Menyambut Seminar Internasional "Persatuan Umat
Islam Sedunia" di Auditorium Al-Jibra Universitas Muslim Indonesia,
Makassar, atas kerjasama dengan Kudebes Iran, Senin, 5 Nov 2012
Risalah Amman atau Amman Message adalah sebuah nota kesepahaman antar-mazhab dalam Islam yang ditandatangani oleh ratusan ulama lintas mazhab dan negara dari segenap penjuru dunia, merupakan seruan persatuan umat Islam sedunia, agar tidak terpecah belah meskipun berbeda mazhab.
Secara khusus, orang-orang Syiah menjadikan Risalah
Amman sebagai legitimasi keabsahan mazhab mereka. Karena itu kita dapati
akhir-akhir ini Syiah sering menjadikannya sebagai tameng untuk mengadakantaqrib (pendekatan
atau penyatuan) antara Sunni dan Syiah. Sering kali mereka mengobralnya kepada
masyarakat Islam bahwa “Syiah salah satu mazhab dalam Islam”.
Salah satu bukti getolnya Syiah mensosialisasikan
Risalah Amman adalah diterbitkannya buku Menuju Persatuan Umat yang
dilengkapi dengan teks Risalah Amman. Buku ini pada awalnya berjudul Satu
Islam, Sebuah Dilema yang merupakan kumpulan tulisan para cendikiawan
muslim Indonesia, di antaranya Quraish Shihab, Jalaluddin Rakhmat, Nurkholis
Majid, dsb. Sehingga dengan usaha-usaha yang dilakukan orang-orang Syiah, tidak
terhitung lagi betapa banyak kaum Muslimin yang terkecoh oleh Syiah melalui
Risalah Amman.
Namun bukan berarti kami ingin mempertanyakan
keabsahan Risalah Amman itu sendiri, karena nota kesepahaman ini telah
ditandatangani oleh 552 ulama dari berbagai belahan dunia yang menunjukkan
keasliannya dan kebenaran isinya, Insya Allah. Kami lebih kepada usaha untuk
mencermati poin-poin yang tertuang dalam Risalah Amman tersebut, terutama pada
poin pertama.
Poin Pertama Risalah Amman
Untuk mendapat pengakuan, sering kali orang Syiah
mengutip sebagian teks dari poin pertama Risalah Amman yang berbunyi, “Siapa
saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i,
Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan
mazhabZhahiri adalah Muslim. Tidak diperbolehkan mengkafirkan salah
seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas. Darah,
kehormatan dan harta benda salah seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab
yang disebut di atas tidak boleh dihalalkan.”
Memang tidak mungkin kita menyalahkan teks ini, apalah
artinya kami di hadapan ratusan ulama yang ikut tanda tangan menyetujui isi
teks Risalah Amman ini. Namun kami mengajak pembaca mencermati lebih mendalam
poin ini. Mazhab yang dimaksud di sini adalah pandangan seseorang dalam masalah
fiqh, dan bukan mazhab akidah. Artinya semua yang melaksanakan ibadah-muamalah
yang sesuai dengan kedelapan mazhab di atas adalah muslim, tidak boleh
dikafirkan.
Apakah kita menganggap seseorang itu keluar dari
statusnya sebagai muslim hanya karena dia sujud di atas tanah karbala? Apakah
dia langsung divonis kafir karena dia tidak bersedekap dalam shalat? Apakah
seseorang boleh dikafirkan hanya karena dia tidak mengucapkan “Amin” dalam
shalat? Apakah seseorang murtad hanya karena mengusap kaki dalam wudhu dan
tidak membasuhnya? Apakah kita boleh menganggap kafir seseorang hanya karena
dia mengorientasikan pandangan fiqhnya pada mazhab ja’fari? Tentu jawaban dari
ini semua adalah ‘tidak’.
Seseorang tidak boleh dikafirkan hanya karena berbeda
mazhab fiqh, inilah yang dimaksud dalam bunyi poin di atas.
Berikutnya mari kita perhatikan teks selanjutnya dari
poin pertama ini, “Lebih lanjut, tidak diperbolehkan mengkafirkan siapa
saja yang mengikuti akidah Asy’ariatau siapa saja yang mengamalkan tasawuf (sufisme).
Demikian pula, tidak diperbolehkan mengkafirkan siapa saja yang mengikuti
pemikiran Salafi yang sejati. Sejalan dengan itu, tidak diperbolehkan
mengkafirkan kelompok Muslim manapun yang percaya pada Allah, mengagungkan dan
mensucikan-Nya, meyakini Rasulullah (saw) dan rukun-rukun iman, mengakui lima
rukun Islam, serta tidak mengingkari ajaran-ajaran yang sudah pasti dan
disepakati dalam agama Islam.” (pada poin ini tidak disebutkan
‘percaya pada imamah’ yang merupakan pokok keyakinan Syiah)
Pada teks ini larangan takfir (mengkafirkan) hanya
berlaku pada tiga kelompok kaum Muslimin, mereka itu; Asy’ariyyah, Sufi dan
Salafi. Titik! Dan tidak disebutkan “Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah”, tentu
para ulama tersebut mempunyai pandangan yang tajam dan alasan yang kuat mengapa
“Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah” tidak dimasukkan dalam deretan kelompok yang
tidak boleh dikafirkan. Teks inilah yang banyak dilupakan oleh kaum Muslimin.
Larangan takfir ini dilanggar oleh
Syiah. Mereka justru mengkafirkan tiga kelompok di atas (Asya’ari, sufi dan
salafi) dan seluruh kaum Muslimin yang tidak mengenal atau mengikuti imam
zamannya (tentu yang dimaksud adalah 12 imam Syiah) maka ia mati jahiliyah,
mati di luar Islam. (Emilia
Renita Az, 40 Masalah Syiah, Buku Pedoman Dakwah IJABI, hal 98)
Kemudian
larangan takfir juga berlaku untuk semua kaum Muslimin yang percaya
pada Allah, meyakiniRasulullah, dan rukun-rukun iman, mengakui lima
rukun Islam, serta tidak mengingkari ajaran-ajaran yang sudah pasti dan
disepakati dalam agama Islam. Sehingga yang berbeda atau menyalahi keyakinan
ini –menurut Risalah Amman- maka larangantakfirnya tidak
berlaku, atau dengan kata lain bisa masuk dalam kelompok yang bisa dikafirkan.
(kata-kata yang tebal inilah yang merupakan batasan pembeda antara kelompok
Islam yang boleh divonis kafir atau tidak, kelompok Islam yang lurus akidahnya
atau menyimpang)
Selanjutnya
mari kita bandingkan poin-poin ini dengan akidah Syiah.
Pertama, Syiah
memiliki Tuhan dan Nabi yang berbeda dengan Tuhan dan Nabi-nya kaum Muslimin,
Sayyid Nikmatullah Al-Jazairi –seorang ulama rujukan Syiah- mengatakan,
وحاصله إنا لم نجتمع على إله ولا على نبي ولا على إمام، وذلك أنهم
يقولون أن ربهم هو الذي كان محمد صلى الله عليه وسلم نبيه وخليفته بعده أبو بكر.
ونحن لا نقول بهذا الرب ولا بذاك النبي، بل نقول إن الرب الذي خليفته أبو بكر ليس
ربنا ولا ذلك النبي نبينا.
Kesimpulannya: kita (Syiah Imamiyah dan Ahlus
Sunnah) tidak satu Tuhan, tidak satu Nabi dan tidak satu Imam. Pasalnya, Tuhan
yang mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) akui adalah Tuhan yang menjadikan
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai
khalifahnya sepeninggal beliau, sedangkan kami (Syiah Imamiyah) tidak mengakui
Tuhan yang seperti ini. Akan tetapi Tuhan yang menjadikan Abu Bakar sebagai
khalifah bukanlah Tuhan kami, dan Nabi itu pun bukanlah Nabi kami. (Al-Anwar
Annu’maniyyah, Sayyid Nikmatullah Al-Jazairi, jilid 2, hlm. 278, Mu’assasah
Al-‘Alami Lil Matbu’at, Beirut, Lebanon.)
Dengan keyakinan seperti ini, Syiah keluar dari
kelompok kaum Muslimin yang tidak boleh ditakfir.
Kedua, rukun Iman dan rukun Islam yang dimaksud
dalam poin di atas tentunya rukun Iman yang enam dan rukun Islam yang lima yang
selama ini kita kenal dan telah menjadi ijma’ kaum Muslimin.
Sedangkan Syiah memiliki rukun iman dan rukun Islam
sendiri, yang berbeda dengan ijma’ kaum Muslimin.
Rukun Iman versi Syiah, (1) Tauhid, (2) Adalah
(percaya pada keadilan ilahi), (3) Nubuwwah, (4) Imamah, (5) Al-Ma’ad (percaya
pada hari akhir)
Rukun Islam versi Syiah, (1) Shalat, (2) Puasa, (3)
Zakat, (4) Khumus (kewajiban mengeluarkan seperlima harta), (5) Haji, (6)
Jihad, (7) Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, (8) Tawalla (membenci apa yang dibenci
Rasul saw dan ahlul baitnya), (9) Tabarra (mencintai apa yang dicintai Rasul
saw dan Ahlul Baitnya), (10) Amal Shaleh (Lihat buku 40 Masalah Syiah, Emilia
Renita Az, Buku pedoman dakwah IJABI).
Rukun Iman dan Rukun Islam yang berbeda menegaskan
kembali bahwa Syiah keluar dari kelompok Islam yang tidak boleh divonis kafir.
Ketiga, tidak mengingkari ajaran-ajaran yang
sudah pasti dan disepakati dalam agama Islam. Salah satu pokok ajaran dalam
Islam yang sangat fundamental dan telah disepakati dalam agama Islam dari dulu
sampai sekarang, bahkan sampai hari kiamat adalah keaslian Al-Qur’an, tidak
ditambah dan tidak dikurangi. Sedangkan Syiah mengingkari keaslian Al-Qur’an,
mayoritas ulama Syiah berpandangan demikian demikian, di antaranya, Al-Fadhl
bin Syadzan An-Naisaburi, Furat bin Ibrahim Al-Kufi, Al-Ayyasyi, Al-Qummi,
Al-Kulaini, Ali bin Ahmad Al-Kufi, Muhammad bin Ibrahim An-Nu’mani, Al-Mufid,
Abu Manshur Ath-Thubrusi, Abul Hasan Al-Irbili, Al-Faidh Al-Kasyani, Al-Hurr
Al-‘Amili, Hasyim Al-Bahrani, Muhammad Baqir Al-Majlisi, Ni’matullah
Al-Jaza’iri, Yusuf bin Ahmad Al-Bahrani dan masih banyak lagi. Inilah
ulama-ulama Syiah yang menjadi rujukan sepanjang abad. Bahkan seorang ulama
Syiah yang sangat kesohor dan kuburannya sangat diagungkan oleh Syiah –sebagai
bukti pemuliaan mereka terhadapnya- An-Nuri Ath-Thabarsi menulis satu kitab
khusus yang menetapkan dan menegaskan akan adanya perubahan pada Al-Qur’an
(Fashl Khithab Fi Istbat Tahrifi Kitabi Rabbil Arbaab), bahkan dalam muqaddimah
bukunya tersebut ia mengetengahkan hampir 40 nama ulama Syiah yang mendukung
pendapatnya! Sehingga pendapat mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak
asli lagi sudah menjadi akidah dan ajaran pokok Syiah.
Oleh: Muh. Istiqamah, Wakil Sekretaris LPPI
Makassar
JUMAT, NOVEMBER 02, 2012
http://www.lppimakassar.com/2012/11/syiah-berlindung-di-balik-risalah-amman.html