Sunday, August 21, 2016

Atha’ Bin Abi Rabah, Sang Pereguk Ilmu Yang Zuhud


"Kisah Atha bin Abi Rabah" - Ustadz Dr. Khalid Basalamah, MA. - Kisah Inspiratif


Atha’ Bin Abi Rabah, Sang Pereguk Ilmu yang Zuhud

“Tiada aku melihat seorangpun yang lebih mengharapkan wajah Allah Swt., dengan ilmunya melainkan tiga orang, Atha’…Thawus… dan Mujahid” – Salamah bik Kuhail

Kita berada di sepuluh hari terakhir bulan Dzulhijah tahun 97 H. Saat di mana Baitul ‘Atiq dibanjiri oleh lautan manusia yang menyahut panggilan Allah hingga memenuhi seluruh ruas jalan. Ada yang berjalan kaki dan ada yang berkendaraan. Ada yang lanjut usia ada pula yang muda belia, yang laki-laki maupun yang wanita, ada yang putih ada pula yang hitam warna kulitnya, ada orang Arab ada pula orang ‘Ajam, ada raja dan ada pula rakyat jelata.

Mereka datang berbondong-bondong menyahut seruan Rajanya manusia dengan penuh khusyuk, tunduk, penuh harap dan suka cita.

Sementara itu, Sulaiman bin Abdul Malik, Khalifah kaum muslimin, raja tertinggi di dunia sedang berthawaf di Baitul ‘Atiq tanpa mengenakan penutup kepala, tanpa alas kaki, tanpa memakai apa pun selain sarung dan rida’. Tak ada bedanya antara dirinya dengan rakyat biasa. Beliau selayaknya saudara-saudaranya karena Allah. Di belakangnya turut kedua putranya. Mereka laksana bulan purnama yang terang dan bercahaya, atau bagai sekuntum bunga merekah yang indah dan wangi baunya.

Usai melakukan Thawaf, khalifah menghampiri seorang kepercayaannya dan bertanya: “Di manakah temanmu itu?” Sambil menunjuk ke sudut barat Masjidil Haram dia menjawab: “Di sana, beliau sedang berdiri untuk shalat.”

Dengan diiringi kedua putranya khalifah bertandang menuju lokasi yang dimaksud. Para pengawal khalifah bermaksud menyibak kerumunan untuk melapangkan jalan bagi khalifah agar tidak berdesak-desakan, namun beliau mencegahnya, sembari berkata: “Ini adalah suatu tempat yang tidak membedakan antara raja dan rakyat jelata. Tiada yang lebih utama antara satu dengan yang lain sedikitpun melainkan karena amal dan takwanya. Boleh jadi seseorang yang kusut dan berdebu diterima ibadahnya oleh Allah dengan penerimaan yang tidak diberikan kepada para raja.”

Kemudian beliau berjalan menuju laki-laki yang dimaksud, beliau dapati, orang yang dicari tengah dalam keadaan shalat, hanyut dalam rukuk dan sujudnya. Sementara orang-orang duduk di belakang, di kanan dan kirinya. Maka duduklah khalifah di penghabisan majelis begitu pula dengan kedua anaknya.

Kedua putra mahkota itu mengamati dengan seksama, seperti apa gerangan laki-laki yang dimaksud oleh Amirul Mukminin. Hingga beliau berkenan duduk bersama manusia banyak untuk menunggu laki-laki tersebut menyelesaikan shalatnya.

Ternyata dia adalah seorang tua Habsyi yang berkulit hitam, keriting rambutnya dan pesek hidungnya. Apabila duduk laksana burung gagak yang berwarna hitam.
***
Setelah merampungkan shalatnya, Syaikh itu menolehkan pandangannya ke arah di mana khalifah duduk, maka Khalifah Sulaiman bin Abdul Malik segera mengucapkan salam dan orang tua itupun membalas dengan yang serupa.

Di sini khalifah menghadap orang tua tersebut dan menggunakan kesempatan itu untuk bertanya tentang manasik haji, rukun demi rukunnya, dan orang tua tadi menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Dia jelaskan dengan rinci dan tidak menolak kesempatan bagi yang ingin menambahnya. Dia sandarkan seluruh pendapatnya kepada hadits Rasulullah Saw.

Setelah merasa cukup dengan pertanyaannya, khalifah mendo’akan Syaikh itu agar mendapatkan balasan yang lebih baik, lalu khalifah dan rombongan itu pun pergi, beranjak menuju tempat sa’i.

Di tengah perjalanan Sa’i antara Shafa dan Marwah, kedua pemuda itu mendengar seruan para penyeru “Wahai kaum muslimin.. tiada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha’ bin Abi Rabah.. jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih.”

Seorang dari pemuda itu langsung menoleh kepada ayahnya sembari berkata: “Petugas amirul mukminin menyuruh manusia agar tidak meminta fatwa kepada seorangpun selain Atha’ bin Abi Rabah dan temannya, namun mengapa kita tadi justru datang dan meminta fatwa kepada seorang laki-laki yang tidak memberikan prioritas kepada khalifah dan tidak pula memberi hak penghormatan khusus kepadanya?”

Sulaiman berkata kepada putranya: “Wahai anakku, pria yang engkau lihat dan engkau melihat kami berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama Atha’ bin Abi Rabah, orang yang berhak berfatwa di masjid Al-Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas dengan bagian yang banyak.”

Kemudian beliau melanjutkan: “Wahai anakku.. carilah ilmu.. karena dengan ilmu, rakyat bisa menjadi terhormat.. para budak bisa melampaui derajat para raja..”
***
Ungkapan Sulaiman bin Abdul Malik seperti yang beliau katakan kepada putranya tentang keutamaan ilmu tidaklah berlebihan. Atha’ bin Abi Rabah sebagai bukti nyata. Masa kecil beliau hanyalah sebagai seorang budak milik seorang wanita penduduk Mekkah. Hanya saja Allah Swt memuliakan budak Habsyah ini sejak dia pancangkan kedua telapak kakinya di atas jalan ilmu.

Beliau membagi waktunya menjadi tiga bagian, sebagian untuk majikannya, beliau berkhidmat dengan baik dan menunaikan hak-hak majikannya, sebagian lagi beliau pergunakan waktunya untuk menyendiri bersama Rabb-nya, beliau tenggelam dalam peribadatan yang begitu suci dan ikhlas karena Allah Swt.

Sepertiga lainnya beliau pergunakan untuk berkutat dengan ilmu. Beliau datangi sisa-sisa para sahabat Rasulullah Saw yang masih hidup, dan berhasil mereguk ilmu dari sumbernya yang jernih.

Beliau mengambil ilmu dari Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair dan sahabat-sahabat lain yang mulia ridhwanullah ‘alaihim hingga dadanya penuh dengan ilmu, fikih dan riwayat dari Rasulullah Saw.
***
Begitu majikan penduduk Mekah melihat budaknya telah menjual dirinya kepada Allah.. dan berbakat untuk menuntut ilmu.. maka ia cabut haknya terhadap Atha’, dia merdekakan budaknya demi taqarrub kepada Allah Swt, dengan harapan mudah-mudahan dia dapat memberikan manfaat bagi Islam dan kaum muslimin.

Sejak hari itu Atha’ bin Abi Rabah menjadikan Baitul Haram sebagai tempat tinggalnya, menjadi rumah tempat beliau bermalam, sebagai madrasah bagi beliau memperdalam ilmu, tempat shalat untuk taqarrub kepada Allah dengan takwa dan ketaatan. Hingga para pakar sejarah berkata: “Masjid tersebut menjadi tempat tidur bagi Atha’ bin Rabah selama kurang lebih 20 tahun.”
***
Sampailah tabi’in yang agung ini ke derajat yang tinggi dalam hal ilmu, puncak keluhuran martabat yang tiada manusia yang mampu meraih derajat tersebut melainkan sedikit sekali pada zaman beliau.

Telah diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar ra berkunjung ke Mekah untuk melakukan ibadah Umrah. Orang-orang mengerumuni beliau untuk menanyakan persoalan agama dan meminta fatwa kepada beliau, lalu beliau berkata: “Sungguh aku heran kepada kalian wahai penduduk Mekah, mengapa kalian mengerumuni aku untuk bertanya tentang masalah-masalah tersebut, padahal di tengah-tengah kalian ada Atha’ bin Abi Rabah?!”
***
Atha’ bin Abi Rabah mencapai puncak derajat dalam hal agama dan ilmu karena dua hal:

Pertama, beliau mampu mengendalikan jiwanya sehingga tidak memberikan peluang untuk sibuk dalam urusan yang tidak berguna baginya.

Kedua, beliau mampu mengatur waktunya sehingga tidak membuangnya secara sia-sia, seperti mengobrol maupun perbuatan tak berguna lainnya.

Muhammad bin Suuqoh menceritakan kepada jama’ah yang mengunjungi beliau: “Maukah aku ceritakan kepada kalian sesuatu yang mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kalian sebagaimana kami telah mendapatkan manfaat karenanya?” Mereka berkata: “Mau.”

Beliau berkata: “Suatu hari Atha’ bin Rabah menasehatiku, “Wahai putra saudaraku, sesungguhnya orang-orang sebelum kita (yakni para sahabat) tidak menyukai banyak bicara.” Lalu aku katakan: “Apa yang dianggap banyak bicara menurut mereka?”

Beliau menjawab: “Mereka menganggap bahwa setiap ucapan termasuk berlebih-lebihan melainkan dalam rangka membaca Al-Kitab dan memahaminya, atau membaca hadits Rasulullah Saw., yang diriwayatkan dan harus diketahui, atau memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, atau berbicara tentang ilmu yang dengannya menjadi sarana taqarrub kepada Allah Ta’ala, atau engkau membicarakan tentang kebutuhan dan pekerjaan yang memang harus dibicarakan.”

Lalu beliau memperhatikan raut wajahku seraya berkata: “Apakah kalian mengingkari firman Allah Ta’ala:

“Padahal sesungguhnya bagi kamu ada (malaikat-malaikat) yang mengawasi (pekerjaanmu), yang mulia (di sisi Allah) dan mencatat (pekerjaan-pekerjaanmu itu).” (QS. Al-Infithar: 10-11)

Dan bahwa masing-masing dari kalian disertai oleh dua malaikat:

“Yaitu ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaaf: 17-18)

Kemudian beliau berkata: “Tidakkah salah seorang di antara kita merasa malu manakala dibukakan lembaran catatan amal yang dikerjakan sepanjang siang, lalu dia mendapatkan di dalamnya sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan urusan agama maupun kepentingan dunianya.”
***
Sungguh, Allah Swt memberikan manfaat kepada banyak orang dengan ilmu Atha’ bin Abi Rabah. Di antara mereka ada yang menjadi ahli ilmu yang handal, ada yang menjadi pengusaha dan lain-lain.

Imam Abu Nahifah an-Nu’man menceritakan pengalaman beliau: “Aku pernah melakukan lima kesalahan ketika melakukan manasik di Mekah, lalu seorang tukang cukur mengajariku. Peristiwa tersebut terjadi manakala aku bermaksud mencukur rambut karena hendak menyudahi ihram, maka aku mendatangi seorang tukang cukur, lalu aku bertanya: “Berapa upah yang harus aku bayar untuk mencukur rambut kepala?” Tukang cukur itu menjawab: “Semoga Allah memberikan hidayah kepada Anda, ibadah tidak mempersaratkan itu, duduklah dan posisikan kepala sesuka Anda.”

Akupun merasa grogi dan duduk. Hanya saja ketika itu aku duduk membelakangi kiblat, maka tukang cukur itu mengisyaratkan agar aku menghadap kiblat dan akupun menuruti kata-katanya. Yang demikian itu semakin membuat aku salah tingkah. Lalu saya serahkan kepala bagian kiri untuk dipangkas rambutnya, namun tukang cukur itu berkata: “Berikan bagian kanan.”

“Tukang cukur itu mulai memangkas rambutku sementara aku hanya diam memperhatikannya dengan takjub. Melihat sikapku, tukang cukur itu berkata: “Mengapa Anda diam saja? Bertakbirlah!” Lalu akupun takbir. Hingga aku beranjak pergi, untuk kesekian kalinya tukang cukur itu menegurku.,“Hendak ke manakah Anda?” Aku katakan: “Aku hendak pergi menuju kendaraanku.” Tukang cukur itu berkata: “Shalatlah dua rakaat terlebih dahulu baru kemudian silakan pergi sesuka Anda.”

Akupun shalat dua rakaat, lalu aku berkata pada diriku sendiri: “Tidak mungkin seorang tukang cukur bisa berbuat seperti ini melainkan pasti dia memiliki ilmu.” Kemudian aku bertanya padanya: “Dari manakah Anda mendapatkan tata cara manasik yang telah Anda ajarkan kepadaku tadi?” Orang itu menjawab: “Aku melihat Atha’ bin Rabah mengajarkan seperti itu lalu aku mengambilnya dan memberikan pengarahan kepada manusia dengannya.”
***
Sungguh, gemerlapnya dunia telah merayu Atha’ bin Rbah namun beliau berpaling dan menampiknya dengan serius. Sepanjang hayat beliau hanya mengenakan baju yang harganya tidak lebih dari 5 dirham saja.

Para khalifah telah meminta kesediaan beliau untuk menjadi pendamping mereka, namun beliau tidak mengabulkannya. Karena beliau takut agamanya ternoda oleh dunianya. Namun demikian, terkadang beliau mengunjungi khalifah jika merasa hal itu dapat mendatangkan manfaat bagi kaum muslimin maupun kebaikan bagi Islam.

Pada gilirannya, Atha’ bin Abi Rabah dikaruniai umur panjang hingga mencapai 100 tahun, beliau penuhi umurnya dengan ilmu dan amal, beliau isi dengan kebaikan dan takwa, beliau sucikan dirinya dengan zuhud terhadap apa yang dimiliki manusia, dan mengharap apa yang ada di sisi Allah.

Begitu ajal menjemput, alangkah ringan beban dunia yang di pundaknya. Karena kebanyakan bekalnya adalah amal untuk akhirat. Ia bawa pahala 70 kali haji dan 70 kali wukuf di Arafah. Beliau memohon kepada Allah Ta’ala keridhaan dan surga-Nya dan memohon perlindungan kepada-Nya dari kemurkaan-Nya dan siksa neraka.”
***
Dikutip dari karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya “Tabi’in”