Berdakwah kepada masyarakat
bukanlah perkara yang mudah, tak selalu diterima dan tak jarang mendapat
penolakan keras. Sebagian menerima, sebagian malah lari dari dakwah kita. Hidayah memang milik Allah, namun Dia
membuat hidayah itu teranugerahi kepada seseorang melalui usaha. Dan tentunya,
usaha kita mengajak manusia kepada hidayah mesti merujuk pada sebaik-baik
teladan, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika mengutus sahabat
Mu’adz bin Jabal dan Abu Musa Al Asy’ari -radhiyallahu ‘anhumaa- untuk
berdakwah ke Yaman, beliau menyampaikan pesan emas kepada kedua sahabat
tersebut:
“Berilah kemudahan dan jangan
mempersulit, Berilah kabar gembira dan jangan membuat mereka lari..” [HR
Bukhari dan Muslim].
Meskipun pesan tersebut singkat,
namun maknanya sangat luas dan mendalam. Disebutkannya “jangan mempersulit”
sebagai antonim setelah “berilah kemudahan”, memberikan faidah penegasan, bahwa
perintah tersebut tidak hanya sekali saja, namun dalam segala kondisi. Karena
bisa jadi seseorang memberi kemudahan pada orang lain di satu waktu namun di
waktu yang lain dia mempersulit. Begitu pula perintah memberi kabar gembira dan
larangan membuat lari. Demikian yang dijelaskan oleh Imam An Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim.
Dalam sebuah riwayat dalam
Shahihain, diceritakan bahwa Mu’adz bin Jabal shalat Isya bersama Rasulullah
lalu pulang ke masjid kampungnya di Bani Salimah (sekarang dikenal dengan
Masjid Qiblatain) dan mengimami shalat orang-orang di sana dengan membaca surat
Al Baqarah. Ada seorang laki-laki yang keluar dari barisan dan shalat sendiri.
Maka setelah itu Mu’adz menegurnya. Laki-laki ini tidak terima lalu mengadu
kepada Rasulullah bahwa Mu’adz shalatnya panjang, sedangkan dia telah lelah
bekerja seharian. Rasulullah pun menegur Mu’adz, lalu bersabda, “Sesungguhnya
di antara kalian ada yang membuat lari orang lain.”
Barangkali ada di antara kita
yang masuk ke dalam sabda beliau tersebut? Karena kita sering tidak sadar telah
membuat orang lain lari dengan mendakwahkan hal-hal yang memberatkan
mereka,yaitu dengan menekankan hal-hal yang sunnah menjadi seolah wajib, dan
menekankan hal mubah seolah-oleh makruh bahkan haram.
Misalnya, mendakwahi orang yang
shalat fardhunya masih sering bolong. Tentunya kita dakwahkan ke mereka bahwa
shalat itu yang wajib hanya 5 kali, sekali shalat juga paling sekitar10 menit.
Mudah. Jangan dulu didakwahi suruh shalat rawatib, dhuha, dan shalat sunnah
lainnya. Inilah wujud dari kabar gembira bahwa Islam itu mudah dan tidak sulit.
Tentang bersuci, amat banyak
kemudahan dari Islam mengenainya. Jika sedang di daerah yang susah air, Anda
boleh bertayamum, dan dijadikan oleh Allah seluruh tempat di bumi ini suci
untuk bersuci dan tempat sujud. Bisa shalat dimana saja. Anda pegawai di
bengkel, tubuh dan baju belepotan oli? Jangan khawatir, oli tidak najis, dan
anda bisa gunakan sabun untuk mencuci anggota tubuh yang kena wudhu. Tidak
perlu menunda apalagi sampai tidak shalat hanya karena masalah-masalah semacam
itu. Dan jika Anda musafir, terdapat kemudahan untuk jama’ shalat.. Shalat bisa
kapan saja, dimana saja.
Tentang pakaian, apakah
sehari-hari harus pakai gamis, berpeci, dan celana setengah betis? Jawabannya,
tentu tidak. Sebagian dari itu sunnah saja dan sebagian yang lain mubah.
Kondangan pake batik instead of baju koko? Tidak masalah, malah bagus. Pakaian
boleh apa saja asal menutup aurat dengan sempurna, celana boleh sampai tepat di
mata kaki. Jilbab tidak harus hitam, boleh warna lain asal tidak mengundang
perhatian. Percuma warna hitam kalau bordirnya banyak dan di tempat yang
menggoda pula.
Tentang menuntut ilmu, apakah
harus selalu hadir di majelis ilmu terus padahal kondisi tidak memungkinkan,
harus bekerja menghidupi keluarga? Mari kita simak penuturan sahabat ‘Umar bin
Khaththab: Sesungguhnya aku dan seorang tetanggaku dari kaum Anshar dari
kabilah Bani Umayyah bin Zaid, yang bertempat tinggal di daerah atas kota
Madinah, saling bergiliran dalam hal menghadiri majelis Nabi –shalallahu
‘alaihi wa sallam-, sehingga ia hadir satu hari, dan aku pun hadir hari
selanjutnya. Bila aku yang mendapat giliran untuk hadir, maka aku pun
menyampaikan kepadanya kabar yang terjadi pada hari itu, berupa perintah atau
lainnya. Dan bila ia yang hadir, ia pun melakukan hal yang sama. [HR Bukhari]
Itu cerita zaman dulu di mana
fasilitas tidak selengkap sekarang. Di masa sekarang, kalau memang tidak sempat
hadir, masih ada mp3 rekaman kajian, masih ada buku yang bisa dibaca, masih ada
radio dakwah yang tersebar di banyak kota, masih bisa tanya teman. Banyak
sekali sarana menuju ilmu, sehingga tidak ada alasan ketinggalan ilmu.
Tulisan ini bukan untuk
melemahkan semangat kita untuk menjalankan yang sunnah dan menjauhi yang mubah,
namun untuk memberi pengertian bahwa seringkali kita mendakwahkan sesuatu yang
tanpa kita sadari ternyata memberatkan objek dakwah kita, yaitu dengan
mengesankan bahwa yang sunnah itu wajib, dan yang mubah itu makruh atau haram.
Dakwahkanlah bagi mereka yang awam, yang mudah dan tidak menyulitkan, supaya
tidak lari duluan. Yang wajib dulu dan yang paling mudah mereka terima, sebelum
yang sunnah. Ketika mendakwahkan hal-hal yang diharamkan Allah, juga perlu
pelan-pelan. Jangan sampai, belum apa-apa sudah bid’ah, sudah haram ini itu.
Mungkin tidak ada yang salah dari yang anda dakwahkan itu, bahwa ini bid’ah,
ini haram, dan lain-lain, namun semua itu ada urutannya, ada tahapnya.
Semoga tulisan ini bisa sebagai
pengingat bagi kita semua yang berjuang di medan dakwah.Wallahu a’lam.
Penulis: Ristiyan Ragil P
Artikel Muslim.Or.Id