Alangkah mengerikan siksa
bagi orang yang memperalat orang Muslim sebagai sarana untuk memperoleh tujuan
dan angan-angannya. Cukuplah kamu menjadi penasihat bagi kaum Muslimin dan
jagalah dirimu, hanya Allah tempat meminta pertolongan.
Memaknai Politik Syar’i
Ditulis oleh: Al-Ustadz
Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc.
Makna Politik
Politik, dalam bahasa arab
disebut dengan siyasah. Dalam kamus Lisanul Arab karya Ibnu Manzhur (juz 6 hal.
429) disebutkan bahwa kata siyasah bermakna mengurus sesuatu dengan kiat-kiat
yang membuatnya baik.
Politik itu sendiri, menurut
Al-Imam Ibnul Qayyim t terbagi menjadi dua macam:
Politik yang diwarnai
kezaliman. Maka ini diharamkan dalam syariat Islam.
Politik yang diwarnai
keadilan. Maka ini bagian dari syariat Islam. (Lihat Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah
fis Siyasah Asy-Syar’iyyah, hal. 4).
Politik, bila dilihat dari
sisinya yang buruk (politik yang diwarnai kezaliman) semata, akan melahirkan
trauma politik pada seseorang. Ujung-ujungnya berkesimpulan bahwa politik itu
kejam dan politikus tak lain hanyalah ahli tipu muslihat yang kental dengan
sifat makar, dusta, dan licik. Sebenarnya bila dilihat dari segala sisinya, ada
pula politik yang syar’i (politik yang diwarnai keadilan). Bahkan ia merupakan
salah satu cabang dan pintu dari syariat Islam yang mulia ini, sebagaimana dikatakan
Al-Imam Ibnul Qayyim t dalam kitabnya yang monumental I’lamul Muwaqqi’in, juz 4
hal. 452. Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, politik yang syar’i disebut dengan
as-siyasah asy-syar’iyyah.
Para pembaca yang semoga
dirahmati Allah l, lantas apakah keterangan di atas merupakan legitimasi bagi
politik praktis yang ‘diimani’ partai politik (parpol) Islam sekarang ini?
Untuk mengetahui jawabannya simaklah penjelasan berikut ini.
Fatamorgana Politik Praktis
Politik praktis merupakan
cara berpolitik ala barat (baca: musuh-musuh Islam) dalam menentukan kepala
negara/pemerintahan serta anggota lembaga legislatif (baca: politik untuk
mencapai kekuasaan), yang dijejalkan di negeri-negeri muslim. Sistem tersebut
tidaklah diciptakan dan dijejalkan di negeri-negeri muslim melainkan untuk
mem-fait accompli kekuatan umat Islam yakni agar mereka tidak punya pilihan di
negerinya sendiri (seakan-akan tidak bisa menghindarinya), sekaligus
memalingkan mereka dari mendalami agamanya (tafaqquh fiddin) dengan berbagai
kesibukan politik. Sehingga tidaklah satu negeri muslim pun yang menganut
sistem tersebut, melainkan kekuatan dan keilmuan umat Islamnya benar-benar
terpantau dengan jelas oleh musuh-musuhnya.
Mungkinkah sistem yang
diciptakan barat (baca: musuh-musuh Islam) dengan sekian pelanggarannya
tersebut dapat mengantarkan umat Islam kepada kejayaannya? Spontan, orang yang
berakal akan menjawab: “Tidak mungkin!”.
Tak ubahnya fatamorgana, dari
jauh seakan air yang menyejukkan, namun setelah didekati ternyata pemandangan
semu belaka.
Tengoklah kelompok Ikhwanul
Muslimin (IM) di Mesir, pimpinan Hasan Al-Banna. “Perjuangan”
bertahun-tahun harus berakhir di tiang gantungan, penjara, atau tembak mati.
Demikian pula FIS (sebuah partai “Islam” di Aljazair) yang berhasil menang pada
putaran pertama pemilu tahun 1412 H. Impian pun lenyap manakala militer
melakukan kudeta dengan alasan ‘negeri dalam kondisi darurat’. FIS pun
meradang, genderang “jihad” melawan penguasa ditabuh. Pertempuran bersenjata
pun terjadi, dan akhirnya pertumpahan darahlah kesudahannya [1]. Lagi-lagi
umat Islam sebagai tumbalnya. Agama mereka terlantar, dakwah pun semakin hari
semakin tergerus oleh ‘kejamnya’ kehidupan berpolitik mereka.[2].
Lebih dari itu,
konsekuensinya sangat berat khususnya bagi seorang muslim yang berteguh diri di
atas Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah n. Mengapa demikian? Karena asasnya adalah
demokrasi yang ‘menuhankan’ suara rakyat (mayoritas). Kendaraannya adalah kampanye
dengan segala pelanggaran syar’i dan etikanya. Panoramanya adalah ikhtilath
(campur-baur laki perempuan). Ciri khasnya adalah persaingan ketat, bahkan
perseteruan tak sehat dengan obral janji yang (nampak) menggiurkan. Taruhannya
adalah menjual prinsip al-wala’ wal bara’ [3].Wallahul Musta’an.
Para pembaca yang semoga
dirahmati Allah l, untuk mengetahui lebih rinci tentang jalan yang mengantarkan
kepada kejayaan umat Islam, silakan buka kembali Majalah Asy Syariah
edisi Polemik Menuju Negara Islam (No. 16/II/1426 H/2005). Adapun
rincian bahasan seputar partai politik Islam, maka dapat anda ikuti pada Kajian
Utama Majalah Asy Syariah edisi kali ini, insya Allah.
Apa Itu As-Siyasah
Asy-Syar’iyyah (Politik yang Syar’i) ?
Setelah mengikuti bahasan di
atas, dapatlah disimpulkan bahwa as-siyasah asy-syar’iyyah adalah bagian dari
syariat Islam. Sedangkan politik praktis, tak lain adalah ciptaan barat (baca:
musuh-musuh Islam) yang tidak ada kaitannya dengan as-siyasah asy-syar’iyyah
dan sudah barang tentu bukan dari Islam.
Bila demikian, apa
definisi as-siyasah asy-syar’iyyah menurut terminologi syariat? Menurut
terminologi syariat, as-siyasah asy-syar’iyyah bermakna pengaturan urusan
pemerintahan kaum muslimin secara menyeluruh dengan kiat-kiat yang dapat
mewujudkan kebaikan (maslahat) serta mencegah terjadinya keburukan (mafsadah),
dengan tetap menjaga batasan-batasan syar’i dan prinsip-prinsipnya secara umum
-meskipun tidak secara nash- serta perkataan para imam ahli ijtihad.
(As-Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Abdul Wahhab Khallaf, hal. 15. Dinukil dari
Madarikun Nazhar fis Siyasah hal. 126-127).
Dari sini, diketahui bahwa
as-siyasah asy-syar’iyyah disamping berpegang dengan dalil yang tegas, juga
berpijak pada maslahah mursalah, yaitu suatu maslahat di mana tidak didapati
dalil secara tegas baik yang memerintahkan maupun yang melarang. Tentunya, yang
menentukan sebagai maslahat adalah para imam ahli ijtihad, bukan sembarang
orang. Demikianlah penjelasan Ibnu ‘Aqil, Ibnul Qayyim, Ibnu Nujaim, dan yang
lainnya rahimahumullah dari para pakar di bidang ini. (Lihat Madarikun Nazhar
fis Siyasah hal. 128-129).
Mengenai rincian as-siyasah
asy-syar’iyyah, sesungguhnya telah dijelaskan para ulama Islam dalam banyak
karya tulisnya. Di antaranya; Al-Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah
wal Wilayat Ad-Diniyyah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam As-Siyasah
Asy-Syar’iyyah (yang terhimpun dalam Majmu’ Fatawa, juz 28), Al-Imam Ibnul
Qayyim dalam Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah Asy-Syar’iyyah, dan selainnya.
Mengenal Lebih Jauh
As-Siyasah Asy-Syar’iyyah (Politik yang Syar’i).
Para pembaca yang semoga
dirahmati Allahl, mengingat as-siyasah asy-syar’iyyah amat terkait dengan
pengaturan urusan pemerintahan, maka tentunya ada dua pihak yang saling terkait
dengannya; pihak pengatur dalam hal ini adalah para penguasa (ulil amri) dan
pihak yang diatur dalam hal ini adalah rakyat. As-siyasah asy-syar’iyyah yang
dijalankan para penguasa tersebut tak akan berjalan dengan baik tanpa adanya
sambutan ketaatan dari rakyat. Maka dari itu, adanya gayung bersambut antara
para penguasa dan rakyatnya dalam hal penerapan as-siyasah asy-syar’iyyah
merupakan keharusan. Karena dengan itulah terwujud kehidupan yang tenteram,
aman, dan sentosa. Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat sahabat di bawah
kepemimpinan Rasulullah n dan juga masyarakat tabi’in serta tabi’ut tabi’in di
bawah kepemimpinan para penguasanya.
Di antara dasar pijakan
as-siyasah asy-syar’iyyah adalah firman Allah -subhanahu wata’ala- :“Sesungguhnya
Allah menyuruh kalian menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian
menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berbeda pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(Sunnahnya) jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Yang demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’:
58-59).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
-rahimahullah- berkata: “Menurut para ulama, ayat pertama (dari dua ayat di
atas) turun berkaitan dengan para penguasa (ulil amri), agar mereka
menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Dan apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya menetapkannya dengan adil. Sedangkan ayat kedua
turun berkaitan dengan rakyat baik dari kalangan militer maupun selainnya, agar
mereka senantiasa taat kepada para penguasanya dalam hal pembagian jatah,
keputusan, komando pertempuran, dan lain sebagainya. Kecuali jika mereka
memerintahkan kepada kemaksiatan, maka tidak boleh menaati makhluk (para
penguasa tersebut) dalam rangka bermaksiat kepada Al-Khaliq (Allah). Jika
terjadi perbedaan pendapat antara para penguasa dengan rakyatnya dalam suatu
perkara, hendaknya semua pihak merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah
n. Namun jika sang penguasa tidak mau menempuh jalan tersebut, maka perintahnya
yang tergolong ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya n tetap wajib ditaati.
Karena ketaatan kepada para penguasa dalam perkara ketaatan tersebut merupakan
bagian dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya n. Demikian pula hak mereka
(para penguasa), tetap harus dipenuhi (oleh rakyatnya), sebagaimana yang
diperintahkan Allah dan Rasul-Nya n. Allah berfirman: “Dan
tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Bertakwalah
kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah:
2) [Lihat Majmu’ Fatawa, juz 28 hal. 245-246].
Untuk mengenal lebih jauh
tentang contoh as-siyasah asy-syar’iyyah dan penerapannya, perhatikanlah
poin-poin berikut ini.
Suatu tugas/jabatan diberikan
kepada yang berhak menyandangnya, baik terkait dengan kemiliteran maupun
selainnya. Pemberian tugas/jabatan tersebut tak boleh didasari kedekatan
pribadi ataupun hubungan kekerabatan (nepotisme). Sahabat Umar bin Al-Khaththab
-radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Barangsiapa mempunyai suatu kewenangan
terhadap urusan kaum muslimin, kemudian memberikan tugas/jabatan kepada
seseorang karena kedekatan pribadi atau hubungan kekerabatan, maka ia telah
berkhianat kepada Allah l dan Rasul-Nya n serta kaum muslimin.”.
Kriteria kelayakan mendapat
tugas/jabatan ada dua : kuat dan dapat dipercaya. Sebagaimana
firman Allah l: “Sesungguhnya orang terbaik yang kamu ambil untuk bekerja
ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash: 26). Kuat di
sini tergantung pada tugas/jabatan yang diemban. Kuat dalam hal kepemimpinan
perang tolok ukurnya adalah keberanian/ketegaran jiwa, pengalaman bertempur
dengan segala tipu muslihatnya serta keahlian dalam mengatur strategi
pertempuran. Kuat dalam hal memutuskan perkara (hukum) di antara manusia tolok
ukurnya adalah kepahaman tentang prinsip-prinsip keadilan yang bersumber dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kemampuan untuk merealisasikan keputusannya tersebut.
Adapun dapat dipercaya (amanah), maka tolok ukurnya adalah rasa takut kepada
Allah l, tidak menjual ayat Allah l dengan harga yang murah (hal-hal duniawi,
red.) serta tidak takut terhadap (celaan) manusia (dalam keputusannya).
Berkumpulnya dua sifat, kuat
dan dapat dipercaya pada seseorang, merupakan sesuatu yang langka. Oleh
karena itu, jika ada dua orang; yang satu lebih amanah sedangkan yang lainnya
lebih kuat, maka yang diutamakan adalah yang paling bermanfaat bagi
(kelangsungan) tugas tersebut dan yang paling sedikit mudaratnya. Atas dasar
itu, yang diutamakan dalam hal kepemimpinan perang adalah seorang yang kuat
lagi pemberani/tegar jiwanya –walaupun terkadang jatuh dalam kesalahan-
daripada seseorang yang lemah mentalnya –walaupun ia seorang yang dapat
dipercaya-. Jika suatu tugas butuh sifat amanah yang lebih, maka diutamakanlah
seorang yang dapat dipercaya, seperti tugas mengelola perbendaharaan dan yang
semisalnya. Adapun tugas pendistribusian uang sekaligus pengelolaannya,
dibutuhkan seorang yang kuat lagi dapat dipercaya. Dalam hal memutuskan perkara
(hukum), diutamakan hakim yang paling berilmu tentang prinsip-prinsip keadilan,
paling wara’ (berhati-hati), dan paling mampu dalam merealisasikan keputusan.
Jika ada dua hakim, yang satu lebih berilmu sedangkan yang lain lebih wara’
(berhati-hati), maka dalam perkara yang penyelesaian hukumnya mudah namun rawan
mengikuti hawa nafsu dalam memutuskannya, diutamakanlah hakim yang lebih wara’
(berhati-hati). Sedangkan dalam perkara yang rumit penyelesaiannya dan
dikhawatirkan terjadi kerancuan dalam memutuskannya, maka diutamakanlah hakim
yang lebih berilmu. Kemudian jika ada dua hakim; yang satu lebih berilmu dan
lebih wara’ (berhati-hati), sedangkan yang lain lebih mampu dalam
merealisasikan keputusan hukum (tegas), maka pada kasus yang penyelesaiannya
didukung penguasa diutamakan seorang hakim yang lebih berilmu dan lebih wara’
(berhati-hati). Namun pada kasus yang penyelesaiannya kurang mendapat dukungan
dari berbagai pihak (kebijakan yang tidak populer) dan tidak terlalu dibutuhkan
ilmu dan wara’ yang berlebih, maka diutamakan seorang hakim yang lebih mampu
dalam merealisasikan keputusan hukum tersebut.
Pentingnya memerhatikan
partner (pasangan) dalam suatu tugas. Jika pemimpin suatu tugas berkarakter
lembut, maka wakilnya yang berkarakter keras. Jika pemimpin berkarakter keras,
maka wakilnya yang berkarakter lembut. Demikian itu agar tercipta suatu
keseimbangan (kestabilan) dalam lingkungan tugas tersebut. Oleh karena itu,
Khalifah Abu Bakr Ash-Shiddiq z (yang berkarakter lembut) lebih memilih Khalid
bin Al-Walid z (yang berkarakter keras) sebagai wakilnya dalam komando perang.
Sedangkan Khalifah Umar bin Al-Khaththab z (yang berkarakter keras) lebih
memilih Abu ‘Ubaidah Ibnul Jarrah z (yang berkarakter lembut) sebagai wakilnya.
Sehingga terciptalah suatu keseimbangan (kestabilan) dalam lingkup tugas
tersebut.
Di antara sebab langgengnya
suatu kepemimpinan adalah manakala diwarnai dengan kedermawanan dan
keberanian/ketegaran jiwa.Kedermawanan di sini adalah mendistribusikan keuangan
(seperlunya) kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya -walaupun mereka
para tokoh-, untuk stabilisasi sosial politik, kepentingan keagamaan baik yang
bersifat fisik maupun non fisik, dan lain sebagainya. Adapun keberanian/ketegaran
jiwa, maksudnya adalah tegar dalam mengatasi masalah, bersabar, dan tidak marah
kecuali karena Allah l. Suatu kepemimpinan yang jauh dari kedermawanan dan
keberanian/ketegaran jiwa tersebut, maka kepemimpinannya akan cepat berakhir
dan berpindah ke tangan orang lain.
(Disarikan dari kitab
As-Siyasah Asy-Syar’iyyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
-rahimahullah-, yang terhimpun dalam Majmu’ Fatawa juz 28 hal. 244-296).
Adapun poin-poin penting yang
dapat disarikan dari kitab Ath-Thuruq Al-Hukmiyyah fis Siyasah
Asy-Syar’iyyah karya Al-Imam Ibnul Qayyim -rahimahullah- adalah sebagai
berikut:
1. Tugas inti pemerintah
muslim adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan
dan melarang dari kemungkaran) di tengah rakyatnya. Sedangkan poros
keberhasilan dari seluruh tugas/jabatan pemerintahan adalah kejujuran dalam
pemberian informasi/data dan keadilan dalam memutuskan suatu putusan perkara.
Ada suatu tugas/jabatan yang sangat membutuhkan kejujuran pejabatnya. Seperti
penanggung jawab keuangan yang bertugas mencatat arus keluar masuk uang negara
dan juga para staf ahli kenegaraan yang bertanggung jawab menyampaikan
informasi valid tentang perkembangan situasi dan kondisi negara kepada penguasa
(ulil amri).Ada pula tugas/jabatan yang sangat membutuhkan keadilan pejabatnya,
yaitu manakala posisinya sebagai pembuat keputusan yang ditaati. Seperti para
pemimpin (instansi pemerintahan) baik sipil maupun militer, hakim, dan lain
sebagainya. Oleh karena itu merupakan suatu kewajiban bagi kepala negara
(pemimpin) untuk menjadikan orang-orang yang jujur dan adil sebagai pembantunya
dalam menjalankan roda pemerintahannya. Adapun rincian deskripsi tugas pada
masing-masing tugas/jabatan, maka menyesuaikan situasi dan kondisi. [Hal.
184-185].
2. Diperbolehkan bagi
pemerintah muslim untuk menerapkan siyasah juz’iyyah (politik parsial). Yaitu
menentukan satu keputusan di luar keumuman yang terjadi, bila diyakini dapat
mendatangkan maslahat yang bersifat umum bagi umat Islam. Contohnya;
Keputusan Khalifah Umar bin
Al-Khaththab z agar umat Islam (di masanya) menunaikan ibadah haji dengan jenis
haji ifrad (salah satu jenis haji yang sah dengan mengkhususkan ibadah haji
semata tanpa umrah). Padahal Rasulullah n sangat menekankan haji tamattu’ yang
padanya terdapat rangkaian ibadah haji dan juga umrah. Keputusan tersebut
diambil manakala melihat Masjidil Haram lengang dari para mu’tamirin
(orang-orang yang berumrah) di luar musim haji. Maka dengan keputusan tersebut
Masjidil Haram pun selalu diramaikan umat Islam baik di musim haji maupun di
luar musim haji.
Ketika terjadi pertikaian
sengit antara dua orang sahabat Nabi n di masa kekhalifahan Utsman bin Affan z
dalam hal bacaan Al-Qur’an dan sama-sama bersaksi bahwa itulah yang didapat
dari Rasulullah n, maka Khalifah Utsman bin Affan z (dengan kesepakatan para
sahabat Nabi n) memerintahkan penyusunan Al-Qur’an untuk kali
kedua [4] dengan satu dialek bacaan saja di antara dialek-dialek yang
didapat dari Nabi n. Kemudian membakar mushaf-mushaf selainnya. [Hal. 10-18].
3. Bagi hakim selaku
pemberi amar putusan dalam suatu perkara,diperbolehkan untuk:
– Mengatakan sesuatu yang
sebenarnya ia tidak akan melakukannya: “Saya akan lakukan demikian”, dalam
rangka melacak kebenaran pihak yang ditanganinya.
Memutuskan sesuatu yang
menyelisihi pernyataan/pengakuan pihak yang berseteru, manakala meyakini bahwa
yang benar tidaklah seperti apa yang dinyatakan pihak yang berseteru tersebut.
Membatalkan putusan yang
dijatuhkannya disebabkan adanya putusan lain dari hakim yang setara atau lebih
mumpuni darinya. Dasar dari semua itu adalah sabda Rasulullah n: “Dahulu
ada dua orang wanita (masing-masing) bersama anaknya. Tiba-tiba datang seekor
serigala memangsa salah satu dari anak keduanya. Kedua wanita itu pun mengklaim
bahwa anak yang dimangsa tersebut bukan anaknya, akan tetapi anak kawannya.
Akhirnya keduanya pergi ke Nabi Dawud q untuk menyelesaikan perkaranya. Maka
diputuskanlah bahwa anak yang ada saat ini adalah milik wanita (ibu) yang lebih
tua. Kemudian keduanya pergi ke Nabi Sulaiman bin Dawud e dan menyampaikan
putusan Nabi Dawud q tersebut. Nabi Sulaiman q berkata:“Datangkanlah kepadaku
sebilah pisau untuk memotong anak tersebut menjadi dua bagian.” Maka
dengan spontan wanita (ibu) yang lebih muda mengatakan: “Jangan kau
lakukan itu -semoga Allah l merahmatimu- sungguh anak tersebut miliknya.” Akhirnya
Nabi Sulaiman q pun memutuskan bahwa anak tersebut milik wanita (ibu) yang
lebih muda. (HR. Al-Bukhari no. 3427).
Memutuskan suatu putusan
berdasarkan indikasi kuat, manakala diyakini dapat mengantarkan kepada putusan
yang tepat [5]. Sebagaimana yang ditempuh Raja Mesir
Al-Aziz [6] seputar kasus istrinya yang menuduh Nabi Yusuf q berbuat
tak senonoh terhadap dirinya. Dengan melihat posisi koyakan baju gamis Nabi
Yusuf q yang berada di bagian belakang, maka diputuskanlah oleh Al-Aziz bahwa
yang salah adalah istrinya. Karena posisi koyakan baju gamis Nabi Yusuf q yang
berada di bagian belakang merupakan indikasi kuat bahwa istrinyalah yang
mengajak Nabi Yusuf q untuk melakukan perbuatan tak senonoh itu. Ketika Nabi
Yusuf q tak menyambut ajakannya lalu pergi meninggalkannya, wanita itu pun
berupaya mengejar Nabi Yusuf q dan menggapai baju gamis beliau hingga koyak di
bagian belakangnya. Allah l berfirman: “Maka tatkala suami wanita itu
(Al-Aziz) melihat baju gamis Yusuf koyak di bagian belakang, berkatalah dia:
‘Sesungguhnya (kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu (istrinya),
sesungguhnya tipu daya kamu sangatlah besar’.” (Yusuf: 28) [Hal. 4-5].
4. Putusan perkara yang
dijatuhkan kepada anggota masyarakat (rakyat), bermuara pada dua kasus:
a. Pengaduan (tuduhan)
satu pihak terhadap pihak lainnya, baik dalam perkara pidana maupun perdata.
Dalam kasus ini, pihak yang diadukan/dituduh terdiri dari tiga jenis;
Pertama: Si tertuduh
dinyatakan bersih dari tuduhan tersebut. Maka menurut kesepakatan ulama, dia
tidak boleh dihukum. Sedangkan si penuduh dijatuhi hukuman atas tuduhan
dustanya itu.
Kedua: Si tertuduh adalah
seorang yang majhul (tidak jelas keadaannya) dari jenis orang baik ataukah
tidak. Maka untuk sementara waktu ia ditahan hingga jelas duduk permasalahannya.
Ketiga: Si tertuduh dikenal
dengan kejahatannya. Maka dia ditahan hingga jelas duduk permasalahannya.
Khusus jenis ini, boleh diancam dengan kekerasan atau dipukul jika diperlukan.
Adapun cara dalam memutuskan suatu putusan perkara dalam kasus pengaduan/tuduhan
tersebut ada 25 cara, sebagaimana disebutkan Ibnul Qayyim t dalam kitabnya di
atas hal. 83-182.
b. Pelanggaran yang
murni terkait dengan pelaksanaan agama, baik dalam hal ibadah, muamalah,
akhlak, dan lain sebagainya (tak terkait secara langsung dengan
pengaduan/tuduhan).
Untuk menanganinya, maka
pemerintah muslim membentuk tim/badan khusus yang dalam kitab fiqh disebut
Al-Hisbah. Tugas pokoknya adalah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar
(memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari kemungkaran). Merekalah yang
bertugas memerintahkan orang-orang untuk menunaikan shalat lima waktu tepat
pada waktunya. Memberikan sanksi terhadap orang yang tidak shalat baik dengan
pukulan maupun penjara. Mengontrol para imam masjid dan muadzin. Memerintahkan
orang-orang untuk shalat Jum’at, shalat berjamaah, menunaikan amanah, dan
berlaku jujur. Menyampaikan nasihat baik dengan ucapan maupun perbuatan.
Melarang dari perbuatan khianat, mengurangi timbangan dan sukatan, serta
berlaku curang dalam produksi barang dan perdagangannya. Mengontrol para
produsen makanan maupun pakaian serta melarang mereka untuk memproduksi
produk-produk yang diharamkan dalam agama ini. Melarang transaksi yang dilarang
Allah l dan Rasul-Nya n, seperti riba dan segala transaksi yang mengandung
unsur judi. Menormalkan harga pasar dan mencegah para pedagang dari menimbun
barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan menekan para penimbun
tersebut agar menjualnya dengan harga pasar yang wajar, dan lain sebagainya.
[183-223].
Para pembaca yang semoga
dirahmati Allah -subhanahu wata’ala-, demikianlah selayang pandang tentang
as-siyasah asy-syar’iyah (politik yang syar’i) yang dapat disajikan dalam
kesempatan kali ini. Semoga sedikit sajian tersebut dapat membuka cakrawala
berpikir umat tentang kehidupan beragama sekaligus menjadi motivator untuk
semakin mendalami agama Islam yang haq ini.
Amin ya Rabbal ‘Alamin.
______________________
Untuk mengetahui lebih rinci
tentang ratap tangis politik di Aljazair, silakan merujuk kitab Madarikun
Nazhar fis Siyasah dan Fatawa Al-Ulama’ Al-Akabir Fima Uhdira min Dima’ fi
Aljazair. Keduanya karya Asy-Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ar-Ramadhani.
Prinsip berpolitik praktis
itu sendiri diingkari para “reformis” Ikhwanul Muslimin (IM) seperti Sayyid
Quthb (Mesir), Abul A’la Al-Maududi (Pakistan), dan orang-orang yang mengikuti
jejak mereka. Menurut mereka, “jalan satu-satunya” adalah melakukan gerakan
penggulingan kekuasaan (kudeta). Padahal dengan prinsip tersebut -disadari
ataupun tidak- mereka telah teridentifikasi sebagai Neo-Khawarij yang
diperingatkan Rasulullah n dalam banyak sabdanya. (Untuk lebih rincinya, lihat
Manhajul Anbiya’ fid Da’wati Ilallah, Fihil Hikmah wal ‘Aql, karya Asy-Syaikh
Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali). Demikian halnya dengan Hizbut Tahrir (HT). Mereka
lebih memilih berada di luar sistem dengan terus melakukan penentangan terhadap
para penguasa, mengungkapkan pengkhianatan dan persekongkolan mereka terhadap
umat, melancarkan kritik, kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha
menggantinya, jika hak-hak umat dilanggar atau pemerintah tidak menjalankan
kewajibannya terhadap umat, yaitu bila melalaikan salah satu urusan umat atau
menyalahi hukum-hukum Islam. Ironisnya, dengan prinsip tersebut -disadari
ataupun tidak- HT telah meniti jejak Al-Qa’adiyyah, salah satu sekte dari
kelompok sesat Khawarij. Menurut Al-Imam Abdullah bin Muhammad Adh-Dha’if,
Al-Qa’adiyyah merupakan kelompok Khawarij yang paling jahat. (Lihat Masail
Al-Imam Ahmad karya Al-Imam Abu Dawud, t hal. 271, Tahdzibut Tahdzib juz 8 hal.
114, dan Hadyus Sari Muqaddimah Fathil Bari hal. 454, keduanya karya Al-Hafizh
Ibnu Hajar t, dan rubrik Manhaji Majalah Asy Syariah, edisi Polemik Menuju
Negara Islam No. 16/II/1426 H/2005).
Untuk mengetahui lebih rinci
tentang al-wala’ wal-bara’ khususnya yang ada pada kelompok Ikhwanul Muslimin,
lihat rubrik Manhaji Majalah Asy Syariah edisi Sejarah Hitam IM (Ikhwanul
Muslimin) (No. 20/II/1426 H/2005).
Penyusunan Al-Qur’an dalam
bentuk mushaf untuk kali pertama terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakr
Ash-Shiddiq z (dengan kesepakatan para sahabat Nabi n), ketika para ahli
Al-Qur’an dari kalangan sahabat banyak yang gugur dalam pertempuran Yamamah di
mana dikhawatirkan Al-Qur’an akan lenyap di tengah umat.
Al-Imam Ibnul Qayyim t telah
berpanjang lebar dalam menjelaskan kaidah tersebut beserta contoh-contohnya,
sebagaimana pada hal. 3-50.
Al-Aziz adalah sebutan bagi
raja Mesir, secara harfiah berarti yang mulia. Sedangkan namanya adalah
Ar-Rayyan bin Al-Walid. Silakan lihat pembahasan tentang nama Raja Mesir di
masa Nabi Yusuf q pada rubrik Tafsir edisi ini. -red.
Jangan Membela Kebatilan
Oleh: Asy Syaikh Abu Nashr Muhammad bin
Abdillah Al Imam
Setelah jelas bagi kita bahwa
pemilu itu diharamkan dengan pengharaman yang sangat keras,maka kerusakan yang
tersisa adalah kukuhnya pembelaan seorang Muslim maupun Muslimah, partai
ataupun jamaah terhadap keberadaan pemilu. Khususnya pada diri mereka-mereka
yang mengetahui atau mendengar pengharamannya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Sesungguhnya
Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu dan
janganlah kamu menjadi penentang (orang yang tidak bersalah) karena (membela)
orang-orang yang khianat dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An Nisa’ : 105-106)
Rabb kita Azza wa Jalla
mengingatkan Nabi-Nya bahwa beliau adalah orang yang berada di atas kebenaran
dan tidak memiliki satu kepentingan pun untuk membela pengkhianat. Allah Azza
wa Jalla juga menyeru beliau agar memohon ampun dari sesuatu yang mungkin telah
terjadi pada diri beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Kemudian untuk kedua kalinya
Allah memperingatkan Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan firman-Nya
: “Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang
mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu
berkhianat lagi bergelimang dosa.” (QS. An Nisa’ : 107)
Dan janganlah lalai dari
akibat berikut. Allah Azza wa Jalla berfirman dalam hal ini :“Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa.”
Banyak sekali ayat-ayat Al
Quran yang membongkar kebejatan orang-orang yang tidak takut kepada Allah.
Allah Azza wa Jalla berfirman
: “Mereka bersembunyi dari manusia tetapi mereka tidak bersembunyi dari
Allah padahal Allah beserta mereka ketika pada suatu malam mereka menetapkan
keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi
(ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. An Nisa’ : 108)
Kemana hendak lari, hendak
pergi ke mana lagi, kepada siapa berlindung ketika seorang hamba telah
dikelilingi oleh ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, Ia Yang Maha Mendengar dan Maha
Melihat? Dia berada di bawah pengawasan Allah, di bawah genggaman Allah dan di
bawah kekuasaan dan keperkasaan-Nya. Namun ia takut kepada manusia dan tidak
takut kepada Allah bagaimanapun ia tetap berusaha membela kebatilan dan para
pelakunya. Yang seperti ini tidak akan membawa manfaat sedikitpun baginya di
hari kiamat kelak.
Allah Azza wa Jalla berfirman
: “Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk
(membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat
Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang jadi
pelindung mereka (terhadap siksa Allah)?” (QS. An Nisa’ : 109)
Bukankah kebaikan yang
sesungguhnya itu ada pada hari kiamat? Bukankah keburukan yang sesungguhnya itu
ada pada hari kiamat? Suatu hari yang tidak ada wali, penolong, pemberi
syafaat, pelindung, penyokong dan pembela kecuali hanya Allah.
Allah Azza wa Jalla juga berfirman
: “Dan tunduklah semua muka (dengan berendah diri) kepada Tuhan Yang Hidup
Kekal lagi senantiasa mengurus (makhluk-Nya). Dan sesungguhnya telah merugilah
orang yang melakukan kezaliman.” (QS. Thaha : 111)
Telah diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan Ibnu Majah dari hadits Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Barangsiapa yang menolong
permusuhan secara zalim maka dia senantiasa berada di dalam kemurkaan Allah
hingga ia mencabutnya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Majah)
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Sesungguhnya seorang hamba pasti akan
berbicara dengan satu kalimat yang menyebabkan dia tergelincir ke dalam neraka
Jahannam, lebih jauh dari jarak antara timur dan barat.” (Muttafaq ‘alaih
dari hadits shahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu)
Bila satu kalimat yang buruk
dapat menghempas pelakunya ke dalam neraka Jahannam dengan jarak yang begini
jauh maka bagaimana pula dengan orang- orang yang membela kebatilan siang dan
malam?
Wahai saudaraku kaum
Muslimin, janganlah merasa aman dari siksa yang abadi selagi di atas
kesalahan. Sesungguhnya demi Allah kamu tidak mengetahui ternyata musuhmu
yang paling keras adalah saudaramu juga yang Muslim yang tidak terimbas
penyakit-penyakit ini. Kamu mengetahui hak-hak seorang Muslim dan alangkah
bahayanya jika sampai terjerumus ke dalam pelanggaran terhadapnya.
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Mencela orang Muslim adalah kefasikan,
membunuhnya adalah kekufuran.” (Muttafaq ‘alaih dari hadits Ibnu Mas’ud
radliyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam juga bersabda : “Cukuplah bagi seseorang (dikatakan)
berbuat keburukan dengan menghina saudaranya yang Muslim.” (Riwayat Muslim dari
hadits Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu)
Keburukan yang membuat
seseorang melecehkan seorang Muslim jauh melebihi keburukan-keburukan lainnya.
Cukuplah baginya musibah perbuatan ini, ia telah membebankan dirinya dengan
menanggung sesuatu yang ia tidak mampu menanggungnya. Hati-hatilah dari
bermain-main dengan hal kaum Muslimin, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
telah bersabda : “Barangsiapa yang makan hak seorang Muslim satu kali maka
Allah Azza wa Jalla akan memberinya makan dengan yang semisalnya dari neraka
Jahannam, barangsiapa yang merampas pakaian seorang Muslim maka Allah akan
pakaikan padanya pakaian yang semisalnya pada hari kiamat dari neraka
Jahannam.” (Riwayat Hakim, Abu Dawud dan Imam Ahmad dari Al Mustaurid bin
Syaddad)
Perhatikanlah, alangkah
mengerikan siksa bagi orang yang memperalat orang Muslim sebagai sarana untuk
memperoleh tujuan dan angan-angannya. Cukuplah kamu menjadi penasihat bagi kaum
Muslimin dan jagalah dirimu, hanya Allah tempat meminta pertolongan.
(Dinukil dari buku: Menggugat
Demokrasi dan Pemilu. Judul asli: Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa
Syubuhat al-Intikhabaat, Penerbit Maktabah al-Furqan, Ajman, Emirate.
Sumber: http://www.assunnah.cjb.net)
“Syubhat-syubhat Seputar Demokrasi &
Pemungutan Suara”
Oleh : Ustadz Abu Ihsan
al-Maidani al-Atsari
Pemungutan suara atau voting
sering digunakan oleh lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi baik skala
besar seperti sebuah negara maupun kecil seperti sebuah perkumpulan, di dalam
mengambil sebuah sikap atau di dalam memilih pimpinan dan lain-lain. Sepertinya
hal ini sudah lumrah dilangsungkan. Hingga dalam menentukan pimpinan umat harus
dilakukan melalui pemungutan suara, dan tentu saja masyarakat umumpun
dilibatkan di dalamnya. Padahal banyak di antara mereka yang tidak tahu menahu
apa dan bagaimana kriteria seorang pemimpin menurut Islam.
Dengan cara dan praktek
seperti ini bisa jadi seorang yang tidak layak menjadi pemimpin keluar sebagai
pemenangnya. Adapun yang layak dan berhak tersingkir atau tidak dipandang sama
sekali ! Tentu saja metoda pemungutan suara seperti ini tidak sesuai menurut
konsep Islam, ‘yang menekankan konsep syura (musyawarah) antara para ulama dan
orang-orang shalih. Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya:
Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan
adil.[An-Nisaa : 58]
Kepemimpinan adalah sebuah
amanat yang amat agung, yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia yang amat
sensitif. Oleh sebab itu amanat ini harus diserahkan kepada yang berhak menurut
kaca mata syariat. Proses pemungutan suara bukanlah cara/wasilah yang syar’i
untuk penyerahan amanat tersebut. Sebab tidak menjamin penyerahan amanat kepada
yang berhak. Bahkan di atas kertas dan di lapangan terbukti bahwa orang-orang
yang tidak berhaklah yang memegang (diserahi) amanat itu. Di samping bahwa
metoda pemungutan suara ini adalah metoda bid’ah yang tidak dikenal oleh Islam.
Sebagaimana diketahui bahwa tidak ada satupun dari Khulafaur Rasyidin yaitu:
Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali radhiyallahu ‘anhum maupun yang sesudah mereka,
yang dipilih atau diangkat menjadi khalifah, melalui cara pemungutan suara yang
melibatkan seluruh umat.
Lantas dari mana sistem
pemungutan suara ini berasal ?! Jawabnya: tidak lain dan tidak bukan ia adalah
produk demokrasi ciptaan Barat (baca kafir).
Ada anggapan bahwa pemungutan
suara adalah bagian dari musyawarah. Tentu saja amat jauh perbedaannya antara
musyawarah mufakat menurut Islam dengan pemungutan suara ala demokrasi di
antaranya:
[1] Dalam musyawarah mufakat,
keputusan ditentukan oleh dalil-dalil syar’i yang menempati al-haq walaupun
suaranya minoritas.
[2] Anggota musyawarah adalah
ahli ilmu (ulama) dan orang-orang shalih, adapun di dalam pemungutan suara
anggotanya bebas siapa saja.
[3] Musyawarah hanya perlu
dilakukan jika tidak ada dalil yang jelas dari al-Kitab dan as-Sunnah. Adapun
dalam pemungutan suara, walaupun sudah ada dalil yang jelas seterang matahari,
tetap saja dilakukan karena yang berkuasa adalah suara terbanyak, bukan
al-Qur’an dan as-Sunnah.
MAKNA PEMUNGUTAN SUARA
Pemungutan suara maksudnya
adalah: pemilihan hakim atau pemimpin dengan cara mencatat nama yang terpilih
atau sejenisnya atau dengan voting. Pemungutan suara ini, walaupun bermakna:
pemberian hak pilih, tidak perlu digunakan di dalam syariat untuk pemilihan
hakim/pemimpin. Sebab ia berbenturan dengan istilah syar’i yaitu syura
(musyawarah). Apalagi dalam istilah pemungutan suara itu terdapat konotasi haq
dan batil. Maka penggunaan istilah pemungutan suara ini jelas berseberangan
jauh dengan istilah syura. Sehingga tidak perlu menggunakan istilah tersebut,
sebab hal itu merupakan sikap latah kepada mereka.
MAFSADAT PEMUNGUTAN SUARA
Amat banyak
kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dari cara pemungutan suara ini di
antaranya:
[1]. Termasuk perbuatan
syirik kepada Allah.
[2]. Menekankan suara terbanyak.
[3]. Anggapan dan tuduhan
bahwa dinul Islam kurang lengkap.
[4]. Pengabaian wala’ dan
bara’.
[5]. Tunduk kepada
Undang-Undang sekuler.
[6]. Mengecoh (memperdayai)
orang banyak khususnya kaum Muslimin.
[7]. Memberikan kepada
demokrasi baju syariat.
[8]. Termasuk membantu dan
mendukung musuh musuh Islam yaitu Yahudi dan Nashrani.
[9]. Menyelisihi Rasulullah
dalam metoda menghadapi musuh.
[10]. Termasuk wasilah yang
diharamkan.
[11]. Memecah belah kesatuan
umat.
[12]. Menghancurkan
persaudaraan sesama Muslim.
[13]. Menumbuhkan sikap
fanatisme golongan atau partai yang terkutuk.
[14] Menumbuhkan pembelaan
membabi buta (jahiliyah) terhadap partai-partai di golongan mereka.
[15]. Rekomendasi yang
diberikan hanya untuk kemaslahatan golongan.
[16]. Janji janji tanpa
realisasi dari para calon hanya untuk menyenangkan para pemilih.
[17]. Pemalsuan-pemalsuan dan
penipuan-penipuan serta kebohongan-kebohongan hanya untuk meraup simpati massa.
[18]. Menyia-nyiakan waktu
hanya untuk berkampanye bahkan terkadang meninggalkan kewajiban (shalat dan
lain-lain).
[19]. Membelanjakan harta
tidak pada tempat yang disyariatkan.
[20]. Money politic, si calon
menyebarkan uang untuk mempengaruhi dan membujuk para pemilih.
[21]. Terperdaya dengan
kuantitas tanpa kualitas.
[22]. Ambisi merebut kursi
tanpa perduli rusaknya aqidah.
[23]. Memilih seorang calon
tanpa memandang kelurusan aqidahnya.
[24]. Memilih calon tanpa
perduli dengan syarat syarat syar’i seorang pemimpin.
[25]. Pemakaian dalil-dalil
syar’i tidak pada tempatnya, di antaranya adalah ayat-ayat syura yaitu
Asy-Syura’: 46.
[26] .Tidak diperhatikannya
syarat-syarat syar’i di dalam persaksian, sebab pemberian amanat adalah
persaksian.
[27]. Penyamarataan yang
tidak syar’i, di mana disamaratakan antara wanita dan pria, antara seorang alim
dengan si jahil, antara orang-orang shalih dan orang-orang fasiq, antara Muslim
dan kafir.
[28]. Fitnah wanita yang
terdapat dalam proses pemungutan suara, di mana mereka boleh dijadikan sebagai
salah satu calon! Padahal Rasulullah telah bersabda: “Tidak beruntung suatu
kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada kaum wanita”. [Hadits Riwayat
Bukhari dari Abu Bakrah]
[29]. Mengajak manusia untuk
mendatangi tempat-tempat pemalsuan.
[30]. Termasuk bertolong-tolongan
dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
[31]. Melibatkan diri dalam
perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.
[32]. Janji-janji palsu dan
semu yang disebar.
[33]. Memberi label pada
perkara-perkara yang tidak ada labelnya seperti label partai dengan partai
Islam, pemilu Islami, kampanye Islami dan lain-lain.
[34]. Berkoalisi atau
beraliansi dengan partai-partai menyimpang dan sesat hanya untuk merebut suara
terbanyak.
[35]. Sogok-menyogok dan
praktek-praktek curang lainnya yang digunakan untuk memenangkan pemungutan
suara.
[36]. Pertumpahan darah yang kerap kali
terjadi sebelum atau sesudah pemungutan suara karena memanasnya suasana pasca
pemungutan suara atau karena tidak puas karena kalah atau merasa dicurangi.
Sebenarnya masih banyak lagi
kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan akibat dari proses pemungutan suara ini.
Kebanyakan dari kerusakan-kerusakan yang disebutkan tadi adalah suatu yang
sering nampak atau terdengar melalui media massa atau lainnya !
Lalu apakah pantas seorang
Muslim -apalagi seorang salafi- ikut-ikutan latah seperti orang-orang jahil
tersebut ?!
Sungguh sangat tidak pantas
bagi seorang Muslim salafi yang bertakwa kepada Rabb-Nya melakukan hal itu,
padahal ia mendengar firman Rabb-Nya:
Maka apakah patut bagi Kami
menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (kafir).
Mengapa kamu berbuat demikian ? Bagaimanakah kamu membuat keputusan ?
[Al-Qalam: 35-36]
Pada saat bangsa ini sedang
menghadapi bencana, yang seharusnya mereka memperbaiki kekeliruannya adalah
dengan kembali kepada dien yang murni sebagaimana firman Allah
Telah nampak kerusakan di
daratan dan di lautan disebabkan buah tangan perbuatan manusia agar mereka
merasakan sebagian perbuatan mereka dan agar mereka kembali. [Ar-Ruum: 41]
Yaitu, agar mereka kembali
kepada dien ini sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
Jika kalian telah berjual
beli dengan sistem ‘inah dan kalian telah mengikuti ekor-ekor sapi, telah puas
dengan bercocok tanam dan telah kalian tinggalkan jihad, maka Allah akan
menimpakan atas kalian kehinaan; tidak akan kembali (kehinaan) dan kalian
hingga kalian kembali ke dien kalian.
Kembali kepada dien yang
murni itulah solusinya, kembali kepada nilai-nilai tauhid yang murni, mempelajari
dan melaksanakan-melaksanakan konsekuensi-konsekuensinya, menyemarakkan
as-Sunnah dan mengikis bid’ah dan mentarbiyah ummat di atas nilai tauhid.
Da’wah kepada jalan Allah itulah jalan keluarnya, dan bukan melalui kotak suara
atau kampanye-kampanye semu! Tetapi realita apa yang terjadi??
Para Du’at (da’i) sudah
berubah profesi, kini ia menyandang predikat baru, yaitu juru kampanye
(jurkam), menyeru kepada partainya dan bukan lagi menyeru kepada jalan Allah.
Menebar janji-janji; bukan lagi menebar nilai-nilai tauhid. Sibuk berkampanye
baik secara terang-terangan maupun terselubung. Bukan lagi berdakwah, tetapi
sibuk mengurusi urusan politik –padahal bukan bidangnya dan ahlinya- serta
tidak lagi menuntut ilmu.
Mereka berdalih: “Masalah
tauhid memang penting akan tetapi kita tidak boleh melupakan waqi’ (realita).”
Waqi’ (realita) apa yang
mereka maksud ? Apakah realita yang termuat di koran-koran, majalah-majalah,
surat kabar-surat kabar ? -karena itulah referensi mereka- atau realita umat
yang masih jauh dari aqidah yang benar, praktek syirik yang masih banyak
dilakukan, atau amalan bid’ah yang masih bertebaran. Ironinya hal ini justru
ada pada partai-partai yang mengatas namakan Islam ! Wallahul Musta’an
Mereka ngotot untuk tetap
ikut pemungutan suara, agar dapat duduk di kursi parlemen. Dan untuk
mengelabuhi umat merekapun melontarkan beberapa syubhat!
SYUBHAT-SYUBHAT DAN
BANTAHANNYA
[1]. Mereka mengatakan: Bahwa
sistem demokrasi sesuai dengan Islam secara keseluruhan. Lalu mereka namakan
dengan syura (musyawarah) berdalil dengan firman Allah
” Artinya urusan mereka
dimusyawarahkan di antara mereka”. [Asy-Syuura : 38]
Lalu mereka bagi demokrasi
menjadi dua bagian yang bertentangan dengan syariat dan yang tidak bertentangan
dengan syariat.
Bantahan:
Tidak samar lagi batilnya
ucapan yang menyamakan antara syura menurut Islam dengan demokrasi ala Barat.
Dan sudah kita cantumkan sebelumnya tiga perbedaan antara syura dan demokrasi !
Adapun yang membagi demokrasi
ke dalam shahih (benar) dan tidak shahih adalah pembagian tanpa dasar, sebab
istilahnya sendiri tidak dikenal dalam Islam.
“Artinya : Yang demikian itu
tentulah suatu pembagian yang tidak adil. Itu tidak lain hanyalah nama-nama
yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu
keteranganpun untuk, (menyembah)-nya. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan dan apa yang diingini oleh hawa nafsu mereka, dan sesungguhnya
telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka” [An-Najm : 22-23)
[2]. Mereka mengatakan: Bahwa
pemungutan suara sudah ada pada awal-awal Islam, ketika Abu Bakar, Umar, Ustman
radhiyallahu ‘anhum telah dipilih dan dibaiat.
Lihat kitab syari’atul
intikhabat hal.15]
Bantahan:
Ucapan mereka itu tidak benar
karena beberapa sebab:
[a] Telah jelas bagi kita
semua kerusakan yang ditimbulkan oleh pemungutan suara seperti kebohongan,
penipuan, kedustaan, pemalsuan dan pelanggaran syariat lainnya. Maka amat tidak
mungkin sebaik-baik kurun melakukan praktek-praktek seperti itu.
[b] Para sahabat (sebagaimana
yang dimaklumi dan diketahui di dalam sejarah) telah bermufakat dan
bermusyawarah tentang khalifah umat ini sepeninggal Rasul.
Dan setelah dialog yang
panjang di antaranya ucapan Abu Bakar as-Sidiq yang membawakan sebuah hadits
yang berbunyi: “Para imam itu adalah dari bangsa Quraisy.” Lalu mereka
bersepakat membaiat Abu Bakar sebagai khalifah. Tidak diikutsertakan seorang
wanitapun di dalam musyawarah tersebut.
Kemudian Abu Bakar
mewasiatkan Umar sebagai khalifah setelah beliau, tanpa ada musyawarah.
Kemudian Umar menunjuk 6
orang sebagai anggota musyawarah untuk menetapkan salah seorang di antara
mereka untuk menjadi khalifah. Keenam orang itu termasuk 10 orang sahabat
Rasulullah yang dijamin masuk surga. Adapun sangkaan sebagian orang bahwa
Abdurrahman bin Auf menyertakan wanita dalam musyawarah adalah tidak benar.
Di dalam riwayat Bukhari
tidak disebutkan di dalamnya penyebutan musyawarah Abdurrahman bin Auf bersama
wanita dan tidak juga bersama para tentara. Bahkan yang tersebut di dalam
riwayat Bukhari tersebut, Abdurrahman bin Auf mengumpulkan 5 orang yang telah
ditunjuk Umar yaitu Ustman, Ali, Zubair, Thalhah, Saad dan beliau sendiri
(lihat Fathul Bari juz 7 hal. 61,69), Tarikhul Islam karya
Az-Zahabi (hal. 303), Ibnu
Ashir dalam thariknya (3/36), Ibnu Jarir at-Thabari dalam Tarikhkul Umam
(4/431). Adapun yang disebutkan oleh Imam Ibnu Isuji di dalam Kitabnya
al-Munthadam riwayatnya dhaif.
Dan yang disebutkan oleh Ibnu
Katsir dalam al-Bidayah wa Nihayah (4/151) adalah riwayat tanpa sanad, tidak
dapat dijadikan sandaran.
Kesimpulannya:
[a] Berdasarkan riwayat yang
shahih Abdurrahman bin Auf hanya bermusyawarah dengan 5 orang yang ditunjuk
Umar.
[b] Dalam riwayat yang shahih
disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf juga mengajak bertukar pendapat dengan
sahabat lainnya.
[c] Adapun penyertaan wanita
di dalam musyawarah adalah tidak benar sebab riwayatnya tidak ada asalnya.
[3] Mereka mengatakan: Ini
adalah masalah ijtihadiyah’
Bantahan:
Apa yang dimaksud dengan
masalah ijtihadiyah ? Jika mereka katakan: yaitu masalah baru yang tidak
dikenal di massa wahyu dan khulafaur rasyidin.
Maka jawabannya:
[a] Ucapan mereka ini
menyelisihi atau bertentangan dengan ucapan sebelumnya yaitu sudah ada pada
awal Islam.
[b] Memang benar pemungutan
suara ini tidak ada pada zaman wahyu, tetapi bukan berarti seluruh perkara yang
tidak ada pada zaman wahyu ditetapkan hukumnya dengan ijtihad. Dalam masalah
ini ulama menetapkan hukum setiap masalah berdasarkan kaedah-kaedah usul dan
kaedah-kaedah umum. Dan untuk masalah pemungutan suara ini telah diketahui
kerusakan-kerusakannya.
Jika dikatakan: yang kami
maksud masalah ijtihadiyah adalah masalah yang belum ada dalil al-Kitab dan
as-Sunnah. Maka jawabannya sama seperti jawaban kami
yang telah lalu.
Jika dikatakan masalah
ijtihadiyah artinya: kami mengetahui keharamannya, tetapi kami memandang ikut
serta di dalamnya untuk mewujudkan maslahat. Maka jawabannya: kalau ucapan itu
benar, maka pasti sudah ada buktinya semenjak munculnya pemikiran seperti ini.
Di negara-negara Islam tidak pernah terwujud maslahat tersebut, bahkan hanya
kembali dua sepatu usang (gagal).
Sedang Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Artinya : Seorang Mukmin
tidaklah disengat 2 kali dari satu lubang” [Mutafaqun alaih]
Jika dikatakan masalah
ijtihadiyah adalah masalah yang diperdebatkan dan diperselisihkan di kalangan
ulama serta bukan masalah ijma’.
Maka jawabannya:
[a] Coba tunjukkan
perselisihan di kalangan ulama yang mu’tabar (dipercaya) yang dida’wakan itu.
Tentu saja mereka tidak akan mendapatkannya.
[b] Yang dikenal di kalangan
ulama, bahwa yang dimaksud khilafiyah atau masalah yang diperdebatkan, yaitu :
jika kedua pihak memiliki alasan atau dalil yang jelas dan dapat diterima
sesuai kaedah. Sebab kalau hanya mencari masalah khilafiyah, maka tidak ada
satu permasalahanpun melainkan di sana ada khilaf atau perbedaan pendapat. Akan
tetapi banyak di antara pendapat-pendapat itu yang tidak mu’tabar.
[4]. Mereka mengatakan: Bahwa
pemungutan suara tersebut termasuk maslahat mursalah.
Bantahannya:
[a] Maslahat mursalah
bukanlah sumber asli hukum syar’i, tapi hanyalah sumber taba’i (mengikut) yang
tidak dapat berdiri sendiri. Maslahat mursalah hanyalah wasilah yang jika terpenuhi
syaratsyaratnya, baru bisa diamalkan.
[b] Menurut defisinya
maslahat mursalah itu adalah: apa-apa yang tidak ada nash tertentu padanya dan
masuk ke dalam kaedah umum. Menurut definisi lain adalah: sebuah sifat
(maslahat) yang belum ditetapkan oleh syariat.
Jadi maslahat mursalah itu
adalah salahsatu proses ijtihad untuk mencapai sebuah kemaslahatan bagi umat,
yang belum disebutkan syariat, dengan memperhatikan syarat-syaratnya.
Kembali kepada masalah
pemungutan yang dikatakan sebagai maslahat mursalah tersebut apakah sesuai
dengan tujuan maslahat mursalah itu sendiri atau justru bertentangan. Tentu
saja amat bertentangan; dilihat dari kerusakan kerusakan pemungutan suara yang
cukup menjadi bukti bahwa antara keduanya amat jauh berbeda.
[5]. Mereka mengatakan:
Pemungutan suara ini hanya wasilah, bukan tujuan dan maksud kami adalah baik.
Bantahannya adalah:
Tidak dikenal kamus tujuan
menghalalkan segala cara, sebab itu adalah kaidah Yahudiah. Sebab berdasarkan
kaidah Usuliyah: hukum sebuah wasilah ditentukan hasil yang terjadi (didapat);
jika yang terjadi adalah perkara haram (hasilnya haram) maka wasilahnya juga
haram.
Adapun ucapan mereka bahwa
yang mereka inginkan adalah kebaikan.
Maka jawabannya bahwa niat
yang baik lagi ikhlas serta keinginan yang baik lagi tulus belumlah menjamin
kelurusan amal. Sebab betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tetapi
tidak mendapatkannya.
Sebab sebuah amal dapat
dikatakan shahih dan makbul jika memenuhi 2 syarat: [a] Niat ikhlas dan [b]
Menetapi as-Sunnah. Jadi bukan hanya bermodal keinginan [i’tikad baik saja]
[6]. Mereka mengatakan: Kami
mengikuti pemungutan suara dengan tujuan menegakkan daulah Islam.
Bantahannya:
Ada sebuah pertanyaan yang
ditujukan kepada mereka, bagaimana cara menegakkan daulah Islam ?
Sedangkan di awal perjuangan,
mereka sudah tunduk pada undang-undang sekuler yang diimpor dari Eropa. Mengapa
mereka tidak memulai menegakkan hukum Islam itu pada diri mereka sendiri, atau
memang ucapan mereka “Kami akan menegakkan daulah Islam” hanyalah slogan kosong
belaka. Terbukti mereka tidak mampu untuk menegakkannya pada diri mereka
sendiri.
Kalau ingin buktinya maka
silahkan melihat mereka-mereka yang meneriakkan slogan tersebut.
[7]. Mereka mengatakan : Kami
tidak mau berpangku tangan dengan membiarkan musuh-musuh bergerak leluasa tanpa
hambatan.
Bantahannya:
Apakah masuk akal jika untuk
menghadapi musuh-musuhnya, mereka bergandengan tangan dengan musuh-musuhnya
dalam kursi parlemen, berkompromi dengan musuh dalam membuat undang-undang?
Bukankah ini tipu daya ala Yahudi yang telah Allah nyatakan dalam al-Qur’an:
“Artinya : Segolongan lain
dari ahli Kitab berkata kepada sesamanya: Perlihatkanlah seolah-olah kamu
beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang yang beriman
(sahabat-sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya,
supaya mereka (orang-orang Mukmin) kembali (kepada kekafiran)”. [Ali-Imran: 72]
Dan ucapan mereka bahwa
masuknya mereka ke kancah demokrasi itu adalah refleksi perjuangan mereka,
tidak dapat dipercaya. Bukankah Allah telah mengatakan:
“Artinya : Orang-orang Yahudi
dan Nashrani tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka”
[Al-Baqarah: 120]
Lalu mengapa mereka saling
bahu membahu dengan orang-orang Yahudi dan Nashrani? Apakah mereka menerapkan
kaedah: saling bertolong-tolongan pada perkara-perkara yang disepakati dan
saling toleransi pada perkara- perkara yang diperselisihkan. Tidakkah mereka
takut pada firman Allah
“Artinya : Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mu’min. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata
bagi Allah (untuk menyiksamu ?)”. [An-Nisaa: 144]
[8]. Mereka mengatakan: Kami
terjun dalam kancah demokrasi karena alasan darurat.
Bantahannya:
Darurat menurut Ushul yaitu:
keadaan yang menimpa seorang insan berupa kesulitan bahaya dan
kepayahan/kesempitan, yang dikhawatirkan terjadinya kemudharatan atau gangguan
pada diri (jiwa), harta, akal, kehormatan dan agamanya. Maka dibolehkan baginya
perkara yang haram (meninggalkan perkara yang wajib) atau menunda
pelaksanaannya untuk menolak kemudharatan darinya, menurut batas-batas yang
dibolehkan syariat.
Lalu timbul pertanyaan kepada
mereka: yang dimaksud alasan itu, karena keadaan darurat atau karena maslahat?.
Sebab maslahat tentu saja
lebih luas dan lebih umum ketimbang darurat. Jika dahulu mereka katakan bahwa
demokrasi itu atau pemungutan suara itu hanyalah
wasilah maka berarti yang
mereka lakukan tersebut bukanlah karena darurat akan tetapi lebih tepat dikatakan
untuk mencari maslahat, Maka terungkaplah bahwa ikut sertanya mereka dalam
kancah demokrasi tersebut bukanlah karena darurat tapi hanya karena sekedar
mencari setitik maslahat.
[9]. Mereka mengatakan: Kami
terpaksa melakukannya, sebab jika tidak maka musuh akan menyeret kami dan
melarang kami menegakkan hukum Islam dan melarang kami shalat di masjid-masjid
dan melarang kami berbicara (berkhutbah).
Bantahannya:
Mereka hanya dihantui
bayangan saja; atau mereka menyangka kelangsungan da’wah kepada jalan Allah
hanya tergantung di tangan mereka saja. Dengan itu mereka menyimpang dari
manhaj an-nabawi dalam berda’wah kepada Allah dan dalam al-islah (perbaikan).
Lalu mereka menuduh orang-orang yang tetap berpegang teguh pada as- Sunnah
sebagai orang-orang pengecut (orang-orang yang acuh tak acuh terhadap nasib
umat). Apakah itu yang menyebabkan mereka membabi buta dan gelap mata?
Hendaknya mereka mengambil pelajaran dari seorang sahabat yang mulia yaitu Abu
Dzar al-Giffari ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berpesan
kepadanya:
“Artinya : Tetaplah kau di
tempat engkau jangan pergi kemana-mana sampai aku mendatangimu. Kemudian.
Rasulullah pergi di kegelapan hingga lenyap dari pandangan, lalu aku mendengar
suara gemuruh. Maka aku khawatir jika seseorang telah menghadang Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam, hingga aku ingin mendatangi beliau. Tapi aku ingat
pesan beliau: tetaplah engkau di tempat jangan kemana-mana, maka akupun tetap
di tempat tidak ke mana-mana. Hingga beliau mendatangiku. Lalu aku berkata
bahwa aku telah mendengar suara gemuruh, sehingga aku khawatir terhadap beliau,
lalu aku ceritakan kisahku. Lalu beliau berkata apakah engkau mendengarnya?.
Ya, kataku. Beliau berkata itu adalah Jibril, yang telah berkata kepadaku:
barang siapa di antara umatmu (umat Rasulullah) yang
wafat dengan tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, akan masuk ke dalam surga. Aku
bertanya, walaupun dia berzina dan mencuri? Beliau berkata, walaupun dia
berzina dan mencuri”. [Mutafaqun alaih]
Lihatlah bagaimana keteguhan
Abu Dzar al-Ghifari terhadap pesan Rasulullah untuk tidak bergeming dari
tempat, walaupun dalam sangkaan beliau, Rasulullah berada dalam mara bahaya !
Bukankah hal tersebut gawat dan genting. Suara gemuruh yang mencemaskan beliau
atas nasib Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Namun apa gerangan yang
menahan Abu Dzar al-Ghifari untuk menemui Rasulullah. Apakah beliau takut, atau
beliau pengecut, atau beliau acuh tak uh akan nasib Rasulullah ? Tidak !
Sekali-kali tidak! Tidak ada yang menahan beliau melainkan pesan Rasulullah :
tetaplah engkau di tempat, jangan pergi ke mana-mana hingga aku datang!.
Keteguhan beliau di atas
garis as-Sunnah telah mengalahkan (menundukkan) pertimbangan akal dan perasaan!
Beliau tidak memilih melanggar pesan Rasulullah dengan alasan ingin
menyelamatkan beliau shalallahu ‘alaihi wasallam.
Kemudian kita lihat hasil
keteguhan beliau atas pesan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berupa ilmu
tentang tauhid yang dibawa malaikat Jibril kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam. Kabar gembira bagi para muwahhid (ahli tauhid) yaitu surga.
Seandainya beliau melanggar pesan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam maka
belum tentu beliau mendapatkan ilmu tersebut pada saat itu !!
Demikian pula dikatakan
kepada mereka: Kami tidak hendak melanggar as-Sunnah dengan dalih menyelamatkan
umat ! (Karena keteguhan di atas as-Sunnah itulah yang akan menyelamatkan ummat
-red).
Berbahagialah ahlu sunnah
(salafiyin) berkat keteguhan mereka di atas as-Sunnah.
[10]. Mereka mengatakan:
Bahwa mereka mengikuti kancah pemunggutan suara untuk memilih kemudharatan yang
paling ringan.
Mereka juga berkata bahwa
mereka mengetahui hal itu adalah jelek, tapi ingin mencari mudharat yang paling
ringan demi mewujudkan maslahat yang lebih besar.
Bantahannya:
Apakah mereka menganggap
kekufuran dan syirik sebagai sesuatu yang ringan kemudharatannya? Timbangan apa
yang mereka pakai untuk mengukur berat ringannya suatu perkara? Apakah
timbangan akal dan hawa nafsu? Tidakkah mereka mengetahui bahwa demokrasi itu adalah
sebuah kekufuran dan syirik produk Barat? Lalu apakah ada yang lebih berat
dosanya selain kekufuran dan syirik.
Kemudian apakah mereka
mengetahui syarat-syarat dan batasan-batasan kaedah “memilih kemudharatan yang
paling ringan.”
Jika jawaban mereka tidak
mengetahui; maka hal itu adalah musibah.
Jika jawabannya mereka
mengetahui, maka dikatakan kepada mereka: coba perhatikan kembali
syarat-syaratnya! Di antaranya:
[a]. Maslahat yang ingin
diraih adalah nyata (realistis) bukan sekedar perkiraan (anggapan belaka).
Kegagalan demi kegagalan yang dialami oleh mereka yang melibatkan di dalam
kancah demokrasi itu cukuplah sebagai bukti bahwa maslahat yang mereka janjikan
itu hanyalah khayalan dan isapan jempol belaka.
[b]. Maslahat yang ingin
dicapai harus lebih besar dari mafsadah (kerusakan) yang dilakukan, berdasarkan
paham ahli ilmu. Jika realita adalah kebalikannya yaitu maslahat yang hendak
dicapai lebih kecil ketimbang mafsadah yang terjadi, maka kaedahnya berganti
menjadi:
Menolak mafsadah (kerusakan)
lebih didahulukan ketimbang mencari (mengambil) mashlahat.
[c]. Tidak ada cara (jalan)
lain untuk mencapai maslahat tersebut melainkan dengan melaksanakan mafsadah
(kerusakan) tersebut.
Syarat yang ketiga ini
sungguh amat berat untuk dipenuhi oleh mereka sebab konsekuensinya adalah:
tidak ada jalan lain untuk menegakkan hukum Islam, kecuali dengan jalan
demokrasi tersebut. Sungguh hal itu adalah kebathilan yang amat nyata! Apakah
mungkin manhaj Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam ishlah (perbaikan)
divonis tidak layak dipakai untuk menegakkan hukum Islam? Tidaklah kita
mengenal Islam, kecuali melalui beliau shalallahu ‘alaihi wasallam?
[11] Mereka mengatakan: Bahwa
beberapa Ulama ahlu sunnah telah berfatwa tentang disyariatkannya pemungutan suara
(pemilu) ini seperti: Syeikh al-Albani, Bin Baz, Bin Utsaimin. Lalu apakah kita
menuduh mereka (para ulama) hizbi ?
Jawabannya tentu saja tidakl
Amat jauh para ulama itu dari
sangkaan mereka, karena beberapa alasan:
[a]. Mereka adalah ulama dan
pemimpin kita, serta pemimpin da’wah yang penuh berkah ini (da’wah salafiyah)
dan pelindung Islam. Kita tidak meneguk ilmu kecuali dari mereka. Kita
berlindung kepada Allah semoga mereka tidak demikian (tidak hizbi)! Bahkan
sebaliknya, merekalah yang telah memperingatkan umat dari bahaya hizbiyah.
Tidaklah umat selamat dari hizbiyah kecuali, melalui nasihat-nasihat mereka
setelah taufiq dari Allah tentunya. Kitab-kitab dan kaset-kaset mereka penuh
dengan peringatan tentang hizbiyah.
[b]. Para ulama berfatwa (memberi
fatwa) sesuai dengan kadar soal yang ditanyakan. Bisa saja seorang datang
kepada ulama dan bertanya:
Ya Syeikh!, kami ingin
menegakkan syariat Allah dan kami tidak mampu kecuali melalui pemungutan suara
dengan tujuan untuk mengenyahkan orang-orang
sosialis dan sekuler dari
posisi mereka! Apakah boleh kami memilih seorang yang shalih untuk melaksanakan
kepentingan ini? Demikianlah soalnya!
Lain halnya seandainya bunyi
soal : Ya Syeikh, pemungutan suara itu menimbulkan mafsadah (kerusakan) begini
dan begini, dengan menyebutkan sisi negatif yang ditimbulkannya, maka niscaya
jawabannya akan lain. Mereka-mereka itu (yaitu hizbiyun dan orang-orang yang
terfitnah oleh hizbiyun) mencari-cari talbis (tipu daya) terhadap para ulama!
Adapun dalil bahwa seorang alim berfatwa berdasarkan apa yang ia dengar. Dan
sebuah fatwa ada kalanya keliru, adalah dari sebuah hadits dari Ummu Salamah:
“Artinya : Sesungguhnya
kalian akan mengadukan pertengkaran di antara kalian padaku, barang kali
sebagian kalian lebih pandai berdalih ketimbang lainnya. Barang siapa yang
telah aku putuskan baginya dengan merebut hak saudaranya, maka yang dia ambil
itu hanyalah potongan dari api neraka; hendaknya dia ambil atau dia tinggalkan”
[Mutafaqun alaih]
Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam juga telah memerintahkan kepada para qadi untuk mendengarkan kedua
belah pihak yang bersengketa. Dalam sebuah hadits riwayat Ahmad, Rasulullah
berkata kepada Ali bin Abu Thalib:
“Artinya : Wahai Ali jika
menghadap kepada engkau dua orang yang bersengketa, janganlah engkau putuskan
antara mereka berdua, hingga engkau mendengar dari salah satu pihak sebagaimana
engkau mendengarnya dari pihak lain. Sebab jika engkau melakukan demikian, akan
jelas bagi engkau, putusan yang akan diambil”. [Hadits Riwayat Ahmad]
Oleh sebab itu kejahatan yang
paling besar yang dilakukan oleh seorang Muslim
adalah diharamkannya
perkara-perkara yang sebelumnya halal, disebabkan pertanyaannya. Dalam sebuah
hadits riwayat Saad bin Abi Waqas radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
“Artinya : Sesungguhnya
kejahatan seorang Muslim yang paling besar adalah bertanya tentang sebuah
perkara yang belum diharamkan. Lalu diharamkan disebabkan pertanyaannya”.
[Mutafaqun Alaih]
Ibnu Thin berkata bahwa
kejahatan yang dimaksud adalah menyebabkan kemudharatan atas kaum Muslimin
disebabkan pertanyaannya. Yaitu menghalangi mereka dari perkara-perkara halal
sebelum pertanyaannya.
Hendaknya orang-orang yang
melakukan tindakan berbahaya seperti ini bertaubat kepada Allah. Dan para tokoh
kaum Muslimin agar berhati-hati terhadap orang-orang semacam itu.
[c]. Lalu bagaimana sikap
mereka (para Hizbiyin) tatkala telah jelas bahwa bagi para Ulama, demokrasi dan
pemilihan suara ini adalah haram disebabkan mafsadah yang ditimbulkannya.
Apakah mereka akan mengundurkan diri dari kancah demokrasi dan pemilu itu? atau
mereka tetap nekat. Realita menunjukkan bahwa mereka hanya memancing di air
keruh. Mereka hanya mencari keuntungan untuk golongannya saja dari fatwa para
ulama. Terbukti jika fatwa ulama tidak menguntungkan golongan mereka, maka
merekapun menghujatnya dengan berbagai macam pelecehan. Wallahu a’lam.
[Disalin dari Majalah
As-Sunnah Edisi 11/Th. III/1420-1999. Disadur dari kitab Tanwiir adz-Dzulumat
tulisan Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam dan kitab Madarik an-Nazhar Fi
Siasah tulisan Abdul Malik Ramadhani]