Benarkah Al-Maidah:67 Diturunkan Sebagai
Dalil Penunjukkan Ali Radhiyallahu ‘Anhu ?
by alfanarku
Dalam artikel ini diungkap kelemahan
hujjah Syi’ah dalam usaha mereka menghubungkan ayat Al-Maidah : 67 dan
Al-Maidah : 3 dengan peristiwa Ghadir Khum dan menjadikan ayat Al-Maidah : 67
sebagai dalil penunjukkan Ali bin Abi thalib.Artikel ini sengaja kami muat kembali dari artikel kami
sebelumnya dengan judul yang lebih spesifik.
Mereka suka Bermain dengan ayat-ayat
Al-Qur’an
Al-Islam.org (situs Syi’ah) berkata:
Di tempat ini, ayat Al-Qur’an berikut ini
diturunkan :
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia… (Qur’an 5:67)
Kalimat terakhir pada ayat di atas
mengindikasikan bahwa Nabi (s) begitu perhatian dengan reaksi dari umatnya
ketika beliau menyampaikan risalah, tetapi Allah memberitahukan kepada beliau
untuk tidak khawatir karena Allah akan melindungi beliau dari gangguan manusia.
Ini adalah klaim yang sering diulang oleh
Syi’ah, yaitu bahwa ayat 5:67 diturunkan sehubungan dengan penunjukkan Ali ra
sebagai Khalifah; dengan kata lain, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seharusnya
tidak khawatir tentang reaksi buruk dari sahabat terhadap deklarasi mengenai
Imamah ataupun Khilafah Ali ra.
Seperti kasus yang biasa terjadi, para
da’i Syi’ah tidak mempunyai keberatan bermain-main dengan Al-Qur’an dan
menggunakan Al-Qur’an sesuai kehendak mereka. Pada kenyataannya, ayat 5:67
tidak mungkin diturunkan dalam hubungannya dengan penunjukkan Ali ra, yaitu
karena ayat tersebut ditujukan kepada Ahlul Kitab ( Yahudi dan Nashrani).
Syi’ah mengambil ayat tersebut di luar konteksnya, tanpa mempertimbangkan
ayat-ayat yang berada tepat sebelum dan sesudahnya. Mari kita lihat :
66. Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh
menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada
mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari
bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah
buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.
67. Hai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa
yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
68. Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, kamu
tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran
Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.”
Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan
menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka
janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.
Jadi kita lihat bahwa ayat sebelum dan
sesudahnya berbicara mengenai Ahlul Kitab, dan dalam konteks ini ayat 5:67
diturunkan, untuk meyakinkan kembali Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa
beliau seharusnya tidak takut terhadap kaum Yahudi ataupun Nashrani dan bahwa
beliau seharusnya menyampaikan dengan jelas Risalah Islam dimana akan dibuat
tertinggi di atas kaum Yahudi dan Nashrani. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
diceritakan dalam ayat 5:67 bahwa beliau tidak seharusnya takut gangguan atau
niat buruk dari orang-orang ini, dan dalam ayat selanjutnya 5:68 Allah
berfirman bahwa apa yang diturunkan kepada beliau hanya akan “menambah
kedurhakaan dan kekafiran pada kebanyakan dari mereka”. Ini adalah sangat jelas
bahwa kita sedang membicarakan kelompok manusia yang sama, yaitu orang kafir
diantara ahlul kitab yang membuat gangguan dan yang menjadi keras kepala dalam
kedurhakaan dan kekafiran. Kita akan melihat dengan semakin jelas hubungan
kedua ayat tersebut dengan memperhatikan kata kunci (key words) korelasi antara
ayat 67 dan 68, yaitu terletak pada مَآ
أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَ “apa yang diturunkan
kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu” . silahkan dilihat tulisan yang kami
cetak tebal dan digaris bawahi di dua ayat tersebut.
Pada kenyataannya, seluruh bagian dari
ayat-ayat tersebut membicarakan tentang Ahlul Kitab. Dimulai dari ayat 5:59 dan
terus berlanjut sampai 5:86, mari kita perhatikan :
59. Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, apakah
kamu memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa
yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang
kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik ?
60. Katakanlah: “Apakah akan aku
beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari
(orang-orang fasik) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan
dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang
yang) menyembah thaghut?.” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari
jalan yang lurus.
61. Dan apabila orang-orang (Yahudi atau
munafik) datang kepadamu, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”, padahal
mereka datang kepadamu dengan kekafirannya dan mereka pergi (daripada kamu)
dengan kekafirannya (pula); dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka
sembunyikan.
62. Dan kamu akan melihat kebanyakan dari
mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang
haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu.
63. Mengapa orang-orang alim mereka,
pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan
memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.
64. Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan
Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah
yang dila’nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian),
tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia
kehendaki. Dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh
akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan
Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari
kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka
berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat
kerusakan.
65. Dan sekiranya Ahli Kitab beriman dan
bertakwa, tentulah Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah
Kami masukkan mereka kedalam surga-surga yang penuh kenikmatan.
66. Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh
menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada
mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari
bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah
buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.
67. Hai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara
kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir.
68. Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, kamu
tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran
Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.”
Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah
kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu
bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.
69. Sesungguhnya orang-orang mukmin,
orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara
mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati.
70. Sesungguhnya Kami telah mengambil
perjanjian dari Bani Israil, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul.
Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang yang
tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu
mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh.
71. Dan mereka mengira bahwa tidak akan
terjadi suatu bencanapun (terhadap mereka dengan membunuh nabi-nabi itu), maka
(karena itu) mereka menjadi buta dan pekak, kemudian Allah menerima taubat
mereka, kemudian kebanyakan dari mereka buta dan tuli (lagi). Dan Allah Maha
Melihat apa yang mereka kerjakan.
72. Sesungguhnya telah kafirlah
orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”,
padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku
dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah,
maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka,
tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.
73. Sesungguhnya kafirlah orang0orang
yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal
sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak
berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir
diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.
74. Maka mengapa mereka tidak bertaubat
kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya ?. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
75. Al Masih putera Maryam itu hanyalah
seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan
ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan.
Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda
kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari
memperhatikan ayat-ayat Kami itu).
76. Katakanlah: “Mengapa kamu menyembah
selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan
tidak (pula) memberi manfaat?” Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui.
77. Katakanlah: “Hai Ahli Kitab,
janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam
agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat
dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan
(manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.”
78. Telah dila’nati orang-orang kafir
dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu,
disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.
79. Mereka satu sama lain selalu tidak
melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa
yang selalu mereka perbuat itu.
80. Kamu melihat kebanyakan dari mereka
tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat
buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah
kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan.
81. Sekiranya mereka beriman kepada
Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi),
niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi
penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.
82. Sesungguhnya kamu dapati orang-orang
yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah
orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang
paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang
yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.” Yang demikian itu
disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat
pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak
menymbongkan diri.
83. Dan apabila mereka mendengarkan apa
yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air
mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari
kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah
beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas
kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s.a.w.).
84. Mengapa kami tidak akan beriman
kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat
ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh
?.”
85. Maka Allah memberi mereka pahala
terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir
sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan
(bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya).
86. Dan orang-orang kafir serta
mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni neraka.
Sangat jelas sekali bahwa semua ayat-ayat
di atas berbicara mengenai kaum Yahudi dan Nashrani, dan sungguh tidak masuk
akal, kaum Syi’ah bisa “Cut & Paste” ayat Al-Qur’an sesuai dengan keinginan
mereka. Ini adalah bentuk manipulasi terhadap firman Allah dan sebuah dosa yang
besar yang akan membawa mereka kepada kekufuran. Namun juga, anda akan masih
temui kaum Syi’ah secara umum mengklaim bahwa ayat tersebut diturunkan
berkaitan dengan Pidato di Ghadir Khum dan penunjukkan Ali ra. Jadi ini adalah
tujuan akhir dari da’i Syi’ah dengan memutar balikkan Al-Qur’an dan hadits
untuk menciptakan dongeng imajinasi bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
menunjuk Ali ra sebagai khalifah.
Al-Islam.org berkata:
Di tempat ini, ayat Al-Qur’an berikut ini
diturunkan :
Hai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah
memelihara kamu dari (gangguan) manusia… (Qur’an 5:67)
Beberapa referensi Sunni mengkonfirmasi
bahwa turunnya ayat di atas terjadi tepat sebelum pidato Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam di Ghadir Khum:
(12) Dan banyak
lagi seperti Ibnu Mardawaih dan lain-lain.
(1)
Tafsir al-Kabir, oleh Fakhr al-Razi, komentar untuk ayat 5:67, jilid 12, hal
49-50, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Al-Bara’ bin Azib, dan Muhammad bin Ali.
(2)
Asbabun al-Nuzul, oleh Al-Wahidi, hal 150, diriwayatkan dari Athiyah dari Abu
Sa’id Al-Khudri.
(3)
Nuzul al-Qur’an, oleh al-Hafidz Abu Nu’aim diriwayatkan dari Abu Sa’id
Al-Khudri.
(4)
Al-Fushul al-Muhimmah, oleh Ibnu Sabagh al-Maliki al-Makki, hal 24
(5)
Durr al-Mantsur, oleh al-Hafidz As-Suyuthi, komentar terhadap ayat 5:67
(6)
Fathul Qadir, oleh as-Syaukani, komentar terhadap ayat 5:67
(7)
Fathul Bayan, oleh Hasan Khan, komentar terhadap ayat 5:67
(8)
Syaikh Muhi al-Din al-Nawawi, komentar terhadap ayat 5:67
(9)
Al-Sirah al-Halabiyah, oleh Nur al-Din al-Halabi, jil 3 , hal 301
(10) Umdatul Qari
fi Syarah Shahih Bukhari, oleh al-Ayni
(11) Tafsir
al-Nisaburi, jil 6, hal 194
Para da’i Syi’ah telah berdusta, tidak
ada cara lain untuk menggambarkan tentang mereka itu, mereka menjadi terkenal
kejahatannya karena kutipan sepotong-sepotong mereka. Di atas, Syi’ah
memberikan dua belas sumber, Kita tampilkan saja sumber yang pertama, sedangkan
sumber-sumber yang lain pada dasarnya setelah diteliti sanadnya lemah dan tidak
bisa dipakai sebagai hujjah. Dasar pertama yang mereka pakai adalah Tafsir
Al-Kabir Imam ar-Razi, Syi’ah mencoba membodohi Sunni dengan membuat
seakan-akan Imam ar-Razi percaya bahwa ayat 5:67 ini turun di Ghadir Khum. Pada
kenyataannya, Imam Razi mengatakan hal yang sungguh berlawanan dengan apa yang
ada dalam kitabnya.
Imam Razi menyebutkan berbagai macam
pendapat orang mengenai turunnya ayat tersebut. Beliau mendaftar 10 kemungkinan
ketika ayat tersebut turun. Hal yang sudah diketahui dengan baik bahwa kebiasaan
para ulama mendaftar adalah pandangan atau pendapat yang paling penting
ditempatkan pada urutan yang pertama sedangkan yang paling tidak penting
ditempatkan pada urutan yang terakhir. Ini seharusnya menarik para pendusta
Syi’ah untuk mengetahui bahwa Imam Razi menyebutkan Ghadir Khum tetapi beliau
tempatkan di urutan yang paling akhir, artinya dalam pandangan beliau hal
tersebut adalah pendapat yang paling lemah yang mungkin terjadi.
Kita akan menampilkan komentar dari Imam
Razi satu demi satu :
Para ulama tafsir menyebutkan banyak
sebab turunnya wahyu tersebut :
Ayat ini diturunkan sebagai contoh untuk
Rajam dan Pembalasan sebagaimana yang disebutkan sebelumnya dalam kisah
mengenai kaum Yahudi.
Sebab ayat ini diturunkan karena celaan
dan olok-olok terhadap agama oleh kaum Yahudi, dan Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam hanya diam terhadap mereka, hingga ayat ini turun.
Ketika ayat berupa pilihan diturunkan,
dimana bunyinya “wahai Nabi, katakan pada istri-istrimu” (QS 33:28), Nabi tidak
menyampaikan ayat tersebut kepada mereka karena khawatir mereka akan memilih
dunia, dan hingga ayat ini (5:67) turun.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Zaid
dan Zainab binti Jahsiy ra, Aisyah ra berkata : barang siapa menganggap
Rasulullah menyembunyikan sebagian dari apa yang diturunkan kepadanya, maka dia
telah melakukan kebohongan yang besar terhadap Allah, Allah telah berfirman : “Wahai
rasul sampaikanlah..” dan apakah Rasulullah menyembunyikan sebagian dari apa
yang diturunkan kepadanya, beliau akan menyembunyikan juga firman-Nya :”Dan
kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya” (33:37).
Ini diturunkan berkaitan dengan jihad,
kaum munafik membencinya, sedangkan beliau selalu menahan diri untuk mendesak
mereka untuk berjihad.
Ketika firman Allah sedang turun :” Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan”
(6:108), Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menahan dari mencaci sesembahan
mereka, hingga ayat ini turun, dan Dia (Allah) berfirman : “Sampaikan.. “
kesalahan/kecaman tentang tuhan-tuhan mereka dan jangan sembunyikan, dan Allah
akan melindungimu dari mereka.
Ayat ini diturunkan sehubungan dengan
orang-orang Muslim yang benar, karena pada haji terakhir sesudah beliau
mendeklarasikan aturan-aturan dan ritual haji, beliau berkata “ Sudahkan saya
menyampaikan (nya kepadamu)? Mereka menjawab : Ya. Beliau berkata : Ya Allah
saksikanlah.
Telah diriwayatkan beliau istirahat di
bawah sebuah pohon dalam salah satu perjalanan beliau dan menggantungkan pedang
beliau di pohon, ketika seorang Badui datang saat beliau sedang tidur dan
menyambar pedang sambil berkata: “ Ya Muhammad, siapa yang akan melindungimu
dari ku?” beliau berkata “Allah”, kemudian tangan Badui tersebut gemetar,
pedang tersebut jatuh dari tangannya, dan dia membenturkan kepalanya ke pohon
sampai otaknya terburai, kemudian Allah menurunkan ayat ini dan menjelaskan
bahwa Dia akan melindungi beliau dari manusia.
Beliau selalu takut dengan Quraisy, kaum
Yahudi dan Nashrani, maka Allah menghilangkan ketakutan ini dari hati beliau
dengan ayat ini.
Ayat ini turun untuk menekankan
keunggulan Ali ra, dan ketika ayat ini turun, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
memegang tangan Ali dan berkata: “Siapa yang menganggap aku Maula, Ali adalah
Maula-nya juga, Ya Allah jadikan teman orang-orang yang menjadikannya teman,
jadikan musuh orang-orang yang memusuhinya. Tak lama kemudian, Umar menemuinya
(Ali) dan berkata : “Ya Ibnu Abi Thalib! Selamat, sekarang anda adalah Maula-ku
dan Maula setiap laki-laki dan wanita beriman.” Ini diriwayatkan oleh Ibnu
Abbas, Bara’ bin Azib dan Muhammad bin Ali.
Anda seharusnya mengetahui kejadian
dengan riwayat-riwayat ini banyak jumlahnya, ini lebih banyak sesuai untuk
menjelaskan ayat tersebut Allah meyakinkan beliau perlindungan terhadap
persekongkolan yang licik dari kaum Yahudi dan Nashrani dan memerintahkan
beliau untuk mengumumkan pernyataan tanpa ada rasa takut kepada mereka. Hal ini
karena konteks sebelum dan sesudah ayat ini menunjuk kaum Yahudi dan Nashrani;
suatu hal yang tidak mungkin melemparkan sebuah ayat di tengah (dari ayat-ayat
lain) sehingga asing terhadap apa yang ada sebelum dan sesudahnya.
(Tafsir Al-Kabir, Fakhr al-Razi, di bawah
komentar terhadap QS 5:67, jld 12, hal 49-50)
Dengan kata lain, Imam ar-Razi
menyebutkan 10 kemungkinan tetapi beliau menyatakan bahwa hanya satu pendapat
yang kuat bahwa ayat tersebut turun tentang kaum Yahudi dan Nashrani dan karena
inilah mengapa beliau menyebutkan kemungkinan tersebut di urutan yang pertama.
Sungguh ajaib, ensiklopedia Syi’ah penipu
tidak menyebutkan bahwa Imam ar-Razi menyebutkan 10 kemungkinan dan menyatakan
bahwa yang paling beralasan adalah pendapat pada urutan yang pertama? Alih-alih
Syi’ah bertumpu pada kutipan sepotong, sungguh, mereka adalah orang-orang yang
mencintai Taqiyah dan penipuan. Kami mengingatkan kepada kaum Sunni awwam untuk
tidak terkesan oleh daftar referensi mereka yang panjang.
Sedangkan riwayat-riwayat yang lain yang
disebutkan di atas, ternyata setelah diteliti sanadnya adalah bermasalah dan
lemah. Tidak bisa dipakai sebagai hujjah, dan tampaknya kurang perlu jika
dipaparkan di sini karena akan banyak memakan tempat.
Intinya, tidak satupun sumber Sunni yang
terpercaya mengatakan bahwa ayat 5:67 turun di Ghadir Khum.
Sebagaimana yang kita ketahui dengan
baik, peristiwa Ghadir Khum terjadi dekat dengan wafatnya Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam, ketika seluruh jazirah Arab telah ditundukkan oleh kaum
Muslimin dibawah bimbingan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk di
dalamnya Nashrani di Najran dan kaum Yahudi di Yaman. Lalu apa sebenarnya yang
ditakutkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menyampaikan sesuatu ketika
para pengikutnya telah bertambah banyak seratus kali lipat? Tidaklah masuk akal
ayat ini diturunkan pada saat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berada pada
puncak kekuasaannya. Tetapi lebih masuk akal, ayat ini diturunkan jauh pada
awal-awal masa kenabian beliau ketika Islam masih sedang berjuang untuk
bertahan, dengan menghadapi banyak musuh disekitarnya.
Al-Islam.org berkata:
Segera setelah Nabi (s) selesai
menyampaikan hal itu, ayat Al-Qur’an berikut ini turun :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu” (Qur’an 5:3)
Ayat di atas mengindikasikan dengan jelas
Islam tanpa menjelaskan kepemimpinan sesudah Nabi (s) tidaklah sempurna, dan
penyempurnaan dari agama adalah pengumuman dengan segera mengenai pengganti
beliau.
Ini adalah bikinan Syi’ah yang lain,
Al-Qur’an 5:3 diturunkan pada akhir pidato perpisahan di atas bukit Arafah, hal
ini tercatat dalam shahih Bukhari, shahih Muslim, al-Sunan dan lain-lain :
“ini (ayat : “Pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu…”) turun pada hari Jum’at, pada hari Arafah…”
Ayat ini turun di Arafah tanggal 9
Dzulhijjah pada haji Wada` ketika beliau berdiri di Arafah. Dan saat itu adalah
merupakan moment yang sangat tepat bagi penutupan risalah agama.
Adapun Ghadir Khum terjadi sepulang
beliau dari haji Wada’ menuju Madinah, berarti jarak dengan turunnya ayat ke-3
ini adalah 9 hari. Lantas bagaimana mungkin ayat 67 di atas baru turun setelah
Al-Maidah ayat 3 yang merupakan ayat Al-Qur’an yang terakhir/penutup yang turun
kepada Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam?!.
Mengapa Al-Qur’an diam seribu bahasa
sehubungan dengan penunjukkan Ali ra?, pasti, Allah akan telah menyebutkannya
dalam Al-Qur’an jika hal tersebut sebuah perintah yang jelas, Mengapa Allah
diduga menurunkan ayat 5:67 dan 5:3 seluruhnya untuk Ali ra dan keimamahannya,
tetapi Allah tidak memilih dengan cara yang sederhana dengan memasukkan nama
Ali dalam ayat-ayat tersebut dan membuat nya jelas bagi kaum muslimin bahwa Ali
ra adalah pemimpin kaum muslimin selanjutnya yang ditunjuk dengan jelas? Dan
yang lebih membingungkan, ayat-ayat tersebut sama sekali tidak berbicara soal
khalifah maupun imamah. Sungguh hal yang menakjubkan bagaimana Syi’ah selalu
mengatakan bahwa ayat-ayat ini berbicara mengenai keimamahan Imam Ali ra
sedangkan Allah tidak pernah menyinggungnya sama sekali.
Kesimpulan :
Al-Qur’an surat Al-Maidah : 67 dan
Al-Maidah : 3 turun tidak ada hubungannya dengan peristiwa Ghadir Khum dan
tidak ada hubungannya dengan penunjukkan terhadap Ali radhiyallahu ‘anhu.
Wallahu A’lam biShowab.
Hadits Ghadir Khum dalam Perspektif Islam
(Telaah Kritis Terhadap Pandangan Syiah)
Oleh: Nofriyanto[1]
Umat Islam meyakini bahwa urutan al-Khulafa’u
ar-Rasyidun yang empat sepeninggal Rasulullah, yaitu: Abu Bakar, Umar,
Utsman kemudian Ali.
Masing-masing dari khalifah ini, diangkat
dan dibaiat melalui Syūra(musyawaroh) para Ahlu Halli wa al-‘Aqdi dari
sekelompok kaum Muhajirin dan Anshar, yang kemudian diikuti oleh keseluruhan
umat Islam.[2] Namun lain halnya dengan apa yang diyakini oleh
Syiah. Menurut mereka khalifah yang syah setelah meninggalnya Rasulullah,
adalah Ali. Salah satu dalil yang mereka jadikan landasan dari keyakinan ini,
yaitu hadits Rasulullah di Ghadir Khum dalam perjalanan pulang beliau ke
Madinah setelah melaksanakan haji wada’ pada tanggal 10 Dzulhijah tahun 10 H. [3]
Keyakinan Syiah tersebut bukan hanya
sekedar wacana, akan tetapi sudah mencapai kepada praktikal, yang
terimplementasikan dengan menjadikan hari Ghadir Khum sebagai hari raya selain
dua hari raya yang selama ini diyakini kaum muslimin. Sebagaimana yang
dirayakan oleh penganut Syiah di Indonesia, tepatnya pada hari Sabtu 26
Oktober 2013, di gedung Smesco Jln. Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Yang
sangat disayangkan perayaan ini justru mendapatkan dukungan dari beberapa
kalangan akademisi, elit politik, budayawan bahkan Presiden Republik indonesia.[4] Maka, melalui makalah ini, penulis merasa perlu
menjelaskan hakikat sebenarnya dari hadits Ghadir Khum yang digunakan oleh
Syiah untuk melegitimasi keyakinan mereka terhadap kepemimpinan Ali pasca
wafatnya Rasulullah. Ini dilakukan, dengan harapan kaum muslimin tidak salah
memahami hadits tersebut, sekaligus sebagai sanggahan terhadap keyakinan Syiah
terhadapnya.
Untuk mendapatkan pemahaman yang
komprehensif dari suatu hadits, salah satu cara yang ditempuh yaitu dengan
memahami sababul wurud (latar belakang munculnya hadits). Begitu
pula dalam hadits Ghadir Khum ini, kita perlu mengetahui latar belakang
mengapa Rasulullah bersabda: ”Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya
(penolongnya), maka Ali juga sebagai maulanya. Ya Allah, cintailah orang yang
mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.” Adapun latar belakang
Rasulullah bersabda dengan hadis ini, yaitu ketika banyaknya kaduan dari
beberapa orang yang tidak setuju dengan beberapa keputusan Ali ketika
Rasulullah mengutusnya ke Yaman sebelum haji wada’. [5] Melihat hal tersebut, maka Rasulullah mengingatkan
mereka untuk saling berwala’ (mencintai dan tolong-menolong) dan tidak boleh
saling mencela dan membenci. Nasehat beliau ini berlaku umum bagi setiap
mukmin, hanya saja dalam hadis ini, nasehat beliau tujukan terlebih khusus
kepada orang-orang yang tidak setuju dengan beberapa keputusan Ali.[6] Berdasarkan keterangan ini, dapat kita simpulkan
bahwa tujuan Nabi menyampaikan khutbah di ghadir Khum, bukan dalam rangka
menobatkan Ali sebagai khalifah sepeninggal beliau, sebagaimana yang diyakini
Syiah, akan tetapi dalam rangka menasihati umatnya untuk saling mencintai dan
tidak saling membenci.
Secara etimologi, kata maula dalam
bahasa Arab sendiri tidaklah berartikan pemimpin, melainkan memilki banyak
arti. Antara lain, yaitu: Rabb, raja, yang memberi nikmat, penolong,
orang yang mencintai, tetangga, sepupu, orang yang memerdekakan budak, paman
dan lain-lain.[7] Melihat kepada arti-arti dari kata maula tersebut,
maka sangatlah tidak tepat jika mengartikan kata mauladengan pemimpin,
sebagaimana yang diinginkan oleh Syiah. Ketidaktepatan tersebut terlihat jelas
dari lawan dari kata maula dalam kelanjutan hadis tersebut yang
justru menyatakan: musuhilah orang yang yang memusuhinya. Maka dari itu,
arti yang sesuai dan tepat untuk mengartikan kata mauladalam hadis
tersebut, baik secara teks maupun konteks, adalah “penolong”, sebab kebalikan
dari kata penolong adalah musuh.[8] Sebagaimana di dalam ayat- ayat al-qur’an sendiri
kata maula lebih banyak diartikan sebagai penolong, contohnya antara
lain firman Allah di dalam QS. At-Tahrim: 66:4
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ
قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلاهُ
وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ
Jika kamu berdua bertobat kepada Allah,
maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan
jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah
adalah Penolongnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukm`in yang baik;
dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.[9]
Ini dikarenakan karena kata walayah dengan
men-fathah-kan huruf waw artinya melindungi, menolong, mencintai atau
arti lainnya yang merupakan antonim dari memusuhi, dan isimnya yaitu maulā dan waliy.
Sedangkan wilayah dengan men-kasroh-kan huruf waw artinya
pemerintahan, dan isim darinya yaitu wāliy dan mutawalliy.[10]
Dari sisi lain, hadits Ghadir Khum yang
diklaim Syiah sebagai nash sharih (jelas) tentang imāmah Ali
sepeninggal Rasulullah, jika diteliti dari segi sanad (mata rantai
pentransmisian hadits), bukanlah termasuk hadits mutawatir dan bahkan
masih diperdebatkan ke-shahih-annya di kalangan ulama hadits. Di antaranya, Abu
Dawud as-Sajastani dan Abu Hatim ar-Razi menilai hadits ini batal. Sementara
Abu Musan, sebagaimana dikutip Ibnu Atsir dalam Usūd al-Ghabah, menyatakan
bahwa hadits ini sangat Gharib. Beliau berkata: “Saya tidak mengetahui hadits
ini kecuali dari riwayat Ibnu Sa’id”.[11] Sedangkan Ibnu Hazm mengatakan bahwa hadits tersebut
tidak memiliki jalur yang shahihsama sekali.[12] Maka, klaim Syiah terhadap imāmah Ali
dengan hadits ini, selain tidak tepat dengan asbab wurud-nya dan makna maula secara
etimologi, juga masih menyisakan permasalahan dari keshahihan sanadnya.
Selain itu, kekeliruan konsep imāmah Syiah
yang didasarkan kepada hadits Ghadir Khum, juga bisa dilihat dari sikap dan
pernyataan-pernyataan baik Ali sendiri terhadap para khalifah sebelum beliau.
Di antara contoh sikap baik beliau yang terekam dalam lembaran buku sejarah,
yaitu pembaiatan beliau kepada para khalifah sebelum beliau dengan sukarela
tanpa paksaan sedikit pun.[13] Ada pun di antara pernyataan-pernyataan baik beliau
kepada para khalifah sebelumnya, terlihat jelas dari salah satu pengakuan
beliau ketika menyebutkan tingkatan manusia terbaik setelah Rasulullah:
أيها الناس إن خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر
ثم عمر ولو شئت أن أسمى الثالث لسميت وعنه أنه قال وهو نازل من المنبر ثم عثمان ثم
عثمان
Wahai segenap manusia! Sesungguhnya
manusia terbaik dari umat ini setelah Rasulullah yaitu Abu Bakar, kemudian
Umar, seandainya aku berkenan menyebutkan yang ketiga, maka akan aku sebutkan.
Kemudian diriwayatkan dari Ali ketika ia turun dari mimbar sambil berkata
kemudian Utsman, kemudian Utsman[14]
Ungkapan Ali di atas, sangat jelas
menggambarkan keridhaan beliau kepada para khalifah sebelumnya. Ungkapan ini
tidak akan beliau ucapkan, jika memang benar apa yang dituduhkan Syiah kepada
para khalifah sebelumnya, bahwa kekhilafahan mereka tidak syah karena mereka
telah merampas hak kepemimpinan dari Ali setelah Rasulullah wafat.[15] Sebab, Ali sendiri memuji dan
menghormati mereka dan mengakui keutamaan mereka. Bahkan, pernyataan beliau
bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berhak dan pantas menjadi khalifah
setelah Rasulullah, selain tertulis dalam salah satu rujukan utama Syiah
sendiri, yaitu buku Nahju al-Balaghah yang di-syarah oleh Ibnu
Abil Hadid,[16] juga ditulis dua ulama Ahlussunnah, yaitu:
Yusuf bin Muhammad[17] dan Abdullah bin Muhammad at Tamimi.[18]
Dalam Islam, konsep yang telah ditetapkan
untuk menentukan siapa yang berhak menjadi khalifah yaitu melalui konsep Syūra (musyawarah)
para Ahlu Halli wa al-‘Aqdi dari para ulama dan pemuka umat. Yang
mana, dalam proses pelaksanaanya tidak melibatkan seluruh umat Islam, akan
tetapi hanya melibatkan orang-orang yang memang memiliki otoritas dan
kapabilitas dalam urusan agama Islam.[19] Konsep ini, telah dicontohkan oleh orang-orang
terbaik umat ini terkhusus dari para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar
sepeninggal Rasulullah dalam pengangkatan Khulafa’ Rasyidin yang empat. Bahkan
Ali sendiri menyetujuinya, tidak sebagaimana yang diyakini oleh Syiah.
Persetujuan Ali terlihat jelas dari ungkapanya:
إنما الشورى للمهاجرين والأنصار ، فإن اجتمعوا
على رجل وسمّوه إماماً كان ذلك لله رضى
Sesungguhnya syūra bagi sahabat Muhajirin
dan Anshar, jika mereka bersepakat terhadap salah seorang yang mereka sebut
sebagai Imam, maka hal itulah yang diridhai oleh Allah[20]
Maksud dari pernyataan Ali di atas
adalah, bahwa Allah meridhai terhadap apa yang diridhai (disepakati) oleh
sahabat Muhajirin dan Anshar. Atinya, Ali juga mengakui kepemimpinan tiga
khalifah sebelum beliau, sebab tiga khalifah itu sudah dibaiat oleh sahabat
Muhajirin dan Anshar dengan suara bulat. Kesepakatan Ali terhadap tiga khalifah
sebelumnya juga dibuktikan dengan pembaiatan beliau terhadap ketiganya.[21]
Dari pemaparan data sejauh ini,
kelemahan-kelemahan argumentasi Syiah terhadap hadis Ghadir Khum yang mereka
anggap sebagai nash sharih (jelas) terhadap kepemimpinan Ali pasca
wafatnya Rasulullah, akan selalu terungkap kekeliruannya dari sudut pandang apa
pun, baik dari asbab wurud,konteks pembicaraan nash, segi kebahasaan,
periwayatan dan pernyataan Ali sendiri terhadap kebaikan para khalifah sebelum
beliau dan persetujuannya dengan konsep Syūra yang dilakukan oleh
sahabat Muhajirin dan Anshar. Hal demikian dapat dimaklumi, sebab dalam Islam,
konsep imamahsebagaimana yang dimaksudkan oleh Syiah memang tidak pernah
ada, baik dari nash al-Qur’an maupun hadits. Yang ada adalah konsep syūra (musyawarah)
yang diampu oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas dalam hal tersebut
dari golongan para ulama dan pemuka agama. Karenanya, Ahlussunnah selalu
mengembalikan urusan kekhilafahan pada konsep syūra ini, sebab
kekhilafahan merupakan salah satu permasalahan penting dalam umat Islam. Dan
setiap permasalahan umat, memang semestinya diselesaikan dengan cara
bermusyawarah, sesuai dengan anjuran yang sangat lugas dan tegas dalam
Al-Qur’an.[22] Wallahu ‘Alam Bi Showab.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim ‘Akyawy, Juhud Ulama’ al
muslimin fi Tamyiz Shahih as shirah an nabawiyah Min Dha’ifiha, (Maktabah
Syamilah).
Abi al-Hasan Ali bin Muhammad al-Jaza’iri
Ibnu al-Atsir, Usūdu al-Ghobah (Dār al-Fikr, tt).
al-Mishry, Muhammad bin Mukrim bin
Manzhur, Lisānul ‘ara, (Beirut: Dār Shadir, tt).
Al-Qifari, Nashir bin Abdullah bin Ali, Ushūl
Madzhabisy Syī’ah al-Imāmiyah al-Itsnā ‘Asyariyah,(Madinah : Jāmi’ah
al-islamiyah, , 1994).
Al-Qur’an al-Karim
al-Ruhaily, Ibrahim bin ‘Amir, al-intishar
lis Shahabi wa al-Ali min Iftiraat as samawy ad-dhaly(Maktabah al-Ghuroba, tt).
Al-Salafy, Abdullah bin Muhammad,
Siapakah Syiah itu?, penterjemah. Muhammad Anshary, (ad-Difa’ ‘an Sunnah, tt).
Al-Shuyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakar, Tarikhu
al-Khulafa’, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul hamid, (Mesir: Mathba’ah
as-Sa’adah, 1952).
Al-Syaukani, Muhammad bin Ali, , as-Sailu
al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘Ala Hadaiq al-Azhar , tahqiq. Muhammad Ibrahim
Zayid, (Beirut:Dar al-kutub al-ilmiyah, 1983).
Al-Tamimi, Abdullah bin Muhammad, Mukhtashor
Sirah Rasul, (Damasqus: Dār al faiha’, 1997).
al-Thaqani , Ismail bin Abad, al-Muhith
fi al-Lugoh, tahqiq Muhammad Hasan alu Yasin (Beirut: Dār an-Nasyr, 1994).
Al-Thobari, al Muhib, ar-Riyadh an
Nadhrah Fii Manaqib al ‘Usyrah, (Maktabah Syamilah).
Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahj
Balaghah, (Dār ar-Rasyad al-Haditsah, tt).
Ibnu katsir , al-Bidayah wa
an-Nihayah, (Beirut: Maktabah al-Ma’ari, 1979).
Tim Penulis Buku pustaka Sidogiri,
Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwh? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah
Bergandengan Tangan! Mungkinkah?), (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2008).
www. Voa-Islam.com.
Yusuf bin Muhammad, Ahadits
Muntakhobah min Maghozi Musa bin Uqbah, tahqiq Masyhur Hasan Salman, (Muassasah
ar Royan- Dār Ibn Hazm, 1991).
[1] Penulis adalah peserta PKU (Program Kaderisasi Ulama)
VII ISID GONTOR no telp. 082333454370.
[2] Lihat:, Muhammad bin Ali al-Syaukani, as-Sailu
al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘Ala Hadaiq al-Azhar, Tahqiq Muhammad Ibrahim Zayid ,
(Beirut: Dar al-kutub al-ilmiyah, 1983). Cet. I. Jilid IV. al 511.
[3] Bunyi hadis Ghadir Khum ini adalah
من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد
من عاده
”Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (penolongnya),
maka Ali juga sebagai maulanya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan
musuhilah orang yang memusuhinya.”
Lihat:, Nashir bin Abdullah bin Ali Al-Qifari, Ushūl
Madzhabisy Syī’ah al-Imāmiyah al-Itsnā ‘Asyariyah,(Madinah : Jāmi’ah
al-islamiyah 1994).Cet. II. Hal. 689.
[4] Lihat: Tulisan Dr. Adian Husaini yang bertajuk
“Diam-diam SBY Pro-Syiah dalam Merayakan Hari Sesat Idul Ghadir, Kamis, 24
oktober 2013, www. Voa-Islam.com.
[5] Lihat: Ibnu katsir , al-Bidayah wa
an-Nihayah, (Beirut: maktabah al ma’ari, 1979). Cet.
III. Hal.104-105.
[6] Lihat:, Nashir bin Abdullah bin Ali
Al-Qifari, Ushūl Madzhabisy Syī’ah al-Imāmiyah al-Itsnā
‘Asyariyah, (Madinah : Jāmi’ah al-islamiyah 1994). Cet. II. Hal. 694.
[7] Lihat: Muhammad bin Mukrim bin Manzhur
al-Mishry, Lisānul ‘arab (Beirut: Dār Shadir). Cet. I. Hal. 4922.
[8] Lihat:, Nashir bin Abdullah bin Ali
Al-Qifari, Ushūl Madzhabisy Syī’ah al-Imāmiyah al-Itsnā
‘Asyariyah, (Madinah : Jāmi’ah al-islamiyah 1994). Cet. II. Hal. 693.
[9] Lihat: QS. Muhammad: 47:11, dan QS. At-Taubah: 9: 71.
[10] Lihat: Ismail bin Abad al-Thaqani, al-Muhith fi
al-Lugoh, Tahqiq Muhammad Hasan alu Yasin (Beirut: Dār an-Nasyr, 1994). Cet. I.
Jilid X. Hal. 380.
[11], Abi al-Hasan Ali bin Muhammad al-Jaza’iri Ibnu
al-Atsir, Usūdu al-Ghobah (Dār al-Fikr, tt). Jilid II. Hlm. 65.
[12] Lihat Lihat:, Nashir bin Abdullah bin Ali
Al-Qifari, Ushūl Madzhabisy Syī’ah al-Imāmiyah al-Itsnā
‘Asyariyah, (Dār ar-Ridha, 1998) Cet. III. Jilid II. Hal. 839.
[13]Lihat: , Abdurrahman bin Abi Bakar
Al-Shuyuthi, Tarikhu al-Khulafa’, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul hamid,
(Mesir: Mathba’ah as-Sa’adah, 1952),. hal. 63,119 ,138. al Muhib at-
Thobari, ar-Riyadh an Nadhrah Fii Manaqib al ‘Usyrah, (Maktabah Syamilah).
Jilid I. hal. 109. Abdul Karim ‘Akyawy, Juhud Ulama’ al muslimin fi Tamyiz
Shahih as shirah an nabawiyah MIn Dha’ifiha, (Maktabah Syamilah). hal. 34.
[14] Ibnu katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, (Beirut:
Maktabah al-ma’arif, tt). Jilid VIII. Hal.13.
[15] Lihat: Abdullah bin Muhammad, Siapakah Syiah itu?,
penterjemah. Muhammad Anshary, (ad-Difa’ ‘an Sunnah, tt). Hal. 52,56.
[16] قال علي ابن أبي طالب ”
وإنا لنرى ابا بكر أحق الناس بها “
Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahj Balaghah, (Dār ar-Rasyad
al-Haditsah, tt), Juz I. Hal. 132.
[17] Lihat: Yusuf bin Muhammad, Ahadits Muntakhobah
min Maghozi Musa bin Uqbah, tahqiq Masyhur Hasan Salman, (Muassasah ar Royan-
Dār Ibn Hazm, 1991),. Juz. I. Hal. 94.
[18] Lihat: Abdullah bin Muhammad
al-Tamimi, Mukhtashor Sirah Rasul, (Damasqus: Dār al faiha’, 1997) Jilid.
I. Hal. 523.
[19] Lihat: Ibrahim bin ‘Amir al-Ruhaily
, al-intishar lis Shahabi wa al-Ali min Iftiraat as samawy
ad-dhaly (Maktabah al-Ghuroba, tt) hal. 78-80.
[20] Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahj Balaghah, (Dār
ar-Rasyad al-Haditsah, tt), Juz III. Hal. 7.
[21] Lihat: Tim Penulis Buku pustaka Sidogiri, Mungkinkah
Sunnah-Syiah dalam Ukhuwh? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah
Bergandengan Tangan! Mungkinkah?), (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2008), Cet. Ke
II. Hal. 177.
[22] Lihat: QS. As Syura, 42: 38.
Related Articles :
Analisa Terhadap Klaim Syi’ah Atas Hadits
Ghadir Khum (Bagian 1/3 )
Analisa Terhadap Klaim Syi’ah Atas Hadits
Ghadir Khum (Bagian 2/3 )
Analisa Terhadap Klaim Syi’ah Atas Hadits
Ghadir Khum (Bagian 3/3 )
Ahlul-Bait Tidak Mengakui Wasiat Estafet
Imamah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – ‘Aliy – Al-Hasan – Al-Husain
– ‘Aliy bin Al-Husain – Muhammad bin ‘Aliy
‘Aliy
bin Abi Thaalib : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Tidak Pernah
Berwasiat tentang Kepemimpinan Kepada Dirinya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Tidak Berwasiat tentang Kepemimpinan kepada ‘Ali radliyallaahu ‘anhu [2]
Hadits Tsaqalain : Ahlul-Bait Jaminan
Keselamatan Dunia dan Akhirat
Kritik Tafsir Hadits ‘Ithrah Versi Syiah;
Runtuhnya Ajaran Ghadir Khum
Abu Bakar Tidak Sah Jadi Khalifah?
Paparan Dibawah Ini " Menjungkirbalikkan " Fitnah-fitnah Keji Syi'ah
dan Antek-anteknya !
Ahlul-Bait Nabi shallallaahu 'alaihi wa
sallam
‘Aliy Berbaiat dan Ridlaa terhadap Kekhalifahan
Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhum
Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu
Mengakui ‘Umar bin Al-Khaththaab sebagai Pemimpin bagi Kaum Mukminiin
(Amiirul-Mukminiin)
Aliy bin Abi Thaalib Berbaiat kepada Abu Bakr
radliyallaahu ‘anhumaa [2]
Keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar yang
Disebutkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Depan ‘Aliy radliyallaahu
‘anhum
Keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar yang
Disebutkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Depan ‘Aliy radliyallaahu
‘anhum
Ahlul-Bait Menyepakati Keputusan Abu Bakr
Ash-Shiddiiq radliyallaahu ‘anhu dalam Masalah Tanah Fadak