Oleh
Ustadz Abu ‘Abdurrahman
Thoyyib as-Salafy
Sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan generasi termulia yang dikeluarkan
kepada manusia. Mereka menjadi suri teladan serta pejuang Islam yang tak
tertandingi sampai hari Kiamat nanti. Kedudukan mereka sangat tinggi. Mereka
mempunyai banyak keutamaan. Demikian pula, jasa mereka terhadap Islam tidaklah
sedikit. Oleh karena itu, wajib bagi umat ini untuk menghormati sahabat-sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lantas, bagaimanakah cara
menghormati mereka? Berikut jawabannya.
Pertama. Mencintai Sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Di antara sifat seorang
muslim, ialah mencintai saudaranya sesama muslim. Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah berfirman, yang artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (pecinta dan penolong) bagi
sebahagian yang lain…-at-Taubah/9 ayat 71. Dan di antara prinsip seorang
muslim, ialah mencintai karena Allah, mencintai orang yang cinta kepada Allah
dan Rasul-Nya; sehingga menjadikan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai orang yang paling utama mendapatkan kecintaan ini.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
أَوثَقُ عُرَى الإِيمَانِ المُوَالَاةُ فِي اللهِ
وَالمُعَادَاةُ فِي اللهِ والحُبُّ فِي اللهِ وَالبُغضُ فِي اللهِ
Sekuat-kuat tali keimanan
adalah berloyalitas dan memusuhi karena Allah serta cinta dan benci karena
Allah. [HSR Thabrani].[1]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda: “Tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar, dan tanda
kemunafikan ialah membenci kaum Anshar”. [HR al-Bukhâri].
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam juga bersabda: “Tidaklah yang mencintai orang-orang Anshar melainkan
seorang mukmin, dan tidaklah yang membenci mereka kecuali orang-orang munafik.
Barang siapa yang mencintai mereka, maka Allah cinta kepadanya, dan barang
siapa yang membenci mereka, maka Allah benci kepadanya”. [HR Muslim].
Dalam riwayat lain
disebutkan: “Tidak ada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir yang membenci
kaum Anshar”.
Dalil-dalil di atas amat
jelas telah mewajibkan kita untuk mencintai semua sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik sahabat dari kalangan Muhajirin maupun
Anshar. Dan berikut ini, pernyataan-pernyataan para ulama Ahlus-Sunnah tentang
kewajiban mencintai para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.
‘Abdullah bin Mubarak
rahimahullah berkata: “Dua perangai, yang aku harapkan orang yang memilikinya
akan selamat dan sukses, yaitu kejujuran dan cinta kepada sahabat Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [2].
Al-Fudhail bin ‘Iyadh
rahimahullah berkata: “Mencintai para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam merupakan bekal yang aku simpan,” kemudian beliau berkata: “Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala merahmati orang-orang yang mendoakan para sahabat Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan hal ini tidak akan muncul kecuali karena
kecintaan terhadap para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.[3]
Imam Abu ‘Abdillah bin
Baththah al-Akburi rahimahullah berkata: “Ahlus-Sunnah mencintai semua sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan kedudukan dan tingkatan
mereka, yang pertama dan yang kemudian, dari ahli Badar, Hudaibiyah,
Bai’atur-Ridwân, dan Uhud. Mereka itu orang-orang yang memiliki keutamaan yang
mulia dan kedudukan tinggi yang telah mendahului (kita) dengan
kebaikan-kebaikan. Semoga Allah merahmati mereka semua”. [4]
Imam ath-Thahawi rahimahullah
berkata: “Kita mencintai para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di antara mereka, serta
tidak membenci salah seorang pun di antara mereka; kita membenci orang yang
membenci dan yang menjelekkan mereka. Kita tidak menyebut para sahabat kecuali
dengan kebaikan. Mencintai mereka ialah merupakan agama, iman dan kebaikan.
Sedangkan membenci mereka merupakan kekufuran, kemunafikan dan thughyân
(tindakan melampaui batas)”.[5]
Kedua. Memuji Para Sahabat
Radhiyallahu anhum.
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamserta para ulama telah memuji para
sahabat. Artinya, semua itu sudah sangat cukup menunjukkan kewajiban untuk
memuji mereka. Jika para sahabat telah mendapat pujian dari Allah Subhanahu wa
Ta’ala dan Rasul-Nya, mengapa kita tidak memuji mereka?
Berikut ini nash-nash dari
Al-Qur`ân dan Sunnah, serta ucapan para ulama tentang pujian terhadap para
sahabat.
Nash Dari Al-Qur`ân.
1. Al-Qur`ân surat
at-Taubah/9 ayat 100, yang artinya: Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.
2. Al-Qur`ân surat
al-Hasyr/59 ayat 8-9, yang artinya: (Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang
diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari
karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota
Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin),
mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang
beruntung.
Nash Dari Hadits.
1. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian
(generasi) setelah mereka, kemudian (generasi) setelah mereka”. [HR al-Bukhâri
dan Muslim].
2. Sabda Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian mencaci-maki sahabatku. Seandainya salah
seorang di antara kalian menginfakkan emas seperti satu gunung Uhud, tidaklah
hal itu bisa menyamai satu mud salah seorang dari mereka, bahkan tidak pula
setengahnya”. [HR al-Bukhâri].
Nash Dari Para Ulama.
1. ‘Abdullah bin ‘Abbâs
Radhiyallahu anhu berkata tentang firman Allah “kalian adalah sebaik-baik umat
yang dikeluarkan untuk manusia…” –Ali-Imran/3 ayat 110: “Mereka ialah
orang-orang yang berhijrah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
“.[6]
2. ‘Abdullah bin Mas’ûd
Radhiyallahu anhu berkata: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat
kepada hati para hamba, lalu Dia mendapati hati Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai sebaik-baik hati manusia, maka Dia memilih Beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk diri-Nya, dan mengutus Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan membawa risalah-Nya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat
kepada hati para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
lalu Dia mendapati hati para sahabat beliau adalah sebaik-baik hati para hamba,
maka Dia pun menjadikannya sebagai penolong Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang berperang di atas agama-Nya”.[7]
3. ‘Abdullah bin ‘Umar
Radhiyallahu anhu berkata: “Kalian jangan mencaci-maki para sahabat Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena kedudukan salah seorang dari mereka
lebih baik dari amal (ibadah) salah seorang di antara kalian seumur
hidupnya”.[8]
4. Ayyûb as-Sakhtiyâni t
berkata: “Barang siapa yang memuji para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan baik, maka dia telah terlepas dari kemunafikan”.[9]
5. Hasan al-Bashri
rahimahullah berkata tentang firman Allah “maka Allah akan mendatangkan suatu
kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah” –al-Mâ`idah/5 ayat
54: “Demi Allah, ayat ini bukan untuk orang-orang Harura` (Khawarij), akan
tetapi untuk Abu Bakar, ‘Umar dan para sahabat keduanya”.[10]
6. Imam Ahmad bin Hambal
rahimahullah berkata: “Orang yang paling rendah dalam persahabatannya bersama
beliau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) masih lebih utama dari generasi
yang tidak pernah melihat beliau, meskipun mereka bertemu dengan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dengan membawa semua amal. Mereka yang menemani Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melihatnya serta mendengar dari beliau,
(mereka) lebih afdhal karena persahabatannya dibandingkan tabi’in, meskipun
mereka (para tabi’in) mengerjakan semua amal kebaikan”.[11]
7. Imam al-Ajurri
rahimahullah berkata: “Sesungguhnya di antara kemudahan yang diberikan Allah
kepadaku, ialah dalam menulis kitab asy-Syari’ah, dan Allah juga memudahkan
untukku menuliskan keutamaan-keutamaan Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam . Aku sebutkan setelah itu keutamaan-keutamaan para sahabat beliau z
yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih mereka untuk beliau. Allah
Subhanahu wa Ta’ala menjadikan para sahabat sebagai pendamping beliau, kerabat,
penolong, dan sebagai pemimpin setelah beliau untuk umatnya. Mereka ialah kaum
Muhajirin dan Anshar yang disifatkan oleh Allah dengan semulia-mulia sifat di dalam Al-Qur`ân.
Allah Subhanahu wa Ta’ala melukiskan mereka dengan gambaran yang terindah. Di
dalam kitab-Nya, Allah mengkhabarkan kepada kita, bahwa Dia telah mensifati
mereka di dalam Taurat dan Injil dengan seagung-agungnya sifat dan
seindah-indahnya perangai. Inilah keutamaan Allah yang diberikan kepada siapa
saja yang Dia kehendaki”.[12]
8. Imam al-Barbahâri
rahimahullah berkata: “Sebaik-baik umat ini sepeninggal Nabinya ialah Abu Bakar
Radhiyallahu anhu , ‘Umar Radhiyallahu anhu dan ‘Utsman Radhiyallahu anhu ;
kemudian sebaik-baik manusia setelah mereka ialah Ali Radhiyallahu anhu,
Thalhah Radhiyallahu anhu, az-Zubair Radhiyallahu anhu, Sa’ad bin Abi Waqqash
Radhiyallahu anhu, Sa’id bin Zaid Radhiyallahu anhu, ‘Abdur-Rahman bin ‘Auf
Radhiyallahu anhu, Abu Ubaidah ‘Amir bin Jarrah Radhiyallahu anhu; semuanya berhak
untuk menjadi khalifah. Kemudian manusia terbaik setelah mereka, ialah para
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang termasuk generasi pertama
yang beliau diutus kepada mereka, yaitu golongan Muhajirin dan Anshar serta
mereka yang pernah melaksanakan shalat dengan menghadap kepada dua kiblat.
Kemudian manusia terbaik setelah mereka, ialah yang menemani Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehari atau sebulan atau setahun atau lebih
sedikit atau lebih lama dari itu. Doakan dia, sebutkan keutamaannya, berdiamlah
dari kesalahannnya, dan kita tidak boleh menyebut salah seorang dari mereka
melainkan dengan yang baik, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: ‘Apabila disebutkan para sahabatku, maka berhati-hatilah’.” [13].
9. Imam Ibnu Qudamah
al-Maqdisi rahimahullah berkata: Termasuk sunnah (aqidah Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah), ialah memberikan loyalitas kepada sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam , mencintai mereka, memuji mereka, mendoakan, serta
memintakan ampun untuk mereka, diam tidak menyebutkan kejelekan dan
perselisihan yang terjadi di antara mereka, serta meyakini keutamaan mereka,
dan yang pertama kalinya mereka masuk ke dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman –yang artinya-: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin
dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan
saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah
Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang
beriman”. -al-Hasyr/59 ayat 10- dan Dia juga berfirman –yang artinya-: Muhammad
itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih- sayang sesama mereka… -al-Fath/48
ayat 29.[14]
10. Imam Ibnu Katsir
rahimahullah berkata -ketika menafsirkan firman Allah surat al-Fath/48 ayat
29-: Para sahabat Radhiyallahu anhum, niat mereka murni (ikhlas), amal
perbuatan mereka baik, dan setiap orang yang melihat mereka akan takjub kepada
sifat dan petunjuk mereka. Dan Mâlik berkata: “Telah sampai kabar kepadaku,
ketika orang-orang Nashara melihat para sahabat g menaklukan negeri Syam,
mereka berkata: ‘Demi Allah, mereka (para sahabat) lebih baik dari pada
Hawariyyûn (sahabat ‘Isa bin Maryam Alaihissallam ), menurut apa yang telah
sampai kepada kami,’ dan sungguh mereka benar dalam hal ini. Karena umat ini
diagungkan di dalam kitab-kitab suci terdahulu; dan yang paling mulia ialah
para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.[15]
Ketiga. Mendoakan dan Memintakan
Ampun Untuk Para Sahabat Radhiyallahu anhum.
Inilah di antara tugas dan
kewajiban seorang muslim terhadap sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , yaitu memintakan ampun dan mendoakan mereka dengan kebaikan. Dalam hal
ini, sangat banyak ucapan dari para ulama Ahlus-Sunnah, seperti yang telah
berlalu sebagiannya, dan berikut ini ucapan mereka yang lain.
1. Mus’ab bin Sa’ad
rahimahullah berkata: Manusia itu ada tiga tingkatan, dua tingkatan sudah
berlalu, dan masih tersisa satu tingkatan lagi, maka yang terbaik bagi kalian
ialah menjadi orang-orang yang berada pada tingkatan ketiga -kemudian beliau
membaca firman Allah, yang artinya: (Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang
diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari
karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya.
Mereka itulah orang-orang yang benar. (al-Hasyr/59 ayat 8)- mereka ialah
orang-orang Muhajirin, dan ini adalah tingkatan pertama.
Kemudian beliau membaca
firman Allah, yang artinya: Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah
dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka
mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri
mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan
barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang
yang beruntung (al-Hasyr/59 ayat 9), mereka ialah orang-orang Anshar, dan
tingkatan ini telah berlalu.
Kemudian beliau membaca ayat,
yang artinya: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan
Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara
kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan
kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami,
sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (al-Hasyr/59 ayat 10).
Dua tingkatan di atas telah
berlalu dan tinggal satu tingkatan, maka yang terbaik bagi kalian ialah menjadi
orang-orang yang berada pada tingkatan ketiga yang masih tersisa, yaitu dengan
memohon ampunan untuk para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
.[16]
2. Al-Fudhail bin ‘Iyâdh
rahimahullah berkata: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati orang-orang
yang mendoakan para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[17]
3. Muhammad bin ‘Abdillah
al-Andalusi -yang dikenal dengan Ibnu Abi Zamanain rahimahullah – berkata: “Di
antara ucapan Ahlus-Sunnah, yaitu keyakinan seorang (muslim) untuk mencintai
para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , menyebarkan kebaikan-kebaikan
dan keutamaan-keutamaan mereka, serta menahan diri tidak melarutkan diri
membahas perselisihan yang terjadi di antara mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah memuji mereka di dalam kitab-Nya dengan pujian yang mengharuskan untuk
memuliakan dengan kecintaan dan mendoakan mereka…”.[18]
4. Imam Abu ‘Abdillah bin
Baththah al-Akburi rahimahullah berkata : “Ahlus-Sunnah mencintai semua sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan kedudukan dan tingkatan
mereka, yang pertama dan yang kemudian, dari ahli Badar, Hudaibiyah,
Bai’atur-Ridwân, dan Uhud. Mereka ialah orang-orang yang memiliki keutamaan
yang mulia dan kedudukan yang tinggi. Mereka telah mendahului (kita) dengan
kebaikan-kebaikan. Semoga Allah merahmati mereka semua”. [19]
Keempat. Tidak Mencela
Seorang pun Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Seorang muslim adalah saudara
bagi muslim lainnya, sehingga satu dengan lainnya tidak boleh saling mencela
tanpa hak. Seorang muslim memiliki kehormatan yang tidak boleh dinodai. Jika
penghormatan ini berlaku untuk semua kaum muslimin, maka yang lebih utama lagi
ditujukan kepada para pejuang Islam, para pembawa bendera sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para penebar dakwah tauhid yang telah banyak
mendapat sanjungan dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka ialah para sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya n telah memuji mereka, mengapa muncul celaan dari bibir-bibir kita
kepada mereka?! Apakah kita lebih mengetahui daripada Allah dan Rasul-Nya
Shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum
mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok)
lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita
(mengolok-olok) wanita-wanita lain, (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang
diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok). Dan janganlah
kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan
gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk
sesudah iman. Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah
orang-orang yang zhalim. [al-Hujurât/49:11].
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda :
المُسلِمُ أَخُو المُسلِمِ لاَ يَظلِمُهُ وَلَا
يَخذُلُهُ وَلَا يَحقِرُهُ التَقوَى هَاهُنَا – وَ يُشِيرُ إِلَى صَدرِهِ ثَلاَثَ
مَرَّاتٍ – بِحَسبِ امرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَن يَحقِرَ أَخَاهُ المُسلِمَ كُلُّ
المُسلِمِ عَلَى المُسلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَ مَالُهُ وَ عِرضُهُ
Seorang muslim adalah saudara
bagi muslim yang lainnya; ia tidak boleh menzhalimi atau menghinakan atau
mencelanya. Ketakwaan ada di sini –seraya beliau menunjuk ke arah dada.
Cukuplah kejelekan seorang muslim itu dengan dia mencela saudaranya. Setiap
muslim terhadap muslim yang lain diharamkan darahnya, harta, serta
kehormatannya. [HR Muslim]
Ucapan para ulama terhadap
para pencela sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
1. Ummul-Mukminin ‘Aisyah
Radhiyallahu anuhma berkata: “Mereka diperintahkan untuk memintakan ampun bagi
sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka justru mencela
para sahabat”.[20]
2.’Abdullah bin ‘Abbas
Radhiyallahu anhuma berkata: “Kalian jangan mencela sahabat Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena Allah telah memerintahkan kita untuk
memintakan ampunan bagi para sahabat, dan Dia mengetahui bahwa mereka nanti
akan saling memerangi”.[21]
3. Imam Ahmad bin Hambal
rahimahullah berkata: “Apabila engkau melihat seseorang mencela sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka pertanyakanlah
keislamannya”.[22]
Imam Ahmad bin Hambal
rahimahullah berkata: “Barang siapa yang mencela salah seorang sahabat, aku
khawatir kekafiran ada padanya, seperti orang-orang Syi’ah Rafidhah.”.[23]
Dari ‘Abdullah bin Imam
Ahmad, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang
mencela salah satu dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka
beliau menjawab: “Saya berpendapat, untuk dia hukum bunuh’.”[24]
4. Abu Zur’ah ar-Râzi
rahimahullah berkata: “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah satu dari
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ketahuilah bahwa dia
itu zindiq, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut kita adalah
benar, dan Al-Qur`ân adalah benar. Sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita
Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah para
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka bermaksud mencela
para saksi kita untuk membatalkan Al-Qur`ân dan Sunnah, maka celaan itu lebih
utama ditujukan kepada mereka (yang mencela para sahabat), dan mereka adalah
zindiq ”.[25]
5. Al-Barbahâri rahimahullah
juga berkata: “Ketahuilah, barang siapa mencela salah seorang sahabat Muhammad
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebenarnya ia kehendaki ialah mencela Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan ia telah menyakiti beliau di
kuburnya”.[26]
6. Malik rahimahullah
berkata: “Sesungguhnya, mereka ialah sekelompok orang yang bermaksud mencela
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak bisa; maka mereka pun mencela
para sahabat, sehingga dikatakan,’Nabi adalah orang yang jelek. Seandainya ia
orang yang baik, maka para sahabatnya juga orang baik’.”[27]
7. Ishaq bin Rahawaih
rahimahullah berkata: “Barang siapa yang mencela para sahabat Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam , maka ia harus diberi sangsi dan dipenjara”.[28]
8. Ibnu Katsir rahimahullah
berkata tentang tafsir surat al-Fath/48 ayat 29, yaitu firman-Nya لِيَغِيظَ
بِهِمُ الْكُفَّارَ (karena Allah hendak
menjengkelkan hati orang-orang kafir…):
Dari ayat ini, Imâm Mâlik
rahimahullah menyimpulkan tentang kekafiran orang-orang Syi’ah Rafidhah yang
membenci para sahabat Radhiyallahu anhum. Beliau berkata: “Karena mereka
(Syi’ah Rafidhah) memurkai para sahabat. Barang siapa yang murka kepada para
sahabat Radhiyallahu anhum, maka ia kafir berdasarkan ayat ini”.
Pendapat Imam Mâlik
rahimahullah ini disepakati oleh sebagian ulama. Hadits-hadits tentang
keutamaan para sahabat Radhiyallahu anhum dan larangan mencela mereka sangat
banyak, sehingga cukuplah pujian dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi
mereka”.[29]
Ibnu Katsir rahimahullah
-ketika menafsirkan surat at-Taubah/9 ayat 100- juga berkata: “Allah Subhanahu
wa Ta’ala mengabarkan, bahwasanya Dia ridha kepada orang-orang yang terdahulu
dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang mengikuti mereka dengan baik.
Alangkah celakanya orang-orang yang membenci para sahabat g atau yang mencela
atau yang murka kepada sebagian dari mereka, khususnya tokoh-tokoh sahabat
sepeninggal Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta yang terbaik dan termulia
di antara mereka, yaitu ash-Shiddîq al-Akbar dan Khalifah al-A’zham Abu Bakar
bin Abi Quhâfah Radhiyallahu anhu. Sesungguhnya, kelompok Syi’ah Rafidhah yang
terhina memusuhi orang yang termulia dari kalangan sahabat, memurkai dan
mencela mereka. Kita berlindung kepada Allah dari hal ini. Ini semua
menunjukkan bahwa akal mereka telah terbalik dan hati mereka tertutup. Ketika
mereka mencela orang-orang yang telah diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ,
maka di manakah keimanan mereka kepada Al-Qur`ân? Adapun Ahlus-Sunnah, mereka
mendoakan para sahabat dengan keridhaan, mencela orang-orang yang telah dicela
oleh Allah dan Rasul-Nya, loyal kepada orang-orang yang loyal kepada Allah,
serta memusuhi orang-orang yang memusuhi-Nya. Mereka (Ahlus-Sunnah) hanya
mengikuti dan tidak mengada-adakan sesuatu. Merekalah tentara Allah Subhanahu
wa Ta’ala yang selamat dan hamba-hamba-Nya yang beriman”.[30]
Ibnu Abil-‘Izzi rahimahullah
berkata: “Siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang di dalam hatinya
terdapat kedengkian terhadap orang-orang yang terbaik dari kaum Mukminin?
Bahkan orang-orang Yahudi dan Nashara lebih baik dari mereka dengan satu
perangai. Jika dikatakan kepada orang-orang Yahudi,’Siapakah orang yang terbaik
dari golongan kalian?,’ mereka menjawab,’Sahabat Musa’. Jika orang-orang Nashara
ditanya,’Siapakah orang yang terbaik dari golongan kalian?,’ mereka
menjawab,’Sahabat Isa’. Dan jika dikatakan kepada orang-orang
Rafidhah,’Siapakah orang yang terjelek dari golongan kalian?,’ mereka
menjawab,’Sahabat Muhammad’.”[31]
Kelima. Wajib Mengikuti Para
Sahabat Radhiyallahu anhum.
Mengikuti jejak sahabat bukan
sesuatu yang mustahab[32]. Mengikuti jejak mereka dalam segala bidang, baik
aqidah, ibadah, dakwah, jihad, muamalah, akhlak dan lainnya dalam permasalahan
agama, merupakan kewajiban bagi yang ingin menperoleh hidayah dan keselamatan
di dunia maupun di akhirat.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman –yang artinya-: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha
kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah
kemenangan yang besar. ” [at-Taubah/9:100].
Dalam ayat di atas, Allah
Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang yang mengikuti jejak Salaf dari kalangan
Muhajirin dan Anshar. Dalam ayat itu juga, terdapat perintah wajib untuk
mengikuti mereka, karena keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mungkin bisa
diraih melainkan hanya dengan mengikuti mereka.
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman, yang artinya: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami
masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
[an-Nisâ`/4:115].
Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman, yang artinya: “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah
beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka
berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka
Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui”. [al-Baqarah/2:137].
Allah Subhanahu wa Ta’ala
menyebutkan dalam ayat ini, bahwasanya hidayah itu hanya bisa diperoleh dengan
menempuh jalan para sahabat Radhiyallahu anhum.
Ibnul-Qayyim rahimahullah
berkata: “Setiap yang lebih mengetahui kebenaran dan yang lebih mengikutinya,
maka ia lebih layak mendapatkan shirâthal-mustaqîm (jalan yang lurus). Dan
tidak diragukan lagi, bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam lebih utama dengan sifat ini daripada orang-orang Syi’ah Rafidhah. Oleh
karena itu, para Ulama Salaf menafsirkan shirâthal-mustaqîm dan para
pengikutnya dengan Abu Bakr, ‘Umar dan para sahabat Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan ini benar sesuai dengan yang mereka tafsirkan, karena
itu merupakan jalan para sahabat, dan juga jalan Nabi mereka”.[33]
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu :
عَلَيكُم بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ
المَهدِيِينَ الرَاشِدِينَ, تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيهَا بِالنَوَاجِذِ
Berpegang teguhlah dengan
sunnahku dan sunnah para Khulafâur-Râsyidin; pegang eratlah sunnah itu dengan
gigi geraham kalian. [HSR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Mâjah dan selain mereka].
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
تَفَرَّقَت اليَهُودُ عَلَى إِحدَى وَسَبعِينَ
فِرقَةً أَوثِنتَينِ وَسَبعِينَ فِرقَةً, وَالنَصَارَى مِثلَ ذَلِكَ, وَتَفَرَّقَت
أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبعِينَ فِرقَةً وَفِي رِوَايَةٍ : إِنَّ بَنِي
إِسرَائِيلَ تَفَرَّقَت عَلَى ثِنتَينِ وَسَبعِينَ مِلَّةً, وَتَفَرَّقَت أُمَّتِي
عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبعِينَ مِلَّةً, كُلُّهُم فِي النَارِ إِلاَّ مِلَّةً
وَاحِدَةً, قَالُوا : وَمَن هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ : (مَا أَنَا عَلَيهِ
وَأَصحَابِي)
“Orang-orang Yahudi terpecah
menjadi 71 atau 72 golongan, dan orang-orang Nashrani seperti itu juga. Adapun
umat ini terpecah menjadi 73 golongan”. Di dalam riwayat lain disebutkan:
“Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan, dan umatku terpecah
menjadi 73 golongan; semuanya di neraka, kecuali satu”. Para sahabat bertanya:
“Siapa yang (selamat) itu, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab: (Yang mengikuti aku dan para sahabatku). [HR Tirmidzi dengan
sanad hasan].
Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
اقتَدُوا بِاللذَينِ مِن بَعدِي : أَبِي بَكر وعُمَرَ
Ikutilah jejak dua orang
sesudahku, yaitu Abu Bakar dan ‘Umar. [HR Tirmidzi, Ibnu Mâjah, Ahmad dan
selainnya].
‘Abdullah bin Mas’ûd
Radhiyallahu anhu berkata : “Barang siapa di antara kalian yang ingin mencari
suri tauladan, maka jadikanlah para sahabat sebagai suri taudalan, karena
mereka adalah manusia yang paling baik hatinya, paling mendalam ilmunya, paling
sedikit dalam berlebih-lebihan, paling lurus petunjuknya, dan paling baik
keadaannya. Mereka adalah sekelompok orang yang dipilih oleh Allah untuk
menemani Nabi-Nya dan untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah
keutamaan-keutamaan mereka dan ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya
mereka berada di atas jalan yang lurus”.[34]
Imam al-‘Auzâ’i rahimahullah
juga berkata: “Tidaklah bagi seseorang yang telah sampai kepadanya ajaran
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perkara, kecuali (wajib
baginya) untuk mengikutinya. Seandainya tidak ada riwayat dari Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun hanya ada ucapan para sahabat sepeninggal
beliau, maka mereka lebih utama untuk berada di atas kebenaran daripada kita.
Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji orang-orang yang datang setelah
mereka, dikarenakan mereka mengikuti para sahabat. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ (dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik)”.[35]
Ibrahim an-Nakhâ`i
rahimahullah berkata: “Tidak ada perkara (yang benar) melainkan dengan
(mengikuti) generasi pertama. Seandainya sampai kepada kami bahwa mereka (para
sahabat) tidak mencuci (ketika thaharah) melainkan kuku saja, maka kami tidak
akan melebihkannya. Cukuplah menjadi dosa jika kami menyelisihi perbuatan
mereka”.[36]
Syuraih dan Muhammad bin
Sîrîn rahimahullah berkata: “Kita tidak akan mungkin tersesat selama berpegang
teguh dengan atsar (jejak) para sahabat”.[37]
Imam Ahmad bin Hambal
rahimahullah berkata di awal kitab beliau, Ushûlus-Sunnah: “Termasuk prinsip
aqidah kita, yaitu berpegang teguh dengan metode para sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengikuti jejak mereka”.
Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah
berkata : “Mengikuti para sahabat adalah hidayah, sedangkan menyelisihi mereka
adalah kesesatan”.[38]
Demikian, sikap Ahlus-Sunnah
terhadap para sahabat Radhiyallahu anhum yang sepatutnya dimiliki kaum
muslimin. Wabillahi taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun
XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahîhah,
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, no. 998 dan 1728.
[2]. Diriwayatkan oleh al-Ajurri dalam
asy-Syarîah (4/1688 no.1164), Tahqîq: Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar bin Sulaimân
ad-Dumaiji.
[3]. Ibid.
[4]. Asy-Syarhu wal-Ibânah ‘ala Ushûlis-Sunnah
wad-Diyânah, Imam Abu ‘Abdillah bin Baththah al-Akburi, Tahqîq: Syaikh ‘Ali bin
Hasan al-Halabi al-Atsari, hlm. 143.
[5]. Al-Aqîdah ath-Thahâwiyah, Imam Abu Ja’far
ath-Thahâwi, Tahqîq: Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari, hlm. 60-61.
[6]. Diriwayatkan al-Ajurri dalam asy-Syarîah,
4/1686 no.1162.
[7]. Diriwayatkan al-Ajurri dalam asy-Syarîah,
4/1676 no.1144.
[8]. Diriwayatkan al-Lalikai dalam Syarhu Ushûl
I’tiqâd Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, 7/1323 no.2350.
[9]. Diriwayatkan Ibnu Abi Zamanain dalam kitab
Ushûlus-Sunnah, 189 hlm. 268.
[10]. Diriwayatkan al-Ajurri dalam asy-Syarî’ah,
4/1687 no.1163.
[11]. Ushûlus-Sunnah, Imam Ahmad bin Hambal,
Tahqîq: Syaikh Walid bin Muhammad Nabîh bin Saifun- Nashr, hlm. 62 no.27.
[12]. Asy-Syari’ah, al-Ajurri, 4/1631.
[13]. HR Thabrâni. Lihat Silsilah ash-Shahîhah,
Syaikh al-Albâni, no. 34. Lihat juga Syarhus-Sunnah, al-Barbahâri, Tahqîq:
Khâlid bin Qasim ar-Raddâdi, no.29.
[14]. Lum’atul-I’tiqâd, Ibnu Qudâmah al-Maqdisi
(hlm. 150 no.86), Tahqîq: Abu Muhammad Asyraf bin ‘Abdil- Maqshûd, dan dengan
Syarh: Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
[15]. Tafsîr al-Qur`ânil-‘Azhîm, Ibnu Katsîr,
4/259.
[16]. Syarhu Ushûl I’tiqâd Ahlis-Sunnah,
al-Lalikai, 4/1325 no.2354.
[17]. Diriwayatkan al-Ajurri dalam
asy-Syarî’ah, 4/1688 no.1164.
[18]. Ushûlus-Sunnah, Ibnu Abi Zamanain, hlm.
263.
[19]. Asy-Syarhu wal-Ibânah ‘ala Ushulis-Sunnah
wad-Diyânah, Imam Abu ‘Abdillah bin Baththah al-Akburi, Tahqîq: Syaikh ‘Ali bin
Hasan al-Halabi al-Atsari, hlm. 143.
[20]. HR Muslim.
[21]. Diriwayatkan al-Lalikai dalam
Syarhul-Ushûl I’tiqâd, 7/1324 no.2353.
[22]. Ibid., no. 2359.
[23]. Ibid., no. 2359.
[24]. Ibid., no. 2386.
[25]. Diriwayatkan al-Khathîb al-Baghdâdi dalam
al-Kifâyah fi ‘Ilmil-Riwâyah, hlm. 65.
[26]. Ibid., no. 148.
[27]. Ash-Shârimul-Maslûl ‘ala Syâtimir-Rasûl,
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, Tahqîq: Isham Faris, hlm. 582.
[28]. Ibid., hlm. 571.
[29]. Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, Ibnu Katsir,
4/259.
[30]. Ibid., 2/503.
[31]. Syarhu al-Aqîdah ath-Thahâwiyah, Ibnu
Abil-‘Izzi al-Hanafi, Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth, 2/696-697.
[32]. Yang dimaksud mustahab, ialah bila
dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mengapa.
[33]. Madârijus-Sâlikin, Ibnul-Qayyim, Tahqîq:
Muhammad Hâmid al-Faqi, hlm. 72-73.
[34]. Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil-Barr, dalam
kitab Jâmi’ Bayânil-‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/97.
[35]. Diriwayatkan Imam ad-Dârimi dalam Naqdu
‘Utsmân bin Sa’îd ‘alal-Marisi al-Jahmi al-‘Anîd, Tahqîq: Manshur bin
‘Abdul-‘Aziz as-Simâri, hlm. 392.
[36]. Ibid., hlm. 391.
[37]. Ibid., hlm. 391.
[38]. Syarhu al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyah, 2/244.