Tuesday, August 23, 2016

Gunakan Cara-Cara Provokatif, Di Banjarmasin (Kalsel) Kembali Ustadz Ahlus Sunnah DR Khalid Basalamah MA Dihadang. Kenapa Tidak Gunakan Ranah Hukum Atau MUI ? Makin Antusiasnya Animo Umat Islam Merujuk Dakwah Al-Haq (AhlusSunnah). GAJAH Dipelupuk Mata TIDAK Tampak.



Ada masalah dengan dakwah ahlus sunnah (salafi) ? Silahkan pilih dan koreksi (hujjah) pada beberapa artikel dibawah ini :
Daftar Referensi Studi Komparatif
Antara Tuduhan Dan Fakta : Salafi (Ahlus Sunnah, “Wahhabi"?), Aswaja, Ibnu Taimiyah, Sifat/Keberadaan/ Melihat Allah Diakhirat, Tanduk Setan, Najd, Muawiyah Bin Abi Sofyan, Takfiri Syi’ah, Nawashib,Saudi, Malaysia Dan Lain-Lain.

Menanti Keberkahan di Tengah Terkikisnya “Berkat”

Oleh : Dr. Slamet Muliono*
Sebaran dakwah Islam telah mengalami lompatan dan lonjakan yang luar biasa. Gerakan dakwah bukan hanya menyentuh kalangan elite, tetapi juga merambah kalangan akar rumput (grassroots). Namun tumbuh dan berkembangnya spirit masyarakat untuk mengkaji agama ini terusik dengan munculnya gerakan penolakan.
Yang perlu disesalkan, penolakan terhadap gerakan dakwah  Islam dilakukan dengan ancaman dan teror, bukan dengan menggunakan jalur resmi yang diwadahi dan dijamin oleh negara. Yang lebih unik, upaya menghalangi dakwah Islam itu dilakukan dengan melibatkan dan menggalang kekuatan dari ormas Islam itu sendiri.
Disadari atau tidak, dakwah mengajak kepada ajaran Islam murni memang sedang mengalami lompatan dan lonjakan. Tumbuh dan berkembangnya lembaga pendidikan dan pesantren yang mengajak kepada “dakwah tauhid” mulai mengalami booming, sehingga berbagai kajian dan pendalaman terhadap Al-Qur’an dan Sunnah begitu massif, baik di kawasan elite perkotaan maupun kawasan pinggiran pedesaan.
Perlawanan Terhadap Dakwah
Di tengah gerakan dakwah yang massif itu muncul gerakan perlawanan yang tidak kalah gencarnya. Gerakan untuk mereaksi tumbuhnya gerakan dakwah, yang begitu luas di berbagai level dan kelompok sosial, menggunakan isu tunggal. Isu yang dibangun dan dan dikembangkan di berbagai kesempatan adalah Wahabi dan bahaya kesesatannya.
Nalar yang dibangun adalah Wahabi adalah gerakan sesat dan menyimpang dari Islam. Bahkan Wahabi dikatakan sebagai gerakan yang membahayakan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gagasan untuk menyesatkan Wahabi, di samping dicurigai sebagai gerakan yang membahayakan NKRI, diawali dengan membenturkan gerakan Wahabi yang dianggap tidak toleran terhadap budaya lokal.
Stigmatisasi terhadap gerakan dakwah dengan label Wahabi memang cukup efektif di kalangan masyarakat awam, sehingga reaktif masyarakat begitu cepat. Karena reaktifnya, tidak jarang bila cara-cara meresponnya lebih mengedepankan fisik-konfrontatif daripada nalar-prosedural dan dialogis. Oleh karena itu, sangat logis apabila  perlawanan terhadap gerakan dakwah, yang sudah merambah di pedesaan dan pelosok, lebih banyak menggunakan teror dan ancaman daripada menggunakan jalur hukum.
Penolakan terhadap dakwah tauhid ini sudah terjadi di berbagai tempat. Yang mutakhir terjadi di Kalimantan Selatan, dimana kajian Islam diminta untuk dihentikan. Beberapa komponen masyarakat mengatasnamakan “KALIMANTAN BERSATU MENOLAK WAHABI”  dengan alasan. Penolakan dakwah itu disertai dengan pernyataan sikap “MENOLAK KERAS” (kedatangan dua dai Dr. Khalid Basalah, MA. dan Dr. Syafiq Reza Basalamah pada tanggal 20-21 Agustus 2016) guna menghindari reaksi ummat. Dakwah yang dituduh Wahabi ini dianggap menebarkan kebencian dan permusuhan di masyarakat.
Yang menarik, gerakan penolakan itu dilakukan oleh lembaga adat kebudayaan Banjar, para pecinta guru Sakumpel, serta didukung oleh Angkatan Muda Sabilal Muhtadin, Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Banser kota Banjarmasin. Oleh karena itu, menjadi unik karena gerakan dakwah Islam harus berhadapan dengan ormas Islam juga.
Mempertentangkan Islam dan Budaya
Gerakan perlawanan terhadap dakwah Islam, yang dituduh Wahabi ini, selalu mengaitkan dan mempertentangkannya dengan budaya lokal. Budaya yang melekat dan dilakukan secara turun menurun memang bukan hal yang mudah untuk ditinggalkan. Perlawanan terhadap gerakan dakwah sudah berlangsung sebelum kemerdekaan Indonesia. Kelompok Paderi adalah salah satu contoh sebuah gerakan dakwah untuk mengembalikan dan meluruskan kepercayaan masyarakat yang menyimpang. Namun reaksi masyarakat lokal demikian dahsyat sehingga menggandeng tentara Belanda. Tokoh agama lokal rela bekerjasama dengan kolonial Belanda untuk memadamkan dakwah yang mengajak masyarakat untuk berpegang teguh terhadap agama daripada tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Tumbuh dan berkembangnya gerakan dakwah saat ini tidak lepas dari mengajak masyarakat untuk berpegang teguh terhadap  agama dibanding terhadap budaya yang mentradisi. Tuduhan sesat dan menyimpang, terhadap gerakan dakwah saat ini, tidak berbeda dengan apa yang dituduhkan terhadap dakwah kelompok Paderi. Senjata ampuh untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap dakwah ini bukan hanya menuduh Wahabi, tetapi menyesatkannya dan menududukannya sebagai ancaman negara budaya lokal.
Kalau mau berpikir jernih, seharusnya menentukan sesat dan tidak sebuah kelompok, bahaya dan tidaknya sebuah aliran dikembalikan kepada pihak yang berwenang dengan melaporkannya kepada pihak yang berwajib, yakni negara. Namun jalan itu tidak ditempuh, dan bahkan diabaikan. Mereka lebih banyak menggunakan cara-cara provokatif daripada dialog interaktif. Sementara kajian dilakukan secara terbuka dan untuk umum, sehingga ketika terjadi adanya penyimpangan atau kesesatan ajaran, maka bisa dicatat dan dilaporkan kepada pihak yang berwajib.
Kebebasan beragama dan berkeyakinan telah dijamin negara lewat Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Oleh karena itu, jika terjadi penyimpangan maka bisa dilaporkan ke kepolisian, dan Jaksa yang akan menuntut, dan Hakim yang memutuskan. Jika terbukti menyimpang, maka jaksa yang akan menyatakan ajaran tersebut sesat dan terlarang.
Lompatan atau lonjakan gerakan dakwah tauhid ini, tidak bisa dipungkiri, telah mengganggu kemapanan kelompok-kelompok yang selama ini sudah menikmati kondisi dan keadaan yang selama ini. Masyarakat benar-benar menginginkan keberkahan hidup dengan dakwah tauhid ini, namun masih ada sekelompok kecil masyarakat yang merasa terganggu karena “berkat” yang selama ini dinikmati dan terancam akan lepas dari genggamannya.
*Penulis adalah dosen di STAI Ali bin Abi Thalib dan Direktur Pusat Kajian Islam dan Peradaban (PUSKIP) Surabaya


Jadilah Kekuatan Al-Haq

Manusia harus memilih dalam hidupnya. Memilih menjadi kekuatan al haq atau menjadi kekuatan al bathil. Memilih bergabung bersama dengan kekuatan hizbullah atau bergabung dengan hizbussyaithon.
Surat ar-Ra’du surah al-Qur’an menjelaskan dengan gamblang dengan pilihan-pilihan yang harus dilakukan oleh manusia. Risalahn-Na yang diberikan oleh Allah azza wa jalla mengatakan, bahwa kebenaran (al haq) merupakan kekuatan yang kokoh, sekalipun tidak nampak oleh mata. Sebaliknya, kebathilan adalah kekuatan yang kalah dan lemah. Kebathilan adalah kekuatan yang secara lahir nampak kokoh, tetapi sebenarnya sesuatu yang sangat rapuh dan tidak ada nilainya.
Hakikat ini banyak orang yang belum menyadarinya. Mereka sering terpedaya dengan kemilaunya kebathilan yang palsu. Kebathilan terkadang bentuknya beragam, bisa berbentuk gaya hidup yang serba “wah’ (ibahiyah) yang dilakukan secara terbuka atau kemaksiatan yang merajalela dikalangan pengawai atau pedagang yang berdusta serta penguasa yang menipu dalam pekerjaannya. Umat yang zalim melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap umat Islam dan berani merampas haknya. Semuanya merupakan bentuk kekuatan bathil yang sangat rapuh.
Pengaruh Kebathilan Terhadap Manusia
Apabila hakikat kebathilan telah hilang dari pandangan manusia dan mereka terpedaya, bahkan takut kepada kebathilan, sehingga mereka sampai berani menganggap rendah kebenaran (al haq) yang ada pada mereka dan berusaha meniru dan mengikuti kebathilan itu, maka manusia akan menghadapi kehancuran bersama dengan kebathilan yang lemah itu.
Kita melihat banyak sekali orang bersekutu dan berkomplot dengan kebathilan dalam kehidupannya. Banyak sekali orang yang mengatakan bahwa “si pulan” sukses dalam perdagangannya dengan cara mencuri, menjilat, dan menipu. Juga “si pulan” sukses menjadi pemimpin, tetapi hakekatnya dia telah menjadi penipu dan pendusta terhadap al haq serta umat yang dipimpinnya. Mereka mengikuti semua langkah dan jejak kebathilan ketika merasa tidak membahayakan, meskpun mengikuti langkah kebathilan sebagai jalan yang sesat itu.
Kebahagiaan Semua
Manusia yang berjalan dibelakang kebathilan, digambarkan oleh Allah azza wa jalla, sebagai orang yang memandangi air dan mulutnya berusaha untuk mengambilnya. Padahal air itu tidak sampai ke mulutnya. Oleh karena itu, setiap orang yang berjalan di belakang kebathilan, hatinya akan berjalan di bekalang kebahagiaan. Sementara kebahagiaan semu yang diyakininya adalah gelas khamer (minuman keras) yang diminumnya, nyanyian tidak bermoral yang ia dendangkan, atau harta yang haram yang ia nikmati. Padahal sebetulnya, ia tidak akan bisa menggapai kebahagiaan sama sekali.
Allah azza wa jalla berfirman :
Hanya bagi Allah lah (hak mengabulkan) do’a yang benar”. (QS : ar-Ra’du : 14)
Maka, hendaklah manusia berjalan pada jalan Allah Ta’ala, karena sesungguhnya kebenaran yang sempurna adalah jalan Allah. Bukan jalan syaithon. Meskipun, banyak manusia yang memilih jalan syaithon, yang nampak indah dan menakjubkan, sehingga membuat mereka bersedia bergabung dengan “jamaah’ syaithon.
Lalu yang terkait dengan hakikat kebathilan dalam firman Allah azza wa jalla :
“Dan berhala-hala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya samai air ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya”. (QS : ar-Ra’du : 14)
Kebathilan Bagaikan Buih
Allah azza wa jalla memberikan perumpamaan yang mengagumkan untuk menegaskan bahwa kebenaran (al haq) adalah kekuatan yang kokoh sekalipun ia tidak nampak dihadapan manusia. Kebathilan adalah sesuatu yang rapuh yang tidak bernilai, meskipun ia nampak ke permukaan dan terkenal.
Firman-Nya :
“Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya”. (QS : ar-Ra’du : 17)
Air yang turun dari langit melambangkan kebenaran (al haq) dan kebaikan (al khiar) yang diturunkan bersama dengan wahyu. lalu apa pengaruh air? “Maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya”.
Perhatikan bagaimana kekuatan kebenaran dan kebesarannya, bagaimana air memasuki lembah untuk membawa kebaikan bagi kehidupan manusia, lalu apa yang terjadi, “Maka arus itu membawa buih yang mengembang”. Selamanya air akan membawa buih-buih (kebathilan) itu sampai kebathilan menjadi lenyap dari pandangan manusia.
Allah memberikan perumpaan yang lainnya, yang sangat indah dan mengagumkan, seperti dalam firman-Nya :
“Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu”. (QS : ar-Ra’du : 17)
Allah Membuat Perumpaan Kebenaran dan Kebathilan
Allah azza wa jalla memberikan perumpamaan yang sangat jelas antara al haq dengan al bathil guna mempertegas korelasi (hubungan) keduanya dengan tujuan utama, seperti yang terkandung dalam surah ar-Ra’du :
Demikianlah Alah memnbuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil”. (QS : ar-Ra’du : 17)
“Adapun buih, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya, adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah memnbuat perumpaan-perumpamaan”. (QS : ar-Ra’du : 17)
Marilah kita meninggalkan segala bentuk kebathilan yang nampak indah dan megah di mata, karena yang nampak indah dan megah itu, hakekatnya hanyalah semu, seperti digambarkan oleh Allah azza wa jallah sebagai buih, yang akan hilang bersama dengan datangnya angin dan gelombang yang akan membawanya ke tengah samudera kehidupan.
Memilih jalan kebathilan yang disangka akan membawa kebahagiaan dan kenikmatan, ternyata hanya kesia-siaan belaka, dan justeru menjerumuskan kedalam kehidupan yang melelahkan, dan akhirnya menghancurkan kehidupan manusia itu sendiri.
Allah azza wa jalla telah banyak memberikan ibroh (pelajaran) bagi manusia dengan sangat jelas, di mana semua pengikut dan yang memilih jalan kebathilan itu, akhirnya mengalami kehancuran. Umat-umat dan para pemimpinnya yang memilih jalan kebathilan dan kesesatan akhirnya hancur. Sejak zaman Nabi Nuh Alaihis sallam, sampai pada zaman Nabi Muhammad Shallahu alaihi was sallam.
Firman-Nya :
“Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah,(demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar lalu menimpakan kepada sispa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantah tentang Allah, dan Dia lah Rabb yang Mahakeras siksa-Nya”.(QS : ar-Ra’du :13
Allah azza wa jalla akan memelihara dan melindungi mereka yang tetap dan istiqomah di jalan al haq (kebenaran) di jalan Rabb nya, tidak pernah meninggalkan risalah-Nya, dan menjadikannya sebagai minhajul hayah, serta menjauhkan diri dari jalan kebathilan, betapapun menarik dan indahnya kebathilan, yang hakikatnya hanyalah kepalsuan dan menjadi tipu daya manusia.
Tidak ada keraguan lagi Allah azza wa jalla akan menjadi pelindung, dan akan memberikan jaza’ serta kemuliaan bagi mereka yang selalu di jalan-Nya, dan tidak meninggalkan risalah-Nya. Mereka akan mendapatkan kemuliaan disisi-Nya kela di akhirat. Yakinlah.
Firman-Nya :
“Bagi orang-orang yang memenuhi seruan Rabbnya, (disediakan) pembalasan yang baik”. (QS : ar-Ra’du : 18). Wallahu’alam.
-Mashadi-

Para penggembos dakwah lebih berbahaya dari 
ahli bid’ah

Asy Syaikh Muhammad bin Hadi al Madkhali حفظه الله
Sikap selalu mengikuti bimbingan ulama Ahlus Sunnah yang mengajak umat agar berpegang teguh dengannya, ini adalah satu-satunya jalan setelah taufik dari Allah untuk menempuh jalan yang benar serta selamat dari hawa nafsu dan bid’ah. Saya telah mengatakannya dan telah sering saya sampaikan kepada kalian bahwa sesungguhnya termasuk keutamaan dari Allah bagi kita di zaman ini adalah –bahkan di samping merupakan keutamaan hal itu juga sebagai bentuk penegakkan hujjah terhadap diri kita– yaitu dengan dicetaknya kitab-kitab As-Sunnah berupa kitab-kitab akidah, dan telah banyak di masa kita ini dalam bentuk cetakan maupun kumpulan yang tidak ada di masa lalu. Allah lah yang telah mengumpulkannya sehingga mudah didapatkan. Seandainya engkau ingin mengumpulkan kitab-kitab itu sebanyak satu perpustakaan lengkap tentu engkau akan bisa melakukannya. Baiknya yang bentuknya dengan disebutkan sanadnya secara lengkap maupun yang diringkas tanpa sanad. Maka apa lagi setelah ini?! Apakah para ulama itu mewariskan kitab-kitab itu kepada kita dengan tujuan agar kita gunakan untuk menghiasi rak-rak saja?!

Ataukah mereka mewariskannya kepada kita agar kita mengamalkannya?! Demi Allah, kitab-kitab itu tidaklah diwariskan kepada kita kecuali agar kita mengamalkannya.
Siapa yang menyatakan bahwa kandungan kitab-kitab itu memberatkan manusia, maka orang yang semacam ini dia adalah penggembos!

Mungkin sebenarnya dia merasakan kelemahan pada dirinya. Jika dia memang merasakan kelemahan pada dirinya, maka janganlah dia membuat orang lain ikut lemah!

Atau bisa jadi dia ingin hidup seperti yang dikatakan oleh guru kami Asy-Syaikh Hamud At-Tuwaijiry rahimahullah: “Dia hidup di tengah-tengah kaumnya dengan prinsip selalu mendapatkan keuntungan.” Yaitu orang yang semua pihak mendapatkan keuntungan darinya dan dia pun bisa mendapatkan keuntungan dari semua pihak.

Jadi dia memanfaatkan teman-temannya dan mencari penghasilan dari mereka, walaupun harus dengan cara melakukan hal-hal yang menyelisihi jalan para Salaf.

Pintu ini secara khusus adalah pintu yang sangat berbahaya di hari-hari ini. Dan inilah pintu yang merusak sekian banyak dari anak-anak dan para pemuda serta murid-murid kita.

Jadi engkau bisa melihat sebagian orang yang menyandarkan dirinya kepada manhaj Salafus Shalih dia tertimpa sebagian kelemahan. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam telah menjelaskan bahwa ada seorang mu’min yang kuat dan ada juga mu’min yang lemah. Hanya saja seorang mu’min yang kuat dia lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah dibandingkan mu’min yang lemah, walaupun semuanya memiliki kebaikan.

Jika orang ini lemah, maka janganlah kelemahannya itu menyeretnya untuk mengingkari jalan ini serta siapa saja yang ingin menempuhnya, orang yang sabar dan menguatkan kesabaran, mengajak manusia untuk menempuhnya, mengharapkan pahala serta siap menanggung gangguan atasnya. Karena sesungguhnya ilmu ini adalah agama, dan tidaklah ilmu agama ini sampai kepada kita kecuali setelah menimpa berbagai macam ujian terhadap pendahulu kita. Diantara mereka ada yang terbunuh, ada yang dipukul dan ada yang dipenjara. Walaupun demikian sampai juga As-Sunnah kepada kita dalam keadaan bersih dan murni sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi was sallam. Semua itu karena keutamaan dari Allah kemudian dengan sebab jihad para Salaf itu, semoga Allah merahmati dan meridhai mereka semua.

Adapun di masa ini keadaannya justru kebalikannya.

Telah muncul ucapan busuk, terlaknat dan mungkar, yang mensifati para masayikh dakwah Salafiyah sebagai orang-orang yang terlalu keras, karena para ulama tersebut senantiasa bangkit menghadang bid’ah dan para pengusungnya, menghadang orang-orang yang meremehkan bahayanya serta memberikan jalan yang lebar bagi para penyerunya.
Atau minimalnya orang-orang itu menyuruh agar orang lain diam membisu dan meremehkan apa yang dilakukan oleh para ulama itu.

Apa sikap terlalu keras yang mereka tuduhkan kepada para ulama itu?!

Saya menuntut siapa saja yang menyatakan bahwa para ulama itu adalah orang-orang yang terlalu keras; pada masalah apa para ulama telah bersikap terlalu keras?!
Ini pertanyaan pertama. Mana tunjukkan jawabannya?! Perkara yang mana dan bagaimana konteks atau bentuk sikap atau pernyataan para ulama yang dianggap terlalu keras itu?! Sebutkan kepada saya!!

Ketika ada yang menyebutkannya, ternyata faktanya seperti yang dikatakan oleh seseorang bahwa:

وَلَا عَيْبَ فِيْهِمْ غَيْرَ أَنَّ سُيُوْفَهُمْ … بِهِنَّ فُلُوْلٌ مِنْ قِرَاعِ الْكَتَائِبِ

Tidak ada kesalahan mereka itu selain karena pedang-pedang mereka … Menjadi tumpul karena membentur perisai pasukan berkuda (Lihat: Mu’jam Maqayiisil Lughah, terbitan Daarul Fikr, 4/434 –pent)

Maksudnya para ulama itu sebenarnya tidak memiliki kesalahan, mereka hanya dituduh salah karena keberanian mereka menampakkan kebenaran dengan terang-terangan. Ini sikap terlalu keras menurut orang-orang yang menuduh itu.

Jadi menurut mereka dengan diam membiarkan dan tidak mengingkari pengikut Al-Ikhwan Al-Muslimun, Jamaa’ah Tabligh, Asy’ariyah, Shufiyah, Aqlany (orang-orang yang mengedapankan akal –pent), Thauran, serta siapa saja yang menyimpang, kemudian membaur dengan mereka dengan prinsip simbiosis mutualisme (saling menguntungkan), ini yang dianggap hikmah menurut mereka. Dan kejahatan ini dibalut dengan jilbab hikmah dengan tujuan untuk menyesatkan anak-anak kaum Muslimin.

Hikmah yang benar adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya yang tepat. Yaitu dengan bersikap keras pada keadaan yang Allah juga bersikap keras padanya, serta bersikap lembut sesuai yang Allah perintahkan.

إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِيْ الأَمْرِ كُلِّهِ.

Sesungguhnya Allah lembut dan mencintai kelembutan pada semua perkara.” (HR. Al-Bukhary no. 6927 dan Muslim no. 2165 –pent)

Perkara ini tidak tersamar bagi kita, ini merupakan sikap asal

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِيْ الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ.

"Karena rahmat dari Allah sajalah engkau bersikap lembut terhadap mereka, seandainya engkau kasar dan keras hati, tentu mereka akan menjauh darimu. Maka maafkanlah mereka dan mintakanlah ampunan untuk mereka, serta ajaklah mereka bermusyawarah untuk menentukan keputusan. Lalu jika engkau telah membulatkan tekat pada sebuah keputusan, maka bertawakallah kepada Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran: 159)

Allah memerintahkan perkara ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi was sallam, ini adalah sikap asal.

Tetapi jika ada orang berusaha mengangkat sengatnya dengan kebathilan dan dia terus-menerus membela kebathilan, atau berusaha menta’wil kebathilan serta mencari-carikan alasan untuk membela para pengusungnya, dia tidak mau membuat marah orang yang membawa kebathilan tersebut, yang akibatnya akan memakan korban dari kalangan anak-anak Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Jika datang orang yang membawa kebathilan semacam ini maka bagaimana cara kita membantahnya?! Kita ajak dia kepada jalan yang benar dan kita jelaskan kesalahannya. Tetapi jika dia mengabaikan, maka Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِيْنَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ.

“Wahai Nabi, berjihadlah memerangi orang-orang kafir dan munafik serta bersikap keraslah kepada mereka.” (QS. At-Taubah: 73)

Ahlus Sunnah berdalil dengan ayat yang memerintahkan untuk bersikap keras terhadap orang-orang munafik untuk bersikap keras terhadap para pengekor hawa nafsu dan ahli bid’ah, karena pada mereka terdapat keserupaan sifat munafik dan kelakuan orang-orang munafik. Dan bahayanya terhadap umat Islam yang muncul dari mereka ini lebih besar dibandingkan dengan orang yang memang asalnya kafir murni. Bahayanya terhadap umat Islam yang muncul dari mereka ini lebih besar dibandingkan dengan orang yang memang asalnya kafir.

Demikianlah prinsip-prinsip pokok ini dinyatakan oleh para imam Ahlus Sunnah.

Demikian pula bahayanya terhadap Ahlus Sunnah yang muncul dari orang-orang yang lembek –YANG MARAH TERHADAP PERKATAAN INI SILAHKAN MARAH – lebih besar dan lebih mengerikan dibandingkan dengan ahli bid’ah yang terang-terangan. Karena seorang mubtadi’ telah kita ketahui dengan jelas dan dengan seizin Allah kita bisa mewaspadainya. Tetapi orang yang berusaha mencari-carikan alasan untuk membela ahli bid’ah dan membolehkan kesesatannya, inilah yang berbahaya terhadap Ahlus Sunnah.
WhatsApp Salafy Indonesia || http://forumsalafy.net
Diarsipkan oleh www.happyislam.com

Ilmu Diangkat, Kebodohan Merata

Ahad, 17 Juli 2016 - 13:00 WIB
Bila ulama sudah tidak lagi dijadikan sebagai rujukan, maka itulah bentuk kematian ilmu
Oleh: Abu Fatiah Al-Adnani
Dari Abdullah bin Amr bin Ash ra, RasulullahSHalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata’ala tidak mencabut ilmu sekaligus dari hamba-Nya, tetapi Dia mencabut ilmu tersebut dengan diwafatkannya para ulama. Sehingga, tidak ada satu ulama pun yang tersisa. Pada saat itulah manusia mengangkat pemimpin dari mereka yang bodoh. Dan pada saat pimpinan yang bodoh tersebut ditanyai, maka para pemimpin tersebut memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu, sehingga mereka tersesat dan menyesatkan.[HR. Al-Bukhari, Al-Ilm, hadits no. 100, [Fath Al-Bârî (1/234)]; Muslim, Al-‘Ilm, hadits no. 2673 [Muslim bi Syarh An-Nawawi (4/440)].

Membandingkan antara metode belajar modern dengan para salaf, nampaknya ada sisi lain yang menarik untuk dikaji. Konon metode belajar modern mengajarkan agar suasana belajar dibuat sedemikian menyenangkan, jauh dari tekanan dan paksaan. Sementara para salaf mengajarkan bahwa menuntut ilmu harus sungguh-sungguh dan bersusah payah.

Di era modern, guru didorong untuk menjadi ‘teman’ belajar bagi muridnya. Sementara di era salaf seorang guru adalah tranformer pengetahuan sekaligus karakter. Lebih dari itu para guru (ulama) memerankan diri sebagai solusi dan rujukan utama dalam semua persoalan hidup manusia.

Di era informasi yang sedemikian pesatnya, peran guru banyak tergantikan oleh media elektronik. Dampak yang muncul adalah lahirnya para penuntut ilmu yang merasa tidak butuh guru dan ingin cepat sampai maqam tertinggi dalam berbagi ilmu. Inilah fenomena yang kita saksikan, saat dimana seseorang tidak tertarik untuk mendalami ilmu hanya lantaran bahwa gadget di tangannya akan memberikan jawaban atas apapun masalah yang dihadapinya.

Inilah yang membedakan kwalitas para penuntut ilmu di masa salaf dan era modern.

Penyakit yang menimpa kepada Bani Israel yang merasa tidak butuh kepada ulama dan mencukupkan diri dengan membaca, kini telah banyak menimpa kepada umat Islam. Jadilah mereka orang yang sok pintar walau hakikatnya adalah bodoh.

Dalam sebuah riwayat disebutkan: Pada saat haji Wada‘, Rasulullah SHalallahu ‘Alaihi Wassallam berada di depan orang-orang dengan memboncengkan Al-Fadhl bin Abbas di atas satu unta yang berwarna putih agak gelap. Beliau bersabda, “Wahai manusia, tuntutlah ilmu sebelum ilmu tersebut dicabut dan diangkat!” Maka ada seorang badui Arab menyela sabda beliau, “Wahai Nabi Allah, bagaimana mungkin ilmu itu diangkat, sedangkan di sisi kami terdapat lembar-lembar catatan dan kami pun telah mengajarkan kepada isteri-isteri kami, anak-anak kami, dan bahkan para pembantu kami?” Maka Rasulullah SHalallahu ‘Alaihi Wassallam menengadahkan mukanya ke atas dan terlihat dari rona mukanya yang memerah, pertanda beliau sedang marah. Kemudian beliau bersabda,
ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ هَذِهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى بَيْنَ أَظْهُرِهِمْ الْمَصَاحِفُ لَمْ يُصْبِحُوا يَتَعَلَّقُوا بِحَرْفٍ مِمَّا جَاءَتْهُمْ بِهِ أَنْبِيَاؤُهُمْ أَلَا وَإِنَّ مِنْ ذَهَابِ الْعِلْمِ أَنْ يَذْهَبَ حَمَلَتُهُ ثَلَاثَ مِرَارٍ
“Duh, celaka kamu ini. Lihatlah orang-orang Yahudi dan Nasrani itu, bukankah di sisi mereka juga terdapat lembar-lembar catatan, namun demikian tak ada satu huruf pun di antara catatan tersebut yang hinggap di hati mereka dari apa yang telah diajarkan oleh nabi-nabi mereka. Ingatlah, sungguh, hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya orang yang memilikinya (beliau mengatakan hal ini sebanyak 3 kali).”’[HR. Ahmad]

Hadits ini menunjukkan betapa pentingnya orang yang berilmu hadir dan menetap dalam sebuah komunitas masyarakat. Hadits ini juga mengisyaratkan betapa pentingnya kehadiran seorang pakar dan ulama meskipun di tengah-tengah mereka telah terdapat berbagai catatan (literatur). Sebab mereka inilah yang akan menjelaskan maksud dari semua isi catatan tersebut. Untuk kontek global seperti sekarang ini, maka keberadaan media sosial dan smartphone tidak akan pernah mampu menggantikan peran ulama. Dengan kata lain, walau di tangan seseorang telah terdapat gadget tercanggih yang memuat berbagai kandungan ilmu yang sangat lengkap, namun hal itu tidak menjamin seseorang akan berada dalam ilmu yang benar manakala mereka meninggalkan ulama. Itulah mengapa Rasulullah SHalallahu ‘Alaihi Wassallam mengingatkan bahwa dicabutnya ilmu ini adalah dengan diwafatkannya ulama.

Isyarat yang terkandung dalam nubuwat di atas adalah bila ulama sudah tidak lagi dijadikan sebagai rujukan, maka itulah bentuk kematian ilmu. Juga Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam mengingatkan bahwa tercabutnya ilmu adalah salah satu penyebab bagi kemusnahan suatu bangsa, di samping ia juga mengakibatkan umat tersebut akan menyimpang jauh dari jalan yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala dan syariah-Nya.

Dari Sahl dari ayahnya, Rasulullah SHalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:
لَا تَزَالُ الْأُمَّةُ عَلَى الشَّرِيعَةِ مَا لَمْ يَظْهَرْ فِيهَا ثَلَاثٌ مَا لَمْ يُقْبَضْ الْعِلْمُ مِنْهُمْ وَيَكْثُرْ فِيهِمْ وَلَدُ الْحِنْثِ وَيَظْهَرْ فِيهِمْ الصَّقَّارُونَ قَالَ وَمَا الصَّقَّارُونَ أَوْ الصَّقْلَاوُونَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بَشَرٌ يَكُونُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ تَحِيَّتُهُمْ بَيْنَهُمْ التَّلَاعُنُ
“Umatku ini akan konsekuen terhadap syariah selama di tengah-tengah mereka tidak terdapat 3 perkara: selama ilmu belum dicabut dari mereka, selama di tengah mereka tidak banyak terdapat anak hasil dari hubungan zina, dan selama di tengah mereka tidak terdapat para shaqqarun.” Seseorang bertanya kepada Rasulullah SHalallahu ‘Alaihi Wassallam, “Siapakah shaqqarun (atau shaqlawun- keraguan perawi) itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka ini adalah orang-orang di akhir zaman yang menjadikan salam penghormatan mereka dengan saling melaknat.”

Betapa nyatanya peringatan beliau kepada umat umat akhir zaman ini. Ya, hari ini kita menyaksikan banyak sekali para pemuda yang baru belajar satu atau dua kali pertemuan sudah berani memberikan hujatan dan celaan kepada para ulama senior. Hanya dengan bermodal copas sebuah artikel mereka sudah berani berkomentar layaknya para pakar.

Lihatlah dunia FB juga group sosial lainnya, komen bernada celaan dan saling laknat telah menjadi kebiasaan. Fenomena shaqqarun dan shaqlawun telah merebak. Semua merasa paling benar, bahkan siapa yang paling ahli mendebat dan membantah diidentikkan dengan orang alim yang cerdas. Padahal hakikatnya adalah alim dalam melaknat dan mencela. Semoga Allah menyelematkan kita dari keburukan terjauhkannya ulama dalam kehidupan kita. Wallahu a’lam bish shawab.*
Penulis buku-buku akhir zaman


Istilah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sudah sering kita dengar. Banyak orang atau kelompok yang mengaku berada di atas pemahaman/manhaj Ahlus Sunnah. Terkadang timbul konflik akibat pengakuan-pengakuan tanpa bukti semacam ini. Masing-masing merasa dirinya di atas kebenaran, sedangkan kelompok lain adalah menyimpang. Namun, yang lebih penting untuk kita kaji sekarang adalah, apakah di dalam diri kita sudah terdapat ciri-ciri Ahlus Sunnah?!

[1] Bersatu Di Atas Kebenaran

Allah ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ

“Sesungguhnya orang-orang yang suka memecah-belah agama mereka sehingga menjadi bergolong-golongan maka engkau (Muhammad) sama sekali tidak termasuk bagian mereka.” (QS. al-An’am: 159).

Allah ta’ala berfirman,

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

“Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali Allah secara bersama-sama dan jangan berpecah-belah.” (QS. Ali ‘Imran: 103).

Allah ta’ala berfirman,

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

“Sesungguhnya ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia! Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain, karena hal itu akan memecah-belah kalian dari jalan-Nya.” (QS. al-An’am: 153).

[2] Kebenaran Yang Harus Kita Ikuti

Allah ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

“Barangsiapa yang menaati Allah dan rasul, maka mereka itulah orang-orang yang akan bersama dengan kaum yang diberikan kenikmatan oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shalihin. Dan mereka itu adalah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69).

Allah ta’ala berfirman,

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia mengikuti jalan selain orang-orang yang beriman, maka Kami akan membiarkan dia terombang-ambing dalam kesesatan yang dia pilih, dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115).

Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul serta ulil amri diantara kalian. Kemudian apabila kalian berselisih tentang suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Hal itu lebih baik dan lebih bagus hasilnya.” (QS. an-Nisaa’: 59).

Allah ta’ala berfirman,

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Dan apa pun yang kalian perselisihkan maka hukumnya adalah kepada Allah.” (QS. asy-Syura: 10).

Allah ta’ala berfirman,

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ

“Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan jalannya orang-orang yang dimurkai, dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat.” (QS. al-Fatihah: 6-7).

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kebenaran itu hanya satu, yaitu jalan Allah yang lurus, tiada jalan yang mengantarkan kepada-Nya selain jalan itu. Yaitu beribadah kepada Allah tanpa mempersekutukan-Nya dengan apapun, dengan cara menjalankan syari’at yang ditetapkan-Nya melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dengan hawa nafsu dan bid’ah-bid’ah.” (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 116-117)

[3] Menjunjung Tinggi Tauhid

Jalan yang lurus adalah jalannya orang-orang yang bertauhid. Merekalah orang-orang yang telah merealisasikan kandungan ayat Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in di dalam hidupnya. Adapun orang-orang musyrik adalah kaum yang dimurkai dan tersesat dari jalan Allah (lihat at-Tafsir al-Qoyyim, hal. 54).

Allah ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. an-Nahl: 36)

Allah ta’ala berfirman memberitakan ucapan Nabi ‘Isa ‘alaihis salam,

فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ إِنَّ اللَّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ

“Maka bertakwalah kalian kepada Allah dan taatilah aku. Sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran: 50-51, lihat juga QS. Az-Zukhruf: 63-64).

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Inilah, yaitu penyembahan kepada Allah, ketakwaan kepada-Nya, serta ketaatan kepada rasul-Nya merupakan ‘jalan lurus’ yang mengantarkan kepada Allah dan menuju surga-Nya, adapun yang selain jalan itu maka itu adalah jalan-jalan yang menjerumuskan ke neraka.”(lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 132)

Allah ta’ala berfirman,

أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ

“Bukankah Aku telah berpesan kepada kalian, wahai keturunan Adam; Janganlah kalian menyembah setan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian. Dan sembahlah Aku. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Yasin: 60-61).

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan, bahwa yang dimaksud ‘menaati setan’ itu mencakup segala bentuk kekafiran dan kemaksiatan. Adapun jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allah, taat kepada-Nya, dan mendurhakai setan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 698)

Sebuah realita yang sangat menyedihkan adalah banyak diantara kaum muslimin di masa kita sekarang ini yang mengucapkanIyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in, akan tetapi di sisi lain mereka tidak memperhatikan kandungan maknanya sama sekali. Mereka tidak memurnikan ibadahnya kepada Allah semata. Mereka beribadah kepada selain-Nya. Seperti halnya orang-orang yang berdoa kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, Husain, Abdul Qadir Jailani, Badawi, dan lain sebagainya. Ini semua termasuk perbuatan syirik akbar dan dosa yang tidak akan diampuni pelakunya apabila dia mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19-20)

[4] Memadukan Ilmu dan Amal

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Orang yang diberikan kenikmatan kepada mereka itu adalah orang yang mengambil ilmu dan amal. Adapun orang yang dimurkai adalah orang-orang yang mengambil ilmu dan meninggalkan amal. Dan orang-orang yang sesat adalah orang-orang yang mengambil amal namun meninggalkan ilmu.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 25)

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat didatangkan seorang lelaki lalu dilemparkan ke dalam neraka. Usus perutnya pun terburai. Dia berputar-putar seperti seekor keledai mengelilingi alat penggilingan. Para penduduk neraka berkumpul mengerumuninya. Mereka pun bertanya kepadanya, “Wahai fulan, apa yang terjadi padamu. Bukankah dulu kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar?”. Dia menjawab, “Benar. Aku dulu memang memerintahkan yang ma’ruf tapi aku tidak melaksanakannya. Aku juga melarang yang mungkar tetapi aku justru melakukannya.”.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” Ibnul Qayyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36)

[5] Memuliakan Para Sahabat

Allah ta’ala berfirman mengenai para Sahabat dalam ayat-Nya,

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ

“Sungguh, Allah telah ridha kepada orang-orang yang beriman yaitu ketika mereka bersumpah setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon itu.” (QS. al-Fath: 18).

Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan di dalam tafsirnya bahwa jumlah para sahabat yang ikut serta dalam sumpah setia/bai’at di bawah pohon itu -yang dikenal dengan Bai’atur Ridhwan– adalah 1400 orang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seorang pun di antara orang-orang [para sahabat] yang ikut berbai’at di bawah pohon itu.” (HR. Muslim) (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 469)

Imam Bukhari membuat sebuah bab dalam Shahih-nya dengan judul ‘Tanda keimanan adalah mencintai kaum Anshar’ (lihatFath al-Bari [1/79]). Dalilnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tanda keimanan adalah mencintai Anshar, sedangkan tanda kemunafikan adalah membenci Anshar.” (HR. Bukhari).

Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah membenci Anshar seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain lagi disebutkan, “Mencintai Anshar adalah keimanan dan membenci mereka adalah kemunafikan.” (HR. Ahmad)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencela para sahabatku. Seandainya ada salah seorang dari kalian yang berinfak emas seberat gunung Uhud, maka tidak akan mengimbangi infak salah seorang di antara mereka, walaupun itu cuma satu mud/dua genggaman tangan, atau bahkan setengahnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Adapun hadits yang populer, “Para sahabatku seperti bintang-bintang. Dengan siapa pun di antara mereka kamu meneladani maka kalian akan mendapatkan petunjuk.” Ini merupakan hadits yang lemah. al-Bazzar berkata, “Hadits ini tidak sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak pula terdapat dalam kitab-kitab hadits yang menjadi rujukan.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 468-469)

Imam Abu Zur’ah ar-Razi mengatakan, “Apabila kamu melihat ada seseorang yang menjelek-jelekkan salah seorang Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang zindik. Hal itu dikarenakan menurut kita Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membawa kebenaran. Demikian pula, al-Qur’an yang beliau sampaikan adalah benar. Dan sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita al-Qur’an dan Sunnah-Sunnah ini adalah para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya mereka -para pencela Sahabat- hanyalah bermaksud untuk menjatuhkan kedudukan para saksi kita demi membatalkan al-Kitab dan as-Sunnah. Maka mereka itu lebih pantas untuk dicela, dan mereka itu adalah orang-orang zindik.” (lihatQathful Jana ad-Daani Syarh Muqaddimah Ibnu Abi Zaid al-Qairuwani, hal. 161)

[6] Mengikuti Salafus Shalih, Menjauhi Bid’ah

Salafus shalih atau pendahulu yang baik merupakan sebutan bagi tiga generasi terbaik umat ini, yaitu para sahabat (Muhajirin dan Anshar), tabi’in (murid para sahabat) dan tabi’ut tabi’in (murid para tabi’in). Allah ta’ala berfirman,

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ

“Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama-tama yaitu kaum Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya.” (QS. at-Taubah: 100).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di jamanku. Kemudian orang-orang yang mengikuti mereka. Kemudian berikutnya yang mengikutinya sesudahnya.” (HR. Bukhari).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang hidup sepeninggalku maka dia akan melihat banyak perselisihan. Oleh sebab itu wajib atas kalian untuk mengikuti Sunnah/ajaranku dan Sunnah/ajaran Khulafa’ ar-Rasyidin yang berpetunjuk. Gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan. Sesungguhnya setiap bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, Tirmidzi berkata: hadits hasan sahih).
Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam.
Sumber Artikel : Muslim.Or.Id

Siapa Itu Golongan al Ahbash

Dr Yusuf al-Qaradawi mengulas tentang ahbash ini dengan katanya
Semenjak beberapa tahun yang lalu aku ada mendengar tentang satu jamaah yang zahir di Lebanon, ia menimbulkan masalah kepada umat Islam di sana dengan pandapat-pendapat yang pelik, menyeleweng dan pandangan-pandangan yang merbahaya dalam persoalan aqidah, fekah dan akhlak…dan yang lebih dahsyat bahayanya apabila mereka mengkafirkan setiap orang yang berbeda dengan mereka dalam kalangan umat Islam hari ini atau yang terdahulu.
Mereka mengkafirkan Syeikh al-Islam Ibn Taimiyyah, anak muridnya al-Imam Ibn al-Qayyim, dan sesiapa yang mengikut dua orang tokoh ini seperti tokoh tajdid tauhid di al-Jazirah al-Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Demikian juga mereka mengkafirkan ramai dari ulama abad ini seperti al-’Allamah al-Syeikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Pemikir Islam Syed Qutb, dan selainnya. Golongan Ahbash yang pelampau dan menyeleweng ini mendakwa mereka adalah dari mazhab al-Imam Abu al-Hasan al-’Asy’ariy segi aqidah, mazhab al-Imam al-Syafi’i segi Fekah, dan mengikut Tarikat al-Rifa’iyyah dalam berakhlak.
Akan tetapi hakikatnya mereka amat jauh dari manhaj kesemua para imam itu samada dalam pemikiran, adab dan akhlak. Kelompok ini yang mulanya timbul di Lebanon, dinamakan sebagai al-Ahbash, kerana tuan milik dakwah dan pemegang bendera mereka adalah seorang lelaki dari Habashah (Ethopia) berasal dari Harara, dia mendakwa dakwahnya ini adalah dakwah yang baharu, yang hasrat utamanya ialah memecah belahkan kesatuan umat Islam, mengucar-kacirkan mereka dan menyalakan api fitnah antara barisan umat Islam dan menghalang setiap usaha untuk membantu perkembangan agama ini.
Termasuk perkara yang pelik, mereka golongan Ahbash ini mentohmah aku ini wahhabi dan taksub dengan para imam Wahhabi, seringkali aku apabila bercakap mengambil daripada Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim dan madrasah mereka berdua, mereka (Ahbash) menuduh Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim ini menyalahi ijma’ dalam persoalan ini dan itu … ”.
(Dr Yusuf al-Qaradawi, Fatawa Muasarah 3/685-686, Dar al-Qalam).

Celakalah Wahai Para Pencari Ilmu

14 Mar 2016
Beberapa murid Al-Buhlul berkata, “Ada surat untuk guru.” Al Buhlul pun membukanya dan di sana tertulis:
“Dari wanita di Samarqand, Khurasan (dekat Afghanistan)… Saya seorang wanita yang telah banyak melakukan dosa, yang tidak pernah dilakukan oleh siapapun. Kini, saya ingin kembali kepada Allah dan bertobat. Saya mencari seorang abid (ahli ibadah). Lalu, saya pun diberitahu bahwa ada empat orang,salah satunya adalah Al-Buhlul yang tinggal di Afrika. Wahai Al-Buhlul, saya memohon kepada engkau: Berdoalah kepada Allah agar Dia senantiasa memberiku petunjuk dalam agama ini.”
Usai membaca, surat tadi jatuh dari tangan Al-Buhlul. Wajahnya tiba-tiba sendu lalu beliau menangis. Air matanya membasahi surat itu. Ia berkata, “Wahai Buhlul, orang Samarqand, Khurasan mengenalmu!! Celakalah engkau, jika saja Allah tidak melindungimu(dengan menutupi aib dan membuatmu tidak diketahui).”
Cerita ini menjadi pelajaran untuk semua orang yang mencari ilmu hanya untuk berdebat; atau untuk memberikan ceramah sehingga banyak orang mengenalnya, kemudian mendekatinya untuk mengajukan pertanyaan; atau ingin dipanggil ustadz dan ia tidak suka ketika orang lain tidak memperhatikan apa yang ia katakan; atau merasa hina ketika seseorang menyebutnya orang awam.
Ini juga menjadi pelajaran bagi mereka yang menuntut ilmu, tetapi tidak berakhlak seperti apa yang mereka pelajari; bagi merekayang berilmu, tetapi tidak meningkat rasa takut kepada Allah dalam hati; bagi mereka yang berpendapat bahwa pengetahuan hanyalah hafalan dan untuk diri sendiri, dan tidak mau mendakwahkan.
Semoga Allah memenuhi hati kita dengan rahmat-Nya serta mencatat kita termasuk orang-orang yang takut kepada-Nya dan bertindak berdasarkan ilmu. Imam Asy-Syafi’i berkata,“Ilmu pengetahuan itu bukan sekadar dihafal, melainkan harus bertindak sesuai dengannya.” Allah akan membimbing siapapun yangdikehendaki untuk menjadi orang sukses.
Penulis : Dhani El_Ashim
Diambil dari Golden Stories karya Abdullah bin Abdurrahman, Penerbit Aqwam, Januari 2016

Membongkar Fakta Wahabi yang Jarang Diungkap

Ust Zulkifli Muhammad Ali
Wahabi di Indonesia sudah sangat santer diserukan untuk diusir. Sedikit berbeda dengan syiah. Sebagaian golongan menganggap wahabi itu bukan Islam tapi masih menganggap syiah bagian dari Islam. Mungkin itu bukan sekedar penyikapan terhadap satu aliran dengan aliran lain yang kurang seimbang.

Selama ini isu perihal wahabi banyak sekali dibentur ke dalam tubuh umat Islam. Mulai dari kesesatan wahabi atau strategi wahabi merusak Islam seringkali dibahas oleh kalangan tertentu. Lain hal dengan penyikapan terhadap syiah yang sebenarnya jauh berbahaya daripada isu wahabi. Sejatinya syiah pun ternyata ikut berperan dalam mengangkap isu wahabi di tanah air Indonesia. Hari ini akhirnya dapat kita lihat bahwasanya umat sangat anti dengan kata wahabi tapi ketika disebut nama syiah justru masih dibela.

Inilah fakta yang harus diungkap,
Apakah sebenarnya arti dari istilah wahabi?
Siapakah sebenarnya wahabi?
Seperti apa pergerakan wahabi itu?
Apakah wahabi itu adalah sesat?
Bagaimana sikap kita terhadap wahabi?

Simak selengkapnya dalam khotbah Ustadz Zulkifli Muhammad Ali berikut ini:



NU Kalsel Tak Ada Urusan dengan Khalid Basalamah (?)