Bantahan Terhadap Syi’ah dan
Ingkar Sunnah: Sejarah Pengumpulan al-Qur’an
Syi’ah dan Ingkar
Sunnah
Sebagaimana kita ketahui,
paham Syi’ah belakangan ini marak dibicarakan. Di Indonesia topik tentang
Syi’ah selalu hangat dibicarakan, walau paham ini sebenarnya bukan paham baru,
melainkan telah mulai berkembang sejak zaman Khalifah Ali bin Abi Thallib. Imam
Syafii pun telah berfatwa, “jangan engkau shalat di belakang rafidhi”. Namun
pergerakannya di Indonesia belakangan cukup agresif, baik di akar rumput
sosial, maupun di tingkat elit politik sehingga meresahkan. Karenanya
dibutuhkan dakwah dan pencerahan kepada masyarakat berkaitan kesesatan paham
Syi’ah atau Syi’ah Rafidhah yang masuk ke Indonesia ini (Syi’ah yang ada saat
ini adalah jenis Rafidhah).
Paham Syi’ah ini
memiliki ajaran-ajaran yang menyimpang, diantaranya mengkafirkan para sahabat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali segelintir yang dikategorikan
“ahlul bait” menurut mereka, atau keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan Salman al Farisi yang berasal dari Persia (keluarga Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak dikafirkan hanya Ali bin Abi Thallib,
Fatimah, Hasan dan Husen). Selebihnya, Abu Bakar, Umar, Aisyah mereka vonis
murtad sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syi’ah (Rafidhah
yang ada sekarang ini) juga TIDAK mempercayai al-Qur’an yang kita pegang saat
ini, karena menurut mereka al-Qur’an kita saat ini telah dirubah-rubah oleh
para sahabat. Ini semua adalah perkataan dusta.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا
مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiyallahu ‘ahnu, beliau
berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
”Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku.
Seandainya salah seorang dari kalian berinfaq emas seperti Gunung Uhud, tidak
akan menyamai satu mud (infaq) salah seorang dari mereka dan tidak pula
setengahnya (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dll).
Adapun kaum yang disebut “Ingkar Sunnah”, atau “Inkar
Sunnah” sebagaimana namanya, mengingkari as-sunnah. Mereka hanya menggunakan
al-Qur’an saja. Menolak hadist-hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Persis sebagaimana yang disabdakan beliau:
“Jangan sampai aku dapati seseorang diantara kalian
yang duduk bersandar di sofanya lalu datang kepadanya urusan (perkara) dari
urusanku dari apa-apa yang aku perintah dan aku larang, lalu ia berkata, ‘Kami
tidak mengetahuinya. Apa yang kami dapati dalam Kitabullah, itulah yang kami
ikuti (dan yang tidak terdapat dalam Kitabullah kami tidak ikuti).”
HR Ahmad VI/8, Abu Dawud #4605, at-Tirmidzi #2663,
dll, Lafazh ini milik Abu Dawud, shahih.
“Ketahuilah sesungguhnya aku diberikan Al-Kitab (al-Qur’an) dan yang seperti
al-Qur’an bersamanya. Ketahuilah, nanti akan ada orang yang kenyang di atas
sofanya sambil berkata, ‘Cukuplah bagimu untuk berpegang dengan al-Qur’an
(saja), apa-apa yang kalian dapati hukum halal di dalamnya, maka halalkanlah
dan apa-apa yang kailan dapati hukum haram di dalamnya, maka haramkanlah.’
(Ketahuilah) sesungguhnya apa-apa yang diharamkan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam SAMA seperti yang diharamkan Allah, ketahuilah tidak halal
bagi kalian keledai negeri (keledai piaraan) dan tiap-tiap yang bertaring dari
binatang buas dan tidak halal pula barang pungutan (kafir) mu’ahad kecuali bila
pemiliknya tidak memerlukannya dan barangsiapa yang singgah di suatu kaum, maka
wajib atas mereka menghormatinya. Bila mereka tidak menghormatinya, maka wajib
baginya menggantikan yang serupa dengan penghormatan itu.”
HR Abu Dawud #4604, Ibnu Majah #12, Ahmad IV/131, dll.
shahih.
Bantahan Terhadap Syi’ah dan Kaum Ingkar Sunnah
Berdasar Sejarah Pengumpulan al-Qur’an
Sebenarnya sudah tak terhitung bantahan yang diberikan
terhadap syubhat-syubhat Syi’ah. Demikian pula terhadap pemahaman yang menolak
Sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun kami ingin mengambil sedikit
bagian dalam dakwah ini dari sisi sejarah pengumpulan al-Qur’an. Mengapa?
Karena al-Qur’an DIRIWAYATKAN dari para sahabat. Al Qur’an tidak diturunkan
serta-merta sekaligus satu kitab. Tidak. Melainkan berangsur-angsur. Kemudian
dicatat, disimpan dan dihafal di dada-dada manusia (para sahabat waktu itu).
Kemudian dikumpulkan menjadi satu kitab setelah Rasulullahshallallahu ‘alaihi
wa sallam wafat. Untuk menyingkat pembahasan, silahkan lihat Sejarah
Pengumpulan al-Qur’an.
Kenyataan bahwa al-Qur’an sampai kepada kita melalui
periwayatan dari para sahabat setelah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat,
memberi implikasi:
Kepada Syi’ah
Bahwa dengan mengkafirkan sahabat, berarti MENOLAK AL
QUR’AN YANG ADA SEKARANG INI. Karena al-Qur’an sampai kepada kita melalui
periwayatan para sahabat. Bagaimana mungkin al-Qur’an diriwayatkan oleh orang
yang murtad lagi kafir, sebagaimana tuduhan orang-orang Syi’ah?? Al-Qur’an,
berdasarkan hadist-hadist yang diriwayatkan Imam Bukhari dalam kitab shahihnya
dikumpulkan berdasar perintah Khalifah Abu Bakar atas dorongan Umar bin
Khaththab. Sedangkan kedua orang sahabat
ini adalah yang paling dibenci oleh Syi’ah. Dan hampir semua sahabat kecuali
yang telah disebutkan, dikafirkan. Jadi, implikasi mengkafirkan sahabat adalah
tidak diterimanya al-Qur’an yang sampai pada kita saat ini. Dan ini sangat
tidak masuk akal, apalagi secara dalil sangat tidak bisa diterima. Bukankah
Allah telah berfirman:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan
sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S: al-Hijr: 9)
Apakah mungkin Allah alpa, lupa, lalai dari menjaga
al-Qur’an?? Atau menyalahi janji-Nya??? Sangat tidak mungkin! Sedangkan
sunnah-sunnah Nabi-Nya saja terjaga dari pemalsu-pemalsu hadist, dari
orang-orang yang mengaku nabi setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, apalagi Kitab-Nya! Pasti Allah jaga.
Karenanya, kenyataan bahwa al-Qur’an sampai kepada
kita melalui periwayatan para sahabat merupakan bantahan yang sangat kuat lagi
keras terhadap aqidah Syi’ah (Rafidhah) yang mengkafirkan para sahabat kecuali
segilintir saja dan keyakinan mereka bahwa al-Qur’an yang ada saat ini palsu.
Kepada Kaum Ingkar Sunnah
Sebagaimana telah dibawakan hadistnya di atas, akan
ada orang-orang yang terang-terangan menolak sunnah (ada juga yang menolak
sebagian dari sunnah, misalnya menolak hadist-hadist ahad dan hanya menerima
hadist-hadist mutawatir saja). Mereka hanya mengambil apa yang ada di dalam
al-Qur’an. Dan munculnya orang-orang seperti ini telah disabdakanRasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami pernah berjumpa dengan sejumlah orang
dengan keyakinan bathil semacam ini. Allah izinkan kami berdiskusi dengan salah
seorang dari mereka selama beberapa bulan lamanya (seorang dosen bahasa Arab di
sebuah universitas Islam; Allahu musta’an). Dari diskusi dengan dia, kami
mengetahui syubhat yang ada padanya, yaitu mengapa dia hanya mempercayai
al-Qur’an saja. Menurutnya:
Karena al-Qur’an adalah kalamullah yang otentik. Asli
turun dari Allah. Tidak seperti hadist, hanya perkataan manusia.
Maka kami katakan, jika Anda menolak sunnah (sebagian
ataupun semuanya), berarti dari sisi sejarah pengumpulan al-Qur’an, Anda juga
seharusnya TIDAK MEMPERCAYAI AL-QUR’AN. Kenapa? Karena al-Qur’an, sebagaimana
juga hadist, sampai kepada kita MELALUI JALUR PERIWAYATAN JUGA. Sama seperti
hadist. Maksudnya, dari hafalan dan catatan para sahabat kepada Zaid sang
pengumpul al-Qur’an setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Lihat link yang kami berikan di bagian Syi’ah. Maka, mengapa mereka mempercayai
al-Qur’an, namun tidak mempercayai hadist? Ini suatu keanehan.
Jika mereka mengimani al-Qur’an, seharusnya mereka
mengimani as-Sunnah juga. Karena al-Qur’an diriwayatkan dari Lauh Mahfudz, oleh
Jibril kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu kepada para sahabat,
lalu dikumpulkan dan dibukukan, hingga sampai kepada kita sekarang dan yang
akan datang. Sama seperti hadist. Disampaikan oleh Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam kepada para sahabat, lalu diriwayatkan kepada tabi’in,
tabi’ut tabi’in, dan seterusnya. Hadist pun dibukukan dalam bentuk kitab-kitab
hadist seperti Shahih Bukhari, dan lainnya. Jadi jangan dianggap al-Qur’an itu
turun begitu saja dari langit, sementara hadist hanya perkataan-perkataan
manusia saja.
Tentu kita bisa membantah mereka dari banyak sisi.
Misalnya, perintah mengikuti sunnah ada di dalam al-Qur’an itu sendiri. Namun,
dari diskusi-diskusi, kami mengetahui bahwa orang tersebut (dan sangat boleh
jadi yang lain yang semacam dia juga) tidak mengetahui atau beranggapan bahwa
al-Qur’an itu turun secara berangsur-angsur. Menurut pehamamannya, al-Qur’an
itu turun sekaligus dalam sekali turun, yaitu pada malam Lailatul Qadr.
Terkesan dia baru mengetahui bahwa al-Qur’an itu juga diriwayatkan dan
dikumpulkan dari para sahabat. Allahu musta’an. Semoga Allah memberinya hidayah
dan juga orang-orang yang semisalnya diantaranya melalui tulisan ini.
Sedangkan Taurat yang merupakan firman Allah langsung
kepada Musa dan dalam bentuk-bentuk suhuf-suhuf saja dipalsukan, disembunyikan
dan dirubah-rubah oleh Bani Israil! Jadi
langsung turun dari langit itu bukan ukuran keshahihan.
Jelas ini merupakan hujjah yang sangat lemah. Dan kita
mengetahui bahwa keotentikan al-Qur’an dan as-Sunnah dijaga oleh Allah. Mungkin
selama ini kita hanya mengetahui bahwa yang dijaga oleh Allah hanya al-Qur’an
saja. Pengetahuan ini kurang lengkap.
Penjagaan Allah kepada adz-dzikr yang disebut dalam
surat al-Hijr: 9 di atas adalah mencakup juga as-sunnah, bukan hanya al-Qur’an
saja. Apalagi, perintah mengikuti as-Sunnah banyak terdapat di dalam al-Qur’an
itu sendiri. Ditambah lagi tata cara shalat, zakat, haji, puasa, dan sebagainya
terdapat di dalam as-sunnah. Al Qur’an dan as-Sunnah berjalan beriringan dan
saling melengkapi dan menguatkan. Bagaimana mungkin Allah hanya menjaga
al-Qur’an dan tidak menjaga as-Sunnah? Disamping itu Allah juga berfirman:
““Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya.”
(QS. An-Najm: 3). Apa yang diucapkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mencakup al-Qur’an dan as-Sunnah.
Perbedaannya dengan al-Qur’an yang mulai dikumpulkan
sejak zaman Khalifah Abu Bakar, pengumpulan hadist dalam bentuk kitab memang
terjadi belakangan, terjadi setelah pengumpulan al-Qur’an. Misalnya Kitab al
Muwatha’ Imam Malik. Kitab hadist yang berisi hadist-hadist shahih baru pertama
kali dibuat oleh Imam Bukhari. Namun ilmu hadist dan ilmu sanadnya telah ada
sejak zaman para sahabat, bersambung hingga guru-guru Imam Bukhari dan sang
imam sendiri. Imam Bukhari tinggal mengumpulkan, menelaah, meneliti dan
menyortir. Demikian juga Imam Muslim, murid dari Imam Bukhari. Ahli-ahli hadist
belakangan seperti Imam al-Albani menelaah dari kitab-kitab yang telah
diwariskan para ulama hadist sebelumnya. Semuanya ada ilmunya, hingga Ibnu
Taimiyah pernah berujar, “ilmu sanad adalah bagian dari agama.” Dan ilmu sanad
ini tidak kita jumpai di agama-agama sebelumnya seperti Nasrani dan Yahudi.
Bayangkan, hingga al-Qur’an pun memiliki sanad!
Dengan demikian, sebuah faedah besar yang dapat kita
tarik dari sejarah bahwa pengumpulan al-Qur’an diambil dari hafalan-hafalan dan
catatan-catatan para sahabat adalah, TERTOLAKNYA aqidah Syi’ah dan Ingkar
Sunnah. Aqidah Syi’ah tertolak karena mengkafirkan para sahabat (kecuali
segelintir), sedangkan al-Qur’an kita ambil dari para sahabat, dan seluruh
agama ini juga dibawa oleh para sahabat. Aqidah ingkar sunnah tertolak karena
asumsi dasar mereka bahwa al-Qur’an diturunkan secara langsung sekaligus dari
langit, tanpa periwayatan adalah keliru besar, sehingga jika mereka mengimani
al-Qur’an, mereka harus mengimani as-Sunnah juga. Adapun syubhat-syubhat mereka
yang lain juga telah banyak dibantah. Diantaranya di dalam buku bahasa
Indonesia yang berjudul: “Kedudukan as-Sunnah dalam Syari’at Islam” yang
ditulis Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka at-Taqwa.
Semoga Allah memberi taufik-Nya kepada kita semua.
Aamiin.
Sejarah
Pengumpulan al-Qur’an
Bacalah dengan [ menyebut] nama
Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Paling Pemurah. Yang mengajari [manusia] dengan
perantaraan kalam (pena). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.” (Q.S: al-Alaq: 1-5)
Al-Qur’an tidak diturunkan dalam
bentuk satu kitab sekaligus. Namun al-Qur’an diturunkan secara bertahap, secara
berangsur-angsur. Kurun waktunya adalah 22 tahun lebih sedikit. Para ulama
membagi ayat berdasar tempat turunnya menjadi Makiyyah (turun di Mekkah selama
12 tahun) dan Madaniyyah (turun di Madinah selama 10 tahun). Al Qur’an turun
kadang 1 ayat, kadang beberapa ayat dan juga pernah satu surat sekaligus (surat
al-Kautsar), disesuaikan dengan kejadian yang terjadi di masa itu, disesuaikan
dengan kebutuhan, dan hikmah-hikmah lain yang hanya Allah yang tahu. Kadang
juga satu atau beberapa ayat diturunkan dalam rangka membantah perkataan
orang-orang kafir di masa itu yang argumennya masih tetap sama hingga sekarang,
sehingga al-Qur’an telah membantahnya dari dulu hingga yang akan datang.
Sejarah Pengumpulan al-Qur’an
Pada zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam masih hidup, ketika wahyu / al-Qur’an masih turun, al-Qur’an
dicatat oleh penulis wahyu, tersimpan di dada-dada para sahabat yang
menghafalnya, juga ditulis di tulang-tulang dan kulit.
Setelah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam wafat, usaha untuk mengumpulkan al-Qur’an menjadi satu kitab
pun dimulai. Kita akan ambil dari Shahih Bukhari sebuah riwayat yang
menjelaskan awal kejadian pengumpulan al-Qur’an:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ
حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ السَّبَّاقِ أَنَّ زَيْدَ بْنَ
ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
أَرْسَلَ إِلَيَّ
أَبُو بَكْرٍ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ فَإِذَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ
عِنْدَهُ قَالَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِنَّ عُمَرَ أَتَانِي فَقَالَ
إِنَّ الْقَتْلَ قَدْ اسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِقُرَّاءِ الْقُرْآنِ
وَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلُ بِالْقُرَّاءِ بِالْمَوَاطِنِ
فَيَذْهَبَ كَثِيرٌ مِنْ الْقُرْآنِ وَإِنِّي أَرَى أَنْ تَأْمُرَ بِجَمْعِ
الْقُرْآنِ قُلْتُ لِعُمَرَ كَيْفَ تَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُمَرُ هَذَا وَاللَّهِ خَيْرٌ
فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِذَلِكَ
وَرَأَيْتُ فِي ذَلِكَ الَّذِي رَأَى عُمَرُ قَالَ زَيْدٌ قَالَ أَبُو بَكْرٍ
إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ لَا نَتَّهِمُكَ وَقَدْ كُنْتَ تَكْتُبُ الْوَحْيَ
لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَتَبَّعْ الْقُرْآنَ
فَاجْمَعْهُ فَوَاللَّهِ لَوْ كَلَّفُونِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنْ الْجِبَالِ مَا
كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ
كَيْفَ تَفْعَلُونَ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ أَبُو بَكْرٍ
يُرَاجِعُنِي حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ لَهُ صَدْرَ أَبِي
بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ
مِنْ الْعُسُبِ وَاللِّخَافِ وَصُدُورِ الرِّجَالِ حَتَّى وَجَدْتُ آخِرَ سُورَةِ
التَّوْبَةِ مَعَ أَبِي خُزَيْمَةَ الْأَنْصَارِيِّ لَمْ أَجِدْهَا مَعَ أَحَدٍ
غَيْرِهِ
{ لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ
عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ }
حَتَّى خَاتِمَةِ
بَرَاءَةَ فَكَانَتْ الصُّحُفُ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ
ثُمَّ عِنْدَ عُمَرَ حَيَاتَهُ ثُمَّ عِنْدَ حَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْه
Telah menceritakan
kepada kami Musa bin Isa’il dari Ibrahim bin Sa’d Telah menceritakan kepada
kami Ibnu Syihab dari Ubaid bin As Sabbaq bahwa Zaid bin Tsabit radliallahu
‘anhu, ia berkata; Abu Bakar mengirim para korban perang Yamamah kepadaku, dan
ternyata Umar bin Al Khaththab ada di sisinya. Abu Bakar radliallahu ‘anhu
berkata,
Sesungguhnya Umar
mendatangiku dan berkata, ‘Mayoritas korban perang Yamamah adalah para
penghafal Al Qur`an. Dengan gugurnya mayoritas penghafal Al Qur`an, maka aku
khawatir sebagian besar Al Qur`an juga akan hilang. Maka aku berpendapat,
sebaiknya Anda segera memerintahkan guna melakukan dokumentasi alquran.’ Maka
aku pun bertanya kepada Umar, ‘Bagaimana kamu akan melakukan sesuatu yang belum
pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? ‘ Umar menjawab,
‘Perkara ini, demi Allah adalah ide yang baik.’ Umar selalu membujukku hingga
Allah memberikan kelapangan dadaku, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar.”
Zaid berkata; Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya kamu adalah seorang pemuda yang
cerdas, kami sama sekali tidak curiga sedikit pun padamu. Dan sungguh, kamulah
yang telah menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena
itu, telusurilah Al Qur`an dan kumpulkanlah.” Zaid berkata, “Demi Allah,
sekiranya mereka memerintahkanku untuk memindahkan gunung, niscaya hal itu
tidaklah lebih berat daripada apa yang mereka perintahkan padaku, yakni
dokumentasi alquran.” Zaid bertanya, “Bagaimana kalian melakukan sesuatu yang
belum pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?” Ia
menjawab, “Demi Allah, itu adalah kebaikan.” Abu Bakar terus membujukku, hingga
Allah pun memberikan kelapangan dadaku, sebagaimana Abu Bakar dan Umar
radliallahu ‘anhuma. Maka aku pun mulai menelusuri Al Qur`an, mengumpulkannya
dari tulang-tulang, kulit-kulit dan dari hafalan para Qari`. Dan akhirnya aku
pun mendapatkan bagian akhir dari surat At Taubah bersama Abu Khuzaimah Al
Anshari, yang aku tidak mendapatkannya pada seorang pun selainnya. Yakni ayat:
‘Sungguh, telah datang pada kalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri, yang
sangat berat olehnya kesulitan yang menimpa kalian..'” hingga akhir surat Al
Bara`ah. Lembaran-lembaran Al Qur`an itu pun tetap tersimpan pada Abu Bakar
hingga Allah mewafatkannya. Kemudian beralih. kepada Umar semasa hidupnya, lalu
berpindah lagi ke tangan Hafshah binti Umar radliallahu ‘anhu
(HR Bukhari # 4603).
-Catatan: surat
al-Bara’ah adalah nama lain dari surat at-Taubah.
Berarti bagian akhir
dari surat at-Taubah adalah bagian terakhir dari al-Qur’an yang dikumpulkan.
Hadist serupa juga terdapat dalam Shahih Bukhari di beberapa tempat. Seperti
misalnya hadist bernomor 6654 di Kitab Hukum-hukum, Bab “Sekertaris Hendaknya Terpercaya dan Cerdas”
(karena usaha ini walau idenya digagas oleh Umar, lalu diperintahkan oleh Abu
Bakar, namun yang melaksanakannya adalah Zaid, seorang pemuda cerdas yang telah
menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Agak melenceng
sedikit dari pembahasan utama, yaitu bahwa ada sebagian orang yang menjadikan
usaha pengumpulan al-Qur’an ini sebagai bukti bolehnya perbuatan bid’ah (suatu
perkara agama atau ibadah yang dilakukan tanpa landasan syari’at, tanpa ada
contoh atau perintah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Maka persangkaan
keliru ini kami jawab sebagai berikut:
Pertama sekali,
pengumpulan al-Qur’an ini bukan suatu bentuk ibadah, atau ritual, seperti
shalat, puasa, haji, dll. Berbeda dengan ritual maulid nabi, ritual tahlilan,
dan yang sejenisnya yang merupakan bid’ah. Sedangkan pengumpulan al-Qur’an
adalah sebuah METODE agar al-Qur’an dapat diajarkan dan dipelajari dengan lebih
mudah. Sama juga ketika al-Qur’an dibuat dalam bentuk digital, dalam bentuk
kaset, CD, dlsb, itu semua hanya metode saja untuk menyebarkannya, mempermudah
mempelajarinya, dst. Adapun al-Qur’annya itu sendiri tetap, TIDAK BERUBAH
SAMA-SEKALI. Baik dari segi tulisan, maupun dari segi tata cara bacaannya.
Adalah bid’ah jika misalnya cara membacanya dirubah (walau tidak dikumpulkan).
Sama, adalah bid’ah misalnya jika haji tidak ke Baitullah, tapi ke tempat lain,
atau ke Baitullah, tapi tata caranya dirubah.
Al-Qur’an telah
disebut oleh Allah di dalam al-Qur’an itu sendiri sebagai “KITAB”. Jadi
membuatnya sebagai kitab bukanlah bid’ah karena Allah sendiri telah menyebutnya
dengan kata “kitab”.
Upaya pengumpulan
al-Qur’an telah mulai dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri. Sebagaimana kita lihat pada hadist di atas bahwa Zaid adalah salah
satu penulis wahyu semasa beliau hidup, ketika wahyu masih turun.
Apa yang dilakukan
oleh Abu Bakar dan Umar ini adalah
sunnah khulafaur rasyidin, yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
perintahkan kita untuk MENGIKUTI mereka. “Aku wasiatkan pada kalian untuk
bertakwa kepada Allah serta mendengarkan dan mentaati (pemerintah Islam),
meskipun yang memerintah kalian seorang budak Habsyi. Dan sesungguhnya orang
yang hidup sesudahku di antara kalian akan melihat banyak perselisihan. Wajib
kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin Mahdiyyin (para
pemimpin yang menggantikan Rasulullah, yang berada di atas jalan yang lurus,
dan mendapatkan petunjuk). Berpegang teguhlah kalian padanya dan gigitlah ia dengan
geraham-geraham kalian. Serta jauhilah perkara-perkara yang baru. Karena setiap
perkara yang baru adalah bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah sesat.“ (HR Abu
Dawud, shahih lighairihi). Imam Asy-Syathiby rahimahullah berkata: “Rasulullah
menggandengkan -sebagaimana engkau lihat– sunnah Khulafaur Rasyidin dengan
sunnah beliau, dan bahwa termasuk mengikuti sunnah beliau adalah dengan
mengikuti sunnah mereka. Sedangkan segala perkara yang baru menyelisihi sunnah
tersebut, tidak termasuk sunnah sama sekali…”
Pengumpulan dan
pembukuan al-Qur’an dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin, sedangkan perayaan
maulid misalnya, tidak. Jadi jelaslah mana yang bid’ah, mana yang bukan.
Seyogyanya tidak dicampuradukkan.
Jadi pengumpulan
al-Qur’an adalah disyari’atkan. Sedangkan sesuatu yang disyari’atkan tentunya
bukan bid’ah. Bid’ah adalah suatu perkara dalam agama yang tidak disyari’atkan
alias dibuat-buat, namun seperti disyari’atkan. Seperti misalnya rahbaniyyun
dalam Kristen (tidak nikah bagi pendeta atau suster; padahal Allah tidak
mensyari’atkan seperti itu), juga perayaan Natal (tidak ada di dalam Injil,
termasuk tanggal 25 Desembernya), juga pengampunan dosa, dll. Dalam Islam ada
maulid Nabi, tahlilan, perayaan tahun baru Islam, dll yang semuanya tidak
disyari’atkan. Namun kini kita lihat ritual-ritual tersebut seolah-olah
disyari’atkan, bahkan diwajibkan. Padahal tidak sama sekali. Itulah bid’ah.
Ibnu Katsir menulis
di dalam kitab tafsirnya, “pengumpulan al-Qur’an ini merupakan usaha yang
paling baik, besar dan agung yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar ash-Shiddiq,
sehingga Allah Ta’ala menempatkannya pada posisi tepat setelah nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam…Dan inilah rahasia dibalik firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (Q.S: al-Hijr: 9)
Ibnu Katsir
melanjutkan,
“Tugas ini merupakan
amanah yang paling besar, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menitipkan hal tersebut kepada mereka untuk menyampaikannya kepada orang-orang
yang hidup setelahnya, sebagaimana difirmankan Allah ta’ala:
“Hai Rasul, sampaikan
apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu.” (Q.S: al-Maaidah: 67)
Jadi kita lihat baik
secara dalil naqli maupun aqli, pengumpulan al-Qur’an adalah usaha yang sangat
mulia dan tidak ada ulama yang menganggapnya sebagai bid’ah. Bahkan para ulama
menganggapnya upaya yang sangat mulia. Seandainya belum jelas, kami sarankan
untuk mempelajari lagi arti “bid’ah” secara ilmu syar’i, bukan secara bahasa
(Arab) semata.
Demikianlah, sejarah pengumpulan
al-Qur’an adalah upaya yang sangat mulia dari para sahabat dan kita merasakan
manfaatnya sampai sekarang. Ini merupakan kenikmatan yang luarbiasa dari Allah
kepada kita. Dan sebagai wujud penjagaan Allah terhadapnya. Marilah kita
perbanyak membaca, menghafal dan mentadaburi al-Qur’an sebagai wujud rasa
syukur kita atas karunia Allah yang sangat besar ini. Sebelumnya al-Qur’an
dihafal di dada-dada manusia dan ditulis di batu dan sebagainya oleh para
sahabat. in sya Allah kedepan akan kita nukil tahap selanjutnya: penulisan
al-Qur’an, yaitu di zaman Khalifah Utsman bin Affan.
Fungsi-fungsi
as-Sunnah (Hadits) dalam Kaitannya dengan al-Qur’an
Sesungguhnya Islam tidak akan
lengkap tanpa as-Sunnah. Kami telah mengungkapkan begitu banyak dalil tentang
kehujjahan as-Sunnah dalam tulisan tentang “ketaatan kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa dipisahkan dari ketaatan kepada
Allah”. Sebelumnya, kita pun telah membahas ‘makna dari as-Sunnah’. Maka kini
sudah waktunya kita membahas dan mengungkap, apa saja fungsi-fungsi dari hadits
atau as-Sunnah itu dalam kaitannya
dengan al-Qur’an.
“Aku tinggalkan 2 perkara yang
kalian TIDAK AKAN TERSESAT SELAMANYA jika kalian berpegang teguh kepada
keduanya: Kitabullah wa Sunnati. Keduanya tidak akan berpisah hingga bertemu di
telagaku.” HR Hakim, shahih
Kami akan mengambil rujukan dari
sebuah buku yang bagus sekali mengenai masalah ini yang berjudul “Kedudukan
as-Sunnah dalam Syari’at Islam,” karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
Penerbit Pustaka at-Taqwa, cetakan ke-3, 2009.
Maka fungsi-fungsi dari hadits
atau as-Sunnah terkait dengan al-Qur’an adalah:
1)As-Sunnah sebagai pemerinci,
penafsir ayat-ayat yang mujmal (global) dari al-Qur’an.
2)As-Sunnah memberikan taqyiid
(batasan).
3)As-Sunnah memberikan
takhshiish (pengkhususan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang mutlak dan ‘aam.
Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata:
“Hubungan as-Sunnah dengan al-Qur’an ada tiga macam:
1)Terkadang as-Sunnah berfungsi
sebagai penguat hukum yang sudah ada di dalam al-Qur’an
2)Terkadang as-Sunnah berfungsi
sebagai penafsir dan pemerinci hal-hal yang disebut mujmal (global) dalam
al-Qur’an
3)Terkadang as-Sunnah menetapkan
dan membentuk hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an.
Hukum-hukum tambahan itu
merupakan tasyri’ (pensyariatan) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
wajib kita taati, tidak boleh mengingkarinya. Tasyri’ tersebut sama sekali
bukan mendahului al-Qur’an, bahkan sebagai wujud pelaksanaan perintah Allah
agar kita mentaati Rasul-Nya.
“Barangsiapa yang mentaati Rasul
itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah…”
(Q.S: an-Nisaa’: 80)
“Katakanlah: “Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku…”
(Q.S: Ali Imran: 31)
Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani rahimahullah berkata,
“Sesungguhnya sunnah yang
memiliki kedudukan yang agung dalam pembentukan syariat hanyalah sunnah yang
telah tetap dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berbagai jalur
periwayatan ilmiah dan sanad shahih yang telah dikenal oleh para ulama yang
memahami hadits dan para perawinya (pen: tidak semua ulama paham ilmu hadits,
apalagi ustadz, apalagi sekedar pemberi ceramah; pemberi ceramah belum tentu
ustadz). Sunnah yang dimaksud BUKANLAH sunnah yang terdapat dalam beragam
kitab, baik dalam kitab tafsir, kitab fiqih, at-targhib wat tarhib, kitab
raqa-iq, kitab nasihat, dll. Sebab di dalamnya terdapat banyak HADITS LEMAH,
MUNGKAR DAN PALSU, bahkan pada sebagiannya terdapat hadits yang Islam sendiri
berlepas diri darinya. Contoh hadits Harut dan Marut dan kisah al-Gharaniq…”
Beliau melanjutkan,
“Maka kewajiban bagi para ulama,
terlebih bagi mereka yang menyebarkan fiqih, serta fatwa mereka kepada manusia,
agar TIDAK MERASA PUAS berhujjah (berdalil) dengan hadits, KECUALI SETELAH
MEMASTIKAN KESHAHIHANNYA. Karena, kitab-kitab fiqih yang biasa mereka jadikan
rujukan DIPENUHI dengan hadits-hadits lemah, mungkar, dan tidak ada
asal-usulnya, sebagaimana hal itu telah diketahui di kalangan para ulama”.
(Manzilatus Sunnah fil Islaam wa Bayaan annahu Laa Yustaghna ‘anhaa bil
Qur-aan, hal 15).
Kaidah di atas adalah kaidah yang
sangat penting diketahui umat, karena salah satu sumber perselisihan yang
banyak saat ini karena kecerobohan, kejahilan dan ketidakmautahuan para
penceramah agama akan hal ini(kami tidak mengatakan ‘guru agama’, karena kalau
guru, seharusnya tidak melakukan hal ini; orang yang menyandang predikat ‘guru’
haruslah orang yang bertanggungjawab dan dapat mempertanggungjawabkan ilmunya
yang diajarkannya kepada manusia, apalagi ilmu akhirat; kebanyakan yang beredar
di tengah masyarakat kita saat ini adalah ‘penceramah agama’, orang yang pandai
berkata-kata, orator, bahkan menghibur manusia, entertainer yang tahu beberapa
ayat atau hadits, dsb, namun tidak memiliki ilmu agama yang memadai).
Kenapa kami katakan kecerobohan
dalam berdalil, membawakan ‘hadits-hadits’ palsu, mungkar, dsb adalah sumber
perselisihan? (hadits palsu sesungguhnya bukan hadits, dan bathillah orang yg
mengatakan “walau palsu kan hadits juga!” Kita jawab, “maukah bapak/ibu kami beri uang palsu? Walau palsu kan uang
juga?”) Kecerobohan dalam berdalil, membawakan ‘hadits-hadits’ palsu, mungkar,
dsb adalah salah satu sumber perselisihan, karena hadits yang shahih TIDAK AKAN
BERTENTANGAN DENGAN AL-QUR’AN DAN DENGAN HADITS-HADITS SHAHIH LAINNYA. Tidak
ada pertentangan. Tidak ada perselisihan. Tapi kalau yang palsu, dkk, biasanya
akan bertentangan.
Perhatikanlah ayat yang mulia
ini:
an-Nisaa': 82
an-Nisaa’: 82
“Maka apakah mereka tidak
memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.S: an-Nisaa:
82)
Ayat ini menunjukkan, semua yang
datang dari Allah (termasuk yang datang dari Rasul-Nya) tidak akan bertentangan
satu sama lain. Tapi tidak demikian dengan hadits yang tidak shahih atau tidak
hasan, dia akan menimbulkan silang-sengketa dan percekcokan. Kenapa? Karena
bukan datang dari Allah!
Maka dari itulah web kami ini
membawa misi, “kembalilah kepada al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih. Tidak
cukup sampai disitu, tetapi juga sebagaimana yang dipahami oleh generasi awal
umat ini (yaitu sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) agar hilanglah segala
sengketa dan perselisihan yang tidak produktif, bahkan memecah-belah umat.
(ketahuilah, sumber perselisihan lainnya adalah ‘pemahaman’. Haditsnya shahih,
namun dipahami dengan serampangan atau sesuai selera dan kepentingan pihak
tertentu; karenanya kami juga memberi penekanan kepada masalah pemahaman ini
secara bertahap)
Kini kita masuk contoh-contoh
fungsi-fungsi atau kedudukan hadits atau as-Sunnah berkenaan dengan al-Qur’an:
1)As-Sunnah pemerinci, penafsir
ayat-ayat yang mujmal (global) dari al-Qur’an
Contoh yang paling mudah adalah
tentang TATA CARA SHALAT. Al-Qur’an hanya mengeluarkan perintah “dirikanlah
shalat”. Adapun caranya, tidak diterangkan, melainkan lewat hadits-hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam definisi Ibnu Qoyyim, ini masuk point
ke-3: “menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat dalam al-Qur’an”).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Shalatlah kalian sebagaimana
kalian melihat aku shalat.”
HR Bukhari
Kemudian cara shalat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, mulai dari wudhu, berdiri, mengangkat tangan
takbiratul ihram, pandangan mata, posisi kaki, posisi tangan, dst, dijelaskan
dalam berbagai hadits dan riwayat para sahabat yang melihat langsung shalat
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikian pula bagaimana tata cara
makmum masbuq, kapankah seseorang yang masbuq dianggap memperoleh 1 rakaat,
dslb.
Contoh lain adalah tata cara
ibadah haji.
Al-Qur’an memerintahkan ibadah
haji:
“Mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan
perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.”
(QS. Ali Imron: 97).
Ayat ini adalah dalil tentang
wajibnya haji. Kalimat dalam ayat tersebut menggunakan kalimat perintah yang
berarti wajib.
Namun tata cara pelaksanaan haji
tidak dijelaskan, melainkan di dalam sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam. Dasar hukumnya:
“Ambillah dariku tata cara
manasik haji kamu sekalian.”
HR Muslim, Abu Dawud, dll.
2)As-Sunnah memberikan taqyiid
(batasan) kemutlakan ayat al-Qur’an
Misal:
“Laki-laki yang mencuri dan
perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana.” (Q.S: al-Maaidah: 38)
Ayat ini tidak menjelaskan sampai
dimanakah batas tangan yang harus dipotong. Tapi dari as-Sunnah-lah didapat
penjelasannya, yaitu sampai pergelangan tangan. (Subulus Salaam IV/151-152).
Di sini as-Sunnah berfungsi
sebagai pembatas kemutlakan suatu ayat al-Qur’an.
3)As-Sunnah memberikan
takhshiish (pengkhususan) terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang mutlak dan ‘aam.
Misalnya tentang hukum waris:
” Allah mensyari’atkan bagimu
tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak
lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan…” (Q.S: an-Nisaa’: 11)
Ayat ini ditakhshiish oleh
as-Sunnah sbb:
>Tidak boleh orang tua kafir
mewariskan kepada anak yang muslim atau sebaliknya (HR Bukhari, Muslim)
>Pembunuh tidak mewariskan
apa-apa (HR Tirmidzi, shahih)
4)As-Sunnah menetapkan hukum
yang tidak terdapat di dalam al-Qur’an:
Walau point dari Ibnu Qoyyim
rahimahullah ini sudah kita sebutkan di point pertama, tidak ada salahnya kita
ulang kembali karena pentingnya. Misalnya masalah makanan haram yang ditetapkan
pada ayat:
“Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala.” (QS. Al Maidah: 3)
Bangkai adalah haram dari ayat di
atas, demikian pula darah. Tapi bangkai ikan dan belalang halal berdasar sunnah:
“Kami dihalalkan dua bangkai dan
darah. Adapun dua bangkai tersebut adalah ikan dan belalang. Sedangkan dua
darah tersebut adalah hati dan limpa.” (HR. Ibnu Majah no. 3218. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Kemudian keledai peliharaan juga
haram berdasarkan as-Sunnah, walau pada ayat di atas hanya daging babi saja
yang disebutkan haram.
“Seseorang datang kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata, “Daging keledai telah banyak di
konsumsi. ” Selang beberapa saat orang tersebut datang lagi sambil berkata,
“Daging keledai telah banyak di konsumsi.” Setelah beberapa saat orang tersebut
datang lagi seraya berkata, “Keledai telah binasa.” Maka beliau memerintahkan
seseorang untuk menyeru di tengah-tengah manusia, sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya melarang kalian mengkonsumsi daging keledai jinak, karena daging itu
najis.” Oleh karena itu, mereka menumpahkan periuk yang di gunakan untuk
memasak daging tersebut.” (HR. Bukhari no. 5528 dan Muslim no. 1940)
Daging kucing, harimau, serigala
dan hewan-hewan buas bertaring lainnya juga haram berdasarkan as-Sunnah, walau
pada al-Qur’an tidak disebutkan.
“Setiap binatang buas yang
bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata:
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap
jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim)
Dua buah artikel bagus mengenai
makanan-makanan haram:
As-Sunnah juga menetapkan
haramnya laki-laki mengenakan kain sutera, juga perhiasan emas dan hal ini
tidak ditetapkan di dalam al-Qur’an.
“Barangsiapa yang memakai kain
sutera di dunia maka ia tidak akan memakainya nanti di akhirat.” (HR. Bukhari
Muslim)
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang cincin emas (bagi laki-laki)”. (HR. Bukhari dan Muslim)
“Emas dan sutra dihalalkan bagi
para wanita dari ummatku, namun diharamkan bagi para pria’.” (HR. An Nasai no.
5148 dan Ahmad 4/392. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits inishahih)
Bahkan ketika qashar shalat
diturunkan hukumnya oleh Allah (Q.S: Annisa: 101), lalu Umar bertanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengapa ketika sudah dalam keadaan
aman, tidak takut diserang lagi (pen: namun masih dalam safar) Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tetap melakukan qashar shalat? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab itu
sebagai sedekah dari Allah bagi kalian (HR Muslim). Ini semua merupakan hukum-hukum
yang dijelaskan di dalam as-sunnah nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun
tidak di dalam al-Qur’an.
Kita lihat, agama Islam tidak
akan sempurna tanpa as-Sunnah. Tanpa as-Sunnah kita tidak akan dapat memahami
dan menjalani agama ini dengan sempurna. Minimal dengan baik. Kita tidak akan
dapat masuk Islam secara kaffah.
al-Baqarah: 208
al-Baqarah: 208
“Wahai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu semuanya kedalam Islam secara kaffah, dan janganlah kamu turut
langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya dia itu musuh yang nyata bagimu.” (QS:
al-Baqarah:208)
Tapi ini bukan pula berarti
sebaliknya; bahwa al-Qur’an itu tidak sempurna. Bukan. Karena perintah untuk
mengikuti as-sunnah justru ada di dalam al-Qur’an. Allah memerintahkan kita
untuk taat pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan
dalam ayat pembuka dan juga link artikel di awal. Artinya, al-Qur’an dan
as-Sunnah tidak dapat dipisahkan. Dan Allah Maha Bijaksana, mengapa sebagian
hukum-hukum Islam terdapat di dalam as-sunnah.
Allah SWT berfirman:
“agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (Q.S: an-Nahl: 44)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam diperintah Allah untuk MENERANGKAN apa yang telah diturunkan, yaitu
al-Qur’an.
“Orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: “Kami beriman kepadanya, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.”(Q.S:
Ali Imran: 7)
Baik al-Qur’an mapupun as-sunnah
semuanya dari sisi Allah SWT.
Demikianlah fungsi-fungsi dari
hadits atau as-Sunnah itu khususnya dalam kaitannya dengan al-Qur’an.
Alhamdulillah, demikianlah pembahasan singkat ini. Semoga Allah selalu
melimpahkan taufik dan hidayahnya kepada kita dan mengaruniakan ilmu yang
bermanfaat kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan
kepada nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.