Tuesday, January 6, 2015

Siapa Bilang Sunni Syi'ah Tidak Bisa Bersatu


Sebagaimana dikatakan oleh penulis, bahwa shahihnya manhaj adalah syarat muthlaq untuk mengetahui hakikat Islam yang benar, dan sebaliknya rusaknya manhaj adalah sebab utama kabur dan gelapnya hakikat. Dan keshahihan manhaj yang dianut oleh dua pihak yang berseberangan, tidak akan dapat disingkap kecuali melalui dialog dan diskusi.
Sungguh menyakitkan bagi umat ini, yang selama sekian abad telah disibukkan oleh perseteruan yang getir dengan golongan sempalan Syi'ah. Pertentangan apa yang sebenarnya terjadi antara Ahlus Sunnah dengan Syi'ah? Apakah perselisihan yang terjadi di antara keduanya hanya masalah kecil atau substansial? Hanya masalah furu' atau dalam masalah ushul (akidah)? Hanya karena faktor-faktor politik atau pokok-pokok Agama? Sebegitu jauhkan pertentangan di antara keduanya hingga harus ada usaha untuk mempertemukannya?

Buku ini adalah di antara jawabannya. Buku ini merupakan dialog antara seorang doktor dan guru besar Ahlus Sunnah dengan seorang doktor dan guru besar Syi'ah, yang isinya patut dicermati oleh setiap kaum Muslimin; para ustadz, pemikir, penulis, pemerhati sosial, mahasiswa, dan terutama bagi mereka yang selama ini menyerukan pluralisme; agar kita semua memiliki bashirah dalam beragama.
Dialog ini benar-benar terjadi, bukan fiktif, sehingga hasil kesimpulan dari dialog ini juga benar-benar sebuah kesimpulan ilmiah yang bisa diper-tanggungjawabkan.

AWAL MULA KISAH DIALOG 

Dalam buku ini Syaikh Dr. Sa'ad Hamdan, penulis buku ini, menuturkan di awal buku ini, yang secara ringkas sebagai berikut: Pada Bulan Ramadhan 1423 H, saya dikunjungi oleh Dr. Abu Mahdi Muhammad al-Husaini al-Qazwini, di kediaman saya. Dia adalah seorang dosen di salah satu universitas di Iran, bahkan dia juga memberikan mata kuliah di delapan universitas di sana, sebagaimana yang dia beritahukan kepada saya setelah itu.Tujuannya hanya ingin melakukan dialog dengan saya mengenai berbagai masalah yang diperselisihkan antara Ahlus Sunnah dengan Syi'ah. Dan saya pun langsung menyanggupinya.

Berlangsunglah dialog tersebut dalam sejumlah masalah, dan di antara keyakinan Ahlus Sunnah yang saya tegaskan ketika itu adalah bahwa Allah Ta'ala telah mengutus para rasul untuk menegakkan hujjah atas seluruh makhluk, sebagaimana Firman Allah Ta'ala,
رُسُلًا مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا.
(Mereka Kami utus) sebagai rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan Allah Maha Perkasa lagi Mahabijaksana. (An-Nisa`: 165).

Kemudian Allah menutup para rasul tersebut dengan Nabi kita, Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Dan karena beliau adalah pembawa risalah terakhir kepada umat manusia, maka pastilah Allah telah menyiapkan bagi beliau faktor-faktor kesuksesan dalam menegakkan hujjah yang dimaksud, yang dengan itu Allah mematahkan alasan-alasan manusia yang tidak taat hingga Hari Kiamat tiba. Dan faktor-faktor kesuksesan tersebut tidak dapat terealisasi kecuali dengan tegaknya beberapa hal pokok, yang di antaranya adalah:

1. Hendaknya kitab suci yang diturunkan Allah kepada beliau mencakup semua kebutuhan manusia dalam beragama.
2. Hendaknya Allah menjaga kitab suci tersebut dari kekurangan atau penambahan, sehingga hujjah benar-benar tegak dengannya untuk selamanya.

3. Hendaknya Allah menyiapkan orang-orang yang menjaga Agama ini dan menyampaikannya kepada manusia. Menurut Ahlus Sunnah, semua ini telah teresalisasi, sedangkan menurut Syi'ah tidak terealisasi.

Menurut Ahlus Sunnah, Allah telah menurunkan sebuah kitab suci yang sempurna sebagai pedoman beragama bagi umat ini dan Allah telah berjanji untuk memeliharanya, sehingga tidak akan mungkin bisa ditambahi dan tidak pula dikurangi. Dan bersama itu Allah juga telah menyiapkan orang-orang pilihan lagi mulia untuk melanjutkan penegakan hujjah dan dakwah sepeninggal NabiNya yang agung, yakni para sahabat, yang dengan dakwah dan jihad merekalah Agama ini tersebar ke berbagai pelosok bumi ini.
Tetapi menurut Syi'ah, al-Qur`an tidak cukup, dan harus ada imam yang menjelaskan kepada manusia. Yang aneh, imam yang mereka klaim tersebut tidak memiliki kuasa di muka bumi, dalam arti tidak memiliki legalitas untuk melaksanakan tugas tersebut.
Syi'ah juga mengklaim bahwa al-Qur`an yang sampai kepada kita sekarang adalah kurang. 
Penganut Syi'ah juga berkeyakinan bahwa para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, -yang berdasarkan catatan sejumlah kitab rujukan diperkirakan berjumlah sepuluh ribu orang-, semuanya telah murtad dan mengkhianati Nabi Shallallahu alaihi wasallam, kecuali empat orang saja.
Dengan demikian, Syi'ah telah memvonis Agama Islam ini telah gagal ditegakkan sejak pertama kali, dan itu artinya bahwa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam juga telah gagal dalam mendidik para sahabat beliau. Ini juga berarti bahwa Agama ini tidak bisa menjadi hujjah yang tegak kepada manusia dan kemanusiaan.
Pembicaraan lain yang mengemuka saat itu adalah tentang standar dan rumusan prinsip yang menjadi pegangan dalam menshahihkan dan mendhaifkan hadits. Dan masalah ini sangat penting dan mendasar untuk diketahui oleh para pemerhati, karena ketika Ahlus Sunnah berdalil dengan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam-imam Ahli Hadits Ahlus Sunnah semacam al-Bukhari dan Muslim, Syi'ah menolaknya, dan tentu mereka memiliki alasan dan argumen. Bagaimana Argumentasi mereka dan apa jawaban Ahlus Sunnah? Ini semua adalah poin-poin yang sangat penting untuk ditelaah oleh seorang Ahlus Sunnah wal Jama'ah sejati, agar menjadi seorang Muslim yang tangguh dalam membela Agamanya.
Dan begitulah dialog tersebut berkembang ke berbagai masalah prinsip lain yang tertuang secara apik dalam buku kita ini. 
Pertemuan tersebut kemudian berakhir, dan Dr. Abu Mahdi al-Qazwini kemudian meninggalkan Makkah. 
Lebih kurang satu tahun tiga bulan setelah itu, saya menerima faksimili dari Dr. al-Qazwini yang dilampirkan dengan sebuah risalah hasil penelitian-nya setebal 52 halaman. Dia mengatakan bahwa dia telah menghabiskan 500 jam untuk meneliti kitab-kitab Syi'ah dan kitab-kitab Ahlus Sunnah untuk mempelajari jawaban-jawaban saya. Dan dari sana kemudia dialog berlanjut dengan berbagai cara; surat menyurat, faksimili dan lainnya. Demikianlah Syaikh Dr. Sa'ad al-Ghamidi menuturkan secara ringkas.
Semua itu adalah bahan dari buku ini, yang berhasil disusun oleh Syaikh Dr. Sa'ad Hamdan dengan bagus dan enak dibaca, penuh argumen dan juga sopan santun dalam dialog yang tinggi dan patut dihargai.
Kesan terakhir dari Syaikh Dr. Sa'ad al-Ghamidi beliau tuangkan dengan mengatakan, Ini saya lakukan dengan harapan dapat menyadarkan dia dan setiap penganut Syi'ah, dan sebagai peringatan terhadap bahaya dan keropos-nya akidah mereka, agar mereka menolong diri mereka sendiri sebelum mereka meninggalkan dunia ini (untuk mempertanggungjawabkan semua apa yang mereka yakini di hadapan Allah azza wajalla).

ISI BUKU SECARA UMUM

Di antara yang menarik dalam dialog ini adalah tudingan Dr. al-Qazwini bahwa buku Lillah Tsumma li at-Tarikh (yang kami kira sudah ada edisi terjemahannya) yang merupakan pengakuan seorang mantan ulama Syi'ah yang kemudian bertaubat kepada Islam, bahwa itu adalah pengakuan bohong alias fiktif. Dan Syaikh Dr. Sa'ad al-Ghamidi berhasil membuktikan bahwa itu tidak fiktif dan pengakuan tersebut bukanlah suatu kebohongan terhadap Syi'ah. 

Masalah lain yang juga dibela mati-matian oleh Dr. al-Qazwini adalah kaidah dan prinsip dalam menshahihkan dan mendhaifkan hadits-hadits. Dan diskusi dalam tema ini sangat penting untuk dicermati oleh kaum Muslimin, terutama para ustadz dan tokoh, karena ternyata Syi'ah memilik standar dan kaidah tersendiri, bahkan memiliki kitab-kitab rujukan biografi para perawi hadits sendiri yang berbeda dengan apa yang dipegang oleh Ahlus Sunnah. Masalah lain yang juga disinggung adalah penafsiran berbagai ayat al-Qur`an, yang acap kali terjadi perselisihan yang tajam antara Ahlus Sunnah dengan Syi'ah.
Dan masalah yang paling sengit yang diperdebatkan dalam buku ini adalah mengenai khilafah; benarkah Nabi Shallallahu alaihi wasallam pernah mewasiatkan agar diganti oleh Ali bin Thalib sebagai khalifah setelah beliau wafat? Apa jawaban Ahlus Sunnah? Temukan jawabannya dalam buku kita ini.

TENTANG JUDUL BUKU
Barangkali judul ini mengganggu sebagian kaum Muslimin yang seakan-akan bertabrakan dengan isi buku. Untuk itu kami sampaikan, bahwa judul ini diputuskan berdasarkan keputusan tim di pustaka DARUL HAQ. Dan kami tidak bermaksud melakukan pengelabuan kalimat. Tujuan dasar kami dengan judul ini Siapa bilang Sunni Syi'ah tidak Bisa bersatu adalah agar kalangan yang selama ini menyerukan dialog dan menghentikan perseteruan dengan Syi'ah juga membacanya dan menjadi jelas bahwa seruan mereka itu adalah suatu usaha yang sia-sia; karena Islam dan Syi'ah sama sekali tidak akan pernah bisa bersatu. Jadi Siapa Bilang Sunni Syi'ah Tidak Bisa Bersatu? Yang bilang adalah buku ini, tetapi Anda harus membacanya terlebih dahulu, terutama bagi mereka yang selama ini menggembar- gemborkan bahwa perselisihan antara Ahlus Sunnah dengan Syi'ah hanya faktor-faktor politik, atau masalah-masalah kecil yang tidak prinsipil, dan untuk mereka inilah judul ini kami alamatkan. Coba Anda cermati!! Dua orang profesor doktor dari kedua belah pihak berdiskusi secara panjang lebar, tapi toh hasilnya: Tidak mungkin dipertemukan. Kenapa?

• Ahlus Sunnah sepakat bahwa Abu Bakar dan Umar adalah manusia terbaik setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, dan ini didukung oleh berbagai dalil dari al-Qur`an dan as-Sunnah yang bahkan mencapai derajat mutawatir. Tetapi Syi'ah justru memasukkan mereka berdua di antara mereka yang murtad sepeninggal Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

• Ahlus Sunnah sepakat bahwa al-Qur`an telah sempurna dan terjaga dari pengurangan dan penambahan, bahkan tak satu pun dari golongan yang menyempal dari Ahlus Sunnah yang menyelisihi kesepakatan ini selain Syi'ah yang berani mengatakan bahwa al-Qur`an ini kurang.
• Ahlus Sunnah sepakat bahwa para istri Nabi Shallallahu alaihi wasallam termasuk dalam Ahlul Bait yang dimuliakan Allah, tetapi sebaliknya Syi'ah mencaci maki mereka sebagai orang-orang yang munafik dan murtad sepeninggal Nabi Shallallahu alaihi wasallam.
• Ahlus Sunnah sepakat bahwa para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang wafat dalam keislaman, mereka semua adalah orang-orang yang tsiqah (kredibel dan terpercaya), tetapi Syi'ah mengatakan bahwa semua sahabat telah murtad kecuali beberapa orang saja yang bisa dihitung dengan jari tangan kanan saja.
• Dan masih banyak masalah lain yang diperdebatkan oleh kedua belah pihak, yang kesimpulannya: Tidak ada jalan untuk mempertemukan antara Agama Islam dengan agama Syi'ah. Pendengar Radio Raja` yang dirahmati Allah…….

Di penghujung resensi ini, kami, tim Pustaka DARUL HAQ, berdoa kepada Allah agar berkenan mencatat amal kecil ini sebagai amal shalih bagi semua pihak yang telah ikut andil dalam penerbitannya. Buku ini adalah jawaban bagi kesimpangsiuran yang selama ini menyeruak di tengah kaum Muslimin mengenai hakikat ajaran Syi'ah, agar kaum Muslimin tidak tertipu dengan penampilan anti barat dan sorban rapi yang selama ini ditampakkan oleh tokoh-tokoh Syi'ah. Kita harus senantiasa ingat bahwa 72 golongan sempalan umat ini berada di neraka dan hanya golongan yang tegak mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan al-Jama'ah yang akan selamat hingga surga. Semoga Allah melindungi kita semua dari fitnah. Amin….