Sebagaimana dikatakan oleh penulis, bahwa shahihnya
manhaj adalah syarat muthlaq untuk mengetahui hakikat Islam yang benar, dan
sebaliknya rusaknya manhaj adalah sebab utama kabur dan gelapnya hakikat. Dan
keshahihan manhaj yang dianut oleh dua pihak yang berseberangan, tidak akan
dapat disingkap kecuali melalui dialog dan diskusi.
Sungguh menyakitkan
bagi umat ini, yang selama sekian abad telah disibukkan oleh perseteruan yang
getir dengan golongan sempalan Syi'ah. Pertentangan apa yang sebenarnya terjadi
antara Ahlus Sunnah dengan Syi'ah? Apakah perselisihan yang terjadi di antara keduanya
hanya masalah kecil atau substansial? Hanya masalah furu' atau dalam masalah
ushul (akidah)? Hanya karena faktor-faktor politik atau pokok-pokok Agama?
Sebegitu jauhkan pertentangan di antara keduanya hingga harus ada usaha untuk
mempertemukannya?
Buku ini adalah di
antara jawabannya. Buku ini merupakan dialog antara seorang doktor dan guru
besar Ahlus Sunnah dengan seorang doktor dan guru besar Syi'ah, yang isinya
patut dicermati oleh setiap kaum Muslimin; para ustadz, pemikir, penulis,
pemerhati sosial, mahasiswa, dan terutama bagi mereka yang selama ini
menyerukan pluralisme; agar kita semua memiliki bashirah dalam beragama.
Dialog ini
benar-benar terjadi, bukan fiktif, sehingga hasil kesimpulan dari dialog ini
juga benar-benar sebuah kesimpulan ilmiah yang bisa diper-tanggungjawabkan.
AWAL MULA KISAH DIALOG
Dalam buku ini
Syaikh Dr. Sa'ad Hamdan, penulis buku ini, menuturkan di awal buku ini, yang
secara ringkas sebagai berikut: Pada Bulan Ramadhan 1423 H, saya dikunjungi
oleh Dr. Abu Mahdi Muhammad al-Husaini al-Qazwini, di kediaman saya. Dia adalah
seorang dosen di salah satu universitas di Iran, bahkan dia juga memberikan
mata kuliah di delapan universitas di sana, sebagaimana yang dia beritahukan
kepada saya setelah itu.Tujuannya hanya ingin melakukan dialog dengan saya
mengenai berbagai masalah yang diperselisihkan antara Ahlus Sunnah dengan
Syi'ah. Dan saya pun langsung menyanggupinya.
Berlangsunglah
dialog tersebut dalam sejumlah masalah, dan di antara keyakinan Ahlus Sunnah
yang saya tegaskan ketika itu adalah bahwa Allah Ta'ala telah mengutus para
rasul untuk menegakkan hujjah atas seluruh makhluk, sebagaimana Firman Allah
Ta'ala,
رُسُلًا مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا.
(Mereka Kami utus) sebagai rasul-rasul pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia
membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan Allah Maha Perkasa lagi
Mahabijaksana. (An-Nisa`: 165).
Kemudian Allah
menutup para rasul tersebut dengan Nabi kita, Muhammad Shallallahu alaihi
wasallam. Dan karena beliau adalah pembawa risalah terakhir kepada umat
manusia, maka pastilah Allah telah menyiapkan bagi beliau faktor-faktor kesuksesan
dalam menegakkan hujjah yang dimaksud, yang dengan itu Allah mematahkan
alasan-alasan manusia yang tidak taat hingga Hari Kiamat tiba. Dan
faktor-faktor kesuksesan tersebut tidak dapat terealisasi kecuali dengan
tegaknya beberapa hal pokok, yang di antaranya adalah:
1. Hendaknya kitab
suci yang diturunkan Allah kepada beliau mencakup semua kebutuhan manusia dalam
beragama.
2. Hendaknya Allah menjaga kitab suci tersebut
dari kekurangan atau penambahan, sehingga hujjah benar-benar tegak dengannya untuk
selamanya.
3. Hendaknya Allah
menyiapkan orang-orang yang menjaga Agama ini dan menyampaikannya kepada
manusia. Menurut Ahlus Sunnah, semua ini telah teresalisasi, sedangkan menurut
Syi'ah tidak terealisasi.
Menurut Ahlus
Sunnah, Allah telah menurunkan sebuah kitab suci yang sempurna sebagai pedoman
beragama bagi umat ini dan Allah telah berjanji untuk memeliharanya, sehingga
tidak akan mungkin bisa ditambahi dan tidak pula dikurangi. Dan bersama itu
Allah juga telah menyiapkan orang-orang pilihan lagi mulia untuk melanjutkan
penegakan hujjah dan dakwah sepeninggal NabiNya yang agung, yakni para sahabat,
yang dengan dakwah dan jihad merekalah Agama ini tersebar ke berbagai pelosok
bumi ini.
Tetapi menurut Syi'ah, al-Qur`an tidak cukup,
dan harus ada imam yang menjelaskan kepada manusia. Yang aneh, imam yang mereka
klaim tersebut tidak memiliki kuasa di muka bumi, dalam arti tidak memiliki
legalitas untuk melaksanakan tugas tersebut.
Syi'ah juga mengklaim bahwa al-Qur`an yang
sampai kepada kita sekarang adalah kurang.
Penganut Syi'ah juga berkeyakinan bahwa para
sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, -yang berdasarkan catatan sejumlah
kitab rujukan diperkirakan berjumlah sepuluh ribu orang-, semuanya telah murtad
dan mengkhianati Nabi Shallallahu alaihi wasallam, kecuali empat orang saja.
Dengan demikian, Syi'ah telah memvonis Agama
Islam ini telah gagal ditegakkan sejak pertama kali, dan itu artinya bahwa Nabi
Muhammad Shallallahu alaihi wasallam juga telah gagal dalam mendidik para
sahabat beliau. Ini juga berarti bahwa Agama ini tidak bisa menjadi hujjah yang
tegak kepada manusia dan kemanusiaan.
Pembicaraan lain yang mengemuka saat itu adalah
tentang standar dan rumusan prinsip yang menjadi pegangan dalam menshahihkan
dan mendhaifkan hadits. Dan masalah ini sangat penting dan mendasar untuk
diketahui oleh para pemerhati, karena ketika Ahlus Sunnah berdalil dengan
hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam-imam Ahli Hadits Ahlus Sunnah semacam
al-Bukhari dan Muslim, Syi'ah menolaknya, dan tentu mereka memiliki alasan dan
argumen. Bagaimana Argumentasi mereka dan apa jawaban Ahlus Sunnah? Ini semua
adalah poin-poin yang sangat penting untuk ditelaah oleh seorang Ahlus Sunnah
wal Jama'ah sejati, agar menjadi seorang Muslim yang tangguh dalam membela Agamanya.
Dan begitulah dialog tersebut berkembang ke
berbagai masalah prinsip lain yang tertuang secara apik dalam buku kita ini.
Pertemuan tersebut kemudian berakhir, dan Dr.
Abu Mahdi al-Qazwini kemudian meninggalkan Makkah.
Lebih kurang satu tahun tiga bulan setelah itu,
saya menerima faksimili dari Dr. al-Qazwini yang dilampirkan dengan sebuah
risalah hasil penelitian-nya setebal 52 halaman. Dia mengatakan bahwa dia telah
menghabiskan 500 jam untuk meneliti kitab-kitab Syi'ah dan kitab-kitab Ahlus
Sunnah untuk mempelajari jawaban-jawaban saya. Dan dari sana kemudia dialog
berlanjut dengan berbagai cara; surat menyurat, faksimili dan lainnya.
Demikianlah Syaikh Dr. Sa'ad al-Ghamidi menuturkan secara ringkas.
Semua itu adalah bahan dari buku ini, yang
berhasil disusun oleh Syaikh Dr. Sa'ad Hamdan dengan bagus dan enak dibaca,
penuh argumen dan juga sopan santun dalam dialog yang tinggi dan patut dihargai.
Kesan terakhir dari Syaikh Dr. Sa'ad al-Ghamidi
beliau tuangkan dengan mengatakan, Ini saya lakukan dengan harapan dapat
menyadarkan dia dan setiap penganut Syi'ah, dan sebagai peringatan terhadap
bahaya dan keropos-nya akidah mereka, agar mereka menolong diri mereka sendiri
sebelum mereka meninggalkan dunia ini (untuk mempertanggungjawabkan semua apa
yang mereka yakini di hadapan Allah azza wajalla).
ISI BUKU SECARA UMUM
Di antara yang
menarik dalam dialog ini adalah tudingan Dr. al-Qazwini bahwa buku Lillah
Tsumma li at-Tarikh (yang kami kira sudah ada edisi terjemahannya) yang
merupakan pengakuan seorang mantan ulama Syi'ah yang kemudian bertaubat kepada
Islam, bahwa itu adalah pengakuan bohong alias fiktif. Dan Syaikh Dr. Sa'ad
al-Ghamidi berhasil membuktikan bahwa itu tidak fiktif dan pengakuan tersebut
bukanlah suatu kebohongan terhadap Syi'ah.
Masalah lain yang
juga dibela mati-matian oleh Dr. al-Qazwini adalah kaidah dan prinsip dalam
menshahihkan dan mendhaifkan hadits-hadits. Dan diskusi dalam tema ini sangat
penting untuk dicermati oleh kaum Muslimin, terutama para ustadz dan tokoh,
karena ternyata Syi'ah memilik standar dan kaidah tersendiri, bahkan memiliki kitab-kitab
rujukan biografi para perawi hadits sendiri yang berbeda dengan apa yang
dipegang oleh Ahlus Sunnah. Masalah lain yang juga disinggung adalah penafsiran
berbagai ayat al-Qur`an, yang acap kali terjadi perselisihan yang tajam antara
Ahlus Sunnah dengan Syi'ah.
Dan masalah yang paling sengit yang
diperdebatkan dalam buku ini adalah mengenai khilafah; benarkah Nabi
Shallallahu alaihi wasallam pernah mewasiatkan agar diganti oleh Ali bin Thalib
sebagai khalifah setelah beliau wafat? Apa jawaban Ahlus Sunnah? Temukan
jawabannya dalam buku kita ini.
TENTANG JUDUL BUKU
Barangkali judul ini mengganggu sebagian kaum
Muslimin yang seakan-akan bertabrakan dengan isi buku. Untuk itu kami
sampaikan, bahwa judul ini diputuskan berdasarkan keputusan tim di pustaka
DARUL HAQ. Dan kami tidak bermaksud melakukan pengelabuan kalimat. Tujuan dasar
kami dengan judul ini Siapa bilang Sunni Syi'ah tidak Bisa bersatu adalah agar
kalangan yang selama ini menyerukan dialog dan menghentikan perseteruan dengan
Syi'ah juga membacanya dan menjadi jelas bahwa seruan mereka itu adalah suatu
usaha yang sia-sia; karena Islam dan Syi'ah sama sekali tidak akan pernah bisa
bersatu. Jadi Siapa Bilang Sunni Syi'ah Tidak Bisa Bersatu? Yang bilang adalah
buku ini, tetapi Anda harus membacanya terlebih dahulu, terutama bagi mereka
yang selama ini menggembar- gemborkan bahwa perselisihan antara Ahlus Sunnah
dengan Syi'ah hanya faktor-faktor politik, atau masalah-masalah kecil yang
tidak prinsipil, dan untuk mereka inilah judul ini kami alamatkan. Coba Anda
cermati!! Dua orang profesor doktor dari kedua belah pihak berdiskusi secara
panjang lebar, tapi toh hasilnya: Tidak mungkin dipertemukan. Kenapa?
• Ahlus Sunnah
sepakat bahwa Abu Bakar dan Umar adalah manusia terbaik setelah Rasulullah Shallallahu
alaihi wasallam, dan ini didukung oleh berbagai dalil dari al-Qur`an dan
as-Sunnah yang bahkan mencapai derajat mutawatir. Tetapi Syi'ah justru
memasukkan mereka berdua di antara mereka yang murtad sepeninggal Rasulullah
Shallallahu alaihi wasallam.
• Ahlus Sunnah
sepakat bahwa al-Qur`an telah sempurna dan terjaga dari pengurangan dan
penambahan, bahkan tak satu pun dari golongan yang menyempal dari Ahlus Sunnah
yang menyelisihi kesepakatan ini selain Syi'ah yang berani mengatakan bahwa
al-Qur`an ini kurang.
• Ahlus Sunnah sepakat bahwa para istri Nabi
Shallallahu alaihi wasallam termasuk dalam Ahlul Bait yang dimuliakan Allah,
tetapi sebaliknya Syi'ah mencaci maki mereka sebagai orang-orang yang munafik
dan murtad sepeninggal Nabi Shallallahu alaihi wasallam.
• Ahlus Sunnah sepakat bahwa para sahabat Nabi
Shallallahu alaihi wasallam yang wafat dalam keislaman, mereka semua adalah
orang-orang yang tsiqah (kredibel dan terpercaya), tetapi Syi'ah mengatakan
bahwa semua sahabat telah murtad kecuali beberapa orang saja yang bisa dihitung
dengan jari tangan kanan saja.
• Dan masih banyak masalah lain yang
diperdebatkan oleh kedua belah pihak, yang kesimpulannya: Tidak ada jalan untuk
mempertemukan antara Agama Islam dengan agama Syi'ah. Pendengar Radio Raja`
yang dirahmati Allah…….
Di penghujung
resensi ini, kami, tim Pustaka DARUL HAQ, berdoa kepada Allah agar berkenan
mencatat amal kecil ini sebagai amal shalih bagi semua pihak yang telah ikut
andil dalam penerbitannya. Buku ini adalah jawaban bagi kesimpangsiuran yang
selama ini menyeruak di tengah kaum Muslimin mengenai hakikat ajaran Syi'ah,
agar kaum Muslimin tidak tertipu dengan penampilan anti barat dan sorban rapi
yang selama ini ditampakkan oleh tokoh-tokoh Syi'ah. Kita harus senantiasa ingat
bahwa 72 golongan sempalan umat ini berada di neraka dan hanya golongan yang
tegak mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan al-Jama'ah yang
akan selamat hingga surga. Semoga Allah melindungi kita semua dari fitnah.
Amin….