Friday, September 30, 2016

Mencintai Sahabat Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam, Tanda Keimanan. Bagaimana Menghormatinya ?

Hasil gambar untuk sahabat nabi

Oleh
Ustadz Abu ‘Abdurrahman Thoyyib as-Salafy
Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan generasi termulia yang dikeluarkan kepada manusia. Mereka menjadi suri teladan serta pejuang Islam yang tak tertandingi sampai hari Kiamat nanti. Kedudukan mereka sangat tinggi. Mereka mempunyai banyak keutamaan. Demikian pula, jasa mereka terhadap Islam tidaklah sedikit. Oleh karena itu, wajib bagi umat ini untuk menghormati sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Lantas, bagaimanakah cara menghormati mereka? Berikut jawabannya.

Pertama. Mencintai Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Di antara sifat seorang muslim, ialah mencintai saudaranya sesama muslim. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi wali (pecinta dan penolong) bagi sebahagian yang lain…-at-Taubah/9 ayat 71. Dan di antara prinsip seorang muslim, ialah mencintai karena Allah, mencintai orang yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya; sehingga menjadikan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai orang yang paling utama mendapatkan kecintaan ini.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أَوثَقُ عُرَى الإِيمَانِ المُوَالَاةُ فِي اللهِ وَالمُعَادَاةُ فِي اللهِ والحُبُّ فِي اللهِ وَالبُغضُ فِي اللهِ

Sekuat-kuat tali keimanan adalah berloyalitas dan memusuhi karena Allah serta cinta dan benci karena Allah. [HSR Thabrani].[1]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Tanda keimanan ialah mencintai kaum Anshar, dan tanda kemunafikan ialah membenci kaum Anshar”. [HR al-Bukhâri].

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Tidaklah yang mencintai orang-orang Anshar melainkan seorang mukmin, dan tidaklah yang membenci mereka kecuali orang-orang munafik. Barang siapa yang mencintai mereka, maka Allah cinta kepadanya, dan barang siapa yang membenci mereka, maka Allah benci kepadanya”. [HR Muslim].

Dalam riwayat lain disebutkan: “Tidak ada orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir yang membenci kaum Anshar”.

Dalil-dalil di atas amat jelas telah mewajibkan kita untuk mencintai semua sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , baik sahabat dari kalangan Muhajirin maupun Anshar. Dan berikut ini, pernyataan-pernyataan para ulama Ahlus-Sunnah tentang kewajiban mencintai para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas.

‘Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata: “Dua perangai, yang aku harapkan orang yang memilikinya akan selamat dan sukses, yaitu kejujuran dan cinta kepada sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [2].

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Mencintai para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan bekal yang aku simpan,” kemudian beliau berkata: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati orang-orang yang mendoakan para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dan hal ini tidak akan muncul kecuali karena kecintaan terhadap para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.[3]

Imam Abu ‘Abdillah bin Baththah al-Akburi rahimahullah berkata: “Ahlus-Sunnah mencintai semua sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan kedudukan dan tingkatan mereka, yang pertama dan yang kemudian, dari ahli Badar, Hudaibiyah, Bai’atur-Ridwân, dan Uhud. Mereka itu orang-orang yang memiliki keutamaan yang mulia dan kedudukan tinggi yang telah mendahului (kita) dengan kebaikan-kebaikan. Semoga Allah merahmati mereka semua”. [4]

Imam ath-Thahawi rahimahullah berkata: “Kita mencintai para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang di antara mereka, serta tidak membenci salah seorang pun di antara mereka; kita membenci orang yang membenci dan yang menjelekkan mereka. Kita tidak menyebut para sahabat kecuali dengan kebaikan. Mencintai mereka ialah merupakan agama, iman dan kebaikan. Sedangkan membenci mereka merupakan kekufuran, kemunafikan dan thughyân (tindakan melampaui batas)”.[5]

Kedua. Memuji Para Sahabat Radhiyallahu anhum.
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallamserta para ulama telah memuji para sahabat. Artinya, semua itu sudah sangat cukup menunjukkan kewajiban untuk memuji mereka. Jika para sahabat telah mendapat pujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, mengapa kita tidak memuji mereka?

Berikut ini nash-nash dari Al-Qur`ân dan Sunnah, serta ucapan para ulama tentang pujian terhadap para sahabat.

Nash Dari Al-Qur`ân.
1. Al-Qur`ân surat at-Taubah/9 ayat 100, yang artinya: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.
2. Al-Qur`ân surat al-Hasyr/59 ayat 8-9, yang artinya: (Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Nash Dari Hadits.
1. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik umatku adalah generasiku, kemudian (generasi) setelah mereka, kemudian (generasi) setelah mereka”. [HR al-Bukhâri dan Muslim].
2. Sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Janganlah kalian mencaci-maki sahabatku. Seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas seperti satu gunung Uhud, tidaklah hal itu bisa menyamai satu mud salah seorang dari mereka, bahkan tidak pula setengahnya”. [HR al-Bukhâri].

Nash Dari Para Ulama.
1. ‘Abdullah bin ‘Abbâs Radhiyallahu anhu berkata tentang firman Allah “kalian adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia…” –Ali-Imran/3 ayat 110: “Mereka ialah orang-orang yang berhijrah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.[6]

2. ‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat kepada hati para hamba, lalu Dia mendapati hati Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebaik-baik hati manusia, maka Dia memilih Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk diri-Nya, dan mengutus Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa risalah-Nya. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala melihat kepada hati para hamba setelah hati Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu Dia mendapati hati para sahabat beliau adalah sebaik-baik hati para hamba, maka Dia pun menjadikannya sebagai penolong Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berperang di atas agama-Nya”.[7]

3. ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhu berkata: “Kalian jangan mencaci-maki para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena kedudukan salah seorang dari mereka lebih baik dari amal (ibadah) salah seorang di antara kalian seumur hidupnya”.[8]

4. Ayyûb as-Sakhtiyâni t berkata: “Barang siapa yang memuji para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan baik, maka dia telah terlepas dari kemunafikan”.[9]

5. Hasan al-Bashri rahimahullah berkata tentang firman Allah “maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah” –al-Mâ`idah/5 ayat 54: “Demi Allah, ayat ini bukan untuk orang-orang Harura` (Khawarij), akan tetapi untuk Abu Bakar, ‘Umar dan para sahabat keduanya”.[10]

6. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: “Orang yang paling rendah dalam persahabatannya bersama beliau (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) masih lebih utama dari generasi yang tidak pernah melihat beliau, meskipun mereka bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan membawa semua amal. Mereka yang menemani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan melihatnya serta mendengar dari beliau, (mereka) lebih afdhal karena persahabatannya dibandingkan tabi’in, meskipun mereka (para tabi’in) mengerjakan semua amal kebaikan”.[11]

7. Imam al-Ajurri rahimahullah berkata: “Sesungguhnya di antara kemudahan yang diberikan Allah kepadaku, ialah dalam menulis kitab asy-Syari’ah, dan Allah juga memudahkan untukku menuliskan keutamaan-keutamaan Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Aku sebutkan setelah itu keutamaan-keutamaan para sahabat beliau z yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memilih mereka untuk beliau. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan para sahabat sebagai pendamping beliau, kerabat, penolong, dan sebagai pemimpin setelah beliau untuk umatnya. Mereka ialah kaum Muhajirin dan Anshar yang disifatkan oleh Allah dengan semulia-mulia sifat di dalam Al-Qur`ân. Allah Subhanahu wa Ta’ala melukiskan mereka dengan gambaran yang terindah. Di dalam kitab-Nya, Allah mengkhabarkan kepada kita, bahwa Dia telah mensifati mereka di dalam Taurat dan Injil dengan seagung-agungnya sifat dan seindah-indahnya perangai. Inilah keutamaan Allah yang diberikan kepada siapa saja yang Dia kehendaki”.[12]

8. Imam al-Barbahâri rahimahullah berkata: “Sebaik-baik umat ini sepeninggal Nabinya ialah Abu Bakar Radhiyallahu anhu , ‘Umar Radhiyallahu anhu dan ‘Utsman Radhiyallahu anhu ; kemudian sebaik-baik manusia setelah mereka ialah Ali Radhiyallahu anhu, Thalhah Radhiyallahu anhu, az-Zubair Radhiyallahu anhu, Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu, Sa’id bin Zaid Radhiyallahu anhu, ‘Abdur-Rahman bin ‘Auf Radhiyallahu anhu, Abu Ubaidah ‘Amir bin Jarrah Radhiyallahu anhu; semuanya berhak untuk menjadi khalifah. Kemudian manusia terbaik setelah mereka, ialah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang termasuk generasi pertama yang beliau diutus kepada mereka, yaitu golongan Muhajirin dan Anshar serta mereka yang pernah melaksanakan shalat dengan menghadap kepada dua kiblat. Kemudian manusia terbaik setelah mereka, ialah yang menemani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sehari atau sebulan atau setahun atau lebih sedikit atau lebih lama dari itu. Doakan dia, sebutkan keutamaannya, berdiamlah dari kesalahannnya, dan kita tidak boleh menyebut salah seorang dari mereka melainkan dengan yang baik, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Apabila disebutkan para sahabatku, maka berhati-hatilah’.” [13].

9. Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullah berkata: Termasuk sunnah (aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah), ialah memberikan loyalitas kepada sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mencintai mereka, memuji mereka, mendoakan, serta memintakan ampun untuk mereka, diam tidak menyebutkan kejelekan dan perselisihan yang terjadi di antara mereka, serta meyakini keutamaan mereka, dan yang pertama kalinya mereka masuk ke dalam Islam. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman –yang artinya-: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman”. -al-Hasyr/59 ayat 10- dan Dia juga berfirman –yang artinya-: Muhammad itu adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih- sayang sesama mereka… -al-Fath/48 ayat 29.[14]

10. Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata -ketika menafsirkan firman Allah surat al-Fath/48 ayat 29-: Para sahabat Radhiyallahu anhum, niat mereka murni (ikhlas), amal perbuatan mereka baik, dan setiap orang yang melihat mereka akan takjub kepada sifat dan petunjuk mereka. Dan Mâlik berkata: “Telah sampai kabar kepadaku, ketika orang-orang Nashara melihat para sahabat g menaklukan negeri Syam, mereka berkata: ‘Demi Allah, mereka (para sahabat) lebih baik dari pada Hawariyyûn (sahabat ‘Isa bin Maryam Alaihissallam ), menurut apa yang telah sampai kepada kami,’ dan sungguh mereka benar dalam hal ini. Karena umat ini diagungkan di dalam kitab-kitab suci terdahulu; dan yang paling mulia ialah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “.[15]

Ketiga. Mendoakan dan Memintakan Ampun Untuk Para Sahabat Radhiyallahu anhum.
Inilah di antara tugas dan kewajiban seorang muslim terhadap sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yaitu memintakan ampun dan mendoakan mereka dengan kebaikan. Dalam hal ini, sangat banyak ucapan dari para ulama Ahlus-Sunnah, seperti yang telah berlalu sebagiannya, dan berikut ini ucapan mereka yang lain.

1. Mus’ab bin Sa’ad rahimahullah berkata: Manusia itu ada tiga tingkatan, dua tingkatan sudah berlalu, dan masih tersisa satu tingkatan lagi, maka yang terbaik bagi kalian ialah menjadi orang-orang yang berada pada tingkatan ketiga -kemudian beliau membaca firman Allah, yang artinya: (Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. (al-Hasyr/59 ayat 8)- mereka ialah orang-orang Muhajirin, dan ini adalah tingkatan pertama.

Kemudian beliau membaca firman Allah, yang artinya: Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung (al-Hasyr/59 ayat 9), mereka ialah orang-orang Anshar, dan tingkatan ini telah berlalu.

Kemudian beliau membaca ayat, yang artinya: Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (al-Hasyr/59 ayat 10).

Dua tingkatan di atas telah berlalu dan tinggal satu tingkatan, maka yang terbaik bagi kalian ialah menjadi orang-orang yang berada pada tingkatan ketiga yang masih tersisa, yaitu dengan memohon ampunan untuk para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .[16]

2. Al-Fudhail bin ‘Iyâdh rahimahullah berkata: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati orang-orang yang mendoakan para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.[17]

3. Muhammad bin ‘Abdillah al-Andalusi -yang dikenal dengan Ibnu Abi Zamanain rahimahullah – berkata: “Di antara ucapan Ahlus-Sunnah, yaitu keyakinan seorang (muslim) untuk mencintai para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , menyebarkan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan mereka, serta menahan diri tidak melarutkan diri membahas perselisihan yang terjadi di antara mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji mereka di dalam kitab-Nya dengan pujian yang mengharuskan untuk memuliakan dengan kecintaan dan mendoakan mereka…”.[18]

4. Imam Abu ‘Abdillah bin Baththah al-Akburi rahimahullah berkata : “Ahlus-Sunnah mencintai semua sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan kedudukan dan tingkatan mereka, yang pertama dan yang kemudian, dari ahli Badar, Hudaibiyah, Bai’atur-Ridwân, dan Uhud. Mereka ialah orang-orang yang memiliki keutamaan yang mulia dan kedudukan yang tinggi. Mereka telah mendahului (kita) dengan kebaikan-kebaikan. Semoga Allah merahmati mereka semua”. [19]

Keempat. Tidak Mencela Seorang pun Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, sehingga satu dengan lainnya tidak boleh saling mencela tanpa hak. Seorang muslim memiliki kehormatan yang tidak boleh dinodai. Jika penghormatan ini berlaku untuk semua kaum muslimin, maka yang lebih utama lagi ditujukan kepada para pejuang Islam, para pembawa bendera sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para penebar dakwah tauhid yang telah banyak mendapat sanjungan dari Allah dan Rasul-Nya. Mereka ialah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya n telah memuji mereka, mengapa muncul celaan dari bibir-bibir kita kepada mereka?! Apakah kita lebih mengetahui daripada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam?

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain, (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok). Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman. Dan barang siapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim. [al-Hujurât/49:11].

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

المُسلِمُ أَخُو المُسلِمِ لاَ يَظلِمُهُ وَلَا يَخذُلُهُ وَلَا يَحقِرُهُ التَقوَى هَاهُنَا – وَ يُشِيرُ إِلَى صَدرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ – بِحَسبِ امرِىءٍ مِنَ الشَّرِّ أَن يَحقِرَ أَخَاهُ المُسلِمَ كُلُّ المُسلِمِ عَلَى المُسلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَ مَالُهُ وَ عِرضُهُ

Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya; ia tidak boleh menzhalimi atau menghinakan atau mencelanya. Ketakwaan ada di sini –seraya beliau menunjuk ke arah dada. Cukuplah kejelekan seorang muslim itu dengan dia mencela saudaranya. Setiap muslim terhadap muslim yang lain diharamkan darahnya, harta, serta kehormatannya. [HR Muslim]

Ucapan para ulama terhadap para pencela sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
1. Ummul-Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anuhma berkata: “Mereka diperintahkan untuk memintakan ampun bagi sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka justru mencela para sahabat”.[20]

2.’Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Kalian jangan mencela sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena Allah telah memerintahkan kita untuk memintakan ampunan bagi para sahabat, dan Dia mengetahui bahwa mereka nanti akan saling memerangi”.[21]

3. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: “Apabila engkau melihat seseorang mencela sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka pertanyakanlah keislamannya”.[22]

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: “Barang siapa yang mencela salah seorang sahabat, aku khawatir kekafiran ada padanya, seperti orang-orang Syi’ah Rafidhah.”.[23]

Dari ‘Abdullah bin Imam Ahmad, ia berkata: “Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang mencela salah satu dari sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau menjawab: “Saya berpendapat, untuk dia hukum bunuh’.”[24]

4. Abu Zur’ah ar-Râzi rahimahullah berkata: “Apabila engkau melihat seseorang mencela salah satu dari sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ketahuilah bahwa dia itu zindiq, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menurut kita adalah benar, dan Al-Qur`ân adalah benar. Sesungguhnya yang menyampaikan kepada kita Al-Qur`ân dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Mereka bermaksud mencela para saksi kita untuk membatalkan Al-Qur`ân dan Sunnah, maka celaan itu lebih utama ditujukan kepada mereka (yang mencela para sahabat), dan mereka adalah zindiq ”.[25]

5. Al-Barbahâri rahimahullah juga berkata: “Ketahuilah, barang siapa mencela salah seorang sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebenarnya ia kehendaki ialah mencela Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan ia telah menyakiti beliau di kuburnya”.[26]

6. Malik rahimahullah berkata: “Sesungguhnya, mereka ialah sekelompok orang yang bermaksud mencela Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak bisa; maka mereka pun mencela para sahabat, sehingga dikatakan,’Nabi adalah orang yang jelek. Seandainya ia orang yang baik, maka para sahabatnya juga orang baik’.”[27]

7. Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata: “Barang siapa yang mencela para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia harus diberi sangsi dan dipenjara”.[28]

8. Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang tafsir surat al-Fath/48 ayat 29, yaitu firman-Nya لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ (karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir…):

Dari ayat ini, Imâm Mâlik rahimahullah menyimpulkan tentang kekafiran orang-orang Syi’ah Rafidhah yang membenci para sahabat Radhiyallahu anhum. Beliau berkata: “Karena mereka (Syi’ah Rafidhah) memurkai para sahabat. Barang siapa yang murka kepada para sahabat Radhiyallahu anhum, maka ia kafir berdasarkan ayat ini”.

Pendapat Imam Mâlik rahimahullah ini disepakati oleh sebagian ulama. Hadits-hadits tentang keutamaan para sahabat Radhiyallahu anhum dan larangan mencela mereka sangat banyak, sehingga cukuplah pujian dan keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi mereka”.[29]

Ibnu Katsir rahimahullah -ketika menafsirkan surat at-Taubah/9 ayat 100- juga berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan, bahwasanya Dia ridha kepada orang-orang yang terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar serta yang mengikuti mereka dengan baik. Alangkah celakanya orang-orang yang membenci para sahabat g atau yang mencela atau yang murka kepada sebagian dari mereka, khususnya tokoh-tokoh sahabat sepeninggal Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta yang terbaik dan termulia di antara mereka, yaitu ash-Shiddîq al-Akbar dan Khalifah al-A’zham Abu Bakar bin Abi Quhâfah Radhiyallahu anhu. Sesungguhnya, kelompok Syi’ah Rafidhah yang terhina memusuhi orang yang termulia dari kalangan sahabat, memurkai dan mencela mereka. Kita berlindung kepada Allah dari hal ini. Ini semua menunjukkan bahwa akal mereka telah terbalik dan hati mereka tertutup. Ketika mereka mencela orang-orang yang telah diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka di manakah keimanan mereka kepada Al-Qur`ân? Adapun Ahlus-Sunnah, mereka mendoakan para sahabat dengan keridhaan, mencela orang-orang yang telah dicela oleh Allah dan Rasul-Nya, loyal kepada orang-orang yang loyal kepada Allah, serta memusuhi orang-orang yang memusuhi-Nya. Mereka (Ahlus-Sunnah) hanya mengikuti dan tidak mengada-adakan sesuatu. Merekalah tentara Allah Subhanahu wa Ta’ala yang selamat dan hamba-hamba-Nya yang beriman”.[30]

Ibnu Abil-‘Izzi rahimahullah berkata: “Siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang di dalam hatinya terdapat kedengkian terhadap orang-orang yang terbaik dari kaum Mukminin? Bahkan orang-orang Yahudi dan Nashara lebih baik dari mereka dengan satu perangai. Jika dikatakan kepada orang-orang Yahudi,’Siapakah orang yang terbaik dari golongan kalian?,’ mereka menjawab,’Sahabat Musa’. Jika orang-orang Nashara ditanya,’Siapakah orang yang terbaik dari golongan kalian?,’ mereka menjawab,’Sahabat Isa’. Dan jika dikatakan kepada orang-orang Rafidhah,’Siapakah orang yang terjelek dari golongan kalian?,’ mereka menjawab,’Sahabat Muhammad’.”[31]

Kelima. Wajib Mengikuti Para Sahabat Radhiyallahu anhum.
Mengikuti jejak sahabat bukan sesuatu yang mustahab[32]. Mengikuti jejak mereka dalam segala bidang, baik aqidah, ibadah, dakwah, jihad, muamalah, akhlak dan lainnya dalam permasalahan agama, merupakan kewajiban bagi yang ingin menperoleh hidayah dan keselamatan di dunia maupun di akhirat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman –yang artinya-: Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. ” [at-Taubah/9:100].

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji orang-orang yang mengikuti jejak Salaf dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Dalam ayat itu juga, terdapat perintah wajib untuk mengikuti mereka, karena keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mungkin bisa diraih melainkan hanya dengan mengikuti mereka.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. [an-Nisâ`/4:115].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [al-Baqarah/2:137].

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan dalam ayat ini, bahwasanya hidayah itu hanya bisa diperoleh dengan menempuh jalan para sahabat Radhiyallahu anhum.

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: “Setiap yang lebih mengetahui kebenaran dan yang lebih mengikutinya, maka ia lebih layak mendapatkan shirâthal-mustaqîm (jalan yang lurus). Dan tidak diragukan lagi, bahwa para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih utama dengan sifat ini daripada orang-orang Syi’ah Rafidhah. Oleh karena itu, para Ulama Salaf menafsirkan shirâthal-mustaqîm dan para pengikutnya dengan Abu Bakr, ‘Umar dan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini benar sesuai dengan yang mereka tafsirkan, karena itu merupakan jalan para sahabat, dan juga jalan Nabi mereka”.[33]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Irbâdh bin Sâriyah Radhiyallahu anhu :

عَلَيكُم بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ المَهدِيِينَ الرَاشِدِينَ, تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيهَا بِالنَوَاجِذِ

Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah para Khulafâur-Râsyidin; pegang eratlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. [HSR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Mâjah dan selain mereka].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

تَفَرَّقَت اليَهُودُ عَلَى إِحدَى وَسَبعِينَ فِرقَةً أَوثِنتَينِ وَسَبعِينَ فِرقَةً, وَالنَصَارَى مِثلَ ذَلِكَ, وَتَفَرَّقَت أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبعِينَ فِرقَةً وَفِي رِوَايَةٍ : إِنَّ بَنِي إِسرَائِيلَ تَفَرَّقَت عَلَى ثِنتَينِ وَسَبعِينَ مِلَّةً, وَتَفَرَّقَت أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبعِينَ مِلَّةً, كُلُّهُم فِي النَارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً, قَالُوا : وَمَن هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ : (مَا أَنَا عَلَيهِ وَأَصحَابِي)

“Orang-orang Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan orang-orang Nashrani seperti itu juga. Adapun umat ini terpecah menjadi 73 golongan”. Di dalam riwayat lain disebutkan: “Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 72 golongan, dan umatku terpecah menjadi 73 golongan; semuanya di neraka, kecuali satu”. Para sahabat bertanya: “Siapa yang (selamat) itu, wahai Rasulullah?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: (Yang mengikuti aku dan para sahabatku). [HR Tirmidzi dengan sanad hasan].

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

اقتَدُوا بِاللذَينِ مِن بَعدِي : أَبِي بَكر وعُمَرَ

Ikutilah jejak dua orang sesudahku, yaitu Abu Bakar dan ‘Umar. [HR Tirmidzi, Ibnu Mâjah, Ahmad dan selainnya].

‘Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu anhu berkata : “Barang siapa di antara kalian yang ingin mencari suri tauladan, maka jadikanlah para sahabat sebagai suri taudalan, karena mereka adalah manusia yang paling baik hatinya, paling mendalam ilmunya, paling sedikit dalam berlebih-lebihan, paling lurus petunjuknya, dan paling baik keadaannya. Mereka adalah sekelompok orang yang dipilih oleh Allah untuk menemani Nabi-Nya dan untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan-keutamaan mereka dan ikutilah jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus”.[34]

Imam al-‘Auzâ’i rahimahullah juga berkata: “Tidaklah bagi seseorang yang telah sampai kepadanya ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam suatu perkara, kecuali (wajib baginya) untuk mengikutinya. Seandainya tidak ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun hanya ada ucapan para sahabat sepeninggal beliau, maka mereka lebih utama untuk berada di atas kebenaran daripada kita. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji orang-orang yang datang setelah mereka, dikarenakan mereka mengikuti para sahabat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ (dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik)”.[35]

Ibrahim an-Nakhâ`i rahimahullah berkata: “Tidak ada perkara (yang benar) melainkan dengan (mengikuti) generasi pertama. Seandainya sampai kepada kami bahwa mereka (para sahabat) tidak mencuci (ketika thaharah) melainkan kuku saja, maka kami tidak akan melebihkannya. Cukuplah menjadi dosa jika kami menyelisihi perbuatan mereka”.[36]

Syuraih dan Muhammad bin Sîrîn rahimahullah berkata: “Kita tidak akan mungkin tersesat selama berpegang teguh dengan atsar (jejak) para sahabat”.[37]

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata di awal kitab beliau, Ushûlus-Sunnah: “Termasuk prinsip aqidah kita, yaitu berpegang teguh dengan metode para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta mengikuti jejak mereka”.

Ibnu Abil ‘Izzi rahimahullah berkata : “Mengikuti para sahabat adalah hidayah, sedangkan menyelisihi mereka adalah kesesatan”.[38]

Demikian, sikap Ahlus-Sunnah terhadap para sahabat Radhiyallahu anhum yang sepatutnya dimiliki kaum muslimin. Wabillahi taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Silsilah al-Ahadits ash-Shahîhah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, no. 998 dan 1728.
[2]. Diriwayatkan oleh al-Ajurri dalam asy-Syarîah (4/1688 no.1164), Tahqîq: Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar bin Sulaimân ad-Dumaiji.
[3]. Ibid.
[4]. Asy-Syarhu wal-Ibânah ‘ala Ushûlis-Sunnah wad-Diyânah, Imam Abu ‘Abdillah bin Baththah al-Akburi, Tahqîq: Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari, hlm. 143.
[5]. Al-Aqîdah ath-Thahâwiyah, Imam Abu Ja’far ath-Thahâwi, Tahqîq: Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari, hlm. 60-61.
[6]. Diriwayatkan al-Ajurri dalam asy-Syarîah, 4/1686 no.1162.
[7]. Diriwayatkan al-Ajurri dalam asy-Syarîah, 4/1676 no.1144.
[8]. Diriwayatkan al-Lalikai dalam Syarhu Ushûl I’tiqâd Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, 7/1323 no.2350.
[9]. Diriwayatkan Ibnu Abi Zamanain dalam kitab Ushûlus-Sunnah, 189 hlm. 268.
[10]. Diriwayatkan al-Ajurri dalam asy-Syarî’ah, 4/1687 no.1163.
[11]. Ushûlus-Sunnah, Imam Ahmad bin Hambal, Tahqîq: Syaikh Walid bin Muhammad Nabîh bin Saifun- Nashr, hlm. 62 no.27.
[12]. Asy-Syari’ah, al-Ajurri, 4/1631.
[13]. HR Thabrâni. Lihat Silsilah ash-Shahîhah, Syaikh al-Albâni, no. 34. Lihat juga Syarhus-Sunnah, al-Barbahâri, Tahqîq: Khâlid bin Qasim ar-Raddâdi, no.29.
[14]. Lum’atul-I’tiqâd, Ibnu Qudâmah al-Maqdisi (hlm. 150 no.86), Tahqîq: Abu Muhammad Asyraf bin ‘Abdil- Maqshûd, dan dengan Syarh: Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn.
[15]. Tafsîr al-Qur`ânil-‘Azhîm, Ibnu Katsîr, 4/259.
[16]. Syarhu Ushûl I’tiqâd Ahlis-Sunnah, al-Lalikai, 4/1325 no.2354.
[17]. Diriwayatkan al-Ajurri dalam asy-Syarî’ah, 4/1688 no.1164.
[18]. Ushûlus-Sunnah, Ibnu Abi Zamanain, hlm. 263.
[19]. Asy-Syarhu wal-Ibânah ‘ala Ushulis-Sunnah wad-Diyânah, Imam Abu ‘Abdillah bin Baththah al-Akburi, Tahqîq: Syaikh ‘Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari, hlm. 143.
[20]. HR Muslim.
[21]. Diriwayatkan al-Lalikai dalam Syarhul-Ushûl I’tiqâd, 7/1324 no.2353.
[22]. Ibid., no. 2359.
[23]. Ibid., no. 2359.
[24]. Ibid., no. 2386.
[25]. Diriwayatkan al-Khathîb al-Baghdâdi dalam al-Kifâyah fi ‘Ilmil-Riwâyah, hlm. 65.
[26]. Ibid., no. 148.
[27]. Ash-Shârimul-Maslûl ‘ala Syâtimir-Rasûl, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah, Tahqîq: Isham Faris, hlm. 582.
[28]. Ibid., hlm. 571.
[29]. Tafsîr al-Qur’ânil ‘Azhîm, Ibnu Katsir, 4/259.
[30]. Ibid., 2/503.
[31]. Syarhu al-Aqîdah ath-Thahâwiyah, Ibnu Abil-‘Izzi al-Hanafi, Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth, 2/696-697.
[32]. Yang dimaksud mustahab, ialah bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mengapa.
[33]. Madârijus-Sâlikin, Ibnul-Qayyim, Tahqîq: Muhammad Hâmid al-Faqi, hlm. 72-73.
[34]. Diriwayatkan Ibnu ‘Abdil-Barr, dalam kitab Jâmi’ Bayânil-‘Ilmi wa Fadhlihi, 2/97.
[35]. Diriwayatkan Imam ad-Dârimi dalam Naqdu ‘Utsmân bin Sa’îd ‘alal-Marisi al-Jahmi al-‘Anîd, Tahqîq: Manshur bin ‘Abdul-‘Aziz as-Simâri, hlm. 392.
[36]. Ibid., hlm. 391.
[37]. Ibid., hlm. 391.
[38]. Syarhu al-‘Aqîdah ath-Thahâwiyah, 2/244.