Perdebatan tentang kesesatan aliran Syiah dan masih menjadi perbincangan
akhir-akhir ini semakin memanas. Terutama
setelah hashtag#SyiahBukanIslam ramai di media sosial, disusul dengan
spanduk-spanduk dengan kalimat yang sama di beberapa daerah merespon serangan
Syiah ke jamaah Masjid Az-Zikra Sentul.
Konon, Syiah dibagi
menjadi tiga: Syiah moderat, Syiah Rafidhah dan Rafidhah Ekstrem. Apakah mereka
semua sesat? Saya mencoba mengulasnya secara historis bagaimana sebenarnya
faktanya berdasarkan analisis para ulama.
Asal Usul Syiah
Anda mungkin pernah
mendengar dialog antara ulama Sunni dan Syiah tentang orang-orang Syiah yang
suka mencuri sandal pada zaman Nabi SAW. Dialog berakhir setelah ulama Syiah
membantah kebiasaan mencuri itu karena Syiah belum ada pada masa itu.
Tidak diketahui dari
mana sumber kisah ini, ada yang mengatakan bahwa itu hanya lelucon untuk Syiah
saja. Namun hal itu menimbulkan pertanyaan, yang bukan lelucon bagaimana,
benarkah Syiah belum ada pada masa Nabi? Lantas kapan Syiah muncul?
Berikut beberapa pendapat, terutama dari ulama-ulama Syiah sendiri:
1.Syiah muncul pada awal Islam pada zaman Nabi saw dan dibawa oleh Beliau
sendiri. Beliau menyeru kepada tauhid dan pengagungan Ali secara bersamaan.
Pendapat ini diyakini oleh para ulama Syiah seperti Muhammad Husein Az-Zain,[1] An-Nubakhti,[2] Khamaeini.[3] Bahkan Hazan Asy-Syirazi mengatakan, “Tidak ada Islam
kecuali Syiah. Tidak ada Syiah kecuali Islam. Islam dan Syiah adalah dua nama
yang hakikatnya adalah satu yang diturunkan oleh Allah dan kabar gembira yang
dibawa Rasul.”[4]
2.Syiah muncul pada
perang Jamal, ketika Ali berperang dengan Thalhah dan Zubair. Pendapat ini
diyakini oleh Ibnu Nadim (Abul Faraj Muhammad bin Ishaq Al-Baghdadi, dikenal
sebagai penganut mu’tazilah dan syiah). Ia mengklaim bahwa orang-orang yang
berjalan bersama Ali dan mengikutinya pada waktu itu, mereka disebut Syiah.[5]
3.Syiah muncul pada perang Shiffin. Ini adalah pendapat Al-Khuwansari, Ibnu
Hamzah Ath-Thusi, Abu Hatim, Ibnu Hazm, dan Ahmad Amin.[6]
4.Syiah muncul setelah
kematian Husein ra. Ini adalah pendapat Kamil Musthafa Asy-Syaibi. Ia
adalah ulama Syiah. Mengklaim bahwa Syiah setelah kematian Husein berubah
menjadi aliran yang memiliki ciri khas.[7]
Pendapat yang
mengatakan bahwa Syiah sudah ada pada zaman Nabi SAW dan kata-kata Syiah telah
beredar luas pada masa itu beliau tidaklah bersandar kepada dalil apa pun
kecuali kepalsuan.
Ulama Syiah, Muhammad
Mahdi Al-Husaini Asy-Syirazi mengatakan,[9]“Mereka
dinamai oleh Rasul dengan sebutan itu (Syiah) karena beliau memberikan isyarat
kepada Ali as:
هَذَا وَشِيعَتُهُ هُمُ الْفَائِزُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Namun ini adalah
pendapat palsu. Seperti disebutkan oleh Muhammad Al-Husein di Ashlusy Syi’ah wa
Ushuliha, pendapat yang
mengatakan bahwa lafaz Syiah sudah ada pada zaman Nabi hanya bersandar pada
kepalsuan.
Syiah menguatkan
pendapat itu dengan riwayat yang direka-reka atas nama Nabi saw. Tidak ada yang
shahih satu pun. Ulama Syiah sendiri, Ibnul Hadid, mengatakan, “Sumber
kepalsuan dalam hadits-hadits keutamaan (fadhail)adalah dari Syiah. Pada awal masalah ini, Syiah
membuat banyak hadits palsu tentang keutamaan imam-imam mereka. Mereka
mereka-reka hadits ini untuk alat permusuhan.” [11]
Menurut para peneliti[12]pendapat
yang lebih kuat adalah pendapat ketiga, yakni Syiah muncul setelah perang
Shiffin, ketika khawarij membelot dan membentuk kelompok sendiri di Nahrawan.
Pada sisi lain yang berlawanan dengan Khawarij, muncullah para pengikut dan
pendukung Ali yang menjadi cikal bakal pemikiran Syiah dan menguat secara bertahap
sampai ekstrem.
Analisis tersebut
menunjukkan adanya kesamaan dalam proses lahirnya kesesatan dan aliran
menyimpang, mulai dari kaum Nuh masa lalu, Syiah, Khawarij, Nawashib,
sampai Yazidi di Irak. Khawarij lahir dari kekecewaan kepada pihak tertentu,
lalu berkembang menjadi kebencian, pengafiran dan penghalalan darah.
Tidak berbeda, Syiah
lahir dari dukungan kepada Ali bin Abi Thalib, lalu menjadi kecintaan yang
berlebihan bahkan sampai menuhankannya. Ali bin Abi Thalib sendiri pada masa
hidupnya telah membakar orang-orang yang menuhankan dirinya. Imam Bukhari
meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, dari Ibnu Abbas ia mengatakan, “Suatu
ketika Ali memerangi dan membakar orang-orang zindiq (Syiah yang menuhankan
Ali).”
Syiah pada Masa Ulama
Hadits dan Imam Mazhab
Tahapan perubahan keyakinan aliran Syiah
terus berkembang. Definisi-definisi ulama ahli hadits dan rijalul hadits menunjukkan
adanya perbedaan antara Syiah masa lalu dan masa itu. Hal ini dapat dilihat
dari definisi yang diungkapkan oleh Ibnu Hajar:
التشيع في عرف المتقدمين هو اعتقاد تفضيل علي على عثمان ، وأن عليا
كان مصيبا في حروبه ، وأن مخالفه مخطئ ، مع تقديم الشيخين وتفضيلهما ، وربما اعتقد
بعضهم أن عليا أفضل الخلق بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وإذا كان معتقد ذلك
ورعا دينا صادقا مجتهدا فلا ترد روايته بهذا ، لا سيما إن كان غير داعية
وأما التشيع في عرف المتأخرين فهو الرفض المحض ، فلا تقبل رواية
الرافضي الغالي ولا كرامة
‘Tasyayyu’ dalam definisi para ulama masa lalu
(salaf), ialah meyakini bahwa Ali lebih utama daripada Utsman, atau bahwa Ali
di pihak yang benar dalam semua peperangannya, dan bahwasanya pihak yang
menyelisihinya adalah keliru, dengan tetap meyakini Syaikhain (Abu
Bakar dan Umar) lebih utama dan mulia daripada Ali. Sebagian dari kaum Syiah
(masa lalu) mungkin saja menganggap Ali sebagai manusia paling mulia setelah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Bila orang yang berkeyakinan seperti itu
adalah seorang yang wara’, taat beragama, jujur, dan berangkat dari hasil
ijtihad; maka hadits yang diriwayatkannya tidaklah ditolak semata-mata karena
keyakinan tersebut. Lebih-lebih bila ia tidak mengajak orang lain kepada
pemikirannya.
Sedangkan istilah tasyayyu’ dalam
definisi ulama masa sekarang (ulama setelah generasi salaf) ialah Rafidhah
tulen. Maka seorang Syiah ekstrem tidak bisa diterima riwayatnya, dan tidak
bernilai sama sekali. (Tahdzib At-Tahdzib,1/81)
Di tempat lain, Ibnu Hajar berkata:
والتشيع محبة على وتقديمه على الصحابة فمن قدمه على أبي بكر وعمر فهو
غال في تشيعه ويطلق عليه رافضي وإلا فشيعي فإن انضاف إلى ذلك السب أو التصريح
بالبغض فغال في الرفض وإن اعتقد الرجعة إلى الدنيا فأشد في الغلو
“Tasyayyu’ adalah mencintai Ali dan mengutamakannya dibanding
semua sahabat lain, dan jika mengutamakannya diatas Abu Bakar dan Umar maka diatasyayyu’ ekstrem yang disebut Rafidhah dan jika tidak maka
disebut Syiah, Jika diringi dengan mencela dan membenci keduanya maka disebut
Rafidhah ekstrem. Jka mempercayai Raj’ah bahwa Ali kembali ke dunia maka
disebut Rafidhah yang sangat ekstrem. (Hady As-Sari Muqaddimah Fathil Bari, 1/460)
Definisi Ibnu Hajar
dalam dua kitab tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa karakter dalam aliran
Syiah:
Tasyayyu’=Syiah:
Mencintai Ali dan mengutamakannya daripada sahabat lain dengan tetap meyakini
Abu Bakar dan Umar lebih utama daripada Ali.
Tasyayyu’ ekstrem=Rafidhah:
Mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Umar.
Rafidhah ekstrem:
Mencela Abu Bakar dan Umar
Rafidhah sangat
ekstrem: meyakini Raj’ah (hidupnya kembali imam-imam Syiah di akhir zaman).
Artinya, ada Syiah yang
tidak ekstrem dan Syiah ekstrem yang disebut Rafidhah dengan tiga karakter
masing-masing. Namun, menurut Imam Adz-Dzahabi, Syiah Ekstrem pada masa lalu
dan masa sekarang memiliki perbedaan karakter. Hal ini diungkapkan dalam
kitabnya:
فالشيعي الغالي في زمان السلف وعرفهم هو من تكلم في عثمان
والزبير وطلحة ومعاوية وطائفة ممن حارب عليا – رضي الله عنه وتعرض لسبهم
والغالي في زماننا وعرفنا هو الذى يكفر هؤلاء السادة ويتبرأ من الشيخين ايضا
فهذا ضال معثر ولم يكن ابان بن تغلب يعرض للشيخين اصلا بل قد يعتقد بأن عليا
أفضل منهما (ميزان الاعتدال 1/118).
“Penganut Syiah ekstrem
pada zaman para salaf dan menurut definisi mereka, ialah orang yang mengritik
dan mencela Utsman, Zubair, Thalhah, Muawiyah dan sejumlah kalangan yang
memerangi Ali.
Sedangkan penganut
Syiah Ekstrem pada zaman kita dan yang kita definisikan ialah mereka yang
mengkafirkan para tokoh itu (para sahabat) dan memusuhi Abu Bakar dan Umar.
Orang seperti ini jelas sesat dan tergelincir.” (Mizanul I’tidal,
I/118).
Adz-Dzahabi berbicara dalam konteks jawaban
atas pertanyaan bagaimana penganut akidah Syiah bisa diambil haditsnya dan bisa
dianggap tsiqah. Maka beliau menjelaskan bahwa Syiah masa lalu dan Syiah pada
zamannya berbeda. Artinya, perawi Syiah yang diambil haditsnya pada masa lalu
itu tidak sama dengan para penganut Syiah pada masa Imam Adz-Dzahabi. Syiah
yang bisa dipercaya itu tidak ada dan tidak ditemukan pada masa hidup Imam
Adz-Dhahabi. Hal ini diungkapkan olehnya:
فما
استحضر الان في هذا الضرب رجلا صادقا ولا مامونا بل الكذب شعارهم والتقية والنفاق
دثارهم فكيف يقبل نقل من هذا حاله حاشا وكلا
“Saat ini aku tidak mengetahui ada
seorang pun (penganut Syiah) dalam masalah ini, yang memiliki kejujuran dan
bisa dipercaya. Sebaliknya, berdusta telah menjadi semboyan mereka. Taqiyah (bermuka
dua) dan kemunafikan telah menjadi jubah mereka. Bagaimana mungkin orang yang
seperti ini bisa diterima riwayatnya? Sama sekali tidak mungkin.” (Mizanul
I’tidal, I/118).
Perlu disebutkan bahwa
definisi adalah uraian pengertian yang berfungsi
membatasi objek, konsep, dan keadaan berdasarkan waktu dan tempat
suatu kajian.[13] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi ialah
rumusan tentang ruang lingkup dan ciri-ciri suatu konsep yang menjadi
pokok pembicaraan atau studi.[14] Definisi merupakan
usaha para ilmuwan untuk membatasi fakta dan konsep.[15] Artinya,
definisi berubah ketika faktanya berubah. Definisi Syiah oleh Ibnu Hajar dan
Adz-Dzahabi menunjukkan hal ini, karena fakta Syiah masa lalu tidak sama dengan
Syiah masa sekarang.
Perubahan Sikap Ulama terhadap Syiah
Perbedaan karakter
Syiah masa lalu dan masa selanjutnya melahirkan sikap yang jelas dan tegas dari
para ulama. Imam Bukhari di kitab Khalqu Af’alil ‘Ibadmengatakan:
ما أبالي صليتُ خلف الجهمي والرافضي أم صليت خلف اليهود والنصارى؛ ولا
يسلَّم عليهم ولا يعادون ولا يناكحون ولا يشهدون ولا تؤكل ذبائحهم
“Aku tidak membedakan
apakah aku shalat bermakmum di belakang seorang penganut Jahmiyah atau Rafidhah,
ataukah bermakmum di belakang Yahudi dan Nasrani (semuanya tidak sah). Mereka
tidak boleh disalami, tidak boleh dibesuk ketika sakit, tidak boleh dinikahi
(wanitanya), tidak dilayat jenazahnya, dan tidak boleh dimakan sembelihannya.”
Imam Bukhari sangat
tegas. Penulis kitab hadits yang dinilai sebagai kitab paling shahih setelah
Al-Qur’an tersebut menyamakan Syiah dengan Yahudi dan Nasrani. Tidak ada ucapan
salam, tidak dilayat jenazahnya, tidak dinikahi wanitanya, dan tidak dimakan
sembelihannya adalah konsekuensi terhadap orang yang murtad dan keluar dari
Islam.
Para Imam Mazhab juga tidak kalah tegas dalam hal ini. Imam Ahmad seperti
disebutkan dalam kitab As-Sunnah (1/493), pernah ditanya
oleh Abdullah putranya:
سألت أبي عن رجل شتم رجلاً من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فقال:
ما أراه على الإسلام
“Aku bertanya kepada
ayahku tentang seseorang yang mencaci salah seorang sahabat Nabi SAW. Maka ayah
menjawab, ‘Menurutku ia tidak berada di atas Islam’.”
Imam Asy-Syafi’i
mengatakan:
لم أر أحداً من أصحاب الأهواء، أكذب
في الدعوى، ولا أشهد بالزور من الرافضة
“Saya
tidak pernah melihat seorang pun di antara para pengikut hawa nafsu yang lebih
dusta dalam pengakuan dan lebih bohong dalam kesaksian daripada Rafidhah.” (Al-Ibanah, II, 545).
Syiah Hari Ini dan Sikap
Ulama
Syiah
hari ini dapat dilihat dengan jelas di Iran. Karakter dan keberadaan Syiah di
beberapa negara lain, termasuk Indonesia mulai tampak jelas dengan pecahnya
revolusi Suriah. Terutama pada pertengahan 2013 saat kekuatan militer rezim
Syiah Bashar Asad mulai melemah. Masuknya Hizbullah Lebanon dalam pertempuran
Qushair pada pertengahan Mei-Juni 2013 telah mengundang perhatian ulama dunia
untuk bersikap. Salah satunya adalah pertemuan ulama dunia di Kairo Mesir pasca
peristiwa itu, yang melahirkan fatwa kewajiban umat Islam untuk menolong Ahli
Sunnah Suriah yang dizalimi.
Yang
terbaru adalah pemberontakan Syiah Hautsi Yaman yang telah merebut Ibukota
Shan’a pada September 2014 lalu.
Yaman
adalah basis Syiah Zaidiyah, yang dikenal dalam sejarah sebagai kelompok Syiah
yang dekat dengan ahli Sunnah. Sebagian kalangan menyebutnya Syiah Moderat.
Zaidiyah dinisbatkan kepada imam mereka, Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin
Abi Thalib (80-122H). Imam Zaid memimpin revolusi melawan Bani Umayyah pada masa
Hisyam bin Abdul Malik (122H).
Sekte
Zaidiyah masih mengakui kekhilafahan Abu Bakar dan Umar. Mereka juga enggan
untuk melaknat keduanya sebagaimana sekte-sekte Syiah yang lain. Namun, Syiah
Zaidiyah hari ini telah berubah. (baca: Pergeseran Zaidiyah). Wilayah Saada, Yaman Utara tempat bermukim mereka
telah menjadi basis kekuatan kelompok Hautsi, yang berkiblat kepada Iran, terutama
setelah pemimpin mereka, Badrudin Al-Hautsi, pulang dari Iran.
Sebelumnya
beberapa ulama ahli sunnah berupaya mendekatkan (taqrib) Suni dan Syiah. Salah satu
wujudnya adalah penandatanganan Risalah Amman tahun 2004 oleh para ulama Suni
dan Syiah, dengan tiga poin kesepakatan, yang mengarah kepada upaya saling
menghormati.
Namun,
tokoh besar yang ikut menandatangani Risalah tersebut, Dr Yusuf Al-Qardhawi,
hari ini menyatakan telah tertipu oleh Syiah. Kezaliman Syiah terhadap
Ahli Sunah Suriah telah menyadarkannya. Ulama kelahiran Mesir tersebut
menceritakan pengalamannya di banyak negara menjelaskan bahwa Syiah bukan hanya
satu golongan saja. Namun fakta kekejaman Syiah di Suriah membuat beliau
menyatakan:
الشيعة خدعوني.. وحزب الله كذبة كبيرة
Ketua
Persatuan Ulama Sedunia tersebut juga mengatakan, revolusi Suriah
menampakkan dan menjelaskan hakikat Hizbullah dan pendukungnya yang
tertipu oleh setan. Mereka, menurutnya, tidak pantas disebut hizbullah (tentara Allah), tetapi hizbusy
Syaithan (tentara setan).[17]
Konklusi
Sejarah telah menunjukkan perbedaan yang jelas antara Syiah masa
lalu dan masa sekarang. Syiah yang bisa dipercaya itu sdh tidak ada pada zaman
Imam Adz-Dzahabi yang hidup pada tahun 673-748 Hijriah, apalagi sekarang? Sikap
ulama terhadap Syiah juga tegas, ketika hakikat Syiah telah jelas bagi mereka.
(Agus Abdullah)
Referensi:
[6] Nama Ahmad Amin adalah dua orang. Kedua-duanya adalah
penulis. Pertama adalah seorang Mesir penulis buku Dhuha Al-Islam wa Fajrul
Islam wa bada’a Al-Islam. Kedua adalah seorang rafidhah penulis kitab
At-Takamul fil Islam.
Syi’ah
wa At-Tasyayyyu’, 25.
[10] Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir di Tarikh Dimasyq,
24/333 dan Ibnu Al-Ghathrif di Juz’inya dari Abu Sa’id Al-Khudri, Al-Albani
mengatakan dalam Adh-Dhaifah, hadits ini palsu (maudhu’).
[14] Departemen Pendidikan Nasional(2008);Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama. Hal 303. Cet Pertama Edisi IV.
[16] http://www.alarabiya.net/ar/arab-and-world/syria/2013/06/02/القرضاوي-الشيعة-خدعوني-وحزب-الله-كذبة-كبيرة-.html lihat juga: http://youtu.be/N1rfdAAgWCA
Rabu, 6 Jumadil Awwal
1436 H / 25 Februari 2015 08:39 wib
Apakah Golongan Syi'ah Lebih Berbahaya
Dari Yahudi?
Bismillahirrahmanirrahim ..
“Apakah mereka (Syi’ah) lebih berbahaya dari
Yahudi?”…….
Sebab hakikat dari pertanyaan ini adalah
untuk membungkam lisan mereka yang sadar akan penderitaan umat, sekaligus
membikin kikuk mereka yang berusaha menjaga dan melindungi kaum muslimin.
Saya akan menyanggah mereka dan mengatakan
kepada mereka:
“Memang
apa salahnya kalau umat Islam menghadapi dua bahaya yang mengintai secara
bersamaan? Apakah muslimin Ahlussunnah yang mencari-cari alasan untuk menyerang
Syi’ah, ataukah realita di lapangan membuktikan berulang kali bahwa merekalah
yang memulai serangan?”
Kita menyaksikan gencarnya serangan Syi’ah
terhadap umat Islam, dan saya rasa realita kita saat ini tak jauh berbeda
dengan masa lampau. Bahkan
saya bersaksi bahwa sejarah akan mengulangi dirinya, dan generasi muda akan
mewarisi dendam kesumat nenek moyang mereka.
Tak
ada kebaikan sedikit pun yang bisa diharapkan dari kelompok yang menganggap
bahwa 99% sahabat Nabi adalah bejat, mengingat hal itu merupakan pengingkaran
yang nyata akan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam :
“خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي”
“Sebaik-baik generasi
adalah generasiku.” (HR. Bukhari no 3451 dan Muslim no 2533)
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari,
Muslim dan yang lainnya.
Realita Syi’ah –dari dulu sampai sekarang-
adalah amat sangat menyakitkan…( + an RRZ: menikam dalam selimut )
Mari kita tengok kembali beberapa masalah
yang akan menjadikan visi kita lebih jelas, sehingga dapat membantu kita untuk
menentukan sikap paling tepat yang mesti kita ambil terhadap Syi’ah; lalu kita
tahu: lebih baik bicara ataukah diam saja!
PERTAMA:
Semua orang tahu bahwa sikap Syi’ah terhadap para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai dari Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar
Al Faruq, Utsman Dzin Nuurain, lalu isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama Aisyah radhiallahu ‘anha hingga para sahabat secara umum.
Sebagaimana yang dinyatakan terang-terangan
oleh referensi dan nara sumber mereka yang telah mereka yakini; adalah bahwa
para sahabat tadi adalah orang-orang fasik dan murtad. Mayoritas mereka telah
sesat dan berusaha menyembunyikan serta menyelewengkan ajaran Islam.
Dari sini apakah kita harus mengawasi dan
diam saja ‘demi menghindari fitnah’?
Fitnah apakah yang lebih besar dari pada
menuduh generasi teladan sebagai masyarakat ‘bejat dan pendusta’?!?
Marilah kita merenungi sama-sama perkataan
bijak salah seorang sahabat yang bernama Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu:
“إذا لَعَنَ آخرُ هذه الأمَّة أوَّلها، فَمَنْ كان عنده علمٌ
فليظْهره، فإنَّ كاتم ذلك ككاتم ما أُنزل على محمدٍ صلى الله عليه وسلم”.
“Bila umat Islam di akhir
zaman mulai melaknat pendahulunya, maka siapa saja yang berilmu hendaklah
menunjukkan ilmunya. Bila ia menyembunyikan, maka ia seperti yang
menyembunyikan ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Nisbat
riwayat ini kepada Nabi sanadnya dha’if, namun riwayat ini adalah dari
perkataan Jabir bin Abdillah)
Bisakah Anda menangkap kedalaman makna ucapan ini?
Hujatan terhadap generasi sahabat bukan sekedar hujatan terhadap
mereka yang telah tiada… tidak juga seperti ucapan sebagian orang bahwa:
“Hujatan tersebut tidak berbahaya bagi para sahabat, karena mereka telah masuk
Surga meski Syi’ah tidak suka.” Akan tetapi bahaya besar di balik ucapan ini
ialah karena hujatan terhadap para sahabat pada hakikatnya adalah hujatan
terhadap Islam secara langsung. Sebab kita tidak mendapatkan ajaran Islam
kecuali melalui para sahabat radhiyallahu
‘anhum.
Kalau berbagai hujatan yang menimbulkan keraguan akan akhlak,
niat, dan perbuatan para sahabat dibiarkan; lantas agama model apa yang akan
kita anut?
Hilanglah agama kita kalau kita terima semua itu… hilanglah
hadits-hadits Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan ajaran beliau.
Justeru kita bertanya kepada Syi’ah: “Al
Qur’an apa yang kalian baca sekarang? Bukankah yang menyampaikannya adalah
mayoritas sahabat yang kalian hujat? Bukankah yang berjasa mengumpulkannya
adalah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu
‘anhu, yang kalian anggap berbuat licik untuk menjadi khalifah? Lantas
mengapa ia tidak merubah-rubah Al Qur’an sebagaimana merubah-rubah Sunnah
menurut tuduhan kalian?”
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits:
“عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ
المهديين مِنْ بَعْدِي”.
“Kalian wajib berpegang
teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat
hidayah sepeninggalku.” (HR. Tirmidzi no
2676, Ibnu Majah no 42 dan Ahmad no 17184)
Jadi, Sunnah Khulafa’ur Rasyidien adalah bagian tak terpisahkan
dari agama Islam. Hukum dan sikap yang diputuskan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali adalah hujjah (dalil) bagi setiap muslim, kapan, di mana pun, dan
sampai hari kiamat… lantas bagaimana mungkin hujatan terhadap mereka kita
biarkan?!
Sebab itulah, ulama-ulama kita yang mulia demikian berang bila mendengar ada
orang yang berani menghujat sahabat. Imam Ahmad bin Hambal misalnya, beliau
pernah mengatakan:
إذا رأيت أحدًا يذكر أصحاب رسول
الله صلى الله عليه وسلم بسوءٍ، فاتهمه على الإسلام
“Kalau engkau mendapati seseorang berani menyebut para sahabat
dengan tidak baik, maka tuduhlah dia sebagai musuh Islam.”(Ash Sharimul Maslul ‘ala Syaatimir Rasul 3/1058
oleh Ibnu Taimiyyah)
Al Qadhi Abu Ya’la (salah seorang fuqaha mazhab Hambali)
mengatakan:
“Para fuqaha sepakat bahwa orang yang mencaci-maki para sahabat
tak lepas dari dua kondisi: kalau dia menghalalkan hal tersebut maka dianggap
kafir, namun jika tidak menghalalkannya maka dianggap fasik
(bejat)” (Ibid, 3/1061)
Abu Zur’ah Ar Razi (salah seorang pakar hadits yang
wafat th 264 H) mengatakan:
“إذا رأيتَ الرجلَ ينتقص من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، فاعلم
أنّه زنديق”
“Kalau engkau mendapati seseorang mengkritik sahabat Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam, maka ketahuilah bahwa dia itu Zindiq
(munafik).” (Al Kifayah fi ‘Ilmir
Riwayah hal 49 oleh Al Khatib Al Baghdadi)
Sedangkan Ibnu Taimiyyah berkata:
“Barang siapa menganggap bahwa para sahabat telah murtad
sepeninggal Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam kecuali segelintir orang
yang jumlahnya tak sampai belasan orang, atau menganggap fasik (bejat)
mayoritas sahabat; maka orang ini kekafirannya tidak diragukan lagi.” (Ash Sharimul Maslul 3/1110 oleh Ibnu
Taimiyyah)
Sikap yang keras terhadap para penghujat sahabat ini, tak lain
adalah karena para sahabatlah yang menyampaikan agama ini kepada kita. Kalau
salah seorang dari sahabat dihujat, berarti Islam jadi meragukan. Mengingat
banyaknya pujian yang Allah berikan kepada mereka dalam Al Qur’an, maupun
dalam Sunnah Nabi-Nya, jelaslah bahwa orang yang menghujat para
sahabat berarti mendustakan ayat-ayat dan hadits yang
cukup banyak tadi.
Mungkin ada yang berkata:
“Lho, kami tidak pernah
mendengar si Fulan dan si Fulan yang Syi’ah itu menghujat para sahabat?”
Kepada mereka, kami ingin agar memperhatikan poin-poin berikut:
Pertama: Kaum Syi’ah Itsna Asyariyah pada dasarnya meyakini bahwa
para sahabat telah bersekongkol melawan Ali bin Abi Thalib, Ahlul Bait, dan
Imam-imam yang diyakini oleh mereka. Intinya, tidak ada seorang Syi’i pun (baik
di Iran, Irak, maupun Lebanon) melainkan ia meyakini kefasikan para
sahabat.
Sebab jika mereka menganggap para sahabat adalah
orang shalih, hancurlah rukun iman mereka sebagai Syi’ah.
Jadi, telah menjadi suatu keniscayaan pabila setiap orang Syi’ah baik
pejabat, ulama, maupun rakyat jelata untuk bersikap tidak hormat kepada para
sahabat, dan tidak menerima agama yang mereka bawa dalam bentuk apa pun.
Kedua: Tokoh-tokoh Syi’ah senantiasa mengelak untuk menampakkan
kebencian mereka kepada para sahabat, meski terkadang nampak juga dalam
sebagian statemen atau perilaku mereka, sebagaimana firman Allah:
لَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ
الْقَوْلِ
“Dan kamu benar-benar akan
mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka.” (Qs
Muhammad: 30)
Banyak di antara kita yang menyaksikan debat antara DR. Yusuf Al Qardhawi dengan Rafsanjani (mantan
presiden Iran) di TV Al Jazeera. Kita sama-sama menyaksikan bagaiman Rafsanjani
selalu mengelak dari setiap usaha DR. Qardhawi agar ia menyebut sahabat dan
ummahatul mukminin (isteri-isteri Nabi) dengan baik.
Dan ketika Khamenei (pemimpin Revolusi Iran
sekarang) ditanya tentang hukum mencaci-maki para sahabat, dia tidak mengatakan
bahwa hal itu keliru atau haram. Namun ia menjawab secara dusta dengan berkata:
“Semua perkataan yang mengakibatkan perpecahan di antara kaum muslimin pasti
diharamkan dalam syari’at.” Intinya, haramnya mencaci-maki sahabat menurutnya
ialah karena hal itu menimbulkan perselisihan di antara kaum
muslimin, bukan karena haram menurut syari’at, sebagaimana yang dilansir
oleh koran Al Ahraam Mesir tanggal 23 November 2006.
Ketiga: Kita harus waspasa terhadap akidah ‘taqiyyah’ (bermuka
dua) yang menurut syi’ah adalah sembilan persepuluh dari agama mereka. Artinya,
mereka biasa mengatakan perkataan yang bertentangan dengan keyakinan mereka
selama mereka belum berkuasa. Namun setelah berkuasa mereka akan menampakkan
jati dirinya terang-terangan.
Dalam sejarah Syi’ah, kita menyaksikan bahwa
tatkala mereka menguasai beberapa wilayah Daulah Abbasiyah yang Sunni di Irak,
Mesir, Afrika Utara (Maghrib) dan semisalnya; mereka langsung terang-terangan
menghujat para sahabat, dan menjadikan hal itu sebagai pokok agama mereka.
Jadi, jelaslah bagi kita dari sini akan
pentingnya menjelaskan hakikat Syi’ah terhadap para sahabat yang mulia. Kalau
tidak, maka orang yang menyembunyikan kebenaran ini ibarat Syaithan yang bisu,
dan sikap ini akan mengakibatkan kehancuran Islam…
KEDUA: Bahaya Doktrinasi Syi’ah di Dunia Islam….
tidak diragukan lagi bahwa doktrinasi Syi’ah (tasyayyu’) demikian gencar dilakukan di berbagai negara Islam. Ia
tidak hanya marak di tempat asalnya seperti Iran, Irak dan Lebanon, namun kini
berlangsung sangat kuat di Bahrain, Emirat Arab, Suriah, Yordania, Saudi
Arabia, Mesir, Afghanistan, Pakistan dan negara-negara muslim lainnya…
(Termasuk Indonesia yang dalam lima tahun
terakhir meningkat secara drastis, lewat tokoh-tokoh mereka macam Jalaluddin Rakhmat, Quraish Shihab dan sebagainya.
Bahkan menurut pengamatan sebagian pihak,
jumlah murid Kang Jalal mencapai lebih dari 10 juta! –pent). +an dari RRZ:
Belum lagi nanti para pelajar Indonesia yg telah lulus dari universitas2
Qoom/Iran, negeri Syiah, diperkirakan 10 ribu lebih. Maka semangkin berkobarlah
Syiah di Republik tercinta Indonbesia ini. Dan hal tsb harus diantisipasi sejak
dini oleh seluruh Komponent ummat Islam, khususnya Pemerintah Republik
Indonesia dan MUI/para Ulama dan seluruh Ormas Islam.
Parahnya lagi, banyak orang yang menganut
pemikiran-pemikiran Syi’ah tanpa mengira bahwa mereka adalah Syi’ah. Bahkan
setelah menulis beberapa artikel ini, kami –yaitu Dr. Raghib Sirjani- mendapat
banyak e-mail yang penulisnya mengaku Sunni, namun isinya penuh dengan
pemikiran dan gaya Syi’ah.
Kita juga tidak menutup mata akan perang
global yang ditujukan kepada para sahabat lewat media massa (Yakni media massa
di Mesir tempat penulis tinggal -pent) dan saluran-saluran televisi di
negeri-negeri Sunni. Yang paling masyhur ialah hujatan salah satu koran Mesir
terhadap Siti Aisyah radhiallahu ‘anha beberapa hari terakhir. Demikian pula perang yang
dilancarkan terhadap Shahih Bukhari, termasuk acara televisi yang dibawakan oleh wartawan
terkenal dan selalu mengkritik para sahabat dalam setiap episode.
Masalah semakin rumit dan tidak bisa
didiamkan, mengingat adanya perkawinan silang antara manhaj (metode) Syi’ah dengan Tasawuf, dengan klaim bahwa keduanya mencintai Ahlul
bait.
Dan kita semua tahu bahwa faham tasawuf
demikian merebak di banyak negara di dunia. Dan faham ini telah terjangkiti
virus bid’ah, khurafat dan kemunkaran yang demikian banyak, dan bertemu dengan
Syi’ah dalam hal mengultuskan Ahlul bait. Dari sini, penyebaran Syi’ah sangat
mudah ditebak seiring dengan menyebarnya tarekat-tarekat Sufi.
KETIGA: Kondisi di Irak demikian mencekam. Pembunuhan
muslimin Ahlussunnah tersebab identitas mereka adalah fenomena biasa yang
sering terjadi. Sekjen ulama Ahlussunnah di Irak yang bernama Harits Adh Dhaary
menyebutkan bahwa ada lebih dari 100 ribu muslim Sunni yang tewas di tangan
Syi’ah sejak th 2003 hingga 2006.
Ditambah proses deportasi yang terus menerus
di beberapa lokasi demi mempermudah kekuasaan Syi’ah di sana. Dan mayoritas
mereka yang dideportasi (diusir) keluar dari Irak adalah Ahlussunnah; dan ini
menyebabkan perubahan susunan masyarakat yang sangat berbahaya akibatnya nanti.
Pertanyaannya sekarang: “Apakah fitnah
yang timbul ketika membahas masalah Syi’ah lebih berbahaya dari fitnah
terbunuhnya sekian banyak warga Ahlussunnah tadi? Lantas sampai kapan masalah
ini harus didiamkan? Padahal semua orang tahu betapa solidnya dukungan Iran
dalam pembersihan mereka yang beridentitas Sunni?”
KEEMPAT: Ambisi Iran terhadap Irak demikian besar,
bahkan hal nampak nyata. Mengingat kedua negara sebelumnya pernah terlibat
perang sengit selama 8 tahun penuh, dan sekarang jalannya terbuka lebar bagi
Iran. Apalagi Irak memiliki nilai religius penting bagi kaum Syi’ah, mengingat
adanya wilayah-wilayah suci di sana, termasuk enam makam Imam Syi’ah.
Di Najaf terdapat makam Ali bin Abi Thalib,
lalu di Karbala’ terdapat kuburan Husein, dan di Baghdad terdapat makam Musa Al
Kadhim dan Muhammad Al Jawwad, tepatnya di wilayah Al Kadhimiyyah. Sedangkan di
Samarra terdapat makam Muhammad Al Hadi dan Hasan Al ‘Askari; dan masih banyak
kuburan-kuburan palsu lain yang diklaim sebagai kuburan para Nabi seperti Adam,
Nuh, Hud dan Shalih di Najaf; namun semuanya palsu.
Selain Ambisi Iran terhadap Irak yang sangat
berbahaya, Amerika juga mendukung terwujudnya ambisi tersebut. Kita semua
menyaksikan bagaimana pemerintahan Syi’ah bentukan Amerika di Irak.
Sandiwara saling tuduh antara Amerika dan
Iran sudah tidak mempan lagi sekarang, sebab tidak pernah terlintas dalam benak
Amerika untuk menyerang Iran sama sekali, akan tetapi yang sangat mencemaskan
bukanlah ambisi untuk menguasai minyak atau kekayaan Irak saja, bukan pula
sekedar memperluas kekuasaan Syi’ah;
Namun parahnya mereka menjadikan kebrutalan
dan sadisme tersebut sebagai bagian dari agama mereka.
Sebab Syi’ah menuduh para sahabat dan
pengikut mereka dari kalangan Ahlussunnah sebagai musuh-musuh Ahlulbait dan
menjulukinya dengan naashibah atau nawaashib. Padahal kita lebih menghargai Ahlulbait daripada
mereka.
Mereka lalu mengeluarkan vonis-vonis
mengerikan atas tuduhan tersebut. Misalnya Khumaini yang mengatakan:
“Pendapat yang lebih kuat ialah memasukkan
nawashib sebagai ahlul harbi (lawan perang), yang hartanya halal di mana pun
didapati, dan dengan cara apa pun.” (Tahrirul Wasilah 1/352 oleh Al Khumaini)
Lalu tatkala imam mereka yang bernama
Muhammad Shadiq Ar Ruhani ditanya tentang hukum orang yang mengingkari keimaman
dua belas imam, dia mengatakan sesuatu yang sangat aneh:
“Sesungguhnya imamah (jabatan imam) lebih
tinggi dari nubuwah (kenabian) dan kesempurnaan agama ini ialah dengan
menjadikan Amirul mukminin alaihissalam sebagai imam;
Allah ta’ala berfirman: alyauma akmaltu lakum dienakum (pada hari ini telah kusempurnakan
bagimu agamamu). Maka siapa yang tidak mempercayai keimaman dua belas imam
niscaya ia akan mati dalam kekafiran” (Lihat fatwa ini dalam link
berikut: www.imamrohani.com/fatwa-ar/viewtopic.php)
Khumaini dalam bukunya Al Hukumatul Islamiyyah mengatakan bahwa para imam akan
mencapai kedudukan yang tidak pernah dicapai oleh malaikat terdekat maupun
rasul sekalipun.( sebenarnya ada lanjutannya yi, bahkan Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam sekalipun. Dengan kata lain merendahkan kedudukan Rasul. )
Karenanya, tidak mengakui keimaman menurut
mereka lebih berat dari pada tidak mengakui kenabian, dan inilah tafsiran atas
pengkafiran Syi’ah atas Ahlussunnah, yang diikuti dengan penghalalan darah
mereka di Irak dan negeri-negeri lainnya. Oleh karena itu, Irak harus
dimasukkan dalam kekuasaan mereka karena banyaknya tempat-tempat ‘suci’ mereka
yang masih dikuasai oleh orang-orang yang mereka anggap kafir.
KELIMA: Ancaman langsung tak berhenti di Irak saja,
namun ambisi mereka terus meningkat untuk menguasai daerah sekitarnya. Mereka
menganggap Bahrain sebagai bagian dari Iran, sebagaimana pernyataan kepala
pemeriksa umum Ali Akbar Nathiq Nuri di kantor pemimpin revolusi saat
peringatan 30 tahun revolusi Iran. Ia mengatakan:
“Bahrain pada dasarnya adalah propinsi Iran
yang keempat belas, yang diwakili oleh seorang legislatif di majelis
permusyawaratan Iran.” (Lihat situs al jazirah berikut: www.aljazeera.net/NR/exeres/684338CB-837A-4879-8C7A-1A1B995DD286.htm)
Kita juga tahu bahwa Iran menduduki tiga
pulau milik Emirat Arab di teluk Arab, dan jumlah mereka makin bertambah di
Emirat hingga nisbahnya mencapai 15% dari total jumlah penduduk, dan menguasai
pusat-pusat perdagangan terutama di Dubai.
Demikian pula kondisinya di Arab Saudi yang
tidak statis; sebab sejak revolusi Iran tahun 1979, berbagai gangguan
stabilitas terjadi berulang kali di Arab Saudi. Bahkan itu terjadi langsung
setelah revolusi Iran, dengan munculnya demonstrasi Syi’ah di Qathif dan Saihat
(dua wilayah Saudi), yang paling gencar di antaranya adalah tanggal 19 November
1979.
Masalah pun kadang semakin parah hingga
berubah menjadi tindak anarkhis dan kejahatan di Baitullah Makkah. Sebagaimana
yang terjadi pada musim haji tahun 1987 dan 1989. Bahkan pasca jatuhnya
pemerintahan Saddam Husein, sekitar 450 tokoh Syi’ah di Saudi mengajukan
proposal kepada putera mahkota ketika itu, yaitu Pangeran Abdullah dan meminta
agar diberi jabatan-jabatan tinggi di dewan parlemen, jalur diplomasi, badan
militer dan keamanan, serta menambah jumlah mereka di majelis syuro.
Bahkan Ali Syamkhani, yang merupakan
penasehat tertinggi masalah militer bagi pimpinan umum revolusi Iran
mengatakan, bahwa bila Amerika menyerang proyek nuklir Iran.
Iran tidak sekedar membalas dengan menyerang
fasilitas milik Amerika di teluk, namun akan menggunakan rudal-rudal
balistiknya untuk menyerang target-target strategisnya di teluk Arab. Pernyataan
ini dilansir oleh majalah Times Inggris pada hari Ahad 10 November 2007. (oleh
fizaro)