itu
daripada hari ‘Arafah” (HR. Ath-Thabari dalam Tahdzibul-Aatsaar 1/600,691
dengan sanad hasan).
Mafhum yang dapat ana ambil (dan ini sebagaimana penjelasan Ustadzuna
Abdul-Hakim ‘Abdat hafidhahullah) bahwa Puasa ‘Arafah disebabkan karena dzat
wuqufnya jama’ah haji di ‘Arafah. Hubungkan keterkaitan kalimat di tersebut dengan aqwal para ulama yang
menyebutkan bahwa dimasyru’kannya puasa ‘Arafah bagi kaum muslimin yang tidak
wuquf di ‘Arafah (menunuaikan ibadah haji) dan tidak puasa bagi orang yang
wuquf di ‘Arafah (berdasarkan beberapa riwayat shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam dan para shahabat – silakan lihat dalam Musnad Ahmad yang menyebutkan
banyak riwayat tentang ini). Juga hubungkan dengan hukum disyari’atkannya
takbir ‘Ied yaitu tanggal 9 Dzulhijjah KETIKA pagi hari ‘Arafah sampai habisnya
sinar matahari di hari Tasyriq yang terakhir (lihat dalam Majmu’ Fatawaa,
Ahkaamul-‘Iedian, dan Subulus-Salam tentang atsar-atsar shahih dari shahabat
radliyallaahum ‘anhum ajma’in).
Adapun tentang Hari Nahar, pengetahuan ana sampai hari ini tidak lebih
dari apa yang telah disebutkan sebelumnya.
Sebagaimana perkataan Abu
‘Umair – dan juga pernah ana singgung sebelumnya – ana belum menemukan aqwal
ulama yang membahas tentang waktu shaum ‘Arafah dan Hari nahar secara detail
(yang dikaitkan dengan pertanyaan ana sebelumnya). Yang ada hanyalah
qiyas-qiyas singkat setelah pembahasan hilal Ramadlan dan Syawal beserta
perbedaan mathla’-nya dengan kalimat : “Hal tersebut diqiyaskan dengan
Dzulhijjah (maksudnya Hari Raya Haji)”. Inilah yang mungkin sedikit membuat
hati ini “ngganjel”. Bagaimana mungkin disamakan jika ‘illah hukum berbeda ?
Itulah pertanyaan kecil bagi seorang Abu Al-Jauzaa’.
Ya betul, manthuq (tekstual) memang belum kita temukan. Namun apakah mafhum
juga tidak bisa dijadikan hujjah jikalau kemafhuman itu bagi seseorang telah
“nyata” ?
Abu ‘Umair berkata : “3.Allah berfirman :“Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah : Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji”.
Jadi “mawaqit” bagi kaum muslimin untuk beribadah dari ayat diatas itu
patokannya apa? Hilal? atau Penanggalan saudi?Kalau hilal, bukannya penampakan
hilal berbeda-beda tiap wilayah?”
Abu Al-Jauzaa’ berkata : Ayat tersebut mujmal. Dan muqayyad untuk ibadah
haji. dalam arti : Ibadah haji ini terkait dengan tempat. Walaupun perbedaan
mathla’ ini diakui, namun tidak ternukil satupun dari kaum muslimin dan para
ulamanya bahwa mereka menunaikan ibadah haji berdasarkan mathla’ negaranya
masing-masing (hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’
Fatawaanya – juz dan halaman ana lupa, soalnya baca teks fatwa beliau ini
beberapa hari yang lalu). Atau dengan kata lain : Ketika mereka mendatangi
Tanah Haram, mereka memulai ibadah haji berdasarkan start berdasarkan hilal
mathla’ negaranya masing-masing.
Al-Ustadz Badrus-Salam beberapa tahun lalu pernah mengatakan (yang
intinya) : ‘Tidak pernah ternukilpun riwayat dari para ulama tentang perbedaan
pelaksanaan ‘Idul Adlha di kalangan kaum muslimin kecuali yang terjadi masa
belakangan”.
Allaahu a’lam.
Abu Al-Jauzaa’ 1428
Abu Umair
As-Sundawy said
Januari 29, 2007 @ 5:27 am
Intinya kita haus akan penjelasan
para ulama akan hal ini kalau kita “keukeuh” (bersikeras yakin) bahwa ada
keterkaitan “waktu dan tempat” berdasar pemahaman teks.Alhamdulillah beberapa
masyaikh Saudi menjelaskan ketidakterkaiatan ini ,semisal Lajnah daimah,Syaikh
Ibnu Jibrin, Syaikh Utsaimin,Syaikh An-Najmi rahimahumullah akan ikhtilaful
matholi’ ini.
Tentu ucapan-ucapan beliau
diatas bisa diterima dan ditolak.Tatkala dalil-dalilnya perlu
telaah dalam.Tapi ketika menolak pun tentunya harus membawakan ucapan
ulama.(akankah kita hendak memahami sendiri,tentu tidak,kita peru bimbingan
para ulama)
Ini yang perlu diuji, apa
benar demikian? Dalam riwayat Ibnu Umar riwayat At-tirmidzi disebutkan
Rasulullah berhari raya kurban sejak berhijrah di Madinah.Sedangkan kewajiban
haji bagi kaum muslimin ditetapkan di tahun ke-9Hijrah.Saya agak lebih
yakin,saat itu beliau mennetukan berdasar rukyah hilal.Adasanggahan?
Pertanyaan bisa menyeruak
juga: Mengapa tidak ada keterangan Rasulullah selama sekian tahun sebelum ada
kewajiban haji, bahwa beliau mengirim utusan untuk mengetahui hilal penduduk
Mekah????
Mengapa juga tidak ada keterangan khulafa rosyidin mengirim utusan ke
Mekah.PADAHAL ADA WAKTU SELANG DARI TANGGAL 1-8 Dzulhijjah untuk mengirim
utusan,sepakat??Padahal dahulu orang-orang mengetahui kapan prosesi ibadah
haji, hanya berdasar info orang-orang yang pulang dari haji di Mekah.
Mengenai
ucapan Ust.Badru, tentu pertama harus diklarifikasi ucapan ini dimana
sumberpenukilannya.Kedua, kondisi masih tegaknya khilafah islamiyah juga perlu
diberiperhatian.Kalau kita perhatikan tulisan Syaikh Albani di tamamul
Minnah misalnya,maka kita akan punya dua masalah baru yang tidak dijumpai
sebelumnya,yakni akses informasi(internet/telepon) dan ketiadaan
khilafah islamiyah.Itu juga perlu didiskusikan lebih lanjut.Dan kita
akan berkesimpulan untuk shaum arafah akan mengikuti saudi (walaupun Syaikh
Albani tidak tersurat menyatakannya,sekali lagi kita hanya bisa menjangkau dari
sisi “mafhum”, wallahu a’lam jika ada keterangan dari murid-murid beliau dengan
lebih jelas.Sayang artikel Syaikh Salim di websitenya kurang begitu memuaskan
rasa penasaran kita)
Walhashil, mari sama-sama
berburu dan mencari lebih lanjut akan hal ini.Allahu a’lam.
Abu Umair As-SUndawy
Abu Hannan said
Februari 22, 2007 @ 10:35 am
Assalamu alaykum
warohmatullahi wabarokatuh
Kepada para Asatidz…ana
mendapatkan penjelasan seperti dibawah ini:
“Dari Husain bin Harits Al
Jadali, yang menyampaikan:
أَنَّ أَمِيرَ مَكَّةَ خَطَبَ ثُمَّ قَالَ عَهِدَ إِلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَنْسُكَ لِلرُّؤْيَةِ فَإِنْ لَمْ نَرَهُ وَشَهِدَ شَاهِدَا عَدْلٍ نَسَكْنَا بِشَهَادَتِهِمَا
“Bahwasanya Amir Makkah (Wali
Makkah, yakni Al Harits bin Hathib) berkhutbah dan menyatakan: ‘Rasulullah
Shallallahu’ alaihi wa sallam berpesan pada kami (para wali Makkah) agar
memulai manasik (haji) berdasarkan ru`yat. Apabila kami tidak melihat
(ru`yat)nya, sementara ada dua orang yang adil menyaksikan (munculnya hilal)
maka kami harus memulai manasik dengan kesaksian dua orang tersebut.” (HR. Abu
Daud).
Perkataan Amir Mekkah Al
Harits bin Hathib “ahida ilainaa Rasulullah shallalahu’ alaihi wa sallam an
nansuka lirru’yah,” (Rasulullah shallalahu’ alaihi wa sallam . telah berpesan
pada kami agar menjalankan manasik haji berdasarkan ru’yah) dikemukakan dalam
kedudukannya sebagai Amir Mekkah. (Ia menduduki jabatan tersebut pada masa
kekhilafahan Abdullah bin Azzubair, kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan, dan
sesudahnya).
Hal ini berarti bahwa pesan
(al ‘ahdu) itu adalah dari Rasulullah bagi orang seperti dirinya selaku Amir
Mekkah. Adalah Attaab bin Usaid yang bertindak sebagai Amir Mekkah pada masa
Rasulullah. Sehingga, kandungan pesan Rasulullah shallalahu’ alaihi wa sallam
tersebut tertuju untuk Amir Mekkah, bukan untuk kaum muslimin secara umum.
Sebab, kata al ‘ahdu dalam konteks ini bermakna suatu yang diwasiatkan
Rasulullah kepada amir atau wali Mekkah ketika Beliau .shallalahu’ alaihi wa
sallam mengangkatnya sebagai wali di sana.
Dalam Kamus Lisaanul Arab,
juz 3 halaman 311, disebutkan: “Dan pesan (al ‘ahdu) adalah suatu yang
ditetapkan bagi para wali; al ‘ahdu merupakan pecahan kata -musytaq- dari
‘ahida, jamaknya ‘uhuudun. Wa qod ‘ahida ilaihi ‘ahdan (sungguh dia telah
menyampaikan pesan kepadanya). Dikatakan pula dalam kitab itu: “‘ahida ilayya
fii kadza (dia menyampaikan pesan kepadaku dalam hal anu), artinya adalah
aushaani (dia berwasiat kepadaku).
Adapun sabda Nabi shallalahu’ alaihi wa sallam “an nansuka lirru’yah” maksudnya
adalah agar kami menyembelih kurban pada yaumun nahar, atau agar kami
menunaikan syiar-syiar haji, setelah terbukti adanya ru’yah. Hal ini karena,
sekali pun bahasa Arab menggunakan kata nusuk dalam arti ibdan setiap aktivitas
penghambaan diri kepada Allah, akan tetapi syara’, sebagaimana ditunjukkan
dalam banyak nash baik dalam al Quran maupun sunnah, telah menggunakannya
dengan arti (untuk) manasik haji. Jadi, kata nusuk memiliki makna syar’i yang
relatif berbeda denganmakna lughawi-nya.
Wajib Mengikuti Pengumuman
Hari Wukuf oleh Penguasa Kota Mekkah
Dengan demikian, maka hadits tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu Amir
Mekkahlah yang menetapkan pelaksanaan manasik haji, mulai dari wukuf di Arafah,
Thawaf Ifadhah, bermalam di Muzdalifah, melempar Jumrah, dan seterusnya. Dengan
kata lain, penguasa yang menguasai kota Mekkah saat ini berhak menentukan wukuf
di Arafah (9 Dzulhijjah), pelaksanaan penyembelihan hewan kurban (10
Dzulhijjah), dan rangkaian manasik haji lainnya. Hal itu berarti negeri-negeri
Islam lainnya harus mengikuti penetapan hari wukuf di Arafah, yaumun nahar
(hari penyembelihan hewan kurban pada tanggal 10 Dzulhijjah) berdasarkan
keputusan Amir Mekkah, atau penguasa yang saat ini mengelola kota Makkah.”
Ana sendiri belum mengechek
hadist ini , Pertanyaannya apakah hadist tersebut shahih? dan pernyataan
tersebut benar?
Abu Umair
As-Sundawy said
Februari 23, 2007 @ 3:10 am
Waduh…saya juga sedang cari
Pak, belum tahu status hadist ini.Sekalipun
shahihkatakanlah.Saya melihatnya kalau memperpanjang masalah dengan hadist
ini maka kita akan memasuki polemik ulang apakah matla’ itu satu atau atau
berbeda tiapnegeri.Dan perlu diketahui Imam Abu Daud meletakkan hadist ini
bukan pada bab haji loh,tapi dalam bab puasa, sub bab “kesaksian dua lelaki
dalam me-ru’yat hilal syawal”.Allahu a’lam
Abu Umair As-Sundawy
Abu Ishaq said
Februari 26, 2007 @ 2:36 am
Al-Imam Al-Albani dalam
Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud No. 2338 menyatakan bahwa hadits Husain bin
Al-Harits di atas adalah SHAHIH.
Bisa dicek via Al-Maktabah Asy-Syamilah.
Wallahu a’lam apakah
penghukuman beliau terhadap derajat hadits ini dengan SHAHIH direvisi atau
tidak. Ada yang bisa membantu melihatnya di buku Taraju’at Al-Albani ?
Wallahu a’lam.
Asman said
April 18, 2007 @ 6:52 am
Katanya yang benar satu, koq
pendapatnya banyak ?????
Rudi (pelajar
pemula) said
Desember 17, 2007 @ 3:47 am
Assalaamu’alaykum
Sebenernya yang ingin saya
tanyakan:
1.Mengapa Puasa Arafah dinamakan puasa arafah?, kalo dinamakan puasa arafah
karena puasa itu berhubungan dengan wuquf apakah pantas kita menyelisihi waktu
pelaksaaannya dengan mengerjakan setelah wuquf?
2.Adakah contoh dari para sahabat tentang perbedaan waktu ini, kalo di Idul
Fitri dan Shaum Ramadhan ada contohnya nah di kasus Idul Adha ini apakah ada
contohnya?,sepertinya benang merah dalam masalah ini adalah ini.
Allohu a’lam.
Jazakamullohu khoir.
Rudi (pelajar
pemula) said
Desember 17, 2007 @ 4:00 am
dalil puasa arafah
Puasa hari arafah (tanggal 9 dzulhijjah), aku berharaf kepada Alah, Dia akan
menghapuskan (dosa) satu tahun sebelumnya dan satu tahun setelahnya. Puasa
Asyura’ (tanggal 10 muharram) aku berharaf kepada Allah, Dia akan menghapuskan
(dosa) satu tahun sebelumnya. (HR.Muslim,no.1162, dari Abu Qatadah)
diambil dari
Rudi (pelajar pemula) said
Desember 18, 2007 @ 2:47 am
setelah melihat beberapa
dalil dalam fatwa ulama’ salafy serta beberapa qoul ulama’ salaf saya rujuk
dari pendapat bahwa Shaum Arafah hari ini dan Idul Adha besok Rabu.
November 11, 2010 @ 7:28 pm
[…] إذا رأيتموه فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا ( Apabila kalian melihat (hilal) berpuasa dan
berbukalah ) Adapun dalil qiyas : Waktu dimulai dan berakhiranya puasa tiap
hari di tiap negeri berdsarkan waktu lokal terbit dan tenggelamnya matahari.
Akan tetapi jika ada dua wilayah dibawah satu peemrintahan,kemudia penguasa
memerintahkan satu wilayah berpuasa atau berbuka maka wajib bagi negeri satunya
untuk mengikuti.Karena permasalahan ini khilafiyah, sedangkan keputusan hakim
menghilangkan khilaf. Berdasar ini maka berpuasalah serta berbuka menurut
penduduk negeri kalian dimana kalian sedang berada,sama saja apakah cocok
dengan keputusan negeri asal kalian atau tidak.Demikian pula hari arafah,
ikutilah negeri dimana kalian berada Fatwa kedua : Syaikh Ibnu Utsaimin ditanya
apabila terjadi perbedaan hari arafah dikarenakan penampakan hilal yang berbeda
di negeri yang berbeda,apakah kita berpuasa mengikuti negeri dimana kita
tinggal ataukan mengikuti negeri haramain (Saud…i Arabia) Dijawab beliau : والصواب أنه يختلف باختلاف المطالع ، فمثلا إذا كان الهلال قد رؤي بمكة ، وكان هذا اليوم هو اليوم التاسع ، ورؤي في بلد آخر قبل مكة بيوم وكان يوم عرفة عندهم اليوم العاشر فإنه لا يجوز لهم أن يصوموا هذا اليوم لأنه يوم عيد ، وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم ، فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة ، هذا هو القول الراجح ، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول ( إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا ) وهؤلاء الذين لم ير في جهتهم لم يكونوا يرونه ، وكما أن الناس بالإجماع يعتبرون طلوع الفجر وغروب الشمس في كل منطقة بحسبها ، فكذلك التوقيت الشهري يكون كالتوقيت اليومي . [ مجموع الفتاوى 20 ] Persoalan ini terjadi perbedaan pendapat
dikalangan ahli ilmu,apakah hilal itu satu bagi seluruh dunia ataukah berbeda
sesuai perbedaan mathla’. Pandangan yang rajih adalah berbeda berdasar
perbedaan mathla’ (dimana hilal itu dilihat di berbagai tempat).Misalnya, jika
hilal sudah dapat terlihat di Mekah, dan hari ini adalah hari
kesembilan.Kemudian di negeri lain hilal dapat dilihat sehari sebelum nampak di
Mekah,maka hari arafah di Mekah adalah hari kesepuluh bagi mereka,maka ini
tidak diperbolehkan bagi mereka untuk berpuasa di hari ini,karena hari tersebut
adalah hari idul adha bagi mereka. Atau sebaliknya jika hal ini terjadi dimana
mereka melihat bulan sehari setelah Mekah,maka hari kesembilan (Dzulhijah)
adalah tanggal 8 Djulhijjah bagi mereka,maka mereka harus berpuasa di tanggal 9
menurut mereka (walaupun bertepatan tanggal 10 bagi Mekah).Inilah pandangan
yang rajih karena Nabi shalallahu alaihi wassalam mengatakan : إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا “Apabila kamu melihat (hilal) berpuasalah, dan
(juga) jika kamu melihatnya maka berbukalah” Mafhum hadist ini, jika tidak
melihat maka tidak wajib. Maka mereka yang tidak melihat hilal di negerinya
maka dia belum melihatnya (sebagaimana hadist diatas).Sebagaimana manusia telah
sepakat (ijma) menganggap terbitnya fajar atau terbenamnya matahari itu sesuai
daerahnya.Dengan demikian penen…tuan waktu masuknya bulan sebagaimana penentuan
waktu harian (yang berbeda tiap daerah).Ini adalah ijma’ para
ulama.Olehkarenanya, penduduk asia timur memulai puasa sebelum penduduk
bagian barat.Dan berbuka sebelum mereka.Demikian juga matahari yang
terbit dan tenggelam saling berbeda.Untuk yang seperti puasa harian
ini berbeda maka begitu juga untuk puasa bulanan maka tentu sama. Akan tetapi
jika dua wilayah dalam satu pemerintahan, maka keputusan penguasa untuk berbuka
dan berpuasa harus diikuti.Karena ini masalah khilafiyah sedangkan keputusan
hakim itu mengankat khilaf. (Hukmul hakim yarfa’ul khilaf) Berdasar ini maka
berpuasa dan berbukalah bersama penduduk dimana kalian sekarang tinggal, entah
sama dengan negeri asal kalian atau tidak.Demikian juga shaum arafah, ikuti di
negeri dimana kalian tinggal.[Majmu’ fatawa 20] Sumber :salafyitb.wordpress.com […]
Abah Indra said
November 14, 2010 @ 10:42 am
Heran saya dengan puasa
arafah
1. Kita puasa arafah itu bukan karena bulan, tapi karena wukuf, bukan di
bandung atau di jakarta, tapi di saudi.
2. persoalannya wukuf di arafah hari senin. lantas kita disarankan puasa arafah
pada hari selasa. laaaaah pan wukuf hari senin. katanya puasa arafah karena
wukuf?
3. klo kita shaum hari selasa sementara wukuf hari selasa berarti kita puasa di
hari tasyriiiiiiiiik dong. boleh kah?
Abah Indra said
November 14, 2010 @ 10:43 am
ha haha jadi salah dah kalo
puasa wukuf hari senin dan puasa hari selasaaaaaaaaaaaaaaaaaaa
Iman said
November 14, 2010 @ 11:55 am
sebenarnya yang jadi masalah
itu zat wuqufnya atau mathlanya?
TheSalt Asin said
November 15, 2010 @ 12:07 am
ada baiknya kita merenungkan
pendapat Syaikhul Islam Izzuddin ibn Abdis Salam :
Termasuk Keheranan yang sangat mengherankan, para Fuqaha Muqalid , mengetahui
kelemahan pendapat Imam Madzhab( yang diikuti)-nya sementara dia tidak bisa
membantah kelemahan itu, namun begitu dia tetap bersikeras mengikuti
pendapatImamnya.Oleh karena itupula, ia tinggalkan dalil-dalil Al-Qur’an,
as-Sunah, atau Qiyas yang Shahih. Malah untuk membela imam yang diikutinya, ia
berani merekayasa dan mentakwili Al-Qur’an dan as-Sunnah (disesuaikan dengan
pendapat Imam yang di ikutinya), meskti ternyata Ta’wil tadi batil.
TheSalt Asin said
November 15, 2010 @ 12:34 am
Rasulullah SAW, pernah
bersabda : Sepeninggalanku, akan muncul pemimpin-peminpin baru, yang jika
berkata, tidak boleh dibantah. Mereka meloncat kesana-kemari dalam api
(kekuasaan), sebagaimana loncatan kera.
As-Syaukani mengutip pendapat
Imam Juwaini , berkata :Orang yang hapal nushus (pendapat) Imam asy-Syafi’I dan
pendapat para pakar tentangnya, tetapi ia tidak tahu hakikat dan substansi
pendapat itu, ia tidak boleh ber Ijtihad dan melakukan Qiyas. Ia tidak termasuk
ahli fatwa. Oleh karena itu, ia tak boleh berfatwa.
( Imam as- Syaukani, adalah Ulama besar Islam Syi’ah Imam 12, walaupun beliau
sudah melepaskan diri dari keterikatannya dengan Islam Syi’ah, tapi beliau
masih tetap mengimani akan kedatangan Imam Syi’ah yang menghilang).
Imam as-Subuki pernah
mengatakan : Apabila ada satu atau dua orang mengaku melihat bulan,tetapi Hisab
mengatakan tidak mungkin dilihat, maka kesaksiannya dianulir. Sebab Hisab
berkekuatan Qath’I, sedangkan rukyan Dhanny . Sedangkan dhanny tidak mungkin
mengalahkan Qath’i.
Setahu saya ,untuk Warga
Negara Indonesia. yang bermukim di Indonesia. HARAM HUKUM NYA -Ied Fitri , Ied
Adha MENGIKUTI ARAB SAUDI .
Di MASJIDIL HARAM – Shalat
Tarawih 23 Raka’at…bahkan pernah sampai 33 Raka’at (ketika terjadi keruntuhan
Taliban) plus baca kunut Nazilah-..
Dan seluruh Mujtahid Mutlaq (
para Imam Madzhab ) dan mereka sangat takut dengan LAKNAT
Allah SWT.tidak ada diantara mereka yang mengatakan BAHWA SHALAT
TARAWIH lebih dari 11 Raka’at adalah Ahli Neraka’.
Yang jadi pertanyaan – Apakah
Islam Wahabi di Indonesia -melaksanakan Shalat Tarawih sama JUMLAH Raka’at nya
dengan ARAB SAUDI…..???…wassalam.
Muhammad said
November 16, 2010 @ 7:26 am
Sila rujuk di sini
abu zaid said
November 16, 2010 @ 11:02 am
Menurut saya, apa yang
terlihat sebagai khilaf tersebut sebenarnya bisa disinkronkan jika kita bisa
memahami konsep hilal, visibilitasnya, hijri date line dan semacamnya.
Pembahasannya ada di sinihttp://ayahzaid.blogspot.com/2010/11/kesalahan-pendapat-idul-adha-di.html
Mohon maaf kalau konteksnya di sini adalah Idul Adha tahun 2010.
umar as'saif said
November 29, 2010 @ 11:31 am
bismillah…
ibadah saum ramadhan itu
dilakukan di seluruh negeri di dunia ini
maka perbedaan pendapat dan dalil serta hilal bisa dikembalikan kepada setiap
negeri meruju kepada hadist shahih dari rasul.
ibadah hajj hanya dilakukan
di makkah saja tidak ada lagi negeri yang melakukannya selain hanya di makkah
bahkan madinah dan nejed pun tidak melakukan puncak ibadah hajj yaitu wuquf,
maka dari itu wajib mengikuti keputusan dari makkah almuqarom sebagai rujukan
untuk penentuan hilal ataupun tanggal 9-10 Dzulhijjah sebab ibadah hajj itu
tidak dilakukan disemua negeri hanya di makkah saja. maka yg rojih adalah
shlolat ied adha itu merujuk ke makkah almuqarom.. alloh a’lam
Bersambung...........Insya Allah