لَوْ كَانَ
خَيْرًا لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
"Lau Kaana Khairan Lasabaquuna Ilaihi“
“Kalau sekiranya perbuatan itu baik tentulah
para sahabat telah mendahului kita dalam mengamalkannya”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Para
Sahabat, Para Thabi’in, Thabi’ut Thabi’in, Imam Mazhab yang Empat, Para Ulama
Hadits Seperti Imam Bukhari- Muslim, Tidak Ada Yang Pernah Satu Kalipun
Mengadakan Perayaan Maulid Nabi....
(Tiga Abad Pertama Hijriyah dan Paling Utama)
Sanggahan (Kontra Maulid)
Daftar Sub-artikel :
●Jawaban Atas Sebuah Alasan : “Kenapa Sahabat
Nabi Tak Merayakan Maulid ?”
●Diskusi Ringan Seputar Maulid Nabi
(Figur-Figur Generasi Terbaik Umat Yang Tidak
Merayakan Maulid Nabi Shalallahu ‘Alaihi Was Sallam, Apakah Mereka Akan Dicap
“Wahabi”?)
●Perayaan Maulid Nabi Dalam Pandangan Beberapa
Ulama Syafi’iyah, Siapakah Yang Pertama Kali Merayakannya?
●Perayaan Maulid Menurut Ulama Madzhab
●Teka-Teki Maulid Nabi,.. siapa bisa
jawab pertanyaanya?
●Alasan Sebagian Orang dalam Membela Maulid
●Ini Lho Dalil Keutamaan Maulid Nabi,. Ternyata
hadits palsu semua
●Hadits palsu: “barangsiapa mengagungkan hari
kelahiranku…”
●Kumpulan Penjelasan Mengenai Perayaan Maulid
Nabi
●Engkau Harus Mencintai Nabimu
●Sejarah Kelam Maulid Nabi
●Meskipun Kelam, Maulid Nabi Tetap Ada Pembelaan
●Hukum peringatan maulid Nabi saw
●Yang Mengharamkan Peringatan Maulid Nabi Bukan
Hanya Wahabi
●Mengkritisi Sejarah Perayaan Maulid Nabi
●Benarkah Sholahuddin al-Ayyubi Pencetus
Perayaan Maulid Nabi?
●Yang Pertama Kali Mengadakan MAULID Adalah Orang
Syiah
●Benarkah yang merayakan ‘maulid nabi’ pertama
kali adalah raja al-muzhaffar, penguasa kota irbil?!
●Menjawab Syubhat-Syubhat Perayaan Maulid Nabi
dan Benarkah Ibnu Taimiyyah Rahimahullah Mendukung Maulid Nabi (2 artikel)?
●Hadits-hadits tidak jelas, andalan penggemar
maulid Nabi
●Peringatan Maulid Nabi Dalam Timbangan Islam
Pro-Maulid
●Merayakan Maulid Nabi SAW
●Tanya-Jawab Ilmiah Sekitar Perayaan Maulid
Nabi
●Beberapa diantara Ulama yang membolehkan dan
menganggap baik perayaan maulidun Nabiy Muhammad sholallahu ‘alayh
wasallam
●Inilah Sejarah yang Benar tentang Awal
Perayaan Maulid Nabi
●Sejarah Singkat Maulid dan Sanggahan Bagi
Kalangan Anti Maulid
Komplementer terkait Perayaan Maulid Nabi (Paling bawah)
Jawaban
Atas Sebuah Alasan : “Kenapa Sahabat Nabi Tak Merayakan Maulid ?”
December 17, 2015
Jika ada seseorang memaparkan : “Di era
para sahabat Nabi dulu tidak ada peringatan seperti ini, lantas kenapa sekarang
ada ? Katanya, untuk menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah. Baginya,
kecintaan sahabat kepada Rasul sudah terbukti sehingga tidak diadakan
peringatan Maulid Nabi. Sahabat-sahabat itu merupakan saksi hidup perjalanan
Rasulullah.
Agar kita mengenal Rasul, dari perjalanan
hidupnya. Maka perlu mengadakan acara seperti ini. Kalau tidak diadakan acara
seperti ini, kapan kita mulai mencintai Nabi”.
Maka dapat kita katakan :
1)Perkataan : “Baginya, kecintaan sahabat kepada Rasul sudah terbukti
sehingga tidak diadakan peringatan Maulid Nabi…” , dapat kita tanggapi :
Bahwa perkataan tersebut disadari maupun
tidak disadari mengandung komentar tidak tepat terhadap para sahabat, dari sisi
: kalau seandainya Peringatan Maulid Nabi itu merupakan wujud kecintaan kepada
Nabi, maka para sahabat tidak perlu mengadakan peringatan tersebut karena
mereka sudah merasa puas dengan selain Peringatan Maulid Nabi sebagai wujud
kecintaan kepada Nabi.Tentu sama sekali bukan tipe para sahabat jika merasa
puas dengan amalan shalih yang sudah mereka kerjakan, tanpa mengerjakan amalan
shalih yang lain (dalam hal ini Peringatan Maulid Nabi).Itu pun (sekali lagi) jika
seandainya Peringatan Maulid Nabi memang benar-benar merupakan amalan
shalih.Justru sebaliknya, para sahabat adalah sosok-sosok manusia yang paling
semangat dan tidak merasa puas dengan suatu amalan shalih, hingga mereka
menginginkan amalan shalih yang lain demi meraih pahala
sebanyak-banyaknya.Beberapa riwayat yang shahih menunjukkan sebagian sahabat
meminta Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menunjukkan amalan shalih kepada
mereka, atau Nabi menawarkan amalan shalih dan para sahabat sangat antusias menyambut
tawaran tersebut.Lebih dari itu, pengetahuan mereka tentang agama tidak sekedar
sebagai wawasan atau wacana, akan tetapi benar-benar mereka wujudkan dalam
bentuk amal nyata.Kesimpulannya : Kalau seandainya Peringatan Maulid Nabi
memang benar-benar merupakan amalan shalih yang menunjukkan kecintaan kepada
Nabi, niscaya akan diselenggarakan oleh para sahabat Nabi sebagai tambahan amal
shalih mereka, yang mereka tidak pernah merasa puas dengan amal shalih yang
sudah mereka kerjakan, hingga mereka ingin mengerjakan amal shalih berikutnya
demi meraih pahala sebanyak-banyaknya.
2)Perkataan : “Sahabat-sahabat itu merupakan saksi hidup perjalanan
Rasulullah”, dapat kami pahami bahwa para sahabat tidak mengadakan Peringatan
Maulid Nabi karena mereka telah hidup bersama Nabi, melihat langsung amaliah
Nabi.Maka tidak perlu bagi mereka untuk mengadakan acara dalam rangka
memperingati kelahiran Nabi.Jika memang demikian maksud perkataan di atas, maka
dapat kita tanggapi :
a)Kalau memang para sahabat tidak mengadakan Peringatan Maulid Nabi karena
mereka merupakan saksi hidup perjalanan Nabi, lantas mengapa para sahabat
tidak menganjurkan generasi manusia
setelah mereka yang tidak pernah menjumpai Nabi agar mengadakan Peringatan
Maulid Nabi ?! Apa yang menghalangi mereka untuk tidak menganjurkan hal itu,
sementara para sahabat adalah generasi yang paling tahu dan semangat tentang
kebaikan akherat bagi umat ini ?!
b)Dipahami dari perkataan pada poin ke-2 di atas, bahwa selain para
sahabat yang memang bukan saksi hidup perjalanan Nabi perlu untuk mengadakan
acara Maulid Nabi.Lalu mengapa para Tabi’in (murid sahabat), Atba’u at-Tabi’in
(murid para Tabi’in), para imam mazhab 4 yang tersohor (al-Imam Abu Hanifah,
al-Imam Malik, al-Imam asy-Syafi’i dan al-Imam Ahmad bin Hanbal yang bukan
saksi hidup perjalanan Rasul ternyata tidak ada yang menyelenggarakan atau
menganjurkan Peringatan Maulid Nabi ?! Bahkan semasa para imam mazhab yang 4
ini hidup, mereka tidak pernah mengenal istilah Peringatan Maulid Nabi.Peringatan
Maulid Nabi barulah diadakan pada abad ke-3 lebih atau 4 H oleh para khalifah
(penguasa) yang berpemahaman Syi’ah.Sedangkan al-Imam Ahmad bin Hanbal yang
merupakan imam mazhab 4 yang terakhir meninggal dunia, beliau wafat pada
kisaran tahun 241 H (abad ke-2 H lebih).
3)Perkataan : “Kalau tidak diadakan acara seperti ini, kapan kita mulai
mencintai Nabi”, menunjukkan bahwa perkataan ini tidak memiliki kadar ilmiah
apalagi berbobot.Mengapa demikian ? Ya, seakan-akan perkataan ini menunjukkan
bahwa Peringatan Maulid Nabi merupakan satu-satunya wujud kita mencintai Nabi
dan peringatan itu merupakan awal kita mencintai Nabi.Tentu saja yang demikian
sangat tidak tepat.Melaksanakan seluruh perintah Nabi dan menjauhi seluruh
larangan Nabi yang sedemikian banyak bentuknya (dengan kata lain, menjalankan
Islam secara kaffah) merupakan wujud kecintaan seseorang kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi Wasallam.Masih terlalu banyak ajaran Nabi yang belum kita
pelajari dan kita amalkan.Lantas mengapa sedemikian gigihnya diantara kita
melestarikan sebuah acara yang dianggap ibadah, yang ternyata tidak ada
contohnya dari Nabi, para sahabat, Tabi’in, Atba’u at-Tabi’in dan para imam
mazhab yang 4 ?!
Demikian sekilas dari apa yang dapat kami
sampaikan kepada saudara-saudara kami seiman.Semoga dapat memberikan manfaat
bagi semua pihak.Aamiin…
Wallahu a’lamu bish-Shawab
Perayaan Maulid Nabi tidak dilakukan oleh para
sahabat Nabi - Ustadz dzulqarnain bin muhammad sunusi (silahkan Klik)
Merayakan maulid berarti senang dengan
kelahiran Nabi ? - Ustadz dzulqarnain bin muhammad sunusi
Diskusi Ringan
Seputar Maulid Nabi
(Figur-Figur
Generasi Terbaik Umat Yang Tidak Merayakan Maulid Nabi Shalallahu ‘Alaihi Was
Sallam, Apakah Mereka Akan Dicap “Wahabi”?)
1. Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu menjadi penguasa selama
dua tahun. Beliau tidak melakukan perayaan maulid Nabi. Padahal beliau adalah
shiddiqnya(1) ummat ini dan yang menyertai Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam
di dalam gua!(2)
2. ‘Umar radliyallaahu ‘anhu berkuasa selama 10 tahun.
Beliau tidak merayakan maulid Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam. Padahal
beliau adalah faruqnya(3) ummat ini dan orang yang mendapat ilham dari ummat
ini!(4)
3. ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhu berkuasa selama
13 tahun. Beliau tidak melakukan perayaan maulid Nabi. Padahal beliau adalah
suami dari dua putri Nabi(5) dan pelaku dua kali hijrah(6). Beliau adalah orang
yang paling pemalu dari ummat ini!(7)
4. ‘Ali bin Abi Thalib
radliyallaahu ‘anhu berkuasa selama empat tahun. Beliau tidak merayakan
maulid Nabi. Padahal beliau adalah anak paman Rasulullah shallallaahu ‘alayhi
wa sallam(8) dan suami dari pemuka wanita ahlul Jannah (surga)!(9)
5. Al-Hasan bin ‘Ali (bin Abi Thalib) radliyallaahu
‘anhuma berkuasa selama enam bulan. Beliau tidak merayakan maulid Nabi shallallaahu
‘alayhi wa sallam. Padahal beliau adalah cucu Rasulullah shallallaahu ‘alayhi
wa sallam dan pemuka para pemuda penghuni Jannah!(10)
6. Mu’awiyah radliyallaahu ‘anhu pun berkuasa (setelah
al-Hasan radliyallaahu ‘anhu-pent). Beliau tidak merayakan maulid Nabi
shallallaahu ‘alayhi wa sallam. Padahal beliau adalah raja yang terbaik dalam
Islam!
7. Lalu datanglah Daulah Umawiyyah. Di dalamnya ada
(raja) semisal (‘Umar) bin Abdil ‘Aziz rahimahullaah(11). Kemudian datang pula
Daulah ‘Abbasiyyah (setelah Daulah Umawiyyah-pent). Di dalamnya ada (raja)
semisal (Harun) ar-Rasyid rahimahullaah(12). Mereka semua tidak merayakan
maulid Nabi!
Inilah para ulama
Islam yang sebenarnya. Dan para pecinta Nabi
shallallaahu ‘alayhi wa sallam secara jujur. Mereka tidak merayakan hari
kelahiran beliau selama kurun masa yang dimuliakan(13), bersamaan dengan sangat
mengertinya mereka dengan apa yang Allah turunkan (al-Qur’an) dan hebatnya
pemahaman mereka terhadap apa yang ada dalam Kitabullah. Bagaimana (mereka tidak
seperti itu-pent) sedangkan mereka adalah pengemban al-Qur’an dan orang-orang
yang meriwayatkan hadits Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam?
Maka kita katakan:
“Andai perkara ini (maulid Nabi) baik, niscaya mereka
semua akan mendahului kita untuk melakukannya!”
Kita juga berkata sebagaimana al-Imam Malik rahimahullaah
berkata:
“Apa yang di jaman Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam
dan sahabatnya bukan bagian dari agama, maka pada HARI INI PUN TAK AKAN PERNAH
MENJADI AGAMA!”
Telah dimaklumi secara pasti bahwa tidaklah Rasulullah
shallallaahu ‘alayhi wa sallam berpindah menuju negeri akhirat kecuali telah
Allah sempurnakan agama ini untuk beliau dan telah Allah sempurnakan nikmat-Nya
atas beliau!(14)
Dan sungguh beliau telah memperingatkan di dalam sunnah
beliau dari perkara muhdats (yang diada-adakan) dalam agama ini(15) dan
(memperingatkan pula) dari beramal dengan sesuatu yang tidak pernah dilakukan
oleh beliau dan para sahabatnya radliyallaahu ‘anhum.
_______________________
❍ مناقشة
هادئة حول #المولد_النبوي #ﷺ ❍
* حكم
أبو بكر رضي الله عنه
(سنتين)
ولم يفعل (الإحتفال) بالمولد وهو (صديق) الأمة وصاحب (النبي) صلى الله عليه وسلم
في الغار ..!!
●●●●●●●●●●●●●●●●
* وحكم
عمر (10) سنوات ولم يفعل (الإحتفال) بالمولد وهو (فاروق) الأمة وملهمها ..!
●●●●●●●●●●●●●●●●
* وحكم
عثمان 13 عاما ولم يفعل (الإحتفال) بالمولد وهو زوج (البنتين) وصاحب (الهجرتين)
أشد هذه الأمة حياء ..!
●●●●●●●●●●●●●●●●
* وحكم
علي 4 أعوام ولم يفعل (الإحتفال) بالمولد وهو ابن عم رسول الله وزوج سيدة نساء أهل
الجنة …!
●●●●●●●●●●●●●●●●
* وحكم
الحسن 6 أشهر ولم يفعل (الإحتفال) بالمولد وهو (سبط) النبي صلى الله عليه وسلم
وسيد (شباب) أهل الجنة …!
●●●●●●●●●●●●●●●●
* وحكم
معاوية ولم يفعل (الإحتفال) بالمولد وهو خير ملوك الإسلام ..!
●●●●●●●●●●●●●●●●
* وجاءت
الدولة (الأموية) وفيها مثل (عمر) بن عبد العزيز، وجاءت الدولة (العباسية) وفيها
مثل (هارون) الرشيد ولم يفعلوا المولد ..!
●●●●●●●●●●●●●●●●
* هذا
وعلماء الإسلام (حقاً) وأحباب (النبي) صلى الله عليه وسلم صدقاً، لم يحتفلوا
بمولده طيلة (القرون) المفضلة مع شدة (معرفتهم) لما أنزل الله، وعظيم (فقههم) لما
في كتاب الله، كيف وهم حملة القرآن ورواة الآثار ..؟
●●●●●●●●●●●●●●●●
* فنحن
نقول: لو كان خيراً لسبقونا إليه ..!
●●●●●●●●●●●●●●●●
* ونقول
ما قال مالك رحمه الله: ما لم يكن في زمن رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ
وأصحابه ديناً فلن يكون اليوم ديناً ..!
●●●●●●●●●●●●●●●●
* ومعلوم
قطعاً: أنه ما انتقل رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ إلى الدار الآخرة إلا وقد
أكمل الله له الدين، وأتم عليه النعمة ..!
●●●●●●●●●●●●●●●●
* وقد
حذر في سنته من (الإحداث) في الدين وعمل شيء لم يفعله (هو) ولا أصحابه ..!
Catatan penerjemah:
Catatan kaki:
1. Abu Bakar radliyallaahu ‘anhu dijuluki
Ash-Shiddiq (seorang yang sangat jujur) karena beliau membenarkan kisah Isra’
dan Mi’raj Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam. Ketika Musyrikin Quraisy
mendatanginya dan meminta pendapatnya atas kisah Nabi shallallaahu ‘alayhi wa
sallam bahwa Nabi di Isra’kan oleh Allah ke Palestina dalam semalam, padahal
jarak normal dari Makkah harusnya sebulan, maka beliau tetap membenarkannya. Oleh karena itu beliau
dijuluki ash-Shiddiq (Siyar A’lamin Nubala’-Sirah Nabawi-hal 202)
2. Q.S. At-Taubah:40
3. Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa
sallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran berada di lisan
‘Umar dan hatinya. Dialah al-Faaruq (sang Pemisah). Allah memisahkan dengannya
antara al-haq dan al-bathil.” (H.R. Ibnu Sa’d dalam at-Thabaqat. Akan tetapi
hadits tersebut dilemahkan al-Albani rahimahullaah dalam as-Silsilah
adh-Dha’ifah no 3062). Tetapi ada atsar shahih tentang julukan tersebut dari
ucapan Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma(Zhilalul Jannah 1153)
4. Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“Sungguh pada ummat-ummat terdahulu terdapat muhaddatsun
(orang-orang yang mendapat ilham). Jika ada diantara ummatku
seorang (yang seperti itu), maka dia adalah ‘Umar.” (Muttafaqun ‘alayhi dari
Abu Hurairah)
5. Awalnya ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu menikahi Ruqayyah
radliyallaahu ‘anha, putri Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam. Ketika Ruqayyah
wafat, Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam lalu menikahkannya dengan
putri beliau yang lainnya, Ummu Kultsum radliyallaahu ‘anha.
6. Hijrah pertama ke negeri Habasyah. Adapun hijrah kedua ke Madinah.
7. Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa
sallam bersabda tentang ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu:
“Apakah aku tidak akan malu pada seorang
lelaki yang para malaikat saja malu padanya?”(H.R. Ahmad dan Muslim dari
‘Aisyah radliyallaahu ‘anha)
8. Beliau adalah putra Abu Thalib,
saudara kandung ayah Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam.
9. Istri beliau adalah Fathimah bintun
Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam. Beliau menyatakan tentang Fathimah:
“Wahai Fathimah, apakah engkau tidak rela
bila engkau menjadi pemimpin para wanita penghuni Jannah atau pemimpin wanita
kaum mukminin?” (Muttafaqun ‘alayhi dari ‘Aisyah).
10. Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa
sallam bersabda tentang al-Hasan dan alHusain radliyallaahu ‘anhuma:
“Al-Hasan dan al-Husain adalah dua orang pemimpin para
pemuda penduduk Jannah.” Diriwayatkan dari banyak sahabat. Silahkan lihat
as-Silsilah ash-Shahihah no 796
11. Salah satu penguasa yang paling menonjol dari Bani
Umayyah karena keshalihan dan keadilannya. Tentunya setelah Mu’awiyah
radliyallaahu ‘anhu. Keadilan dan kezuhudan beliau telah masyhur diketahui oleh
kaum muslimin.
12. Beliau adalah penguasa yang shalih dari Bani
‘Abbasiyyah. Asy-Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah mengatakan bahwa beliau
seorang yang shalih, bersungguh-sungguh dan baik dalam mengurusi rakyatnya.
Beliau membagi tahun-tahunnya menjadi dua bagian: setahun untuk berhaji dan
setahun berikutnya untuk berjihad.
13. Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda
tentang “al-Quruun al-Mufadhdhalah”(kurun masa terbaik):
“Sebaik-baik manusia adalah jamanku(yakni masa para
sahabat-pent) kemudian yang setelah mereka (masa para murid-murid sahabat.
Mereka disebut tabi’in-pent) kemudian yang setelah mereka (murid-murid dari
tabi’in. Mereka disebut atba’ut tabi’in-pent).”(Muttafaqun ‘alayhi dari Ibnu
Mas’ud)
14. Allah berfirman (artinya):
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu. Dan
telah Aku sempurnakan atasmu nikmat-Ku
dan Aku telah rela Islam sebagai agama bagimu.”(Q.S. al-Maidah:3)
15. Banyak sekali hadits Nabi yang melarang dari perkara
muhdats (perkara baru dalam agama) yang tidak dicontohkan oleh beliau
shallallaahu ‘alayhi wa sallam dan para sahabat. Diantaranya sabda beliau
shallallaahu ‘alayhi wa sallam:
“Dan berhati-hatilah kalian dari perkara muhdats karena
setiap yang muhdats itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat.”(H.R. ath-Thabarani
dalam Musnadusy Syamiyyin dan Mu’jamul Kabir dari sahabat ‘Irbadh bin Sariyah
radliyallaahu ‘anhu. Dishahihkan
oleh al-Albani rahimahullaah dalam ash-Shahihah 2735)
Alih Bahasa: Abu Abdillah عفا
الله عنه ولوالديه وللمؤمنين
Muraja’ah: al-Ustadz Kharisman حفظه
الله
Sumber: telegram al-Islam al-Haq
Perayaan
Maulid Nabi Dalam Pandangan Beberapa Ulama Syafi’iyah, Siapakah Yang Pertama
Kali Merayakannya?
Sejarah Peringatan Hari Maulid Nabi Bulan
Rabi’ul Awwal dikenang oleh kaum muslimin sebagai bulan maulid Nabi, karena
pada bulan itulah, tepatnya pada hari senin tanggal 12, junjungan kita nabi
besar Muhammad dilahirkan, menurut pendapat jumhur ulama. Mayoritas kaum
muslimin pun beramai-ramai memperingatinya karena terdorong rasa mahabbah
(kecintaan) kepada beliau , dengan suatu keyakinan bahwa ini adalah bagian dari
hari raya Islam, bahkan terkategorikan sebagai amal ibadah mulia yang dapat
mendekatkan diri kepada Allah. Lalu sejak kapankah peringatan ini diadakan?
Benarkah Yang Merayakan ‘Maulid Nabi’
Pertama Kali Adalah Raja Al-Muzhaffar, Penguasa Kota Irbil?!
Diedarkan sebuah tulisan, bahwa yang
pertama kali mengadakan peringatan Maulid Nabi adalah Raja Abu Sa’id
al-Muzhaffar Penguasa Irbil, wafat tahun
184 H!!
Propaganda dengan mengatasnamakan sejarah
ini perlu dijawab,
Bahwa tidak benar Raja al-Muzhaffar
tersebut wafat pada tahun 184 H. Namun yang benar adalah dia lahir tahun 549,
wafat tahun 630 H!! Yakni wafat pada abad ke-7 hijriah.
Hakekat Di Balik Perayaan Maulid Nabi
Lihatlah,
siapa yang membuat tradisi Peringatan Maulid Nabi pertama kali…. Apakah
orang-orang shalihin.. Apakah generasi Salaf yang diridhai??
Bahwa yang pertama kali MEMBUAT perayaan
‘Maulid Nabi’ adalah kerajaan Bani Ubaidiyyah (yang menamakan dirinya Bani
Fathimiyyah) di Mesir, yang berkuasa pada 362 – 567 H.
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menyebutkan bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi adalah
para raja kerajaan Fathimiyyah -Al ‘Ubaidiyyah yang dinasabkan kepada
‘Ubaidullah bin Maimun Al Qaddah Al Yahudi- mereka berkuasa di Mesir sejak
tahun 357 H hingga 567 H. Para raja Fathimiyyah ini beragama Syi’ah
Isma’iliyyah Rafidhiyyah. (Al Bidayah Wan Nihayah 11/172).
Adapun Asy Syaikh Ali Mahfuzh maka beliau
berkata: “Di antara pakar sejarah ada yang menilai, bahwa yang pertama kali
mengadakan peringatan maulid Nabi ialah para raja kerajaan Fathimiyyah di
Kairo, pada abad ke-4 H. Mereka menyelenggarakan enam perayaan maulid, yaitu
maulid Nabi , maulid Imam Ali radhiyallahu ‘anhu, maulid Sayyidah Fathimah Az
Zahra, maulid Al Hasan dan Al Husain, dan maulid raja yang sedang berkuasa.
Perayaan-perayaan tersebut terus berlangsung dengan berbagai modelnya, hingga
akhirnya dilarang pada masa Raja Al Afdhal bin Amirul Juyusy. Namun kemudian
dihidupkan kembali pada masa Al Hakim bin Amrullah pada tahun 524 H, setelah
hampir dilupakan orang. (Al Ibda’ Fi Mazhahiril Ibtida’ , hal. 126)
Demikian pula yang dinyatakan oleh Al
Miqrizi dalam kitabnya Al Mawaa’izh wal I’tibar 1/490. (Lihat Ash Shufiyyah
karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hal. 43).
Pakar sejarah, Taqiyyuddin
al-Miqrizi, dalam kitabnya yang berjudul
“al-Mawa’izh wa al-i’tibar bi Dzikri al-Khuthath wa al-Aatsaar”. Pada 1/490,
al-Miqrizi mengatakan,
“Para Khalifah Dinasti Fathimiyyah
memiliki banyak hari raya dan peringatan sepanjang tahun. Yaitu :
Peringatan Awal Tahun,
Hari Asyura
Maulid Nabi — shallallahu alaihi wa sallam —
Maulid Ali bin Abi Thalib
Maulid al-Hasan
Maulid al-Husein
Maulid Fathimah
az-Zahra
Maulid Khalifah
yang sedang berkuasa
Malam awal Rajab
Malam Nishfu Rajab
Malam awal Sya’ban
Malam Nishfu
Sya’ban
….. dst.” demikian keterangan dari al-Miqrizi
Asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Junaid berkata,
قال التزمنتي الشافعي عن المولد: هذا الفعل لم
يقع في الصدر الأول من السلف الصالح مع تعظيمهم وحبهم له إعظاما ومحبة لا يبلغ
جمعنا الواحد منهم.
At-Tazmanti asy-Syafi’i rahimahullah
berkata tentang Maulid, “Perbuatan ini tidak pernah dilakukan oleh generasi
pertama as-Salafush Shalih. Padahal pengagungan dan kecintaan mereka terhadap
beliau (Rasulullah) merupakan pengagungan dan kecintaan yang sangat besar, kita
semua tidak bisa mencapai seperti pengagungan dan kecintaan salah seorang di antara
mereka (terhadap Rasulullah).”
قال المؤرخون : أول من أحدث الاحتفال بالمولد
الدولة العبيدية. وقد قال عنهم المؤرخ الذهبي: قلبوا الإسلام،وأعلنوا
الرفض،وأبطنوا مذهب الإسماعيلية
Para ‘ulama ahli sejarah mengatakan,
“Yang pertama kali mengadakan perkara baru perayaan Maulid adalah Daulah
Ubaidiyyah.”
Seorang ‘ulama ahli sejarah, al-Imam
Adz-Dzahabi rahimahullah telah menegaskan tentang mereka,
“Mereka (Daulah Ubaidiyyah) membalik
Islam, menampakkan (manhaj) Rafidhah, dan menyembunyikan madzhab Isma’iliyyah
(salah satu sekte ekstrim dalam Syi’ah, pen).”
قال المؤرخون:أول من أحدث الاحتفال بالمولد
الدولة العبيدية وقال عنهم القاضي عياض: أجمع العلماء بالقيروان أن حال بني عبيد
حال المرتدين والزنادقة
Para ‘ulama ahli sejarah mengatakan,
“Yang pertama kali mengadakan perkara baru perayaan Maulid adalah Daulah
Ubaidiyyah.”
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata tentang mereka,
“Para ‘ulama di negeri Qairawan telah sepakat bahwa kondisi Bani ‘Ubaid
(penguasa di Daulah Ubaidiyyah) adalah kondisi ORANG-ORANG MURTAD DAN PARA
ZINDIQ
Jadi, Perayaan Maulid Nabi yang pertama
kali mengadakan adalah Dinasti Ubaidiyyah.
Tahukah Anda siapakah Bani/Dinasti
Ubaidiyyah (yang menamakan diri sebagai Dinasti Fathimiyyah) ini?
Mereka adalah berpaham Syi’ah Rafidhah.
Mereka telah :
• Mencela para nabi
• Mencela dan benci terhadap para
shahabat
• Mencela para salaf.
Al-Qadhi ‘Iyadh berkata tentang Daulah
Ubaidiyyah,
أجمع العلماء بالقيروان أن حال بني عبيد حال
المرتدين والزنادقة
“Para ‘ulama di negeri Qairawan telah
sepakat bahwa kondisi Bani ‘Ubaid (penguasa di Daulah Ubaidiyyah) adalah
kondisi ORANG-ORANG MURTAD DAN PARA ZINDIQ.”
••••••••••••••
Disusun dan dikumpulkan dari postingan Majmu’ah Manhajul
Anbiya
Channel Telegram https://bit.ly/ManhajulAnbiya
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Perayaan
Maulid Menurut Ulama Madzhab
By Ammi Nur Baits
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala
Rasulillah, wa ba’du,
Kita semua mencintai Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Kita semua memuliakan beliau. Kami, anda, mereka, semua
muslim sangat mencintai dan memuliakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Yang menjadi pertanyaan, apakah perayaan
maulid cara benar untuk mengungkapkan cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam? Sementara para ulama dari zaman sahabat hingga abad ke-5 Hijriyah,
tidak mengenal sama sekali perayaan maulid?
Kita tidak tahu pasti kapan pertama kali
maulid ini diadakan. Jika mengacu pada keterangan al-Maqrizy dalam kitabnya
al-Khathat (1/490), maulid ini ada ketika zaman Daulah Fatimiyah, daulah syiah
yang berkuasa di Mesir. Mereka membuat banyak Maulid, mulai dari Maulid Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Fatimah,
hingga maulid Hasan dan Husain. Dan Bani Fatimiyah berkuasa sekitar abad 4 H.
Al-Maqrizy adalah ulama ahli sejarah dari
Mesir. Wafat tahun 845 H.
Mengenai siapa bani fathimiyah, bisa anda
pelajari di: Mengenal Kerajaan Syiah Daulah Fatimiyah
Inilah yang menjadi alasan, kenapa para
ulama ahlus sunah yang menjumpai perayaan maulid, menginkari keberadaan
perayaan ini. Karena pada hakekatnya, mereka yang merayakan peringatan maulid,
melestarikan kebudayaan daulah Fatimiyah yang beraqidah syiah bathiniyah.
Kita akan simak penuturan mereka,
[1] Keterangan Tajuddin al-Fakihani (ulama Malikiyah w.
734 H),
لا أعلم لهذا المولد أصلاً في كتاب ولا سنة، ولا
ينقل عمله عن أحد من علماء الأمة، الذين هم القدوة في الدين، المتمسكون بآثار
المتقدمين، بل هو بِدعة أحدثها البطالون
Saya tidak mengetahui adanya satupun dalil dari al-Quran
dan sunah tentang maulid. Dan tidak ada nukilan dari seorangpun ulama umat ini,
yang mereka adalah panutan dalam agama, berpegang dengan prinsip pendahulunya.
Bahkan peringatan ini adalah perbuatan bid’ah yang dibuat ahli bathil. (Risalah
al-Maurid fi Hukmi al-Maulid, hlm. 1).
[2] Keterangan as-Syathibi (w. 790 H)
فمعلوم أن إقامة المولد على الوصف المعهود بين
الناس بدعة محدثة وكل بدعة ضلالة
Semua paham bahwa mengadakan maulid
seperti yang ada di masyarakat di masa ini adalah bid’ah, sesuatu yang baru
dalam agama. Dan semua bid’ah adalah sesat. (Fatawa as-Syatiby, hlm. 203).
[3] Keterangan as-Sakhawi (ulama
Syafiiyah dari Mesir, muridnya Ibnu Hajar al-Asqalani),
أصل عمل المولد الشريف لم ينقل عن أحد من السلف
الصالح في القرون الثلاثة الفاضلة
Asal perayaan maulid as-Syarif (Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak dinukil dari seorangpun dari ulama salaf
yang hidup di tiga generasi terbaik. (al-Maurid ar-Rawi fi
al-Maulid an-Nabawi, hlm. 12)
[4] Keterangan Abu Amr bin al-Alla’
لا يزال الناس بخير ما تعجب من العجب – هذا مع أن
الشهر الذي ولد فيه رسول الله وهو ربيع الأول هو بعينه الشهر الذي توفي فيه، فليس
الفرح بأولى من الحزن فيه
Masyarakat akan senantiasa dalam kebaikan
selama dia menyukai yang baik. Mengingat bulan kelahiran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah Rabiul Awal, yang ini juga merupakan bulan wafatnya
beliau. Sementara bergembira di bulan ini karena kelahirannya, tidak lebih
istimewa dari pada bersedih karena wafatnya beliau. (al-Hawi Lil Fatawa,
1/190).
[5] Keterangan Muhammad Rasyid Ridha,
هذه الموالد بدعة بلا نزاع، وأول من ابتدع
الاجتماع لقراءة قصة المولد أحد ملوك الشراكسة بمصر
Peringatan maulid ini statusnya bid’ah
tanpa ada perbedaan diantara ulama. Sementara orang pertama yang membuat bid’ah
kumpul-kumpul untuk menceritakan kisah Maulid adalah salah satu raja
Circassians di Mesir. (al-Manar, 17/111)
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan
Pembina Konsultasisyariah.com)
Teka-Teki
Maulid Nabi,.. siapa bisa jawab pertanyaanya?
TEKA TEKI MAULID Bermain teka
teki…untuk mengasah akal. –
Aqiqah bayi yang baru lahir disyariatkan
karena ada dalil. Makanya aqiqah memiliki adab2nya, seperti harinya, jenis
hewan yang disembelih, jumlah sembelihan, yang bertanggung jawab atas aqiqah,
syarat aqiqah, dsb. –
Memakai sandal memiliki
banyak adab atau tata cara dalam syariat, karena ada dalil, seperti memulai
memakai dengan kaki kanan, melepaskan dengan kaki kiri lebih dulu, tidak boleh
memakai sandal sebelah, boleh mengusap sandal ketika berwudhu, doa memakai
sandal, dsb. –
Meludah juga memiliki banyak
adab2 yang diajarkan syariat, karena ada dalil yang mengajarkan. – Memakai
pakaian juga sudah diajarkan adab2nya dalam islam. Banyak dalil tentang ini. –
Cebok / istinja, buang air
juga sudah diajarkan adab2nya dalam islam. Banyak dalil tentang ini. – Khitan
juga memiliki banyak adab yang ada dalil2nya. Dan islam tidak lupa telah
mengajarkan tentang ini. –
Bekam juga memiliki banyak
adab dan tata caranya, banyak dalil yang telah memberitahu tentang ini. – Ada
juga adab2 pada hari raya idul fithri dan idul adha. Semua itu ada dalilnya. –
Bersetubuh dengan istri juga
memiliki banyak adab dan tata caranya. Dalil tidak lupa mengajarkannya semua. –
Segala sesuatu yang ada
dalilnya dan telah diajarkan islam memiliki adab2nya, seperti adab poligami,
menyisir, mencium, memasak, mandi, potong kuku, mencukur bulu kemaluan, shalat
gerhana, shalat khauf, puasa tasu’a dan asyura, i’tikaf, walimah, makan, minum,
tidur, mimpi, menyembelih, bersiwak, mentahniq bayi, dll.
Hal ini adalah termasuk
bentuk kesempurnaan agama islam.
Kemudian, bagaimana halnya
dengan perayaan Maulid Nabi?
Al Masail:
1. Apakah perayaan Maulid
Nabi memiliki dalil yang jelas dan shahih?
2. Jika memiliki dalil, maka
apa saja adab-adab atau tata cara Maulid Nabi yang sudah diajarkan Islam sesuai
dengan dalilnya?
3. Jika tidak ada dalilnya,
lantas kenapa diperingati dan dirayakan?
4. Jika tidak ada dalilnya,
apakah mungkin Rasulullah shalallahu alaihis sallam kelupaan menyampaikan
kepada umatnya?
5. Atau apakah mungkin
Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menyembunyikannya agar tidak diketahui
umatnya?
6. Apakah mungkin masalah
tentang maulid Nabi hanya diketahui oleh orang-orang setelah abad ke 4
hijriyah, sedangkan orang-orang yang sebelumnya seperti para shahabat Nabi,
Tabi’in, Tabiut Tabi’in, dan juga Imam yang empat tidak mengetahui tentang
perayaan Maulid Nabi?
7. Atau apakah mungkin orang2
setelah abad ke 4 hijriyah lebih pintar atau alim karena mereka mengetahui dan
merayakan Maulid daripada para shahabat Nabi dan para ulama sebelum abad ke 4
hijriyah?
8. Apakah perayaan Maulid
Nabi termasuk perkara yang besar atau perkara yang kecil?
9. Jika Maulid Nabi termasuk
perkara besar, lantas mana perintah atau dalilnya yang shahih dan diakui oleh
para ulama ahlu hadits?
10. Jika Maulid Nabi adalah
perkara besar, lantas kenapa tidak ada seorangpun dari shahabat Nabi yang
merayakannya? Padahal mereka jauh lebih mencintai Rasulullah.
11. Jika Maulid Nabi adalah
perkara kecil, lantas kenapa manusia begitu antusias dan semangat untuk
merayakannya? Sedangkan perkara2 besar yang lain dan wajib hukumnya mereka
tinggalkan dan kesampingkan.
12. Apakah mungkin jika
perkara2 yang kecil telah diajarkan oleh islam, sedangkan perkara2 yang besar
tidak diajarkan islam? Jelas tidak mungkin. Justru perkara2 yang besar lebih
diajarkan dalam islam.
13. Pantaskah Rasulullah
mengajarkan tata cara memakai sendal, meludah, cebok, dsb sedangkan perayaan
Maulidnya sendiri serta adab dan tata caranya tidak beliau ajarkan kepada
sahabat2nya dan umatnya yang dicintainya?
14. Pernahkah kita membaca
riwayat bahwa Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali atau sahabat2 Nabi lainnya
mengucapkan Selamat Ulang Tahun kepada Nabinya?
Atau mereka kumpul2 dan
berpesta pada hari ‘Birthday’ Nabinya?
Atau mereka melakukan ritual
ibadah khusus pada hari Ulang Tahun Nabinya?
Atau mereka saling memberikan
kado atau hadiah untuk Nabinya spesial pada hari ulang tahunnya?
15. Apakah ada pembahasan
atau bab tentang Maulid Nabi pada kitab2 ulama salaf terdahulu, seperti di
kitab Al Umm Imam Syafi’i, Musnad Imam Ahmad, Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari
Ibnu Hajar, Syarah Shahih Muslim an Nawawi, atau pada kitabut tis’ah?
Dan pembahasan Fiqih Maulid
pada kitab Fiqih Bulughul Maram dan Subulus Salam, Al Mughni, Al Muhadzdzab?
atau pembahasan Fadhilah
Maulid pada kitab Riyadhush Shalihin, Targhib wa Tarhib, Adabul Mufrad, dll?
Kesimpulan:
Berhubung dalil tentang
keutamaan perayaan Maulid masih dalam pencarian dan penakwilan, maka diputuskan
bahwa Maulid Nabi tidak ada pada zaman Rasulullah dan zaman shahabat. Adapun
segala sesuatu (dalam masalah ibadah) yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan
para shahabat2nya maka itu bukan berasal dari Islam. Wallahu a’lam.
Oleh Abu Fahd Negara Tauhid
Alasan Sebagian Orang dalam
Membela Maulid
Posting kali ini masih merupakan kelanjutan dari posting sebelumnya. Yang
kami angkat adalah beberapa kerancuan dari orang yang membela acara maulid Nabi
dan jawaban dari kerancuan tersebut. Semoga bermanfaat.
[Pertama]
Maulid adalah Bentuk Rasa Syukur, Pengagungan dan Penghormatan pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
Cukup kami jawab, kalau memang maulid adalah bentuk syukur, mengapa sejak
generasi sahabat hingga imam mazhab yang empat tidak ada yang melakukan
perayaan ini[?] Apakah keimanan mereka lebih rendah dibanding orang-orang
sekarang yang merayakannya[?] Apakah orang ini menyangka lebih mendapat
petunjuk daripada generasi awal tersebut[?]
Semoga kita dapat merenungkan perkataan para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah
berikut.
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya
amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk
melakukannya.”
Inilah
perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah
dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai
bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan
segera melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an
Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al Ahqof ayat 11)
Juga kami katakan, “Mengapa ucapan
syukur, penghormatan dan pengagungan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
hanya sekali dalam setahun, hanya pada 12 Rabi’ul Awwal? Mengagungkan,
mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersyukur bukan hanya sekali
setahun, namun setiap saat dengan mentaati dan selalu ittiba’ pada beliau.”
[Kedua]
Maulid Nabi adalah Bid’ah Hasanah
(Bid’ah yang baik)
Perkataan ini muncul karena mereka
melihat para ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah
sayyi’ah atau dholalah (sesat/jelek). Jadi menurut mereka tidak semua bid’ah
itu sesat.
Ingatlah saudaraku, bid’ah dalam
hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikenal sama sekali
adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan diyakini oleh sahabat, setiap bid’ah adalah sesat.
Perhatikanlah sabda Nabi shallahu
‘alaihi wa sallam berikut.
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ
كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma
ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek
perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR.
Muslim no. 867)
Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ
كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah
(petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat bid’ah. Karena
(sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan
oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan
dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam
kitab shohih)
Abdullah
bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا
النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap
bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al
Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Lihatlah
perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Kita akan
melihat bahwa mereka mengatakan semua bid’ah itu sesat, tanpa ada pengecualian.
Bagaimana
jika ada yang mengatakan bahwa ‘Umar bin Al Khaththab pernah menyatakan bahwa
shalat tarawih yang dia hidupkan adalah “sebaik-baik bid’ah”? Dari perkataan
beliau ini menurut mereka, ada bid’ah hasanah (yang baik).
Sanggahan:
Ingatlah para sahabat tidak mungkin melakukan bid’ah. Yang dimaksud dengan
bid’ah dalam perkataan ‘Umar adalah bid’ah secara bahasa Arab yang berarti
sesuatu yang baru.
Jika
ada yang masih ngotot bahwa tidak semua bid’ah sesat, ada di sana bid’ah yang
baik (hasanah), maka cukup kami katakan: Kalau ‘Umar menghidupkan shalat
tarawih dan beliau katakan sebagai bid’ah, hal ini ada dalil dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga melaksanakan shalat tarawih di awal-awal Ramadhan. Namun karena takut
amalan tersebut dianggap wajib, maka beliau tidak menunaikannya lagi. Jadi,
intinya ‘Umar memiliki dasar dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sekarang,
apa maulid Nabi memiliki dasar dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagaimana shalat tarawih yang dihidupkan oleh ‘Umar[?] Jawabannya tidak sama
sekali. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah merayakan hari
kelahirannya, begitu pula para sahabat, tabi’in, dan para imam madzhab tidak
ada yang merayakannya. Sehingga maulid tidak bisa kita sebut bid’ah hasanah.
Yang lebih tepat maulid adalah bid’ah madzmumah (tercela) sebagaimana yang
dikatakan oleh Asy Syuqairiy dan Al Fakihaniy yang telah kami sebutkan dalam
tulisan sebelumnya.
[Ketiga]
Niatannya
Supaya Lebih Mengenal Sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Mungkin
ada yang berseloroh, kalau melakukannya dengan niatan ibadah maka bid’ah, tapi
kalau sekedar memperingati agar lebih mengenal sosok Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam maka mubah, bahkan bisa jadi sunnah atau wajib, karena setiap
muslim wajib mengenal Nabinya.
Kita
katakan kepadanya bahwa itu tidak benar! Sungguh ironis, seorang yang mengaku
cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengenalinya kok hanya setahun
sekali?! Mengenal sosok beliau tidaklah dibatasi oleh bulan atau tanggal
tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu
pula, maka sudah masuk ke dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, sangat mustahil
atau kecil kemungkinannya bila tidak disertai niat merayakan hari kelahiran
beliau, yang ini pun sesungguhnya sudah masuk ke dalam lingkup tasyabbuh
(meniru-niru) orang-orang Nashrani yang dibenci oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sendiri. Mereka (orang Nashrani) merayakan kelahiran Nabi Isa
melalui natalan, sedangkan mereka merayakan kelahiran Nabinya shallallahu
‘alaihi wa sallam melalui natalan. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
”Barangsiapa
yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad
dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad
hadits ini jayid/bagus)
Sudikah
kita mengenal dan mengenang Nabi, namun beliau sendiri tidak suka dengan cara
yang kita lakukan?! Dan siapa bilang harus mengenal sosok Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam cuma melalui acara maulid yang hanya diadakan sekali
setahun[?] Bukankah masih ada cara lain yang sesuai tuntutan dan tidak
tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir.
[Keempat]
Nabi
memperingati hari kelahirannya dengan berpuasa
Sebagian
beralasan dengan puasa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Senin,
karena pada hari tersebut adalah hari kelahirannya. Ini berarti hari kelahiran
boleh dirayakan. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanyakan
mengenai puasa pada hari Senin, beliau pun menjawab,
«
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ
أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ ».
“Hari
tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau pertama
kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim [Muslim: 14-Kitab Ash Shiyam, 36-Bab
Anjuran Puasa Tiga Hari Setiap Bulannya])
Sanggahan:
Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi dalil untuk merayakan hari kelahiran
beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil. Lihatlah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa pada tanggal kelahirannya
yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar pada tanggal tersebut beliau
lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran beliau masih terdapat
perselisihan. Yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah puasa
pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya kalau mau mengenang
hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan Maulid harus setiap
pekan bukan setiap tahun.
Semoga Allah senantiasa memberi
taufik. Insya Allah berikutnya kami akan sampaikan syubhat (kerancuan lainnya).
Semoga Allah beri kemudahan.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Ini Lho Dalil Keutamaan
Maulid Nabi,. Ternyata
HADITS PALSU Semua
HADITS PALSU Semua
Maulid Hadits Shahih Tentang Maulid Nabi Hadits Palsu Tentang Maulid
Kelemahan Hadist Maulud Nabi Hadits Palsu Maulid Nabi
Riwayat
Riwayat Dusta tentang Maulid Nabi
Shalahudin
Alayubi memberantas acara-acara maulid nabi sebelum menyerang pasukan
salibInilah diantara riwayat-riwayat yang dianggap hadits oleh sebagian para
penggemar dan pembela Maulid Nabi untuk membesarkan atau mengagungkan sekaligus
membenarkan ritual Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berikut ini kita
nukilkan apa adanya :
1. Abu
Bakar ash-Shiddiq
Telah berkata
Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq : “Barangsiapa yang menafkahkan satu dirham bagi
menggalakkan bacaan Maulid Nabi saw., maka ia akan menjadi temanku di dalam
syurga.” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid
sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami
as-Syafii)
2. Umar bin
Khattab al-Furqan
Telah
berkata Sayyidina ‘Umar : “Siapa yang membesarkan (memuliakan) majlis maulid
Nabi saw. maka sesungguhnya ia telah menghidupkan Islam.” (sumber dari kitab
anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam
Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
3. Utsman
bin ‘Affan Dzun-Nuraini
Telah
berkata Sayyidina Utsman : “Siapa yang menafkahkan satu dirham untuk majlis
membaca maulid Nabi saw. maka seolah-olah ia menyaksikan peperangan Badar dan
Hunain” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii
waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
4. Ali bin
Abi Tholib Karomallahu wajhah
Telah
berkata ‘Ali : “Siapa yang membesarkan majlis maulid Nabi saw. dan karenanya
diadakan majlis membaca maulid, maka dia tidak akan keluar dari dunia melainkan
dengan keimanan dan akan masuk ke dalam syurga tanpa hisab”. * (sumber dari
kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya
Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
5. Syekh
Hasan al-Bashri
Telah
berkata Hasan Al-Bashri : “Aku suka seandainya aku mempunyai emas setinggi
gunung Uhud, maka aku akan membelanjakannya untuk membaca maulid Nabi saw.*
(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii
aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
6. Syekh
Junaid al-Baghdady
Telah
berkata Junaid Al-Baghdadi semoga Allah mensucikan rahasianya : “Siapa yang
menghadiri majlis maulid Nabi saw. dan membesarkan kedudukannya, maka
sesungguhnya ia telah mencapai kekuatan iman”.* (sumber dari kitab anni’matul
kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin
Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
7. Syekh
Ma’ruf al-Karkhy
Telah
berkata Ma’ruf Al-Karkhi : “Siapa yang menyediakan makanan untuk majlis membaca
maulid Nabi saw. mengumpulkan saudaranya, menyalakan lampu, memakai pakaian
yang baru, memasang bau yang wangi dan memakai wangi-wangian karena membesarkan
kelahiran Nabi saw, niscaya Allah akan mengumpulkannya pada hari kiamat bersama
kumpulan yang pertama di kalangan nabi-nabi dan dia berada di syurga yang
teratas (Illiyyin)” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii
maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar
al-Haitami as-Syafii)
8.
Fakhruddin ar-Rozi
Telah
berkata seorang yang unggul pada zamannya, Imam Fakhruddin Al-Razi : “Tidaklah
seseorang yang membaca maulid Nabi saw* ke atas garam atau gandum atau makanan
yang lain, melainkan akan zahir keberkatan padanya, dan setiap sesuatu yang
sampai kepadanya (dimasuki) dari makanan tersebut, maka makanan tersebut akan
bergoncang dan tidak akan tetap sehingga Allah mengampunkan orang yang
memakannya”.
“Sekirannya
dibacakan maulid Nabi saw. ke atas air, maka orang yang meminum seteguk dari
air tersebut akan masuk ke dalam hatinya seribu cahaya dan rahmat, akan keluar
daripadanya seribu sifat dengki, penyakit dan tidak mati hati tersebut pada
hari dimatikan hati-hati”.
“Siapa yang
membaca maulid Nabi saw. pada suatu dirham yang ditempa dengan perak atau emas
dan dicampurkan dirham tersebut dengan yang lainnya, maka akan jatuh ke atas
dirham tersebut keberkatan, pemiliknya tidak akan fakir dan tidak akan kosong
tangannya dengan keberkatan Nabi saw.”* (sumber dari kitab anni’matul kubro
‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad
ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
9. Imam
as-Syafii
Telah
berkata Imam Asy-Syafi’i : “Siapa yang menghimpunkan saudaranya (sesama Islam)
untuk mengadakan majlis maulid Nabi saw., menyediakan makanan dan tempat serta
melakukan kebaikan, dan dia menjadi sebab dibaca maulid Nabi saw. itu, maka dia
akan dibangkitkan oleh Allah pada hari kiamat bersama ahli siddiqin
(orang-orang yang benar), syuhada’ dan solihin serta berada di dalam
syurga-syurga Na’im.” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii
maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar
al-Haitami as-Syafii)
10. As-Sary
as-Saqothy
Telah
berkata As-Sariyy As-Saqothi : “Siapa yang pergi ke suatu tempat yang dibacakan
di dalamnya maulid Nabi saw. maka sesungguhnya ia telah pergi ke satu taman
dari taman-taman syurga, karena tidaklah ia menuju ke tempat-tempat tersebut
melainkan lantaran kerana cintanya kepada Nabi saw. Sesungguhnya Rasulullah
saw. telah bersabda : “Sesiapa yang mecintaiku, maka ia akan bersamaku di dalam
syurga.” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid
sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami
as-Syafii)
11. Syihabuddin Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami
“Siapa yang hendak membesarkan maulid Nabi saw. maka cukuplah disebutkan
sekedar ini saja akan kelebihannya. Bagi siapa yang tidak ada di hatinya hasrat
untuk membesarkan maulid Nabi saw. sekiranya dipenuhi dunia ini dengan pujian
ke atasnya, tetap juga hatinya tidak akan tergerak untuk mencintai Nabi saw.
Semoga Allah menjadikan kami dan kalian di kalangan orang yang membesarkan dan
memuliakannya dan mengetahui kadar kedudukan Baginda saw. serta menjadi orang
yang teristimewa di kalangan orang-orang yang teristimewa di dalam mencintai
dan mengikutinya. Aamiin, wahai Tuhan sekalian alam. Semoga Allah melimpahkan
rahmat atas penghulu kami Nabi Muhammad saw. keluarganya dan sahabat-sahabatnya
sekalian hingga Hari Kemudian.”
KOMENTAR ATAS RIWAYAT-RIWAYAT DIATAS :
Perkataan serupa dinisbatkan juga kepada sahabat Abu Bakr, Umar, Utsman dan
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana dalam kitab Madarij
ash-Shu’udh hal.15 karya Syaikh Nawawi Banten.[1] Bahkan juga dinisbatkan
kepada Hasan al-Bashri, Ma’ruf al-Karkhi, al-Junaid dan lainnya sebagaimana
dalam Hasyiyah I’anah Tholibin: 3/571-572 karya Abu Bakr Syatho
Hadits2
tersebut TIDAK ADA ASALNYA. Sejak awal kali mendengar ucapan yang dianggap
hadits ini, bagaimana mungkin hadist ini shohih ????, sedangkan maulid tidak
pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para
sahabatnya ?!!
Jadi,
Hadits-hadits ini tidak ada asalnya,.. itu semua bukan hadits..
Ketika
hadits ini ditanyakan kepada Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman
hafizhahullah.[2]
Jawaban
Syaikh :
“Ini
merupakan kedustaan kepada Rasulullah yang hanya dibuat-buat oleh para ahlul
bid’ah.”
Kepada
saudara-saudara kami yang berhujjah dengan hadits ini, kami katakan :
“Dengan
tidak mengurangi penghormatan kami, datangkan kepada kami sanad hadits ini agar
kami mengetahuinya !!”
Singkat
kata, hadits tersebut di atas adalah dusta, tidak berekor dan berkepala (yakni
: tanpa sanad).
Aneh dan
lucunya, setelah itu ada seseorang yang melariskan hadits tersebut dengan
berkata :
“Walaupun
hadits ini lemah, tetapi bisa dipakai dalam Fadhoilul A’mal.”
Hanya
kepada Allah azza wa jalla kita mengadu dari kejahilan manusia di akhir zaman
!![3].
Adapun dari
segi matan hadits, bagaimana hadits ini shohih padahal perayaan maulid nabi
tidaklah dikenal pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat, para
tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Bahkan hal tersebut juga tidak dikenal di kalangan
imam-imam mazhab : Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Imam Ahmad Rahimahumullah
sekalipun karena memang perayaan ini adalah perkara baru dalam agama. Adapun
orang yang pertama kali mengadakannya adalah Mu’iz Lidinillah dari Bani Ubaid
al-Qoddakh yang menamai diri mereka dengan “Fathimiyyun”. Mereka memasuki kota
Mesir tahun 362 H. Berakar dari sinilah kemudian mulai tumbuh dan berkembang
bentuk-bentuk perayaan maulid secara umum dan maulid nabi secara khusus.
Wallahu
a’lam.
__________
FooteNote :
[1] Lihat Hadits-Had
its
Bermasalah, Prof.Ali Musthofa Ya’qub hal.102
[2] Beliau
adalah salah seorang murid Imam ahli hadits besar, al-Albani, yang sudah
beberapa kali pernah berkunjung ke Indonesia dalam rangka dakwah. Pertanyaan
ini di tanyakan kepada beliau pada hari Rabu 6 Muharrom 1423 H, sebelum shalat
Dhuhur di masjid al-Irsyad, Surabaya.
[3] Pekara
ini juga didapati dalam kitab Tahdzirul Muslimin Minal Ahadits al-Maudhu’ah
‘ala Sayyidil Mursalin hal.87 oleh Muhammad al-Basyir al-Azhari, beliau
mengatakan : “Di antara hadits-hadits yang banyak berbau dusta adalah
kisah-kisah tentang maulid nabi.”
[Disadur
dari Tulisan Ust. Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi hafizhahullah]
Tambahan
dari admin :
Bagaimana
Sikap Imam Syafi’i rahimahullah terhadap HADITS LEMAH ??
وَجِمَاعُ هَذَا أَنَّهُ لَا يُقْبَلُ إِلَّا
حَدِيثٌ ثَابِتٌ كَمَا لَا يُقْبَلُ مِنَ الشُّهُودِ إِلَّا مَنْ عُرِفَ عَدْلُهُ،
فَإِذَا كَانَ الْحَدِيثُ مَجْهُولًا أَوْ مَرْغُوبًا عَمَّنْ حَمَلَهُ كَانَ
كَمَا لَمْ يَأْتِ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِثَابِتٍ
“Kesimpulan
dari semua ini, bahwa TIDAKLAH (sebuah hadits) DITERIMA kecuali HADITS YANG
VALID, sebagaimana tidaklah para saksi diterima (pesaksiannya) kecuali orang yg
dikenal adilnya. Sehingga apabila hadits itu tidak diketahui atau dibenci
perowinya, maka SEAKAN HADITS ITU TIDAK ADA, karena ketidak-validannya.” (Kitab
Ma’rifat Sunan Wal Atsar, karya Imam Baihaqi 1/180).
Karena
sikap seperti inilah Imam Syafi’i dijuluki sebagai “Naashirus sunnah” (Pembela
Sunnah Nabi). Beliau tidaklah berdalil dengan hadits, kecuali bila hadits
tersebut bisa dipertanggung-jawabkan kevalidannya.
Naaah,
jika hadits yang lemah saja sudah beliau tolak mentah2, bagaimana lagi dengan
hadits palsu, yakni riwayat2 yang terang2an berdusta atas nama Nabi shallallahu
alaohi wa sallam ???
Namun
sayang, banyak dari orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya,
BERMUDAH-MUDAHAN dalam BERDALIL dengan HADITS LEMAH, bahkan hadits palsu (!??)
Parahnya
lagi, bila kita mengatakan kepada mereka bahwa haditsnya lemah, maka langsung
saja kita dicap sebagai WAHABI !! Wallaahul Musta’aan.
Tidakkah
mereka merenungi perkataan IMAM SYAFI’I rahimahullaah di atas ?????
Camkan
baik2 ancaman dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berikut ini sebelum
berhujjah dan membela hadits dusta (palsu) :
Dari
Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
“Barangsiapa
yang sengaja berdusta atas namaku maka hendaknya dia mengambil tempat duduknya
di neraka.”(HR. Bukhari, dan juga Muslim dalam Mukadimah Shahihnya,
lihatal-Jam’u Baina ash-Shahihain,hal. 9)
Allaahu yahdiina wa iyyaahum.
Hadits Palsu: “Barangsiapa Mengagungkan Hari
Kelahiranku…”
Terdapat
hadits yang tersebar yang dianggap sebagai dalil untuk merayakan maulid (hari
kelahiran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Yaitu
hadits, من عظم مولدى كنت شفيعاله يوم القيامة. ومن …
Hadist
Doif Maulid Nabi Hadis Palsu Tentang Kiamat Hadis Sahih Dan Doif Tentang
Perayaan Maulid Nabi Hadits Barang Siapa Yang Membesarkan Hari Lahirku Hadits
Maulid Dapat Syafaat Nabj
Terdapat
hadits yang tersebar yang dianggap sebagai dalil untuk merayakan maulid (hari
kelahiran) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu hadits,
من عظم مولدى كنت شفيعاله يوم القيامة. ومن
انفق درحمـا فى مولدى فكانما انفق جبلا من ذهب فى سبيل الله
“Barang
siapa mengagungkan hari kelahiranku, niscaya aku akan memberi syafaat kepadanya
kelak pada hari kiamat, dan barang siapa mendermakan satu dirham di dalam
menghormati kelahiranku, maka seakan-akan dia telah mendermakan satu gunung
emas di dalam perjuangan fi sabilillah”
Mengenai
hadits ini, sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Prof. Abdullah bin Jibrin
rahimahullah. Beliau ditanya, “diantara para mubalig dan khatib ada yang
mengatakan di atas mimbar mengenai perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam: “Barang siapa mengagungkan hari kelahiranku, niscaya aku akan memberi
syafaat kepadanya kelak pada hari kiamat”. Mereka menganggap ini termasuk
hadits dan tidak mengingkari riwayatnya. Apakah hadits ini termasuk hadits Nabi
yang shahih? Apakah terdapat di Shahihain (Bukhari-Muslim), kitab sunan atau
kitab hadits lainnya?
Dijawab
oleh Syaikh Ibnu Jibrin menjawab:
“Hadits
ini tidak shahih, tidak ada dalam riwayat kitab shahih (Shahih Bukhari atau
Muslim) atau kitab sunan. Ini adalah hadits dusta (palsu). Perayaan maulid
adalah bid’ah yang diingkari. Tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam maupun sahabat beliau”.
Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
https://muslim.or.id/19617-hadits-palsu-barangsiapa-mengagungkan-hari-kelahiranku.html
Kumpulan Penjelasan
Mengenai Perayaan Maulid Nabi
Berikut ini kami sajikan kumpulan penjelasan mengenai perayaan
Maulid Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Semoga permasalahan yang
selalu menjadi polemik setiap tahunnya ini dapat dipahami secara ilmiah dan
juga menyeluruh. Bagi pihak yang kontra, harap menyimak penjelasan-penjelasan
berikut dengan seksama, hati yang tenang dan pikiran yang jernih agar
tidak muncul prasangka-prasangka buruk, semisal prasangka bahwa melarang perayaan
Maulid adalah mengkafirkan dan menyesatkan setiap orang yang mengikuti perayaan
tersebut.
Semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua.
Kewajiban Cinta Kepada Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi
Wasallam
Antara Cinta Nabi dan Maulid Nabi
Hukum Merayakan Maulid
Maulid Nabi Adalah Bid’ah Hasanah?
Mengenal Seluk
Beluk BID’AH (3): Berbagai Alasan Dalam Membela Bid’ah (Internet,
HP, pesawat terbang, dll apakah bid’ah? Silakan baca artikel ini)
Soal-145: Maulid Boleh
Karena Ijtihad Ulama?
Engkau Harus
Mencintai Nabimu
Seri Pertama dari Tiga Tulisan (Antara Cinta Nabi
shallallahu alaihi wa sallam dan Maulid Nabi) kunci2Alhamdulillah hamdan
katsiron thoyyiban mubarokan fih kamaa yuhibbu Robbuna wa yardho, wa asyhadu
alla ilaha illallah wahdahu laa syarika lah wa asy-hadu anna Muhammadan ‘abduhu
wa rosuluh. Allahumma sholli ‘ala Nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi
wa sallam. Saudaraku yang semoga selalu mendapatkan taufik Allah Ta’ala. Nabi
kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi, tidak ada
Nabi lagi sesudah beliau. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki
kedudukan yang mulia dengan syafa’at al ‘uzhma pada hari kiamat kelak. Itulah
di antara keistimewaan Abul Qosim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Seorang muslim punya kewajiban mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
lebih dari makhluk lainnya. Inilah landasan pokok iman. Engkau Harus Mencintai
Nabimu Saudaraku, itulah yang harus dimiliki setiap muslim yaitu hendaklah
Nabinya lebih dia cintai dari makhluk lainnya. Mari kita simak bersama firman Allah Ta’ala,
قُلْ إِنْ كَانَ آَبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ
وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا
وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ
مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ
اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ “Katakanlah: Jika
bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan
Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang fasik.” (QS. At Taubah: 24).
Ibnu Katsir mengatakan,
“Jika semua hal-hal tadi lebih dicintai
daripada Allah dan Rasul-Nya, serta berjihad di jalan Allah, maka tunggulah
musibah dan malapetaka yang akan menimpa kalian.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
4/124).
Ancaman keras inilah yang menunjukkan
bahwa mencintai Rasul dari makhluk lainnya adalah wajib. Bahkan tidak boleh
seseorang mencintai dirinya hingga melebihi kecintaan pada nabinya.
‘Abdullah bin Hisyam berkata, “Kami
pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau memegang tangan
Umar bin Khaththab –radiyallahu ’anhu-. Lalu Umar –radhiyallahu ’anhu- berkata,
لأنت أحب إلي من كل شيء إلا من نفسي ”Ya Rasulullah,
sungguh engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali terhadap diriku
sendiri.” Kemudian Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, لا
والذي نفسي بيده حتى أكون أحب إليك من نفسك ”Tidak, demi yang jiwaku
berada di tangan-Nya (imanmu belum sempurna). Tetapi aku harus lebih engkau
cintai daripada dirimu sendiri.” Kemudian ’Umar berkata, فإنه
الآن والله لأنت أحب إلي من نفسي ”Sekarang, demi Allah.
Engkau (Rasulullah) lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Kemudian Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam berkata, الآن
يا عمر ”Saat ini pula wahai Umar, (imanmu telah sempurna).” (HR.
Bukhari) [Bukhari: 86-Kitabul Iman wan Nudzur, 2-Bab Bagaimana Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam bersumpah]
Al Bukhari membawakan dalam kitabnya: Bab
Mencintai Rasul shallallahu ’alaihi wa sallam adalah bagian dari iman. An
Nawawi membawakan dalam Shahih Muslim: Bab-Wajibnya Mencintai Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam lebih dari kecintaan pada keluarga, anak, orang
tua, dan manusia seluruhnya. Dalam bab tersebut, Anas bin Malik mengatakan
bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ
إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ “Salah seorang di
antara kalian tidak akan beriman sampai aku lebih dia cintai daripada anaknya,
orang tuanya bahkan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Semua Cinta Butuh Bukti Cinta bukanlah
hanya klaim semata. Semua cinta harus dengan bukti. Di antara bentuk cinta pada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ittiba’ (mengikuti), taat dan
berpegang teguh pada petunjuknya. Karena ingatlah, ketaatan pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah buah dari kecintaan. Penyair Arab
mengatakan:
لَوْ كَانَ حُبُّكَ صَادِقاً لَأَطَعْتَهُ إِنَّ
المُحِبَّ لِمَنْ يُحِبُّ مُطِيْعٌ Sekiranya cintamu itu
benar niscaya engkau akan mentaatinya Karena orang yang mencintai tentu akan
mentaati orang yang dicintainya
Cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam bukanlah dengan melatunkan nasyid atau pun sya’ir yang indah, namun
enggan mengikuti sunnah beliau. Hakikat cinta pada Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam adalah dengan mengikuti (ittiba’) setiap ajarannya dan mentaatinya.
Semakin seseorang mencintai Nabinya maka dia juga akan semakin mentaatinya.
Dari sinilah sebagian salaf mengatakan:
لهذا لما كَثُرَ الأدعياء طُولبوا بالبرهان ,قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمْ اللَّهُ Tatkala banyak
orang yang mengklaim mencintai Allah, mereka dituntut untuk mendatangkan bukti.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): ”Katakanlah: Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imron: 31)
Seorang ulama mengatakan:
لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ وَلَكِن الشَّأْنُ
أَنْ تُحَبْ Yang terpenting bukanlah engkau
mencintai-Nya. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa dicintaiNya.
Yang terpenting bukanlah engkau mencintai
Nabimu. Namun yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa mendapatkan cinta
nabimu. Begitu pula, yang terpenting bukanlah engkau mencintai Allah. Namun
yang terpenting adalah bagaimana engkau bisa dicintai-Nya. (Lihat Syarh ’Aqidah
Ath Thohawiyah, 20/2) Allah sendiri telah menjelaskan bahwa siapa pun yang
mentaati Rasul-Nya berarti dia telah mentaati-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
وَمَنْ تَوَلَّى فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا “Barangsiapa yang
mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisa’: 80)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
juga memerintahkan kita untuk berpegang teguh pada ajarannya. Sebagaimana hal
ini terdapat dalam hadits,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ “Berpegangteguhlah
dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam
ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.”
(HR. Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan
hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat
Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)
Salah seorang khulafa’ur rosyidin dan
manusia terbaik setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Abu Bakar Ash
Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي
أَخْشَى إِنْ تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ “Tidaklah aku
biarkan satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali
aku mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan
menyimpang.” (HR. Abu Daud no. 2970. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa atsar
ini shohih)
Itulah saudaraku di antara bukti
seseorang mencintai nabinya –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yaitu dengan
mentaati, mengikuti dan meneladani setiap ajarannya. Kebalikan dari Cinta Dari
penjelasan di atas terlihat bahwa di antara bukti cinta adalah mentaati dan
ittiba’ pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berarti kebalikan dari hal ini
adalah enggan mentaatinya dan melakukan suatu ibadah yang tidak ada ajarannya.
Karena sebagaimana telah kami jelaskan di muka bahwa setiap orang pasti akan
mentaati dan mengikuti orang yang dicintai. Dari sini berarti setiap orang yang
melakukan suatu ajaran yang tidak ada tuntunan dari Nabinya dan membuat-buat
ajaran baru yang tidak ada asal usulnya dari beliau, walaupun dengan berniat
baik dan ikhlash karena Allah Ta’ala, maka ungkapan cinta Nabi pada dirinya
patut dipertanyakan. Karena ingatlah di samping niat baik, seseorang harus
mendasari setiap ibadah yang dia lakukan dengan selalu mengikuti tuntunan
Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itulah yang engkau harus pahami
saudaraku, sebagaimana engkau akan mendapati hal ini dalam perkataan Al Fudhail
berikut. Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala berkata mengenai firman Allah,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا “Supaya Dia menguji
kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk [67] : 2),
beliau mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan showab (mencocoki
tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Lalu Al Fudhail berkata,
“Apabila amal dilakukan dengan ikhlas
namun tidak mencocoki ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan
tersebut tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu amalan dilakukan
mengikuti ajaran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas,
amalan tersebut juga tidak akan diterima.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 19)
Perkataan Fudhail di atas memiliki dasar
dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ “Barangsiapa melakukan
suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR.
Muslim no. 1718)
Itulah saudaraku yang dikenal dengan
istilah bid’ah. Amalan apa saja yang tidak mengikuti tuntunan beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tertolak, walaupun yang melakukan berniat
baik atau ikhlash. Karena niat baik semata tidaklah cukup, sampai amalan
seseorang dibarengi dengan megikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Perkataan Fudhail di atas hampir serupa dengan perkataan
Ibnu Rajab Al Hambali. Beliau rahimahullah mengatakan, “Apabila suatu amalan
diniatkan bukan untuk mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan mendapatkan
ganjaran. Begitu pula setiap amalan yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka
amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang diada-adakan dalam agama tanpa
izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut bukanlah agama sama
sekali.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 77) Setelah kita mengetahui muqodimah di
atas, sekarang kita akan menelusuri lebih jauh, apakah betul cinta Nabi harus
dibuktikan dengan mengenang hari kelahiran beliau dalam acara maulid Nabi
sebagaimana yang dilakukan sebagian kaum muslimin? Silakan simak pembahasan
dalam posting selanjutnya. -Bersambung insya Allah pada posting selanjutnya-
Sejarah Kelam Maulid Nabi
Seri Kedua dari Tiga Tulisan (Antara Cinta Nabi shallallahu alaihi wa
sallam dan Maulid Nabi) kelam Sejarah
Maulid Nabi Jika kita menelusuri dalam kitab tarikh (sejarah), perayaan Maulid
Nabi tidak kita temukan pada masa sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan empat
Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad),
padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta dan mengagungkan Nabinya
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling paham
mengenai sunnah Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling semangat dalam
mengikuti setiap ajaran beliau. Perlu diketahui pula bahwa -menurut pakar
sejarah yang terpercaya-, yang pertama kali mempelopori acara Maulid Nabi
adalah Dinasti ‘Ubaidiyyun atau disebut juga Fatimiyyun (silsilah keturunannya
disandarkan pada Fatimah). Sebagai buktinya adalah penjelasan berikut ini. Al
Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan,
“Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada
perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin
Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah
yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam
pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam
pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam
penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul
Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari
Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al
Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.” (Al Mawa’izh wal
I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20
dan Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146)
Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul
Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan
maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain
–radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al
Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun
362 H. Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril
Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah
(hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali
adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun). (Dinukil dari Al Maulid, hal. 20) Fatimiyyun
yang Sebenarnya Kebanyakan orang belum mengetahui siapakah Fatimiyyun atau
‘Ubaidiyyun. Seolah-olah Fatimiyyun ini adalah orang-orang sholeh dan punya
i’tiqod baik untuk mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tetapi
senyatanya tidak demikian. Banyak ulama menyatakan sesatnya mereka dan berusaha
membongkar kesesatan mereka. Al Qodhi Al Baqillaniy menulis kitab khusus untuk
membantah Fatimiyyun yang beliau namakan “Kasyful Asror wa Hatkul Astar
(Menyingkap rahasia dan mengoyak tirai)”. Dalam kitab tersebut, beliau membuka
kedok Fatimiyyun dengan mengatakan, “Mereka adalah suatu kaum yang menampakkan
pemahaman Rafidhah (Syi’ah) dan menyembunyikan kekufuran semata.” Ahmad bin
‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy mengatakan,
“Tidak disangsikan lagi, jika kita melihat pada sejarah kerajaan
Fatimiyyun, kebanyakan dari raja (penguasa) mereka adalah orang-orang yang
zholim, sering menerjang perkara yang haram, jauh dari melakukan perkara yang
wajib, paling semangat dalam menampakkan bid’ah yang menyelisihi Al Kitab dan As
Sunnah, dan menjadi pendukung orang munafik dan ahli bid’ah. Perlu diketahui,
para ulama telah sepakat bahwa Daulah Bani Umayyah, Bani Al ‘Abbas (‘Abbasiyah)
lebih dekat pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, lebih berilmu, lebih unggul dalam
keimanan daripada Daulah Fatimiyyun. Dua daulah tadi lebih sedikit berbuat
bid’ah dan maksiat daripada Daulah Fatimiyyun. Begitu pula khalifah kedua
daulah tadi lebih utama daripada Daulah Fatimiyyun.”
Beliau rahimahullah juga mengatakan,
“Bani Fatimiyyun adalah di antara manusia yang paling fasik (banyak
bermaksiat) dan paling kufur.” (Majmu’ Fatawa, 35/127)
Bani Fatimiyyun atau ‘Ubaidiyyun juga menyatakan bahwa mereka memiliki
nasab (silsilah keturunan) sampai Fatimah. Ini hanyalah suatu kedustaan. Tidak
ada satu pun ulama yang menyatakan demikian. Ahmad bin ‘Abdul Halim juga
mengatakan dalam halaman yang sama,
“Sudah diketahui bersama dan tidak bisa disangsikan lagi bahwa siapa yang
menganggap mereka di atas keimanan dan ketakwaan atau menganggap mereka
memiliki silsilah keturunan sampai Fatimah, sungguh ini adalah suatu anggapan
tanpa dasar ilmu sama sekali. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.”
(QS. Al Israa’: 36). Begitu juga Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Kecuali orang yang bersaksi pada kebenaran sedangkan mereka mengetahuinya.”
(QS. Az Zukhruf: 86). Allah Ta’ala juga mengatakan saudara Yusuf (yang
artinya), “Dan kami hanya menyaksikan apa yang kami ketahui.” (QS. Yusuf: 81).
Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun ulama yang menyatakan benarnya
silsilah keturunan mereka sampai pada Fatimah.”
Begitu pula
Ibnu Khallikan mengatakan,
“Para ulama peneliti nasab mengingkari klaim mereka dalam nasab [yang
katanya sampai pada Fatimah].” (Wafayatul A’yan, 3/117-118)
Perhatikanlah pula perkataan Al Maqrizy di atas, begitu banyak perayaan
yang dilakukan oleh Fatimiyyun dalam setahun, kurang lebih ada 25 perayaan.
Bahkan lebih parah lagi mereka juga mengadakan perayaan hari raya orang Majusi
dan Nashrani yaitu hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad
(Natal), dan hari Al Khomisul ‘Adas (perayaan tiga hari selelum Paskah). Ini
pertanda bahwa mereka jauh dari Islam. Bahkan perayaan-perayaan maulid yang
diadakan oleh Fatimiyyun tadi hanyalah untuk menarik banyak masa supaya
mengikuti madzhab mereka. Jika kita menilik aqidah mereka, maka akan nampak
bahwa mereka memiliki aqidah yang rusak dan mereka adalah pelopor dakwah
Batiniyyah yang sesat. (Lihat Al Bida’ Al Hawliyah, 146, 158) ‘Abdullah At
Tuwaijiriy mengatakan,
“Al Qodhi Abu Bakr Al Baqillaniy dalam kitabnya ‘yang menyingkap rahasia
dan mengoyak tirai Bani ‘Ubaidiyyun’, beliau menyebutkan bahwa Bani Fatimiyyun
adalah keturunan Majusi. Cara beragama mereka lebih parah dari Yahudi dan
Nashrani. Bahkan yang paling ekstrim di antara mereka mengklaim ‘Ali sebagai
ilah (Tuhan yang disembah) atau ada sebagian mereka yang mengklaim ‘Ali
memiliki kenabian. Sungguh Bani Fatimiyyun ini lebih kufur dari Yahudi dan
Nashrani. Al Qodhi Abu Ya’la dalam kitabnya Al Mu’tamad menjelaskan panjang
lebar mengenai kemunafikan dan kekufuran Bani Fatimiyyun. Begitu pula Abu Hamid
Al Ghozali membantah aqidah mereka dalam kitabnya Fadho-ihul Bathiniyyah
(Mengungkap kesalahan aliran Batiniyyah).” (Al Bida’ Al Hawliyah, 142-143)
Inilah sejarah yang kelam dari Maulid Nabi. Namun, kebanyakan orang tidak
mengetahui sejarah ini atau mungkin sengaja menyembunyikannya. nasehat1 Dari
penjelasan di atas dapat kita tarik kesimpulan: 1. Maulid Nabi tidak ada asal
usulnya sama sekali dari salafush sholeh. Tidak kita temukan pada sahabat atau
para tabi’in yang merayakannya, bahkan dari imam madzhab. 2. Munculnya Maulid
Nabi adalah pada masa Daulah Fatimiyyun sekitar abad tiga Hijriyah. Daulah
Fatimiyyun sendiri dibinasakan oleh Shalahuddin Al Ayubi pada tahun 546 H. 3.
Fatimiyyun memiliki banyak penyimpangan dalam masalah aqidah sampai aliran
ekstrim di antara mereka mengaku Ali sebagai Tuhan. Fatimiyyun adalah
orang-orang yang gemar berbuat bid’ah, maksiat dan jauh dari ketaatan pada
Allah dan Rasul-Nya. 4. Merayakan Maulid Nabi berarti telah mengikuti Daulah
Fatimiyyun yang pertama kali memunculkan perayaan maulid. Dan ini berarti telah
ikut-ikutan dalam tradisi orang yang jauh dari Islam, senang berbuat sesuatu yang
tidak ada tuntunannya, telah menyerupai di antara orang yang paling fasiq dan
paling kufur. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ”Barangsiapa yang menyerupai suatu
kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul
Islam dalam Iqtidho’ [1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
-bersambung
insya Allah pada posting selanjutnya-
Meskipun Kelam, Maulid Nabi Tetap Ada Pembelaan
Seri
Terakhir dari Tiga Tulisan (Antara Cinta Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan
Maulid Nabi) typing5Sikap Ahlus Sunnah
dalam Menyikapi Perayaan Maulid Nabi [Pertama] Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni
Ad Dimasqi mengatakan,
“Adapun
melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu
Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan
Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian
malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan
hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan
’Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf
(sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah
melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)
[Kedua] Asy
Syatibi mengatakan, “Bid’ah adalah: Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama
yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) yang menyerupai syari’at (ajaran Islam),
yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah Ta’ala. (Al I’tishom, 1/21) Beliau melanjutkan,
“Yang
dimaksud pada definisi ‘yang menyerupai syari’at (ajaran Islam)’ adalah bid’ah
menyerupai cara syari’at padahal senyatanya tidak demikian. Bahkan bid’ah
bertentangan dengan syari’at dilihat dari beberapa sisi. Di antaranya adalah
dilihat dari menentukan batasan tertentu. Hal ini semacam bernadzar untuk
berpuasa dengan cara berdiri, tanpa mau duduk, … Di antaranya lagi adalah
dilihat dari mengkhususkan tata cara tertentu semacam dzikr secara berjama’ah
dengan satu suara, menjadikan hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai ‘ied (perayaan), dan semacamnya.” (Al I’tishom, 1/22)
[Ketiga]
Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan pasal “Di bulan
Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”. Dalam pasal tersebut, beliau rahimahullah
mengatakan, “
Bulan
Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr, ‘ibadah, nafkah
atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di dalamnya terdapat hari
besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied sebagaimana digariskan
oleh syari’at. … Bulan ini memang adalah hari kelahiran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu wafatnya beliau.
Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran beliau sekaligus
juga kematiannya [?] Jika hari kelahiran beliau dijadikan perayaan, maka itu
termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam syari’at maupun
dalam akal yang membenarkan hal ini. Jika dalam maulid terdapat kebaikan,lalu
mengapa perayaan ini dilalaikan oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan
sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang mengikuti mereka [?] Tidak disangsikan
lagi, perayaan yang diada-adakan ini adalah kelakuan orang-orang sufi, orang
yang serakah pada makanan, orang yang gemar menyiakan waktu dengan permainan
sia-sia dan pengagung bid’ah. …”
Lalu beliau
melanjutkan dengan perkataan yang menghujam,
“Lantas
faedah apa yang bisa diperoleh, pahala apa yang bisa diraih dari penghamburan
harta yang memberatkan [?]” (As Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil
Adzkari wash Sholawat, 138-139)
[Keempat]
Seorang ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal
dengan Al Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah
yang tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid
fil Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid)”. Beliau
rahimahullah mengatakan,
“Aku tidak
mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari Al Kitab dan As Sunnah sama sekali.
Tidak ada juga dari satu pun ulama yang dijadikan qudwah (teladan) dalam agama
menunjukkan bahwa maulid berasal dari pendapat para ulama terdahulu. Bahkan
maulid adalah suatu bid’ah yang diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang
yang senang menghabiskan waktu dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang
serakah pada makanan. Kalau mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum
taklifi (yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat
perayaan maulid bukanlah suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan para ulama)
atau pula bukan sesuatu yang dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya sesuatu
yang dianjurkan (sunnah) tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan
maulid tidaklah dirayakan oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan
kami. Inilah jawabanku terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan
maulid itu mubah karena yang namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan
kesepakatan para ulama kaum muslimin- tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid
hanya bisa kita katakan terlarang atau haram.” (Al Hawiy Lilfatawa Lis Suyuthi,
1/183)
typing4Pembelaan
Sebagian Orang dalam Masalah Maulid [Pertama] Maulid adalah Bentuk Rasa Syukur,
Pengagungan dan Penghormatan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Cukup kami
jawab, kalau memang maulid adalah bentuk syukur, mengapa sejak generasi sahabat
hingga imam mazhab yang empat tidak ada yang melakukan perayaan ini[?] Apakah
keimanan mereka lebih rendah dibanding orang-orang sekarang yang
merayakannya[?] Apakah orang ini menyangka lebih mendapat petunjuk daripada
generasi awal tersebut[?] Semoga kita dapat merenungkan perkataan para ulama
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berikut.
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ “Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat)
sudah mendahului kita untuk melakukannya.”
Inilah
perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah
dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai
bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan
segera melakukannya. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, pada tafsir surat Al
Ahqof ayat 11) Juga kami katakan,
“Mengapa
ucapan syukur, penghormatan dan pengagungan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam hanya sekali dalam setahun, hanya pada 12 Rabi’ul Awwal? Mengagungkan,
mencintai beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersyukur bukan hanya sekali
setahun, namun setiap saat dengan mentaati dan selalu ittiba’ pada beliau.”
Pembelaan
Kedua: Maulid Nabi adalah Bid’ah Hasanah (Bid’ah yang baik) Perkataan ini
muncul karena mereka melihat para ulama yang membagi bid’ah menjadi bid’ah
hasanah (baik) dan bid’ah sayyi’ah atau dholalah (sesat/jelek). Jadi menurut
mereka tidak semua bid’ah itu sesat. Ingatlah saudaraku, bid’ah dalam
hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak dikenal sama sekali
adanya bid’ah hasanah. Bahkan yang dikatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan diyakini oleh sahabat, setiap bid’ah adalah sesat. Perhatikanlah
sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam berikut.
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ
كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ
مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan
sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah
adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Ibnu
Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ
كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), janganlah membuat
bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah
sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al
Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi
yang dipakai dalam kitab shohih)
Abdullah
bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا
النَّاسُ حَسَنَةً “Setiap bid’ah
adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro
li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Lihatlah
perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Kita akan
melihat bahwa mereka mengatakan semua bid’ah itu sesat, tanpa ada pengecualian.
Bagaimana jika ada yang mengatakan bahwa ‘Umar bin Al Khaththab pernah
menyatakan bahwa shalat tarawih yang dia hidupkan adalah “sebaik-baik bid’ah”?
Dari perkataan beliau ini menurut mereka, ada bid’ah hasanah (yang baik).
Sanggahan: Ingatlah para sahabat tidak mungkin melakukan bid’ah. Yang dimaksud
dengan bid’ah dalam perkataan ‘Umar adalah bid’ah secara bahasa Arab yang
berarti sesuatu yang baru. Jika ada yang masih ngotot bahwa tidak semua bid’ah
sesat, ada di sana bid’ah yang baik (hasanah), maka cukup kami katakan: Kalau ‘Umar
menghidupkan shalat tarawih dan beliau katakan sebagai bid’ah, hal ini ada
dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena dulu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga melaksanakan shalat tarawih di awal-awal Ramadhan. Namun
karena takut amalan tersebut dianggap wajib, maka beliau tidak menunaikannya
lagi. Jadi, intinya ‘Umar memiliki dasar dari perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Sekarang, apa maulid Nabi memiliki dasar dari beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana shalat tarawih yang dihidupkan oleh
‘Umar[?] Jawabannya tidak sama sekali. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak pernah merayakan hari kelahirannya, begitu pula para sahabat, tabi’in,
dan para imam madzhab tidak ada yang merayakannya. Sehingga maulid tidak bisa kita
sebut bid’ah hasanah. Yang lebih tepat maulid adalah bid’ah madzmumah (tercela)
sebagaimana yang dikatakan oleh Asy Syuqairiy dan Al Fakihaniy yang telah kami
sebutkan di atas. Pembelaan Ketiga: Niatannya Supaya Lebih Mengenal Sosok
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Mungkin ada yang berseloroh, kalau
melakukannya dengan niatan ibadah maka bid’ah, tapi kalau sekedar memperingati
agar lebih mengenal sosok Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka mubah,
bahkan bisa jadi sunnah atau wajib, karena setiap muslim wajib mengenal
Nabinya. Kita katakan kepadanya bahwa itu tidak benar! Sungguh ironis, seorang
yang mengaku cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengenalinya kok
hanya setahun sekali?! Mengenal sosok beliau tidaklah dibatasi oleh bulan atau
tanggal tertentu. Jika ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara
tertentu pula, maka sudah masuk ke dalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, sangat
mustahil atau kecil kemungkinannya bila tidak disertai niat merayakan hari
kelahiran beliau, yang ini pun sesungguhnya sudah masuk ke dalam lingkup
tasyabbuh (meniru-niru) orang-orang Nashrani yang dibenci oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri. Mereka (orang Nashrani) merayakan
kelahiran Nabi Isa melalui natalan, sedangkan mereka merayakan kelahiran
Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui natalan. Padahal Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ ”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk
bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’
[1/269] mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Sudikah
kita mengenal dan mengenang Nabi, namun beliau sendiri tidak suka dengan cara
yang kita lakukan?! Dan siapa bilang harus mengenal sosok Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam cuma melalui acara maulid yang hanya diadakan sekali
setahun[?] Bukankah masih ada cara lain yang sesuai tuntutan dan tidak
tasyabbuh (meniru-niru) orang kafir. Pembelaan Keempat: Nabi memperingati hari
kelahirannya dengan berpuasa Sebagian beralasan dengan puasa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pada hari Senin, karena pada hari tersebut adalah hari kelahirannya.
Ini berarti hari kelahiran boleh dirayakan. Ketika beliau shallallahu ‘alaihi
wa sallam ditanyakan mengenai puasa pada hari Senin, beliau pun menjawab,
«
ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ
أُنْزِلَ عَلَىَّ فِيهِ ».
“Hari tersebut adalah hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai Rasul atau
pertama kali aku menerima wahyu.” (HR. Muslim [Muslim: 14-Kitab Ash Shiyam,
36-Bab Anjuran Puasa Tiga Hari Setiap Bulannya])
Sanggahan:
Bagaimana mungkin dalil di atas menjadi dalil untuk merayakan hari kelahiran
beliau[?] Ini sungguh tidak tepat dalam berdalil. Lihatlah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah melaksanakan puasa pada tanggal kelahirannya
yaitu tanggal 12 Rabiul Awwal, dan itu kalau benar pada tanggal tersebut beliau
lahir. Karena dalam masalah tanggal kelahiran beliau masih terdapat
perselisihan. Yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan adalah puasa
pada hari Senin bukan pada 12 Rabiul Awwal[!] Seharusnya kalau mau mengenang
hari kelahiran Nabi dengan dalil di atas, maka perayaan Maulid harus setiap
pekan bukan setiap tahun. Penutup Akhirnya, sulit dibenarkan jika perayaan
Maulid Nabi dengan segala modelnya diklaim sebagai bentuk kebaikan dalam rangka
mentaati dan mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Justru
kebenaran ada pada pihak yang tidak merayakan Maulid, demi ketaatan pada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjaga kebersihan ajaran Islam. Bukankah
masih banyak sunnah-sunnah Rasul yang masih terbengkalai dan belum kita sentuh?
Sungguh ironis, sekian banyak sunnah dilupakan, bahkan dilecehkan, sementara
bid’ah maulid dibela mati-matian. Semoga kita terhindar dari pengaruh tipu daya
para penyeru bid’ah dan kesesatan, yang lebih cenderung berbuat bid’ah bahkan
terkadang tidak memahami sunnah Nabinya. Terkahir. Saudaraku, kami menyinggung
masalah Maulid ini bukanlah maksud kami untuk memecah belah kaum muslimin
sebagaimana disangka oleh sebagian orang jika kami menyinggung bid’ah dan
semacamnya. Yang hanya kami inginkan adalah bagaimana umat ini bisa bersatu di
atas kebenaran dan di atas ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
benar. Yang kami inginkan adalah agar saudara kami mengetahui kebenaran dan
sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang kami ketahui. Kami
tidak ingin saudara kami terjerumus dalam kesalahan sebagaimana tidak kami
inginkan pada diri kami. Kami hanya ingin agar umat Islam mengetahui ajaran
Islam yang benar dan mengetahui kekeliruan yang sering terjadi di tengah-tengah
umat. Semoga maksud kami ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا
اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ
أُنِيبُ “Aku tidak bermaksud
kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada
taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku
bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11] : 88)
Ingat
sekali lagi bahwa cinta Nabi dibuktikan dengan meneladani dan mencontoh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan dengan menyelisihi perintah atau melakukan
sesuatu yang tidak ada tuntunannya. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi
wa sallam. Rabu, 6 Rabi’ul Awwal 1430 H Yang sangat butuh pada ampunan dan rahmat
Rabbnya Muhammad Abduh Tuasikal (http://rumaysho.wordpress.com) [Jazahullah khoiron
pada Ustadzuna Aris Munandar yang telah mengedit tulisan ini. Semoga Allah
memberkahi ilmu dan umur beliau] Referensi Al I’tishom, Abu Ishaq Ibrahim bin
Musa Asy Syatibi, Asy Syamilah Al Bida’ Al Hawliyah, ‘Abdullah bin ‘Abdil ‘Aziz
bin Ahmad At Tuwaijiry, Darul Fadhilah,cetakan pertama, 1421 H Al Hawiy
Lilfatawa Lis Suyuthi, Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Abi Bakr As Suyuthi, Darul
Kutub Al ‘Ilmiyah, Beirut, cetakan pertama, 1421 H Al Maulid, Syaikh Samir Al
Maliki, Asy Syamilah As Sunan wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil Adzkari wash
Sholawat, Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syaqiriy,Darul Fikr Huququn Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam baina Al Ijlal wal Ikhlal, Dimuqoddimahi oleh Dr.
Syaikh Sholeh bin Fauzan Al Fauzan Iqtidho’ Ash Shirothil Mustaqim
Lilmukholafati Ash-habil Jahim, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqiy,
Wizarot Asy Syu-un Al Islamiyah wal Awqof Jami’ul Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al
Hambali, Darul Hadits Kairo Majmu’ Fatawa, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni Ad
Dimasqiy, Darul Wafa’ Syarh At Thohawiyah, Syaikh Sholeh bin ‘Abdul ‘Aziz Alu
Syaikh, Asy Syamilah Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar
bin Katsir Al Qurosyiy Ad Dimasyqiy, Dar Thobi’ah, cetakan kedua, 1420 H
Wafayatul A’yan wa Anba-i Abna-iz Zaman, Abul ‘Abbas Syamsuddin Ahmad bin
Muhammad Abu Bakr bin Khallikan, Tahqiq: Ihsan ‘Abbas, Dar Shodir-Beirut
Hukum peringatan
maulid Nabi saw
Asal Mula Maulid Nabi
IBNU KATSIR menyebutkan dalam kitabnya Al-Bidayah wan
Nihayah (11\172) bahwa Daulah Fathimiyyah ‘Ubaidiyyah nisbah kepada ‘Ubaidullah
bin Maimun Alqadah Alyahudi yang memerintah Mesir dari tahun 357 H -567 H.
Merekalah yang pertama-tama merayakan perayaan-perayaan yang banyak sekali
diantaranya perayaan Maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Keterangan ini ditulis juga oleh Al-Maqrizy dalam kitabnya Al-Mawa’idz wal
I’tibaar (1\490), dan Syaikh Muhammad Bakhit Al-Muthi’i mufti Mesir dalam
kitabnya Ahsanul Kalam fiima Yata’allaqu bissunnah wal Bid’ah minal Ahkam
[halaman 44-45], dan Syaikh ‘Ali Mahfudz menyetujui mereka dalam kitabnya yang
baik Al-Ibdaa’ fii Madhaarr Al-Ibtidaa’ [halaman 251] dan selain mereka masih
banyak lagi. Jadi yang pertama-tama mensyariatkan perayaan ini mereka adalah
orang-orang Zindiq (menampakkan keislaman untuk menyembunyikan kekafiran)
Al-‘Ubaidiyyun dari Syi’ah Rafidhah keturunan Abdullah bin Saba Al-Yahudi.
SEJARAH HITAM SYI’AH BANI FATHIMIYYAH
Bani Fatimiyah (bukan disandarkan pada Fatimah putri
Rasulullah dari Mesir, pernah mencuri Hajar Aswad di Ka’bah, tahun 1098
bersekongkol dengan pasukan salibis merebut rumah suci al-Aqsha. Kelompok
Syi’ah bathiniyah ini menikam kaum muslimin dari belakang. Penggalan lain saat
Mongol mengepung kerajaan Abbasiah di Baghdad, kembali orang Syi’ah berulah.
Ibn al-Alqami as-Syi’i, yang sempat dipercaya menjadi menteri, berkhianat.
Musuh dalam selimut ini memberi informasi rahasia negara kepada pasukan Tartar
pimpinan Hulaghu Khan setelah sempat merumahkan pasukan kerajaan dari 100 ribu
hingga tinggal 10 ribu. Baghdad jatuh pada 656H/1258 M. Terjadilah pembantaian
selama tidak kurang dari 40 hari. IBNU KATSIR mencatat korban 800 ribu,
sebagian menyebut angka 1 juta orang. Khalifah al-Musta’shim Billah terbunuh.
Ia ditempatkan dalam kantong hingga meninggal karena ditendangi. Penggalan
demonstrasi berdarah di masjid al-Haram Mekkah tahun 80-an pun didalangi
orang-orang Syi’ah yang bersenjata.
FATWA ULAMA TENTANG MAULID NABI
Ibnu Hajar Al-Asqolani dan Imam As-Suyuthi memang
memperbolehkan peringatan maulid nabi asal dengan beberapa syarat, tetapi
mereka mengakui bahwa perbuatan tsb adalah bid’ah yg tidak berasal dari 3
generasi terbaik (Sahabat, Tabi’in, dan Tabiut Tabi’in). Berikut fatwa para
ulama tentang maulid nabi.
1. Ibnu Taymiyyah (guru Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi, Ibnul
Qayyim) dalam kitabnya “Iqtidlous Sirotul Mustaqim Mukholafata Ashabil Jahim”
Hal: 295 tentang Maulid Nabawy: “Tidak pernah dilakukan oleh as salafus sholeh
padahal dorongan untuk diadakannya perayaan ini sudah ada, dan tidak ada
penghalangnya, sehingga seandainya perayaan ini sebuah kebaikan yang murni atau
lebih besar, niscaya as salaf (ulama’ terdahulu) –semoga Allah meridloi mereka-
akan lebih giat dalam melaksanakannya daripada kita, sebab mereka lebih dari
kita dalam mencintai Rosulullah ? dan mengagungkannya, dan mereka lebih
bersemangat dalam mendapatkan kebaikan. Dan sesungguhnya kesempurnaan rasa
cinta dan pengagungan kepada beliau terletak pada sikap mengikuti dan mentaati
perintahnya, dan menghidupkan sunnah-sunnahnya, baik yang lahir ataupun batin,
serta menyebarkan ajarannya, dan berjuang dalam merealisasikan hal itu dengan
hati, tangan dan lisan. Sungguh inilah jalannya para ulama’ terdahulu dari
kalangan kaum muhajirin dan anshor yang selalu mengikuti mereka dalam
kebaikan”. Dan silahkan baca pernyataan beliau dalam kitab “Al
Fatawa Al Misriyah” 1/312.
2. Imam Asy-Syatibi (ulama mazhab Maliki) ketika ditanya
tentang hal ini. Beliau menjawab: “Adapun yang pertama yaitu mewasiatkan
sepertiga harta untuk pelaksanaan maulid sebagaimana yang banyak dilakukan
manusia ini adalah bid’ah yang diada-adakan, setiap bid’ah itu adalah sesat,
bersepakat untuk melakukan bid’ah tidak boleh, dan wasiatnya tidak dilakukan,
bahkan diwajibkan kepada qodhi untuk membatalkannya dan mengembalikan sepertiga
harta tersebut kepada ahli waris supaya mereka bagi sesama mereka, semoga Allah
menjauhkan para kaum fakir dari menuntut supaya dilaksanakannya wasiat seperti
ini. (dikutib dari fatwa Asy-Syatibi, no: ( 203, 204 ).
3. Asy-Syaukani dalam Kitabnya “Risalah fi Hukmil Maulid”
menyalahkan Ibnu Hajar dan As-Suyuthi yg membolehkan maulid. Berikut beberapa
kutipannya:
Asy-Syaukani berkata: Saya tidak mendapatkan sampai
sekarang dalil (argumentasi) di dalam Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan
Istidlal yang menjelaskan landasan amalan maulid, bahkan kaum muslimin telah
sepakat, bahwa perayaan maulid nabi tidak ada pada masa qurun yang terbaik
(para shahabat, pent), juga orang yang datang sesudah mereka (para tabi’in) dan
yang datang sesudah mereka (tabi’ tabi’in). Dan mereka juga sepakat bahwa yang
pertama sekali melakukan maulid ini adalah Sulthan Al Muzhaffar abu Sa’id
Kukburi, anak Zainuddin Ali bin Baktakin, pemilik kota Irbil dan yang membangun
mesjid Al Muzhaffari di Safah Qaasiyyun, pada tahun tujuh ratusan, dan tidak
seorangpun dari kaum muslimin yang tidak mengatakan bahwa maulid tersebut bukan
bid’ah.
Dan apabila telah tetap hal ini, jelaslah bagi yang
memperhatikan (para pembaca bahwasanya orang yang membolehkan maulid tersebut
setelah dia mengakuinya sebagai bid’ah dan setiap yang bid’ah itu adalah sesat,
berdasarkan perkataan Rasulullah, tidaklah dia (yang membolehkan maulid)
mengatakan kecuali apa yang bertentangan dengan syari’at yang suci ini, dan
tidak ada tempat dia berpegang kecuali hanya taqlid kepada orang yang membagi
bid’ah tersebut kepada beberapa macam, yang sama sekali tidak berlandasakan
kepada ilmu.
Kemudian juga Al-Imam Abdillah bin Al-Haaj dengan nama
kitabnya : “Pintu masuk dalam mengamalkan maulid”, dan Imam Ahli Qiro-at
Al-Jazary dengan nama kitabnya: “pengenalan terhadap maulid yang mulia”, dan
juga Imam Al-Hafidz Ibnu Naashir dengan kitabnya: “Sumber utama dalam
pelaksanaan Maulid sang pembawa petunjuk”, dan Imam Suyuthi dengan kitabnya :
“Tujuan yang baik dalam melaksanakan maulid” , di antara mereka ada yang
benar-benar tidak membolehkan, dan ada juga yang membolehkan dengan bersyarat
kalau tidak dicampuri oleh hal-hal yang munkar, meskipun mereka mengakui
bahwasanya itu merupakan perbuatan bid’ah, namun mereka tidak mampu untuk
memberikan argumentasi yang kuat, adapun dalil mereka dengan hadits bahwasanya Nabi
di kala sampai di Madinah beliau mendapati orang-orang yahudi berpuasa pada
hari asyura, lalu beliau menanyakan sebabnya, hari tersebut adalah hari di mana
Allah menyelamatkan Nabi Musa dan membinasakan Fir’aun, lalu kami berpuasa pada
hari itu sebagai rasa syukur kepada Allah ta’ala sebagaimana yang dilakukan
Ibnu Hajar, atau dengan hadits bahwasanya Rasulullah mengaqiqahkan dirinya
sendiri setelah kenabian, sebagaimana yang dilakukan Suyuthi, ini merupakan
suatu yang sangat aneh di mana itu terjadi karena keinginan untuk menegakkan
bid’ah.
4. Al Hafizh Abu Zur’ah Al ‘Iroqy ketika ditanya tentang
orang yang melakukan maulit apakah dianjurkan atau makruh?, apakah ada dalil
yang memerintahkannya?, atau pernahkah dilakukan oleh orang yang dicontoh
perbuatannya?. Ia menjawab: “memberi makan orang yang lapar dianjurkan dalam
setiap waktu, apa lagi bergembira atas munculnya cahaya kenabian pada bulan
yang mulia ini, tapi tidak kita temukan seorang pun dari generasi salaf (para
ulama yang terdahulu) yang melakukan hal demikian, sekali pun sekedar memberi
makan orang yang kelaparan”. (“tasyniiful Azan” hal: 136)
5. Fatwa Ibnu Hajar Al ‘Asqolany tentang hukum maulid
yang dinukil oleh As- Suyuthi dalam kitabnya “Husnul maqsad fi ‘amalil maulid”
di situ ia katakan: “asal perbuatan maulid adalah bid’ah tidak seorang pun dari
generasi salafus sholeh yang melakukannya dalam tiga abad pertama”. (Al hawy
lil fatawa hal: 1 / 196).
6. Ibnul Hajj dalam kitab “Al Madkhal” hal: (2/ 15,16)
ketika ia berbicara tentang maulid: “yang sangat mengherankan kenapa mereka
bergembiraria untuk kelahiran nabi saw! sedangkan kematiannya bertepatan pada
hari itu juga, dimana umat mendapat musibah yang amat besar, yang tidak bisa
dibandingkan dengan musibah yang lainnya, yang layak hanya menangis, bersedih
dan setiap orang menyendiri dengan dirinya, karena Rasulullah saw bersabda:
“Hendaklah kaum muslimin itu teguh dalam segala musibah mereka, musibah yang
sebenarnya adalah kematianku”.
7. Syeikh Tajuddin Umar bin Ali Al Lakhmy Al Iskandary,
yang lebih dikenal dengan Al Fakihaany dalam kitabnya “Al Maurid Fi Al Kalaam
Ala Amali Al Maulid” berkata: “Sesungguhnya bulan kelahiran nabi Muhammad saw,
bertepatan dengan bulan kematiannya, maka tidak lah bergembira lebih utama dari
pada bersedih pada bulan tersebut”.
8. Ungkapkan Syaikh Muhammad Abdussalam Khadhar al
Qusyairy dalam kitabnya “as sunan wal mubtadi’aat al muta’alliqah bil azkar
wash sholawaat” Hal: 138-139. Dalam fasal: membicarakan bulan Robi’ul awal dan
bid’ah melakukan maulid pada waktu itu. “tidak boleh mengkhususkan bulan ini
(Rabi’ul awal) dengan berbagai macam ibadah seperti sholat, zikir, sedekah,
dll. Karena musim ini tidak termasuk hari besar Islam seperti hari jum’at dan
hari lebaran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah saw, bulan ini memang bulan
kelahiran Nabi Muhammad saw, tapi juga merupakan bulan wafatnya nabi Muhammad
saw, kenapa mereka berbahagia atas kelahirannya tapi tidak bersedih atas
kematiannya?, menjadikan hari kelahirannya sebagai perayaan maulid adalah bid’ah
yang mungkar dan sesat, tidak diterima oleh syara’ dan akal, kalau sekiranya
ada kebaikan dalam melakukannya tentu tidak akan lalai dari melakukannya Abu
bakar, Umar, Ustman dan Ali serta para sahabat yang lainnya, dan para tabi’iin
serata para ulama yang hidup setelah mereka.
9. Al Maliky dalam hasiyahnya terhadap kitab “Mukhtashor
As Syikh Kholil AL Maliky” 7/168, dalam pembahasan Al Washiyah, beliau
menyatakan: “Adapun berwasiat untuk perayaan al maulid as syariif, maka Al
fakihany telah menyebutkan bahwa perayaan maulid adalah makruh hukumnya”.
10. Abu Abdillah Muhammad Ulaisy dalam kitabnya “Fathu Al
Aly Al Malik Fi Al Fatawa Ala Mazhab Al Imam Malik” 1/171 ketika ditanya
tentang seorang lelaki yang memiliki seekor sapi yang sedang sakit, padahal dia
sedang hamil, lalu orang itu berkata “ Kalau Allah menyembuhkan sapiku, maka
wajib atasku untuk menyembelih anak yang di dalam perutnya ketika acara maulid
Rosulillah, dan kemudian Allah menyembuhkan sapinya dan melahirkan anak betina,
kemudian dia menunda penyembelihan sampai anak sapi tersebut besar dan hamil,
apakah wajib atasnya untuk menyembelih sapi tersebut atau boleh menyembelih
penggantinya atau dia tidak berkewajiban apa-apa ? Maka beliau menjawab
pertanyaan ini dengan mengatakan : “Alhamdulillah, dan sholawat dan salam
semoga terlimpahkan kepada sayidina Muhammad Rasulullah, dia tidak berkewajiban
apa-apa, karena perayaan maulid Rasulullah tidaklah disunnahkan”.
12. Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-’Utsaimin rahimahullah menjawab:
Pertama, malam kelahiran Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti kapan. Bahkan
sebagian ulama masa kini menyimpulkan hasil penelitian mereka bahwa
sesungguhnya malam kelahiran beliau adalah pada tanggal 9 Robi’ul Awwal dan
bukan malam 12 Robi’ul Awwal. Oleh sebab itu maka menjadikan perayaan pada
malam 12 Robi’ul Awwal tidak ada dasarnya dari sisi latar belakang historis.
Kedua, dari sisi tinjauan syariat maka
merayakannya pun tidak ada dasarnya. Karena apabila hal itu memang termasuk
bagian syariat Allah maka tentunya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukannya atau beliau sampaikan kepada umatnya. Dan jika beliau pernah
melakukannya atau menyampaikannya maka mestinya ajaran itu terus terjaga, sebab
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al
Quran dan Kami lah yang menjaganya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Sehingga tatkala ternyata sedikit pun
dari kemungkinan tersebut tidak ada yang terbukti maka dapat dimengerti
bahwasanya hal itu memang bukan bagian dari ajaran agama Allah. Sebab kita
tidaklah diperbolehkan beribadah kepada Allah ‘azza wa jalla dan mendekatkan
diri kepada-Nya dengan cara-cara seperti itu. Apabila Allah ta’ala telah
menetapkan jalan untuk menuju kepada-Nya melalui jalan tertentu yaitu ajaran
yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka bagaimana mungkin
kita diperbolehkan dalam status kita sebagai hamba yang biasa-biasa saja
kemudian kita berani menggariskan suatu jalan sendiri menurut kemauan kita
sendiri demi mengantarkan kita menuju Allah? Hal ini termasuk tindakan jahat
dan pelecehan terhadap hak Allah ‘azza wa jalla tatkala kita berani membuat
syariat di dalam agama-Nya dengan sesuatu ajaran yang bukan bagian darinya.
Sebagaimana pula tindakan ini tergolong pendustaan terhadap firman Allah ‘azza
wa jalla yang artinya,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي
“Pada hari ini Aku telah sempurnakan bagi
kalian agama kalian dan Aku telah cukupkan nikmat-Ku kepada kalian.” (QS.
Al-Maa’idah: 3)
Oleh sebab itu kami katakan bahwasanya
apabila perayaan ini termasuk dari kesempurnaan agama maka pastilah dia ada dan
diajarkan sebelum wafatnya Rasul ‘alaihish shalatu wa salam. Dan jika dia bukan
bagian dari kesempurnaan agama ini maka tentunya dia bukan termasuk ajaran
agama karena Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Pada hari ini Aku telah
sempurnakan bagi kalian agama kalian.” Barang siapa yang mengklaim acara maulid
ini termasuk kesempurnaan agama dan ternyata ia terjadi setelah wafatnya Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam maka sesungguhnya ucapannya itu mengandung
pendustaan terhadap ayat yang mulia ini. Dan tidaklah diragukan lagi kalau
orang-orang yang merayakan kelahiran Rasul ‘alaihis shalatu was salam hanya
bermaksud mengagungkan Rasul ‘alaihis shalaatu was salaam. Mereka ingin
menampakkan kecintaan kepada beliau serta memompa semangat agar tumbuh perasaan
cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui diadakannya perayaan
ini. Dan itu semua termasuk perkara ibadah. Kecintaan kepada Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah ibadah. Bahkan tidaklah sempurna keimanan seseorang
hingga dia menjadikan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang
lebih dicintainya daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan bahkan
seluruh umat manusia. Demikian pula pengagungan Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam termasuk perkara ibadah. Begitu pula membangkitkan perasaan cinta kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga termasuk bagian dari agama karena di
dalamnya terkandung kecenderungan kepada syariatnya. Apabila demikian maka
merayakan maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mendekatkan
diri kepada Allah serta untuk mengagungkan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah suatu bentuk ibadah. Dan apabila hal itu termasuk perkara ibadah maka
sesungguhnya tidak diperbolehkan sampai kapan pun menciptakan ajaran baru yang
tidak ada sumbernya dari agama Allah. Oleh sebab itu merayakan maulid Nabi
adalah bid’ah dan diharamkan.
Kemudian kami juga pernah mendengar bahwa
di dalam perayaan ini ada kemungkaran-kemungkaran yang parah dan tidak
dilegalkan oleh syariat, tidak juga oleh indera maupun akal sehat. Mereka
bernyanyi-nyanyi dengan mendendangkan qasidah-qasidah yang di dalamnya terdapat
ungkapan yang berlebih-lebihan (ghuluw) terhadap Rasul ‘alaihish sholaatu was
salaam sampai-sampai mereka mengangkat beliau lebih agung daripada Allah -wal
‘iyaadzu billaah-. Dan kami juga pernah mendengar kebodohan sebagian orang yang
ikut serta merayakan maulid ini yang apabila si pembaca kisah Nabi sudah
mencapai kata-kata “telah lahir Al-Mushthafa” maka mereka pun serentak berdiri
dan mereka mengatakan bahwa sesungguhnya ruh Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam hadir ketika itu maka kita berdiri demi mengagungkan ruh beliau. Ini
adalah tindakan yang bodoh. Dan juga bukanlah termasuk tata krama yang baik
berdiri ketika menyambut orang karena beliau tidak senang ada orang yang
berdiri demi menyambutnya. Dan para sahabat beliau pun adalah orang-orang yang
paling dalam cintanya kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta kaum
yang lebih hebat dalam mengagungkan beliau daripada kita. Mereka itu tidaklah
berdiri tatkala menyambut beliau karena mereka tahu beliau membenci hal itu
sementara beliau dalam keadaan benar-benar hidup. Lantas bagaimanakah lagi
dengan sesuatu yang hanya sekedar khayalan semacam ini?
Bid’ah ini -yaitu bid’ah Maulid- baru
terjadi setelah berlalunya tiga kurun utama. Selain itu di dalamnya muncul
berbagai kemungkaran ini yang merusak fondasi agama seseorang. Apalagi jika di
dalam acara itu juga terjadi campur baur lelaki dan perempuan dan
kemungkaran-kemungkaran lainnya. (Diterjemahkan Abu Muslih dari Fatawa Arkanil
Islam, hal. 172-174).
Allah telah memerintah nabinya untuk
mengikuti syari'atnya dalam beribadah kepadanya, dan melarang mengikuti hawa
nafsu, dalam banyak ayat Allah memerintah nabinya untuk mengikuti wahyu. Ulama
mengatakan bahwa ibadah harus didasari wahyu, dan tidak berdasarkan akal
fikiran manusia.
Allah SWT memberi karunia kepada hambanya
dengan mengutus rasulnya SAW, bukan dengan kelahirannya, oleh karena itu pada
hari kelahiran nabi s.a.w para salafus shalih tidak melakukan amal perbuatan
yang lebih dari hari-hari lain, dan tidak menganggap hari kelahiran nabi
sebagai hari istimewa yang perlu diperingati, dirayakan atau dikaitkan dengan
suatu hal yang dianggap penting, lihatlah misalnya Umar bin Khattab t ketika
akan menetapkan awal tahun hijriyah, beliau tidak memulainya dari hari atau
bulan kelahiran nabi s.a.w, namun memulainya dengan tanggal kemenangan nabi
SAW.
Peringatan maulid nabi tidak pernah
dilakukan oleh rasulullah, para sahabat, para tabi'in, maupun para imam madzhab
seperti imam syafi'i, imam malik, Ahmad bin hambal dan Abu Hanifah, akan tetapi
yang pertama kali mengadakan peringatan maulid nabi adalah para khalifah
fatimiyah pada abad keempat hijriyah, bahkan mereka bukan hanya memperingati
hari kelahiran nabi, akan tetapi mereka juga memperingati hari kelahiran imam
Ali, Fatimah, hasan, dan Husain.
Sebelumnya umat islam tidak mengenal yang namanya peringatan maulid nabi
s.a.w.
Sebenarnya para ahli sejarah berbeda
pendapat tentang bulan kelahiran nabi s.a.w, ada yang mengatakan nabi
dilahirkan pada bulan ramadhan, namun mayoritas mereka mengatakan bahwa nabi
s.a.w dilahirkan pada bulan rabiul awwal. Kemudian mereka juga berbeda pendapat
tentang tanggal kelahiran nabi s.a.w. Ibnu Abdil barr mengatakan beliau lahir
pada tanggal dua, ada yang mengatakan tanggal delapan, ini didukung oleh ibnu
Hazm dan kebanyakan ahli hadits, ada yang mengatakan pada tanggal sembilah, ini
dikuatkan oleh abul hasan an-Nadawi dan zahid al-kaustari, ada yang mengatakan
tanggal sepuluh, ini dikatakan oleh al-Baqir, ada yang mengatakan pada tanggal
dua belas, ini ditegaskan oleh Ibnu Ishaq, ada yang mengatakan tanggal tujuh
belas, dan ada yang mengatakan tanggal delapan belas rabi'ul awwal.
Ini menunjukkan bahwa para sahabat tidak
begitu memperhatikan tanggal kelahiran nabi, karena tidak ada ibadah yang
berkaitan dengan hari kelahirannya, sebab kalau seandianya ada, niscaya
diriwayatkan kepada kita.
Kemudian perlu diketahui bahwa tanggal
dua belas rabi'ul awal juga merupakan hari meninggalnya rasulullah s.a.w, jadi
bergembira pada hari itu tidak lebih baik dari bersedih, selain itu bila
diperhatikan, peringatan maulid nabi banyak menyebar di Negara-negara yang
bertetangga dengan Kristen, seperti di suriah dan mesir. Orang-orang nasrani
merayakan hari kelahiran Isa u, dan itu merupakan sebab orang-orang islam
mengadakan perayaan hari besar karena mengikuti tradisi mereka.
Kecintaan kepada nabi SAW bukan
dibuktikan dengan memperingati hari kelahirannya, namun dengan mengikuti
sunnahnya, melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya, dan gembira
dengan nabi SAW bukan hanya pada waktu-waktu tertentu, seperti hanya di bulan
rabi'ul awal, tetapi sepanjang masa.
Nabi saw telah melarang umatnya
berlebihan dalam memuji dan mengagungkan beliau, beliu bersabda: janganlah kalian belebihan terhadapku
sebagaimana orang nasrani berlebihan terhadap putera Maryam, aku tidak lain
hanyalah hamban Allah, maka katakanlah: hamba Allah dan rasulnya. (HR. Bukhari)
Kebanyakan bacaan yang dibaca dalam
peringatan maulid nabi yang berupa pujian kepada beliau sangat berlebihan, dan
ini diakui oleh orang yang mendukung peringatan maulid nabi itu sendiri,
terutama ketika sebagian orang mengarang buku tentang peringatan maulid nabi,
kemudian mereka membuat-buat hadits palsu untuk mendukung perbuatannya. Salah
seorang tokoh sufi di abad ini yaitu Abdullah al-Ghimari berkata: (( "…
buku-buku tentang maulid nabi dipenuhi oleh hadits-hadits palsu, dan ini telah
menjadi keyakinan kuat bagi kalangan awam, aku berharap semoga Allah memberi
taufik kepadaku untuk menulis buku tentang maulid nabi, yang terbebas dari dua
hal yaitu: hadits-hadits palsu, dan sajak yang dipaksakan … jadi berlebihan
dalam mumuji itu tercela, berdasarkan firman Allah swt: ((janganlah kalian
berlebihan dalam agama kalian)), dan juga orang yang memuji nabi saw dengan
suatu hal yang tidak ada dasarnya dari nabi saw maka ia telah berbohong,
sehingga ia termasuk orang yang diancam dalam hadits: barangsiapa yang sengaja
berdusta kepadaku maka hendaklah ia menyiapkan tempatnya di neraka.
Fadhilah-fadilah nabi bukanlah suatu hal
yang bisa dianggap enteng dengan menggunakan hadits dhaif dan sebagainya,
karena ini berkaitan dengan pembawa syari’at, nabi umat ini, yang mengharamkan
dusta atas nama beliau dan menjadikannya sebagai salah satu dosa besar, bahkan
Abu Muhammad al-Juwaini, bapak dari Imam al-Haramain berpendapat bahwa orang yg
berdusta atas nama nabi saw, ia kafir. Dengan demikian, hal-hal yang berlebihan
yang terdapat dalam buku-buku maulid nabi, dan kisah isra’ mi’raj tidak ada
dasarnya sama sekali, maka wajib dibakar agar para penulisnya dan orang-orang
yang membacanya tidak dibakar di neraka, kami mohon keselamatan kepada
Allah". (ini dalam buku tentang kritik terhadap burdatnya al-Bushiri hal
75).
Dan biasanya dalam peringatan maulid
diakhiri dengan kata-kata bid’ah dan tawassul-tawassul yang berbau syirik.
Kemudian dalam peringatan maulid nabi
biasanya melakukan beberapa kesalahan, di antaranya:
Orang-orang yg memperingati maulid
menuduh orang-orang yang tidak merayakannya bahwa mereka tidak mencintai nabi
saw, mereka pura-pura tidak tahu bahwa kecintaan kepada nabi dibuktikan dengan
mengikuti sunnah beliau, bukan dengan berbuat bid’ah, demikan pula hal-hal yg
dilakukan pada waktu memperingati maulid, seperti bacaan-bacaan yang tidak ada
dasarnya dari agama yang dibaca dengan disertai gerakan-gerakan yang tidak
pernah diajarkan dalam agama, disamping kisah-kisah bohong yang dibuat-buat
tentang faedah atau fadhilah memperingati maulid nabi dsb. Syaikh Ali Mahfudz
al-Azhari berkata: "dalam memperingati maulid nabi banyak terjadi
pemborosan dan membuang-buang harta serta waktu yang tidak ada gunanya dan
tidak kebaikannya sama sekali". (al-Ibda’/324) sedangkan kaidah syar’iyah
mengatakan bahwa suatu yang mubah jika menyebabkan kepada suatu yang diharamkan
maka hukumnya haram.
Seluruh umat islam telah sepakat bahwa
merayakan maulid nabi adalah bid’ah, akan tetapi mereka berbeda pendapat, ada
yang mengatakan bahwa ia adalah bid’ah hasanah, dengan alasan bahwa ada
maslahat yang mungkin bisa diperoleh.
Akan tetapi para ulama yang lain, baik
dahulu maupun sekarang banyak yang berfatwa bahwa merayakan maulid hukumnya
haram, berdasarkan dali-dalil syari’at yang mengharamkan bid’ah dalam masalah
agama, sedangkan perayaan maulid termasuk masalah agama, mereka memandang bahwa
perayaan maulid adalah suatu kesalahan yang pasti, sedangkan kebaikan yang
diharapkan hanya merupakan dugaan. Kemudian perayaan tersebut tidak pernah
dilakukan oleh nabi saw, dan juga para sahabat, para tabi’in, dan juga periode
setelah itu. Dan juga nabi saw tidak membedakan bid’ah ada yang baik dan buruk,
akan tetapi beliau mengatakan: kullu bid’atin dhalaalah: semua bid’ah adalah
kesesatan).
Imam malik berkata: barangsiapa yang
berbuat bid’ah dalam islam dan ia menganggapnya baik, maka ia telah menyangka
bahwa Muhammad saw telah berkhianat terhadap kerasulan, karena Allah swt
berfirman: “pada hari ini aku telah menyempurnakan agamamu”, maka apa yang
tidak termasuk agama pada waktu itu, maka sekarang tidak menjadi agama)
(al-I’tisham karangan as-Syatibi).
Adapun ulama-ulama yang berfatwa bahwa
perayaan maulid itu bid’ah, diantaranya:
Imam Syatibi, beliau menyebutkan di awal
kitabnya al-I’tisham (1/34) dan mengatakan bahwa menjadikan hari kelahiran nabi
saw sebagai ied adalah bid’ah.
Imam al-fakihani dalam bukunya risalah
al-Mufradah hal 8-9.
Ulama India, Abu thayyib syamsul Haq,
begitu pula gurunya al-Allamah Basyiruddin Qanuji yang menulis buku dengan
judul: ghayatul kalam fii ibthalil amalil maulid wal qiyam.
Syaikh al-Allamah Abi Abdillah Muhammad
al-Haffar al-Maliki salah satu ulama maroko berkata: (para salafus shalih yaitu
para sahabat nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka tidak pernah berkumpul
pada malam kelahiran nabi untuk beribadah, dan tidak melakukan sesuatu yang
lebih dari hari-hari biasa, karena nabi saw tidak mengagugkan sesuatu kecuali
yang disyari’atkan oleh Allah swt… (almi’yaar al-mu’rab 7/99).
Syaikh Muhammad shalih al-Utsaimin kt:
(mereka melakukannya dengan alas an mencintai rasulullah saw, dan mereka ingin
mengingat rasulillah saw. Kami katakan kepada mereka: kami senang jika kalian
mencintai nabi saw, dan kami senang jika kalian ingin mengingat nabi saw, akan
tetapi ada ketentuan yang telah ditetapkan olen Yang Maha Bijaksana, dan tuhan
seluruh alam, ada ketentuan dalam mencintai, yaitu firman Allah swt: katakan,
jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah mencintaimu.
Jika seseorang jujur dalam pengakuannya
mencintai Allah dan rasulnya, makan hendaklah mengikuti syari’at Allah, dan
mengikuti apa yang diajarkan oleh nabi saw, jika ia tidak mengikutinya, maka
pengakuan cintanya dusta. Karena neraca ini adalah neraka yang jujur dan adil.
Oleh karena itu mari kita lihat, apakah merayakan kelahiran nabi saw termasuk
syari’at allah? Apakan nabi saw melakukannya? Apakan khulafa’ rasyidin
melakukannya? Apakah para sahabat melakukannya? Apakah para tabi’in
melakukannya? Jelas jawabnya tidak, barangsiapa yang mengatakan sebaliknya,
maka hendaklah memberikan bukti. “katakan, sampaikanlah bukti kalian jika
kalian benar”).
Syaikh DR. Yusuf al-Qardhawi berkata: …
mereka mengatakan bahwa yang membuat-buat perayaan maulid ini adalah Fathimiyah
di mesir, dan dari mesir menyebar ke Negara-negara lain, ada kemungkinan di
balik itu ada tujuan politik tertentu, mereka ingin mengalihkan perhatian
rakyat kepada perayaan maulid ini, sehingga mereka tidak ikut campur memikirkan
urusan politik dan juga masalah-masalah umum lainnya, oleh karena itu kalau ini
dianggap ibadah maka kami berkata: ibadah ini tida pernah diajarkan dan tidak
benar) al-Jazirah.
Syaikh Muhammad al-Ghazali dalam bukunya:
bukan termasuk islam hal 252 kt: bertaqarrub dengan mengadakan perayaan maulid
adalah ibadah yang tidak ada dasarnya, oleh karena itu kita memandang bahwa
semua perayaan ini adalah bid’ah yang ditolak dan tidak bisa dibenarkan..
menghilangkan maulid adalah masalah yang sangat penting baik dari segi agama
maupun dunia ..selain maulid nabi juga peringatan isra’ mi’raj, malam nisfu
sya’ban, lailatul qadar, dan malam awal tahun hijriyah.
Perayaan-perayaan ini telah ditentukan
waktunya, dan mengeluarkan biaya dianggap sebagian syi’ar agama, dan
orang-orang awam telah memberikan perhatian lebih dengan kata-kata dan makanan,
apakan hal itu menolong agama!!.
Ahirnya kita berdoa semoga kita mendapat
kekuatan iman dan ilmu yang bermanfaat sehingga bisa mengamalkan agama dengan
benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Allah dan Rasulnya, dan semoga kita dijaga
dari kesalah pahaman terhadap agama yang bisa menggelincirkan kita dari jalah
yang lurus. Amin.
Yang Mengharamkan Peringatan Maulid Nabi
Bukan Hanya Wahabi
Bukan Hanya Wahabi
Ada yang menyangka bahwa yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi hanyalah
kaum Wahabi saja. Padahal ulama yang jauh hidup dari Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab sudah jauh-jauh mengharamkan. Ditambah lagi para sahabat nabi yang lebih
jauh masanya tidak pernah memperingatinya padahal mereka lebih bersemangat
dalam kebaikan daripada kita.
Pendapat Ulama Ahlus Sunnah Tentang Maulid Nabi
1- Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Ad Dimasqi mengatakan, “Adapun
melaksanakan perayaan tertentu selain dari hari raya yang disyari’atkan (yaitu
Idul Fithri dan Idul Adha) seperti perayaan pada sebagian malam dari bulan
Rabi’ul Awwal (yang disebut dengan malam Maulid Nabi), perayaan pada sebagian
malam Rojab, hari ke-8 Dzulhijjah, awal Jum’at dari bulan Rojab atau perayaan
hari ke-8 Syawal -yang dinamakan orang yang sok pintar (alias bodoh) dengan
‘Idul Abror-; ini semua adalah bid’ah yang tidak dianjurkan oleh para salaf
(sahabat yang merupakan generasi terbaik umat ini) dan mereka juga tidak pernah
melaksanakannya.” (Majmu’ Fatawa, 25/298)
Ibnu Taimiyah hidup jauh dari masa Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab yang
dituduh membawa aliran Wahabi. Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab meninggal tahun
1206 H. Sedangkan Ahmad bin Abdul Halim meninggal dunia tahun 728 H.
2- Muhammad bin ‘Abdus Salam Khodr Asy Syuqairiy membawakan pasal “Di bulan
Rabi’ul Awwal dan Bid’ah Maulid”. Dalam pasal tersebut, beliau rahimahullah
mengatakan, “Bulan Rabi’ul Awwal ini tidaklah dikhusukan dengan shalat, dzikr,
‘ibadah, nafkah atau sedekah tertentu. Bulan ini bukanlah bulan yang di
dalamnya terdapat hari besar Islam seperti berkumpul-kumpul dan adanya ‘ied
sebagaimana digariskan oleh syari’at. … Bulan ini memang adalah hari kelahiran
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sekaligus pula bulan ini adalah waktu
wafatnya beliau. Bagaimana seseorang bersenang-senang dengan hari kelahiran
beliau sekaligus juga kematiannya [?] Jika hari kelahiran beliau dijadikan
perayaan, maka itu termasuk perayaan yang bid’ah yang mungkar. Tidak ada dalam
syari’at maupun dalam akal yang membenarkan hal ini.
Jika dalam maulid terdapat kebaikan, lalu mengapa perayaan ini dilalaikan
oleh Abu Bakar, ‘Umar, Utsman, ‘Ali, dan sahabat lainnya, juga tabi’in dan yang
mengikuti mereka [?] Tidak disangsikan lagi, perayaan yang diada-adakan ini
adalah kelakuan orang-orang sufi, orang yang serakah pada makanan, orang yang
gemar menyiakan waktu dengan permainan sia-sia dan pengagung bid’ah…”
Lalu beliau melanjutkan dengan perkataan yang menghujam, “Lantas faedah apa
yang bisa diperoleh, pahala apa yang bisa diraih dari penghamburan harta yang
memberatkan [?]” (As Sunan
wal Mubtada’at Al Muta’alliqoh Bil Adzkari wash Sholawat, 138-139)
3- Seorang
ulama Malikiyah, Syaikh Tajuddin ‘Umar bin ‘Ali –yang lebih terkenal dengan Al
Fakihaniy- mengatakan bahwa maulid adalah bid’ah madzmumah (bid’ah yang
tercela). Beliau memiliki kitab tersendiri yang beliau namakan “Al Mawrid fil
Kalam ‘ala ‘Amalil Mawlid (Pernyataan mengenai amalan Maulid)”.
Beliau
rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui bahwa maulid memiliki dasar dari
Al Kitab dan As Sunnah sama sekali. Tidak ada juga dari satu pun ulama yang
dijadikan qudwah (teladan) dalam agama menunjukkan bahwa maulid berasal dari
pendapat para ulama terdahulu. Bahkan maulid adalah suatu bid’ah yang
diada-adakan, yang sangat digemari oleh orang yang senang menghabiskan waktu
dengan sia-sia, sangat pula disenangi oleh orang serakah pada makanan. Kalau
mau dikatakan maulid masuk di mana dari lima hukum taklifi (yaitu wajib,
sunnah, mubah, makruh dan haram), maka yang tepat perayaan maulid bukanlah
suatu yang wajib secara ijma’ (kesepakatan para ulama) atau pula bukan sesuatu
yang dianjurkan (sunnah). Karena yang namanya sesuatu yang dianjurkan (sunnah)
tidak dicela orang yang meninggalkannya. Sedangkan maulid tidaklah dirayakan
oleh sahabat, tabi’in dan ulama sepanjang pengetahuan kami. Inilah jawabanku
terhadap hal ini. Dan tidak bisa dikatakan merayakan maulid itu mubah karena
yang namanya bid’ah dalam agama –berdasarkan kesepakatan para ulama kaum
muslimin- tidak bisa disebut mubah. Jadi, maulid hanya bisa kita katakan
terlarang atau haram.” (Al Hawiy Lilfatawa lis Suyuthi, 1: 183)
Perayaan Maulid Nabi Tidak Pernah Dirayakan oleh Para Sahabat
Tidak ada bukti valid jika sahabat mulia, khulafaur Rasyidin misalnya,
merayakan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat saja perkataan
Ibnu Taimiyah yang disebutkan di atas.
Tidak pernah kita melihat adanya riwayat dari Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman atau
‘Ali bin Abi Tholib yang menuntunkan hal tersebut. Padahal para sahabat lebih
bersemangat pada kebaikan daripada kita. Kok bisa sampai ada generasi
belakangan memperingatinya, padahal generasi terbaik umat ini tidak memperingati
kelahiran beliau? Apa kita mau disebut lebih baik dari mereka para sahabat?
Seandainya ada dalil dan bukti dari mereka, tentu para ulama salaf banyak yang
merayakannya karena ada contohnya dari generasi terbaik umat Islam, bahkan kami
pun yang dicap Wahabi akan memeriahkannya. Namun sampai sekarang tidak pernah
didatangkan bukti dalil. Lantas di atas ajaran siapa mereka merayakan?
Lihatlah prinsip ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya
amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk
melakukannya.”
Ibnu
Katsir berkata ketika memafsirkan firman Allah, surat Al Ahqaf ayat 11,
وأما أهل السُّنّة والجماعة فيقولون في كلِّ
فِعلٍ وقولٍ لم يَثبت عن الصحابة: هو بدعة؛ لأنه لو كان خيرًا؛ لَسَبقونا إليه؛
لأنهم لم يتركوا خصلة مِن خصال الخير إلا وقد بادروا إليها”.
“Adapun
para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka berkata pada setiap amalan atau
perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, mereka
menggolongkannya sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu
kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya.” (Lihat Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim karya Ibnu Katsir)
Monggo,
jika ingin mengatakan bahwa yang sering mengkritik maulid Nabi dicap “Wahabi”.
Padahal yang tidak memperingati Maulid Nabi adalah yang berusaha meniti jalan
para sahabat, generasi terbaik umat ini. Law kaana khoiron lasabaqunaa ilaih,
seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka para sahabat akan lebih dahulu
melakukannya. Semua para sahabat tahu membuktikan cinta Rasul adalah mengikuti
tuntunannya dan mereka tidak membuktikan dengan merayakan maulid Nabi.
Semoga
jadi renungan bermanfaat.
Diselesaikan
di Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 11 Rabi’ul Awwal 1435 H
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal
https://muslim.or.id/19583-yang-mengharamkan-peringatan-maulid-nabi-bukan-hanya-wahabi.html
Mengkritisi
Sejarah Perayaan Maulid Nabi
Sesungguhnya kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
ke dunia ini merupakan nikmat yang sangat agung. Bagaimana tidak, dengan
kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berarti lahirlah seorang nabi
yang penuh kasih dan berjasa besar dalam mengeluarkan manusia dari kegelapan
kebodohan masa jahiliah menuju Islam yang keindahan cahayanya dapat kita
rasakan hingga detik ini.
“Sungguh Allah telah menganugerahkan kepada orang-orang
yang beriman yaitu ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari
kalangan mereka yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa)
mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah (As-Sunnah),
padahal sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran :
164).
Oleh karena itu, umat ini hendaknya banyak bersyukur
kepada Allah azza wa jalla atas kelahiran nabi yang mulia tersebut. Namun
demikian bukan berarti kita berlebihan dalam memperlakukan hari kelahirannya
tersebut, atau membuat dongeng-dongeng serta keyakinan-keyakinan yang tidak
berdasar, dan juga membuat ritual-ritual ibadah yang tidak ada bimbingan agama,
karena hal itu bukanlah termasuk ungkapan syukur yang dimaksud dalam agama.
“Berbagai keyakinan yang berlebihan mewarnai hari kelahiran Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, sebagian berkeyakinan bahwa malam kelahiran Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam adalah malam yang paling utama, bahkan lebih utama dari malam
lailatul qadr![1]
Sebagian mereka berkeyakinan pula bahwa hari itu sangat
penuh berkah, sampai bila suatu makanan dibacakan padanya maulid Nabi maka
Allah akan mengampuni orang yang memakannya, dan air yang dibacakan maulid akan
mendatangkan seribu cahaya dan rahmat serta mengeluarkan seribu kegelapan!!
Sebagian lagi berkeyakinan bahwa rumah yang dibacakan maulid di dalamnya maka
akan tercegah dari mara bahaya, bila meninggal dunia maka Allah akan
memudahkannya untuk menjawab pertanyaan Munkar Nakir!!” [2]
Lebih parahnya, mereka menyebarkan beberapa hadits palsu
tentang anjuran dan keutamaan perayaan maulid Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam. Berikut ini pembahasan hadits yang tersohor tersebut ditinjau dari
segi sanad dan matan-nya.
TEKS HADITS
“Barangsiapa yang merayakan hari kelahiranku, maka aku
akan menjadi pemberi syafaatnya di hari kiamat. Dan barangsiapa yang
menginfakkan satu dirham untuk maulidku maka seakan-akan dia telah menginfakkan
satu gunung emas di jalan Allah.”
Perkatan serupa juga dinisbatkan kepada sahabat Abu Bakr,
Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana dalam
kitab Madarij ash-Shu’udh hal.15 karya Syaikh Nawawi Banten.[3] Bahkan juga
dinisbatkan kepada Hasan al-Bashri, Ma’ruf al-Karkhi, al-Junaid dan lainnya
sebagaimana dalam Hasyiyah I’anah Tholibin: 3/571-572 karya Abu Bakr Syatho
TIDAK ADA ASALNYA. Sejak awal kali mendengar ucapan yang
dianggap hadits ini, hari penulis langsung mengingkarinya karena bagaimana
mungkin hadist ini shohih, sedangkan maulid tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya?!!
Akan tetapi penulis ingin memperkuat pendapatnya dengan
perkataan ulama, maka penulis pun membolak-balik kitab-kitab hadits, namun
tidak menjumpainya barang satu pun, baik dalah kitab-kitab hadits yang shohih,
dho’if, maupun maudhu’ (palsu). Alhamdulillah, penulis sempat menanyakan kepada
Syaikhuna Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman hafizhahullah.[4] Jawaban
beliau:
“Ini merupakan kedustaan kepada Rasulullah yang hanya
dibuat-buat oleh para ahlul bid’ah.”
Kepada saudara-saudara kami yang berhujjah dengan hadits
ini, kami katakan: “Dengan tidak mengurangi penghormatan kami, datangkan kepada
kami sanad hadits ini agar kami mengetahuinya!!”.
Singkat kata, hadits tersebut di atas adalah dusta, tidak
berekor dan berkepala (yakni: tanpa sanad). Aneh dan lucunya, setelah itu ada
seseorang yang melariskan hadits tersebut dengan berkata: “Walaupun hadits ini
lemah, tetapi bisa dipakai dalam Fadhoilul A’mal.” Hanya kepada Allah azza wa
jalla kita mengadu dari kejahilan manusia di akhir zaman!![5]
Sejarah Perayaan Maulid Nabi
Adapun dari segi matan hadits, bagaimana hadits ini
shohih padahal perayaan maulid nabi tidaklah dikenal pada zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Bahkan hal tersebut juga tidak dikenal di kalangan imam-imam mazhab: Abu
Hanifah, Malik, Ahmad dan Syafi’i sekalipun karena memang perayaan ini adalah
perkara baru dalam agama. Adapun orang yang pertama kali mengadakannya adalah
Bani Ubaid al-Qoddakh yang menamai diri mereka dengan “Fathimiyyun”. Mereka
memasuki kota Mesir tahun 362 H. Berakar dari sinilah kemudia mulai tumbuh dan
berkembang bentuk-bentuk perayaan maulid secara umum dan maulid nabi secara
khusus.
Al-Imam Ahmad bin Ali al-Maqrizi rahimahullah -seorang
ulama ahli sejarah- mengatakan: “Para kholifah Fathimiyyun[6] mempunyai
perayaan yang bermacam-macam tiap tahunnya. Yaitu perayaan tahun baru, perayaan
Asyura’, maulid Hasan, maulid Husain, maulid Fathimah az-Zahro dan maulid
kholifah, perayaan awal bulan Rojab, Nisfu Sya’ban, awal Ramadhan, pertengahan
Ramadhan dan penutupan Ramadhan…”[7]
Mereka adalah orang-orang dari daulah Ubaidiyyah yang
berakidah Bathiyyah, merekalah yang dikatakan oleh imam al-Ghazali
rahimahullah: “Mereka menampakkan sebagai orang Rofidhah Syi’ah, padahal
sebenarnya mereka adalah murni orang kafir.” [8]
Pendapat yang mengatakan bahwa Banu Ubaid tersebut adalah
pencetus pertama perayaan maulid ditegaskan oleh al-Maqrizi rahimahullah dalam
al-Khuthoth: 1/280, al-Qolqosynadi dalam Shubhul A’sya: 3/398, as-Sandubi dalam
Tarikh Ihtifal bil Maulid hal.69, Muhammad Bukhait al-Muthi’i dalam Ahsanul
Kalam hal.44, Ali Fikri dalam Muhadhorot beliau hal.84, serta Ali Mahfuzh dalam
al-Ibda’ hal.126.[9]
Dan orang yang pertama merayakan maulid ini di Iraq ialah
Syaikh al-Mushil Umar Muhammad al-Mula pada abad ke enam dan kemudian diikuti
oleh Raja Mudhafir Abu Sa’id Kaukaburi (Raja Irbil) pada abad ke tujuh dengan
penuh kemegahan.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam biografi Abu
Sa’id berkata: “Dia merayakan peringatan maulid nabi di bulan Rabi’ul Awal
dengan amat mewah.
As-Sibt berkata: “Sebagian orang yang hadir disana
menceritakan bahwa dalam hidangan Raja Mudhoffir disiapkan lima ribu daging
panggang, sepuluh ribu daging ayam, seratus ribu gelas susu, dan tiga puluh
ribu piring makanan ringan…” Hingga beliau (Ibnu Katsir) rahimahullah berkata:
“Perayaan tersebut dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dan orang-orang sufi (betapa
serupanya perbuatan orang-orang dahulu dengan sekarang -pent). Sang raja pun
menjamu mereka, bahkan bagi orang sufi ada acara khusus, yaitu bernyanyi
dimulai waktu dzuhur hingga Fajar, dan raja pun ikut berjoget bersama mereka.”
[10]
Ibnu Khollikan juga berkata: “Bila tiba awal bulan Shofar,
mereka menghiasi kubah-kubah dengan aneka hiasan yang indah dan mewah. Pada
setiap kubah ada sekumpulan penyanyi, ahli menunggang kuda, dan pelawak. Pada
hari-hari itu manusia libur kerja karena ingin bersenang-senang ditempat
tersebut bersama para penyanyi… Dan bila maulid kurang dua hari, raja
mengeluarkan unta, sapi, dan kambing yang tak terhitung jumlahnya, dengan
diiringi suara terompet dan nyanyian sampai tiba dilapangan.” Hingga beliau
(Ibnu Khollikan) berkata, “Dan pada malam maulid, raja mengadakan nyanyian
setelah sholat magrib di benteng.”
Demikianlah sejarah awal mula perayaan maulid nabi yang
penuh dengan huru-hara, pemborosan dan kemaksiatan. Na’udzubillahi.
Setelah keterangan diatas, maka terdapat perkara aneh bin
ajaib di negeri kita yaitu tersebarnya keyakinan di sebagian kaum muslimin,
bahwa yang pertama kali mengadakan acara maulid nabi adalah Sholahuddin
al-Ayyubi rahimahullah ketika perang Salib yang hal tersebut dilakukan untuk
menyemangati kaum muslimin tatkala melawan pasukan kafir. Ini adalah sebuah
kebohongan, karena yang pertama kali membuat bid’ah ini adalah orang-orang
Bathiniyyah dari kerajaan Ubaidiyyah yang mereka menamakan atau
mengistilahkannya dengan daulah Fathimiyyah.[12]
Bahkan kami katakan hal ini merupakan pemutarbalikan
fakta sejarah, sebab Sholahuddin al-Ayyubi rahimahullah dikenal berupaya untuk
menghancurkan Ubaidiyyah, dan Ubaidiyyah juga sangat tidak suka kepada
Sholahuddin al-Ayyubi rahimahullah. Bahkan mereka berusaha untuk membunuh
beliau beberapa kali. [13]
Barangsiapa yang mempelajari sejarah, niscaya dia akan
dapat memastikan bahwa Sholahuddin al-Ayyubi rahimahullah adalah seorang raja
dan panglima Islam yang telah melenyapkan perayaan maulidan dari permukaan
negeri kaum muslimin. Sedangkan mereka yang mengatakan sebaliknya bahwa
Sholahuddin rahimahullah adalah seseorang yang telah memarakkan maulidan, maka
pernyataan tersebut tidak memiliki bukti sama sekali.” [14]
Semoga hakekat sejarah ini menyadarkan kita kan kelalaian
dan ketertipuan kita selama ini sehingga kembali pada jalan yang lurus. Wallahu
A’lam.
Perayaan Maulid Nabi Tidak Diamalkan Kaum Salaf
Hal yang menambah keyakinan kita akan bathilnya hadits
dan atsar-atsar tentang perayaan maulid ini adalah bahwa para sahabat dan para
generasi utama yang dipuji oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah
mengamalkan acara ini.
“Khoirunnaasi qornii [Sebaik-baik manusia adalah
masaku].” [HR.Bukhari 3651, Muslim 2533] [15]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Demikian pula apa yang diada-adakan oleh sebagian manusia tentang perayaaan
hari kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal ulama telah
berselisih tentang (tanggal) kelahirannya. Semua ini tidak pernah dikerjakan
oleh generasi salaf (sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in)…dan seandainya hal
itu baik, tentu para salaf lebih berhak mengerjakannya daripada kita. karena
mereka jauh lebih cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mereka
lebih bersemangat dalam melaksanakan kebaikan.
Sesungguhnya mencintai Rosul shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah dengan mengikuti beliau, menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnahnya
secara dzohir dan batin, menyebarkan ajarannya dan berjihad untuk itu semua,
baik dengan hati, tangan ataupun lisan. Karena inilah jalan para generasi utama
dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
kebaikan.”[16]
Syaikh Zhohiruddin Ja’far at-Tizmanti rahimahullah (682
H) berkata: “Perayaan ini tidak pernah ada di generasi pertama salafush shalih,
padahal mereka adalah generasi yang paling cinta dan mengagungkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam lebih jauh daripada pengagungan kita.” [17]
al-Ustadz Muhammad al-Haffar rahimahullah (811 H) juga
berkata: “Pada malam maulid tidaklah para salafush shalih dari sahabat dan
tabi’in berkumpul untuk ibadah dan melakukan ritual lebih dari hari-hari
lainnya, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah diagungkan
kecuali dengan cara yang dicontohkan.” Lanjutnya: “Setiap kebaikan adalah
dengan mengikuti salafush shalih yang telah Allah azza wa jalla pilih mereka,
apa yang mereka lakukan maka kita lakukan dan apa yang mereka tinggalkan maka
kita tinggalkan. Apabila telah jelas hal ini, maka perkumpulan pada malam itu
bukanlah disyariatkan tetapi malah diperintahkan untuk ditinggalkan.” [3]
Hal ini sangat menunjukkan bahwa salafush shalih tidak
merayakan perayaan maulid ini adalah perselisihan mereka tentang penentuan
tanggal hari kelahirannya hingga menjadi tujuh pendapat, setelah mereka
bersepakat bahwa hari kelahirannya adalah hari senin dan mayoritas mereka
menguatkan bulannya adalah bulan Robi’ul Awal. Seandainya pada hari
kelahirannya disyariatkan tentang perayaan ini, niscaya para sahabat akan
menentukan dan perhatian tentang penentuan hari kelahiran Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dan tentunya akan menjadi perkara yang masyhur di kalangan
mereka. [18]
Akhirnya, kita memohon kepada Allah azza wa jalla agar
dijadikan hamba-hamba-Nya yang mencintai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam arti yang sesungguhnya.
Penulis: Ustadz Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
hafizhahullah
Note:
[1] Al-Allamah Ali al-Qori (1014 H) telah membantah
keyakinan ini dalam kitabnya al-Maurid ar-Rowi hal.97: “Keutamaan ini tidak
lain karena ibadah pada saat itu lebih utama. Dan dengan ketegasan al-Qur’an
malam Lailatul Qadr lebih baik daripada seribu bulan, sedangkan keutamaan
seperti itu tidak ditemukan pada malam kelahiran Nabi Muhammad, baik dari
al-Qur’an, hadits atau keterangan salah seorang ulama umat ini.” [Dari al-Hukmul
Haq fil Ihtifal bi Maulid Sayyidil Kholq hal.15 oleh Syaikhuna Ali bin Hasan
al-Halabi]
[2] Lihat Mafahin Yazibu ‘an Tushohhah, al-Maliki
hal.120, Faidhul Wahhab, al-Qolyubi: 5/114-116, dari at-Tabarruk Anwa’uhu wa
Ahkamuhu, Dr.Nashir al-Judai’ hal.359-360
[3] Lihat Hadits-Hadits Bermasalah, Prof.Ali Musthofa
Ya’qub hal.102
[4] Beliau adalah salah seorang murid Imam ahli hadits
besar, al-Albani, yang sudah beberapa kali pernah berkunjung ke Indonesia dalam
rangka dakwah. Pertanyaan ini saya tanyakan kepada beliau pada hari Rabu 6
Muharrom 1423 H, sebelum shalat Dhuhur di masjid al-Irsyad, Surabaya
[5] Kemudian saya mendapati dalam kitab Tahdzirul
Muslimin Minal Ahadits al-Maudhu’ah ‘ala Sayyidil Mursalin hal.87 oleh Muhammad
al-Basyir al-Azhari, beliau mengatakan: “Di antara hadits-hadits yang banyak
berbau dusta adalah kisah-kisah tentang maulid nabi.”
[6] Penamaan Banu Ubaid al-Qoddah dengan Fathimiyyun
terlalu toleransi, karena sebagaimana kata al-Hafizh as-Suyuthi bahwa mereka
bukan Quraisy, yang menamai mereka Fathimiyyun hanyalah orang awam yang jahil,
kakek mereka adalah Majusi. Adz-Dzahabi berkata: “Para ulama pakar bersepakat
bahwa Ubaidullah al-Mahdi bukanlan Alawi.” Kebanyakan mereka adalah kaum zindiq
yang keluar dari Islam, di antara mereka ada yang terang-terangan mencela para
Nabi, membolehkan khomr, memerintah untuk sujud kepadanya, yang paling bagus di
antara mereka adalah Rofidhoh yang hina…” [Lihat Tarikhul Khulafa hal.4]
[7] Al-Mawaidz wal I’tibar bi Dzikril Khuthothi wal
Atsar: 1/490
[8] Fadhoih al-Bathiniyyah hal.37
[9] Lihat al-Qoulul Fashl fi Hukmi al-Ihtifal bi Maulid
Khoirir Rusul, Syaikh Ismail al-Anshori hal.451-462
[10] al-Bidayah wa Nihayah: 13:137
[11] Wafayatul A’yan: 4/117-118
[12] Al-Furqon Edisi 8 / Th.7, Robi’ul
Awwal 1429 H, Hal.58
[13] Lihat buku “Sholahuddin Ayyubi wa
Juhuduhu fil Qodho’ ala Daulah Fathimiyyah wa Tahrir Baitil Maqdis”
(Sholahuddin Ayyubhi dan Usaha-Usahanya Untuk Menghancurkan Daulah Fathimiyyah
dan Membebaskan Baitul Maqdis) karya Dr.Ali Muhammad ash-Sholabi, dan tulisan
Syaikh Muhammad ar-Rohil “Juhud Sholahuddin Ayyubi fi ihya’ Madzhab Sunni fi
Mesir wa Syam (Usaha-Usaha Sholahuddin Ayyubi dalam Menghidupkan Paham Sunni Di
Mesir dan Syam), yang dimuat dalam Majalah al-Hikmah edisi 12, Shofar 1418 H,
hal.297-324.
[14] Benarkah Sholahuddin al-Ayyubi
Merayakan Maulid Nabi? hal.58-59 oleh Akhuna al-Ustadz Ibnu Saini bin Muhammad
[15] Hadits ini mutawatir sebagaimana
ditegaskan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Ishobah: 1/8. Perlu dicatat di
sini bahwa hadits di atas masyhur dengan lafadz khoirul quruuni qornii, padahal
lafadz ini tidak ada dalam kitab-kitab hadits, sebagaimana dikatakan Syaikh
al-Albani dalam Ta’liqnya terhadap at-Tankil: 2/223
[16] Iqtidho’ Shiratil Mustaqim:
2/123-124
[17] Dinukil oleh Syaikh ash-Sholihi
dalam as-Siroh asy-Syamiyah: 1/411-422
[18] al-Mi’yar al-Mu’arrob: 7/199-101,
sebagaimana dalam al-Hukmul Haq fi Ihtifal bi Maulid Sayyidil Kholq hal.14-15
oleh Syaikh Ali Hasan al-Halabi
[19] Lihat keterangan lebih terperinci
lagi masalah ini dalam buku kami Polemik Peringatan Maulid Nabi cet. Pustaka
Nabawi
Sumber: diketik ulang dari Majalah al
Furqon Edisi 7, Tahun Kesembilan, Shofar 1431 H, Jan-Feb 2010 Hal.13-15 &
27.
Semoga bermanfaat bagi kami dan kaum
muslimin..
Dipublikasikan kembali oleh : Al Qiyamah
– Moslem Weblog
Benarkah Sholahuddin
al-Ayyubi Pencetus
Perayaan Maulid Nabi?
Perayaan Maulid Nabi?
Oleh : Ustadz Ahmad Sabiq bin Abdul Latif Abu Yusuf
hafidzahullah
Alkisah
Ada sebuah kisah yang cukup masyhur di negeri nusantara
ini tentang peristiwa pada saat menjelang Perang Salib. Ketika itu kekuatan kafir
menyerang negeri Muslimin dengan segala kekuatan dan peralatan perangnya. Demi
melihat kekuatan musuh tersebut, sang raja muslim waktu itu, Sholahuddin
al-Ayyubi, ingin mengobarkan semangat jihad kaum muslimin. Maka beliau membuat
peringatan maulid nabi. Dan itu adalah peringatan maulid nabi yang pertama kali
dimuka bumi.
Begitulah cerita yang berkembang sehingga yang dikenal
oleh kaum Muslimin bangsa ini, penggagas perayaan untuk memperingati kelahiran
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ini adalah Imam Sholahuddin al Ayyubi.
Akan tetapi benarkah cerita ini? Kalau tidak, lalu siapa sebenarnya pencetus
peringatan malam maulid nabi? Dan bagaimana alur cerita sebenarnya?
Kedustaan Kisah Ini
Anggapan bahwa Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah pencetus
peringatan malam maulid nabi adalah sebuah kedustaan yang sangat nyata. Tidak
ada satu pun kitab sejarah terpercaya –yang secara gamblang dan rinci
menceritakan kehidupan Imam Sholahuddin al Ayyubi- menyebutkan bahwa beliau lah
yang pertama kali memperingati malam maulid nabi.
Akan tetapi, para ulama ahli sejarah justru menyebutkan
kebalikannya, bahwa yang pertama kali memperingati malam maulid nabi adalah
para raja dari Daulah Ubaidiyyah, sebuah Negara (yang menganut keyakinan)
Bathiniyyah Qoromithoh meskipun mereka menamakan dirinya sebagai Daulah
Fathimiyyah. Merekalah yang dikatakan oleh Imam al Ghozali: “Mereka adalah
sebuah kaum yang tampaknya sebagai orang Syiah Rafidhah padahal sebenarnya
mereka adalah orang-orang kafir murni.” Hal ini dikatakan oleh al Miqrizi dalam
al-Khuthoth: 1/280, al Qolqosyandi dalam Shubhul A’sya: 3/398, as Sandubi dalam
Tarikh Ihtifal Bil Maulid hal.69, Muhammad Bukhoit al Muthi’I dalam Ahsanul
Kalam hal.44, Ali Fikri dalam Muhadhorot beliau hal.84, Ali Mahfizh dalam al
‘Ibda’ hal.126.
Imam Ahmad bin Ali al Miqrizi berkata: “Para kholifah
Fathimiyyah mempunyai banyak perayaan setiap tahunnya. Yaitu perayaan tahun
baru, perayaan hari asyuro, perayaan maulid nabi, maulid Ali bin Abi Tholib,
maulid Hasan, maulid Husein, maupun maulid Fathimah az Zahro’, dan maulid
kholifah. (Juga ada) perayaan awal Rojab, awal Sya’ban, nisfhu Sya’ban, awal
Romadhon, pertengahan Romadhon, dan penutup Ramadhon…” [al Mawa’izh:1/490]
Kalau ada yang masih mempertanyakan: bukankah tidak hanya
ulama yang menyebutkan bahwa yang pertama kali membuat acara peringatan maulid
nabi ini adalah raja yang adil dan berilmu yaitu Raja Mudhoffar penguasa daerah
Irbil?
Kami jawab: Ini adalah sebuah pendapat yang salah
berdasarkan yang dinukil oleh para ulama tadi. Sisi kesalahan lainnya adalah
bahwa Imam Abu Syamah dalam al Ba’its ‘Ala Inkaril Bida’ wal h\Hawadits hal.130
menyebutkan bahwa raja Mudhoffar melakukan itu karena mengikuti Umar bin
Muhammad al Mula, orang yang pertama kali melakukannya. Hal ini juga disebutkan
oleh Sibt Ibnu Jauzi dalam Mir’atuz Zaman: 8/310. Umar al Mula ini adalah salah
seorang pembesar sufi, maka tidaklah mustahil kalau Syaikh Umar al Mula ini
mengambilnya dari orang-orang Ubaidiyyah.
Adapun klaim bahwa Raja Mudhoffar sebagai raja yang adil,
maka urusan ini kita serahkan kepada Allah akan kebenarannya. Namun, sebagian
ahli sejarah yang sezaman dengannya menyebutkan hal yang berbeda. Yaqut al
Hamawi dalam Mu’jamul Buldan 1/138 berkata: “Sifat raja ini banyak
kontradiktif, dia sering berbuat zalim, tidak memperhatikan rakyatnya, dan
senang mengambil harta mereka dengan cara yang tidak benar.” [lihat al Maurid
Fi ‘Amanil Maulid kar.al Fakihani – tahqiq Syaikh Ali- yang tercetak dalam
Rosa’il Fi Hukmil Ihtifal Bi Maulid an Nabawi: 1/8]
Alhasil, pengingatan maulid nabi pertama kali dirayakan
oleh para raja Ubaidiyyah di Mesir. Dan
mereka mulai menguasai Mesir pada tahun 362H. Lalu yang pertama kali
merayakannya di Irak adalah Umar Muhammad al Mula oleh Raja Mudhoffar pada abad
ketujuh dengan penuh kemewahan.
Para sejarawan banyak menceritakan kejadian itu,
diantaranya al Hafizh Ibnu Katsir dalam Bidayah wan Nihayah: 13/137 saat
menyebutkan biografi Raja Mudhoffar berkata: “Dia merayakan maulid nabi pada
bulan Robi’ul Awal dengan amat mewah. As Sibt berkata: “Sebagian orang yang
hadir disana menceritakan bahwa dalam hidangan Raja Mudhoffar disiapkan lima
ribu daging panggang, sepuluh ribu daging ayam, seratus ribu gelas susu, dan
tiga puluh ribu piring makanan ringan…”
Imam Ibnu Katsir juga berkata: “Perayaan tersebut
dihadiri oleh tokoh-tokoh agama dan para tokoh sufi. Sang raja pun menjamu
mereka, bahkan bagi orang sufi ada acara khusus, yaitu bernyanyi dimulai waktu
dzuhur hingga fajar, dan raja pun ikut berjoget bersama mereka.”
Ibnu Kholikan dalam Wafayat A’yan 4/117-118 menceritakan:
“Bila tiba awal bulan Shofar, mereka menghiasi kubah-kubah dengan aneka hiasan
yang indah dan mewah. Pada setiap kubah ada sekumpulan penyanyi, ahli
menunggang kuda, dan pelawak. Pada hari-hari itu manusia libur kerja karena
ingin bersenang-senang ditempat tersebut bersama para penyanyi. Dan bila maulid
kurang dua hari, raja mengeluarkan unta, sapi, dan kambing yang tak terhitung
jumlahnya, dengan diiringi suara terompet dan nyanyian sampai tiba dilapangan.”
Dan pada malam mauled, raja mengadakan nyanyian setelah sholat magrib di
benteng.”
Setelah penjelasan diatas, maka bagaimana dikatakan bahwa
Imam Sholahuddin al Ayyubi adalah penggagas maulid nabi, padahal fakta sejarah
menyebutkan bahwa beliau adalah seorang raja yang berupaya menghancurkan Negara
Ubaidiyyah. [1]
Siapakah Gerangan Sholahuddin al Ayyubi [2]
Beliau adalah Sultan Agung Sholahuddin Abul Muzhoffar
Yusuf bin Amir Najmuddin Ayyub bin Syadzi bin Marwan bin Ya’qub ad Duwini.
Beliau lahir di Tkrit pada 532 H karena saat itu bapak beliau, Najmuddin,
sedang menjadi gubernur daerah Tikrit.
Beliau belajar kepada para ulama zamannya seperti Abu
Thohir as Silafi, al Faqih Ali bin Binti Abu Sa’id, Abu Thohir bin Auf, dan
lainnya.
Nuruddin Zanki (raja pada saat itu) memerintah beliau
untuk memimpin pasukan perang untuk masuk Mesir yang saat itu di kuasai oleh
Daulah Ubaidiyyah sehingga beliau berhasil menghancurkan mereka dan menghapus
Negara mereka dari Mesir.
Setelah Raja Nuruddin Zanki wafat, beliau yang menggantikan
kedudukannya. Sejak menjadi raja beliau tidak lagi suka dengan kelezatan dunia.
Beliau adalah seorang yang punya semangat tinggi dalam jihad fi sabilillah,
tidak pernah didengar ada orang yang semisal beliau.
Perang dahsyat yang sangat monumental dalam kehidupan
Sholahuddin al Ayyubi adalah Perang Salib melawan kekuatan kafir salibis.
Beliau berhasil memporak porandakan kekuatan mereka, terutama ketika perang di
daerah Hithin.
Muwaffaq Abdul Lathif berkata: “Saya pernah datang kepada
Sholahuddin saat beliau berada di Baitul Maqdis (Palestina, red), ternyata
beliau adalah seorang yang sangat dikagumi oleh semua yang memandangnya,
dicintai oleh siapapun baik orang dekat maupun jauh. Para panglima dan
prajuritnya sangat berlomba-lomba dalam beramal kebaikan. Saat pertama kali aku
hadir di majelisnya, ternyata majelis beliau penuh dengan para ulama, beliau
banyak mendengarkan nasihat dari mereka.”
Adz Dzahabi berkata: “Keutamaan Sholahuddin sangat
banyak, khususnya dalam masalah jihad. Beliau pun seorang yang sangat dermawan
dalam hal memberikan harta benda kepada para pasukan perangnya. Beliau
mempunyai kecerdasan dan kecermatan dalam berfikir, serta tekad yang kuat.”
Sholahuddin al Ayyubi wafat di Damaskus setelah subuh
pada hari Rabu 27 Shofar 589 H. Masa pemerintahan beliau adalah 20 tahun lebih.
Note:
[1] Untuk lebih lengkapnya tentang sejarah peringatan
maulid nabi dan hokum memperingatinya, silahkan dilihat risalah Akhuna al-
Ustadz Abu Ubaidah “Polemik Perayaan Maulid Nabi”
[2] Disarikan dari Siyar A’lamin Nubala’: 15/434 no.5301
Sumber:
Diketik ulang dari Majalah al Furqon Edisi 09 Thn.XIII,
Robi’uts Tsani 1430/April 2009, Hal.57-58
Yang Pertama Kali Mengadakan
MAULID Adalah Orang Syiah
Siapa Yang Pertama Kali Merayakan Maulid Nabi
Perayaan Maulid Nabi Adalah Produk Syi’ah
Sejarah peringatan maulid
Seluruh ulama sepakat bahwa maulid Nabi tidak pernah diperingati pada masa
Nabi shallallahu `alaihi wasallam hidup dan tidak juga pada masa khulafaur
rasyidin.
Lalu kapan dimulainya peringatan maulid Nabi dan siapa yang pertama kali
mengadakannya?
Al Maqrizy (seorang ahli sejarah islam) dalam bukunya “Al khutath”
menjelaskan bahwa maulid Nabi mulai diperingati pada abad IV Hijriyah oleh
Dinasti Fathimiyah di Mesir.
Dinasti Fathimiyah mulai menguasai
mesir pada tahun 362 H dengan raja pertamanya Al Muiz lidznillah, di awal tahun
menaklukkan Mesir dia membuat enam perayaan hari lahir sekaligus; hari lahir (
maulid ) Nabi, hari lahir Ali bin Abi Thalib, hari lahir Fatimah, hari lahir
Hasan, hari lahir Husein dan hari lahir raja yang berkuasa.
Kemudian pada tahun 487 H pada masa pemerintahan Al Afdhal peringatan enam
hari lahir tersebut dihapuskan dan tidak diperingati, raja ini meninggal pada
tahun 515 H.
Pada tahun 515 H dilantik Raja yang baru bergelar Al amir liahkamillah, dia
menghidupkan kembali peringatan enam maulid tersebut, begitulah seterusnya
peringatan maulid Nabi shallallahu `alaihi wasallam yang jatuh pada bulan
Rabiul awal diperingati dari tahun ke tahun hingga zaman sekarang dan meluas
hampir ke seluruh dunia.
Hakikat Dinasti Fathimiyah
Abu Syamah (ahli hadist dan tarikh wafat th 665 H) menjelaskan dalam
bukunya “Raudhatain” bahwa raja pertama dinasti ini berasal dari Maroko dia
bernama Said, setelah menaklukkan Mesir dia mengganti namanya menjadi
Ubaidillah serta mengaku berasal dari keturunan Ali dan Fatimah dan pada
akhirnya dia memakai gelar Al Mahdi. Akan tetapi para ahli nasab menjelaskan
bahwa sesungguhnya dia berasal dari keturunan Al Qaddah beragama Majusi,
pendapat lain menjelaskan bahwa dia adalah anak seorang Yahudi yang bekerja
sebagai pandai besi di Syam.
Dinasti ini menganut paham Syi’ah Bathiniyah; diantara kesesatannya adalah
bahwa para pengikutnya meyakini Al Mahdi sebagai tuhan pencipta dan pemberi
rezeki, setelah Al Mahdi mati anaknya yang menjadi raja selalu mengumandangkan
kutukan terhadap Aisyah istri Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam di
pasar-pasar.
Kesesatan dinasti ini tidak dibiarkan begitu saja, maka banyak ulama yang
hidup di masa itu menjelaskan kepada umat akan diantaranya Al Ghazali menulis
buku yang berjudul “Fadhaih bathiniyyah (borok aqidah Bathiniyyah)” dalam buku
tersebut dalam bab ke delapan beliau menghukumi penganutnya telah kafir ,
murtad serta keluar dari agama islam.
Dinasti Fathimiyah sendiri diruntuhkan oleh Shalahuddin Al Ayyubi,oleh
karena itu Syi’ah menyimpan dendam kepada Shalahuddin dan sampai sekarang
berambisi mengembalikan kejayaan dinasti Fathimiyah di Mesir.
Hukum Perayaan Maulid Nabi
Sebenarnya, dengan mengetahui asal muasal perayaan maulid yang dibuat oleh
sebuah kelompok sesat tidak perlu lagi dijelaskan tentang hukumnya. Karena saya
yakin bahwa seorang muslim yang taat
pasti tidak akan mau ikut merayakan perhelatan sesat ini.
Akan tetapi mengingat bahwa sebagian orang masih ragu akan kesesatan perayaan
ini maka dipandang perlu menjelaskan beberapa dalil ( argumen ) yang menyatakan
haram hukumnya merayakan hari maulid Nabi shallallahu `alaihi wasallam.
Diantara dalilnya:
1.Allah taala berfirman:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (Q.S. Al
Maidah: 3 ).
Ayat di atas menjelaskan bahwa agama islam telah sempurna tidak boleh
ditambah dan dikurangi, maka orang yang mengadakan perayaan maulid Nabi yang
dibuat setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam wafat berarti menetang
ayat ini dan menganggap agama belum sempurna masih perlu ditambah. Sungguh
peringatan maulid bertentangan dengan ayat di atas.
2.Sabda Nabi shallallahu `alaihi wasallam :
“Hindarilah amalan yang tidak ku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah
menyesatkan”. (HR. Abu Daud dan Tarmizi).
Peringatan maulid Nabi tidak pernah dicontohkan Nabi, berarti itu adalah
bi’dah, dan setiap bi’dah adalah sesat, berarti maulid peringatan Nabi adalah
perbuatan sesat.
3.Sabda Nabi shallallahu `alaihi wasallam:
“Barang siapa yang meniru tradisi
suatu kaum maka dia adalah bagian dari kaum tersebut”. (HR. Abu Daud).
Tradisi peringatan hari lahir Nabi
Muhammad meniru tradisi kaum Nasrani merayakan hari kelahiran Al Masih (disebut
dengan hari natal) , maka orang yang melakukan peringatan hari kelahiran Nabi
tidak ubahnya seperti kaum Nasrani -wal ‘iyazubillah-.
4.Orang yang mengadakan perayaan maulid Nabi yang tidak pernah diajarkan
Nabi sesungguhnya dia telah menuduh Nabi telah berkhianat dan tidak
menyampaikan seluruh risalah yang diembannya.
Imam Malik berkata,” orang yang membuat suatu bidah dan dia menganggapnya
adalah suatu perbuatan baik, pada hakikatnya dia telah menuduh Nabi berkhianat
tidak menyampaikan risalah.
Setelah membaca artikel ini, berdoalah kepada Allah agar diberi hidayah
untuk bisa menerima kebenaran dan diberi kekuatan untuk dapat mengamalkannya
dan jangan terpedaya dengan banyaknya orang yang melakukannya seperti firman
Allah:
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah
mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap
Allah) (Q.S. Al An’aam: 116 ).
Dikutip dari: Al Ihtifal bil Maulidi An Nabawi Abra At Tarikh karya Nashir Muhammad Al Hanin.
sumber :
Benarkah
yang merayakan ‘maulid nabi’ pertama kali adalah raja al-muzhaffar, penguasa
kota irbil?!
Diedarkan sebuah tulisan, bahwa yang
pertama kali mengadakan peringatan Maulid Nabi adalah Raja Abu Sa’id
al-Muzhaffar Penguasa Irbil, wafat tahun 184 H!! Propaganda dengan mengatasnamakan
sejarah ini perlu dijawab, Bahwa tidak benar Raja al-Muzhaffar tersebut wafat
pada tahun 184 H. Namun yang benar adalah dia lahir tahun 549, wafat tahun 630
H!! Yakni wafat pada abad ke-7 hijriah. Bahwa yang pertama kali MEMBUAT
perayaan ‘Maulid Nabi’ adalah kerajaan Bani Ubaidiyyah (yang menamakan dirinya
Bani Fathimiyyah) di Mesir, yang berkuasa pada 362 – 567 H.
Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh para
pakar sejarah. Di antaranya oleh Taqiyyuddin al-Miqrizi, dalam kitabnya yang
berjudul “al-Mawa’izh wa al-i’tibar bi Dzikri al-Khuthath wa al-Aatsaar”. Pada
1/490, al-Miqrizi mengatakan, “Para Khalifah Dinasti Fathimiyyah memiliki
banyak hari raya dan peringatan sepanjang tahun. Yaitu :
– Peringatan Awal Tahun,
– Hari Asyura
– Maulid Nabi — shallallahu alaihi wa
sallam —
– Maulid Ali bin Abi Thalib
– Maulid al-Hasan
– Maulid al-Husein
– Maulid Fathimah az-Zahra
– Maulid Khalifah yang sedang berkuasa
– Malam awal Rajab
– Malam Nishfu Rajab
– Malam awal Sya’ban
– Malam Nishfu Sya’ban
….. dst.” demikian keterangan dari al-Miqrizi
Jadi, Perayaan Maulid Nabi yang pertama kali mengadakan
adalah Dinasti Ubaidiyyah.
Tahukah Anda siapakah Bani/Dinasti Ubaidiyyah (yang
menamakan diri sebagai Dinasti Fathimiyyah) ini? Mereka adalah berpaham Syi’ah
Rafidhah. Mereka telah :
• Mencela para nabi
• Mencela dan benci terhadap para shahabat
• Mencela para salaf.
Seorang ‘ulama ahli sejarah, al-Imam Adz-Dzahabi
rahimahullah telah menegaskan tentang Daulah Ubaidiyyah, “Mereka (Daulah
Ubaidiyyah) membalik Islam, menampakkan (manhaj) Rafidhah, dan menyembunyikan
madzhab Isma’iliyyah (salah satu sekte ekstrim dalam Syi’ah, pen).” Al-Qadhi
‘Iyadh berkata tentang Daulah Ubaidiyyah, “Para ‘ulama di negeri Qairawan telah
sepakat bahwa kondisi Bani ‘Ubaid (penguasa di Daulah Ubaidiyyah) adalah
kondisi ORANG-ORANG MURTAD DAN PARA ZINDIQ.”
Majmu’ah Manhajul Anbiya
Channel Telegram https://bit.ly/ManhajulAnbiya
Menjawab Syubhat-Syubhat Perayaan Maulid Nabi dan
Benarkah Ibnu Taimiyyah Rahimahullah
Mendukung Maulid Nabi?
Mendukung Maulid Nabi?
Penulis: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
hafizhahullah
Sebagaimana dimaklumi bersama bahwa ahlul bid’ah
senantiasa ‘berjuang’ dengan penuh kegigihan membela dan mengibarkan bendera
bid’ah, sehingga bid’ah menyebar di mana-mana. Jangan heran bila mereka begitu
berani memaksakan dalil demi hawa nafsunya atau menasabkan hadits yang tidak
ada asalnya.
Bagaimana sikap kita dalam menghadapi syubhat mereka?!
Pertama: Bertanya Tentang Dalilnya
Syaikh Abdurrohman bin Yahya al-Mu’allimi berkata: “Tidak
ada perselisihan pendapat bahwa agama yang benar (Islam) adalah yang datang
dari Allah dan disampaikan oleh Rasulullah. Maka kita tanyakan kepada ahli
bid’ah: Apakah amalan ini termasuk agama yang disampaikan oleh Muhammad dari
Robbnya ataukah tidak? Kalau dia menjawab: Ini bukan termasuk agama, maka
selesai sudah masalahnya. Namun kalau menjawab: Ini termasuk masalah agama,
maka kita katakan padanya: Datangkanlah dalilnya!! [1]
Kedua: Bertanya Tentang Pemahamannya
Kalau dia tidak mampu mendatangkan dalilnya maka
selesailah sudah masalahnya, tetapi kalau dia mendatangkan dalilnya, maka
tanyakan lagi padanya: Adakah para sahabat dan ulama salaf yang memahami dari
ayat atau hadits ini seperti pemahamanmu?!
Karena sebagaimana kata Imam asy-Syathibi rahimahullah: “Betapa sering
engkau dapati ahli bid’ah dan penyesat
umat mengemukakan dalil dari al-Qur’an dan hadits dengan memaksakannya agar
sesuai dengan pemikiran mereka dan menipu orang-orang awam dengannya. Lucunya
mereka menganggap bahwa diri mereka diatas kebenaran.”
Lanjut beliau: “Oleh karenanya, maka semestinya bagi
setiap orang yang berdalil dengan dalil syar’i agar memahaminya seperti
pemahaman para pendahulu (sahabat) dan oraktik amaliah mereka, karena itulah
jalan yang benar dan lurus.” [2]
Camkanlah baik-baik dua kaidah ini agar engkau mampu
menghadang syubhat ahli bid’ah di sepanjang zaman. Demikian pulang tentang
masalah perayaan maulid nabi ini, para pejuang dan pengibar bendera pelaku ini
memiliki syubhat-syubhat yang banyak sekali, kami akan menyebutkan beberapa
syubhat yang sangat masyhur saja berikut jawabannya. Semoga menjadi pelita dan
tameng bagi kita semua.
Syubhat Pertama
Mereka mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
memuliakan hari kelahirannya sebagaimana dalam hadits tentang puasa hari Senin,
sabda beliau:
“Itu adalah hari aku dilahirkan, aku diutus atau
diwahyukan kepadaku.” [3]
Hadits ini menujukkan kemulian hari kelahiran Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam yang berarti disyariatkan bagi kita untuk membuat
perayaan sebagai ungkapan kegembiraan atas hari kelahirannya.
Jawaban:
Berdalil dengan hadits ini tidaklah tepat, ditinjau dari
beberapa segi:
1. Apabila maksud dari maulid disini adalah mensyukuri
atas nikmat kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka secara dalil dan
akal hendaknya syukur tersebut diwujudkan sebagaimana syukurnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu dengan berpuasa yang berarti bahwa hendaknya
kita berpuasa sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa.
Sehingga apabila kita ditanya maka kita menjawab bahwa hari Senin adalah hari
kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kami berpuasa sebagai rasa syukur
kepada Allah azza wa jalla dan mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Inilah yang disyariatkan.
2. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
mengkhususkan pada hari kelahirannya
yaitu tanggal 12 Rabi’ul Awal -sebagaimana pendapat yang masyhur- dengan puasa
atau amalan lainnya. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berpuasa pada
hari Senin yang datang setiap pekan. Sedangkan Allah azza wa jalla berfirman:
“Sesunggunya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [QS.al-Ahzab/33 :21]
3. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa
pada hari kelahirannya, apakah beliau menambahinya dengan perayaan maulid
seperti yang dilakukan oleh orang-orang? Jawabnya, tentu tidak, cukup hanya
dengan berpuasa. Jadi, mengapa umatnya tidak merasa cukup dengan petunjuk
nabinya?!! Ingatlah bahwa ibadah itu harus dibangun di atas dalil bukan
perasaan dan hawa nafsu!! [4]
4. Rasulullah tidak merayakan hari kelahiran beliau
sewaktu beliau hidup, demikian juga para sahabat tidak merayakannya. Seandainya
hal itu disyariatkan, niscaya mereka mendahului kita, karena mereka jauh lebih
cinta kepada Nabi daripada kita. Mungkinkah mereka meninggalkan amalan
kebajikan dan meremehkannya?!! Sekali-kali tidak.
5. Puasa hari Senin bukan hanya karena hari itu hari
kelahiran Nabi, tetapi Nabi jugamenyebutkan alasan-alasan lainnya yaitu
turunnya wahyu dan diangkatnya amalan kepada Allah. Lantas, kenapa hanya
diambil satu alasan saja untuk sebuah syariat yang tidak diajarkan Allah dan Rasul-Nya?!
[5]
Syubhat Kedua
“Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi Madinah, dan beliau menjumpai Yahudi
berpuasa pada hari Asyuro, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
Hari apakah ini? Mereka menjawab: Ini adalah hari agung, hari Allah
menyelamatkan Musa dan pengikutnya dan menenggelamkan Fir’aun dan bala
tentaranya, lalu Musa berpuasa sebagai ungkapan syukur, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Kita lebih berhak dengan Musa daripada
kalian, akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa dan memerintahkan
untu berpuasa pada hari itu.” [6]
Mereka mengatakan bahwa kalau Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam saja bergembira dengan diselamatkannya Nabi Musa shallallahu ‘alaihi wasallam,
maka kita juga bergembira dengan
kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahkan lebih utama.
Jawaban:
1. Sesunggunya seluruh umat islam mengetahui sunnahnya
puasa Asyuro, sebagai wujud realisasi dari perintah Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan ungkapan syukur atau dimenangkannya kebenaran dan dihancurkannya
kebathilan. Namun, bukan berarti hadits ini sebagai kaidah yang membenarkan
perayaan maulid nabi atau perayaan-perayaan lainnya. Jadi anjuran Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berpuasa Asyuro bukan berarti anjuran untuk
menjadikannya sebagai perayaan maulid, tetapi anjuran untuk bersyukur kepada
Allah azza wa jalla dengan berpuasa pada hari tersebut seperti yang dicontohkan
oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. [7]
2. Kita semua senang dan gembira dengan kelahiran Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, diutusnya beliau sebagai nabi, hijrahnya beliau
dan semua perjalanan hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berupa jihad dan
ilmu. Kita senang dan bergembira serta mengambil pelajaran darinya. Namun semua
itu bukan hanya dalam sehair saja dalam setahun, akan tetapi disyariatkan pada
setiap waktu dan setiap tempat.[8]
Syubhat Ketiga
“Berkata Urwah: Tsuwaibah adalah budak Abu Lahab, Abu
Lahab memerdekakannya dan menyusui Nabi. Tatkala Abu Lahab meninggal dunia,
sebagian keluarganya melihat dalam mimpi bahwa Abu Lahab dalam keadaan yang
jelek. Dia bertanya: Apa yang kau dapatkan? Abu Lahab menjawab: Saya tidak
mendapatkan kebaikan setelah kalian, hanya saja saya diberi minum sedikit ini karena
sebab memerdekakan Tsuwaibah.”
Jawaban:
1. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari: 4711 tetapi
mursal[9], karena Urwah tidak menyebutkan siapa rowi setelahnya, [10] sedangkan
hadits mursal termasuk kategori hadits lemah menurut mayoritas ahli hadits.
2. Ini adalah mimpi dan mimpi tidak bisa dijadikan hujjah
dalam syariat [11], sekalipun dia ahli ibadah dan berilmu, kecuali mimpi para
nabi karena mimpi mereka adalah haq.
3. Hadits ini memberikan pahala kepada orang kafir,
padahal al-Qur’an menegaskan bahwa orang
kafir tidak diberi pahala dan amal perbuatannya sia-sia.
“Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu
kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” [QS.al-Furqon/25: 23]
“Mereka itu orang-orang yang telah kufur terhadap
ayat-ayat Robb mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia, Maka hapuslan
amalan-amalan mereka, dan kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan)
mereka pada hari kiamat.” [QS.al-Kahfi/18: 105][12]
4. Kegembiraan Abu Lahab dengan kelahiran Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam hanyalah kegembiraan tabiat saja, karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam adalah keponakannya, sedangkan kegembiraan
tidaklah diberi pahala melainkan apabila untuk Allah azza wa jalla.
5. Abu Lahab tidak mengetahui kenabian Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu, buktinya setelah dia mengetahuinya maka
dia memusuhi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan melakukan hal-hal yang tidak
sepatutnya untuk dilakukan.[13]
Syubhat Keempat
Mereka berkata bahwa perayaan maulid telah dianggap baik
oleh ulama dan kaum muslimin di berbagai negeri, maka perayaan ini sangat baik
berdasarkan hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
“Sesuatu yang menurut kaum muslimin baik, maka hal itu
baik di sisi Allah. Dan sesuatu yang di nilai buruk oleh kaum muslimin, maka
buruk pula di sisi Allah.
Jawaban:
Sungguh termasuk keajaiban dunia, tatkala hadit ini
dijadikan dalil oleh sebagian kalangan tentang adanya bid’ah hasanah dalam
agama dengan alasan banyaknya orang yang melakukan. Namun perlu dicermati
hal-hal berikut:
1. Hadits ini mauquf, sebagaimana dalam HR.Ahmad: 3600,
ath-Thoyyalisi hal.23 dan Ibnul A’robi dalam Mu’jamnya: 2/84 dengan sanad
hasan, sehingga tidak bisa dijadikan alasan untuk menentang dalil-dalil yang
jelas menegaskan bahwa semua bid’ah adalah sesat sebagaimana telah shohih dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
2. Anggaplah hadit tersebut shohih, namun tetep tidak
bisa diterapkan karena menentang dalil-dalil yang shohih, karena: Pertama,
Maksud Ibnu Mas’ud rahiyallahu ‘anhu dengan ‘kaum muslimin’ adalah
kesepakatan para sahabat. Hal ini
diperkuat bahwa beliau berdalil dengannya dalam masalah kesepakatan sahabat
untuk memilih Abu Bakar sebagai kholifah. Kedua, maksud ‘Muslimun’ dalam ucapan
beliau bukan setiap muslim walaupun dia tidak memiliki ilmu sama sekali, tetapi
maksudnya adalah orang-orang yang memiliki ilmu di antara mereka dan tidak
takliq buta dalam agama.
Kesimpulannya, hadits ini tidak bisa dijadikan pegangan
oleh ahli bid’ah, apalagi kalau kita ingat bahwa sahabat Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu adalah seorang sahabat yang dikenal keras memerangi bid’ah,
di antara ucapan beliau: “Ikutilah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan
janganlah kalian berbuat bid’ah, karena kalian telah diberi kecukupan.”
Maka wajib bagi kalian wahai kaum muslimin untuk
berpegang teguh dengan sunnah nabi kalian, niscaya kalian akan bahagia. [14]
Kemudian kami katakan: “Siapa di antara ulama dan muslim
yang menganggap baik maulid ini? Apakah mereka sahabat Rasulullah? Tentu tidak!
Apakah mereka para tabi’in? Tentu tidak! Apakah mereka para tabi’ut tabi’in?
Tentu tidak! Apakah mereka ulama generasi utama? Juga tidak! Apakah mereka
tokoh-tokoh Fathimiyyah Rofidhoh? Benar! Apakah mereka ahlul bid’ah? Ya, benar…
Kemudian siapakah ‘kaum muslimin’ yang dimaksud dalam
atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu tersebut untuk menimbang kebaikan dan
kejelekan? Apakah mereka orang Rofidhoh
dan thoriqot-thoriqot yang rusak akalnya sehingga baik dianggap jelek
dan yang jelek di anggap baik? Maka datangkanlah kepada kami
perkataan-perkataan dan perbuatan dari pada salaf, tabi’in, tabi’ut tabi’in,
ahlu hadits ahlu fiqh dan lainnya yang mendukung perayaan maulid nabi
ini..Sesungguhnya kami menunggu.” [15]
Kalau ada yang berkata: “Bukankah di antara yang diantara
yang menganggap baik perayaan maulid nabi adalah sebagian ulama seperti
as-Suyuthi, Ibnu Hajar, Abu Syamah dan lain sebagainya?!” Kami katakan: “Benar,
memang mereka menganggap baik hal itu, tetapi hal itu ukan hujjah, semua ulama
pasti ada ketergelincirannya, kita dituntut untuk mengikuti dalil, bukan
mengikuti kesalahan ulama.” Hal ini telah diperingatkan secara keras oleh para
ulama kita, di antaranya:
– Sulaiman at-Taimi rahimahullah mengatakan: “Apabila
engkau mengambil setiap ketergelinciran ulama, maka telah berkumpul pada dirimu
seluruh kejelekan.”
– Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkomentar: “Ini adalah
ijma’, saya tidak mendapati perselisihan ulama tentangnya.” [16]
– Al-Auza’i rahimahullah berkata: “Barangsiapa memungut
keganjilan-keganjilan ulama, maka dia akan keluar dari Islam.” [17]
– Hasan al Bashri rahimahullah berkata: “Sejelek-jelek
hamba Allah adalah mereka yang memungut masalah-masalah ganjil untuk menipu
para hamba Allah.” [18]
– Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah berkata: “Seorang
tidaklah disebut alim bila dia menceritakan pendapat-pendapat yang ganjil.”
[19]
– Imam Ahmad rahimahullah menegaskan bahwa orang yang
mencari-cari pendapat ganjil adalah seorang yang fasiq.[20]
Bahkan Imam Ibnu Hazm rahimahullah menceritakan ijma’
(kesepakatan ulama) bahwa orang yang mencari-cari keringanan mazhab tanpa
bersandar pada dalil merupakan kefasikan dan tidak halal.[21]
Syubhat Kelima
Mereka mengatakan bahwa perayaan maulid nabi termasuk
konsekuensi cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Jawaban:
1. Perkataan ini dusta, tidak berdasar dalil sedikitpun.
Sebab maulid nabi tidak termasuk konsekuensi cinta terhadap Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Cinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan
ketaatan, bukan dengan kemaksiatan dan kebid’ahan seperti halnya maulid nabi.
[22]
2. Sesungguhnya mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bagi kaum muslimin adalah kewajiban setiap hari, bahkan setiapwaktu,
bukan mengingat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya ketia perayaan maulid
saja yang hilang dengan setelah usai perayaan tersebut, semua itu akan merusak
lebih banyak daripada memperbaiki, sebab tidak ada suatu bid’ah pun kecuali
akan mematian sunnah. [23]
3. Para sahabat adalah orang yang lebih cinta kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kita, lebih berilmu, lebih
mengagungkan Nabi, lebih bersemangat
dalam kebaikan. Sekalipun demikian, mereka tidak merayakan maulid. Seandainya
merayakan maulid termasuk konsekuensi cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tentu mereka adalah orang yang paling bersemangat melakukannya. [24]
Syubhat Keenam
Mereka mengatakan: “Sesungguhnya perayaan maulid
merupakan dakwah, amar nahi munkar dan syiar Islam. Tidak ragu lagi semua itu
sangatlah dianjurkan, dan dalam perayaan ini terdapat amalan-amalan utama
seperti pembacaan al-Qur’an, sholawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mendengar siroh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan lain sebagainya.
Jawaban:
1. Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
berdakwah kepada Islam dengan perkataan, perbuatan dan jihad di jalan Allah
azza wa jalla. Beliau orang yang paling mengerti tentang metode dakwah dan
syiar Islam. Tetapi tidak ada petunjuk beliau dalam berdakwah dan syiar Islam
dengan perayaan maulid dan Isro’ Mi’roj. Demikian pula para sahabat, mereka
mencontoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berdakwah, tetapi mereka
tidak merayakan maulid atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau peringatan
lainnya. Perayaan tersebut juga tidak dikenal bersumber dari imam-imam kaum
muslimin yang muktabar, Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Sebaliknya perayaan tersebut hanya dikenal dari ahli bid’ah
seperti Rofidhoh, Syiah, dan kelompok-kelompok menyimpang yang sehaluan dengan
mereka, yang sedikit ilmunya tentang agama. Kesimpulannya, perayaan diatas
adalah bid’ah munkaroh, menyelisihi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Khulafa’-ur-Rosyidin dan imam-imam salafush shalih pada tiga generasi
terbaik umat ini…”[25]
2. Amalan-amalan tersebut seperti membaca al-Qur’an,
sholawat dan sebagainya tidak ragu termasuk amalan sholih apabila dikerjakan
sesuai tuntunan, bukan karena niat maulid. Jadi, yang diingkari adalah
mengkhususkan perkumpulan dengan cara dan waktu tertentu yang tidak ada
dalilnya. [26]
Perhatikanlah atsar berikut: Dari Sa’id bin Musayyib, ia
melihat seorang laki-laki menunaikan shalat setelah fajar lebih dari dua
roka’at, ia memanjangkan ruku’ dan sujudnya. Akhirnya Sa’id bin Musayyib pun
melarangnya. Orang itu berkata: “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan
menyiksaku dengan sebab shalat?” Beliau menjawab: “TIdak, tetapi Allah akan
menyiksamu karena menyelisihi as-Sunnah.” [27]
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah
mengomentari atsar ini: “Ini adalah jawaban Sa’id bin Musayyib yang sangat
indah. dan merupakan senjata pamungkas terhadap para ahlul bid’ah yang
menganggap baik kebanyakan bid’ah dengan alasan dzikir dan shalat, kemudian
membantai ahlus sunnah dan menuduh bahwa mereka (ahlus sunnah) mengingkari
dzikir dan shalat! Padahal sebenarnya yang mereka ingkari adalah penyelewengan
ahlu bid’ah dari tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam dzikir,
shalat dan lain-lain.” [28]
Syubhat Ketujuh
Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
“Mengagungkan maulid dan menjadikannya sebagai perayaan,
bisa jadi dilakukan oleh sebagian
manusia dan dia mendapatkan pahala yang besar karena niatnya yang baik
dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Mereka mengatakan dengan nada mengejek: “Inilah Syaikhul
Islamnya kaum Wahabi, dia sendiri membolehkan perayaan maulid dan mengatakan
bahwa perayaan tersebut berpahala!!” Seperti dilakukan oleh pengelola blog
sesat “Salafytobat” dalam artikel mereka Ibnu Taimiyyah Membungkam Wahhabi.
Jawaban:
1. Hendaknya diketahui oleh semua bahwa sikap Salafiyyun,
Ahlus Sunnah terhadap Ibnu Taimiyyah rahimahullah sama halnya seperti sikap
mereka terhadap para ulama lainnya, “Mereka tidak taklid terhadap seorang pun
dalam beragama seperti halnya perbuatan ahli bid’ah, mereka tidak mendahulukan
pendapat seorang ulama pun -sekalipun ilmunya tinggi- apabila memang telah
jelas bagi mereka kebeneran, mereka melihat kepada ucapan bukan orang yang
mengucapkan, kepada dalil bukan taklid, mereka selalu mengingat ucapan Imam
Malik bin Anas rahimahullah: “Setiap orang dapat diterima dan ditolak
pendapatnya kecuali penghuni kubur ini (Nabi Muhammad).” [30]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri berkata: “Adapun
masalah keyakinan, maka tidaklah di ambil dariku atau orang yang lebih besar
dariku, tetapi diambil dari Allah azza wa jalla, Rosul-Nya dan kesepatakan
salaf umat ini, keyakinan dari al-Qur’an harus diyakini, demikian juga dari
hadits-hadits yang shohih.” [31]
2. Memahami ucapan Ibnu Taimiyyah rahimahullah di atas
harus lengkap dari awal hingga akhir pembahasan, jangan hanya diambil sepenggal
saja sehingga menjadikan kita salah faham.
“Betapa banyak pencela ucapan yang benar
Sisi cacatnya adalah pemahaman yang dangkal.” [32]
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Kesalahan itu
apabila karena jeleknya pemahaman pendengar bukan karena kecerobohan pengucap
bukanlah termasuk dosa bagi pembicara, para ulama tidak mensyaratkan apabila
mereka berbicara agat tidak ada seorangpun yang salah faham terhadap ucapan
mereka, bahkan manusia senantiasa memahami salah ucapan orang lain tidak sesuai
dengan keinginan mereka.” [33]
3. Bagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah rahimahullah
mendukung dan membolehkan perayaan maulid, sedangkan beliau sendiri yang
mengatakan:
“Adapun menjadikan suatu perayaan selain perayaan-perayaan
yang disyariatkan seperti sebagian malam bulan Rabi’ul Awal yang disebut malam
kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sebagian malam Rojab atau
tanggal delapan Dzulhijjah atau awal Jum’at bulan Rojab atau delapan Syawwal
yang disebut oleh orang-orang jahil sebagai ‘Id al Abror, semua itu termasuk
bid’ah yang tidak dianjurkan oleh salafush shalih dan tidak mereka lakukan.”
[34]
4. Maksud Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam ucapannya di
atabukan berarti membolehkan perayaan maulid, tetapi hanya mengatakan bahwa
bisa jadi orang yang merayakan maulid itu diberi pahala karena niatnya yang
bagus yaitu mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Baiklah agar kita
memahami ucapan Ibnu Taimiyyah rahimahullah dengan bagus, kami akan nukilkan
teksnya (afwan, teks bisa dilihat di Majalah al Furqon Edisi 7 Tahun
Kesembilan. Shofar 1431, Jan-Feb 2010 Hal.48 atau antum bisa kunjungi link
berikut –> Ibnu Taimiyyah dan Maulid Nabi – Menyingkap Kedustaan
Salafytobat) berikut terjemahannya:
“Demikian pula apa yang diada-adakan oleh sebagian
manusia, bisa jadi untuk menyerupai orang-orang nashoro dalam kelahiran Isa
‘alaihissalam dan bisa jadi karena cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan pengagungan kepada beliau.
Dan Allah bisa jadi memberikan pahala kepada mereka karena sebab kecintaan dan
semangat, bukan karena bid’ah menjadikan kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai perayaan padahal ulama telah berselisih tentang (tanggal) kelahirannya. Semua ini
tidak pernah dikerjakan oleh generasi salaf radhiyallahu ‘anhum (Sahabat,
Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in), karena seandainya hal itu baik tentu para salaf
lebih berhak mengerjakannya daripada kita. Karena mereka jauh lebih cinta
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mereka lebihh bersemangat dalam
melaksanakan kebaikan. Sesungguhnya
cinta Rosul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dengan mengikuti beliau,
menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnahnya secara zhohir dan batin, menyebarkan
ajarannya dan berjihad untuk itu semua, baik dengan hati, tangan ataupun lisan.
Karena inilah jalan para generasi utama dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan.” [35]
Ini adalah penjelasan gamblang dari Ibnu Taimiyyah
rahimahullah bahwa pahala orang yang merayakan maulid karena niatnya yang baik
yaitu cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan berarti bahwa
maulid itu disyariatkan, sebab seandainya itu disyariatkan tentu akan dilakukan
oleh para salaf yang lebih cinta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
daripada kita. Beliau mengatakan: “Kebanyakan mereka yang bersemangat melakukan
bid’ah-bid’ah seperti ini sekalipun niat dan tujuan mereka baik yang diharapkan
dengan niatnya tersebut mereka diberi pahala, enagkau dapati mereka malas dalam
menjalankan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka seperti seorang
yang menghiasi mushaf tetapi tidak membacanya, atau membaca tapi tiak mengikuti
isi kandungannya, atau tak ubahnya seperti orang yang menghiasa masjid tetapi tidak
sholat didalamnya ata shalat tapi jarang. [36]
Dengan demikian, jelaslah bagi orang yang memiliki
pandangan kesalahan orang yang menjadikan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
diatas untuk mendukung perayaan maulid nabi. [37]
Note:
[1] Risalah fi Tahqiqil Bid’ah hal.5-6
[2] Al-Muwafaqot Fi Ushul Syariah: 3/52
[3] HR.Muslim 1162
[4] Lihat Al-Inshof fima Qila fil Maulid: 44-45 oleh
Syaikh Abu Bakar al-Jazairi
[5] Minhatul Allam 5/78-79 oleh Syaikh Abdullah al-Fauzan
[6] HR.al-Bukhari: 3648 dan Muslim: 1911
[7] Lihat Hiwar Ma’al Maliki hal.55-56, Abdullah al-Mani’
[8] Idem hal.85
[9] Definisi mursal yang populer di kalangan mayoritas
ahli hadits adalah suatu hadits yang diriwayatkan dari tabi’in langsung kepada
Rasulullah (lihat Jami’ Tahshil fi Ahkamil Marosil al-Ala’i hal.31)
[10] Lihat Fathul Bari Ibnu Hajar: 9/145
[11] Lihat masalah ini secara panjang
lebar dan keterangan para ulama tentangnya dalam al-Muqoddimat al-Mumahhidat
as-Salafiyyat fi Tafsir Ru’aa wal Manamat hal.247-283 oleh Syaikh Masyhur bin
Hasan dan Umar bin Ibrahim
[12] Lihat Fathul Bari Ibnu Hajar: 9/145
[13] Al-Maurid fi Hukmil Ihtifal bil Maulid hal.21-23, Aqil bin Muhammad
al-Yamani. Lihat pula al-Qoulul Fashl Ismail al-Anshori hal.486-489
[14] Silsilah Ahadits adh-Dho’ifah: 533
[15] Lihat Hiwar ma’a Maliki hal.90-91 oleh Syaikh
Abdulloh bin Sulaiman al-Mani’
[16] Jami’ Bayanil Ilmi wa Fadhlihi: 2/91-92
[17] Sunan Kubro al-Baihaqi: 10/211
[18] Adab Syar’iyyah: 2/77
[19] Hilyatul Auliya Abu Nu’aim: 9/4
[20] Al-Inshof, al-Mardhawi: 29/350
[21] Marotibul Ijma’ hal.175 dan dinukil asy-Syathibi
dalam al-Muwafaqot: 4/134
[22] Shiyanatul Insan ‘an Waswasati Syaikh Dahlan hal.228
oleh Syaikh Syaikh Muhammad Basyir al-Hindi. Lihat pula asy-Syifa bi Ta’rif
Huquqil Musthofa 2/16 oleh al-Qodhi Iyadh
[23] Syarh Mumti’, Ibnu Utsaimin: 5/112-113
[24] Fatawa Muhammad bin Ibrahim: 3/51, ar-Roddul Qowi,
at-Tuwaijiri hal.171
[25] Fatawa Lajnah Da’imah: 3/14-15
[26] at-Tabarruk, Dr.Nashir al-Judai’ hal.372
[27] Dikeluarkan oleh Baihaqi dalam Sunan Kubro: 2/46 dan
dishohihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ul Gholil: 2/236
[28] Irwa’ul Gholil: 2/236
[29] Iqtidho’ Shirathil Mustaqim 2/126
[30] Ahkamul Jana’iz hal.222 oleh al-Albani
[31] Majmu’ Fatawa: 3/157
[32] Diwan al-Mutanabbi hal.232
[33] Al-Istighosah fir Roddi ‘ala al-Bakri: 2/705
[34] Al-Fatawa Al-Kubro: 4/414
[35] Iqtidho’ Shirotil Mustaqim: 2/123-124
[36] Idem: 2/124
[37] Lihat Hukmul Ihtifal bil Maulid Nabawi war Ruddi
‘ala Man Ajazahu, Muhammad bin Ibrahim hal.46-50 dan al-Qolulul Fashl, Ismail
al-Anshori hal.513-517
sumber: diketik ulang dari Majalah al-Furqon Edisi 7,
Tahun Kesembilan, Shofar 1431, Jan-Feb 2010 Hal.43-49
Semoga bermanfaat bagi kami dan juga kaum muslimin.
Barakallahu fiikum.
Syubhat dan Argumen Orang-Orang yang
Membolehkan Perayaan Maulid Beserta Bantahannya
Al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah
Orang-orang yang membolehkan perayaan
maulid ini memiliki banyak dalil (baca:syubhat), dan di sini kami akan
menyebutkan 22 dalil sebagai wakil dari dalil-dalil mereka yang tidak tersebutkan
di sini. Itupun semua dalil mereka hanya berkisar pada 4 keadaan:
1. Ayat atau hadits yang shahih akan
tetapi salah pendalilan.
2. Hadits lemah, bahkan palsu yang tidak
bisa dipakai berhujjah.
3. Perkataan sebagian ulama, yang mereka
ini bukan merupakan hujjah bila menyelisihi dalil.
4. Alasan yang dibuat-buat untuk mencapai
maksud mereka yang rusak.
Berikut uraiannya:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
surah Yunus ayat 58:
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ
فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: Dengan karunia Allah dan
rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan
rahmat-Nya itu adalah lebih baik daripada sesuatu yang mereka kumpulkan”.
Mereka berkata, “Allah Subhanahu wa
Ta’ala memerintahkan kita untuk bergembira dengan rahmat-Nya. Sedang Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah rahmat-Nya yang paling besar.
Oleh karena itulah, kita bergembira dan merayakan maulid (hari lahir) beliau”.
Di antara yang berdalilkan dengan ayat
ini adalah seorang yang bernama Habib Ali Al-Ja’fary Ash-Shufy dalam sebuah
kasetnya yang berjudul Maqoshidul Mu`minah wa Qudwatuha fil Hayah.
Bantahan:
Berdalilkan dengan ayat ini untuk
membolehkan maulid adalah suatu bentuk penafsiran firman Allah Ta’ala dengan
penafsiran yang tidak pernah ditafsirkan oleh para ulama salaf dan mengajak
kepada suatu amalan yang tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf. Ini
adalah perkara yang tidak diperbolehkan sebagaimana telah berlalu penegasannya
pada bab Pertama.
Ibnu ‘Abdil Hady Rahimahullahu berkata
dalam Ash-Shorimil Munky fir Roddi ‘alas Subky, hal. 427, “… dan tidak boleh
memunculkan penafsiran terhadap suatu ayat atau sunnah dengan penafsiran yang
tidak pernah ada di zaman para ulama salaf, yang mereka tidak diketahui dan
tidak pernah pula mereka jelaskan kepada ummat. Karena perbuatan ini mengandung
(tudingan) bahwa mereka tidak mengetahui kebenaran, lalai darinya. Sedang yang
mendapat hidayah kepada kebenaran itu adalah sang pengkritik yang datang
belakangan, maka bagaimana lagi jika penafsiran tersebut menyelisihi dan
bertentangan dengan penafsiran mereka ?!”.
Para pembesar ulama tafsir telah
menafsirkan ayat yang mulia ini dan tidak ada sedikitpun dalam penafsiran
mereka bahwa yang diinginkan dengan rahmat di sini adalah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Yang ada hanyalah bahwa rahmat yang
diinginkan di sini adalah Al-Qur`an dan Al-Islam sebagaimana yang diinginkan
dalam ayat sebelumnya, yaitu firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ
مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ
لِلْمُؤْمِنِينَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada
kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada, serta petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Katakanlah: Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya …”. (QS. Yunus : 57-58)
Inilah penafsiran yang disebutkan oleh
Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thobary Rahimahullahu dalam Tafsir
beliau (15/105).
Imam Al-Qurthuby Rahimahullahu berkata
ketika menafsirkan ayat di atas, “Abu Sa’id Al-Khudry dan Ibnu ‘Abbas
Radhiallahu‘anhuma berkata, “Karunia Allah adalah Al-Qur`an dan rahmat-Nya
adalah Al-Islam”. Juga dari keduanya (berkata), “Karunia Allah adalah Al-Qur`an
dan rahmat-Nya adalah dia menjadikan kalian ahli Qur`an”. Dari Al-Hasan,
Adh-Dhohak, Mujahid, dan Qotadah, mereka menafsirkan, “Karunia Allah adalah
iman dan rahmat-Nya adalah Al-Qur`an”. [Lihat Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an
(8/353)]
Imam Ibnul Qoyyim Rahimahullahu berkata
dalam Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyah ‘ala Ghozwul Mu’aththilah wal Jahmiyah hal.
6, “Perkataan para ulama salaf berputar di atas penafsiran bahwa karunia Allah
dan rahmat-Nya adalah Al-Islam dan As-Sunnah”.
Sesungguhnya yang menjadi rahmat bagi
manusia bukanlah kelahiran beliau, akan etapi rahmat terhasilkan hanyalah
ketika beliau diutus kepada mereka. Makna inilah yang ditunjukkan oleh
nash-nash syari’at:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً
لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu,
melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya`: 107)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam telah bersabda:
إِنِّي لَـمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا وَإِنَّمَا
بُعِثْتُ رَحْمَةً
“Sesungguhnya saya tidaklah diutus sebagi
orang yang suka melaknat, akan tetapi saya diutus hanya sebagai rahmat”. (HR.
Muslim no. 2599 dari Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu)
Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid
Rahimahullahu berkata ketika menyebutkan tentang Abu Sa’id Al-Kaukabury [Dia
adalah orang yang pertama kali merayakan maulid di negeri Maushil sebagaimana
yang telah berlalu penjelasannya], “Dia mengadakan perayaan tersebut pada malam
kesembilan (Rabi’ul Awal) menurut yang dikuatkan oleh para ahli hadits bahwa
beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dilahirkan pada malam itu
(kesembilan) dan beliau wafat pada tanggal 12 Rabi’ul Awal menurut kebanyakan
para ulama” [Lihat kitab beliau Ar-Rasa`ilul Hisan fii Fadho`ihil Ikhwan hal.
49].
Maka betapa mengherankannya para pelaku
maulid ini, mereka bergembira dan bersenang-senang pada tanggal diwafatkannya
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam (12 Rabi’ul Awwal), sementara
hari kelahiran beliau adalah tanggal 8 Rabi‘ul Awwal menurut pendapat yang
paling kuat, maka apakah ada kerusakan dan kerancuan akal yang lebih parah dari
ini?!
Ibnul Hajj Rahimahullahu berkata dalam
Al-Madkhal (2/15), “Kemudian yang sangat mengherankan, bisa-bisanya mereka
merayakan maulid disertai dengan nyanyian, kegembiraan, dan keceriaan karena
kelahiran beliau ‘Alaihis sholatu wassalam -sebagaimana yang telah berlalu-
pada bulan yang mulia ini. Padahal pada bulan ini juga beliau ‘Alaihis sholatu
wassalam berpindah menuju kemuliaan Tuhannya ’Azza wa Jalla (yakni wafat-pen.)
yang mengagetkan ummat (para sahabat-pen.). Mereka (para sahabat) ditimpa oleh
musibah besar yang tidak ada satu musibahpun yang mampu menandinginya
selama-lamanya. Oleh karena itu, keharusan atas setiap muslim adalah menangis,
banyak-banyak bersedih, dan merenungi dirinya masing-masing terhadap musibah
ini …”.
Kemudian kita katakan kepada mereka,
“Bukankah ayat ini turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
?! Lantas kenapa beliau tidak pernah merayakan maulid sebagai bentuk pengamalan
bagi ayat?! Kenapa juga beliau tidak pernah memerintahkan para sahabat dan
keluarga beliau untuk melakukannya?! Padahal beliau adalah orang yang paling
bersemangat mengajari manusia dengan perkara yang bermanfaat bagi mereka dan
yang mendekatkan mereka kepada Penciptanya”.
(Rujukan: Al-Bida’ Al-Hauliyah hl.
173-177 dan Ar-Roddu ‘ala Syubuhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat
pertama)
2. Firman Allah -‘Azza wa Jalla- dalam
surah Al-Ahzab ayat 56:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى
النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya
bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian
untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.
Mereka mengatakan bahwa perayaan maulid
bisa memotifasi sekaligus sarana untuk bersholawat kepada Rasul Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
Bantahan:
Sama dengan bantahan pertama pada syubhat
pertama.
Syaikh Hamud At-Tuwaijiri Rahimahullahu
berkata dalam Ar-Roddul Qowy, hal. 70-71, “Sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam telah memotifasi untuk memperbanyak bersholawat kepada
beliau di waktu-waktu tertentu, seperti pada hari Jum’at, setelah adzan, ketika
nama beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam disebut, dan waktu-waktu
lainnya. Sekalipun demikian, beliau tidak pernah memerintahkan atau memotifasi
untuk bersholawat kepada beliau pada malam maulid beliau. Jadi, seyogyanya
diamalkan sesuatu yang diperintahkan oleh Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam dan ditolak segala sesuatu yang beliau tidak perintahkan”.
-Selesai dengan sedikit perubahan-
Syaikh Al-Muqthiry dalam Al-Mawrid hal.
18 menyatakan, “Bersholawat kepada Nabi adalah perkara yang dituntut
terus-menerus, bukan hanya di awal tahun atau dalam dua hari sepekan.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى
النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا
تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya
bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian
untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (QS. Al-Ahzab: 56)
Beliau ‘alaihish sholatu wassalam
bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ عَشْرًا
“Barangsiapa yang bersholawat atasku satu
kali, maka Allah akan bersholawat atasnya sepuluh kali” (HR. Muslim no. 384,
408 dari ‘Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash dan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhuma).
Beliau telah memerintahkan untuk
bersholawat kepadanya setelah adzan, dalam sholat dan demikian pula ketika nama
beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam disebut.
Beliau bersabda:
رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ
يُصَلِّ علَيَّ
“Kecelakaan bagi seseorang yang mendengar
namaku disebut di sisinya, lantas dia tidak bershalawat kepadaku” (Telah
berlalu takhrijnya).
الْبَخِيْلُ مَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ
يُصَلِّ عَلَيَّ
“Orang yang kikir adalah orang yang
namaku disebutkan di sisinya, lalu dia tidak bersholawat atasku” (HR.
At-Tirmidzi (3546) dan An-Nasa`i dalam Al-Kubra (8100, 9883) dari Al-Husain bin
‘Ali Radhiallahu‘anhuma dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no.
2878).
(Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubuhati man
Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat kedua dan Al-Mawrid fii Hukmil Ihtifal bil
Maulid hal. 18)
3. As-Suyuthi berkata dalam Al-Hawy
(1/196-197),
“…lalu saya melihat Imamul Qurro`,
Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Jauzy berkata dalam kitab beliau yang berjudul
‘Urfut Ta’rif bil Maulid Asy-Syarif dengan nash sebagai berikut, [“Telah
diperlihatkan Abu Lahab setelah meninggalnya di dalam mimpi. Dikatakan
kepadanya, “Bagaimana keadaanmu?”, dia menjawab, “Di dalam Neraka, hanya saja
diringankan bagiku (siksaan) setiap malam Senin dan dituangkan di antara dua
jariku air sebesar ini -dia berisyarat dengan ujung jarinya- karena saya
emerdekakan Tsuwaibah ketika dia memberitahu kabar gembira kepadaku tentang
kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan karena dia telah
menyusuinya”]. Jika Abu Lahab yang kafir ini, yang Al-Qur`an telah turun
mencelanya, diringankan (siksaannya) di Neraka dengan sebab kegembiraan dia
dengan malam kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, maka
bagaimana lagi keadaan seorang muslim yang bertauhid dari kalangan ummat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang gembira dengan kelahiran beliau
dan mengerahkan seluruh kemampuannya dalam mencintai beliau Shallallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam?!, saya bersumpah bahwa tidak ada balasannya dari Allah
Yang Maha Pemurah, kecuali Dia akan memasukkannya berkat keutamaan dari-Nya ke
dalam surga-surga yang penuh kenikmatan”.
Kisah ini juga dipakai berdalil oleh
Muhammad bin ‘Alwi Al-Maliki dalam risalahnya Haulal Ihtifal bil Maulid, hal. 8
tatkala dia berkata, “Telah datang dalam Shahih Al-Bukhari bahwa diringankan
siksaan Abu lahab setiap hari Senin dengan sebab dia memerdekakan Tsuwaibah
….”.
Bantahan:
Penyandaran kisah di atas kepada Imam
Al-Bukhari adalah suatu kedustaan yang nyata sebagaimana yang dikatakan oleh
Syaikh At-Tuwaijiri dalam Ar-Roddul Qowy hal. 56. Karena tidak ada dalam
riwayat Al-Bukhari sesuatupun yang disebutkan dalam kisah di atas.
Berikut konteks hadits ini dalam riwayat
Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya no. 4711 secara mursal [Hadits Mursal adalah
perkataan seorang tabi’in, “Rasululullah Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam bersabda ….”, atau ia (tabi’in) menyandarkan sesuatu kepada Nabi
Shallallahu alaihi wasallam. Hadits mursal termasuk dalam bagian hadits lemah
menurut pendapat paling kuat di kalangan para ulama] dari ‘Urwah bin Zubair
Rahimahullahu:
“‘Tsuwaibah, dulunya adalah budak wanita
Abu Lahab. Abu Lahab membebaskannya, lalu dia menyusui Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam. Tatkala Abu Lahab mati, dia diperlihatkan kepada
sebagian keluarganya (dalam mimpi) tentang jeleknya keadaan dia. Dia
(keluarganya ini) berkata kepadanya, “Apa yang engkau dapatkan?”, Abu Lahab
menjawab, “Saya tidak mendapati setelah kalian kecuali saya diberi minum
sebanyak ini [Yakni jumlah yang sangat sedikit] karena saya memerdekakan
Tsuwaibah”.
Syubhat ini dibantah dari beberapa sisi:
Hadits tentang diringankannya siksa Abu
Lahab ini telah dikaji oleh para ulama dari zaman ke zaman. Akan tetapi tidak
ada seorangpun di antara mereka yang menjadikannya sebagai dalil
disyari’atkannya perayaan maulid.
Ini adalah hadits mursal sebagaimana yang
dikatakan oleh Al-Hafizh dalam Al-Fath (9/49) karena ‘Urwah tidak menyebutkan
dari siapa dia mendengar kisah ini. Sedangkan hadits mursal adalah termasuk
golongan hadits-hadits dho’if (lemah) yang tidak bisa dipakai berdalil.
Anggaplah hadits ini shahih maushul
(bersambung), maka yang tersebut dalam kisah ini hanyalah mimpi. Sedangkan
mimpi -selain mimpinya para Nabi- bukanlah wahyu yang bisa diterima sebagai
hujjah. Bahkan disebutkan oleh sebagian ahlil ilmi bahwa yang bermimpi di sini
adalah Al-‘Abbas bin ‘Abdil Muththolib dan mimpi ini terjadi sebelum beliau
masuk Islam.
Apa yang dinukil oleh As-Suyuthi dari
Ibnul Jauzy di atas bahwa Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah karena memberitakan
kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan karena dia
menyusui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah menyelisihi apa
yang telah tetap di kalangan para ulama sirah (sejarah). Karena dalam buku-buku
sirah ditegaskan bahwa Abu Lahab memerdekakan Tsuwaibah jauh setelah Tsuwaibah
menyusui Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
Al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Barr Rahimahullahu
berkata dalam Al-Isti’ab (1/12) ketika beliau membawakan biografi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Setelah menyebutkan kisah
menyusuinya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kepada Tsuwaibah,
beliau menyatakan, “… dan Abu Lahab memerdekakannya setelah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam berhijrah ke Madinah”.
Lihat juga Ath-Thobaqot karya Muhammad
bin Sa’ad bin Mani` Az-Zuhry Rahimahullahu (1/108-109), Al-Fath (9/48), dan Al-Ishobah
(4/250).
Kandungan kisah ini menyelisihi zhahir
Al-Qur`an yang menegaskan bahwa orang-orang kafir tidak akan mendapatkan
manfaat dari amalan baiknya sama sekali di akhirat, akan tetapi hanya dibalas
di dunia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan:
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ
فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا
“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka
kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”. (QS.
Al-Furqon : 23) [Lihat Fathul Bari (9/49). Kecuali Abu Thalib yang diringankan
siksanya karena membela Nabi, sebagaimana dalam riwayat Muslim]
Kegembiraan yang dirasakan oleh Abu Lahab
hanyalah kegembiraan yang sifatnya tabi’at manusia biasa karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah keponakannya. Sedangkan
kegembiraan manusia tidaklah diberikan pahala kecuali bila kegembiraan tersebut
muncul karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Buktinya, setelah Abu Lahab mengetahui
kenabian keponakannya, diapun memusuhinya dan melakukan tindakan-tindakan yang
kasar padanya. Ini bukti yang kuat menunjukkan bahwa Abu Lahab bukan gembira
karena Allah, tapi gembira karena lahirnya seorang keponakan. Gembira seperti
ini ada pada setiap orang.
(Rujukan: Al-Bida’ Al-Hauliyah hal.
165-170, Ar-Roddu ‘ala Syubuhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat keenam
dan Al-Hiwar ma’al Maliki Syubhat pertama)
4. Mereka (para pendukung maulid)
berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan sebagian tempat yang
memiliki hubungan dengan para Nabi, misalnya maqom (tempat berdiri) Ibrahim
‘alaihis salam."
Karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
وَاتَّخِذُوا مِنْ مَقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
“Dan jadikanlah sebahagian maqam (tempat
berdiri) Ibrahim sebagai tempat shalat”. (QS. Al-Baqarah : 125)
Di dalam ayat ini terdapat motifasi untuk
memperhatikan semua perkara yang berhubungan dengan para Nabi. Maka di antara
bentuk pengamalan ayat ini adalah dengan memperhatikan hari kelahiran Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
Bantahan:
Sama dengan jawaban pertama untuk syubhat
pertama.
Sesungguhnya seluruh ibadah landasannya
adalah tauqifiyah (terbatas pada dalil yang ada) dan ittiba’, bukan
berlandaskan pendapat dan perbuatan bid’ah. Jadi, perkara apapun yang
dimuliakan oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
berupa waktu ataupun tempat, maka hanya itu saja yang berhak untuk dimuliakan.
Dan perkara apapun yang tidak dimuliakan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka perkara
tersebut tak boleh dimuliakan. Betul Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
memerintahkan seluruh hamba-Nya untuk menjadikan maqom Ibrahim [Maqom artinya
tempat seseorang berdiri. Dikatakan sebagai maqom Ibrahim karena di tempat
inilah Nabi Ibrahim berdiri ketika membangun Ka’bah. Karenanya, jangan sampai
ada yang salah faham dan menyangkan maqom Ibrahim adalah kuburan beliau.
Lagipula, para ulama telah bersepakat bahwa semua kuburan para nabi ‘alaihimush
sholatu was salam tidak ada yang tsabit (kuat) berdasarkan nash maupun berita
yang autentik. Syaikhul Islam menukil dari Imam Malik bin Anas Rahimahullahu
beliau berkata, “Tidak ada seorang nabi pun di dunia ini yang diketahui
kuburnya kecuali kubur Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam”.( Lihat Majmu’
Al-Fatawa 27/444 )] sebagai tempat sholat, akan tetapi Allah Subhanahu wa
Ta’ala tidak pernah memerintahkan mereka untuk menjadikan hari kelahiran Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam sebagai hari raya yang mereka
berbuat bid’ah di dalamnya.
[Rujukan: Ar-Roddul Qowy karya Syaikh
At-Tuwaijiri hal. 83 dan Ar-Roddu ‘ala Syubuhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid,
syubhat ketiga)
5. Mereka juga berdalil dengan hadits
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma tentang puasa ‘Asyura`:
أَنََّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ فَوَجَدَ اليَهُوْدَ صِيَمًا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ
فَقَالَ لَهُمْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا هَذَا
الْيَوْمُ الَّذِي تَصُوْمُوْنَهُ؟َ فَقَالُوْا: هَذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ، أَنْجَى
اللهُ فِيْهِ مُوْسَى وَقَوْمَهُ وغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوْسَى
شُكْرًا فَنَحْنُ نَصُوْمُهُ. فَقَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: فَنَحْنُ أَحَقُّ وَأَوْلَى بِمُوْسَى مِنْكُمْ. فَصَامَهُ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
“Nabi datang (hijrah) ke Madinah dan beliau
mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura`. Lalu beliau pun
bertanya, “Apa ini?”, mereka (orang-orang Yahudi) menjawab, “Ini adalah hari
yang baik, hari dimana Allah menyelamatkan Bani Isra`il dari musuh mereka, maka
Musa berpuasa padanya”. Beliau bersabda, “Kalau begitu saya lebih berhak
terhadap Musa daripada kalian”. Maka beliau pun berpuasa dan memerintahkan
(manusia) untuk berpuasa”. (HR. Al-Bukhari no. 1900 dan Muslim no. 1130)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullahu
sebagaimana yang dinukil oleh As-Suyuthi dalam Al-Hawy lil Fatawa (1/196)
berkata setelah beliau menyebutkan bahwa perayaan maulid tidak pernah
dikerjakan oleh tiga generasi pertama ummat ini. Beliau menyatakan, “Telah
nampak bagiku untuk menetapkannya -yakni perayaan maulid- di atas landasan yang
shahih yaitu …” [lalu beliau menyebutkan hadits Ibnu ‘Abbas di atas].
Kemudian beliau berkata lagi, “Jadi, dari
hadits ini diambil faidah tentang perbuatan kesyukuran kepada Allah atas nikmat
yang Dia berikan pada suatu hari tertentu berupa terhasilkannya suatu
kenikmatan atau tertolaknya suatu bahaya. Sedang kesyukuran kepada Allah adalah
dengan mengamalkan berbagai jenis ibadah, seperti sujud, berpuasa, sedekah, dan
membaca Al-Qur`an. Maka, nikmat apakah yang lebih besar daripada nikmat
munculnya Nabiyyurrohmah ini Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam pada
hari itu. Oleh karena itu, sepantasnya untuk memperhatikan hari itu (yakni hari
maulid) agar bersesuaian dengan kisah Musa -‘alaihis salam- pada hari
‘Asyuro`”. Selesai berdasarkan maknanya.
Hadits ini juga dijadikan dalil oleh
Muhammad bin ‘Alwy Al-Maliki untuk membolehkan perayaan maulid dalam kitabnya
Haulal Ihtifal bil Maulid hal. 11-12.
Jawaban:
Lihat jawaban pertama atas syubhat
pertama.
Sesungguhnya Al-Hafizh Rahimahullahu
telah menegaskan di awal ucapannya bahwa asal perayaan maulid adalah bid’ah,
tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf. Perkataan beliau tentang hal ini
akan kami sebutkan pada bab ketiga belas.
Pemahaman Al-Hafizh tentang dibolehkannya
maulid yang beliau petik dari hadits di atas merupakan pemahaman yang salah dan
tertolak. Karena tidak ada seorangpun dari kalangan para ulama salaf yang
memahami dari hadits tersebut dibolehkannya perayaan maulid. Lihat kembali pembahasan
pada bab pertama dan juga kitab Al-Muwafaqat (3/41-44) karya Asy-Syathibi
Rahimahullahu.
Mengqiaskan (menganologikan) bid’ah
maulid dengan puasa ‘Asyuro` adalah suatu bentuk takalluf (pemaksaan) yang
nyata dan tertolak karena ibadah landasannya adalah syari’at, bukan berdasarkan
pendapat ataupun anggapan baik.
Sesungguhnya puasa ‘Asyura` adalah
perkara yang telah diamalkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam, bahkan beliau memberi motifasi untuk mengamalkannya. Berbeda halnya
dengan perayaan maulid dan menjadikannya sebagai hari raya, karena Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tidak pernah mengerjakannya dan juga
tidak pernah memotifasi untuk mengerjakannya.
[Rujukan: Al-Bida’ Al-Hauliyah hal.
159-161 dan Ar-Roddu ‘ala Syubhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat
kelima]
6. Setelah menyebutkan perkataan
Al-Hafizh di atas, As-Suyuthi kemudian membawakan dalil yang lain yaitu hadits
Anas bin Malik Radhiallahu‘anhu, beliau berkata:
“Bahwa sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam melakukan aqiqah untuk diri beliau sendiri setelah
beliau diangkat menjadi Nabi”. (HR. Al-Baihaqy (9/300))
Lalu dia (As-Suyuthi) berkata, “… padahal
telah datang (riwayat) bahwa kakek beliau ‘Abdul Muththolib telah melaksanakan
aqiqah untuk beliau pada hari ketujuh kelahiran beliau, sedangkan aqiqah
tidaklah diulangi dua kali. Maka perbuatan tersebut (yakni aqiqah setelah
menjadi Nabi) dibawa kepada (pemahaman) bahwa yang beliau lakukan itu adalah
dalam rangka menampakkan kesyukuran atas penciptaan Allah terhadap diri beliau
sebagai rahmat bagi seluruh alam dan sekaligus (perbuatan beliau tersebut)
sebagai syari’at bagi ummatnya sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam telah bersholawat untuk diri beliau sendiri. Oleh karena itulah,
disunnahkan juga bagi kita untuk menampakkan kesyukuran dengan kelahiran beliau
…”.
Jawaban:
Hadits di atas yang menunjukkan bahwa
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengaqiqahi diri beliau setelah diangkat
menjadi nabi adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dipakai berhujjah, karena
di dalamnya terdapat seorang rowi lemah ang bernama ‘Abdullah bin Muharrar
Al-Jazary.
Al-Baihaqi setelah meriwayatkan hadits di
atas, beliau berkata, “’Abdurrazzaq berkata, [“Tidaklah mereka meninggalkan
‘Abdullah bin Muharrar kecuali karena keadaan hadits ini, dan juga (hadits ini)
diriwayatkan dari jalan lain dari Anas dan tidak teranggap sama sekali”]”.
‘Abdullah bin Muharrar ini telah
dilemahkan oleh sekian banyak ulama dengan pelemahan yang sangat keras, di
antaranya adalah: Imam Ahmad, Ad-Daraquthny, Ibnu Hibban, Ibnu Ma’in, Imam
Al-Bukhari, dan juga Al-Hafizh Adz-Dzahabi Rahimahumullahu jami’an.
Lihat At-Talkhis Al-Habir (4/147) dan
Mizanul I’tidal pada biografi ‘Abdullah bin Muharrar ini.
Syaikh Abu Bakr Al-Jaza`iry Hafizhahullah
berkata dalam Al-Inshof fima Qila fil Maulid (61-62), “Apakah tsabit (shahih)
bahwa aqiqah itu dulunya disyari’atkan bagi ahli jahiliyah (musyrik Quraisy)
dan (apakah) mereka mengamalkannya, sehingga kita bisa mengatakan bahwa ‘Abdul
Muththolib telah mengaqiqahi anak lelaki dari putranya?! Apakah amalan-amalan
ahli jahiliyah diperhitungkan dalam Islam sehingga kita bisa menyatakan bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mengaqiqahi diri beliau hanya sekedar
sebagai kesyukuran dan bukan dalam rangka menegakkan sunnah aqiqah, jika dia
(kakek beliau) telah mengaqiqahi beliau?!. Maha Suci Allah, betapa aneh dan
asingnya pendalilan ini.
Apakah jika shahih (benar) bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam menyembelih satu ekor kambing
sebagai bentuk kesyukuran akan nikmat penciptaan diri beliau, apakah hal ini
mengharuskan (bolehnya) menjadikan hari lahir beliau sebagai hari raya bagi
manusia?!”.
[Rujukan: Al-Bida’ Al-Hauliyah hal.
161-164 dan Ar-Roddu ‘ala Syubhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat
kedelapan]
7. Muhammad ‘Alwy Al-Maliki dalam
kitabnya Haulal Ihtifal bil Maulid hal. 10 berdalil tentang disyari’atkannya
perayaan maulid dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 1162 dari
hadits Abu Qotadah Al-Anshory Radhiallahu‘anhu,
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ اَلِاثْنَيْنِ,
قَالَ: ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ, وَبُعِثْتُ فِيهِ, أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ
فِيهِ
Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam ditanya tentang puasa pada hari Senin, maka beliau menjawab,
"Ia adalah hari kelahiranku, hari aku diutus, dan hari diturunkan
al-Qur’an padaku."
Sisi pendalilan dari hadits ini
-menurutnya- adalah bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
memuliakan dan mengagungkan hari lahir beliau dengan cara berpuasa pada hari
itu. Ini (berpuasa) hampir semakna dengan perayaan walaupun bentuknya berbeda.
Yang jelas makna pemuliaan itu ada, apakah dengan berpuasa atau dengan memberi
makan atau dengan berkumpul-kumpul untuk mengingat dan bersholawat kepada
beliau dan lain-lainnya.
Bantahan:
Lihat bantahan pertama untuk syubhat
pertama.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam tidak berpuasa pada hari kelahiran beliau, yaitu tanggal 12 Rabi’ul
Awwal [Itupun telah kita tegaskan bahwa yang benarnya beliau dilahirkan pada
tanggal 8 Rabi’ul Awwal], akan tetapi beliau berpuasa pada hari Senin yang
setiap bulan berulang sebanyak empat kali. Beliau juga tidak pernah
mengkhususkan untuk mengerjakan amalan-amalan tertentu pada tanggal kelahiran
beliau. Maka semua ini adalah bukti yang menunjukkan bahwa beliau Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tidaklah menganggap tanggal kelahiran beliau
lebih afdhol daripada yang lainnya. Lihat Ar-Roddul Qowy hal. 61-62
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam tidak mengkhususkan berpuasa hanya pada hari Senin saja akan tetapi
beliau juga berpuasa pada hari Kamis, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah
Radhiallahu‘anhu secara marfu‘:
“Amalan-amalan disodorkan setiap hari
Senin dan kamis, maka saya senang jika amalan saya disodorkan sedang saya dalam
keadaan berpuasa”. (HR. At-Tirmidzi no. 747 dan dishahihkan oleh Al-Albani
dalam Al-Irwa` no. 949)
Jadi, berdalilkan dengan puasa hari Senin
untuk membolehkan perayaan Maulid adalah puncak takalluf (pemaksaan) dan
pendapat yang sangat jauh dari kebenaran.
Jika yang diinginkan dari perayaan maulid
adalah sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah Ta’ala atas nikmat kelahiran Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, maka suatu perkara yang masuk akal
-dan memang inilah yang ditetapkan oleh syari’at- kalau pelaksanaan kesyukuran
tersebut sesuai dengan pelaksanaan kesyukuran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam atasnya, yakni dengan berpuasa. Oleh karena itu, hendaknya kita berpuasa
sebagaimana beliau berpuasa [Maksudnya berpuasa pada hari Senin sebagaimana
Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam berpuasa hari Senin. Adapun berpuasa tepat
pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal -kalaupun ini kita anggap pendapat yang paling
benar tentang hari lahir beliau-, maka tidak disyari’atkan karena tak ada dalil
yang mengkhususkannya dengan puasa, yang ada hanyalah berpuasa pada hari Senin.
[ed]], bukan malah dengan menghambur-hamburkan uang untuk makanan dan yang
semisalnya. Lihat Al-Inshof fima Qila fil Maulid hal. 64-66 karya Abu Bakr
Al-Jaza`iry.
(Rujukan: Al-Bida’ Al-Hauliyah hal.
171-172 dan Ar-Roddu ‘ala Syubhati man Ajazal Ihtifal bil Maulid syubhat
keempat)
8. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam tentang keutamaan hari Jum’at:
“Sebaik-baik hari yang matahari terbit
padanya adalah hari Jum’at, padanya diciptakan Adam, padanya dia diwafatkan,
padanya dia dimasukkan ke Surga dan padanya dia dikeluarkan darinya, serta
tidak akan tegak Hari Kiamat kecuali pada hari Jum’at”. (HR. Muslim no. 854
dari Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu)
Dalam kitab Haulal Ihtifal hal. 14,
Muhammad ‘Alwy Al-Maliki menyatakan bahwa jika hari Jum’at memiliki keutamaan
karena pada hari itu Nabi Adam tercipta, maka tentunya hari ketika pimpinan
para Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tercipta itu lebih pantas
untuk mendapatkan keutamaan dan pemuliaan.
Bantahan:
Sama dengan bantahan pertama atas syubhat
pertama.
Syaikh At-Tuwaijiri Rahimahullahu berkata
dalam Ar-Roddul Qowy hal. 82, “Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam tidak pernah mengkhususkan hari Jum’at untuk melaksanakan
sesuatupun berupa amalan-amalan sunnah, dan beliau telah melarang untuk
mengkhususkan hari Jum’at dengan berpuasa atau mengkhususkan malam Jum’at untuk
sholat lail. Di dalam Shahih Muslim [No. hadits 1144] dari Abu Hurairah
Radhiallahu‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bahwa
beliau bersabda:
“Jangan kalian mengkhususkan malam Jum’at
di antara malam-malam lainnya dengan mengerjakan shalat malam dan jangan kalian
khususkan hari Jum’at di antara hari-hari lainnya dengan berpuasa, kecuali bila
(hari Jum’at) bertepatan dengan hari kebiasaan salah seorang di antara kalian
berpuasa”.
Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam tidak mengkhususkan hari Jum’at dengan sesuatu apapun berupa
amalan-amalan sunnah -padahal Adam ’alaihis salam diciptakan pada hari itu-,
maka apa hubungannya dengan Ibnul ‘Alwy dan selainnya, yang menyebutkan
pendalilan tersebut tentang dibolehkannya perayaan maulid?!”. Selesai dengan
perubahan
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhati man
Ajazal Ihtifal bil Maulid, syubhat ketujuh]
9. Hadits Anas bin Malik
Radhiallahu‘anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
bercerita ketika beliau melakukan Isro` dan Mi’roj:
“Lalu dia (Jibril) berkata, “Turun dan
shalatlah!”, maka sayapun turun lalu mengerjakan shalat. Lalu dia bertanya,
“Tahukah engkau di mana engkau shalat? Engkau sholat di Betlehem, tempat ‘Isa
‘alaihis salam dilahirkan””. (HR. An-Nasa`i (1/221-222/450))
Hadits ini dijadikan dalil oleh Muhammad
‘Alwy Al-Maliki dalam Haulal Ihtifal hal. 14-15 untuk membolehkan perayaan
maulid. Sisi pendalilannya adalah bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam diperintahkan untuk memuliakan tempat kelahiran Nabi ‘Isa dengan
cara sholat di atasnya. Maka hari dan tempat kelahiran Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam lebih pantas lagi untuk dimuliakan
dengan mengadakan perayaan maulid.
Bantahan:
Kisah tentang sholatnya beliau di
Betlehem ini juga datang dari hadits Syaddad bin ‘Aus Radhiallahu‘anhu riwayat
Al-Bazzar dalam Al-Musnad no. 3484 dan Ath-Thobarony (7/282-283/7142) dan juga
dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu riwayat Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin
(1/187-188) dalam biografi Bakr bin Ziyad Al-Bahily.
Ketiganya adalah hadits yang lemah dan
mungkar. Berikut kesimpulan bantahan Al-‘Allamah Al-Anshary Rahimahullahu dalam
Al-Qaulul Fashl, hal. 138-145 terhadap kisah di atas:
1. Hadits Anas bin Malik
Radhiallahu‘anhu.
Ibnu Katsir Rahimahullahu berkata setelah
menyebutkan hadits ini dalam rangkaian hadits-hadits tentang Isro` dan Mi’roj
ketika menafsirkan ayat pertama dari surah Al-Isro‘, “Di dalam kisah ini ada
ghorobah [Kata ghorib atau ghorobah jika digunakan oleh At-Tirmidzi dalam
Sunannya, Ibnu Katsir dalam Tafsirnya dan Az-Zayla’iy dalam Nashbur Royah maka
kebanyakannya bermakna dho’if (lemah)] (keanehan) dan sangat mungkar”.
Beliau juga berkata dalam Al-Fushul fii
Ikhtishori Sirotur Rosul, “Ghorib (aneh), sangat mungkar, dan sanadnya muqarib.
Dalam hadits-hadits yang shahih, ada perkara yang menunjukkan tentang
kemungkarannya, wallahu A’lam”.
Yakni kisah tentang sholatnya beliau
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam di Betlehem ini, tidak ada
disebutkan dalam kisah Isro` dan Mi’roj dalam hadits-hadits lain yang shohih.
2. Hadits Syadad bin Aus
Radhiallahu‘anhu.
Di dalam sanadnya ada rowi yang bernama
Ishaq bin Ibrahim ibnul ‘Ala` Adh-Dhahhak Az-Zubaidy Ibnu Zibriq Al-Himshy.
Al-Hafizh berkata dalam Al-Fath,
“(Orangnya) Jujur, tapi banyak bersalah (dalam periwayatan). Muhammad bin ‘Auf
mengungkapkan bahwa dia berdusta”.
Adz-Dzahabi berkata dalam Al-Mizan,
“An-Nasa`i berkata : “(Orangnya) tidak tsiqoh”.
Abu Daud berkata, “Tidak ada apa-apanya
(baca: tidak ada nilainya) dan dia dianggap pendusta oleh Muhammad bin ‘Auf
Ath-Tho`i, seorang ahli hadits negeri Himsh””.
Ibnu Katsir Rahimahullahu berkata dalam
Tafsirnya setelah menyebutkan jalan-jalan periwayatan hadits Syaddad ini,
“Tidak ada keraguan, hadits ini -yang saya maksudkan adalah yang diriwayatkan
dari Syaddad bin Aus- mengandung beberapa perkara, di antaranya ada yang shohih
-sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Baihaqi-, dan di antaranya ada yang
mungkar, seperti (kisah) sholat (Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam-) di
Betlehem dan (kisah) pertanyaan (Abu Bakar) Ash-Shiddiq tentang sifat Baitul
Maqdis dan selainnya, wallahu A’lam”.
3. Hadits Abu Hurairah Radhiallahu‘anhu.
Di dalam sanadnya terdapat Bakr bin Ziyad
Al-Bahily. Ibnu Hibban berkata, “Syaikh pendusta, membuat hadits palsu dari
para tsiqot (rowi-rowi terpercaya), tidak halal menyebut namanya dalam
kitab-kitab kecuali untuk dicela”.
Beliau juga berkata mengomentari hadits
Abu Hurairah di atas, “Ini adalah sesuatu yang orang awamnya ahli hadits tidak
akan ragu lagi bahwa ini adalah palsu, terlebih lagi pakar dalam bidang ini”.
[Perkataan beliau ini dinukil oleh Ibnul Jauzy dalam Al-Maudhu’at (1/113-114),
Adz-Dzahaby dalam Al-Mizan (1/345) dan Asy-Syaukany dalam Al-Fawa`id
Al-Majmu’ah fil Ahadits Al-Maudhu’ah hal. 441]
Ibnu Katsir berkata berkata dalam
Al-Fushul fii Ikhtishori Sirotur Rosul, hal. 22 dalam mengomentari hadits Abu
Hurairah ini, “Juga tidak shohih karena keadaan Bakr bin Ziyad yang telah
berlalu”. Yakni beliau menghukuminya sebagai rowi yang matruk (ditinggalkan
haditsnya).
Sebagai kesimpulan, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah Rahimahullahu berkata dalam tafsir surah Al-Ikhlash hal. 169, “Apa
yang diriwayatkan oleh sebagian mereka tentang hadits Isro` bahwa dikatakan
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, [“Ini adalah baik,
turun dan sholatlah”, maka beliau turun lalu sholat, “Ini adalah tempat
bapakmu, turun dan sholatlah”],merupakan (riwayat) dusta dan palsu. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tidak pernah sholat pada malam itu
kecuali di Masjid Al-Aqsha sebagaimana dalam Ash-Shahih dan beliau tidak pernah
turun kecuali padanya”.
Ibnul Qoyyim Rahimahullahu dalam Zadul
Ma’ad berkata, “Konon kabarnya, beliau turun di Betlehem dan sholat padanya.
Hal itu tidak benar dari beliau selama-lamanya”. -Selesai dari Al-Qaulul Fashl-
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man
Ajazal Maulid syubhat kesembilan]
10. Sesungguhnya para penya’ir dari
kalangan sahabat, seperti Ka’ab bin Zuhair, Hassan bin Tsabit, dan yang lainnya
Radhiallahu‘anhum, mereka membacakan sya’ir-sya’ir pujian kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan beliau ridho dengan perbuatan
mereka serta membalas mereka dengan membacakan sholawat dan mendo’akan kebaikan
kepada mereka.
Ini dijadikan dalil oleh Hasyim
Ar-Rifa’iy sebagaimana dalam Ar-Roddul Qowy hal. 78.
Bantahan:
Al-‘Allamah At-Tuwaijiri Rahimahullahu
berkata dalam Ar-Roddul Qowy, hal. 79, “Tidak pernah disebutkan dari seorangpun
dari para penya’ir sahabat radhiyallahu ‘anhum- bahwa mereka mengungkapkan
kecintaan mereka kepada Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam dengan melantunkan
qoshidah-qoshidah (sya’ir-sya’ir) pada malam kelahiran beliau, akan tetapi
kebanyakannya mereka melantunkannya ketika terjadinya penaklukan suatu negeri
dan ketika mengalahkan musuh-musuh. Di bangun di atas dasar ini, berarti
pelantunan (sya’ir) di depan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
bukanlah sesuatu yang pernah dilakukan oleh Ka’ab bin Zuhair, Hassan bin
Tsabit, dan selain keduanya dari kalangan para penya’ir sahabat, (bukanlah)
merupakan perkara yang bisa dipegang oleh Ar-Rifa’iy dan selainnya dalam
menguatkan bid’ah maulid”. -Selesai dengan sedikit meringkas-.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man
Ajazal Maulid syubhat kesepuluh]
11. Sesungguhnya perayaan maulid adalah
perkumpulan dzikir, sedekah, dan pengagungan terhadap sisi kenabian. Dan semua
perkara ini tentunya merupakan perkara yang dituntut dan dipuji dalam syari’at
Islam.
Jawaban:
Tidak diragukan bahwa semua yang
disebutkan di atas berupa dzikir, sedekah, dan mengingat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam merupakan ibadah, bahkan termasuk di antara
ibadah yang memiliki kedudukan yang besar dalam Islam. Akan tetapi perlu
diketahui bahwa ibadah nantilah diterima setelah terpenuhi dua syarat, ikhlas
dan sesuai dengan petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
[Lihat kembali bab Syarat Diterimanya Amalan]. Kemudian, di antara kaidah yang
masyhur di tengah para ulama dan para penuntut ilmu bahwa suatu ibadah bila
perintah pelaksanaannya datang dalam bentuk umum -yakni tidak terikat dengan
suatu waktu maupun tempat-, maka ibadah tersebut juga harus dilaksanakan secara
mutlak tanpa mengkhususkan waktu dan tempat tertentu, kapan dikhususkan tanpa
adanya dalil maka perbuatan tersebut dhukumi sebagai bid’ah [Kaidah ini
disebutkan oleh Syaikh Nashirudin Al-Albany dalam Ahkamul Jana`iz hal. 306].
Oleh karena itulah, termasuk bid’ah tatkala mengkhususkan pelaksanaan ibadah
dzikir, sedekah, dan mengingat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam
hanya pada tanggal kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man
Ajazal Maulid syubhat ke sebelas]
12. Sesungguhnya perayaan maulid adalah
perkara yang dianggap baik oleh banyak ulama dan telah diterima, bahkan
dilangsungkan secara turun temurun oleh kebanyakan kaum muslimin di kebanyakan
negeri-negeri kaum muslimin.
Maka tentunya hal itu adalah kebaikan
karena kaidah yang diambil dari hadits Ibnu Mas’ud Radhiallahu‘anhu menyatakan
bahwa, [“Apa-apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka itu juga baik di
sisi Allah”].
Ini adalah termasuk dalil yang disebutkan
oleh Muhammad bin ‘Alwy Al-Maliki dalam Haulal Ihtiffal hal. 15.
Bantahan:
Telah berlalu jawaban atas hadits Ibnu
Mas’ud Radhiallahu‘anhu pada bab ketiga.
Siapa yang dimaksudkan sebagai ulama oleh
Al-Maliki di sini??! Kalau yang dia maksudkan adalah para sahabat serta
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, maka ini adalah kedustaan atas
nama mereka. Kalau yang dia maksudkan adalah selain mereka dari kalangan
Al-Qoromithoh, Al-Bathiniyah, dan Shufiah, maka Al-Maliki benar karena memang
perayaan maulid ini tidaklah muncul kecuali atas prakarsa mereka, sebagian
mereka -yakni Al-Bathiniyyah- telah dikafirkan oleh para ulama. Lihat bab
kesembilan dari buku ini.
Syaikh Sholih Al-Fauzan Hafizhahullah
berkata dalam risalah beliau Hukmul Ihtifal bi Dzikril Maulid An-Nabawy, “Yang
menjadi hujjah adalah sesuatu yang tsabit (shahih) dari Rasul Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam. Sedang yang tsabit dari Rasul Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah larangan berbuat bid’ah secara umum, dan
ini -yakni perayaan maulid- di antara bentuknya.
Amalan manusia, jika menyelisihi dalil
maka bukanlah hujjah walaupun jumlah mereka banyak.
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ
يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan
orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan
Allah”. (QS. Al-An’am : 116)
Itupun akan terus menerus ada -berkat
nikmat Allah- pada setiap zaman orang-orang yang mengingkari bid’ah ini dan
menjelaskan kebatilannya. Jadi, tidak ada hujjah pada amalan orang yang terus
menghidupkan (bid’ah ini) setelah jelas baginya kebenaran”.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man
Ajazal Maulid syubhat kedua belas]
13. Sebagian mereka berdalih bahwa
sebagian ulama sunnah ada yang memperbolehkan perayaan maulid, seperti Imam
As-Suyuthi Rahimahullahu dan yang lainnya.
Maka kami hanya mengikuti mereka karena
mereka adalah orang yang berilmu.
Bantahan:
Tidak diragukan bahwa ucapan ini adalah
ucapan yang penuh dengan fanatisme, taqlid, dan kesombongan yang telah
diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang telah berlalu
penjelasannya pada bab kelima dari buku ini.
Kemudian, perselisihan para ulama dalam
masalah ini -yakni bid’ahnya maulid- adalah perselisihan yang sifatnya tadhodh
(saling berlawanan dan menafikan), yang salah satunya adalah kebenaran dan yang
lainnya adalah kebatilan, bukan perselisihan tanawwu’ (cabang) yang sifatnya
masih menerima toleransi dan kompromi.
Sebagai seorang muslim, hendaknya
mengembalikan semua perselisihan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana
yang telah kami tegaskan pada bab pertama.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man
Ajazal Maulid syubhat ketiga belas]
14. Pengakuan dari seseorang yang bernama
Muhammad ‘Utsman Al-Mirghony dalam muqaddimah kitabnya yang berjudul Al-Asror
Ar-Robbaniyah, hal. 7.
Dia nyatakan bahwa dia menerima syari’at
perayaan maulid ini langsung dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam dalam mimpinya.
Bantahan:
Al-‘Allamah Isma’il Al-Anshory
Rahimahullahu berkata dalam Al-Qaulul Fashl, “Sesungguhnya bersandar di atas
pengakuan bahwa seseorang menerima perintah-perintah Nabi Shallallahu’alaihi
wasallam dalam mimpi untuk merayakan maulid Nabi Shallallahu’alaihi wasallam
tidaklah teranggap, karena mimpi dalam tidur tidak bisa menetapkan sunnah yang
tidak ada dan tidak bisa membatalkan sunnah yang sudah ada sebagaimana yang
dijelaskan oleh para ulama”.
Imam Abu Zakaria An-Nawawy Rahimahullahu
berkata dalam menjelaskan perkataan Imam Muslim Rahimahullahu tentang
“Menyingkap aib-aib para perawi hadits” dalam Shahihnya (1/115), “Tidak boleh
menetapkan hukum syar’i dengannya -yaitu dengan mimpi-, karena keadaan tidur
bukanlah keadaan menghafal dan yakin terhadap apa yang didengar oleh yang
bermimpi tersebut. Mereka telah bersepakat bahwa termasuk syarat orang yang
diterima riwayat dan persaksiannya adalah orang yang terjaga, bukan orang yang
lalai, bukan orang yang jelek hafalannya, dan tidak banyak salah (dalam
hafalan), …”.
Inilah hukum semua mimpi selain mimpinya
para Nabi yakni tidak bisa menetapkan syari’at yang tidak pernah dituntunkan
oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam dan sebaliknya mimpi tidak
bisa menghapuskan sesuatu yang telah ditetapkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam dalam hidup beliau, walaupun yang dia lihat di dalam
mimpinya adalah betul Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam [Akan
tetapi hal ini tentunya tidak mungkin. Yang dia lihat di dalam mimpnya pasti
adalah syaithan yang mengaku sebagai Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam, karena
tidak mungkin beliau memerintahkan sesuatu yang telah beliau larang ketika
beliau masih hidup].
Imam Asy-Syathibi Rahimahullahu berkata
dalam Al-I’tishom (1/209), “Mimpi selain para Nabi tidak bisa menghukumi
syari’at, bagaimanapun keadaannya kecuali harus diperhadapkan kepada sesuatu
yang ada di depan kita berupa hukum-hukum syari’at (Al-Kitab dan As-Sunnah).
Jika hukum-hukum syari’at ini membolehkannya, maka kita amalkan berdasarkan
hukum-hukum itu. Jika tidak, maka wajib untuk ditinggalkan dan berpaling
darinya. Faidahnya tidak lain sekedar sebagai kabar gembira (bila mimpinya
baik) atau peringatan (jika mimpinya buruk). Adapun mengambil petikan-petikan
hukum darinya, maka tidak!”.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man
Ajazal Maulid syubhat keempat belas]
15. As-Sakhowi [Beliau adalah salah
seorang murid senior dari Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullahu] Rahimahullahu
berkata,
“Jika penganut salib (Nashoro) menjadikan
malam kelahiran Nabi mereka sebagai hari raya besar, maka penganut Islam lebih
pantas dan lebih harus untuk memuliakan (Nabi mereka)”.
Ini disebutkan oleh Hasyim Ar-Rifa’iy dan
dia berdalil dengannya dalam membolehkan maulid sebagaimana dalam Ar-Roddul
Qowy, hal. 25 karya Syaikh Hamud bin Abdillah At-Tuwaijiri Rahimahullahu.
Jawaban:
Tidak ada keraguan bahwa merayakan maulid
dan menjadikannya sebagai hari raya adalah di bangun atas tasyabbuh
(penyerupaan) kepada Nashara, sedangkan tasyabbuh kepada orang-orang kafir
adalah perkara yang diharamkan dan terlarang berdasarkan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum,
maka dia termasuk darinya”. (HR. Abu Daud no. 4031 dari Ibnu ‘Umar
Radhiallahu‘anhuma dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah (1/676)
dan Al-Irwa` no. 2384)
Lihat kembali pada bab keenam dari buku
ini.
[Rujukan: Ar-Roddu ‘ala Syubhat man
Ajazal Maulid syubhat kelima belas]
16. Sesungguhnya perayaan maulid adalah
amalan yang bisa menghidupkan semangat kita untuk mengingat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan ini adalah perkara yang disyari’atkan.
Ini dijadikan dalil oleh Muhammad bin
‘Alwy Al-Maliki dalam Haulal Ihtifal hal. 20.
Bantahan:
Cara mengingat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wasallam bukanlah dengan berbuat bid’ah yang telah beliau larang,
akan tetapi dengan cara meninggalkan semua jenis bid’ah -termasuk di dalamnya
perayaan maulid- dan semua perkara yang beliau larang. [Lihat bab Hakikat
Kecintaan Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam]
Mengingat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
‘ala alihi wasallam, -kalau sekedar itu yang diinginkan-, maka tidak perlu
dengan merayakan maulid. Karena mengingat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wasallam bisa dilakukan dengan bersholawat kepada beliau, berdo’a setelah
mendengar adzan, bersholawat kepada beliau ketika mendengar nama beliau
disebut, berdo’a setelah berwudhu, dan amalan-amalan ibadah lainnya. Semua
amalan ini adalah amalan yang sifatnya dilaksanakan secara kontinyu
(terus-menerus) siang dan malam, bukan hanya sekali setahun. [Di antara sarana
yang mengingatkan kita kepada Nabi -Shallallahu‘alaihi wasallam adalah dengan
membaca dan mengkaji hadits-hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam agar
bisa diamalkan. Sehingga orang yang mempelajari hadits-hadits beliau akan tahu
dan paham tentang aqidah, syari’at, ibadah, akhlak, dan perjuangan beliau dalam
menegakkan Islam. Semua ini akan mendorong dirinya dan orang lain untuk
mengamalkan sunnah dan mengingat Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam.
Bahkan seorang yang mengamalkan sunnah
akan mengingatkan kita tentang sosok Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam,
seakan-akan beliau ada di depan kita. Adapun orang yang meramaikan bid’ah
maulid, maka mereka tidaklah mengingatkan kita tentang sosok beliau
Shallallahu‘alaihi wasallam, akan tetapi justru mengingatkan kita tentang
natal, mengingatkan kita tentang orang-orang bathiniyyah dan shufiyyah karena
merekalah yang pertama kali melakukan maulid menurut para ahli tarikh. [ed]]
[Rujukan: Hukmul Ihtifal bil Maulidin
Nabawy war Roddu ‘ala man Ajazahu hal. 29-30 karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim
Alu Asy-Syaikh]
17. Mereka mengatakan, “Perayaan maulid
ini hanyalah sekedar adat istiadat yang tidak ada kaitannya dengan agama
sehingga tidak bisa dianggap bid’ah”.
Bantahan:
Perkataan ini adalah tempat pelarian
terakhir bagi orang-orang yang membolehkan perayaan maulid setelah seluruh
dalil-dalil mereka dirontokkan. Itupun alasan yang mereka katakan ini adalah
alasan yang tidak bisa diterima karena para pendahulu mereka yang membolehkan
maulid baik dari kalangan ulama maupun yang bukan ulama telah menetapkan bahwa
perayaan maulid adalah ibadah di sisi mereka, dan seseorang akan mendapatkan
pahala dengannya. [Lihat bab Orang-Orang yang Merayakan Maulid Menganggapnya
Bagian dari Agama]
18. Mereka juga berkata, “Perayaan maulid
ini memang adalah bid’ah, tapi dia adalah bid’ah hasanah (yang baik)”.
Bantahan:
Bantahan atas syubhat ini telah kami
paparkan panjang lebar pada bab ketiga dari buku ini.
19. Perayaan maulid ini, walaupun dia
adalah bid’ah akan tetapi telah diterima dan diamalkan oleh ummat Islam sejak
ratusan tahun yang lalu.
Ini dijadikan dalil oleh Muhammad
Mushthofa Asy-Syinqithi.
Bantahan:
Berikut kami bawakan secara ringkas
bantahan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh Rahimahullahu terhadap
syubhat ini dari risalah beliau Hukmul Ihtifal bil Maulid war Roddu ala man
Ajazahu. Beliau berkata, “Ada beberapa perkara yang menunjukkan bodohnya orang
ini:
Pertama: Bahwasanya ummat ini ma’shumah
(terpelihara) untuk bersepakat di atas kesesatan sedangkan bid’ah dalam agama
adalah kesesatan berdasarkan nash dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wasallam. Jadi perkataan dia ini, mengharuskan bahwa ummat ini telah bersepakat
(untuk membenarkan) perayaan maulid yang dia sendiri telah mengakuinya sebagai
bid’ah.
Kedua: Sesungguhnya berhujjah dengan
pengakuan seperti ini untuk menganggap baik suatu bid’ah, bukanlah warisan para
ulama yang hidup di ketiga zaman keutamaan dan tidak pula orang-orang yang
mencontoh mereka, sebagaimana hal ini telah diterangkan oleh Imam Asy-Syathibi
Rahimahullahu dalam kitab beliau Al-I’tishom.
Beliau (Asy-Syathibi) berkata, [“Tatkala
berbagai bid’ah dan penyimpangan telah disepakati oleh manusia atasnya (baca :
membenarkannya), maka jadilah orang yang jahil berkata, “Seandainya ini adalah
kemungkaran maka tentu tidak akan dikerjakan oleh manusia””]”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata
dalam Al-Iqtidho`, “Barangsiapa yang berkeyakinan bahwa kebanyakan adat-adat
yang menyelisihi sunnah ini adalah perkara yang disepakati (akan kebolehannya)
dengan berlandaskan bahwa ummat ini telah menyetujuinya dan mereka tidak
mengingkarinya, maka dia telah salah dalam keyakinannya itu. Sesungguhnya akan
terus-menerus ada orang-orang yang melarang dari seluruh adat-adat yang
dimunculkan, yang menyelisihi sunnah”.
Ketiga: Sesuatu (berupa keterangan) yang
akan kami sebutkan dari para ulama kaum muslimin berupa dipenuhinya perayaan
maulid tersebut dengan perkara-perkara yang diharamkan, serta penjelasan bahwa
perayaan maulid yang tidak mengandung perkara-perkara yang diharamkan maka dia
tetap merupakan bid’ah” [Lihat bab Kemungkaran-Kemungkaran dalam Perayaan
Maulid].
20. Mereka juga berdalil dengan perkataan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yang -katanya- beliau membolehkan perayaan
maulid.
Beliau berkata, “Demikian pula apa yang
dimunculkan oleh sebagian manusia, -apakah dalam rangka menandingi Nashara
dalam perayaan maulid ‘Isa -‘alaihis salam- atau karena kecintaan kepada Nabi
Shallallahu‘alaihi wasallam dan mengagungkan beliau-. Allah kadang memberikan
pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijithad ini, bukan atas bid’ah-bid’ah
berupa menjadikan Maulid Nabi Shallallahu‘alaihi wasallam sebagai ‘ied …”.
Lihat Al-Iqtidho` hal. 294
Di antara orang yang berdalilkan
dengannya adalah Muhammad Musthofa Al-’Alwy. Dia berkata, “Maka perkataan
Syaikhul Islam ini jelas menunjukkan bolehnya amalan maulid Nabi
Shallallahu‘alaihi wasallam yang bersih dari kemungkaran-kemungkaran yang
bercampur dengannya”.
Bantahan:
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu
Asy-Syaikh menyatakan [Lihat Mulhaq dari risalah Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu
Asy-Syaikh yang berjudul Hukmul Ihtifal bil Maulid war Roddu ala man Ajazahu],
“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullahu berkata dalam kitabnya
Al-Istighotsah, [“Suatu kesalahan, jika timbul dari jeleknya pemahaman orang
yang mendengar, bukan karena kelalaian pembicara, maka tidak ada apa-apa (baca
: dosa) atas pembicara. Tidak dipersyaratkan pada seorang alim jika dia
berbicara harus menjaga jangan sampai ada pendengar yang salah faham”].
Lagi pula beliau sendiri telah menegaskan
dalam lanjutan ucapan beliau -yang akan kami nukilkan pada bab ketiga belas-
bahwa perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah
bid’ah yang mungkar.
Adapun mu’alliq (komentator)
Al-Iqthidho`, dia berkata, “Bagaimana mungkin mereka memiliki pahala atas hal
ini padahal mereka telah menyelisihi petunjuk Rasulullah Shallallahu‘alaihi
wasallam dan petunjuk para sahabat beliau”.
21. Mereka berkata, “Perayaan maulid Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam memang tidak pernah dilakukan oleh Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi dia merupakan syi’ar agama Islam,
bukan merupakan bid’ah”.
Bantahan:
Ini menunjukkan kebodohan orang yang
mengucapkannya terhadap syari’at Islam, maka apakah orang yang seperti ini
pantas untuk berkomentar dalam agama Allah?! Orang ini telah membedakan antara
agama dan syi’ar agama padahal Allah -‘Azza wa Jalla- telah berfirman:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ
فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan
barangsiapa mengagungkan syi`ar-syi`ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari
ketakwaan hati. “. (QS. Al-Hajj: 32)
Dalam ayat ini, Allah -‘Azza wa Jalla-
menjadikan syi’ar agama sebagai lambang dari kataqwaan hati yang merupakan
kewajiban. Maka apakah setelah ini, masih ada orang yang mengaku paham agama
yang mengatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sengaja meninggalkan
syi’ar agama -menurut sangkaan mereka- yang satu ini (maulid)?!
Karena ucapan ini mengharuskan bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam sengaja meninggalkan sebuah ketaatan yang
merupakan kewajiban [Dan meninggalkan ketaatan yang merupakan kewajiban dengan
sengaja adalah dosa besar], padahal para ulama telah bersepakat bahwa para Nabi
terjaga (ma’shum) dari dosa besar. Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullahu berkata
dalam Fathul Bari (8/69), “Para nabi ma’shum dari dosa-dosa besar berdasarkan
ijma’ ” (Lihat juga Majmu’ Al-Fatawa (4/319) dan juga Minhajus Sunnah (1/472)
karya Ibnu Taimiyah).
22. Di antara dalil mereka adalah bahwa tidak
ada satupun dalil yang tegas dan jelas melarang mengadakan perayaan maulid Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Bantahan:
Sebenarnya dalil semacam ini tidak pantas
kami sebutkan, karena dalil ini hakikatnya sudah lebih dahulu patah sebelum
dipatahkan. Akan tetapi yang sangat disayangkan, dalil ini masih juga diucapkan
oleh sebagian orang yang mengaku berilmu yang dengannya dia menyesatkan manusia
dari jalan Allah.
Kami tidak akan menjawab dalil ini sampai
mereka menjawab beberapa pertanyaan di bawah ini:
Tunjukkan pada kami satu dalil yang tegas
dan jelas yang melarang dari narkoba dengan semua jenisnya!.
Tunjukkan pada kami satu dalil yang tegas
dan jelas yang mengharamkan praktik-praktik perjudian kontemporer, semacam
undian berhadiah melalui telepon, SMS, dan selainnya!
Tunjukkan pada kami satu dalil yang tegas
dan jelas yang menunjukkan haramnya kaum muslimin menghadiri natal dan perayaan
kekafiran lainnya!
Mereka tidak akan mendapatkan satu pun
dalil tentangnya -walaupun mereka bersatu untuk mencarinya- kecuali dalil-dalil
umum yang melarang dari semua amalan di atas dan yang semacamnya. Dan ketiga
perkara di atas, hanya orang yang bodoh tentang agama yang menyatakan halal dan
bolehnya.
Maka demikian halnya perayaan maulid.
Betul, tidak ada dalil yang tegas dan jelas yang melarangnya, akan tetapi dia
tetap merupakan bid’ah dan keharaman berdasarkan dalil-dalil umum yang sangat
banyak berkenaan larangan berbuat bid’ah dalam agama, berkenaan dengan larangan
menyerupai dan mengikuti orang-orang kafir, berkenaan dengan …, berkenaan
dengan …, dan seterusnya dari perkara-perkara haram yang terjadi sepanjang
pelaksanaan maulid. Wallahul Musta’an.
[Dinukil dari Buku Studi Kritis Perayaan
Maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karya al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah,
cetakan Maktabah al-Atsariyyah 2007]
Penetapan Orang-Orang yang Merayakan
Maulid Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam (Al-Ustadz Hammad Abu Muawiyah
Hadits-hadits
tidak jelas, andalan penggemar
maulid nabi
maulid nabi
Bismillah,
Inilah diantara riwayat-riwayat yang
dianggap hadits oleh para penggemar Maulid Nabi untuk membesarkan atau
mengagungkan Maulid Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
1. Abu Bakar ash-Shiddiq
Telah berkata Sayyidina Abu Bakar
As-Shiddiq: “Barangsiapa yang menafkahkan satu dirham bagi menggalakkan bacaan
Maulid Nabi saw., maka ia akan menjadi temanku di dalam syurga.” (sumber dari
kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya
Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
2. Umar bin Khottob al-Furqon
Telah berkata Sayyidina ‘Umar: “Siapa
yang membesarkan (memuliakan) majlis maulid Nabi saw. maka sesungguhnya ia
telah menghidupkan Islam.” (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam
fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar
al-Haitami as-Syafii)
3. Utsman bin ‘Affan Dzun-Nuraini
Telah berkata Sayyidina Utsman: “Siapa
yang menafkahkan satu dirham untuk majlis membaca maulid Nabi saw. maka
seolah-olah ia menyaksikan peperangan Badar dan Hunain” (sumber dari kitab
anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam
Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
4. Ali bin Abi Tholib Karomallahu wajhah
Telah berkata ‘Ali : “Siapa yang
membesarkan majlis maulid Nabi saw. dan karenanya diadakan majlis membaca
maulid, maka dia tidak akan keluar dari dunia melainkan dengan keimanan dan
akan masuk ke dalam syurga tanpa hisab”. * (sumber dari kitab anni’matul kubro
‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad
ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
5. Syekh Hasan al-Bashri
Telah berkata Hasan Al-Bashri: “Aku suka
seandainya aku mempunyai emas setinggi gunung Uhud, maka aku akan
membelanjakannya untuk membaca maulid Nabi saw.* (sumber dari kitab anni’matul
kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin
Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
6. Syekh Junaid al-Baghdady
Telah berkata Junaid Al-Baghdadi semoga
Allah mensucikan rahasianya: “Siapa yang menghadiri majlis maulid Nabi saw. dan
membesarkan kedudukannya, maka sesungguhnya ia telah mencapai kekuatan iman”.*
(sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii
aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
7. Syekh Ma’ruf al-Karkhy
Telah berkata Ma’ruf Al-Karkhi: “Siapa
yang menyediakan makanan untuk majlis membaca maulid Nabi saw. mengumpulkan
saudaranya, menyalakan lampu, memakai pakaian yang baru, memasang bau yang
wangi dan memakai wangi-wangian karena membesarkan kelahiran Nabi saw, niscaya
Allah akan mengumpulkannya pada hari kiamat bersama kumpulan yang pertama di
kalangan nabi-nabi dan dia berada di syurga yang teratas (Illiyyin)” (sumber
dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam
karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
8. Fakhruddin ar-Rozi
Telah berkata seorang yang unggul pada
zamannya, Imam Fakhruddin Al-Razi: “Tidaklah seseorang yang membaca maulid Nabi
saw* ke atas garam atau gandum atau makanan yang lain, melainkan akan zahir
keberkatan padanya, dan setiap sesuatu yang sampai kepadanya (dimasuki) dari
makanan tersebut, maka makanan tersebut akan bergoncang dan tidak akan tetap
sehingga Allah mengampunkan orang yang memakannya”.
“Sekirannya dibacakan maulid Nabi saw. ke
atas air, maka orang yang meminum seteguk dari air tersebut akan masuk ke dalam
hatinya seribu cahaya dan rahmat, akan keluar daripadanya seribu sifat dengki,
penyakit dan tidak mati hati tersebut pada hari dimatikan hati-hati”.
“Siapa yang membaca maulid Nabi saw. pada
suatu dirham yang ditempa dengan perak atau emas dan dicampurkan dirham
tersebut dengan yang lainnya, maka akan jatuh ke atas dirham tersebut
keberkatan, pemiliknya tidak akan fakir dan tidak akan kosong tangannya dengan
keberkatan Nabi saw.”* (sumber dari kitab anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii
maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar
al-Haitami as-Syafii)
9. Imam as-Syafii
Telah berkata Imam Asy-Syafi’i: “Siapa
yang menghimpunkan saudaranya (sesama Islam) untuk mengadakan majlis maulid
Nabi saw., menyediakan makanan dan tempat serta melakukan kebaikan, dan dia
menjadi sebab dibaca maulid Nabi saw. itu, maka dia akan dibangkitkan oleh
Allah pada hari kiamat bersama ahli siddiqin (orang-orang yang benar), syuhada’
dan solihin serta berada di dalam syurga-syurga Na’im.” (sumber dari kitab
anni’matul kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam
Syihabuddin Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
10. As-Sary as-Saqothy
Telah berkata As-Sariyy As-Saqothi:
“Siapa yang pergi ke suatu tempat yang dibacakan di dalamnya maulid Nabi saw.
maka sesungguhnya ia telah pergi ke satu taman dari taman-taman syurga, karena
tidaklah ia menuju ke tempat-tempat tersebut melainkan lantaran kerana cintanya
kepada Nabi saw. Sesungguhnya Rasulullah saw. telah bersabda: “Sesiapa yang
mecintaiku, maka ia akan bersamaku di dalam syurga.” (sumber dari kitab anni’matul
kubro ‘alaa al-’aalam fii maulid sayyidii waladii aadam karya Imam Syihabuddin
Ahmad ibnu Hajar al-Haitami as-Syafii)
11. Syihabuddin Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami
“Siapa yang hendak membesarkan maulid Nabi saw. maka
cukuplah disebutkan sekedar
ini saja akan kelebihannya. Bagi siapa yang tidak ada di
hatinya hasrat untuk membesarkan maulid Nabi saw. sekiranya dipenuhi dunia ini
dengan pujian ke atasnya, tetap juga hatinya tidak akan tergerak untuk
mencintai Nabi saw. Semoga Allah menjadikan kami dan kalian di kalangan orang
yang membesarkan dan memuliakannya dan mengetahui kadar kedudukan Baginda saw.
serta menjadi orang yang teristimewa di kalangan orang-orang yang teristimewa
di dalam mencintai dan mengikutinya. Aamiin, wahai Tuhan sekalian alam. Semoga
Allah melimpahkan rahmat atas penghulu kami Nabi Muhammad saw. keluarganya dan
sahabat-sahabatnya sekalian hingga Hari Kemudian.”
Komentar Atas Riwayat-Riwayat Diatas :
Perkataan serupa dinisbatkan kepada sahabat Abu Bakr,
Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma, sebagaimana dalam
kitab Madarij ash-Shu’udh hal.15 karya Syaikh Nawawi Banten.[1] Bahkan juga
dinisbatkan kepada Hasan al-Bashri, Ma’ruf al-Karkhi, al-Junaid dan lainnya
sebagaimana dalam Hasyiyah I’anah Tholibin: 3/571-572 karya Abu Bakr Syatho
Hadits2 tersebut TIDAK ADA ASALNYA. Sejak
awal kali mendengar ucapan yang dianggap hadits ini, bagaimana mungkin hadist
ini shohih?, sedangkan maulid tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya?!!
Jadi, Hadits-hadits ini tidak ada
asalnya,.. itu semua bukan hadits..
Ketika hadits ini ditanyakan kepada
Syaikh Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman hafizhahullah.[2]
Jawaban Syaikh :
“Ini merupakan kedustaan kepada
Rasulullah yang hanya dibuat-buat oleh para ahlul bid’ah.”
Kepada saudara-saudara kami yang
berhujjah dengan hadits ini, kami katakan: “Dengan tidak mengurangi
penghormatan kami, datangkan kepada kami sanad hadits ini agar kami
mengetahuinya!!”.
Singkat kata, hadits tersebut di atas
adalah dusta, tidak berekor dan berkepala (yakni : tanpa sanad).
Aneh dan lucunya, setelah itu ada
seseorang yang melariskan hadits tersebut dengan berkata: “Walaupun hadits ini
lemah, tetapi bisa dipakai dalam Fadhoilul A’mal.”
Hanya kepada Allah azza wa jalla kita
mengadu dari kejahilan manusia di akhir zaman!![3].
Adapun dari segi matan hadits, bagaimana
hadits ini shohih padahal perayaan maulid nabi tidaklah dikenal pada zaman Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam, para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Bahkan hal tersebut juga tidak dikenal di kalangan imam-imam mazhab: Abu
Hanifah, Malik, Syafi’i dan Imam Ahmad Rahimahumullah sekalipun karena memang
perayaan ini adalah perkara baru dalam agama. Adapun orang yang pertama kali
mengadakannya adalah Mu'iz Lidinillah dari Bani Ubaid al-Qoddakh yang menamai
diri mereka dengan “Fathimiyyun”. Mereka memasuki kota Mesir tahun 362 H.
Berakar dari sinilah kemudian mulai tumbuh dan berkembang bentuk-bentuk
perayaan maulid secara umum dan maulid nabi secara khusus.
Wallahu a'lam.
__________
FooteNote:
[1] Lihat Hadits-Hadits Bermasalah,
Prof.Ali Musthofa Ya’qub hal.102
[2] Beliau adalah salah seorang murid
Imam ahli hadits besar, al-Albani, yang sudah beberapa kali pernah berkunjung
ke Indonesia dalam rangka dakwah. Pertanyaan ini di tanyakan kepada beliau pada
hari Rabu 6 Muharrom 1423 H, sebelum shalat Dhuhur di masjid al-Irsyad,
Surabaya.
[3] Pekara ini juga didapati dalam kitab
Tahdzirul Muslimin Minal Ahadits al-Maudhu’ah ‘ala Sayyidil Mursalin hal.87
oleh Muhammad al-Basyir al-Azhari, beliau mengatakan: “Di antara hadits-hadits
yang banyak berbau dusta adalah kisah-kisah tentang maulid nabi.”
Disadur dari Tulisan Ust. Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi
hafizhahullah
Maroji :
Peringatan
Maulid Nabi Dalam Timbangan Islam
Sejarah Peringatan Hari Maulid Nabi Bulan
Rabi’ul Awwal dikenang oleh kaum muslimin sebagai bulan maulid Nabi, karena
pada bulan itulah, tepatnya pada hari senin tanggal 12, junjungan kita nabi
besar Muhammad dilahirkan, menurut pendapat jumhur ulama. Mayoritas kaum muslimin
pun beramai-ramai memperingatinya karena terdorong rasa mahabbah (kecintaan)
kepada beliau , dengan suatu keyakinan bahwa ini adalah bagian dari hari raya
Islam, bahkan terkategorikan sebagai amal ibadah mulia yang dapat mendekatkan
diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Lalu sejak kapankah peringatan ini
diadakan?
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah
menyebutkan bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi adalah
para raja kerajaan Fathimiyyah -Al ‘Ubaidiyyah yang dinasabkan kepada
‘Ubaidullah bin Maimun Al Qaddah Al Yahudi- mereka berkuasa di Mesir sejak
tahun 357 H hingga 567 H. Para raja Fathimiyyah ini beragama Syi’ah
Isma’iliyyah Rafidhiyyah. (Al Bidayah Wan Nihayah 11/172). Demikian pula yang
dinyatakan oleh Al Miqrizi dalam kitabnya Al Mawaa’izh Wal I’tibar 1/490.
(Lihat Ash Shufiyyah karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu hal. 43)
Adapun Asy Syaikh Ali Mahfuzh maka beliau
berkata: “Di antara pakar sejarah ada yang menilai, bahwa yang pertama kali
mengadakan peringatan maulid Nabi ialah para raja kerajaan Fathimiyyah di
Kairo, pada abad ke-4 H. Mereka menyelenggarakan enam perayaan maulid, yaitu
maulid Nabi , maulid Imam Ali (bin Abi Thalib), maulid Sayyidah Fathimah Az
Zahra, maulid Al Hasan dan Al Husain, dan maulid raja yang sedang berkuasa.
Perayaan-perayaan tersebut terus berlangsung dengan berbagai modelnya, hingga
akhirnya dilarang pada masa Raja Al Afdhal bin Amirul Juyusy. Namun kemudian
dihidupkan kembali pada masa Al Hakim bin Amrullah pada tahun 524 H, setelah
hampir dilupakan orang. (Al Ibda’ Fi Mazhahiril Ibtida’ , hal. 126)
Hukum Memperingati Maulid Nabi
Hari kelahiran Nabi mempunyai keutamaan
di sisi Allah . Berkata Ibnu Qayyim Al Jauziyyah: “Nabi Muhammad dilahirkan
pada tahun gajah. Peristiwa ini (yakni dihancurkannya tentara bergajah yang
dipimpin oleh Abrahah ketika hendak menyerang Ka’bah) adalah sebagai bentuk
pemuliaan Allah kepada Nabi-Nya dan Baitullah Ka’bah.” (Zaadul Ma’ad: 1/74)
Lalu apakah dengan kemuliaan tersebut
lantas disyari’atkan untuk memperingatinya? Para pembaca yang budiman,
ketahuilah bahwa tolok ukur suatu kebenaran adalah Al Qur’an dan As Sunnah
dengan pemahaman Salaful Ummah dari kalangan sahabat Nabi . Allah Subhanahu wa
ta’ala berfirman (artinya): “Jika kalian berselisih dalam suatu perkara maka
kembalikanlah kepada Allah (yakni Al Qur’an) dan Rasul-Nya (yakni As Sunnah),
jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat.” (An Nisaa’: 59)
Subhanallah!, ketika kita kembali kepada
Al Qur’an ternyata tidak ada satu ayat pun yang memerintahkannya, demikian pula
di dalam As Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
melakukannya atau memerintahkannya. Padahal kaum muslimin sepakat bahwa tidak
ada sesuatu pun dari agama ini yang belum disampaikan oleh Nabi Muhammad . Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلاَّ كَانَ
حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلىَ خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ
وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ ماَ يَعْلَمُهُ لَهُمْ
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi
kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kepada umatnya segala kebaikan yang
diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejelekan yang diketahuinya.” (HR.
Muslim)
Bagaimanakah dengan para sahabat Nabi
radhiallahu anhum, apakah mereka memperingati hari kelahiran seorang yang paling
mereka cintai ini?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata: “Merayakan hari kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah dilakukan oleh Salaf (yakni para sahabat) radhiallahu
anhum, meski ada peluang dan tidak ada penghalang tertentu bagi mereka untuk
melakukannya. Kalaulah perayaan maulid ini murni suatu kebaikan atau lebih
besar kebaikannya, pastilah kaum Salaf
radhiallahu anhum orang yang lebih berhak merayakannya daripada kita.
Karena kecintaan dan pengagungan mereka kepada Rasul lebih besar dari yang kita
miliki, demikian pula semangat mereka dalam meraih kebaikan lebih besar
daripada kita. (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim: 2/122)
Bagaimana dengan tabi’in, tabi’ut tabi’in
dan Imam-Imam yang empat (Al Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad),
apakah mereka merayakan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Jawabnya
adalah bahwa mereka sama sekali tidak pernah merayakannya.
Dan bila kita renungkan lebih dalam,
ternyata peringatan Maulid Nabi ini merupakan bentuk tasyabbuh (penyerupaan)
terhadap orang-orang Nashrani. Karena mereka biasa merayakan hari kelahiran
Nabi Isa Alaihissalam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka
dia termasuk bagian dari mereka.” (H.R Ahmad)
Para pembaca yang budiman, mungkinkah
suatu amalan yang tidak ada perintahnya di dalam Al Qur’an dan As Sunnah, tidak
pernah dilakukan atau diperintahkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya, tidak
pernah pula dilakukan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in dan Imam-Imam yang empat
(Al Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad), bahkan hasil rekayasa para
raja kerajaan Fathimiyyah yang dari keturunan Yahudi, dan juga mengandung unsur
penyerupaan terhadap orang-orang Nashrani, tergolong sebagai amal ibadah dalam
agama ini? Tentu seorang yang kritis dan berakal sehat akan mengatakan: ‘tidak
mungkin’, bahkan tergolong sebagai amalan bid’ah yang sangat berbahaya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِناَ هَذَا مَا لَيْسَ
مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengada-adakan sesuatu hal
yang baru dalam agama kami ini yang bukan bagian darinya, maka amalannya akan
tertolak.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Lebih dari itu, Allah Subhanahu wa ta’ala
berfirman (yang artinya): “Barangsiapa yang menyelisihi Rasul setelah jelas
baginya kebenaran dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin (yakni sahabat
Nabi), maka Aku akan palingkan ke mana mereka berpaling dan Kami masukkan
mereka ke dalam Jahannam.” (An Nisaa’: 115)
Bagaimanakah, bila pada sebagian acara
yang tidak ada syariatnya tersebut justru diramaikan oleh senandung syirik ala
Bushiri yang ia goreskan dalam kitab Burdahnya :
“Duhai dzat yang paling mulia (Nabi
Muhammad), tiada tempat berlindung bagiku dari hempasan musibah nan menggurita
selain engkau.
Bila hari kiamat engkau tak berkenan
mengambil tanganku sebagai bentuk kemuliaan, maka katakanlah duhai orang yang
binasa.
Karena sungguh diantara bukti
kedermawananmu adalah adanya dunia dan akhirat, dan diantara ilmumu adalah ilmu
tentang Lauhul Mahfuzh dan pena pencatat takdir (ilmu tentang segala
kejadian).”
Padahal, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam jauh-jauh hari telah memperingatkan umatnya dengan sabda beliau
(artinya): “Janganlah kalian berlebihan didalam memuliakanku sebagaimana
orang-orang Nashrani berlebihan didalam memuliakan Isa bin Maryam, sungguh aku
hanyalah seorang hamba, maka ucapkanlah (untukku): Hamba Allah dan Rasul-Nya.”
(H.R. Al Bukhari). Demikian pula Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman
(artinya): “Katakanlah: aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendaharaan
Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang ghaib, serta tidak
(pula) aku mengatakan padamu bahwa aku adalah malaikat.” (Al An’am: 50)
Serba – Serbi
Para pembaca, ketahuilah bahwa
semata-mata niat baik bukanlah timbangan segala-galanya. Lihatlah bagaimana
sikap Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu terhadap sekelompok muslimin yang
duduk di masjid dalam keadaan membaca takbir, tahlil, tasbih, dan berdzikir dengan
cara yang belum pernah dikerjakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
beliau radhiallahu ‘anhu berkata: “…celakalah kalian hai umat Nabi Muhammad !
Alangkah cepatnya kehancuran menimpa kalian! Padahal para sahabat Nabi masih
banyak yang hidup, pakaian beliau pun belum usang, dan bejana-bejana beliau pun
belum hancur. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian merasa
di atas suatu agama yang lebih benar daripada agama Muhammad atau kalian justru
sebagai pembuka pintu-pintu kesesatan?” Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdirrahman
(yakni ‘kunyah’ dari Abdullah bin Mas’ud), tidaklah yang kami inginkan
(niatkan) kecuali kebaikan semata? Beliau menjawab: “Betapa banyak orang yang
menginginkan kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi 1/68-69).
Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata:
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
“Barangsiapa yang menganggap baiknya
suatu amalan (tanpa dalil), berarti ia telah membuat syari’at.” (Al Muhalla fi
Jam’il Jawaami’ 2/395)
Demikian pula semata-mata mencintai Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa meniti jalannya dan jalan orang-orang yang
dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya yakni para sahabat, adalah kecintaan yang
palsu. Dengan tegas Allah berfirman (artinya): “Katakanlah (wahai Muhammad),
jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku.” (Ali Imran: 31)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata: “Sesungguhnya kesempurnaan cinta dan pengagungan terhadap
Rasul terletak pada (kuatnya) ittiba’ (mengikuti jejaknya), ketaatan kepadanya,
menjalankan perintahnya, menghidupkan sunnahnya lahir maupun batin, dan
menyebarkannya serta berjihad dalam upaya tersebut baik dengan hati, tangan dan
lisan.” (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim: 2/122)
Para pembaca, mungkin dalam hati kecil
ada yang bergumam: “Tidakkah peringatan maulid Nabi ini termasuk bid’ah
hasanah?”
Kita katakan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
وَإِيَّاكُمْ
وَ مُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ
“Hati-hatilah kalian dari perkara-perkara
yang diada-adakan (dalam agama) karena sungguh semua yang diada-adakan (dalam
agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu adalah sesat.” (HR. Abu Dawud &
Ibnu Majah)
Beranikah seorang yang mengaku cinta
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyelisihi sabda beliau?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam nyatakan setiap bid’ah itu adalah
sesat, lalu ia menyatakan bahwa ada bid’ah yang hasanah (baik)?!! Sungguh
ironis seorang yang katanya cinta kepada Rasul sehingga sangat berkepentingan
untuk memperingati hari kelahirannya, namun dalam mewujudkannya harus menentang
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah itu hakekat cinta kepada Allah
dan Rasul-Nya? Tentu jawabannya ‘Tidak’, karena hakekat cinta kepada Allah dan
Rasul-Nya adalah dengan ketaatan yang sempurna kepada keduanya, sebagaimana
yang dikandung oleh firman Allah dalam Q.S Ali Imran:31.
Cukuplah sebagai bukti kesesatannya dan
bukan hasanah, ketika Rasulullah , para sahabatnya, para tabi’in, tabi’ut
tabi’in dan para imam setelah mereka (termasuk imam yang empat), tidak
melakukannya dan tidak pernah membimbing umat untuk mengerjakannya. Kalaulah ia
hasanah, pasti mereka telah merayakannya dan menyumbangkan segala apa yang
mereka punya untuk acara tersebut, namun ternyata mereka tidak melakukannya.
Sahabat Abdullah bin Umar radhiallahu anhumaa berkata: “Setiap bid’ah itu sesat
walaupun orang-orang menganggapnya hasanah (baik). (Al Ushul I’tiqad Al Lika’i:
1/109)
Al Imam Malik rahimahullah berkata:
“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam agama yang dia pandang itu
adalah baik, sungguh ia telah menuduh bahwa nabi Muhammad telah berkhianat
terhadap risalah (yang beliau emban). Karena Allah berfirman (artinya): “Pada
hari ini telah Ku-sempurnakan agama bagi kalian, dan Aku telah lengkapkan
nikmat-Ku atas kalian dan Aku telah ridha Islam menjadi agama kalian”. Atas
dasar ini, segala perkara yang pada waktu itu (yakni di masa nabi/para sahabat)
bukan bagian dari agama, maka pada hari ini pula perkara itu bukan termasuk
agama.” (Al I’tisham: 1/49)
Mungkin ada yang berseloroh, kalau
melakukannya dengan niatan ibadah maka bid’ah, tapi kalau sekedar memperingati
agar lebih mengenal sosok Rasulullah maka mubah, bahkan bisa jadi sunnah atau
wajib, karena setiap muslim wajib mengenal Nabinya. Kita katakan kepadanya
bahwa itu tidak benar!, karena sungguh ironis seorang yang mengaku cinta kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengenalinya kok hanya setahun sekali?!
Mengenal sosok beliau tidaklah dibatasi oleh bulan atau tanggal tertentu. Jika
ia dibatasi oleh waktu tertentu, apalagi dengan cara tertentu pula, maka sudah
masuk kedalam lingkup bid’ah. Lebih dari itu, sangat mustahil atau kecil
kemungkinannya bila tidak disertai niat merayakan hari kelahiran beliau , yang
ini pun sesungguhnya sudah masuk kedalam lingkup tasyabbuh dengan orang-orang
Nashrani yang dibenci oleh Rasulullah sendiri. Sudikah kita mengenal dan
mengenang Nabi , namun beliau sendiri tidak suka dengan cara yang kita
lakukan?!
Para pembaca, demikianlah apa yang bisa kami
sajikan, semoga menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari
kebenaran. Amiin, yaa Mujiibas Saailiin.
Sumber : http://www.buletin-alilmu.com
Artikel lainnya :
Hukum memperingati Maulid Nabi Muhammad
sholallahu ‘alaihi wa sallam
Perayaan Maulid Rasulullah dalam sorotan
Islam
Apakah Kita Merayakan Maulid Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam?
Perayaan Maulid yang Anda Ketahui
Perayaan Maulid Nabi dalam Sorotan
Kerusakan-kerusakan maulid
Satu hadist aja tentang
maulid nabi
Apa Jadinya Jika Saudi Arabia Dikuasai Oleh Sufi Dan
Syiah, Serta Metode (Pemahaman) Nenek Moyang (Tradisi).
Biadab ! Tidak Tahlilan dan Maulidan, Rumah Komunitas
Salafi Di Lombok Dirusak ! (Kemungkinan
Dalangnya Syiaher !)
Kewajiban Mencintai Nabi. Mana Buktimu Cinta Kepada Nabi?
Tasawuf Dan Cinta Nabi
? Hakikat Tasawuf Dan Sufi
Tokoh Sufi Habib Luthfi Bin Yahya: Anti Maulid Lebih
Berbahaya Daripada Anti Sahabat. Sedangkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa
Sallam, Para Sahabat, Para Thabi’in, Thabi’ut Thabi’in, Imam Yang Empat, Para
Ulama Seperti Imam Bukhari, Muslim, Tidak Ada Yang Pernah Satu Kalipun
Mengadakan Maulid Nabi....
Tolok Ukur Kebenaran Adalah Secara Syar'i
6 Bentuk Cinta dan Ittiba Kepada Nabi Muhammad SAW
●●●●●●●●●●
Apakah maulid nabi itu
bukan ibadah? Kira-kira maulid nabi itu ibadah atau bukan ya??
Benarkah Ibnu Taimiyah, Ibnu Hajar,
Shalahuddin Al Ayubi Pro Maulid Nabi? (Muhammad Abduh Tuasikal)
https://rumaysho.com/874-benarkah-ibnu-taimiyah-ibnu-hajar-shalahuddin-al-ayubi-pro-maulid-nabi.html
https://rumaysho.com/874-benarkah-ibnu-taimiyah-ibnu-hajar-shalahuddin-al-ayubi-pro-maulid-nabi.html
Barzanji, Kitab Induk Peringatan Maulid Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam
Dialog 12 Rabi’ul Awwal
[Kenapa Saya Tidak Merayakan Maulid Nabi?]
Kenapa Kita Merayakan Maulid Nabi S.A.W
?(Menarik)
http://saidaneffendi-darussalam.blogspot.co.id/2011/02/kenapa-kita-merayakan-maulid-nabi-saw_12.html
Mengapa Maulid Nabi Dikategorikan Sebagai Bid’ah?
Maulid Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam Timbangan Islam
Nasehat Bagi Yang Mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam Dengan Merayakan Maulid
10 Keanehan Para Pro-Maulid
https://rumaysho.com/3113-10-keanehan-para-pro-maulid-seri-1.html
https://rumaysho.com/3113-10-keanehan-para-pro-maulid-seri-1.html
Pro-Maulid
(semua argumen mereka hampir sama, dan sudah disanggah pada beberapa artikel "Sanggahan" diatas)
Daftar Sub-artikel :
●Merayakan Maulid Nabi SAW
●Tanya-Jawab Ilmiah Sekitar Perayaan Maulid
Nabi
●Beberapa diantara Ulama yang membolehkan dan
menganggap baik perayaan maulidun Nabiy Muhammad sholallahu ‘alayh
wasallam
●Inilah Sejarah yang Benar tentang Awal
Perayaan Maulid Nabi
●Sejarah Singkat Maulid dan Sanggahan Bagi
Kalangan Anti Maulid
Merayakan Maulid Nabi SAW
Selasa, 11 Maret 2008
Memang Rasulullah SAW tidak pernah melakukan seremoni peringatan hari lahirnya. Kita belum pernah menjumpai suatu hadits/nash yang menerangkan bahwa pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal (sebagian ahli sejarah mengatakan 9 Rabiul Awwal), Rasulullah SAW mengadakan upacara peringatan hari kelahirannya. Bahkan ketika beliau sudah wafat, kita belum pernah mendapati para shahabat r.a. melakukannya. Tidak juga para tabi`in dan tabi`it tabi`in.
Menurut Imam As-Suyuthi, tercatat sebagai raja pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah saw ini dengan perayaan yang meriah luar biasa adalah Raja Al-Mudhaffar Abu Sa`id Kukburi ibn Zainuddin Ali bin Baktakin (l. 549 H. - w.630 H.). Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan maulid ini. Intinya menghimpun semangat juang dengan membacakan syi’ir dan karya sastra yang menceritakan kisah kelahiran Rasulullah SAW.
Di antara karya yang paling terkenal adalah karya Syeikh Al-Barzanji yang menampilkan riwayat kelahiran Nabi SAW dalam bentuk natsar (prosa) dan nazham (puisi). Saking populernya, sehingga karya seni Barzanji ini hingga hari ini masih sering kita dengar dibacakan dalam seremoni peringatan maulid Nabi SAW.
Maka sejak itu ada tradisi memperingati hari kelahiran Nabi SAW di banyak negeri Islam. Inti acaranya sebenarnya lebih kepada pembacaan sajak dan syi`ir peristiwa kelahiran Rasulullah SAW untuk menghidupkan semangat juang dan persatuan umat Islam dalam menghadapi gempuran musuh. Lalu bentuk acaranya semakin berkembang dan bervariasi.
Di Indonesia, terutama di pesantren, para kyai dulunya hanya membacakan syi’ir dan sajak-sajak itu, tanpa diisi dengan ceramah. Namun kemudian ada muncul ide untuk memanfaatkan momentum tradisi maulid Nabi SAW yang sudah melekat di masyarakat ini sebagai media dakwah dan pengajaran Islam. Akhirnya ceramah maulid menjadi salah satu inti acara yang harus ada, demikian juga atraksi murid pesantren. Bahkan sebagian organisasi Islam telah mencoba memanfaatkan momentum itu tidak sebatas seremoni dan haflah belaka, tetapi juga untuk melakukan amal-amal kebajikan seperti bakti sosial, santunan kepada fakir miskin, pameran produk Islam, pentas seni dan kegiatan lain yang lebih menyentuh persoalan masyarakat.
Kembali kepada hukum merayakan maulid Nabi SAW, apakah termasuk bid`ah atau bukan?
Memang secara umum para ulama salaf menganggap perbuatan ini termasuk bid`ah. Karena tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah saw dan tidak pernah dicontohkan oleh para shahabat seperti perayaan tetapi termasuk bid’ah hasanah (sesuatu yang baik), Seperti Rasulullah SAW merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari kelahirannya, yaitu setia hari Senin Nabi SAW berpuasa untuk mensyukuri kelahiran dan awal penerimaan wahyunya.
عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ” : فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم
“Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.” (H.R. Muslim)
Kita dianjurkan untuk bergembira atas rahmat dan karunia Allah SWT kepada kita. Termasuk kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat kepada alam semesta. Allah SWT berfirman:
قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ
“Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’ ” (QS.Yunus:58).
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Hadits itu menerangkan bahwa pada setiap hari senin, Abu Lahab diringankan siksanya di Neraka dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Hal itu dikarenakan bahwa saat Rasulullah saw lahir, dia sangat gembira menyambut kelahirannya sampai-sampai dia merasa perlu membebaskan (memerdekakan) budaknya yang bernama Tsuwaibatuh Al-Aslamiyah.
Jika Abu Lahab yang non-muslim dan Al-Qur’an jelas mencelanya, diringankan siksanya lantaran ungkapan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan orang yang beragama Islam yang gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW?
=============
Jika sebagian umat Islam ada yang berpendapat bahwa merayakan Maulid Nabi SAW adalah bid’ah yang sesat karena alasan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw sebagaimana dikatakan oleh beliau:
إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه أبو داود والترمذي
Hindarilah amalan yang tidak ku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah menyesatkan. (HR Abu Daud dan Tarmizi)
Maka selain dalil dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi tersebut, juga secara semantik (lafzhi) kata ‘kullu’ dalam hadits tersebut tidak menunjukkan makna keseluruhan bid’ah (kulliyah) tetapi ‘kullu’ di sini bermakna sebagian dari keseluruhan bid’ah (kulli) saja. Jadi, tidak seluruh bid’ah adalah sesat karena ada juga bid’ah hasanah, sebagaimana komentar Imam Syafi’i:<>
المُحْدَثَاتُ ضَرْباَنِ مَاأُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتاَباً أَوْسُنَّةً أَوْأَثَرًا أَوْإِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلاَلِ وَمَاأُحْدِثَ مِنَ الخَيْرِ لاَيُخَالِفُ شَيْئاً مِنْ ذَالِكَ فَهِيَ مُحْدَثَةٌ غَيْرَ مَذْمُوْمَةٍ
Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, prilakuk sahabat, atau kesepakatan ulama maka termasuk bid’ah yang sesat; adapun sesuatu yang diada-adakan adalah sesuatu yang baik dan tidak menyalahi ketentuan (al Qur’an, Hadits, prilaku sahabat atau Ijma’) maka sesuatu itu tidak tercela (baik). (Fathul Bari, juz XVII: 10)
Juga realitas di dunia Islam dapat menjadi pertimbangan untuk jawaban kepada mereka yang melarang maulid Nabi SAW. Ternyata fenomena tradisi maulid Nabi SAW itu tidak hanya ada di Indonesia, tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam. Kalangan awam diantara mereka barangkali tidak tahu asal-usul kegiatan ini. Tetapi mereka yang sedikit mengerti hukum agama berargumen bahwa perkara ini tidak termasuk bid`ah yang sesat karena tidak terkait dengan ibadah mahdhah atau ritual peribadatan dalam syariat.
Buktinya, bentuk isi acaranya bisa bervariasi tanpa ada aturan yang baku. Semangatnya justru pada momentum untuk menyatukan semangat dan gairah ke-islaman. Mereka yang melarang peringatan maulid Nabi SAW sulit membedakan antara ibadah dengan syi’ar Islam. Ibadah adalah sesuatu yang baku (given/tauqifi) yang datang dari Allah SWT, tetapi syi’ar adalah sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat Islam dan situasional serta mubah.
Perlu dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Imam as-Suyuthi mengatakan dalam menananggapi hukum perayaan maulid Nabi SAW:
وَالجَوَابُ عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ المَوْلِدِ الَّذِيْ هُوَ اِجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَأَةُ مَاتَيَسَّّرَ مِنَ القُرْآنِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَأِ أَمْرِالنَّبِيّ صَلَّّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّّمَ مَاوَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الاَياَتِ ثُمَّ يَمُدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَهُ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَالِكَ مِنَ البِدَعِ الحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيْ صََلََّى اللهُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِالفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ
Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid’ah hasanah(sesuatu yang baik). Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad saw yang mulia. (Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I, h. 251-252)
Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: “Bid’ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari maulid Rasulullah SAW.”
Pendapat Abu Shamah (guru Imam Nawawi): ”Termasuk hal baru yang baik dilakukan pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari kelahiran Rasulullah saw. dengan memberikan sedekah dan kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah SAW dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah atas diutusnya Rasulullah SAW kepada seluruh alam semesta”.
Untuk menjaga agar perayaan maulid Nabi SAW tidak melenceng dari aturan agama yang benar, sebaiknya perlu diikuti etika-etika berikut:
1. Mengisi dengan bacaan-bacaan shalawat kepada Rasulullah SAW.
2. Berdzikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.
3. Membaca sejarah Rasulullah SAW dan menceritakan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan beliau.
4. Memberi sedekah kepada yang membutuhkan atau fakir miskin.
5. Meningkatkan silaturrahim.
6. Menunjukkan rasa gembira dan bahagia dengan merasakan senantiasa kehadiran Rasulullah SAW di tengah-tengah kita.
7. Mengadakan pengajian atau majlis ta’lim yang berisi anjuran untuk kebaikan dan mensuritauladani Rasulullah SAW.
HM Cholil Nafis MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) PBNU
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) PBNU
Tanya-Jawab Ilmiah Sekitar Perayaan Maulid Nabi
Jumat, 18 Desember 2015
Dalam diskursus perayaan maulid Nabi banyak dari kalangan ikhwan yang masih belum tahu mengenai sumber dalil yang mendasari bahwa maulid memang pekerjaan yang sesuai syariat. Sehingga perlu adanya kita menghadirkan dalil-dalil ilmiah dengan konsep tanya-jawab seputar maulid.
Tanya : Apakah maulid itu?
Jawab : Maulid diambil dari kata bahasa Arab walada-yalidu yang bermakna kelahiran, yaitu kelahiran baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun dalam pelaksanaannya, maulid merupakan kegiatan keagamaan yang mengadung esensi pesan ayat suci al-Qur'an, disertakan kisah-kisah seputar kehidupan Nabi Muhammad, dan di dalamnya terdapat pujian dan shalawat dalam bentuk syair. Di akhir acara, terkadang sebagian orang bersedekah makanan untuk sesama.
Tanya : Siapakah orang yang pertama kali merayakan maulid?
Jawab : Yang merayakan maulid pertama kali adalah penguasa Kota Irbil, Mudzoffar Abu Said Kaukabari bin Zainuddin, seorang raja terpuji dan pembesar yang dermawan. Ibnu Katsir pernah berkomentar tentangnya: "Beliau melaksanakan maulid pada Rabiul Awal dan memperingatinya dengan meriah. Ia sosok yang santun, pemberani, cerdik, dan adil. Semoga Allah merahmati beliau. (Hawi lil Fatawi, halaman 292)
Tanya : Apa pandangan ulama mengenai maulid Nabi?
Jawab : Imam Jalaluddin As-Suyuthi ketika ditanya perihal maulid beliau menjawab secara eksplisit dengan sebuah karya kitab yang diberi nama Husnul Maqshad fi Amalil Maulid. Menurut beliau, "Hukum asal maulid Nabi yang mana di dalamnya terdapat orang yang membaca ayat suci al-Qur’an dan hadits Nabi tentang pengarai Rasulullah, begitu juga ayat yang ada hubungan dengan kisah kenabiannya. Dilanjutkan dengan acara ramah tamah, lalu bubar tidak lebih dari itu. Maka, itu adalah bid'ah hasanah dan pelakunya mendapat pahala.” (Husnul Maqshad, halaman 251-252).
Imam Suyuti juga berkata bahwa suatu ketika Imam Ibnu Hajar ditanya tentang maulid, beliau menjawab, “Asal muasal amalan maulid (seperti yang ada saat ini) adalah bid'ah, dan tidak pernah dinukil dari para salafus shalih, bersamaan dengan hal tersebut terdapat amalan yang baik di dalamnya dan menjauhi amalan yang buruk. Maka barangsiapa yang berusaha mengamalkan (yang baik di dalamnya) dan menjauhi sebaliknya maka amalan ini hukumnya bid'ah hasanah, dan tidak begitu jika sebaliknya. (Hawi lil Fatawi, halaman 282). Dari dua komentar di atas jelas bahwa merayakan maulid itu boleh selama tidak ada kemungkaran di dalamnya.
Ibnu Taimiah berpendapat, memulyakan hari kelahiran dan menjadikannya sebagai ritual musiman telah dikerjakan oleh sebagian orang. dan menjadikannya mendapat pahala yang sangat agung karena bagusnya tujuan dan memuliakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salllam (Sirah Halabiah Juz I, halaman 84-85).
Sayyid Zaini Dahlan mengatakan, merasa senang pada hari kelahiran Nabi termasuk sebagian cara penghormatan kepada beliau (Addurarus Saniyah, halaman 190).
Tanya : Adakah ulama yang mengarang kitab tetang kebolehan maulid?
Jawab : Tentu saja, berikut di antara nama-nama ulama beserta karyanya:
1. Husnul Maqshad fi Amalil Maulid (imam jalaluddin As Suyuthi)
2. Khulashatul Kalam fi Ihtifal bi Maulidi Khairil Anam (Syekh Abdulloh bin Syekh Abubakar bin Salim)
3. Ihtifal bil Maulid (DR. Said Ramadhon Buthi)
4. Haulal Ihtifal bil Maulid Nabawi (Prof DR muhammad bin alwi almaliki)
5. Ihtifal bil Maulid Bainal Muayyidin wal Muaridlin (Abil Hasanain Abdulloh al-Husaini al-Makky), dan lain-lain.
Sementara ulama ahli Hadits yang merangkum sejarah Nabi dalam bentuk maulid sangat banyak, di antaranya:
1. Al-Hafidz Abil Fida' ibn Katsir (774 H; maulidnya ditahqiq DR. Sholahuddim Munjid)
2. Al-Hafidz Abil Fadhl Abdurrahim Al-Kurdi (806 H)
3. Al-Hafidz Abul Khair Muhammad As-Sakhowi (902 H)
4. Al-Hafidz abdurrohman ali assyibani (994 H; maulidnya yang ditahqiq Sayyid Muhammad al-Maliki)
5. Al-Hafidz Mula Ali Al Qori (104H ?; Mauridurrawi fi Maulid Nabawi)
6. Al-Hafidz Muhammad bin Abu Bakar al-Qisi (842 H; Jamiul Atsar fi Maulidil Mukhtar)
7. Al-Hafidz Al-Iraqi (808 H; Mauridul Hani fi Maulid Assunni), dan masih banyak ulama lainnya.
Tanya : Apakah dalil kebolehan Maulid?
Jawab : Sebelumnya kita perlu melihat interpretasi maulid itu sendiri. Kalau kita mau tahu hukumnya, kita lihat apa pekerjaannya (karena hukum diberlakukan untuk perbuatan (af’alul mukallafin, Red). Adapun pekerjaan dalam maulid di antaranya adalah membaca ayat suci al-Quran, membaca sejarah Nabi, mahallul qiyam, i'tikaf di masjid, membaca syair di masjid, doa mendekatkan diri kepada Allah, dzikir berjamaah, taushiyah dan nasihat, menghidupkan syiar Islam, dan sedekah. Beberapa hal yang disebutkan di atas para ulama sepakat mengenai kebolehannya, mungkin sebagian orang kurang percaya mengenai dalil kebolehan dua hal yaitu mahallul qiyam dan menbaca syair pujian. Sebenarnya bagaimana hukumnya?
Tanya : Mengapa kita pada hari kelahiran nabi harus senang, apakah mendapatkan pahala?
Jawab : Ungkapan rasa bahagia di saat kelahiran baginda Nabi adalah wujud rasa syukur kepada Allah sebab dengan lahirnya beliau agama Islam ini ada. dan agama Islam sampai di tangan kita semua. Dikisahkan seorang wanita yang bernadzar ingin menabuh rebana di dekat Nabi, bahkan di dekat kepala beliau jika Nabi datang dalam keadaan selamat. Maka, apa jawaban Nabi "Laksanakan nadzarmu!”
Bukankah kita semua tau tidak boleh bernadzar dalam perkara yang mubah dalam fiqh, dan tidak ada yang lebih mulia dari kepala Nabi Muhammad di alam semesta ini. Tetapi dalam kenyataannya Nabi memperbolehkan. Mengapa begitu? Karena nabi mengetahui bahwa hal ini dibarengi dengan perasaan senang, cinta dan takdhim kepada beliau.
Abu Lahab, orang yang sangat kejam terhadap Nabi, diriwayatkan dalam hadits shahih bahwa setiap hari Senin ia diringankan dari siksa neraka karena di saat nabi lahir Abu Lahab bergembira. Ia bahkan memerdekakan budaknya, Tsuwaibah, sebagai ungkapan kebahagiaan atas kelahiran ponakannya. Dalam hal ini Imam Al-Hafidz Syamsyuddin Muhammad Nasirruddin Addimsyiqi bersenandung:
ذا كان هذا كافرا جاء ذمه ¤ وتبت يداه في الجحيم مخلدا
اتى انه في يوم الاثنين دائما ¤ يخفف عنه للسرور بأحمد
فما الظن بالعبد الذي كان عمره ¤ باحمد مسرورا ومات موحدا
"Jika orang seperti Abu Lahab saja yang jelas-jelas jahat dan disiksa di neraka setiap hari Senin diringankan siksanya sebab ia bergembira dengan lahirnya Nabi Muhammad maka apalagi jika yang bergembira seorang muslim yang sepanjang hidupnya bergembira atas lahirnya Nabi Muhammad dan wafat dalam keadaan Islam."
Tanya : Apakah landasan hukum mahallul qiyam?
Jawab : Mahallul qiyam jika kita artikan ke dalam bahasa Indonesia bermakna tempat kita berdiri. Yakni, sikap berdiri untuk menunjukkan ekspresi kebahagiaan dan dan penghormatan atas lahirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian orang menganggap tidak boleh berdiri untuk memuliakan orang lain. Namun dalam hadits sendiri, Rasulullah memerintahkan sahabat Anshor untuk berdiri saat kedatangan pemimpin mereka. Nabi berkata: لسيدكم قوموا (berdirilah atas kedatangan pemimpin kalian!)
Sementara ulama menjelaskan apa kandungan mahallul qiyam di antaranya dalam sebuah syair:
وقد سن أهل العلم والفضل والتقى ¤ قياما على الأقدام مع حسن الامعان
بتشخيص ذات المصطفى وهو حاضر بأي مقام فيه يذكر بل دان
"Para ulama memulai pekerjaan ini (mahallul qiyam) dengan meresapi kisah beliau (Nabi) dan membayangkan sosoknya yang agung bahkan dan tidak hanya dalam hal ini namun dalam segala kondisi"
Contoh lain hadits dari Sayyidatina Fatimah Azzahra, putri Nabi yang berdiri jika Nabi hadir; Rasulullah pun begitu saat Fatimah hadir. Dalam Sunan Abi Dawud (5217) disampaikan: "Sayyidatina Fatimah saat masuk menghadap Nabi, maka beliau (Nabi) berdiri dan mencium Fatimah lalu mempersilakan duduk di tempatnya. Begitu pun Rasulullah saat masuk ke hadapan Fatimah maka Fatimah berdiri dari tempat duduknya lalu Nabi menciumnya dan Fatimah mempersilakan Nabi duduk di tempatnya."
Pada praktiknya saat kita berdiri yang kita lakukan adalah memuji, bershalawat, bersyukur atas anugerah Allah yang menghadirkan keistimewaan dari kehadiran kekasihnya, Nabi Muhammad. Allah subhanahu wata'ala menyuruh kita berdzikir kapan saja di mana saja dan kondisi apa saja: اذْكُرُوا اللَّهَ قِيَاماً وَقُعُوداً وَعَلَى جُنُوبِكُم
Bahkan ulama juga angkat bicara mengenai kebolehan mahallul qiyam dan secara detail dijelaskan dalam satu kitab khusus yang bernama Attarkhis bil Qiyam li Dzawil Fadhl wal Maziyyah min Ahlil Islam yang dikarang oleh Al Imam Nawawi.
Tanya : Apakah Nabi memperbolehkan sahabat memuji beliau?
Jawab : Tentu saja Nabi memperbolehkan. Coba kita telisik kitab Al-Isti'ab fi Ma'rifatil Ashab tentang hadits Kharim bin Aus bin Haritsah yang mana ia berkata: "Aku berhijrah kepada Rasulullah selepas dari Perang Tabuk dan aku memutuskan untuk masuk Islam, lalu aku mendengar Abbas bin Abdul Mutholib berkata: ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya aku ingin memujimu.’ Nabi menjawab, ‘Katakanlah, tidak akan pecah gigimu’.” Lalu Abbas mengutarakan syair pujian:
من قبلها طبت في الظلال وفي ¤ مستودع حين يخصف الورق
ثم هبطت البلاد لا بشر ¤ أنت ولا مضغت ولا علق
(Dan setiap orang yang didoakan Nabi seperti kepada abbas giginya awet sampai tua)
Tanya : Adakah bukti lain sahabat memuji Nabi?
Jawab : Berikut nama beberapa sahabat beserta syairnya yang dalam sejarah pernah memuji Nabi, di antaranya:
1. Ka'ab bin Zuhair bin Abi Sulma
بأنت سعاد فقلبي اليوم متبول ¤ متيم إثرها لم يجز مكبول
2. Hasan bin Tsabit
شق له من اسمه كي يجله ¤ فذوا العرش محمود وهذا محمد
3. Bujair bin Zuhair al-Muzani
أتانا نبي بعد يأس وفترة ¤ من الله والأوثان في الأرض تعبد
4. Abbas bin Madras
وأنت لما ولدت اشرقت الــ ¤ أرض وضائت بنورك الأفق
5. Nabigha Al Ja'di
ونحن أناس لا نعود خيلنا ¤ إذا ما التقينا ان تحيد وتنفرا
Tanya : Tolong disebutkan siapa ulama yang juga memuji Rasulullah?
Jawab : Ulama juga tak ingin ketinggalan dalam menggapai cinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka ramai-ramai mengarang syair pujian. Akan saya sebutkan beserta penggalan syairnya, seperti:
Al-Imam al-Hafidz ibn Daqiq berkata:
شرف المصطفى رفيع عماده ¤ ليس يحصى بكثرة تعداد
Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar al Atsqalani berkata dalam syairnya:
يا سعد لو كنت إمرأ مسعودا ¤ ما كان صبري فى النوى مفقودا
Al-Imam Aminus Syuara' Ahmad Syauqi berkata:
ولد الهدى فاكائنات ضياء ¤ وفم الزمان تبسم
Tanya : Kenapa banyak orang melakukan maulidan pada hari Kamis dan bulan Robiul Awal?
Jawab : Sebenarnya melaksanakan maulid boleh kapan saja, adapun maulidan di hari Jumat sebab berlandasan kepada hadits Nabi:
اكثروا الصلاة عليّ يوم الجمعة وليلة الجمعة فمن صلى علي صلاة صلى الله عليه عشرا
سنن البيهقي ٥٤٩٠
“Perbanyaklah shalawat atasku di hari Jumat dan malam jumat, dan barangsiapa bershalawat sekali maka Allah akan bershalawat atasnya 10 kali."
Mengenai perayaan di bulan Rabiul Awal maka ada baiknya kita lihat sejarah. Ketika seseorang berpuasa asyura mereka berpuasa atas keberhasilan Nabi Musa, dan ketika hari raya Idul Adha kita berkorban mengenang jasa Nabi Ismail, dan saat Rabiul Awal kita memperingati lahirnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah bersabda:
قال شارح البخاري شهاب الدين القصطلاني
فرحم الله امرء اتخد ليالي شهر مولده المبارك اعيادا ليكون اشد علة على من في قلبه مرض
"Maka Allah mengasihani seseorang yang menjadikan hari kelahirannya sebagai hari raya (untuk mensyukuri) agar menjadi penyakit yang parah bagi orang yang di hatinya terdapat penyakit."
Kelahiran Nabi Muhammad merupakam kelahiran yang istimewa karena pada bulan ini tidak ada perayaan lain selain kelahirannya. Sementara kalau kita lihat bulan lain terdapat banyak keistimewaannya. Oleh karena itu ini menunjukkan bahwa keagungannya secara istiqlaliyah atau terkhusus kepada beliau saja.
Dari beberapa pertanyaan di atas kita bisa simpulkan bahwa maulid Nabi bukanlah hal yang dilarang agama. Karena maulid Nabi adalah ungkapan kita dan bentuk syukur kita dengan adanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Moh Nasirul Haq, Santri Rubat Syafi'ie Mukalla Yaman)
Beberapa Ulama yang membolehkan dan menganggap baik perayaan maulidun Nabiy Muhammad
sholallahu ‘alayh wasallam:
sholallahu ‘alayh wasallam:
أبو الخطاب ابن دحية الكلبي السبتي[633هـ]، ويعد كتابه “التنوير في ميلاد السراج المنير” أقدم ما يعرف من الكتب المؤلفة في المولد، ألفه لأمير إربل صهر صلاح الدين عندما رأى عنايته بالاحتفال بالمولد النبوي سنة 604هـ
1. Abul Khotob ibn Dihyah al Kalbiy as Sabty (633 H) menulis sebuah kitab “at Tanwiir Fii Miiladi as Sirooji al Muniir” merupakan kitab yang paling klasik yang dikarang dalam hal perkara maulid. Beliau mengarangnya untuk Amir Irbil kerabat Sholahuddin ketika beliau melihat perhatiannya akan perayaan maulid nabi tahun 704 H.
القاضي أبو العباس أحمد اللخمي السبتي[633هـ]، وهو أول من ندب لهذا الاحتفال بالمغرب، وألف فيه كتابه: “الدر المنظم في مولد النبي الأعظم”
2. al Qodhiy Abul ‘Abbas Ahmad al Lakhmiy as Sibty (633 H) Beliau merupakan sosok yang pertama kali mengajak akan perayaan maulid di Maroko dan mengarang sebuah kitab yang berjudul “ad Durrul Munazhzhom Fii Mawlidi an Nabiyyi al A’zhom”.
الحافظ شهاب الدين عبد الرحمن الشافعي: أبو شامة المقدسي[665هـ] المعروف بشيخ الإمام النووي قال: “ومن أحسن ما ابتدع في زماننا هذا ما يُفعل كل عام في اليوم الموافق ليوم مولد الرسول صلى الله عليه وسلم من المعروف والصدقات وإظهار الفرح والسرور، فإن ذلك مع ما فيه من الإحسان للفقراء يُشعر بمحبة رسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيمه في قلب فاعل ذلك
3. al Hafizh Syihabuddin ‘Abd Rohman asy Syafi’i atau dikenal juga Abu Syamah al Maqdisiy (665 H) Yang terkenal dengan julukan Syaikhun Nawawiy (Gurunya Imam an Nawawiy) pernah berkata “dan merupakan sebagian perkara baik yang diada-adakan (maa ubtudi’a) pada zaman kita adalah apa-apa yang dikerjakan pada tiap tahunnya dalam satu hari yang bertepatan sebagai hari Maulid/kelahiran Rasul sholallahu ‘alayh wasallam didalamnya terdapat hal-hal baik, memperbanyak shodaqoh, dan menampakan kesenangan serta kegembiraan. Maka sungguh hal tersebut –apa2 yang didalamnya- juga diantaranya berbuat baik kepada orang-orang faqir mengesankan kecintaan kepada Rasul sholallahu ‘alayh wasallam dan pengormatan kepadanya pada tiap-tiap hati yang melaksanakannya.
الإمام تقي الدين السبكي [664هـ]: ذكر نور الدين الحلبي[1014هـ] في سيرته أن الإمام شيخ الإسلام تقي الدين السبكي رئيس علماء الشافعية بمصر اجتمع عنده في مجلسه كثير من علماء عصره فأنشد الشاعر الصرصري قوله في مدح الرسول صلى الله عليه وسلم:
4. al Imam Taqiyuddin as Subkiy (664 H). Nuruddin al Halabiy menyebutkan (1014 H) dalam sirohnya bahwasannya al Imam Syaikhul Islam Taqiyuddin as Subkiy merupakan pemimpin ulama mazhab Syafi’I di Mesir. Berkumpul disampingnya dalam majelisnya segolongan ulama pada zamannya. Pada saat itu seorang Penyair ash Shurshuriy bersenandung memuji Rasul Sholallahu ‘alayh wasallam.
NB : Ash Shursury seorang penyair yang mengarang kitab maulid berjudul Maulid Ash Shursury.
الشيخ محمد بن عباد أبو عبد الله الرندي [730هـ]: سئل هذا العارف بالله عما يقع في المولد النبوي من إيقاد الشموع و غيرها فأجاب: “الذي يظهر أنه عيد من أعياد المسلمين وموسم من مواسمهم””
5. Syaikh Muhammad ibn Ubbad Abu Abdillah ar Rondiy (730 H) al Arif biLLah ini pernah ditanya tentang yang terjadi di Maulid yakni penyalaan lilin dan selainnya maka beliau menjawab “Yang terlihat seakan-akan maulid merupakan Hari Raya –’Idun- bagi kaum muslimin”
الحافظ ابن حجر العسقلاني[852هـ] خاتمة الحفاظ وأمير المؤمنين في الحديث: وقد استنبط تخريج جواز عمل المولد من حديث ثابت في الصحيحين عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه “قدم المدينة فوجد اليهود يصومون عاشوراء فسألهم فقالوا هو يوم أغرق الله فيه فرعون و نجى فيه موسى فنحن نصومه شكرا لله، فقال صلى الله عليه وسلم نحن أولى بموسى منكم”
6. al Hafizh Ibn Hajar al Asqolaniy (852 H) penutup para Huffazh dan amirul mukminin dalam hal ilmu hadits. Beliau telah beristinbath dari penelitiannya akan bolehnya amalan maulid dari hadits yang tsabit dari kitab Bukhori dan Muslim dari Nabi Muhammad sholallahu ‘alayh wasallam bahwa beliau sampai ke Madinah dan menemukan kaum Yahudi berpuasa Asyuro. Maka beliau bertanya akan hal itu pada mereka dan mereka menjawab hari ini adalah hari dimana Allah menenggelamkan firaun dan menyelamatkan kami. Maka kami berpuasa dalam rangka syukur kepada Allah. Maka Beliau sholallahu ‘alayh wasallam berkata kami orang-orang muslim lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.
Tambahan :
al Imam as Suyuthiy menuliskan dalam kitabnya Husnul Maqshid bahwa pernah ditanya Imam ibn Hajar al Asqolaniy mengenai perayaan maulid lalu beliau menjawab :
“Aslinya amalan ini (Maulid) adalah bid’ah karena ia tak dinukil dari generasi terbaik salaf pada abad-abad yang paling utama (abad 1, 2, 3 Hijriah). Akan tetapi didalamnya terdapat kebaikan juga terdapat keburukan. Barang siapa yang mencari kebaikan dan menjauhi kejelekan didalamnya maka ia Bid’ah Hasanah. Barang siapa yang tidak dapat maka kebalikannya”.
الحافظ شمس الدين السخاوي[876 هـ]: وهو من المعروفين بالتشدد في مجال البدع قال: “إن عمل المولد أُحدث بعد القرون الثلاثة الأولى ثم لازال أهل الإسلام بسائر الأقطار يعملونه و يتصدقون في لياليه بأنواع الصدقات و يعتنون بقراءة مولده الكريم و يظهر عليهم من بركاته كل فضل عظيم”.
7. Al Hafizh Syamsuddin as Sakhowiy (876 H) beliau dikenal sebagai orang yang keras terhadap hal-hal yang berbau bid’ah. Berkata beliau “Sungguh amalan maulid ini merupakan hal baru setelah 3 abad yang mulia. Kemudian senantiasa kaum muslim seluruh penjuru mengerjakannya dan bershodaqoh pada malam harinya dengan berbagai rupa shodaqoh dan bersemangat dalam membaca maulid Nabi yang mulia. Yang terlihat atas kesemua mereka itu adalah sebagian keberkahan Nabi yakni seluruh nikmat yang agung”.
الإمام الحافظ جلال الدين السيوطي[911هـ]: وقد ألف فيه رسالته الماتعة “حسن المقصد في عمل المولد”، وضمنه أقوال العلماء المُجيزين للاحتفال بهذه الذكرى وأنه موافق لهم، وبين ثناء العلماء على أول من أحدث ذلك وهو الملك المظفر صاحب إربل أبو سعيد بن زين الدين علي [630هـ]، أحد الملوك الأمجاد والكبراء الأجواد، وممن أثنى عليه بذلك: ابن كثير في تاريخه، وسبط ابن الجوزي في مرآة الزمان، وابن خلكان في وفيات الأعيان وغيرهم
8. al Imam al Hafizh Jalaluddin as Suyuthiy (911 H) telah menulis sebuah risalah “Husnul Maqshid Fii ‘Amalil Mawlid”. Didalamnya terdapat ucapan-ucapan Ulama yang membolehkan perayaan ini untuk peringatan dan sesungguhnya al Imam as Suyuthiy menyetujui mereka semuanya. Beliau juga menerangkan pujian ulama kepada siapa yang memulai perkara ini. Dia adalah Sultan al Muzhoffar penguasa Irbil Abu Said ibn Zaynuddin ‘Aliy (630 H) salah seorang raja yang mulia agung juga dermawan. Dan beberapa diantaranya yang juga memujinya adalah ibu Katsir dalam Tarikhnya. Sibth ibn al Jawziy dalam Miratuz Zaman dan ibnu Kholqon dalam Wafayatul A’yan dan selain mereka.
Inilah Sejarah yang Benar tentang Awal Perayaan Maulid Nabi
Monday, 27 January 2014
Muslimedianews.com ~ Para pengingkar maulid Nabi yakni wahabi-salafi di bulan mulia ini yakni Rabiul Awwal, mereka seperti cacing kepanasan yang ditaburi garam. Mereka teriak susah karenanya banyaknya kaum muslimin yang melakukan perayaan Maulid Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam. Saya jadi teringat ucapan Ibn Mukhlid dalam tafsirnya berikut ini :
أن إبليس رن أربع رنات: رنة حين لعن، ورنة حين أهبط الى الأرض، ورنة حين ولد رسول الله صلى الله عليه وسلم، ورنة حين أنزلت فاتحة الكتاب
“ Sesungguhnya Iblis berteriak sambil menangis pada empat kejadian : pertama ketika ia dilaknat oleh Allah, Kedua ketika ia diusir ke bumi, ketiga ketika Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan dan keempat ketika surat al-Fatehah diturunkan “.[1]
Dan wahabi-salafi, tanpa sadar mereka telah mengikuti sunnah Iblis dengan teriak susah ketika tiba hari kelahiran Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam ini.
Kali ini kami akan menulis bantahan ilmiyyah atas dusta wahabi-salafi yang menuduh bahwa Maulid pertama kali diadakan oleh Syi’ah Fathimiyyun. Kami juga akan membongkar kecurangan mereka dengan menggunting ucapan syaikh al-Maqrizi terhadap teks yang menampilkan keagungan perayaan Maulid Nabi yang diselerenggarakan para raja yang adil dan para ulama besar dari kalangan empat madzhab. Tidak sedikit artikel wahabi yang mengcopy paste dusta tersebut termasuk syaikh al-Fauzan dalam fatwanya. Berikut salah satu artikel dusta wahabi di : http://artikelassunnah.blogspot.com/2012/01/ternyata-maulid-nabi-berasal-dari-syiah.html
Jika kita menelusuri dalam kitab tarikh (sejarah), perayaan Maulid Nabi tidak kita temukan pada masa sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan empat Imam Madzhab (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad), padahal mereka adalah orang-orang yang sangat cinta dan mengagungkan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah orang-orang yang paling paham mengenai sunnah Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan paling semangat dalam mengikuti setiap ajaran beliau.
Perlu diketahui pula bahwa -menurut pakar sejarah yang terpercaya-, yang pertama kali mempelopori acara Maulid Nabi adalah Dinasti ‘Ubaidiyyun atau disebut juga Fatimiyyun (silsilah keturunannya disandarkan pada Fatimah). Sebagai buktinya adalah penjelasan berikut ini.
Al Maqriziy, seorang pakar sejarah mengatakan, “Para khalifah Fatimiyyun memiliki banyak perayaan sepanjang tahun. Ada perayaan tahun baru, hari ‘Asyura, maulid (hari kelahiran) Nabi, maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husain, maulid Fatimah al Zahra, maulid khalifah yang sedang berkuasa, perayaan malam pertama bulan Rajab, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Sya’ban, perayaan malam pertengahan bulan Rajab, perayaan malam pertama bulan Ramadhan, perayaan malam penutup Ramadhan, perayaan ‘Idul Fithri, perayaan ‘Idul Adha, perayaan ‘Idul Ghadir, perayaan musim dingin dan musim panas, perayaan malam Al Kholij, hari Nauruz (Tahun Baru Persia), hari Al Ghottos, hari Milad (Natal), hari Al Khomisul ‘Adas (3 hari sebelum paskah), dan hari Rukubaat.” (Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar, 1/490. Dinukil dari Al Maulid, hal. 20 dan Al Bida’ Al Hawliyah, hal. 145-146)
Asy Syaikh Bakhit Al Muti’iy, mufti negeri Mesir dalam kitabnya Ahsanul Kalam (hal. 44) mengatakan bahwa yang pertama kali mengadakan enam perayaan maulid yaitu: perayaan Maulid (hari kelahiran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maulid ‘Ali, maulid Fatimah, maulid Al Hasan, maulid Al Husain –radhiyallahu ‘anhum- dan maulid khalifah yang berkuasa saat itu yaitu Al Mu’izh Lidinillah (keturunan ‘Ubaidillah dari dinasti Fatimiyyun) pada tahun 362 H.
Begitu pula Asy Syaikh ‘Ali Mahfuzh dalam kitabnya Al Ibda’ fi Madhoril Ibtida’ (hal. 251) dan Al Ustadz ‘Ali Fikriy dalam Al Muhadhorot Al Fikriyah (hal. 84) juga mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid pertama kali adalah ‘Ubaidiyyun (Fatimiyyun). (Dinukil dari Al Maulid, hal. 20)
Jawaban kami :
Pernyataan di atas tidak benar sama sekali. Dan jauh dari fakta kebenarannya…
Pertama : Memperingati hari kelahiran (maulid) Nabi sudah ada sejak masa Nabi shallahhu ‘alaihi wa sallam sendiri. Yakni dari segi mengagungkan hari di mana Nabi dilahirkan dengan melakukan suatu ibadah yaitu berpuasa.
Ketika Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa hari senin, beliau menjawab :
ذاك يوم ولدت فيه ويوم بعثت اوانزل علي فيه
“ Hari itu hari aku dilahirkan, hari aku diutus atau diturunkan wahyu kepadaku “ (HR. Muslim)
Ini merupakan dalil nyata bolehnya memperingati hari kelahiran (maulid) beliau yang saat itu dirayakan oleh Nabi dengan salah satu macam ibadah yaitu berpuasa. Dan ini merupakan fakta bahwa beliaulah pertama kali yang mengangungkan hari kelahirannya sendiri dengan berpuasa. Maka mengagungkan hari di mana beliau dilahirkan merupakan sebuah sunnah yang telah Nabi contohkan sendiri. Ini asal dan esensi dari acara maulid Nabi.
Kedua : Merayakan, mengagungkan dan memperingati hari kelahiran (maulid) Nabi dengan berbagai cara dan program sudah sejak lama diikuti oleh para ulama dan raja-raja yang shalih. Kita kupas sejarahnya di sini :
1. Ibnu Jubair seorang Rohalah [2] (lahir pada tahun 540 H) mengatakan dalam kitabnya yang berjudul Rihal :
يفتح هذا المكان المبارك أي منزل النبي صلى الله عليه وسلم ويدخله جميع الرجال للتبرّك به في كل يوم اثنين من شهر ربيع الأول ففي هذا اليوم وذاك الشهر ولد النبي صلى الله عليه وسلم
“ Tempat yang penuh berkah ini dibuka yakni rumah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, dan semua laki-laki memasukinya untuk mengambil berkah dengannya di setiap hari senin dari bulan Rabi’ul Awwal. Di hari dan bulan inilah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan “[3]
Dari sini sudah jelas bahwa saat itu perayaan maulid Nabi merupakan sudah menjadi tradisi kaum muslimin di Makkah sebelum kedatangan Ibnu Jubair di Makkah dan Madinah dengan acara yang berbeda yaitu membuka rumah Nabi untuk umum agar mendapat berkah dengannya. Ibnu Jubair masuk ke kota Makkah tanggal 16 Syawwal tahun 579 Hijriyyah. Menetap di sana selama delapan bulan dan meninggalkan kota Makkah hari Kamis tanggal 22 bulan Dzul Hijjah tahun 579 H, dengan menuju ke kota Madinah al-Munawwarah dan menetap selama 5 hari saja.
2. Syaikh Umar al-Mulla seorang syaikh yang shalih yang wafat pada tahun 570 H, dan shulthan Nuruddin Zanki seorang pentakluk pasukan salib. Kita simak penuturan syaikh Abu Syamah (guru imam Nawawi) tentang dua tokoh besar di atas :
قال العماد: وكان بالموصل رجل صالح يعرف بعمر الملاَّ، سمى بذلك لأنه كان يملأ تنانير الجص بأجرة يتقوَّت بها، وكل ما عليه من قميص ورداء، وكسوة وكساء، قد ملكه سواه واستعاره، فلا يملك ثوبه ولا إزاره. وكن له شئ فوهبه لأحد مريديه، وهو يتجر لنفسه فيه، فإذا جاءه ضيف قراه ذلك المريد. وكان ذا معرفة بأحكام القرآن والأحاديث النبوية.كان العلماء والفقهاء، والملوك والأمراء، يزورونه في زاويته، ويتبركون بهمته، ويتيمنَّون ببركته. وله كل سنة دعوة يحتفل بها في أيام مولد رسول الله صلى الله عليه وسلم يحضره فيها صاحب الموصل، ويحضر الشعراء وينشدون مدح رسول الله صلى الله عليه وسلم في المحفل. وكان نور الدين من أخص محبيه يستشيرونه في حضوره، ويكاتبه في مصالح أموره
“al-‘Ammad mengatakan , “ Di Mosol ada seorang yang shalih yang dikenal dengan sebutan Umar al-Mulla, disebut dengan al-Mulla sebab konon beliau suka memenuhi (mala-a) ongkos para pembuat dapur api sebagai biaya makan sehari-harinya, dan semua apa yang ia miliki berupa gamis, selendang, pakaian, selimut, sudah dimiliki dan dipinjam oleh orang lain, maka beliau sama sekali tidak pakaian dan sarungnya. Jika beliau memiliki sesuatu, maka beliau memberikannya kepada salah satu muridnya, dan beliau menyewa sesuatu itu untuknya, maka jika ada tamu yang datang, murid itulah yang menjamunya. Beliau seorang yang memiliki pengetahuan tentang hokum-hukum al-Quran dan hadits-hadits Nabi. Para ulama, ahli fiqih, raja dan penguasa sering menziarahi beliau di padepokannya, mengambil berkah dengan sifat kesemangatannya, mengharap keberkahan dengannya. Dan beliau setiap tahunnya mengadakan peringatan hari kelahiran (maulid) Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang dihadiri juga oleh raja Mosol. Para penyair pun juga datang menyenandungkan pujian-pujian kepada Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam di perayaan tersebut. Shulthan Nuruddin adalah salah seorang pecintanya yang merasa senang dan bahagia dengan menghadiri perayaan maulid tersebut dan selalu berkorespondesi dalam kemaslahatan setiap urusannya “.[4]
Ini juga disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tarikh pada bab Hawadits 566 H. al-Hafidz adz-Dzahabi mengatakan tentang syaikh Umar ash-Shalih ini : “
وقد كتب الشيخ الزاهد عمر الملاّ الموصلي كتاباً إلى ابن الصابوني هذا يطلب منه الدعاء
“Dan sungguh telah menulis syaikh yang zuhud yaitu Umar al-Mulla al-Mushili sebuah tulisan kepada Ibnu ash-Shabuni, “ Ini orang meminta ddoa darinya “.[5]
Adz-Dzahabi dalam kitab lainnya juga mengatakan :
وكان ذلك تحت إمرة الملك العادل السُّنِّيِّ نور الدين محمود زنْكِي الذي أجمع المؤرخون على ديانته وحسن سيرته، وهو الذي أباد الفاطميين بمصر واستأصلهم وقهر الدولة الرافضية بها وأظهر السنة وبني المدارس بحلب وحمص ودمشق وبعلبك وبنى المساجد والجوامع ودار الحديث
“ Beliau (syaikh Umar) di bawah kekuasaan raja yang adil yang sunni yaitu Nuruddin Mahmud Zanki, yang para sejarawan telah ijma’ (konsesus/sepakat) atas kebaikan agama dan kehidupannya. Beliaulah yang telah memusnahkan dinasti Fathimiyyun di Mesir sampai ke akar-akarnya, menghancurkan kekuasaan Rafidhah. Menampakkan (menzahirkan) sunnah, membangun madrasah-madrasah di Halb, Hamsh, Damasqus dan Ba’labak, juga membangun masjid-masjid Jami’ dan pesantren hadits “[6]
Al-Hafidz Ibnu Katsir menceritakan sosok raja Nuruddin Zanki sebagai berikut :
أنّه كان يقوم في أحكامه بالمَعدلَةِ الحسنة وإتّباع الشرع المطهّر وأنّه أظهر ببلاده السنّة وأمات البدعة وأنّه كان كثير المطالعة للكتب الدينية متّبعًا للآثار النبوية صحيح الاعتقاد قمع المناكير وأهلها ورفع العلم والشرع
“ Beliau adalah seorang raja yang menegakkan hokum-hukumnya dengan keadilan yang baik dan mengikuti syare’at yang suci. Beliau menampakkan sunnah dan mematikan bid’ah di negerinya. Beliau seorang yang banyak belajar kitab-kitab agama, pengikut sunnah-sunnah Nabi, akidahnya sahih, pemusnah kemungkaran dan pelakuknya, pengangkat ilmu dan syare’at “.[7]
Ibnu Atsir juga mengatakan :
طالعت سِيَرَ الملوك المتقدمين فلم أر فيها بعد الخلفاء الراشدين وعمر بن عبد العزيز أحسن من سيرته, قال: وكان يعظم الشريعة ويقف عند أحكامها
“ Aku telah mengkaji sejarah-sejarah kehidupan para raja terdahulu, maka aku tidak melihat setelah khalifah rasyidin dan Umar bin Abdul Aziz yang lebih baik dari sejarah kehidupannya (Nurruddin Zanki). Beliau pengangung syare’at dan tegak di dalam hokum-hukumnya “.[8]
Pertanyaan buat para pengingkar Maulid Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam :
Jika seandainya Maulid Nabi itu bid’ah dholalah yang sesat dan pelakunya disebut mubtadi’ (pelaku bid’ah) dan terancam masuk neraka, apakah anda akan mengatakan bahwa syaikh Umar al-Mulla dan raja yang adil Nuruddin Zanki adalah orang-orang pelaku bid’ah dan terancam masuk neraka ?? padahal para ulama sejarawan sepakat (ijma’) bahwa syaikh Umar adalah orang shalih dan zuhud, raja Nuruddin adalah raja yang adil, berakidah sahih, pecinta sunnah bahkan menampakkanya dan juga pemusnah bid’ah di negerinnya, sebagaimana telah saya buktikan faktanya di atas…
Bagaimana mungkin para ulama sejarawan di atas, mengatakan penzahir (penampak) sunnah Nabi dan pemusnah bid’ah jika ternyata pengamal Maulid Nabi yang kalian anggap bid’ah sesat ?? ini bukti bahwa Maulid Nabi bukanlah bid’ah. Renungkanlah hal ini wahai para pengingkar Maulid Nabi…
3. Kemudian berlanjut perayaan tersebut yang dilakukan oleh seorang raja shaleh yaitu raja al-Mudzaffar penguasa Irbil, seorang raja orang yang pertama kali merayakan peringatan maulid Nabi dengan program yang teratur dan tertib dan meriah. Beliau seorang yang berakidahkan Ahlus sunnah wal jama’ah.
Al-Hafidz Ibnu Katsir mengatakan :
ابن زين الدين علي بن تبكتكين أحد الاجواد والسادات الكبراء والملوك الامجاد له آثار حسنة…. وكان يعمل المولد الشريف في ربيع الاول ويحتفل به احتفالا هائلا وكان مع ذلك شهما شجاعا فاتكا بطلا عاقلا عالما عادلا رحمه الله وأكرم مثواه وقد صنف الشيخ أبو الخطاب ابن دحية له مجلدا في المولد النبوي سماه التنوير في مولد البشير النذير فأجازه على ذلك بألف دينار وقد طالت مدته في الملك في زمان الدولة الصلاحية وقد كان محاصر عكا وإلى هذه السنة محمود السيرة والسريرة قال السبط حكى بعض من حضر سماط المظفر في بعض الموالد كان يمد في ذلك السماط خمسة آلاف راس مشوى وعشرة آلاف دجاجة ومائة ألف زبدية وثلاثين ألف صحن حلوى
“ Beliau adalah putra Zainuddin Ali bin Tabkitkabin salah seorang tokoh besar dan pemimpin yang agung. Beliau memiliki sejarah hidup yang baik. Beliau yang memakmurkan masjid al-Mudzhaffari….dan beliau konon mengadakan acara Maulid Nabi yang mulia di bulan Rabiul Awwal, dan merayakannya dengan perayaan yang meriah, dan beliau adalah seorang raja yang cerdas, pemberani, perkasa, berakal, alim dan adil –semoga Allah merahmatinya dan memuliakan tempat kembalinya- syaikh Abul Khaththab Ibnu Dihyah telah mengarang kitab berjilid-jilid tentang Maulid Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam yang dinamakannya “ At-Tanwir fi Maulid al-Basyir an-Nadzir “, lalu diberikan balasan atas usaha itu oleh raja sebesar seribu dinar. Masa kerajaannya begitu panjang di zaman Daulah shalahiyyah. Beliau pernah mengepung negeri ‘Ukaa. Di tahun ini beliau baik kehidupannya lahir dan bathin. As-Sibth mengatakan, “ Seorang yang menghadiri kegiatan raja al-Mudzaffar pada beberapa acara maulidnya mengatakan, “ Beliau pada perayaan maulidnya itu menyediakan 5000 kepala kambing yang dipanggang, 10.000 ayam panggang, 100.000 mangkok besar (yang berisi buah-buahan), dam 30.000 piring berisi manisan “.[9]
Adz-Dzahabi juga mengatakan tentang sifat-sifat beliau :
وَكَانَ مُتَوَاضِعاً، خَيِّراً، سُنِّيّاً، يُحبّ الفُقَهَاء وَالمُحَدِّثِيْنَ، وَرُبَّمَا أَعْطَى الشُّعَرَاء، وَمَا نُقِلَ أَنَّهُ انْهَزَم فِي حرب
“ Beliau adalah orang yang rendah hati, sangat baik, seorang yang berakidahkan Ahlus sunnah, pecinta para ahli fiqih dan hadits, terkadang suka memberi hadiah kepada para penyair, dan tidak dinukilkan bahwa beliau kalah dalam pertempuran “[10]
Pertanyaan buat para pengingkar Maulid Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam :
Adakah para ulama sejarawan di atas menyebutkan raja Mudzaffar adalah seorang pelaku bid’ah dholalah karena melakukan perayaan Maulid Nabi ?? justru mereka menyebutkan bahwa beliau adalah seorang raja adil, rendah hati, pemberani dan berakidahkan Ahlus sunnah. Renungkanlah hal ini wahai wahabi…
Ketiga : Seandainya Fathimiiyun juga membuat perayaan Maulid Nabi sebagaimana para pendahulu kami, maka hal ini bukanlah suatu keburukan karena kami hanya menolak kebathilan para pelaku bid’ah dholalah, bukan menolak kebenaran mereka yang sesuai dengan Ahlus sunnah.
Keempat : Wahabi telah melakukan kecurangan ilmiyyah dengan mengunting teks (nash) dari al-Maqrizi. Mereka tidak menampilkan redaksi atau teks berikutnya yang dinyatakan oleh al-Maqrizi dalam kitabnya tersebut. Lebih lanjutnya beliau menceritkan bahwasanya para khalifah muslimin, mengadakan perayaan maulid yang dihadiri oleh para qadhi dari kalangan empat madzhab dan para ulama yang masyhur, berikut redaksinya yang disembunyikan dan tidak berani ditampilkan wahabi :
فلما كانت أيام الظاهر برقوق عمل المولد النبويّ بهذا الحوض في أوّل ليلة جمعة من شهر ربيع الأول في كلّ عام فإذا كان وقت ذلك ضربت خيمة عظيمة بهذا الحوض وجلس السلطان وعن يمينه شيخ الإسلام سراج الدين عمر بن رسلان بن نصر البلقيني ويليه الشيخ المعتقد إبراهيم برهان الدين بن محمد بن بهادر بن أحمد بن رفاعة المغربيّ ويليه ولد شيخ الإسلام ومن دونه وعن يسار السلطان الشيخ أبو عبد الله محمد بن سلامة التوزريّ المغربيّ ويليه قضاة القضاة الأربعة وشيوخ العلم ويجلس الأمراء على بعد من السلطان فإذا فرغ القراء من قراءة القرآن الكريم قام المنشدون واحدًا بعد واحد وهم يزيدون على عشرين منشدًا فيدفع لكل واحد منهم صرّة فيها أربعمائة درهم فضة ومن كلّ أمير من أمراء الدولة شقة حرير فإذا انقضت صلاة المغرب مدّت أسمطة الأطعمة الفائقة فأكلت وحمل ما فيها ثم مدّت أسمطة الحلوى السكرية من الجواراشات والعقائد ونحوها فتُؤكل وتخطفها الفقهاء ثم يكون تكميل إنشاد المنشدين ووعظهم إلى نحو ثلث الليل فإذا فرغ المنشدون قام القضاة وانصرفوا وأقيم السماع بقية الليل واستمرّ ذلك مدّة أيامه ثم أيام ابنه الملك الناصر فرج
“ Maka ketika sudah pada hari-hari yang tampak dengan ruquq, diadakanlah perayaan Maulid Nabi di telaga ini pada setiap malam Jum’at bulan Rabiul Awwal di setiap tahunnya. Kemduian Shulthan duduk, dan di sebelah kanannya duduklah syaikh Islam Sirajuddin Umar bin Ruslan bin Nashr al-Balqini, di dekat beliau ada syaikh al-Mu’taqad Ibrahim Burhanuddin bin Muhammad bin Bahadir bin Ahmad bin Rifa’ah al-Maghrabi, di sampingnya lagi ada putra syaikh Islam dan orang-orang selainnya, dan di sebelah kirinya ada syaikh Abu Abdillah bin Muhammad bin Sallamah at-Tuzari al-Maghrabi, di sampingnya lagi ada para qadhi dari kalangan empat madzhab, dan para syaikh ilmu, juga para penguasa yang duduk sedikit jauh dari shulthan. Jika telah selesai membaca al-Quran, maka beridrilah para nasyid satu persatu membawakan sebuah nasyidah, mereka lebih dari 20 orang nasyid, masing-masing diberikan sekantong uang yang di dalamnya berisi 4000 ribu dirham perak. Dan bagi setiap amir daulah diberikan kaen sutra. Dan jika telah selesai sholat maghrib, maka dihidangkanlah hidangan makanan yang mewah yang dimakan oleh semuanya dan dibawa pulang. Kemduian dibeberkan juga hidangan manisan yang juga dimakan semuanya dan para ulama ahli fiqih. Kemduian disempurnakan dengan nasyid pada munsyid dan nasehat mereka sampai sepertiga malam. Dan jika para munsyid selasai, maka berdirilah para qadhi dan mereka kembali pulang. Dan diperdengarkan sebuah senandung pujian di sisa malam tersebut. Hal ini terus berlangsung di masanya dan masa-masa anaknya yaitu an-Nahsir Faraj “.[11]
Kisah yang sama ini juga diceritakan oleh seorang ulama pakar sejarah yaitu syaikh Jamaluddin Abul Mahasin bin Yusufi bin Taghribardi dalam kitab Tarikhnya “ an-Nujum az-Zahirah fii Muluk Mesir wal Qahirah “ pada juz 12 halaman 72.
Hal yang serupa juga disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar secara ringkas dalam kitabnya Anba al-Ghumar sebagai berikut :
وعمل المولد السلطاني المولد النبوي الشريف على العادة في اليوم الخامس عشر، فحضره البلقيني والتفهني وهما معزولان، وجلس القضاة المسفزون على اليمين وجلسنا على اليسار والمشايخ دونهم، واتفق أن السلطان كان صائما، فلما مد السماط جلس على العادة مع الناس إلى إن فرغوا، فلما دخل وقت المغرب صلوا ثم أحضرت سفرة لطيفة، فاكل هو ومن كان صائما من القضاة وغيرهم
“ Dan perayaan maulid shulthan yaitu Maulid Nabi yang Mulia seprti biasanya (tradisi) pada hari kelima belas, dihadiri oleh syaikh al-Balqini dan at-Tifhani, keduanya mantan qadhi. Para qadhi lainnya duduk di sebalah kanan beliau, dan kami serta para masyaikh duduk di sebelah kiri. Disepakati bahwa shulthan saat itu dalam keadaan puasa, maka ketika dibentangkanlah seprei makanan, beliau duduk seperti biasanya bersama prang-orang sampai selesai. Maka ketika masuk waktu maghrib, mereka sholat kemudian dihidangkanlah hidangan makanan yang lembut, maka beliau makan bersama orang-orang yang berpuasa dari para qadhi dan lainnya “[12]
Dengan ini jelas lah sudah bahwa wahabi telah melakukan kecurangan ilmiyyah dengan tidak menampilkan redaksi (teks) selanjutnya yang membicarakan perhatian para raja dan ulama besar terhadap perayaan Maulid Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam saat itu. Ini merupakan tadlis, talbis dan penipuan besar di hadapan public…naudzu billah min dzaalik.
Kesimpulannya :
1. Perayaan Maulid Nabi, esensinya telah dicontohkan oleh Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yaitu saat beliau mengangungkan dan memperingati hari kelahiran beliau dengan melakukan satu ibadah sunnah yaitu puasa. Maka pada hakekatnya perayaan Maulid Nabi adalah sunnah Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Perayaan Maulid Nabi yang dilanjutkan dengan para raja yang adil dan para ulama yang terkenal adalah dalam rangka menghidupkan sunnah Nabi yaitu memperingati hari kelahiran Nabi, namun dengan metode dan cara yang berbeda yang berlandaskan syare’at seperti membaca al-Quran, bersholawat dan bersedekah. Metode ini sama sekali tidak bertentangan dengan syare’at Nabi.
3. Tuduhan wahabi bahwa yang melakukan Maulid pertama kali adalah dari Syi’ah Fathimiyyun adalah dusta belaka dan bertentangan dengan fakta kebenarannya.
4. Wahabi telah melakukan kecurangan ilmiyyah dengan menggunting dan tidak menampilkan teks al-Maqrizi yang menceritakan perhatian para raja adil dan ulama terkenal dari kalangan empat madzhab terhadap Maulid Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam.
Ustadzah Shofiyyah an-Nuuriyyah & Ust. Ibnu Abdillah Al-Katibiy
Kota Santri, 6 Rabiul Awwal 1435 H / 08-Januari-2014
[1] Ini disebutkan oleh syaikh Ibnu Muflih dari Ibn Mukhlid yang mengisahkan kisah ini dari Hasan al-Bashri. Bisa juga dilihat di kitab Syarh kitab Tauhid di : http://islamport.com/w/aqd/Web/1762/961.htm
[2] Seorang penjelaja tempat-tempat dan daerah-daerah jauh.
[3] Rihal, Ibnu Jubair : 114-115
[4] Ar-Roudhatain fii Akhbar ad-Daulatain, Abu Syamah, pada fashal (bab) : Hawadits (peristiwa) tahun 566 H.
[5] Tarikh al-Islam, adz-Dzahabi : 41 / 130
[6] Siyar A’lam an-Nubala, adz-Dzahabi : 20 / 532
[7] Tarikh Ibnu Katsir : 12 / 278
[8] Tarikh Ibnu Atsir : 9 / 125
[9] Al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir : 13/ 136
[10] Siyar A’lam an-Nubala : 22 / 336
[11] Al Mawa’izh wal I’tibar bi Dzikril Khutoti wal Atsar : 3 / 167
[12] Anba al-Ghumar : 2 / 562
Sumber : http://www.aswj-rg.com
Sejarah Singkat Maulid dan Sanggahan Bagi Kalangan
Anti Maulid
Anti Maulid
Bismillah Ar-rahmaan Ar-rahiim.
Pengantar
Kitab Maulid Simthu Ad-durarPeringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Irak sekarang), bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab Tarikh berkata: “Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang pemberani, pahlawan, alim dan seorang yang adil -semoga Allah merahmatinya-”.
Dijelaskan oleh Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut raja al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut.
Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya itu. Ibn Khallikan dalam kitab Wafayat al-A’yan menceritakan bahwa al-Imam al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 H, beliau mendapati Raja al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “at-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada raja al-Muzhaffar.
Para ulama, semenjak masa raja al-Muzhaffar dan masa sesudahnya hingga sampai sekarang ini menganggap bahwa perayaan maulid Nabi adalah sesuatu yang baik. Jajaran para ulama terkemuka dan Huffazh al-Hadits telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H), al-Hafizh al-‘Iraqi (W 806 H), Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani (W 852 H), al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H), al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H), al-Imam an-Nawawi (W 676 H), al-Imam al-‘Izz ibn ‘Abd as-Salam (W 660 H), mantan mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit al-Muthi’i (W 1354 H), Mantan Mufti Bairut Lebanon; Syekh Mushthafa Naja (W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama besar yang lainnya. Bahkan al-Imam as-Suyuthi menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul “Husn al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid”. Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan Rabi’ul Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh belahan dunia, dari masa ke masa dan dalam setiap generasi ke generasi.
Hukum Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi Muhammad Shollallaah ‘alaih Wa Sallam yang dirayakan dengan membaca sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat nabi yang mulia, ini adalah perkara yang penuh dengan berkah dan kebaikan kebaikan yang agung. Tentu jika perayaan tersebut terhindar dari bid’ah-bid’ah sayyi-ah yang dicela oleh syara’.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada permulaan abad ke 7 H. Ini berarti kegiatan ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri. Para ulama menggolongkan perayaan Maulid Nabi sebagai bagian dari bid’ah hasanah. Artinya bahwa perayaan Maulid Nabi ini merupakan perkara baru yang sejalan dengan ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi dan sama sekali tidak bertentangan dengan keduanya.
Dalil-Dalil Peringatan Maulid Nabi
1. Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran hadits nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi syari’at Islam. Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ
رواه مسلم في صحيحه
“Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam kitab Shahihnya).
Faedah Hadits:
Hadits ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad untuk merintis perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar maupun Ijma’. Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu-pun di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi.
2. Dalil-dalil tentang adanya Bid’ah Hasanah yang telah disebutkan dalam pembahasan mengenai Bid’ah.
3. Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua kitab Shahih-nya. Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab: “Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir’aun dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”. Kemudian Rasulullah bersabda:
أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ
“Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.
Lalu Rasulullah berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.
Faedah Hadits:
Pelajaran penting yang dapat diambil dari hadits ini ialah bahwa sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan syukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Baik melakukan perbuatan syukur karena memperoleh nikmat atau karena diselamatkan dari marabahaya. Kemudian perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama di setiap tahunnya.
Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca al-Qur’an dan semacamnya. Bukankah kelahiran Rasulullah adalah nikmat yang paling besar bagi umat ini?! Adakah nikmat yang lebih agung dari dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat dan karunia yang lebih agung dari pada kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah yang telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani.
4. Hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih. Bahwa Rasulullah ketika ditanya mengapa beliau puasa pada hari Senin, beliau menjawab:
ذلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ
“Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”. (HR Muslim)
Faedah Hadits:
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan puasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah, bahwa pada hari itu beliau dilahirkan. Ini adalah isyarat dari Rasulullah, artinya jika beliau berpuasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran beliau sendiri pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah tersebut untuk melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah kelahirannya, bersedekah, atau perbuatan baik lainnya.
Kemudian, oleh karena puasa pada hari senin diulang setiap minggunya, maka berarti peringatan maulid juga diulang setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran Rasulullah masih diperselisihkan oleh para ulama mengenai tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka sah-sah saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi’ul Awwal atau pada tanggal lainnya. Bahkan tidak masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam sebulan penuh sekalipun, sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh as-Sakhawi seperti yang akan dikutip di bawah ini.
Fatwa Beberapa Ulama Ahlussunnah
1. Fatwa Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi al-Hadits al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-‘Asqalani. Beliau menuliskan menuliskan sebagai berikut:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً” وَقَالَ: “وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ.
“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”.
2. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi. Beliau mengatakan dalam risalahnya Husn al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid: Beliau menuliskan sebagai berikut:
عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ.
“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, berupa kumpulan orang-orang, berisi bacaan beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid’ah hasanah yang pelakunya akan memperoleh pahala. Karena perkara semacam itu merupakan perbuatan mengagungkan terhadap kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakan akan rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya yang mulia. Orang yang pertama kali merintis peringatan maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja al-Muzhaffar Abu Sa’id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al-Jami’ al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.
3. Fatwa al-Imam al-Hafizh as-Sakhawi seperti disebutkan dalam al-Ajwibah al-Mardliyyah, sebagai berikut:
لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ”. ثُمَّ قَالَ: “قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ.
“Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorang-pun dari kaum Salaf Saleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar senantiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai macam sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih dari biasanya. Mereka bahkan meramaikan dengan membaca buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara merata. Dan ini semua telah teruji”.
Kemudian as-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling shahih adalah malam Senin, tanggal 12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak mengapa melakukan kebaikan kapanpun pada hari-hari dan malam-malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada hari-hari dan malam-malam bulan Rabi’ul Awwal seluruhnya” .
Jika kita membaca fatwa-fatwa para ulama terkemuka ini dan merenungkannya dengan hati yang jernih, kita akan mengetahui bahwa sebenarnya sikap “sinis” yang timbul dari sebagian orang yang mengharamkan Maulid Nabi tidak lain hanya didasarakan kepada hawa nafsu belaka. Orang-orang semacam itu sama sekali tidak peduli dengan fatwa-fatwa para ulama saleh terdahulu. Di antara pernyataan mereka yang sangat merisihkan ialah bahwa mereka seringkali menyamakan peringatan maulid Nabi ini dengan perayaan Natal yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka, karena sangat benci terhadap perayaan Maulid Nabi ini, dengan tanpa malu dan tanpa risih sama sekali berkata:
إِنَّ الذَّبِيْحَةَ الَّتِيْ تُذْبَحُ لإِطْعَامِ النَّاسِ فِيْ الْمَوْلِدِ أَحْرَمُ مِنَ الْخِنْزِيْرِ.
“Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang dalam peringatan maulid lebih haram dari daging babi”.
Orang-orang anti maulid ini menganggap bahwa perbuatan bid’ah semcam Maulid Nabi ini adalah perbuatan yang mendekati syirik. Dengan demikian, -menurut mereka-, lebih besar dosanya dari pada memakan daging babi yang hanya haram saja dan tidak mengandung unsur syirik.
Jawab:
Na’udzu Billah. Sungguh sangat kotor dan buruk perkataan orang semacam ini. Bagaimana ia berani dan tidak punya rasa malu sama sekali mengatakan peringatan Maulid Nabi, -yang telah disetujui oleh para ulama dan orang-orang saleh dan telah dianggap sebagai perkara baik oleh para ahli hadits dan lainnya-, dengan perkataan seburuk seperti ini?! Orang seperti ini benar-benar tidak tahu diri. Apakah dia merasa telah menjadi seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Hafzih as-Suyuthi atau al-Hafizh as-Sakhawi atau bahkan merasa lebih alim dari mereka?! Bagaimana ia membandingkan makan daging babi yang telah nyata dan tegas hukum haramnya di dalam al-Qur’an, lalu ia samakan dengan peringatan Maulid Nabi yang sama sekali tidak ada pengharamannya dari nash-nash syari’at?! Ini artinya, bahwa orang-orang semacam dia yang mengharamkan maulid ini tidak mengetahui Maratib al-Ahkam; tingkatan-tingkatan hukum. Mereka tidak mengetahui mana yang haram dan mana yang mubah, mana yang haram dengan nash dan mana yang haram dengan istinbath. Tentunya orang-orang ”tolol” semacam ini sama sekali tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan atau ikutan dalam mengamalkan ajaran agama Allah ini.
Pembacaan Buku-Buku Maulid
Di antara rangkaian acara peringatan Maulid Nabi adalah membaca kisah-kisah tentang kelahiran Rasulullah. Al-Hafizh as-Sakhawi menuliskan sebagai berikut:
وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْمَوْلِدِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُقْتَصَرَ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْرَدَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيْثِ فِيْ تَصَانِيْفِهِمْ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ كَالْمَوْرِدِ الْهَنِيِّ لِلْعِرَاقِيِّ – وَقَدْ حَدَّثْتُ بِهِ فِيْ الْمَحَلِّ الْمُشَارِ إِلَيْهِ بِمَكَّةَ-، وَغَيْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ بَلْ ذُكِرَ ضِمْنًا كَدَلاَئِلِ النُّـبُوَّةِ لِلْبَيْهَقِيِّ، وَقَدْ خُتِمَ عَلَيَّ بِالرَّوْضَةِ النَّـبَوِيَّةِ، لأَنَّ أَكْثَرَ مَا بِأَيْدِيْ الْوُعَّاظِ مِنْهُ كَذِبٌ وَاخْتِلاَقٌ، بَلْ لَمْ يَزَالُوْا يُوَلِّدُوْنَ فِيْهِ مَا هُوَ أَقْبَحُ وَأَسْمَجُ مِمَّا لاَ تَحِلُّ رِوَايَتُهُ وَلاَ سَمَاعُهُ، بَلْ يَجِبُ عَلَى مَنْ عَلِمَ بُطْلاَنُهُ إِنْكَارُهُ، وَالأَمْرُ بِتَرْكِ قِرَائِتِهِ، عَلَى أَنَّهُ لاَ ضَرُوْرَةَ إِلَى سِيَاقِ ذِكْرِ الْمَوْلِدِ، بَلْ يُكْتَفَى بِالتِّلاَوَةِ وَالإِطْعَامِ وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْشَادِ شَىْءٍ مِنَ الْمَدَائِحِ النَّـبَوِيَّةِ وَالزُّهْدِيَّةِ الْمُحَرِّكَةِ لِلْقُلُوْبِ إِلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ وَاللهُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ.
“Adapun pembacaan kisah kelahiran Nabi maka seyogyanya yang dibaca hanya yang disebutkan oleh para ulama ahli hadits dalam karangan-karangan mereka yang khusus berbicara tentang kisah kelahiran Nabi, seperti al-Maurid al-Haniyy karya al-‘Iraqi (Aku juga telah mengajarkan dan membacakannya di Makkah), atau tidak khusus -dengan karya-karya tentang maulid saja- tetapi juga dengan menyebutkan riwayat-riwayat yang mengandung tentang kelahiran Nabi, seperti kitab Dala-il an-Nubuwwah karya al-Baihaqi. Kitab ini juga telah dibacakan kepadaku hingga selesai di Raudlah Nabi. Karena kebanyakan kisah maulid yang ada di tangan para penceramah adalah riwayat-riwayat bohong dan palsu, bahkan hingga kini mereka masih terus memunculkan riwayat-riwayat dan kisah-kisah yang lebih buruk dan tidak layak didengar, yang tidak boleh diriwayatkan dan didengarkan, justru sebaliknya orang yang mengetahui kebatilannya wajib mengingkari dan melarang untuk dibaca. Padahal sebetulnya tidak mesti ada pembacaan kisah-kisah maulid dalam peringatan maulid Nabi, melainkan cukup membaca beberapa ayat al-Qur’an, memberi makan dan sedekah, didendangkan bait-bait Mada-ih Nabawiyyah (pujian-pujian terhadap Nabi) dan syair-syair yang mengajak kepada hidup zuhud, mendorong hati untuk berbuat baik dan beramal untuk akhirat. Dan Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”.
Kerancuan Faham Kalangan Anti Maulid
1. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya. Seandainya hal itu merupakan perkara baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya? Perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah tidak sertamerta sebagai sesuatu yang haram. Tapi sesuatu yang haram itu adalah sesuatu yang telah nyata dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah. Karena itu Allah berfirman:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
الحشر: 7
“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. al-Hasyr: 7)
Dalam firman Allah di atas disebutkan “Apa yang dilarang oleh Rasulullah atas kalian maka tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah maka tinggalkanlah”. Ini artinya bahwa perkara haram adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah, bukan sesuatu yang ditinggalkannya. Suatu perkara itu tidak haram hukumnya hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh Rasulullah. Melainkan ia menjadi haram ketika ada dalil yang melarang dan mengharamkannya.
Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah untuk mengetahui bahwa sesuatu itu boleh atau sunnah harus ada nash dari Rasulullah langsung yang secara khusus menjelaskannya?! Apakah untuk mengetahui boleh atau sunnahnya perkara maulid harus ada nash khusus dari Rasulullah yang berbicara tentang maulid itu sendiri?! Bagaimana mungkin Rasulullah berbicara atau melakukan segala sesuatu secara khusus dalam umurnya yang sangat singkat?! Bukankah jumlah nash-nash syari’at, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi, itu semua terbatas, artinya tidak membicarakan setiap peristiwa, padahal peristiwa-peristiwa baru akan terus bermunculan dan selalu bertambah?! Jika setiap perkara harus dibicarakan oleh Rasulullah langsung, lalu dimanakah posisi ijtihad dan apa fungsi ayat-ayat atau hadits-hadits yang memberikan pemahaman umum?! Misalkan firman Allah:
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
الحج: 77
“Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung” (QS. al Hajj: 77)
Apakah kemudian setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih dahulu oleh Rasulullah supaya dihukumi bahwa kebaikan tersebut boleh dilakukan?! Tentunya tidak demikian. Dalam masalah ini Rasulullah hanya memberikan kaedah-kaedah atau garis besarnya saja. Karena itulah dalam setiap pernyataan Rasulullah terdapat apa yang disebut dengan Jawami’ al-Kalim. Artinya bahwa dalam setiap ungkapan Rasulullah terdapat kandungan makna yang sangat luas.
Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ
رواه الإمام مسلم في صحيحه
“Barang siapa yang memulai (merintis perkara baru) dalam Islam sebuah perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
رواه مسلم
“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini Rasulullah menegaskan bahwa sesuatu yang baru dan tertolak adalah sesuatu yang “bukan bagian dari syari’atnya”. Artinya, sesuatu yang baru yang tertolak adalah yang menyalahi syari’at Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas: “Ma Laisa Minhu”. Karena, seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh para sahabatnya adalah perkara yang pasti haram dan sesat dengan tanpa terkecuali, maka Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma Laisa Minhu”, tapi mungkin akan berkata: “Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai’an Fa Huwa Mardud” (Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini maka ia pasti tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka berarti hal ini bertentangan dengan hadits riwayat Imam Muslim di atas sebelumnya. Yaitu hadits: “Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan….”. Padalah hadits riwayat Imam Muslim ini megandung isyarat anjuran bagi kita untuk membuat suatu yang baru, yang baik, dan yang sejalan dengan syari’at Islam.
Dengan demikian tidak semua perkara baru adalah sesat dan tertolak. Namun setiap perkara baru harus dicari hukumnya dengan dilihat persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara’. Bila sesuai maka boleh dilakukan, dan jika menyalahi maka tentu tidak boleh dilakukan. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ مُسْتَقْبَحَةٌ
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq (penelitian) para ulama adalah; bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara’ maka berarti termasuk bid’ah yang buruk”.
Pantaskah dengan keagungan Islam dan keluasan kaedah-kaedahnya jika dikatakan bahwa setiap perkara baru adalah sesat?
2. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi biasanya berkata: “Peringatan maulid itu sering dibarengi dengan perkara-perkara haram dan maksiat”.
Jawab:
Apakah karena alasan tersebut lantas peringatan maulid menjadi haram secara mutlak?! Pendekatannya; Apakah seseorang haram baginya untuk masuk ke pasar, dengan alasan di pasar banyak yang sering melakukan perbuatan haram, seperti membuka aurat, menggunjingkan orang, menipu dan lain sebagainya?! Tentu tidak demikian. Maka demikian pula dengan peringatan maulid, jika ada kesalahan-kesalahan atau perkara-perkara haram dalam pelaksanaannya, maka kesalahan-kesalahan itulah yang harus diperbaiki. Dan memperbaikinya tentu bukan dengan mengharamkan hukum maulid itu sendiri. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar telah mengatakan:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً
“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh pada tiga abad pertama, tetapi meski demikian peringatan maulid mengandung kebalikan dan lawannya. Barangsiapa dalam memperingati maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal buruk yang diharamkan), maka itu adalah bid’ah hasanah”.
3. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan Maulid itu seringkali menghabiskan dana yang sangat besar. Hal itu adalah perbuatan tabdzir. Mengapa tidak dialokasikan saja untuk kebutuhan ummat yang lebih penting?”.
Jawab:
Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah. Perkara yang telah dianggap baik oleh para ulama disebutnya sebagai tabdzir?! Orang yang berbuat baik, bersedekah, ia anggap telah melakukan perbuatan haram, yaitu perbuatan tabdzir?! Mengapa orang-orang seperti ini selalu saja berprasangka buruk (suuzhzhann) terhadap umat Islam?! Mengapa harus mencari-cari dalih untuk mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya?! Mengapa mereka selalu saja beranggapan bahwa peringatan maulid tidak ada unsur kebaikannya sama sekali untuk ummat ini?! Bukankah peringatan Maulid Nabi mengingatkan kita kepada perjuangan Rasulullah dalam berdakwah sehingga membangkitkan semangat kita untuk berdakwah seperti yang telah dicontohkan beliau?! Bukankah peringatan Maulid Nabi memupuk kecintaan kita kepada Rasulullah dan menjadikan kita banyak bershalawat kepadanya?! Sesungguhnya maslahat-maslahat besar semacam ini bagi orang yang beriman tidak bisa diukur dengan harta.
4. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering berkata: “Peringatan Maulid itu pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Tujuan beliau saat itu adalah memobilisasi ummat untuk berjihad. Berarti orang yang melakukan peringatan maulid bukan dengan tujuan itu, telah menyimpang dari tujuan awal maulid. Oleh karenanya peringatan maulid tidak perlu”.
Jawab:
Pernyataan seperti ini sangat aneh. Ahli sejarah mana yang mengatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Katsir, al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafizh as-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Raja al-Muzhaffar, bukan sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Orang yang mengatakan bahwa sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi telah membuat “rekayasa jahat” terhadap sejarah. Perkataan mereka bahwa sultan Shalahuddin membuat maulid untuk tujuan mobilisasi umat untuk jihad dalam perang salib, maka jika diadakan bukan untuk tujuan seperti ini berarti telah menyimpang, adalah perkataan yang menyesesatkan. Target mereka yang berkata demikian adalah hendak mengharamkan maulid, atau paling tidak hendak mengatakan tidak perlu.
Kita katakan kepada mereka: Apakah jika orang hendak berjuang harus bergabung dengan bala tentara sultan Shalahuddin? Apakah menurut mereka yang berjuang untuk Islam hanya bala tentara sultan Shalahuddin saja? Dan apakah dalam berjuang harus mengikuti metode dan strategi Shalahuddin saja, dan jika tidak, berarti tidak berjuang namanya?!
Hal yang sangat mengherankan ialah kenapa bagi sebagian mereka yang mengharamkan maulid ini, dalam keadaan tertentu, atau untuk kepentingan tertentu, kemudian mereka mengatakan maulid boleh, istighotsah boleh, bahkan ikut-ikutan tawassul, tapi kemudian terhadap orang lain mereka mengharamkannya?! Hasbunallah.
Para ahli sejarah yang telah kita sebutkan di atas, tidak ada seorangpun dari mereka yang mengisyaratkan bahwa tujuan maulid adalah untuk memobilisasi ummat untuk jihad dalam perang di jalan Allah. Lalu dari mana muncul pemikiran seperti ini?! Tidak lain, pemikiran tersebut hanya muncul dari hawa nafsu belaka. Benar, mereka selalu mencari-cari celah sekecil apapun untuk mengungkapkan “kebencian” dan “sinis” mereka terhadap peringatan Maulid Nabi ini. Apa dasar mereka mengatakan bahwa peringatan maulid baru boleh diadakan jika tujuannya mobilisasi massa untuk jihad?! Apa dasar perkataan seperti ini?! Sama sekali tidak ada.
Al-Hafizh Ibn Hajar, al-Hafizh as-Suyuthi, al-Hafizh as-Sakhawi dan para ulama lainnya yang telah menjelaskan tentang kebolehan peringatan Maulid Nabi, sama sekali tidak mengaitkannya dengan tujuan mobilisasi massa untuk berjihad. Kemudian dalil-dalil yang mereka kemukakan dalam masalah maulid tidak menyebut prihal jihad sama sekali, bahkan mengisyaratkan saja tidak. Dari sini kita tahu betapa rancu dan tidak berdasar perkataan mereka bila sudah berkaitan dengan hukum, istinbath dan istidlal.
Semoga Allah merahmati para ulama kita. Sesungguhnya mereka adalah cahaya penerang bagi umat ini dan sebagai penuntun bagi kita semua menuju jalan yang diridlai Allah. Amin.
Semoga bermanfaat.
https://jundumuhammad.com/2011/03/09/sejarah-singkat-maulid-dan-sanggahan-bagi-kalangan-anti-maulid/
https://jundumuhammad.com/2011/03/09/sejarah-singkat-maulid-dan-sanggahan-bagi-kalangan-anti-maulid/
Artikel terkait Pro-Maulid :
(semua argumen mereka hampir sama, dan sudah disanggah pada beberapa artikel "Sanggahan" diatas)
Allah Pun
'Peringati' Maulid Nabi Muhammad SAW
Habib Lutfi bin Yahya: Membaca Maulid
Nabi pun Menjadi Wajib
http://www.muslimoderat.net/2015/12/habib-lutfi-bin-yahya-membaca-maulid.html#ixzz4doFedgVm
http://www.muslimoderat.net/2015/12/habib-lutfi-bin-yahya-membaca-maulid.html#ixzz4doFedgVm
[Habib Munzir] Perayaan Maulid Nabi
Untuk Sarana Dakwah Adalah Wajib
http://www.muslimoderat.net/2015/12/habib-munzir-perayaan-maulid-nabi-untuk.html#ixzz4doEfHZqk
http://www.muslimoderat.net/2015/12/habib-munzir-perayaan-maulid-nabi-untuk.html#ixzz4doEfHZqk
As Sayyid Al Maliki: Inilah Dalil
Perayaan Maulid Nabi, Masihkan akan Mengatakan Bid’ah?
Maulid Nabi dalam Al-Qur’an dan Galeri
Ulama Dunia
Syubhat Para Pengingkar yang Anti Maulid Nabi
Hujjah Lengkap Peringatan
Maulid Nabi Muhammad Saw
Bantahan kepada Zakir Naik yang "Mengatakan Merayakan
Maulid Nabi Masuk Neraka"
http://www.muslimoderat.net/2017/04/bantahan-kepada-zakir-naik-yang-mengatakan-merakan-maulid-nabi-masuk-neraka.html#ixzz4doE6mjyt
http://www.muslimoderat.net/2017/04/bantahan-kepada-zakir-naik-yang-mengatakan-merakan-maulid-nabi-masuk-neraka.html#ixzz4doE6mjyt
[Video] Innalillahi, Kata Zakir Naik yang Merayakan Maulid
Nabi Masuk Neraka
http://www.muslimoderat.net/2017/04/innalillahi-kata-zakir-naik-yang-merayakan-maulid-nabi-masuk-neraka.html#ixzz4doG8RBNc
http://www.muslimoderat.net/2017/04/innalillahi-kata-zakir-naik-yang-merayakan-maulid-nabi-masuk-neraka.html#ixzz4doG8RBNc
Sayangnya Dr Zakir Naik tidak berakidah ASWAJA
Jawaban Atas Sebuah Alasan
: “Kenapa Sahabat Nabi Tak Merayakan Maulid ?”
Menjawab Syubhat Dan Argumen Perayaan Maulid
Nabi Yang Disampaikan Ustadz Abdul Somad Dan Lainnya.
Apakah Perayaan Maulid Nabi Sebuah Ketaatan
(Taqarrub) Kepada Allah ?
Kajian Lengkap Pro-Kontra Hakikat Mencintai
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Dan Maulid Nabi. Sampai Akhir Abad
Ketiga Hijriyah Tidak Pernah Ada Perayaan Maulid. Pro-Maulid Merujuk Pendapat
Ulama Setelah Abad Kelima Hijriyah (lihat daftar isinya dibawah).
http://lamurkha.blogspot.co.id/2017/04/kajian-lengkap-pro-kontra-hakikat_7.html?m=0
Ustadz Abdul Somad, Lc, MA : Hukum Peringatan Maulid. Juga Pendapat Zon Jonggol (Mutiara Zuhud) dan Ustadz Drs. Idrus Ramli (NU Garis Lurus). Bandingkan Dengan Paparan Artikel Komprehensif (Pro-Kontra) dilamurkha.
http://lamurkha.blogspot.co.id/2017/06/ustadz-abdul-somad-lc-ma-hukum.html?m=0
Tokoh Sufi Habib Luthfi Bin Yahya: Anti Maulid Lebih Berbahaya Daripada Anti Sahabat. Sedangkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Para Sahabat, Para Thabi’in, Thabi’ut Thabi’in, Imam Empat Mazhab, Para Ulama Ahlul Hadits Seperti Imam Bukhari, Muslim dan lain-lain, Tidak Ada Yang Pernah Satu Kalipun Mengadakan Perayaan Maulid Nabi....
http://lamurkha.blogspot.co.id/2016/04/tokoh-sufi-habib-luthfi-bin-yahya-anti.html?m=0
http://lamurkha.blogspot.co.id/2017/04/kajian-lengkap-pro-kontra-hakikat_7.html?m=0
Ustadz Abdul Somad, Lc, MA : Hukum Peringatan Maulid. Juga Pendapat Zon Jonggol (Mutiara Zuhud) dan Ustadz Drs. Idrus Ramli (NU Garis Lurus). Bandingkan Dengan Paparan Artikel Komprehensif (Pro-Kontra) dilamurkha.
http://lamurkha.blogspot.co.id/2017/06/ustadz-abdul-somad-lc-ma-hukum.html?m=0
Tokoh Sufi Habib Luthfi Bin Yahya: Anti Maulid Lebih Berbahaya Daripada Anti Sahabat. Sedangkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam, Para Sahabat, Para Thabi’in, Thabi’ut Thabi’in, Imam Empat Mazhab, Para Ulama Ahlul Hadits Seperti Imam Bukhari, Muslim dan lain-lain, Tidak Ada Yang Pernah Satu Kalipun Mengadakan Perayaan Maulid Nabi....
http://lamurkha.blogspot.co.id/2016/04/tokoh-sufi-habib-luthfi-bin-yahya-anti.html?m=0
Bantahan Atas Retorika Adi Hidayat Lc. MA
Mengenai Pengkafirannya Atas Yang Mengingkari Al-Ihtifaal Bil Maulid
Kebenaran Hanya Milik Allah, Betul Sekali, Maka
Jalankan Konsekwensi Dari Ucapan Tersebut, Kembalikan Kebenaran Itu Kepada
Allah Dan Rasulnya, Bukan Kepada Kyai,Tokoh,Kelompok.. Kalimat Racun: Yang Tahu
Kebenaran Hanya Allah?
Memahami Kaidah-Kaidah Bid’ah Dan Beberapa
Perkara Baru.
“Orang
yang mencela sahabat-sahabat Nabi, maka ia tidak termasuk dalam
golongan Islam (kafir)”
Imam Ja’far Bin Muhammad Ash-Shadiq Menyebut
Orang (Hatinya) Tidak Cinta Kepada Abu Bakar RA Dan Umar RA Adalah Ahli Neraka
!
Al-Imam Malik rahimahullaah berkata (murid Imam Ja’far Ash-Shadiq): “Apa yang di jaman Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam dan sahabatnya bukan bagian dari agama, maka pada hari ini pun tak akan pernah menjadi agama!”
Al-Imam Malik rahimahullaah berkata (murid Imam Ja’far Ash-Shadiq): “Apa yang di jaman Nabi shallallaahu ‘alayhi wa sallam dan sahabatnya bukan bagian dari agama, maka pada hari ini pun tak akan pernah menjadi agama!”
Komplementer terkait Maulid
:
(Maulid) Pendapat Ustadz Adi Hidayat Dibantah
oleh Ustadz Dzulqarnain Muhammad Sanusi (lihat 1,370 Comments).
Jangan Ada Dusta Diantara Kita #Meluruskan_Syubhat_Maulid Ustadz Abdul Somad.(lihat 1,493 Comments).
MasyaAllah Penjelasan Detail Ust Dzulqarnain
Ini Meluruskan Asatidz Fulan yg Membolehkan MAulid Nabi
Menolak Maulid = Kafir ?? -Ustadz Dzulqarnain
M. Sunusi
Syubhat 1: Merayakan Maulid Berarti Bergembira
atas Keutamaan & Rahmat - Salah Paham Tentang Maulid
Syubhat 2: Maulid adalah Anjuran agar Banyak
Bershalawat kepada Nabi - Salah Paham Tentang Maulid
Syubhat 3: Maulid Boleh Sebagaimana Puasa Senin
- Salah Paham Tentang Maulid
Syubhat 4: Maulid Boleh Sebagaimana Puasa
Asyura - Salah Paham Tentang Maulid
Syubhat 5: Abu Lahab Siksaannya Diringankan
karena Bergembira akan Kelahiran Nabi
Syubhat 6: Maulid adalah untuk Memuji Nabi -
Salah Paham Tentang Maulid
Syubhat 7: Ucapan As-Sakhawiy "Kita Lebih
Pantas Merayakan Maulid Nabi" - Salah Paham Tentang Maulid
Syubhat 8: Ibnu Taimiyah Membolehkan Maulid -
Salah Paham Tentang Maulid
Syubhat 9: Menolak Maulid Berarti Keluar dari
Islam - Salah Paham Tentang Maulid
[ADI-WIB© أصحاب
الكهف] Semua Bid'ah itu Sesat. Tinggalkan!! | Ustadz Dzulqarnain Muhammad
Sunusi
4 Sebab Bid'ah lebih Dahsyat dari Dosa Besar -
Ustadz Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi, hafidzahullah
Manakah Yang Lebih Berbaya Bid'ah Atau Maksiat
- Ustadz Dzulqarnain M Sunusi