Ada masalah dengan dakwah
ahlus sunnah (salafi) ? Silahkan pilih dan koreksi (hujjah) pada beberapa artikel
dibawah ini :
Daftar Referensi Studi Komparatif
Antara Tuduhan Dan Fakta : Salafi (Ahlus Sunnah,
“Wahhabi"?), Aswaja, Ibnu Taimiyah, Sifat/Keberadaan/ Melihat Allah Diakhirat,
Tanduk Setan, Najd, Muawiyah Bin Abi Sofyan, Takfiri Syi’ah, Nawashib,Saudi,
Malaysia Dan Lain-Lain.
Menanti
Keberkahan di Tengah Terkikisnya “Berkat”
Ahad, 21 Agustus 2016
Oleh : Dr. Slamet Muliono*
Sebaran
dakwah Islam telah mengalami lompatan dan lonjakan yang luar biasa. Gerakan
dakwah bukan hanya menyentuh kalangan elite, tetapi juga merambah kalangan akar
rumput (grassroots). Namun tumbuh dan berkembangnya spirit masyarakat untuk
mengkaji agama ini terusik dengan munculnya gerakan penolakan.
Yang
perlu disesalkan, penolakan terhadap gerakan dakwah Islam dilakukan
dengan ancaman dan teror, bukan dengan menggunakan jalur resmi yang diwadahi
dan dijamin oleh negara. Yang lebih unik, upaya menghalangi dakwah Islam itu
dilakukan dengan melibatkan dan menggalang kekuatan dari ormas Islam itu
sendiri.
Disadari
atau tidak, dakwah mengajak kepada ajaran Islam murni memang sedang mengalami
lompatan dan lonjakan. Tumbuh dan berkembangnya lembaga pendidikan dan
pesantren yang mengajak kepada “dakwah tauhid” mulai mengalami booming,
sehingga berbagai kajian dan pendalaman terhadap Al-Qur’an dan Sunnah begitu
massif, baik di kawasan elite perkotaan maupun kawasan pinggiran pedesaan.
Perlawanan
Terhadap Dakwah
Di
tengah gerakan dakwah yang massif itu muncul gerakan perlawanan yang tidak
kalah gencarnya. Gerakan untuk mereaksi tumbuhnya gerakan dakwah, yang begitu
luas di berbagai level dan kelompok sosial, menggunakan isu tunggal. Isu yang
dibangun dan dan dikembangkan di berbagai kesempatan adalah Wahabi dan bahaya
kesesatannya.
Nalar
yang dibangun adalah Wahabi adalah gerakan sesat dan menyimpang dari Islam.
Bahkan Wahabi dikatakan sebagai gerakan yang membahayakan bagi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Gagasan untuk menyesatkan Wahabi, di samping
dicurigai sebagai gerakan yang membahayakan NKRI, diawali dengan membenturkan
gerakan Wahabi yang dianggap tidak toleran terhadap budaya lokal.
Stigmatisasi
terhadap gerakan dakwah dengan label Wahabi memang cukup efektif di kalangan
masyarakat awam, sehingga reaktif masyarakat begitu cepat. Karena reaktifnya,
tidak jarang bila cara-cara meresponnya lebih mengedepankan fisik-konfrontatif
daripada nalar-prosedural dan dialogis. Oleh karena itu, sangat logis apabila
perlawanan terhadap gerakan dakwah, yang sudah merambah di pedesaan dan
pelosok, lebih banyak menggunakan teror dan ancaman daripada menggunakan jalur
hukum.
Penolakan
terhadap dakwah tauhid ini sudah terjadi di berbagai tempat. Yang mutakhir
terjadi di Kalimantan Selatan, dimana kajian Islam diminta untuk dihentikan.
Beberapa komponen masyarakat mengatasnamakan “KALIMANTAN BERSATU MENOLAK
WAHABI” dengan alasan. Penolakan dakwah itu disertai dengan pernyataan
sikap “MENOLAK KERAS” (kedatangan dua dai Dr. Khalid Basalah, MA. dan Dr.
Syafiq Reza Basalamah pada tanggal 20-21 Agustus 2016) guna menghindari reaksi
ummat. Dakwah yang dituduh Wahabi ini dianggap menebarkan kebencian dan
permusuhan di masyarakat.
Yang
menarik, gerakan penolakan itu dilakukan oleh lembaga adat kebudayaan Banjar,
para pecinta guru Sakumpel, serta didukung oleh Angkatan Muda Sabilal Muhtadin,
Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Banser kota Banjarmasin. Oleh karena itu, menjadi
unik karena gerakan dakwah Islam harus berhadapan dengan ormas Islam juga.
Mempertentangkan
Islam dan Budaya
Gerakan
perlawanan terhadap dakwah Islam, yang dituduh Wahabi ini, selalu mengaitkan
dan mempertentangkannya dengan budaya lokal. Budaya yang melekat dan dilakukan
secara turun menurun memang bukan hal yang mudah untuk ditinggalkan. Perlawanan
terhadap gerakan dakwah sudah berlangsung sebelum kemerdekaan Indonesia.
Kelompok Paderi adalah salah satu contoh sebuah gerakan dakwah untuk
mengembalikan dan meluruskan kepercayaan masyarakat yang menyimpang. Namun reaksi
masyarakat lokal demikian dahsyat sehingga menggandeng tentara Belanda. Tokoh
agama lokal rela bekerjasama dengan kolonial Belanda untuk memadamkan dakwah
yang mengajak masyarakat untuk berpegang teguh terhadap agama daripada tradisi
yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Tumbuh
dan berkembangnya gerakan dakwah saat ini tidak lepas dari mengajak masyarakat
untuk berpegang teguh terhadap agama dibanding terhadap budaya yang
mentradisi. Tuduhan sesat dan menyimpang, terhadap gerakan dakwah saat ini, tidak
berbeda dengan apa yang dituduhkan terhadap dakwah kelompok Paderi. Senjata
ampuh untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap dakwah ini bukan hanya
menuduh Wahabi, tetapi menyesatkannya dan menududukannya sebagai ancaman negara
budaya lokal.
Kalau
mau berpikir jernih, seharusnya menentukan sesat dan tidak sebuah kelompok,
bahaya dan tidaknya sebuah aliran dikembalikan kepada pihak yang berwenang
dengan melaporkannya kepada pihak yang berwajib, yakni negara. Namun jalan itu
tidak ditempuh, dan bahkan diabaikan. Mereka lebih banyak menggunakan cara-cara
provokatif daripada dialog interaktif. Sementara kajian dilakukan secara
terbuka dan untuk umum, sehingga ketika terjadi adanya penyimpangan atau
kesesatan ajaran, maka bisa dicatat dan dilaporkan kepada pihak yang berwajib.
Kebebasan
beragama dan berkeyakinan telah dijamin negara lewat Undang-Undang Dasar 1945
(UUD 1945). Oleh karena itu, jika terjadi penyimpangan maka bisa dilaporkan ke
kepolisian, dan Jaksa yang akan menuntut, dan Hakim yang memutuskan. Jika
terbukti menyimpang, maka jaksa yang akan menyatakan ajaran tersebut sesat dan
terlarang.
Lompatan
atau lonjakan gerakan dakwah tauhid ini, tidak bisa dipungkiri, telah
mengganggu kemapanan kelompok-kelompok yang selama ini sudah menikmati kondisi
dan keadaan yang selama ini. Masyarakat benar-benar menginginkan keberkahan
hidup dengan dakwah tauhid ini, namun masih ada sekelompok kecil masyarakat
yang merasa terganggu karena “berkat” yang selama ini
dinikmati dan terancam akan lepas dari genggamannya.
*Penulis
adalah dosen di STAI Ali bin Abi Thalib dan Direktur Pusat Kajian Islam dan
Peradaban (PUSKIP) Surabaya
Jadilah
Kekuatan Al-Haq
Manusia harus memilih dalam hidupnya. Memilih menjadi
kekuatan al haq atau menjadi kekuatan al bathil. Memilih bergabung bersama
dengan kekuatan hizbullah atau bergabung dengan hizbussyaithon.
Surat ar-Ra’du surah al-Qur’an menjelaskan dengan
gamblang dengan pilihan-pilihan yang harus dilakukan oleh manusia. Risalahn-Na
yang diberikan oleh Allah azza wa jalla mengatakan, bahwa kebenaran (al haq)
merupakan kekuatan yang kokoh, sekalipun tidak nampak oleh mata. Sebaliknya,
kebathilan adalah kekuatan yang kalah dan lemah. Kebathilan adalah kekuatan
yang secara lahir nampak kokoh, tetapi sebenarnya sesuatu yang sangat rapuh dan
tidak ada nilainya.
Hakikat ini banyak orang yang belum menyadarinya.
Mereka sering terpedaya dengan kemilaunya kebathilan yang palsu. Kebathilan
terkadang bentuknya beragam, bisa berbentuk gaya hidup yang serba “wah’
(ibahiyah) yang dilakukan secara terbuka atau kemaksiatan yang merajalela
dikalangan pengawai atau pedagang yang berdusta serta penguasa yang menipu
dalam pekerjaannya. Umat yang zalim melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap
umat Islam dan berani merampas haknya. Semuanya merupakan bentuk kekuatan
bathil yang sangat rapuh.
Pengaruh Kebathilan
Terhadap Manusia
Apabila hakikat kebathilan telah hilang dari pandangan
manusia dan mereka terpedaya, bahkan takut kepada kebathilan, sehingga mereka
sampai berani menganggap rendah kebenaran (al haq) yang ada pada mereka dan
berusaha meniru dan mengikuti kebathilan itu, maka manusia akan menghadapi
kehancuran bersama dengan kebathilan yang lemah itu.
Kita melihat banyak sekali orang bersekutu dan
berkomplot dengan kebathilan dalam kehidupannya. Banyak sekali orang yang
mengatakan bahwa “si pulan” sukses dalam perdagangannya dengan cara mencuri,
menjilat, dan menipu. Juga “si pulan” sukses menjadi pemimpin, tetapi
hakekatnya dia telah menjadi penipu dan pendusta terhadap al haq serta umat
yang dipimpinnya. Mereka mengikuti semua langkah dan jejak kebathilan ketika
merasa tidak membahayakan, meskpun mengikuti langkah kebathilan sebagai jalan
yang sesat itu.
Kebahagiaan Semua
Manusia yang berjalan dibelakang kebathilan,
digambarkan oleh Allah azza wa jalla, sebagai orang yang memandangi air dan
mulutnya berusaha untuk mengambilnya. Padahal air itu tidak sampai ke mulutnya.
Oleh karena itu, setiap orang yang berjalan di belakang kebathilan, hatinya
akan berjalan di bekalang kebahagiaan. Sementara kebahagiaan semu yang
diyakininya adalah gelas khamer (minuman keras) yang diminumnya, nyanyian tidak
bermoral yang ia dendangkan, atau harta yang haram yang ia nikmati. Padahal
sebetulnya, ia tidak akan bisa menggapai kebahagiaan sama sekali.
Allah azza wa jalla berfirman :
“Hanya bagi Allah lah (hak mengabulkan) do’a
yang benar”. (QS :
ar-Ra’du : 14)
Maka, hendaklah manusia berjalan pada jalan Allah
Ta’ala, karena sesungguhnya kebenaran yang sempurna adalah jalan Allah. Bukan
jalan syaithon. Meskipun, banyak manusia yang memilih jalan syaithon, yang
nampak indah dan menakjubkan, sehingga membuat mereka bersedia bergabung dengan
“jamaah’ syaithon.
Lalu yang terkait dengan hakikat kebathilan dalam
firman Allah azza wa jalla :
“Dan berhala-hala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat
memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan
kedua telapak tangannya ke dalam air supaya samai air ke mulutnya, padahal air
itu tidak dapat sampai ke mulutnya”. (QS :
ar-Ra’du : 14)
Kebathilan Bagaikan Buih
Allah azza wa jalla memberikan perumpamaan yang
mengagumkan untuk menegaskan bahwa kebenaran (al haq) adalah kekuatan yang
kokoh sekalipun ia tidak nampak dihadapan manusia. Kebathilan adalah sesuatu
yang rapuh yang tidak bernilai, meskipun ia nampak ke permukaan dan terkenal.
Firman-Nya :
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka
mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya”. (QS :
ar-Ra’du : 17)
Air yang turun dari langit melambangkan kebenaran (al
haq) dan kebaikan (al khiar) yang diturunkan bersama dengan wahyu. lalu apa
pengaruh air? “Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya”.
Perhatikan bagaimana kekuatan kebenaran dan
kebesarannya, bagaimana air memasuki lembah untuk membawa kebaikan bagi
kehidupan manusia, lalu apa yang terjadi, “Maka arus itu membawa buih yang
mengembang”. Selamanya air akan membawa buih-buih (kebathilan) itu sampai
kebathilan menjadi lenyap dari pandangan manusia.
Allah memberikan perumpaan yang lainnya, yang sangat
indah dan mengagumkan, seperti dalam firman-Nya :
“Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat
perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu”. (QS :
ar-Ra’du : 17)
Allah Membuat Perumpaan
Kebenaran dan Kebathilan
Allah azza wa jalla memberikan perumpamaan yang sangat
jelas antara al haq dengan al bathil guna mempertegas korelasi (hubungan)
keduanya dengan tujuan utama, seperti yang terkandung dalam surah ar-Ra’du :
“Demikianlah Alah memnbuat perumpamaan
(bagi) yang benar dan yang bathil”. (QS :
ar-Ra’du : 17)
“Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya,
adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah
Allah memnbuat perumpaan-perumpamaan”. (QS : ar-Ra’du : 17)
Marilah kita meninggalkan segala bentuk kebathilan
yang nampak indah dan megah di mata, karena yang nampak indah dan megah itu,
hakekatnya hanyalah semu, seperti digambarkan oleh Allah azza wa jallah sebagai
buih, yang akan hilang bersama dengan datangnya angin dan gelombang yang akan
membawanya ke tengah samudera kehidupan.
Memilih jalan kebathilan yang disangka akan membawa
kebahagiaan dan kenikmatan, ternyata hanya kesia-siaan belaka, dan justeru
menjerumuskan kedalam kehidupan yang melelahkan, dan akhirnya menghancurkan
kehidupan manusia itu sendiri.
Allah azza wa jalla telah banyak memberikan ibroh
(pelajaran) bagi manusia dengan sangat jelas, di mana semua pengikut dan yang
memilih jalan kebathilan itu, akhirnya mengalami kehancuran. Umat-umat dan para
pemimpinnya yang memilih jalan kebathilan dan kesesatan akhirnya hancur. Sejak
zaman Nabi Nuh Alaihis sallam, sampai pada zaman Nabi Muhammad Shallahu alaihi
was sallam.
Firman-Nya :
“Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah,(demikian pula)
para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar lalu
menimpakan kepada sispa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantah tentang
Allah, dan Dia lah Rabb yang Mahakeras siksa-Nya”.(QS :
ar-Ra’du :13
Allah azza wa jalla akan memelihara dan melindungi
mereka yang tetap dan istiqomah di jalan al haq (kebenaran) di jalan Rabb nya,
tidak pernah meninggalkan risalah-Nya, dan menjadikannya sebagai minhajul
hayah, serta menjauhkan diri dari jalan kebathilan, betapapun menarik dan
indahnya kebathilan, yang hakikatnya hanyalah kepalsuan dan menjadi tipu daya manusia.
Tidak ada keraguan lagi Allah azza wa jalla akan
menjadi pelindung, dan akan memberikan jaza’ serta kemuliaan bagi mereka yang
selalu di jalan-Nya, dan tidak meninggalkan risalah-Nya. Mereka akan
mendapatkan kemuliaan disisi-Nya kela di akhirat. Yakinlah.
Firman-Nya :
“Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Rabbnya, (disediakan)
pembalasan yang baik”. (QS :
ar-Ra’du : 18). Wallahu’alam.
-Mashadi-
Para penggembos dakwah lebih berbahaya dari
ahli bid’ah
Asy Syaikh Muhammad
bin Hadi al Madkhali حفظه الله
Sikap selalu mengikuti bimbingan ulama Ahlus Sunnah
yang mengajak umat agar berpegang teguh dengannya, ini adalah satu-satunya
jalan setelah taufik dari Allah untuk menempuh jalan yang benar serta selamat
dari hawa nafsu dan bid’ah. Saya telah mengatakannya dan telah sering saya sampaikan
kepada kalian bahwa sesungguhnya termasuk keutamaan dari Allah bagi kita di
zaman ini adalah –bahkan di samping merupakan keutamaan hal itu juga sebagai
bentuk penegakkan hujjah terhadap diri kita– yaitu dengan dicetaknya
kitab-kitab As-Sunnah berupa kitab-kitab akidah, dan telah banyak di masa kita
ini dalam bentuk cetakan maupun kumpulan yang tidak ada di masa lalu. Allah lah
yang telah mengumpulkannya sehingga mudah didapatkan. Seandainya engkau ingin
mengumpulkan kitab-kitab itu sebanyak satu perpustakaan lengkap tentu engkau
akan bisa melakukannya. Baiknya yang bentuknya dengan disebutkan sanadnya
secara lengkap maupun yang diringkas tanpa sanad. Maka apa lagi setelah ini?!
Apakah para ulama itu mewariskan kitab-kitab itu kepada kita dengan tujuan agar
kita gunakan untuk menghiasi rak-rak saja?!
Ataukah mereka mewariskannya kepada kita agar kita
mengamalkannya?! Demi Allah, kitab-kitab itu tidaklah diwariskan kepada kita
kecuali agar kita mengamalkannya.
Siapa yang menyatakan bahwa kandungan kitab-kitab itu
memberatkan manusia, maka orang yang semacam ini dia adalah penggembos!
Mungkin sebenarnya dia merasakan kelemahan pada
dirinya. Jika dia memang merasakan kelemahan pada dirinya, maka janganlah dia
membuat orang lain ikut lemah!
Atau bisa jadi dia ingin hidup seperti yang dikatakan
oleh guru kami Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiry rahimahullah: “Dia hidup di
tengah-tengah kaumnya dengan prinsip selalu mendapatkan keuntungan.” Yaitu
orang yang semua pihak mendapatkan keuntungan darinya dan dia pun bisa
mendapatkan keuntungan dari semua pihak.
Jadi dia memanfaatkan teman-temannya dan mencari
penghasilan dari mereka, walaupun harus dengan cara melakukan hal-hal yang
menyelisihi jalan para Salaf.
Pintu ini secara khusus adalah pintu yang sangat
berbahaya di hari-hari ini. Dan inilah pintu yang merusak sekian banyak dari
anak-anak dan para pemuda serta murid-murid kita.
Jadi engkau bisa melihat sebagian orang yang
menyandarkan dirinya kepada manhaj Salafus Shalih dia tertimpa sebagian kelemahan.
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam telah menjelaskan bahwa ada seorang
mu’min yang kuat dan ada juga mu’min yang lemah. Hanya saja seorang mu’min yang
kuat dia lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dibandingkan mu’min yang
lemah, walaupun semuanya memiliki kebaikan.
Jika orang ini lemah, maka janganlah kelemahannya itu
menyeretnya untuk mengingkari jalan ini serta siapa saja yang ingin
menempuhnya, orang yang sabar dan menguatkan kesabaran, mengajak manusia untuk
menempuhnya, mengharapkan pahala serta siap menanggung gangguan atasnya. Karena
sesungguhnya ilmu ini adalah agama, dan tidaklah ilmu agama ini sampai kepada
kita kecuali setelah menimpa berbagai macam ujian terhadap pendahulu kita.
Diantara mereka ada yang terbunuh, ada yang dipukul dan ada yang dipenjara.
Walaupun demikian sampai juga As-Sunnah kepada kita dalam keadaan bersih dan
murni sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi was sallam.
Semua itu karena keutamaan dari Allah kemudian dengan sebab jihad para Salaf
itu, semoga Allah merahmati dan meridhai mereka semua.
Adapun di masa ini keadaannya justru kebalikannya.
Telah muncul ucapan busuk, terlaknat dan mungkar, yang
mensifati para masayikh dakwah Salafiyah sebagai orang-orang yang terlalu
keras, karena para ulama tersebut senantiasa bangkit menghadang bid’ah dan para
pengusungnya, menghadang orang-orang yang meremehkan bahayanya serta memberikan
jalan yang lebar bagi para penyerunya.
Atau minimalnya orang-orang itu menyuruh agar orang
lain diam membisu dan meremehkan apa yang dilakukan oleh para ulama itu.
Apa sikap terlalu keras yang mereka tuduhkan kepada
para ulama itu?!
Saya menuntut siapa saja yang menyatakan bahwa para
ulama itu adalah orang-orang yang terlalu keras; pada masalah apa para ulama
telah bersikap terlalu keras?!
Ini pertanyaan pertama. Mana tunjukkan jawabannya?!
Perkara yang mana dan bagaimana konteks atau bentuk sikap atau pernyataan para
ulama yang dianggap terlalu keras itu?! Sebutkan kepada saya!!
Ketika ada yang menyebutkannya, ternyata faktanya
seperti yang dikatakan oleh seseorang bahwa:
وَلَا عَيْبَ فِيْهِمْ غَيْرَ أَنَّ سُيُوْفَهُمْ …
بِهِنَّ فُلُوْلٌ مِنْ قِرَاعِ الْكَتَائِبِ
Tidak ada kesalahan mereka itu selain karena
pedang-pedang mereka … Menjadi tumpul karena membentur perisai pasukan berkuda
(Lihat: Mu’jam Maqayiisil Lughah, terbitan Daarul Fikr, 4/434 –pent)
Maksudnya para ulama itu sebenarnya tidak memiliki
kesalahan, mereka hanya dituduh salah karena keberanian mereka menampakkan
kebenaran dengan terang-terangan. Ini sikap terlalu keras menurut orang-orang
yang menuduh itu.
Jadi menurut mereka dengan diam membiarkan dan tidak
mengingkari pengikut Al-Ikhwan Al-Muslimun, Jamaa’ah Tabligh, Asy’ariyah,
Shufiyah, Aqlany (orang-orang yang mengedapankan akal –pent), Thauran, serta
siapa saja yang menyimpang, kemudian membaur dengan mereka dengan prinsip
simbiosis mutualisme (saling menguntungkan), ini yang dianggap hikmah menurut
mereka. Dan kejahatan ini dibalut dengan jilbab hikmah dengan tujuan untuk
menyesatkan anak-anak kaum Muslimin.
Hikmah yang benar adalah meletakkan sesuatu pada
tempatnya yang tepat. Yaitu dengan bersikap keras pada keadaan yang Allah juga
bersikap keras padanya, serta bersikap lembut sesuai yang Allah perintahkan.
إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِيْ الأَمْرِ
كُلِّهِ.
Sesungguhnya Allah lembut dan mencintai kelembutan
pada semua perkara.” (HR. Al-Bukhary no. 6927 dan Muslim no. 2165 –pent)
Perkara ini tidak tersamar bagi kita, ini merupakan
sikap asal
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ
كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ
وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِيْ الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ
عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ.
"Karena rahmat dari Allah sajalah engkau bersikap
lembut terhadap mereka, seandainya engkau kasar dan keras hati, tentu mereka akan
menjauh darimu. Maka maafkanlah mereka dan mintakanlah ampunan untuk mereka,
serta ajaklah mereka bermusyawarah untuk menentukan keputusan. Lalu jika engkau
telah membulatkan tekat pada sebuah keputusan, maka bertawakallah kepada Allah,
sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran: 159)
Allah memerintahkan perkara ini kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi was sallam, ini adalah sikap asal.
Tetapi jika ada orang berusaha mengangkat sengatnya
dengan kebathilan dan dia terus-menerus membela kebathilan, atau berusaha
menta’wil kebathilan serta mencari-carikan alasan untuk membela para
pengusungnya, dia tidak mau membuat marah orang yang membawa kebathilan
tersebut, yang akibatnya akan memakan korban dari kalangan anak-anak Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Jika datang orang yang membawa kebathilan semacam ini maka
bagaimana cara kita membantahnya?! Kita ajak dia kepada jalan yang benar dan
kita jelaskan kesalahannya. Tetapi jika dia mengabaikan, maka Allah Azza wa
Jalla telah berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ
وَالْمُنَافِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ.
“Wahai Nabi, berjihadlah memerangi orang-orang kafir
dan munafik serta bersikap keraslah kepada mereka.” (QS. At-Taubah: 73)
Ahlus Sunnah berdalil dengan ayat yang memerintahkan
untuk bersikap keras terhadap orang-orang munafik untuk bersikap keras terhadap
para pengekor hawa nafsu dan ahli bid’ah, karena pada mereka terdapat
keserupaan sifat munafik dan kelakuan orang-orang munafik. Dan bahayanya
terhadap umat Islam yang muncul dari mereka ini lebih besar dibandingkan dengan
orang yang memang asalnya kafir murni. Bahayanya terhadap umat Islam yang
muncul dari mereka ini lebih besar dibandingkan dengan orang yang memang
asalnya kafir.
Demikianlah prinsip-prinsip pokok ini dinyatakan oleh
para imam Ahlus Sunnah.
Demikian pula bahayanya terhadap Ahlus Sunnah yang
muncul dari orang-orang yang lembek –YANG MARAH TERHADAP PERKATAAN INI SILAHKAN
MARAH – lebih besar dan lebih mengerikan dibandingkan dengan ahli bid’ah yang
terang-terangan. Karena seorang mubtadi’ telah kita ketahui dengan jelas dan
dengan seizin Allah kita bisa mewaspadainya. Tetapi orang yang berusaha
mencari-carikan alasan untuk membela ahli bid’ah dan membolehkan kesesatannya,
inilah yang berbahaya terhadap Ahlus Sunnah.
WhatsApp Salafy Indonesia || http://forumsalafy.net
Diarsipkan oleh www.happyislam.com
Ilmu
Diangkat, Kebodohan Merata
Ahad, 17 Juli 2016 - 13:00
WIB
Bila ulama sudah tidak lagi dijadikan sebagai rujukan,
maka itulah bentuk kematian ilmu
Oleh: Abu Fatiah Al-Adnani
Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, RasulullahSHalallahu
‘Alaihi Wassallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا
يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ
حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا
فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala tidak mencabut
ilmu sekaligus dari hamba-Nya, tetapi Dia mencabut ilmu tersebut dengan
diwafatkannya para ulama. Sehingga, tidak ada satu ulama pun yang tersisa. Pada
saat itulah manusia mengangkat pemimpin dari mereka yang bodoh. Dan pada saat
pimpinan yang bodoh tersebut ditanyai, maka para pemimpin tersebut memberikan
fatwa tanpa berdasarkan ilmu, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan.[HR.
Al-Bukhari, Al-Ilm, hadits no. 100, [Fath Al-Bârî (1/234)]; Muslim, Al-‘Ilm,
hadits no. 2673 [Muslim bi Syarh An-Nawawi (4/440)].
Membandingkan antara metode belajar modern dengan para
salaf, nampaknya ada sisi lain yang menarik untuk dikaji. Konon metode belajar
modern mengajarkan agar suasana belajar dibuat sedemikian menyenangkan, jauh
dari tekanan dan paksaan. Sementara para salaf mengajarkan bahwa menuntut ilmu
harus sungguh-sungguh dan bersusah payah.
Di era modern, guru didorong untuk menjadi ‘teman’
belajar bagi muridnya. Sementara di era salaf seorang guru adalah tranformer
pengetahuan sekaligus karakter. Lebih dari itu para guru (ulama) memerankan
diri sebagai solusi dan rujukan utama dalam semua persoalan hidup manusia.
Di era informasi yang sedemikian pesatnya, peran guru
banyak tergantikan oleh media elektronik. Dampak yang muncul adalah lahirnya
para penuntut ilmu yang merasa tidak butuh guru dan ingin cepat sampai maqam
tertinggi dalam berbagi ilmu. Inilah fenomena yang kita saksikan, saat dimana
seseorang tidak tertarik untuk mendalami ilmu hanya lantaran bahwa gadget di
tangannya akan memberikan jawaban atas apapun masalah yang dihadapinya.
Inilah yang membedakan kwalitas para penuntut ilmu di
masa salaf dan era modern.
Penyakit yang menimpa kepada Bani Israel yang merasa
tidak butuh kepada ulama dan mencukupkan diri dengan membaca, kini telah banyak
menimpa kepada umat Islam. Jadilah mereka orang yang sok pintar walau
hakikatnya adalah bodoh.
Dalam sebuah riwayat disebutkan: Pada saat haji Wada‘,
Rasulullah SHalallahu ‘Alaihi Wassallam berada di depan orang-orang dengan
memboncengkan Al-Fadhl bin Abbas di atas satu unta yang berwarna putih agak
gelap. Beliau bersabda, “Wahai manusia, tuntutlah ilmu sebelum ilmu tersebut
dicabut dan diangkat!” Maka ada seorang badui Arab menyela sabda beliau, “Wahai
Nabi Allah, bagaimana mungkin ilmu itu diangkat, sedangkan di sisi kami
terdapat lembar-lembar catatan dan kami pun telah mengajarkan kepada
isteri-isteri kami, anak-anak kami, dan bahkan para pembantu kami?” Maka
Rasulullah SHalallahu ‘Alaihi Wassallam menengadahkan mukanya ke atas dan
terlihat dari rona mukanya yang memerah, pertanda beliau sedang marah. Kemudian
beliau bersabda,
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ هَذِهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى
بَيْنَ أَظْهُرِهِمْ الْمَصَاحِفُ لَمْ يُصْبِحُوا يَتَعَلَّقُوا بِحَرْفٍ مِمَّا
جَاءَتْهُمْ بِهِ أَنْبِيَاؤُهُمْ أَلَا وَإِنَّ مِنْ ذَهَابِ الْعِلْمِ أَنْ
يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ ثَلَاثَ مِرَارٍ
“Duh, celaka kamu ini. Lihatlah orang-orang Yahudi dan
Nasrani itu, bukankah di sisi mereka juga terdapat lembar-lembar catatan, namun
demikian tak ada satu huruf pun di antara catatan tersebut yang hinggap di hati
mereka dari apa yang telah diajarkan oleh nabi-nabi mereka. Ingatlah, sungguh,
hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya orang yang memilikinya (beliau mengatakan
hal ini sebanyak 3 kali).”’[HR. Ahmad]
Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya orang yang
berilmu hadir dan menetap dalam sebuah komunitas masyarakat. Hadits ini juga
mengisyaratkan betapa pentingnya kehadiran seorang pakar dan ulama meskipun di
tengah-tengah mereka telah terdapat berbagai catatan (literatur). Sebab mereka
inilah yang akan menjelaskan maksud dari semua isi catatan tersebut. Untuk
kontek global seperti sekarang ini, maka keberadaan media sosial dan smartphone
tidak akan pernah mampu menggantikan peran ulama. Dengan kata lain, walau di
tangan seseorang telah terdapat gadget tercanggih yang memuat berbagai
kandungan ilmu yang sangat lengkap, namun hal itu tidak menjamin seseorang akan
berada dalam ilmu yang benar manakala mereka meninggalkan ulama. Itulah mengapa
Rasulullah SHalallahu ‘Alaihi Wassallam mengingatkan bahwa dicabutnya ilmu ini
adalah dengan diwafatkannya ulama.
Isyarat yang terkandung dalam nubuwat di atas adalah
bila ulama sudah tidak lagi dijadikan sebagai rujukan, maka itulah bentuk
kematian ilmu. Juga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam mengingatkan bahwa
tercabutnya ilmu adalah salah satu penyebab bagi kemusnahan suatu bangsa, di
samping ia juga mengakibatkan umat tersebut akan menyimpang jauh dari jalan
yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala dan syariah-Nya.
Dari Sahl dari ayahnya, Rasulullah SHalallahu ‘Alaihi
Wassallam bersabda:
لَا تَزَالُ الْأُمَّةُ عَلَى الشَّرِيعَةِ مَا لَمْ
يَظْهَرْ فِيهَا ثَلَاثٌ مَا لَمْ يُقْبَضْ الْعِلْمُ مِنْهُمْ وَيَكْثُرْ فِيهِمْ
وَلَدُ الْحِنْثِ وَيَظْهَرْ فِيهِمْ الصَّقَّارُونَ قَالَ وَمَا الصَّقَّارُونَ
أَوْ الصَّقْلَاوُونَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بَشَرٌ يَكُونُ فِي آخِرِ
الزَّمَانِ تَحِيَّتُهُمْ بَيْنَهُمْ التَّلَاعُنُ
“Umatku ini akan konsekuen terhadap syariah selama di
tengah-tengah mereka tidak terdapat 3 perkara: selama ilmu belum dicabut dari
mereka, selama di tengah mereka tidak banyak terdapat anak hasil dari hubungan
zina, dan selama di tengah mereka tidak terdapat para shaqqarun.” Seseorang
bertanya kepada Rasulullah SHalallahu ‘Alaihi Wassallam, “Siapakah shaqqarun
(atau shaqlawun- keraguan perawi) itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
“Mereka ini adalah orang-orang di akhir zaman yang menjadikan salam
penghormatan mereka dengan saling melaknat.”
Betapa nyatanya peringatan beliau kepada umat umat
akhir zaman ini. Ya, hari ini kita menyaksikan banyak sekali para pemuda yang
baru belajar satu atau dua kali pertemuan sudah berani memberikan hujatan dan
celaan kepada para ulama senior. Hanya dengan bermodal copas sebuah artikel
mereka sudah berani berkomentar layaknya para pakar.
Lihatlah dunia FB juga group sosial lainnya, komen
bernada celaan dan saling laknat telah menjadi kebiasaan. Fenomena shaqqarun
dan shaqlawun telah merebak. Semua merasa paling benar, bahkan siapa yang
paling ahli mendebat dan membantah diidentikkan dengan orang alim yang cerdas.
Padahal hakikatnya adalah alim dalam melaknat dan mencela. Semoga Allah
menyelematkan kita dari keburukan terjauhkannya ulama dalam kehidupan kita.
Wallahu a’lam bish shawab.*
Penulis buku-buku akhir zaman
Istilah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah sudah sering kita dengar. Banyak orang atau kelompok yang mengaku
berada di atas pemahaman/manhaj Ahlus Sunnah. Terkadang timbul konflik akibat
pengakuan-pengakuan tanpa bukti semacam ini. Masing-masing merasa dirinya di
atas kebenaran, sedangkan kelompok lain adalah menyimpang. Namun, yang lebih
penting untuk kita kaji sekarang adalah, apakah di dalam diri kita sudah
terdapat ciri-ciri Ahlus Sunnah?!
[1] Bersatu Di Atas
Kebenaran
Allah ta’ala
berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا
دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang suka memecah-belah
agama mereka sehingga menjadi bergolong-golongan maka engkau (Muhammad) sama
sekali tidak termasuk bagian mereka.” (QS. al-An’am: 159).
Allah ta’ala berfirman,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا
تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah
secara bersama-sama dan jangan berpecah-belah.” (QS. Ali ‘Imran: 103).
Allah ta’ala berfirman,
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ
وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus, maka
ikutilah ia! Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena hal
itu akan memecah-belah kalian dari jalan-Nya.” (QS. al-An’am: 153).
[2] Kebenaran Yang Harus Kita Ikuti
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ
الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ
وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Barangsiapa yang menaati Allah dan rasul, maka mereka
itulah orang-orang yang akan bersama dengan kaum yang diberikan kenikmatan oleh
Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Dan mereka itu adalah
sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69).
Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas
baginya petunjuk dan dia mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman, maka
Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan
Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah
seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115).
Allah ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي
شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan
taatilah rasul serta ulil amri diantara kalian. Kemudian apabila kalian
berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika
kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan
lebih bagus hasilnya.” (QS. an-Nisaa’: 59).
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ
إِلَى اللَّهِ
“Dan apa pun yang kalian perselisihkan maka hukumnya
adalah kepada Allah.” (QS. asy-Syura: 10).
Allah ta’ala berfirman,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ
أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya
orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan jalannya orang-orang
yang dimurkai, dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat.” (QS.
al-Fatihah: 6-7).
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang
mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa
mempersekutukan-Nya dengan apapun, dengan cara menjalankan syari’at yang
ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan
dengan hawa nafsu dan bid’ah-bid’ah.” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 116-117)
[3] Menjunjung Tinggi Tauhid
Jalan yang lurus adalah jalannya orang-orang yang
bertauhid. Merekalah orang-orang yang telah merealisasikan kandungan ayat
Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in di dalam hidupnya. Adapun orang-orang musyrik
adalah kaum yang dimurkai dan tersesat dari jalan Allah (lihat at-Tafsir
al-Qoyyim, hal. 54).
Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ
اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat
seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS.
an-Nahl: 36)
Allah ta’ala berfirman memberitakan ucapan Nabi ‘Isa
‘alaihis salam,
فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ إِنَّ اللَّهَ رَبِّي
وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan taatilah
aku. Sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah
jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran: 50-51, lihat juga QS. Az-Zukhruf: 63-64).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Inilah, yaitu
penyembahan kepada Allah, ketakwaan kepada-Nya, serta ketaatan kepada rasul-Nya
merupakan ‘jalan lurus’ yang mengantarkan kepada Allah dan menuju surga-Nya,
adapun yang selain jalan itu maka itu adalah jalan-jalan yang menjerumuskan ke
neraka.”(lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 132)
Allah ta’ala berfirman,
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا
تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا
صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ
“Bukankah Aku telah berpesan kepada kalian, wahai
keturunan Adam; Janganlah kalian menyembah setan. Sesungguhnya dia adalah musuh
yang nyata bagi kalian. Dan sembahlah Aku. Inilah jalan yang lurus.” (QS.
Yasin: 60-61).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa yang
dimaksud ‘menaati setan’ itu mencakup segala bentuk kekafiran dan kemaksiatan.
Adapun jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah, taat kepada-Nya, dan
mendurhakai setan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 698)
Sebuah realita yang sangat menyedihkan adalah banyak
diantara kaum muslimin di masa kita sekarang ini yang mengucapkanIyyaka na’budu
wa Iyyaka nasta’in, akan tetapi di sisi lain mereka tidak memperhatikan
kandungan maknanya sama sekali. Mereka tidak memurnikan ibadahnya kepada Allah
semata. Mereka beribadah kepada selain-Nya. Seperti halnya orang-orang yang
berdoa kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, Husain, Abdul Qadir Jailani,
Badawi, dan lain sebagainya. Ini semua termasuk perbuatan syirik akbar dan dosa
yang tidak akan diampuni pelakunya apabila dia mati dalam keadaan belum
bertaubat darinya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19-20)
[4] Memadukan Ilmu dan Amal
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Orang
yang diberikan kenikmatan kepada mereka itu adalah orang yang mengambil ilmu
dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan
meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil
amal namun meninggalkan ilmu.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah,
hal. 25)
Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat didatangkan seorang
lelaki lalu dilemparkan ke dalam neraka. Usus perutnya pun terburai. Dia
berputar-putar seperti seekor keledai mengelilingi alat penggilingan. Para
penduduk neraka berkumpul mengerumuninya. Mereka pun bertanya kepadanya, “Wahai
fulan, apa yang terjadi padamu. Bukankah dulu kamu memerintahkan yang ma’ruf
dan melarang yang mungkar?”. Dia menjawab, “Benar. Aku dulu memang
memerintahkan yang ma’ruf tapi aku tidak melaksanakannya. Aku juga melarang
yang mungkar tetapi aku justru melakukannya.”.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan,
“Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat
kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita
maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” Ibnul Qayyim
mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan
orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya.”
(lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)
[5] Memuliakan Para Sahabat
Allah ta’ala berfirman mengenai para Sahabat dalam
ayat-Nya,
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ
يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Sungguh, Allah telah ridha kepada orang-orang yang
beriman yaitu ketika mereka bersumpah setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon
itu.” (QS. al-Fath: 18).
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam
tafsirnya bahwa jumlah para sahabat yang ikut serta dalam sumpah setia/bai’at
di bawah pohon itu -yang dikenal dengan Bai’atur Ridhwan– adalah 1400 orang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka
seorang pun di antara orang-orang [para sahabat] yang ikut berbai’at di bawah
pohon itu.” (HR. Muslim) (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 469)
Imam Bukhari membuat sebuah bab dalam Shahih-nya
dengan judul ‘Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar’ (lihatFath al-Bari
[1/79]). Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tanda
keimanan adalah mencintai Anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah membenci
Anshar.” (HR. Bukhari).
Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah membenci
Anshar seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (HR. Muslim).
Dalam riwayat lain lagi disebutkan, “Mencintai Anshar adalah keimanan dan
membenci mereka adalah kemunafikan.” (HR. Ahmad)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya ada salah seorang dari
kalian yang berinfak emas seberat gunung Uhud, maka tidak akan mengimbangi
infak salah seorang di antara mereka, walaupun itu cuma satu mud/dua genggaman
tangan, atau bahkan setengahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun hadits yang populer, “Para sahabatku seperti
bintang-bintang. Dengan siapa pun di antara mereka kamu meneladani maka kalian
akan mendapatkan petunjuk.” Ini merupakan hadits yang lemah. al-Bazzar berkata,
“Hadits ini tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
tidak pula terdapat dalam kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan.” (lihat
Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 468-469)
Imam Abu Zur’ah ar-Razi mengatakan, “Apabila kamu
melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik.
Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
membawa kebenaran. Demikian pula, al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar.
Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah ini
adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya
mereka -para pencela Sahabat- hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan
para saksi kita demi membatalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Maka mereka itu lebih
pantas untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang zindik.” (lihatQathful Jana
ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 161)
[6] Mengikuti Salafus Shalih, Menjauhi Bid’ah
Salafus shalih atau pendahulu yang baik merupakan
sebutan bagi tiga generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat (Muhajirin dan
Anshar), tabi’in (murid para sahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid para tabi’in).
Allah ta’ala berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ
وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
وَرَضُوا عَنْهُ
“Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu
kaum Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS. at-Taubah:
100).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik manusia adalah di jamanku. Kemudian orang-orang yang mengikuti
mereka. Kemudian berikutnya yang mengikutinya sesudahnya.” (HR. Bukhari).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang hidup sepeninggalku maka dia akan melihat banyak
perselisihan. Oleh sebab itu wajib atas kalian untuk mengikuti Sunnah/ajaranku
dan Sunnah/ajaran Khulafa’ ar-Rasyidin yang berpetunjuk. Gigitlah ia dengan
gigi-gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan.
Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi
berkata: hadits hasan sahih).
Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina
Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam.
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id
Siapa
Itu Golongan al Ahbash
Dr
Yusuf al-Qaradawi mengulas tentang ahbash ini
dengan katanya
“Semenjak beberapa tahun yang
lalu aku ada mendengar tentang satu jamaah yang zahir di Lebanon, ia
menimbulkan masalah kepada umat Islam di sana dengan pandapat-pendapat yang
pelik, menyeleweng dan pandangan-pandangan yang merbahaya dalam persoalan
aqidah, fekah dan akhlak…dan yang lebih dahsyat bahayanya apabila mereka
mengkafirkan setiap orang yang berbeda dengan mereka dalam kalangan umat Islam
hari ini atau yang terdahulu.
Mereka mengkafirkan Syeikh
al-Islam Ibn Taimiyyah, anak muridnya al-Imam Ibn al-Qayyim, dan sesiapa yang
mengikut dua orang tokoh ini seperti tokoh tajdid tauhid di al-Jazirah
al-Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Demikian
juga mereka mengkafirkan ramai dari ulama abad ini seperti al-’Allamah
al-Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Pemikir Islam Syed Qutb, dan selainnya.
Golongan Ahbash yang pelampau dan menyeleweng ini mendakwa mereka adalah dari
mazhab al-Imam Abu al-Hasan al-’Asy’ariy segi aqidah, mazhab al-Imam al-Syafi’i
segi Fekah, dan mengikut Tarikat al-Rifa’iyyah dalam berakhlak.
Akan tetapi hakikatnya mereka amat jauh dari manhaj
kesemua para imam itu samada dalam pemikiran, adab dan akhlak. Kelompok ini
yang mulanya timbul di Lebanon, dinamakan sebagai al-Ahbash, kerana tuan milik
dakwah dan pemegang bendera mereka adalah seorang lelaki dari Habashah
(Ethopia) berasal dari Harara, dia mendakwa dakwahnya ini adalah dakwah yang
baharu, yang hasrat utamanya ialah memecah belahkan kesatuan umat Islam,
mengucar-kacirkan mereka dan menyalakan api fitnah antara barisan umat Islam
dan menghalang setiap usaha untuk membantu perkembangan agama ini.
Termasuk
perkara yang pelik, mereka golongan Ahbash ini mentohmah aku ini wahhabi dan
taksub dengan para imam Wahhabi, seringkali aku apabila bercakap mengambil
daripada Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim dan madrasah mereka berdua, mereka
(Ahbash) menuduh Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim ini menyalahi ijma’ dalam
persoalan ini dan itu … ”.
(Dr Yusuf al-Qaradawi, Fatawa Muasarah
3/685-686, Dar al-Qalam).
Celakalah
Wahai Para Pencari Ilmu
14 Mar 2016
Beberapa murid Al-Buhlul berkata, “Ada surat untuk guru.” Al
Buhlul pun membukanya dan di sana tertulis:
“Dari wanita di Samarqand, Khurasan (dekat Afghanistan)… Saya
seorang wanita yang telah banyak melakukan dosa, yang tidak pernah
dilakukan oleh siapapun. Kini, saya ingin kembali kepada Allah dan bertobat.
Saya mencari seorang abid (ahli ibadah). Lalu, saya pun diberitahu bahwa ada
empat orang,salah satunya adalah Al-Buhlul yang tinggal di Afrika. Wahai
Al-Buhlul, saya memohon kepada engkau: Berdoalah kepada Allah agar Dia
senantiasa memberiku petunjuk dalam agama ini.”
Usai membaca, surat tadi jatuh dari tangan
Al-Buhlul. Wajahnya tiba-tiba sendu lalu beliau menangis. Air matanya membasahi
surat itu. Ia berkata, “Wahai Buhlul, orang Samarqand, Khurasan mengenalmu!! Celakalah
engkau, jika saja Allah tidak melindungimu(dengan menutupi aib dan membuatmu
tidak diketahui).”
Cerita ini menjadi pelajaran untuk semua orang
yang mencari ilmu hanya untuk berdebat; atau untuk memberikan ceramah sehingga
banyak orang mengenalnya, kemudian mendekatinya untuk mengajukan pertanyaan;
atau ingin dipanggil ustadz dan ia tidak suka ketika orang lain tidak
memperhatikan apa yang ia katakan; atau merasa hina ketika seseorang
menyebutnya orang awam.
Ini juga menjadi pelajaran bagi mereka yang
menuntut ilmu, tetapi tidak berakhlak seperti apa yang mereka pelajari; bagi
merekayang berilmu, tetapi tidak meningkat rasa takut kepada Allah
dalam hati; bagi mereka yang berpendapat bahwa pengetahuan
hanyalah hafalan dan untuk diri sendiri, dan tidak mau mendakwahkan.
Semoga Allah memenuhi hati kita dengan
rahmat-Nya serta mencatat kita termasuk orang-orang yang takut kepada-Nya dan
bertindak berdasarkan ilmu. Imam Asy-Syafi’i berkata,“Ilmu pengetahuan itu bukan sekadar dihafal, melainkan harus
bertindak sesuai dengannya.” Allah akan membimbing siapapun yangdikehendaki
untuk menjadi orang sukses.
Penulis : Dhani El_Ashim
Diambil dari Golden Stories
karya Abdullah bin Abdurrahman, Penerbit Aqwam, Januari 2016
Membongkar
Fakta Wahabi yang Jarang Diungkap
Ust
Zulkifli Muhammad Ali
Wahabi di Indonesia sudah sangat santer diserukan
untuk diusir. Sedikit berbeda dengan syiah. Sebagaian golongan menganggap
wahabi itu bukan Islam tapi masih menganggap syiah bagian dari Islam. Mungkin
itu bukan sekedar penyikapan terhadap satu aliran dengan aliran lain yang
kurang seimbang.
Selama ini isu perihal wahabi banyak sekali dibentur
ke dalam tubuh umat Islam. Mulai dari kesesatan wahabi atau strategi wahabi merusak
Islam seringkali dibahas oleh kalangan tertentu. Lain hal dengan penyikapan
terhadap syiah yang sebenarnya jauh berbahaya daripada isu wahabi. Sejatinya
syiah pun ternyata ikut berperan dalam mengangkap isu wahabi di tanah air
Indonesia. Hari ini akhirnya dapat kita lihat bahwasanya umat sangat anti
dengan kata wahabi tapi ketika disebut nama syiah justru masih dibela.
Inilah fakta yang harus diungkap,
Apakah sebenarnya arti dari istilah wahabi?
Siapakah sebenarnya wahabi?
Seperti apa pergerakan wahabi itu?
Apakah wahabi itu adalah sesat?
Bagaimana sikap kita terhadap wahabi?
Simak selengkapnya dalam khotbah Ustadz Zulkifli
Muhammad Ali berikut ini:
NU Kalsel Tak Ada Urusan dengan Khalid Basalamah (?)