Sunday, November 15, 2015

Jangan Lupakan Kejahatan Perancis Di Mali, Negeri Islam Kaya Yang Dijajah ( Negara Kedelapan Yang Rakyatnya Dibom Dan Dibunuh Oleh Kekuatan Barat Setelah Irak, Afghanistan,Pakistan,Libya,Somalia,Suriah,Dan Filipina). Apapun Motif dan AlasannyaTindakan Kekerasan Tak Bisa Dibenarkan !!?

French soldiers on an armoured vehicle pass Malian people on their way to the north of Mali

Akhirnya Perancis melakukan serangan ke Mali. Menurut The Guardian (14/01), dengan invasi ini berarti Barat telah menyerang delapan negerimuslim. Negara Afrika barat berpenduduk 15 juta orang ini adalah negara kedelapan  yang rakyatnya dibom dan dibunuh oleh kekuatan Barat setelah  Irak , Afghanistan, Pakistan, Libya, Somalia,Suriah dan Filipina. Belum termasuk berapa banyak tiran yang didukung oleh negara Barat di kawasan itu. Invasi ini semakin mengokohkan perang kolonial Barat terhadap dunia Islam.

Invasi ini sekali lagi membuktikan Dewan Keamanan PBB sekedar menjadi alat politik negara-negara Barat.  Dewan Keamanan PBB Dewan Keamanan PBB pada Kamis (20/12/2012) dengan suara bulat telah menyetujui rencana intervensi militer di Mali dengan dalih yang menyesatkan yaitu “menyatukan kembali negara Afrika Utara yang berperang.”

Negara-negara Afrika Barat ingin mengirim pasukan berkekuatan 3.300 personil untuk mengusir kelompok-kelompok bersenjata yang memasuki wilayah gurun yang luas dan menerapkan hukum Islam setelah terjadinya kudeta militer di Bamako Maret yang menciptakan kekosongan kekuasaan di negara itu.

Rencana untuk intervensi militer, awalnya disepakati oleh Masyarakat ekonomi Negara Afrika Barat (ECOWAS) dan tidak akan melibatkan intervensi langsung pasukan Barat. Resolusi diperkenalkan oleh Perancis – yang sebelumnya menjajah Mali – hingga disetujui oleh 15 anggota DK.

Namun Perancis mengambil inisiatif menyerang Mali tanpa legitimasi PBB. Sekjen PBB mengeluarkan dukungan justru setelah Perancis menyerang. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) setuju dengan intervensi militer Prancis di Mali. Sekjen PBB, Ban Ki-moon, mengatakan aksi tersebut mendapat dukungan internasional dalam pernyataannya di Markas PBB, Senin (14/1), dan dilansir Reuters, Selasa (15/1).

Dalam membenarkan serangan militer ini, Perancis, Inggris dan negara Barat lainnya sekali lagi  menggunakan  label memerangi ‘terorisme’ dan melindungi rakyat Mali. Untuk mendapatkan simpati dari masyarakat Barat, media telah menekankan aspek ‘Islamis’ dari oposisi yang ingin menegakkansyariah Islam.

Mencegah Berdirinya Negara Islam?

Ada kemungkinan beberapa motif kenapa Perancis menyerang Mali. Pertama adalah kekhawatiran Mali menjadi sebuah negara Islam. Satu hal yang sangat ditakuti Barat selama ini adalah berdirinya negaraIslam terutama daulah Khilafah Islam yang menerapkan syariat Islam dan menolak segala bentuk intervensi Barat.

Ketika Presiden Amadou Toumani Toure dilengserkan dari posisinya oleh seorang kader militer pada pertengahan Maret, Gerakan Nasional Bagi Pembebasan Azawad (MNLA) dan Gerakan Kesatuan andjihad di Afrika Barat (MUJWA) menguasai wilayah utara dan kota-kotanya termasuk Gao dan Timbuktu. Para mujahidin Mali bertekad untuk meraih kemenangan dan menerapkan syariah Islam.

Nicolas Sarkozy saat masih menjadi presiden Perancis telah memperingatkan tentang ancaman ini. Pada  pada hari Jumat (13/4) dia menyerukan pentingnya melakukan segala upaya guna mencegah berdirinya sebuah negara yang dia sebut sebagai teroris atau Islam di wilayah pantai di Afrika Utara. Hal ini menyusul dominasi pemberontak Tuareg dan pejuang Islam di Mali utara. Saat itu dia telah mengingatkan kemungkinan Perancis melakukan intervensi.

British Islamists protest outside the French Embassy in London January 12, 2013. REUTERS/Suzanne Plunkett

Tampaknya presiden Perancis saat ini melanjutkan kebijakan dari Sarkozy yang dikenal sangat anti Islam. Sebutan teroris memang kerap kali dilabelkan oleh Barat untuk siapapun yang menolak penjajahan Barat dan menginginkan tegaknya syariah Islam.  Terorisme kemudian menjadi label sakti untuk membenarkan apapun tindakan Barat meskipun melanggar hukum internasional yang mereka buat sendiri.

Warning Terhadap Mujahidin Suriah?

Invasi Perancis ini juga bisa jadi merupakan warning bagi negeri-negeri Islam lainnya yang ingin menegakkan negara Islam apalagi Khilafah. Bahwa Barat akan melakukan intervensi mencegah hal keinginan mulia umat Islam ini.

Gelombang keinginan mendirikan negara Islam yang menerapkan syariah Islam secara menyeluruh memang sangat mengkhawatirkan Barat. Terutama melihat kondidi terkini Suriah sekarang.  Semakin menguatnya pasukan mujahidin dan melemahnya rezim Assad menjadi ketakutan Barat.

Berbeda dengan Tunisia, Mesir, ataupun Yaman,hingga saat ini Barat belum mendapatkan penggganti yang legitimed untuk rezim bengis Assad yang kemudian tetap dibawah control Barat.  Tidak hanya itu, para mujahidin yang dekat dengan masyarakat Suriah dan menjadi ujung tombak perlawanan terhadap Assad, dengan tegas menolak intervensi Barat, tawaran demokrasi meskipun dengan istilah negara madani (negara sipil). Para mujahidin dengan tegas akan menegakkan Khilafah Islam, membebaskan Al Quds dari penjajah Israel, menyelamatkan muslim Rohingnya dan negeri-negeri Islam lainnya.

Namun, Barat harus berpikir  beribu kali kalau hendak menyerang  Suriah kalau atas izin Allah SWT Khilafah akan tegak di sana. Rakyat Suriah bersama umat Islam dari negeri-negeri Islam lainnya akan bersatu melakukan jihad melawan intervensi penjajah. Jihad yang dilakukan  dan didukung oleh mayoritas rakyat  Suriah, bukan hanya satu atau dua kelompok.

Menghadapi kelompok-kelompok mujahidin di Irak dan Afghanistan, saja Barat sudah kesulitan, apalagi menghadapi rakyat Suriah dalam perang semesta (total) melawan penjajah Barat. Disamping itu,amerika  dan Eropa akan berpikir keras , mengingat intervensi militer pastilah membutuhkan dana yang besar. Sementara saat ini kondisi ekonomi mereka sedang dalam kesulitan.

Persaingan amerika dan Perancis?

Aroma persaingan  amerika dan Perancis juga tampak dalam invasi ini sangat kental. Perancis tampaknya tidak ingin melepaskan Mali dari cengkramannya setelah selama ini benar-benar mengkontrol negara ini.  Sementara amerika , mulai berusaha menanamkan pengaruhnya dengan mendukung kudeta militer terhadap Presiden Amadou Toumani Toure yang didukung oleh Perancis.
Dalam Soal Jawab tentang kudeta militer di Mali yang dikeluarkan Hizbut Tahrir (24 Maret 2012 M) dijelaskan bagaimana amerika belakangan mulai berkerja memperluas  pengaruhnya di Mali dengan menggelar perjanjian dengan Mali untuk melatih militer Mali dengan dalih  memerangi terorisme.Militer Mali memilih para perwira dan mengirim mereka ke amerika untuk mengikuti pelatihan.

Laman al-‘Ashru (24/3/2012) mengutip dari diplomat amerika yang meminta tak disebutkan namanya menyatakan: “pemimpin kudeta Kapten Amadou “Ahmadou” Haya Sanogo dahulu dipilih diantara sekelompok perwira oleh kedutaan amerika untuk mendapat pelatihan militer untuk memerangi terorisme dan pelatihan itu bertempat di amerika Serikat“.  Ia menambahkan bahwa “Sanogo beberapa kali pergi ke amerika dalam tugas-tugas khusus …”

Sementara Perancis tidak mendukung kudeta itu. Prancis membekukan kerjasama politik, militer dan ekonominya dengan Mali.  Begitu juga bantuan-bantuannya kepada Mali.  Sebaliknya amerika bertindak sebaliknya. Juru bicara kemenlu AS Victoria Nuland menegaskan negaranya tidak mengambil keputusan membekuan bantuan-bantuan amerika ke Mali “(Aljazeera, 23/4/2012).  Bantuan amerika ke Mali mencapai 137 juta dolar per tahun.

Hal ini menunjukkan Amerikalah yang berada di balik kudeta militer yang terjadi di Mali. Tujuannya untuk menanamkan dan memperluas pengaruhnya di negeri Islam Mali itu. Negara Paman Sam ini berusaha menggantikan pengaruh Prancis sebagai penjajah lama Mali.  Untuk itu amerika ingin menunda pemilu mendatang di Mali sebab lingkungan politik yang ada masih loyal ke Prancis. Melalui kudeta ini amerika membalik meja permainan atas para pemain dari antek-antek Prancis yang sangat memahami permainan sesuai politik Prancis.

Begitulah Mali menjadi terikat dengan amerika,melalui gerakan “militer“.  Lingkungan politik lama yang dibangun Prancis sulit untuk menguasai situasi baru.  Paling jauh yang mungkin terjadi adalah partisipasi yang tidak efektif di pemerintahan baru di bawah pengaruh amerika.

Invasi langsung terhadap Mali, adalah cara Prancis untuk mempertahankan pengaruhnya. Tanpa melalui persetujuan dewan keamanan PBB, negara ini langsung melakukan invasi. Setelah serangan,  baru DK PBB menggelar pertemuan darurat atas permintaan Prancis pada Senin (14/1) di New York. Dubes Prancis untuk PBB Gerard Araud mengatakan pemerintahnya mendapat “dukungan dan pengertian” dari 14 anggota Dewan Keamanan PBB lain.

Prancis sebelumnya telah mengirim 550 tentara ke kota Mopti dan Bamako, dan setelah pekan lalu menurut seorang sumber Kementrian Pertahanan negara mode itu kepada kantor berita Reuters, jumlah kiriman pasukan kemungkinan akan bertambah menjadi 2.500 dalam beberapa hari.

Negeri Islam yang Kaya

Mali adalah negeri Islam, lebih dari 90 % penduduknya muslim dan telah masuk Islam sejak ratusan tahun lalu.  Pada akhir abad ke-19 penjajah Prancis menduduki Mali dan mengumumkan penggabungannya ke Prancis pada tahun 1904.  Prancis memberikan kemerdekaan formalistik pada tahun 1960.  Mali adalah negeri yang kaya bahan tambang berupa emas, phospat, kaolin, bauksit, besi, uranium dan banyak lainnya.  Tidak mengherankan kalau Eropa khususnya Perancis dan amerika saling berebut kekayaan alam Mali.

Perancis sendiri sangat membutuhkan Mali, sebagai negara penghasil uranium di Afrika Barat. Dua pertiga listrik Prancis berasal dari tenaga nuklir, memerlukan impor uranium yang signifikan dari negara tetangga Niger. Sebagai produsen emas ketiga terbesar di Afrika Mali juga sangat menggiurkan.

Begitulah negeri Islam menjadi rampasan penjajah yang rakut.  Semua itu tidak lain karena kaum muslimin terpecah belah, diperintah dengan selain Islam. Para penguasanya tidak memelihara urusan-urusan masyarakat, sebaliknya para penguasa kaum Muslimin itu justru memuluskan kepentingan-kepentingan kaum kafir penjajah. Sekali lagi disinilah relevansi perjuangan Hizbut Tahrir untuk mewujudkan kembali Khilafah untuk seluruh dunia Islam, yang menyatukan dan melindungi negeri Islamdari kebuasan penjajah Barat. (ts/Farid Wajdji/judul asli: Dibalik Invasi Militer Perancis ke Mali/hizbut-tahrir.co.id/diterbitkan Januari 2013 namun masih relevan dengan kekinian). http://www.eramuslim.com/berita/analisa/jangan-lupakan-kejahatan-perancis-di-mali-negeri-islam-kaya-yang-dijajah.htm

Perancis dalam.lembaran Sejarah

Perbandingan...
Copas....
Perancis dalam Lembaran Sejarah

Perancis mengumpulkan 400 ulama' muslim dan memenggal kepala mereka dalam lembaran sejarah, di tengah penjajahan mereka atas Chad tahun 1917 M. ["Chad" tulisan Ahli Sejarah Mahmud Syakir hal.73]

Ketika Perancis memasuki kota Aghwat di Al Jazair tahun 1852 M, mereka membakar sepertiga penduduk kota itu dengan api dalam satu malam.

Perancis telah melakukan 17 uji coba nuklir di Al Jazair mulai dari tahun 1960 - 1966 M yang mengakibatkan jatuhnya korban dengan jumlah yang tidak terhingga sekitar 27 ribu sampai 100 ribu orang.

Ketika Perancis hengkang dari Al Jazair tahun 1962 M, mereka telah menanam sejumlah ranjau yang lebih banyak daripada jumlah semua penduduk Al Jazair pada waktu itu, yakni sebanyak 11 juta ranjau.

Perancis menjajah Al Jazair selama 132 tahun, mereka telah melenyapkan  1 juta muslim pada tujuh tahun pertama setelah kedatangan mereka dan telah melenyapkan 1,5 juta pada tujuh tahun terakhir sebelum mereka hengkang.

Seorang Ahli Sejarah yang berdarah Perancis Jack Jourkey memperkirakan bahwa total orang yang dibunuh oleh Perancis di Al Jazair sejak kedatangannya tahun 1830 M sampai hengkangnya tahun 1962 M adalah 10 juta muslim.

Perancis menjajah Tunisia selama 75 tahun, Al Jazair selama 136 tahun, Maroko selama 44 tahun, Mauritania selama 60 tahun dan menjajah Senegal ( yang 95% penduduknya adalah muslim ) selama 3 abad..!

Departement Tsugur Media
Channel "Uhibbukum Fillah"
Alih Bahasa : Mowahhed Militant
Muraja'ah : Abu Sulaiman Al Arkhabiliy


Bagaimana Dunia Melihat Apa yang Terjadi di PARIS, SURIAH dan PALESTINA


"#Paris  I'm sorry for what happened in Paris, but this happens every day and every moment in Palestine and Syria, and no one speaks" -@OvindarChris-

Cuitan @OvindarChris ini telah diretwit ribuan netizen. 

Ilustrasi dibawah juga beredar di jejaring sosial pasca TEROR PARIS. ILustrasi ini memperlihatkan Bagaimana Negara-negara Dunia Melihat Apa yang Terjadi di PARIS dan SURIAH.

Ini Sindiran untuk masyarakat dunia atas perlakuan yang tidak seimbang antara Paris dan Suriah serta Palestina dan yang menimpa umat Islam di belahan dunia lainnya. 


CIIA: “Tanya Warga Sipil Suriah yang Berhadapan dengan Terorisme Asad dan Negara Barat”

Dunia kembali heboh. Serangan di Paris menjadi topik terpanas di semua media saat ini. Serangan yang mengakibatkan lebih dari 300 orang luka-luka dan lebih 128 orang tewas. Pelakunya disebutkan sebagian memegang paspor Mesir, Suriah, dan juga ada 4 pelaku lain teridentifikasi adalah warga negara Perancis sendiri.
“Jujur, semua orang tidak suka dengan ‘teror’, apalagi hidup dalam kubangan ‘teror’. Kita bisa tanya kepada penduduk sipil Afghanistan, Irak atau bahkan hari ini mereka yang berada di Suriah. Masyarakat sipil berhadapan denganstate terrorism dari rezim Basyar Asad ditambah teror oleh koalisi negara-negara Barat dengan mengirimkan pasukan, senjata dan drone-drone mereka,” kata Pemerhati Kontra Terorisme & Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya kepada redaksi, Ahad (15/11).
Kalau mau obyektif, sindir Harits, kalkulasi akibat state terrorism ini jauh lebih besar korban nyawa dan materialnya dari apa yang terjadi di Paris hari ini. Dan masyarakat sipil Barat, khususnya Paris-Perancis, kini merasakan bahwa apapun bentuk yang mereka sebut sebagai “teror” dan “terorisme”, itu adalah kontra dengan kecenderungan fitrah manusia.
Dan jika mau obyektif, ujar Harits, semua tidak bisa terima ‘terorisme’ yang mereka gaungkan itu, baik yang dilakukan individu, kelompok maupun negara, apalagi gabungan negara-negara atas nama apapun.
Harits menilai, serangan Paris bukanlah peristiwa independen, namun sebelumnya ada stimulan dan variabel pelengkapnya. Serangan yang mereka sebut “terorisme” itu masih konstan sebagai fenomena kompleks yang lahir dari beragam faktor yang juga kompleks.
Ada faktor domestik seperti kesenjangan ekonomi (kemiskinan), ketidak-adilan, marginalisasi, kondisi politik dan pemerintahan, sikap represif rezim yang berkuasa, kondisi sosial yang sakit, dan faktor lain yang melekat dalam karakter kelompok dan budaya.
Kemudian, lanjutnya, ada faktor internasional seperti ketidak-adilan global, politik luar negeri yang arogan dari negara-negara kapitalis (AS) dan sekutunya, imperialisme fisik dan non fisik dari negara adidaya di dunia Islam, standar ganda dari negara superpower, dan sebuah potret tata hubungan dunia yang tidak berkembang sebagaimana mestinya (unipolar).
“Selain itu adalah adanya realitas kultural terkait substansi atau simbolik dengan teks-teks ajaran agama yang dalam interpretasinya cukup variatif. Ketiga faktor tersebut kemudian bertemu dengan faktor-faktor situasional yang sering tidak dapat dikontrol dan diprediksi, akhirnya menjadi titik stimulan lahirnya aksi kekerasan,” ungkapnya. (mus)

Prancis kirim kapal induk, dan ISIS kirim bom

Minggu, November 15, 2015
PARIS - Prancis sejak tahun 2014 ambil bagian memerangi ISIS di Irak lewat serangan udara. Dua bulan lalu Prancis juga ambil bagian dalam serangan gabungan di Suriah.
#2014
18 September : Presiden Prancis Francois Hollande mengumumkan persetujuan memenuhi permintaan Irak untuk bantuan udara menghadapi ISIS. Hollande menekankan "tidak akan bertindak lebih jauh" dan mengatakan tidak akan melibatkan pasukan darat serta Prancis hanya terlibat di Irak, bukan Suriah.
19 September : Jet tempur Prancis meluncurkan serangan udara pertama ke ISIS di Irak utara.
24 Oktober : Pasukan koalisi termasuk dari Prancis menyerang pusat pelatihan ISI di Kirkuk.
#2015
5 Februari : Presiden Hollande mengatakan misi melawan ISIS berjalan "terlalu lamban" dan Prancis bertekad "terus meningkatkan intensitas".
23 Februari : Prancis mengerahkan kapal induk Charles de Gaulle ke Teluk dan misinya selesai dua bulan kemudian.
7 September : Hollande mengatakan Prancis akan mengerahkan pesawat pengintai terhadap ISIS di Suriah sekaligus menegaskan tidak akan mengirim pasukan darat ke Suriah. Sehari kemudian dua Rafale jet AU Prancis melakukan pengintaian ke posisi ISIS setelah tinggal landas dari pangkalan di Uni Emirat Arab.
27 September : Prancis pertama kali melakukan serangan udara ke ISIS di Suriah. Enam pesawat tempur menggempur pusat pelatihan ISIS di kota Deir Ezzor.
9 Oktober : Jet tempur Rafale melakukan gelombang serangan untuk kedua kalinya sepanjang malam ke ISIS di Suriah dan menggempur pusat pelatihan ISIS di Raqa.
8 November : Militer Prancis membombardir infrastruktur minyak milik ISIS di Deir Ezzor.
14 November : Serangan ISIS mengguncang pusat kota dan sekitar Paris, Jumat (Sabtu dinihari WIB), mengakibatkan lebih dari 127 orang tewas, disinyalir sebagai aksi balas dendam



Tanggapan Netizen Kritis terhadap Peristiwa Paris :

Kenapa Pelaku Bawa Identitas? Apa Teroris Sebodoh Itu
Sejumlah respon sinis dan skeptis muncul dari para netizenyang kritis, terkait serangan yang terjadi di Paris pada Jumat (13/11) malam waktu setempat, demikian lansir Salam-Online.
Akun CHANTAL@OvindarChris menulis pada 14 November 2015 pukul 09:44 AM: “#Paris I’m sorry for what happened in Paris, but this happens every day and every moment in Palestine and Syria, and no one speaks.” (Paris, saya bersedih atas apa yang terjadi di Paris. Tapi ini terjadi setiap hari dan setiap saat di Palestina dan Suriah, dan tak ada yang bicara).
Dari Palestina, relawan dan wartawan Indonesia yang berada di Gaza, Abdillah Onim, mengirim pesan: “Tidak ada yang berani menyalahkan saat Zionis ‘Israel’ membantai anak-anak dan wanita Palestina di Gaza Palestina.”
Sementara akun Twitter Boediman Soemali (@soemali) menulis: “Heran yah tiap ada serangan ‘terorisme’ selalu passportnya utuh tahan banting, tahan api, tahan bom, dll.”
“Aku berharap imanku sekuat passport ini yg tahan dari kehancuran bom bunuh diri, panasnya api yg melelehkan baja WTC,” tambah @soemali.
Sedangkan akun @gatse8 mempertanyakan: “Kenapa pelaku teror bawa Identitas? Dan kenapa identitas berada dekat pelaku? Apa teroris sebodoh itu atau sutradaranya kurang handal?”
Lalu Dr. Craig Considine dalam akun @CraigCons yang berbahasa Inggris menggugat ketidak-adilan media terhadap kasus yang disebut sebagai “terorisme” itu. @CraigCons pun heran.
“CNN sebegitu cepatnya membingkai serangan Paris sebagai ‘teror’, istilah yang hanya digunakan dalam konteks Islam. Media mereproduksi rasisme. Itu tipikal khasnya,” protes @CraigCons.
Red : Gus Jati