"Kisah Atha bin Abi Rabah"
- Ustadz Dr. Khalid Basalamah, MA. - Kisah Inspiratif
Atha’
Bin Abi Rabah, Sang Pereguk Ilmu yang Zuhud
“Tiada aku melihat
seorangpun yang lebih mengharapkan wajah Allah Swt., dengan ilmunya melainkan
tiga orang, Atha’…Thawus… dan Mujahid” – Salamah bik Kuhail
Kita berada di
sepuluh hari terakhir bulan Dzulhijah tahun 97 H. Saat di mana Baitul ‘Atiq
dibanjiri oleh lautan manusia yang menyahut panggilan Allah hingga memenuhi
seluruh ruas jalan. Ada yang berjalan kaki dan ada yang berkendaraan. Ada yang
lanjut usia ada pula yang muda belia, yang laki-laki maupun yang wanita, ada
yang putih ada pula yang hitam warna kulitnya, ada orang Arab ada pula orang
‘Ajam, ada raja dan ada pula rakyat jelata.
Mereka datang
berbondong-bondong menyahut seruan Rajanya manusia dengan penuh khusyuk,
tunduk, penuh harap dan suka cita.
Sementara itu,
Sulaiman bin Abdul Malik, Khalifah kaum muslimin, raja tertinggi di dunia
sedang berthawaf di Baitul ‘Atiq tanpa mengenakan penutup kepala, tanpa alas
kaki, tanpa memakai apa pun selain sarung dan rida’. Tak ada bedanya antara
dirinya dengan rakyat biasa. Beliau selayaknya saudara-saudaranya karena Allah.
Di belakangnya turut kedua putranya. Mereka laksana bulan purnama yang terang
dan bercahaya, atau bagai sekuntum bunga merekah yang indah dan wangi baunya.
Usai melakukan
Thawaf, khalifah menghampiri seorang kepercayaannya dan bertanya: “Di manakah
temanmu itu?” Sambil menunjuk ke sudut barat Masjidil Haram dia menjawab: “Di
sana, beliau sedang berdiri untuk shalat.”
Dengan diiringi kedua
putranya khalifah bertandang menuju lokasi yang dimaksud. Para pengawal
khalifah bermaksud menyibak kerumunan untuk melapangkan jalan bagi khalifah
agar tidak berdesak-desakan, namun beliau mencegahnya, sembari berkata: “Ini
adalah suatu tempat yang tidak membedakan antara raja dan rakyat jelata. Tiada
yang lebih utama antara satu dengan yang lain sedikitpun melainkan karena amal
dan takwanya. Boleh jadi seseorang yang kusut dan berdebu diterima ibadahnya
oleh Allah dengan penerimaan yang tidak diberikan kepada para raja.”
Kemudian beliau
berjalan menuju laki-laki yang dimaksud, beliau dapati, orang yang dicari
tengah dalam keadaan shalat, hanyut dalam rukuk dan sujudnya. Sementara
orang-orang duduk di belakang, di kanan dan kirinya. Maka duduklah khalifah di
penghabisan majelis begitu pula dengan kedua anaknya.
Kedua putra mahkota
itu mengamati dengan seksama, seperti apa gerangan laki-laki yang dimaksud oleh
Amirul Mukminin. Hingga beliau berkenan duduk bersama manusia banyak untuk
menunggu laki-laki tersebut menyelesaikan shalatnya.
Ternyata dia adalah
seorang tua Habsyi yang berkulit hitam, keriting rambutnya dan pesek hidungnya.
Apabila duduk laksana burung gagak yang berwarna hitam.
***
Setelah merampungkan
shalatnya, Syaikh itu menolehkan pandangannya ke arah di mana khalifah duduk,
maka Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik segera mengucapkan salam dan orang tua
itupun membalas dengan yang serupa.
Di sini khalifah
menghadap orang tua tersebut dan menggunakan kesempatan itu untuk bertanya
tentang manasik haji, rukun demi rukunnya, dan orang tua tadi menjawab setiap
pertanyaan yang diajukan. Dia jelaskan dengan rinci dan tidak menolak
kesempatan bagi yang ingin menambahnya. Dia sandarkan seluruh pendapatnya
kepada hadits Rasulullah Saw.
Setelah merasa cukup
dengan pertanyaannya, khalifah mendo’akan Syaikh itu agar mendapatkan balasan
yang lebih baik, lalu khalifah dan rombongan itu pun pergi, beranjak menuju
tempat sa’i.
Di tengah perjalanan
Sa’i antara Shafa dan Marwah, kedua pemuda itu mendengar seruan para penyeru
“Wahai kaum muslimin.. tiada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha’
bin Abi Rabah.. jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi
Najih.”
Seorang dari pemuda
itu langsung menoleh kepada ayahnya sembari berkata: “Petugas amirul mukminin
menyuruh manusia agar tidak meminta fatwa kepada seorangpun selain Atha’ bin
Abi Rabah dan temannya, namun mengapa kita tadi justru datang dan meminta fatwa
kepada seorang laki-laki yang tidak memberikan prioritas kepada khalifah dan
tidak pula memberi hak penghormatan khusus kepadanya?”
Sulaiman berkata
kepada putranya: “Wahai anakku, pria yang engkau lihat dan engkau melihat kami
berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama Atha’ bin Abi Rabah, orang
yang berhak berfatwa di masjid Al-Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin
Abbas dengan bagian yang banyak.”
Kemudian beliau
melanjutkan: “Wahai anakku.. carilah ilmu.. karena dengan ilmu, rakyat bisa
menjadi terhormat.. para budak bisa melampaui derajat para raja..”
***
Ungkapan Sulaiman
bin Abdul Malik seperti yang beliau katakan kepada putranya tentang keutamaan
ilmu tidaklah berlebihan. Atha’ bin Abi Rabah sebagai bukti nyata. Masa kecil
beliau hanyalah sebagai seorang budak milik seorang wanita penduduk Mekkah.
Hanya saja Allah Swt memuliakan budak Habsyah ini sejak dia pancangkan kedua
telapak kakinya di atas jalan ilmu.
Beliau membagi
waktunya menjadi tiga bagian, sebagian untuk majikannya, beliau berkhidmat
dengan baik dan menunaikan hak-hak majikannya, sebagian lagi beliau pergunakan
waktunya untuk menyendiri bersama Rabb-nya, beliau tenggelam dalam peribadatan
yang begitu suci dan ikhlas karena Allah Swt.
Sepertiga lainnya
beliau pergunakan untuk berkutat dengan ilmu. Beliau datangi sisa-sisa para
sahabat Rasulullah Saw yang masih hidup, dan berhasil mereguk ilmu dari
sumbernya yang jernih.
Beliau mengambil
ilmu dari Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin
Zubair dan sahabat-sahabat lain yang mulia ridhwanullah ‘alaihim hingga dadanya
penuh dengan ilmu, fikih dan riwayat dari Rasulullah Saw.
***
Begitu majikan
penduduk Mekah melihat budaknya telah menjual dirinya kepada Allah.. dan
berbakat untuk menuntut ilmu.. maka ia cabut haknya terhadap Atha’, dia
merdekakan budaknya demi taqarrub kepada Allah Swt, dengan harapan
mudah-mudahan dia dapat memberikan manfaat bagi Islam dan kaum muslimin.
Sejak hari itu Atha’
bin Abi Rabah menjadikan Baitul Haram sebagai tempat tinggalnya, menjadi rumah
tempat beliau bermalam, sebagai madrasah bagi beliau memperdalam ilmu, tempat
shalat untuk taqarrub kepada Allah dengan takwa dan ketaatan. Hingga para pakar
sejarah berkata: “Masjid tersebut menjadi tempat tidur bagi Atha’ bin Rabah
selama kurang lebih 20 tahun.”
***
Sampailah tabi’in
yang agung ini ke derajat yang tinggi dalam hal ilmu, puncak keluhuran martabat
yang tiada manusia yang mampu meraih derajat tersebut melainkan sedikit sekali
pada zaman beliau.
Telah diriwayatkan
bahwa Abdullah bin Umar ra berkunjung ke Mekah untuk melakukan ibadah Umrah.
Orang-orang mengerumuni beliau untuk menanyakan persoalan agama dan meminta
fatwa kepada beliau, lalu beliau berkata: “Sungguh aku heran kepada kalian
wahai penduduk Mekah, mengapa kalian mengerumuni aku untuk bertanya tentang
masalah-masalah tersebut, padahal di tengah-tengah kalian ada Atha’ bin Abi
Rabah?!”
***
Atha’ bin Abi Rabah
mencapai puncak derajat dalam hal agama dan ilmu karena dua hal:
Pertama, beliau
mampu mengendalikan jiwanya sehingga tidak memberikan peluang untuk sibuk dalam
urusan yang tidak berguna baginya.
Kedua, beliau mampu
mengatur waktunya sehingga tidak membuangnya secara sia-sia, seperti mengobrol
maupun perbuatan tak berguna lainnya.
Muhammad bin Suuqoh
menceritakan kepada jama’ah yang mengunjungi beliau: “Maukah aku ceritakan
kepada kalian sesuatu yang mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kalian
sebagaimana kami telah mendapatkan manfaat karenanya?” Mereka berkata: “Mau.”
Beliau berkata:
“Suatu hari Atha’ bin Rabah menasehatiku, “Wahai putra saudaraku, sesungguhnya
orang-orang sebelum kita (yakni para sahabat) tidak menyukai banyak bicara.”
Lalu aku katakan: “Apa yang dianggap banyak bicara menurut mereka?”
Beliau menjawab:
“Mereka menganggap bahwa setiap ucapan termasuk berlebih-lebihan melainkan
dalam rangka membaca Al-Kitab dan memahaminya, atau membaca hadits Rasulullah
Saw., yang diriwayatkan dan harus diketahui, atau memerintahkan yang ma’ruf dan
mencegah dari yang mungkar, atau berbicara tentang ilmu yang dengannya menjadi
sarana taqarrub kepada Allah Ta’ala, atau engkau membicarakan tentang kebutuhan
dan pekerjaan yang memang harus dibicarakan.”
Lalu beliau
memperhatikan raut wajahku seraya berkata: “Apakah kalian mengingkari firman
Allah Ta’ala:
“Padahal
sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu),
yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu).” (QS.
Al-Infithar: 10-11)
Dan bahwa
masing-masing dari kalian disertai oleh dua malaikat:
“Yaitu ketika dua
orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan
yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya
melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf:
17-18)
Kemudian beliau
berkata: “Tidakkah salah seorang di antara kita merasa malu manakala dibukakan
lembaran catatan amal yang dikerjakan sepanjang siang, lalu dia mendapatkan di
dalamnya sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan urusan agama maupun
kepentingan dunianya.”
***
Sungguh, Allah Swt
memberikan manfaat kepada banyak orang dengan ilmu Atha’ bin Abi Rabah. Di
antara mereka ada yang menjadi ahli ilmu yang handal, ada yang menjadi
pengusaha dan lain-lain.
Imam Abu Nahifah
an-Nu’man menceritakan pengalaman beliau: “Aku pernah melakukan lima kesalahan
ketika melakukan manasik di Mekah, lalu seorang tukang cukur mengajariku.
Peristiwa tersebut terjadi manakala aku bermaksud mencukur rambut karena hendak
menyudahi ihram, maka aku mendatangi seorang tukang cukur, lalu aku bertanya:
“Berapa upah yang harus aku bayar untuk mencukur rambut kepala?” Tukang cukur
itu menjawab: “Semoga Allah memberikan hidayah kepada Anda, ibadah tidak
mempersaratkan itu, duduklah dan posisikan kepala sesuka Anda.”
Akupun merasa grogi
dan duduk. Hanya saja ketika itu aku duduk membelakangi kiblat, maka tukang
cukur itu mengisyaratkan agar aku menghadap kiblat dan akupun menuruti
kata-katanya. Yang demikian itu semakin membuat aku salah tingkah. Lalu saya
serahkan kepala bagian kiri untuk dipangkas rambutnya, namun tukang cukur itu
berkata: “Berikan bagian kanan.”
“Tukang cukur itu
mulai memangkas rambutku sementara aku hanya diam memperhatikannya dengan
takjub. Melihat sikapku, tukang cukur itu berkata: “Mengapa Anda diam saja?
Bertakbirlah!” Lalu akupun takbir. Hingga aku beranjak pergi, untuk kesekian
kalinya tukang cukur itu menegurku.,“Hendak ke manakah Anda?” Aku katakan: “Aku
hendak pergi menuju kendaraanku.” Tukang cukur itu berkata: “Shalatlah dua rakaat
terlebih dahulu baru kemudian silakan pergi sesuka Anda.”
Akupun shalat dua
rakaat, lalu aku berkata pada diriku sendiri: “Tidak mungkin seorang tukang
cukur bisa berbuat seperti ini melainkan pasti dia memiliki ilmu.” Kemudian aku
bertanya padanya: “Dari manakah Anda mendapatkan tata cara manasik yang telah
Anda ajarkan kepadaku tadi?” Orang itu menjawab: “Aku melihat Atha’ bin Rabah
mengajarkan seperti itu lalu aku mengambilnya dan memberikan pengarahan kepada
manusia dengannya.”
***
Sungguh, gemerlapnya
dunia telah merayu Atha’ bin Rbah namun beliau berpaling dan menampiknya dengan
serius. Sepanjang hayat beliau hanya mengenakan baju yang harganya tidak lebih
dari 5 dirham saja.
Para khalifah telah
meminta kesediaan beliau untuk menjadi pendamping mereka, namun beliau tidak
mengabulkannya. Karena beliau takut agamanya ternoda oleh dunianya. Namun
demikian, terkadang beliau mengunjungi khalifah jika merasa hal itu dapat
mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin maupun kebaikan bagi Islam.
Pada gilirannya,
Atha’ bin Abi Rabah dikaruniai umur panjang hingga mencapai 100 tahun, beliau
penuhi umurnya dengan ilmu dan amal, beliau isi dengan kebaikan dan takwa,
beliau sucikan dirinya dengan zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, dan
mengharap apa yang ada di sisi Allah.
Begitu ajal
menjemput, alangkah ringan beban dunia yang di pundaknya. Karena kebanyakan
bekalnya adalah amal untuk akhirat. Ia bawa pahala 70 kali haji dan 70 kali
wukuf di Arafah. Beliau memohon kepada Allah Ta’ala keridhaan dan surga-Nya dan
memohon perlindungan kepada-Nya dari kemurkaan-Nya dan siksa neraka.”
***
Dikutip dari karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya “Tabi’in”