Surat Resmi Mui & Annas Kota Bogor Untuk
Komnas Ham.
30 October 2015
Kepada:
Saudara Imdadun Rahmat,
Di kantor KOMNAS HAM
HAL: surat teguran saudara
kpd Bpk. Walikota Bogor
Assalamu’alaikum
Warahmatullah Wabarakatuh.
Surat teguran saudara
No:007/TIM-KBB/X/2015 tertanggal 27 Oktober 2015 kepada Bapak Walikota Bogor,
telah menodai dan melukai kami sebagai ummat Islam. Tindakan saudara tersebut
dapat memicu perpecahan ummat yang dapat mengancam keutuhan NKRI.
Kami Aliansi Nasional Anti
Sy’iah (ANNAS) kota Bogor bersama-sama FORKAMI, HASMI, FUI, GEMMA dan
ormas-ormas Islam lainnya, yang di ikuti para Ulama, Tokoh masyarakat, MUI dan
masyarakat muslim seluruhnya, meminta kepada saudara untuk menarik surat
teguran saudara diatas dan meminta maaf kepada bapak Walikota Bogor dan Ummat
Islam, atas kecerobohan saudara yang telah mengambil tindakan salah dan
mengatasnamakan KOMNAS HAM, tanpa mengetahui akar permasalahannya.
Karena ketidak tahuan saudara
tersebut, maka perlu kami sampaikan bahwa:
1. Syi’ah sekte Sesat yang
menodai ajaran islam dan telah keluar dari ajaran islam secara Asasi.
2. Syi’ah di fatwakan sesat
oleh MUI pada Munas MUI thn 1984.
3. Syi’ah di fatwakan sesat
oleh Persatuan Ulama Muslim Sedunia (Rabithah ‘Alam Islami)
4. Syi’ah merupakan gerakan
radikalisme irani terselubung yang mengancam stabilitas keamanan nasional.
5. Syi’ah membahayakan NKRI.
Selanjutnya sebagai sesama
muslim dan dengan niat baik, kami memberikan nasehat agar saudara lebih
berhati-hati dalam bersikap dan bertindak atas nama KOMNAS HAM, terlebih dalam
masalah agama, karena hal tersebut dapat menimbulkan konflik horizontal yang
membahayakan keutuhan NKRI, dan perpecahan itulah yang diharapkan oleh syi’ah
untuk mengambil alih kekuasaan sebuah negara dengan cara apapun, seperti
tragedi-tragedi berdarah di Irak, Suriah dan Yaman.
Segeralah bertaubat kepada
Alloh subhanahu wata’ala yang telah menciptakan saudara, karena tidak ada
kekuatan apapun yang dapat menahan murka-NYA didunia maupun diakhirat kelak.
Semoga Alloh mengampuni
saudara dan memberikan taufiq hidayah-Nya kepada kita semua.
Wassalamu’alakum
Warahmatullah Wabarakatuh.
Bogor 28 Oktober 2015
Ttd
ANNAS
Bogor. FORKAMI. MUI
HASMI.
GEMMA. FUI….
DLL……………………………
Cc:
1.Ketua ANNAS Pusat
2.Bpk. Walikota Bogor
3.Bpk. Gubernur Jawa Barat
2.Ketua Komnas HAM
3.Menteri Dalam Negeri
4.Menteri Agama
Wakil Ketua Komisi VIII DPR: Kehadiran Syiah
Berpotensi Menimbulkan Konflik di Masyarakat
Wakil Ketua Komisi VIII DPR
yang membidangi sosial dan keagamaan, Dr. Ir. Sodik Mudjahid mengatakan sikap
Wali Kota Bogor Bima Arya yang melarang acara perayaan Asyura kaum Syiah tidak
melanggar konstitusi ataupun Hak Asasi manusia (HAM).
“Keputusan tersebut tidak
melanggar HAM, karena dalam UUD 45 ada pasal khusus menyatakan bahwa dalam
menjalankan HAM di Indonesia harus patuh kepada hukum,” katanya saat dihubungi
Kiblat.net, pada Jumat (30/10).
Menurut Sodik, setiap
pimpinan daerah punya kewajiban menjamin keamanan dan ketentraman di daerahnya.
pimpinan daerah memiliki kemampuan mengetahui faktor-faktor apa saja yang bisa
menggangu ketertiban.
“Dia juga sangat tahu potensi
dan isu-isu sensitif penyebab terjadinya kericuhan dan konflik sosial,”
ujarnya.
Sementara, kata Sodik, saat
ini kehadiran aliran Syiah dengan berbagai kegiatannya berpotensi menimbulkan
konflik di masyarakat.
“Dalam sikon (situasi
kondisi, red) sensitif atau darurat seperti ini, kita pahami keputusan walkot
Bogor,” tandasnya.
Sekedar diketahui, Pemerintah
Kota Bogor, Jawa Barat, menerbitkan Surat Edaran Wali Kota dengan Nomor:
300/1321-Kesbangpol yang berisi larangan merayakan Asyuro bagi penganut Syiah
di Bogor.
Surat edaran itu diterbitkan
atas dasar memperhatikan beberapa hal. Pertama, sikap dan respons dari Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Kota Bogor dengan Nomor: 042/SEK-MUI/KB/VI/2015 tentang paham
Syiah. Kedua, surat pernyataan dari organisasi masyarakat (ormas) Islam di Kota
Bogor yang menyatakan penolakan segala bentuk kegiatan keagamaan Syiah. Dan
ketiga, merupakan hasil rapat dari Pimpinan Daerah.
Reporter: Bilal Muhammad
Editor: Fajar Shadiq
Atas Nama HAM, Bolehkah Kelompok Minoritas
Nodai Ajaran Islam?
Salahsatu poin yang
diutarakan oleh lembaga Syiah, OASE saat konferensi pers di LBH Jakarta pada
Rabu, (28/10) adalah urusan aqidah, negara tak bisa mengintervensi.
Komentar ini dilayangkan
Emilia Renita, pimpinan Organisation Ahlulbayt for Social Support and
Education (OASE) terkait Surat Edaran Walikota Bogor yang melarang
perayaan Asyura karena berpotensi menimbulkan konflik.
Terkait hal itu, aktivis
dan pengacara Muslim, Munarman SH menyatakan negara memang tidak bisa
mengintervensi keyakinan seseorang, namun kewenangannya diatur
oleh majelis-majelis agama masing-masing.
“Majelis Ulama kan sudah
mengeluarkan buku (mewaspadai penyimpangan ajaran syiah), jadi penilaiannya
menurut otoritas agama. Otoritas agamanya kan ada di MUI dong, kalau soal
Islam,” ujar dia kepada Kiblat.net, (29/10) kemarin.
Direktur An-Nasr Institute
ini mencontohkan kasus Sampang. Dalam hal ini, MUI Provinsi Jawa
Timur secara tegas sudah mengeluarkan fatwa kesesatan Syiah. (Baca juga: Surat Bima
Arya dan Batasan HAM)
Ia juga mengkritisi standar
ganda sekelompok orang dan lembaga pembela HAM yang kerap mengadvokasi kelompok
minoritas. Ada pandangan seolah-olah semua kelompok minoritas adalah kelompok
yang benar. Sehingga, sekte Syiah yang mengaku sebagai kelompok minoritas harus
dibela secara membabi-buta.
“Padahal tidak semua orang
yang minoritas itu otomatis benar. Kalau dia minoritas, kan dia berarti bukan
Islam. Di Indonesia ini kan Islam mayoritas,” jelas Munarman.
Dengan pemahaman seperti itu,
menurut Munarman, kalau sekte Syiah mengaku sebagai kelompok minoritas, berarti
mereka mengakui sendiri kalau mereka bukan Islam. “Secara implisit kan begitu.
Jadi kalau cara berpikirnya keliru ya, kayak gitu jadinya,” pungkas dia.
HAM dan Kebebasan Beragama
Munarman juga mengingatkan
HAM di Indonesia ini, sebagaimana kata para pengusungnya harus sejalan
dengan konstitusi. Sementara, di konstitusi hukum Indonesia, seseorang
maupun secara berkelompok tidak boleh mengatasnamakan kebebasan dan hak asasi
manusia tapi melanggar hak orang lain dan menghina agama orang lain.
“Termasuk juga melanggar
norma-norma agama yang berlaku di masyarakat,” kata pria kelahiran Palembang
ini.
Sebagaimana diketahui,
kelompok Syiah di Indonesia baik yang tergabung dalam ormas OASE, Ikatan Jamaah
Ahlul Bait Indonesia (IJABI) maupun Ahlul Bait Indonesia (ABI) secara
terang-terangan telah menerbitkan sejumlah buku yang menodai agama Islam. (Baca
juga: Tolak
Tawhidi, Benarkah ABI-IJABI Anti Takfiri?)
Menurutnya, HAM di Indonesia
itu ada batasannya. Tidak serta merta bebas secara mutlak sehingga orang bisa berbuat
sekenanya.
Hanya saja ada segelintir
orang yang mempraktekkan HAM tanpa batas. “Ada oknum-oknum ya, oknum-oknum
di Komnas HAM (yang mempraktekkan hal itu, red),” sambung Munarman.
Saat Kiblat.net bertanya
siapa saja oknumnya, Munarman hanya menjawab singkat, “Nah oknum-oknumnya ini
siapa saja, ya perlu diteliti. Ini kan oknum-oknum yang menjadi agen-agen
komprador internasional.”
Reporter: Bunyanun Marsus
Editor: Fajar Shadiq
Munarman: Pembela HAM Jangan Mau Dijadikan Kuda
Tunggangan Kelompok Menyimpang
Direktur An-Nasr Institute
Munarman, SH menegaskan ancaman lembaga Syiah yang akan melaporkan
dirinya dengan pasal ujaran kebencian (hate speech) tak perlu diladeni.
“Prinsipnya anjing
menggonggong kafilah berlalu. Kalau diladenin sama saya, gak level lah. Saya
siapa? Iya dong, harus begitu dong,” ujarnya kepada Kiblat.net melalui
sambungan telepon pada Kamis, (29/10).
Seperti diberitakan
Kiblat.net sebelumnya, dalam Konpers di LBH Jakarta, OASE menyontohkan
pernyataan Munarman yang menyatakan, “Memberitahu umat mengenai kesesatan dan
penyimpangan Syiah tidak melanggar hukum. Dasar pernyataan itu adalah UU No. 1
PNPS tahun 1965 tentang penodaan agama.”
Menurut lembaga pimpinan
Renita Emilia itu, ucapan Munarman merupakan bentuk hate speech.
Menanggapi hal itu,
Munarman menghimbau lembaga pembela hak asasi seperti Komnas HAM dan
sebagainya jangan mau dijadikan kuda tunggangan oleh kelompok-kelompok yang
menyimpang dari jalan agama seperti sekte Syiah.
Menurutnya, penyimpangan itu
adalah kejahatan. Baik dari segi ajaran agama maupun dari segi hukum negara.
Kalau ada seseorang atau sekelompok orang melakukan penyimpangan dalam agama,
hal ini bisa dikenai pasal UU PNPS No.1 Tahun 1965.
“Dan juga baik dari hak asasi
manusia itu justru orang harus menghormati hak-hak beragama. Dalam hal ini kan
(kelompok Syiah, red) yang tidak menghormati,” bebernya.
Munarman berprasangka
baik, Komnas HAM ini agak sedikit lugu dalam menghadapi permasalahan
Syiah.
“Kenapa? Karena dia
menganggap orang yang melakukan penodaan agama itu korban masalahnya. Jadi,
positioningnya itu ndak jelas. Seharusnya dia melihat agama yang dihina,
dinodai serta dirusak itulah yang jadi korban,” lanjut dia.
Munarman menyayangkan cara
berpikir sejumlah oknum di Komnas HAM yang terbalik. Pasalnya, tidak
semua kelompok minoritas di Indonesia itu benar.
“Logika berpikirnya Komnas
itu kan yang minoritas pasti bener. Gitu kan? Itu keliru kalau begitu,”
pungkasnya.
Reporter: Bunyanun Marsus
Editor: Fajar Shadiq