Senin, 11 Februari 2013 -
06:41 WIB
Syaikh Qaradhawi dalam fatwanya juga
meluruskan makna ‘Taqrib’ agar tidak menjadi bias dan kamuflase terhadap upaya
penyebaran ajaran Syiah. Baca juga sikap Qaradhawi soal Risalah Amman
Oleh: Fahmi Salim
BARU-BARU
ini seiring pemberitaan kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi
Konferensi Islam (OKI) ke-12 yang dilaksanakan di Kairo ibukota Mesir dan turut
dihadiri Presiden SBY, hasil pertemuan Grand Syeikh Al-Azhar Mesir dengan
Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad, menjadi pusat perhatian umat Islam tak hanya
di Mesir tetapi juga di dunia Islam. Apalagi ditengah situasi yang menghangat
soal relasi Sunni – Syiah pasca Arab-Spring (revolusi dunia Arab), dan imbasnya
sampai ke Indonesia dengan kasus penodaan agama oleh Tajul Muluk, pemimpin
Syiah di Sampang.
Dalam
sebuah pernyataan resmi ketika menerima kunjungan Presiden Iran, Mahmud
Ahmadinejad, di Masyikhatul Azhar pada hari Rabu 6 Februari 2013, Grand Syeikh
Al-Azhar Cairo, Prof. Dr. Ahmad Al-Tayyib mengatakan, “Meski para ulama besar
Al-Azhar terdahulu pernah terlibat di dalam berbagai konferensi persatuan Islam
antara Sunni dan Syiah guna melenyapkan fitnah yang memecah belah umat Islam,
penting saya garis bawahi bahwa seluruh konferensi itu nyatanya hanya ingin
memenangkan kepentingan kalangan Syiah (Imamiyah) dan mengorbankan kepentingan,
akidah dan simbol-simbol Ahlus Sunnah, sehingga upaya taqrib itu kehilangan
kepercayaan dan kredibilitasnya seperti yang kami harapkan. Kami juga sangat
menyesalkan celaan dan pelecehan terhadap para sahabat dan istri Nabi SAW yang
terus menerus kami dengar dari kalangan Syiah, yang tentu saja hal itu sangat
kami tolak. Perkara serius lainnya yang kami tolak adalah upaya penyusupan
penyebaran Syiah di tengah masyarakat Muslim di Negara-negara Sunni.”
Selain
itu Syeikh Al-Thayyib menyinggung kondisi memilukan Ahlus Sunnah di Iran yang
menurut beliau, “Banyak dari mereka yang mengadukan kepada kami kondisi dan
hak-hak mereka. Saya memandang, tidak boleh hak-hak warga Negara didiskriminasi
dan dikerdilkan seperti yang disepakati oleh system politik modern dan diatur
syariat Islam.”
Sebelumnya,
dalam berbagai kesempatan Grand Syeikh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad At-Thayyib,
menyatakan seperti dilansir Koran Ahram (09/11/2012) bahwa Al-Azhar menolak
keras penyebaran ajaran Syiah di negeri-negeri Ahlus Sunnah, karena hal itu
akan merongrong persatuan dunia Islam, mengancam stabilitas negara, memecah
belah umat dan membuka peluang kepada zionisme untuk menimbulkan isu-isu
perselisihan mazhab di Negara-negara Islam.
Selain
penolakan terhadap ekspor mazhab Syiah (Syiahisasi) ke negara-negara Sunni,
kaum Rafidhah berlindung di balik konsensus Deklarasi Amman untuk legitimasi
penyebaran Syiah. Risalah Amman yang selama ini selalu menjadi landasan bagi
Syiah menebarkan pengaruhnya bukanlah kesepakatan pembenaran atas penyimpangan
akidah.
“Risalah
Amman bukanlah cek kosong, Risalah Amman bukan pula kesepakatan pembenaran atas
keyakinan menyimpang Rafidhah, yaitu doktrin caci-maki kepada para pembesar
Sahabat dan isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam, apalagi pembenar doktrin
tahrif,” kata seorang pakar Syiah Prof. Mohammad Baharun, yang juga mengetuai
Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI. Solusi damai antara Syiah dan Sunni
justru dengan membuat jarak yang jelas dan tidak mengelabui umat. “Karena
perbedaannya bukan di ranah mazhab fiqih saja, melainkan keyakinan akidah,”
ujarnya. [baca: Pakar Syiah Indonesia Dukung Langkah Syeikh Al Azhar]
Risalah
Amman 2005 juga tidak mengikat seluruh ulama yang hadir. Faktanya adalah Syeikh
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi (Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional) yang ikut
tercantum namanya sebagai penandatangan Risalah Amman, telah merilis tiga fatwa
tentang Syiah Imamiyah di dalam kitab “Fatawa Mu’ashirah” jilid 4 yang terbit
pada tahun 2009. Dalam fatwanya, beliau membongkar kesesatan Syiah Imamiyah
dengan membentangkan pokok-pokok perbedaan akidah antara Ahlus Sunnah dan
Syiah, hukum mencaci para sahabat Nabi dan sikapnya tentang pendekatan (taqrib)
Sunni-Syiah pasca Muktamar Doha-Qatar tanggal 20-22 Januari 2007.
Tampak
dari fatwa Syeikh Al-Qaradhawi (2009) bahwa kaum Syiah masih dikategorikan
Muslim (seperti tertulis dalam Risalah Amman), tapi itu tidak berarti golongan
Muslim tersebut bersih dan terbebas dari kesesatan terutama dalah hal-hal pokok
akidah sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Qaradhawi.
Di
dalam fatwanya al-Qardhawi, yang juga anggota dewan tinggi ulama senior
(‘Hai’ah Kibar Ulama’) Al-Azhar menegaskan sikapnya terhadap gagasan ‘Taqrib’,
“Sesungguhnya
sejak saya ikut serta di dalam Muktamar Pendekatan Madzhab (Taqrib), saya telah
menemukan beberapa poin penting yang membuat pendekatan ini tidak akan terjadi
jika poin-poin ini diabaikan atau tidak diberikan hak-haknya. Semua ini telah
saya jelaskan dengan sejelas-jelasnya pada saat kunjungan saya ke Iran 10 tahun
yang silam. Di sini saya hanya mengacu kepada 3 perkara:
Pertama,
kesepakatan untuk tidak mencerca para sahabat. Karena kita tidak bisa
dipertemukan atau didekatkan jika masih seperti itu. Karena saya mengatakan:
Semoga Allah meridhai mereka (para sahabat), sedangkan engkau (Syi’ah) berkata:
Semoga Allah melaknat mereka. Sedangkan antara kata ridha dan laknat memiliki
perbedaan yang sangat besar.
Kedua, dilarang menyebarkan sebuah madzhab di sebuah daerah yang dikuasi oleh
madzhab tertentu. Atau seperti yang dikatakan oleh Syeikh Muhammad Mahdi
Syamsuddin dengan istilah pengsyi’ahan (ekspor madzhab Syi’ah ke negara lain).
Ketiga, memperhatikan hak-hak minoritas, terutama jika monoritas tersebut
adalah madzhab yang sah.
Inilah
sikap saya. Saya tidak akan menjadi penyeru kepada ‘peleburan prinsip’ atau
menjadi orang-orang yang berhamburan kepada usaha taqrib (pendekatan Sunni –
Syi’ah) tanpa syarat dan ketentuan. Karena saya melihat bahwa muktamar ini
hanya seremonial saja. Akan tetapi tidak memecahkan akar permasalahannya dan
tidak ada ujung pangkalnya. Muktamar tersebut hanya sebatas basa basi dan tidak
menghasilkan apa-apa setelahnya. Saya putuskan bahwa saya harus menjelaskan
sesuatu yang ada di dalam diri saya kepada seluruh kaum Muslimin. Saya tidak
akan menyembunyikan sesuatu yang dianggap penting di dalam (menjaga) muamalah.
Hal ini lah yang dituntut oleh sifat amanah dan tanggung jawab dan perjanjian
yang telah diambil oleh Allah terhadap para ulama, ”Hendaklah kamu benar-benar
menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu
menyembunyikannya,” (QS Ali Imran [03]: 187).”
Syeikh
Qaradhawi menceritakan pengalaman bahwa taqrib di dunia Islam hanya
menguntungkan pihak Syiah, yang mendukung pernyataan Grand Syeikh Al-Azhar saat
ini Prof. Ahmad Al-Thayyib;
“Pada
tahun 60-an yang lampau, Syeikh Mahmud Syaltut sebagai Grand Syeikh Al-Azhar
telah mengeluarkan sebuah fatwa yang membolehkan beribadah dengan memakai
madzhab Ja’fari. Dengan alasan di dalam pembahasan fikihnya lebih mendekati
kepada Madzhab Ahlu Sunnah, kecuali ada perbedaan sedikit saja yang tidak
menjadi alasan untuk melarang beribadah dengan memakai madzhab Ja’fari secara
keseluruhan, seperti dalam hal shalat, puasa, zakat, haji dan muamalah. Akan
tetapi fatwa ini tidak pernah dibukukan dalam Himpunan Fatwa Syaltut. Fatwa
Syaikh Syaltut ini sebagaimana yang disebutkan tidak merambah ke permasalahan
akidah dan ushuluddin (pokok-pokok agama Islam) yang di dalamnya mengandung
perbedaan yang sangat jelas antara Ahlu Sunnah dengan Syi’ah. Contohnya dalam
hal imamah, 12 imam Syi’ah, kemaksuman imam, pengetahuan mereka terhadap hal
gaib dan kedudukan mereka yang tidak ada yang bisa mencapainya walaupun oleh
malaikat yang sangat dekat (dengan Allah SWT) dan tidak juga oleh nabi yang
diutus. Mereka beranggapan bahwa masalah ini adalah masalah penting yang
termasuk masalah ushuluddin. Tidak sah iman dan Islam seseorang kecuali dengan
mengimani masalah ini. Orang yang menolaknya dianggap kafir, akan kekal di
neraka. Juga contoh lainnya yaitu akidah orang-orang Syi’ah terhadap para
sahabat dan hal-hal lainnya yang mereka anggap sebagai pokok-pokok agama
mereka.
Di
samping itu, kami belum pernah menemukan ada orang Syi’ah yang membalas
kebaikan dengan kebaikan atau ada yang menjawab salam dengan jawaban yang lebih
baik atau dengan salam serupa. Sebab tidak ada dari para ulama senior Syi’ah
yang selevel dengan Syaikh Syaltut di kalangan Ahlu Sunnah, baik yang berada di
Qum maupun di Najaf yang mengeluarkan fatwa bagi para pengikutnya bahwa boleh
beribadah dengan menggunakan madzhab Ahlu Sunnah, meskipun mereka itu (Ahlus
Sunnah) tidak perlu hal ini.”
Syeikh
Qardhawi dalam fatwanya juga meluruskan makna ‘Taqrib’ agar tidak menjadi bias
dan kamuflase terhadap upaya penyebaran ajaran Syiah;
“Seluruh
peserta muktamar taqrib madzhab dan putusannya mengatakan bahwa pendekatan itu
(terjadi) antar madzhab di dalam Islam. Menurut saya bahwa maksud dari ungkapan
ini tidak pas. Karena kalimat madzhab telah menjadi istilah yang mapan bagi
madzhab fikih Sunni yang empat yang sudah dikenal, yaitu Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyyah dan Hanbaliyah. Kemudian ditambah dengan madzhab Zhahiriyah juga
Zaidiyyah, Ja’fariyyah dan Ibadhiyyah. Adapun perbedaan di antara
madzhab-madzhab ini hanya berkisar di dalam masalah furu’ dan amaliah yang
tidak sampai menyentuh permasalahan akidah, pokok-pokok keimanan dan ushuluddin
(pokok-pokok agama). Maka perbedaan dalam masalah furu, fikih atau ibadah
adalah bukan faktor yang berpengaruh di dalam hubungan antara Sunni dan Syi’ah.
Sangat penting digarisbawahi bahwa perbedaan antara Sunni dan Syi’ah adalah
perbedaan di dalam masalah akidah seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya
di dalam masalah pendekatan madzhab. Perbedaan dalam akidah inilah yang telah
menjadi penyebab tumbuhnya berbagai macam golongan, seperti Mu’tazilah,
Jabariyyah, Murji`ah, Syi’ah, Khawarij, Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Salafiyyah
dan lain-lainnya. Oleh karena itu, jika memungkinkan, aktifitas ‘Taqrib’ lebih
tepat disebut sebagai pendekatan antar golongan/firqah (akidah) dan bukan
pendekatan antar madzhab (fikih). Karena fikih tidak memerlukan pendekatan. Pun
jika kita permudah istilah dengan menyatakan madzhab-madzhab, maka yang kita
maksudkan disini adalah madzhab-madzhab akidah dan bukan mazhab-mazhab fikih.”
Lebih
jauh al-Qardhawi dalam fatwanya itu, mengungkapkan perbedaan mendasar dalam hal
pokok antara Sunni dan Syiah yang tak bisa disatukan.
“Contoh
perbedaan di dalam masalah akidah, yaitu khususnya di dalam masalah imamah.
Karena mereka (orang-orang Syi’ah) berkeyakinan bahwa imamah adalah pokok
akidah mereka dan termasuk ke dalam rukun akidah mereka. Sedangkan kita (Ahlu
Sunnah) menganggapnya hanya sebagai furu’ (cabang) saja dan bukan ushul; atau
termasuk amaliyah dan bukan sebagai akidah. Akan tetapi imamah di dalam ajaran
Syi’ah merupakan pokok ajaran mereka. Karena pokok ajaran mereka bersandar
kepada: Al-Washiyah (wasiat politik kepada Ali), Al-Imamah (kepemimpinan Ali
dan keturunannya), Al-Ghaibah (masa menghilangnya imam ke-12) dan Ar-Roj’ah
(kembalinya Al-Mahdi ke dunia sebelum kiamat untuk menumpas musuh-musuh imam
Ahlul Bait). Ajaran Syi’ah menyebutkan masalah imamah dengan sangat tegas.
Mereka mengatakan barangsiapa yang tidak beriman kepada imamah ini, maka tidak
dianggap sebagai orang yang beriman. Mereka juga mengatakan bahwa imamah ini
berasal dari Rasulullah SAW, yang dimulai dari Ali RA kemudian dikuti oleh
sebelas imam setelah Ali RA. Di dalam kitab Ushul Al-Kafi dari Abi Ja’far
(Al-Baqir) bahwasanya dia telah berkata, “Islam itu dibangun di atas 5 dasar:
Shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah (kekuasaan). Tidak ada rukun yang lebih
ditekankan kecuali rukun al-wilayah ini. Akan tetapi manusia hanya mengambil
empat perkara dan mereka meninggalkan rukun ini, yaitu al-wilayah.” (Ushul
Al-Kafi, jilid 2 hal. 18).
Dari
Zurarah dari Abu Ja’far dia berkata, ”Islam itu dibangun di atas lima perkara:
Shalat, zakat, haji, puasa dan al-wilayah.” Zurarah berkata: Aku bertanya
kepadanya: ”Manakah di antara semua itu yang paling utama?” Abu Ja’far
menjawab, ”Al-wilayah lebih utama, karena al-wilayah adalah kunci dari semua
rukun itu.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 18). Al-Kulaini meriwayatkan dengan
sanadnya dari Ash-Shadiq (AS) bahwasanya beliau bersabda, ”Dasar Islam itu ada
tiga: Shalat, zakat dan al-wilayah. Tidak sah salah satu dari ketiga rukun ini
kecuali dengan menyertakan dua rukun lainnya.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal.
18).
Di
dalam masalah al-wilayah tidak ada rukhshah (keringanan). Dari Abu Abdullah dia
berkata,
”Sesungguhnya
Allah telah mewajibkan lima perkara kepada umat Nabi Muhammad SAW: Shalat,
zakat, puasa, haji dan wilayah (pemerintahan) kami. Allah telah memberikan
keringanan di dalam rukun yang empat. Akan tetapi Allah tidak memberikan
keringanan kepada seorang muslim pun di dalam hal meninggalkan wilayah
(pemerintahan) kami. Tidak, demi Allah. Sesungguhnya tidak ada keringanan di
dalam masalah al-wilayah.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, ”Islam dibangun
atas: Bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bersaksi bahwasanya
Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa di bulan
ramadhan, melaksanakan ibadah haji ke baitullah dan wilayah (pemerintahan) Ali
bin Abi Thalib.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 21).
Bahkan
pada kenyataannya mereka (orang-orang Syi’ah) tidak hanya berpegang kepada
masalah al-wilayah (pemerintahan Ali) saja. Justru mereka melampauinya sampai
ke taraf uluhiyah (ketuhanan). Akhirnya mereka menganggap Ahlu Sunnah bukanlah
orang-orang yang beriman kepada Tuhan yang diimani oleh Syi’ah. Inilah salah
satu titik perbedaan yang paling mendasar. Ni’matullah Al-Jazairi (wafat 1212
H) misalkan di dalam kitab Al-Anwar An-Nu’maniyyah menulis tentang Ahlu Sunnah
wal Jama’ah, ”Sesungguhnya kami tidak bisa bertemu dengan mereka (Ahlu Sunnah)
di dalam satu tuhan dan tidak dalam satu nabi dan satu imam. Hal ini
dikarenakan mereka (Ahlu Sunnah) berkata, ”Sesungguhnya Rabb mereka adalah yang
Muhammad sebagai nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai khalifahnya. Akan tetapi kami
tidak mengatakan dengan tuhan ini dan tidak juga dengan nabi itu. Akan tetapi
kami mengatakan, ”Sesungguhnya tuhan yang khalifahnya (yang benar: Khalifah
nabinya) adalah Abu Bakar adalah bukan tuhan kami dan nabi itu juga bukan nabi
kami.” (Al-Anwar An-Nu’maniyah jilid 2 hal. 279, cetakan Yayasan Al-A’lami
Beirut Libanon).”
Demikian
uraian yang dapat penulis ketengahkan kepada pembaca sekalian mengenai sikap
institusi ilmiah terbesar Sunni yaitu Al-Azhar Al-Syarif melalui berbagai
pernyataan dan pemikiran fatwa para tokoh kuncinya yaitu Prof. Dr. Ahmad
Al-Thayyib dan Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi.
Pandangan
kedua tokoh Muslim terkemuka itu sangat patut dipertimbangkan oleh Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan Daerah, tokoh-tokoh cendekiawan serta
Ormas-ormas Islam di Indonesia, bahkan oleh jajaran Pemerintah Republik
Indonesia untuk menyikapi perkembangan Syiah dan infiltrasinya melalui jalur
pendidikan dan beasiswa serta penerbitan yang menyerang ajaran Sunni di
Indonesia, agar kehidupan keagamaan berlangsung harmonis demi kokohnya NKRI
yang islami dan didukung seluruh elemen umat Islam.*
Komisi
Pengkajian MUI dan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah