Friday, October 28, 2016

Benarkah Al-Maidah:67 Diturunkan Sebagai Dalil Penunjukkan Ali Radhiyallahu ‘Anhu ? Hadits Ghadir Khum Dalam Perspektif Islam (Telaah Kritis Terhadap Pandangan Syiah)

ghadir

Benarkah Al-Maidah:67 Diturunkan Sebagai Dalil Penunjukkan Ali Radhiyallahu ‘Anhu ?

Dalam artikel ini diungkap kelemahan hujjah Syi’ah dalam usaha mereka menghubungkan ayat Al-Maidah : 67 dan Al-Maidah : 3 dengan peristiwa Ghadir Khum dan menjadikan ayat Al-Maidah : 67 sebagai dalil penunjukkan Ali bin Abi thalib.Artikel ini sengaja kami muat kembali dari artikel kami sebelumnya dengan judul yang lebih spesifik.
Mereka suka Bermain dengan ayat-ayat Al-Qur’an
Al-Islam.org (situs Syi’ah) berkata:
Di tempat ini, ayat Al-Qur’an berikut ini diturunkan :

Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia… (Qur’an 5:67)

Kalimat terakhir pada ayat di atas mengindikasikan bahwa Nabi (s) begitu perhatian dengan reaksi dari umatnya ketika beliau menyampaikan risalah, tetapi Allah memberitahukan kepada beliau untuk tidak khawatir karena Allah akan melindungi beliau dari gangguan manusia.
Ini adalah klaim yang sering diulang oleh Syi’ah, yaitu bahwa ayat 5:67 diturunkan sehubungan dengan penunjukkan Ali ra sebagai Khalifah; dengan kata lain, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seharusnya tidak khawatir tentang reaksi buruk dari sahabat terhadap deklarasi mengenai Imamah ataupun Khilafah Ali ra.
Seperti kasus yang biasa terjadi, para da’i Syi’ah tidak mempunyai keberatan bermain-main dengan Al-Qur’an dan menggunakan Al-Qur’an sesuai kehendak mereka. Pada kenyataannya, ayat 5:67 tidak mungkin diturunkan dalam hubungannya dengan penunjukkan Ali ra, yaitu karena ayat tersebut ditujukan kepada Ahlul Kitab ( Yahudi dan Nashrani). Syi’ah mengambil ayat tersebut di luar konteksnya, tanpa mempertimbangkan ayat-ayat yang berada tepat sebelum dan sesudahnya. Mari kita lihat :
66. Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.
67. Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
68. Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.
Jadi kita lihat bahwa ayat sebelum dan sesudahnya berbicara mengenai Ahlul Kitab, dan dalam konteks ini ayat 5:67 diturunkan, untuk meyakinkan kembali Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau seharusnya tidak takut terhadap kaum Yahudi ataupun Nashrani dan bahwa beliau seharusnya menyampaikan dengan jelas Risalah Islam dimana akan dibuat tertinggi di atas kaum Yahudi dan Nashrani. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam diceritakan dalam ayat 5:67 bahwa beliau tidak seharusnya takut gangguan atau niat buruk dari orang-orang ini, dan dalam ayat selanjutnya 5:68 Allah berfirman bahwa apa yang diturunkan kepada beliau hanya akan “menambah kedurhakaan dan kekafiran pada kebanyakan dari mereka”. Ini adalah sangat jelas bahwa kita sedang membicarakan kelompok manusia yang sama, yaitu orang kafir diantara ahlul kitab yang membuat gangguan dan yang menjadi keras kepala dalam kedurhakaan dan kekafiran. Kita akan melihat dengan semakin jelas hubungan kedua ayat tersebut dengan memperhatikan kata kunci (key words) korelasi antara ayat 67 dan 68, yaitu terletak pada مَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ مِن رَّبِّكَ “apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu” . silahkan dilihat tulisan yang kami cetak tebal dan digaris bawahi di dua ayat tersebut.
Pada kenyataannya, seluruh bagian dari ayat-ayat tersebut membicarakan tentang Ahlul Kitab. Dimulai dari ayat 5:59 dan terus berlanjut sampai 5:86, mari kita perhatikan :
59. Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, apakah kamu memandang kami salah, hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara kamu benar-benar orang-orang yang fasik ?
60. Katakanlah: “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?.” Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.
61. Dan apabila orang-orang (Yahudi atau munafik) datang kepadamu, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”, padahal mereka datang kepadamu dengan kekafirannya dan mereka pergi (daripada kamu) dengan kekafirannya (pula); dan Allah lebih mengetahui apa yang mereka sembunyikan.
62. Dan kamu akan melihat kebanyakan dari mereka (orang-orang Yahudi) bersegera membuat dosa, permusuhan dan memakan yang haram. Sesungguhnya amat buruk apa yang mereka telah kerjakan itu.
63. Mengapa orang-orang alim mereka, pendeta-pendeta mereka tidak melarang mereka mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram? Sesungguhnya amat buruk apa yang telah mereka kerjakan itu.
64. Orang-orang Yahudi berkata: “Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dila’nat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu. (Tidak demikian), tetapi kedua-dua tangan Allah terbuka; Dia menafkahkan sebagaimana Dia kehendaki. Dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sungguh-sungguh akan menambah kedurhakaan dan kekafiran bagi kebanyakan di antara mereka. Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat. Setiap mereka menyalakan api peperangan Allah memadamkannya dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan.
65. Dan sekiranya Ahli Kitab beriman dan bertakwa, tentulah Kami tutup (hapus) kesalahan-kesalahan mereka dan tentulah Kami masukkan mereka kedalam surga-surga yang penuh kenikmatan.
66. Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.
67. Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.
68. Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.” Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu.
69. Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benar-benar saleh, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
70. Sesungguhnya Kami telah mengambil perjanjian dari Bani Israil, dan telah Kami utus kepada mereka rasul-rasul. Tetapi setiap datang seorang rasul kepada mereka dengan membawa apa yang yang tidak diingini oleh hawa nafsu mereka, (maka) sebagian dari rasul-rasul itu mereka dustakan dan sebagian yang lain mereka bunuh.
71. Dan mereka mengira bahwa tidak akan terjadi suatu bencanapun (terhadap mereka dengan membunuh nabi-nabi itu), maka (karena itu) mereka menjadi buta dan pekak, kemudian Allah menerima taubat mereka, kemudian kebanyakan dari mereka buta dan tuli (lagi). Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.
72. Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.
73. Sesungguhnya kafirlah orang0orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.
74. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya ?. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
75. Al Masih putera Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang yang sangat benar, kedua-duanya biasa memakan makanan. Perhatikan bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari memperhatikan ayat-ayat Kami itu).
76. Katakanlah: “Mengapa kamu menyembah selain daripada Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi mudharat kepadamu dan tidak (pula) memberi manfaat?” Dan Allah-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
77. Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.”
78. Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas.
79. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.
80. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan.
81. Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik.
82. Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya kami ini orang Nasrani.” Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menymbongkan diri.
83. Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s.a.w.).
84. Mengapa kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada kami, padahal kami sangat ingin agar Tuhan kami memasukkan kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh ?.”
85. Maka Allah memberi mereka pahala terhadap perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. Dan itulah balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya).
86. Dan orang-orang kafir serta mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni neraka.
Sangat jelas sekali bahwa semua ayat-ayat di atas berbicara mengenai kaum Yahudi dan Nashrani, dan sungguh tidak masuk akal, kaum Syi’ah bisa “Cut & Paste” ayat Al-Qur’an sesuai dengan keinginan mereka. Ini adalah bentuk manipulasi terhadap firman Allah dan sebuah dosa yang besar yang akan membawa mereka kepada kekufuran. Namun juga, anda akan masih temui kaum Syi’ah secara umum mengklaim bahwa ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan Pidato di Ghadir Khum dan penunjukkan Ali ra. Jadi ini adalah tujuan akhir dari da’i Syi’ah dengan memutar balikkan Al-Qur’an dan hadits untuk menciptakan dongeng imajinasi bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menunjuk Ali ra sebagai khalifah.
Al-Islam.org berkata:
Di tempat ini, ayat Al-Qur’an berikut ini diturunkan :

Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia… (Qur’an 5:67)
Beberapa referensi Sunni mengkonfirmasi bahwa turunnya ayat di atas terjadi tepat sebelum pidato Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam di Ghadir Khum:
(12)     Dan banyak lagi seperti Ibnu Mardawaih dan lain-lain.
(1)         Tafsir al-Kabir, oleh Fakhr al-Razi, komentar untuk ayat 5:67, jilid 12, hal 49-50, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Al-Bara’ bin Azib, dan Muhammad bin Ali.
(2)         Asbabun al-Nuzul, oleh Al-Wahidi, hal 150, diriwayatkan dari Athiyah dari Abu Sa’id Al-Khudri.
(3)         Nuzul al-Qur’an, oleh al-Hafidz Abu Nu’aim diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri.
(4)         Al-Fushul al-Muhimmah, oleh Ibnu Sabagh al-Maliki al-Makki, hal 24
(5)         Durr al-Mantsur, oleh al-Hafidz As-Suyuthi, komentar terhadap ayat 5:67
(6)         Fathul Qadir, oleh as-Syaukani, komentar terhadap ayat 5:67
(7)         Fathul Bayan, oleh Hasan Khan, komentar terhadap ayat 5:67
(8)         Syaikh Muhi al-Din al-Nawawi, komentar terhadap ayat 5:67
(9)         Al-Sirah al-Halabiyah, oleh Nur al-Din al-Halabi, jil 3 , hal 301
(10)     Umdatul Qari fi Syarah Shahih Bukhari, oleh al-Ayni
(11)     Tafsir al-Nisaburi, jil 6, hal 194
Para da’i Syi’ah telah berdusta, tidak ada cara lain untuk menggambarkan tentang mereka itu, mereka menjadi terkenal kejahatannya karena kutipan sepotong-sepotong mereka. Di atas, Syi’ah memberikan dua belas sumber, Kita tampilkan saja sumber yang pertama, sedangkan sumber-sumber yang lain pada dasarnya setelah diteliti sanadnya lemah dan tidak bisa dipakai sebagai hujjah. Dasar pertama yang mereka pakai adalah Tafsir Al-Kabir Imam ar-Razi, Syi’ah mencoba membodohi Sunni dengan membuat seakan-akan Imam ar-Razi percaya bahwa ayat 5:67 ini turun di Ghadir Khum. Pada kenyataannya, Imam Razi mengatakan hal yang sungguh berlawanan dengan apa yang ada dalam kitabnya.
Imam Razi menyebutkan berbagai macam pendapat orang mengenai turunnya ayat tersebut. Beliau mendaftar 10 kemungkinan ketika ayat tersebut turun. Hal yang sudah diketahui dengan baik bahwa kebiasaan para ulama mendaftar adalah pandangan atau pendapat yang paling penting ditempatkan pada urutan yang pertama sedangkan yang paling tidak penting ditempatkan pada urutan yang terakhir. Ini seharusnya menarik para pendusta Syi’ah untuk mengetahui bahwa Imam Razi menyebutkan Ghadir Khum tetapi beliau tempatkan di urutan yang paling akhir, artinya dalam pandangan beliau hal tersebut adalah pendapat yang paling lemah yang mungkin terjadi.
Kita akan menampilkan komentar dari Imam Razi satu demi satu :
Para ulama tafsir menyebutkan banyak sebab turunnya wahyu tersebut :

Ayat ini diturunkan sebagai contoh untuk Rajam dan Pembalasan sebagaimana yang disebutkan sebelumnya dalam kisah mengenai kaum Yahudi.
Sebab ayat ini diturunkan karena celaan dan olok-olok terhadap agama oleh kaum Yahudi, dan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam hanya diam terhadap mereka, hingga ayat ini turun.
Ketika ayat berupa pilihan diturunkan, dimana bunyinya “wahai Nabi, katakan pada istri-istrimu” (QS 33:28), Nabi tidak menyampaikan ayat tersebut kepada mereka karena khawatir mereka akan memilih dunia, dan hingga ayat ini (5:67) turun.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Zaid dan Zainab binti Jahsiy ra, Aisyah ra berkata : barang siapa menganggap Rasulullah menyembunyikan sebagian dari apa yang diturunkan kepadanya, maka dia telah melakukan kebohongan yang besar terhadap Allah, Allah telah berfirman : “Wahai rasul sampaikanlah..” dan apakah Rasulullah menyembunyikan sebagian dari apa yang diturunkan kepadanya, beliau akan menyembunyikan juga firman-Nya :”Dan kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya” (33:37).
Ini diturunkan berkaitan dengan jihad, kaum munafik membencinya, sedangkan beliau selalu menahan diri untuk mendesak mereka untuk berjihad.
Ketika firman Allah sedang turun :” Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (6:108), Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menahan dari mencaci sesembahan mereka, hingga ayat ini turun, dan Dia (Allah) berfirman : “Sampaikan.. “ kesalahan/kecaman tentang tuhan-tuhan mereka dan jangan sembunyikan, dan Allah akan melindungimu dari mereka.
Ayat ini diturunkan sehubungan dengan orang-orang Muslim yang benar, karena pada haji terakhir sesudah beliau mendeklarasikan aturan-aturan dan ritual haji, beliau berkata “ Sudahkan saya menyampaikan (nya kepadamu)? Mereka menjawab : Ya. Beliau berkata : Ya Allah saksikanlah.
Telah diriwayatkan beliau istirahat di bawah sebuah pohon dalam salah satu perjalanan beliau dan menggantungkan pedang beliau di pohon, ketika seorang Badui datang saat beliau sedang tidur dan menyambar pedang sambil berkata: “ Ya Muhammad, siapa yang akan melindungimu dari ku?” beliau berkata “Allah”, kemudian tangan Badui tersebut gemetar, pedang tersebut jatuh dari tangannya, dan dia membenturkan kepalanya ke pohon sampai otaknya terburai, kemudian Allah menurunkan ayat ini dan menjelaskan bahwa Dia akan melindungi beliau dari manusia.
Beliau selalu takut dengan Quraisy, kaum Yahudi dan Nashrani, maka Allah menghilangkan ketakutan ini dari hati beliau dengan ayat ini.
Ayat ini turun untuk menekankan keunggulan Ali ra, dan ketika ayat ini turun, Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam memegang tangan Ali dan berkata: “Siapa yang menganggap aku Maula, Ali adalah Maula-nya juga, Ya Allah jadikan teman orang-orang yang menjadikannya teman, jadikan musuh orang-orang yang memusuhinya. Tak lama kemudian, Umar menemuinya (Ali) dan berkata : “Ya Ibnu Abi Thalib! Selamat, sekarang anda adalah Maula-ku dan Maula setiap laki-laki dan wanita beriman.” Ini diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Bara’ bin Azib dan Muhammad bin Ali.

Anda seharusnya mengetahui kejadian dengan riwayat-riwayat ini banyak jumlahnya, ini lebih banyak sesuai untuk menjelaskan ayat tersebut Allah meyakinkan beliau perlindungan terhadap persekongkolan yang licik dari kaum Yahudi dan Nashrani dan memerintahkan beliau untuk mengumumkan pernyataan tanpa ada rasa takut kepada mereka. Hal ini karena konteks sebelum dan sesudah ayat ini menunjuk kaum Yahudi dan Nashrani; suatu hal yang tidak mungkin melemparkan sebuah ayat di tengah (dari ayat-ayat lain) sehingga asing terhadap apa yang ada sebelum dan sesudahnya.

(Tafsir Al-Kabir, Fakhr al-Razi, di bawah komentar terhadap QS 5:67, jld 12, hal 49-50)
Dengan kata lain, Imam ar-Razi menyebutkan 10 kemungkinan tetapi beliau menyatakan bahwa hanya satu pendapat yang kuat bahwa ayat tersebut turun tentang kaum Yahudi dan Nashrani dan karena inilah mengapa beliau menyebutkan kemungkinan tersebut di urutan yang pertama.
Sungguh ajaib, ensiklopedia Syi’ah penipu tidak menyebutkan bahwa Imam ar-Razi menyebutkan 10 kemungkinan dan menyatakan bahwa yang paling beralasan adalah pendapat pada urutan yang pertama? Alih-alih Syi’ah bertumpu pada kutipan sepotong, sungguh, mereka adalah orang-orang yang mencintai Taqiyah dan penipuan. Kami mengingatkan kepada kaum Sunni awwam untuk tidak terkesan oleh daftar referensi mereka yang panjang.
Sedangkan riwayat-riwayat yang lain yang disebutkan di atas, ternyata setelah diteliti sanadnya adalah bermasalah dan lemah. Tidak bisa dipakai sebagai hujjah, dan tampaknya kurang perlu jika dipaparkan di sini karena akan banyak memakan tempat.
Intinya, tidak satupun sumber Sunni yang terpercaya mengatakan bahwa ayat 5:67 turun di Ghadir Khum.
Sebagaimana yang kita ketahui dengan baik, peristiwa Ghadir Khum terjadi dekat dengan wafatnya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, ketika seluruh jazirah Arab telah ditundukkan oleh kaum Muslimin dibawah bimbingan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, termasuk di dalamnya Nashrani di Najran dan kaum Yahudi di Yaman. Lalu apa sebenarnya yang ditakutkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menyampaikan sesuatu ketika para pengikutnya telah bertambah banyak seratus kali lipat? Tidaklah masuk akal ayat ini diturunkan pada saat Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berada pada puncak kekuasaannya. Tetapi lebih masuk akal, ayat ini diturunkan jauh pada awal-awal masa kenabian beliau ketika Islam masih sedang berjuang untuk bertahan, dengan menghadapi banyak musuh disekitarnya.
Al-Islam.org berkata:
Segera setelah Nabi (s) selesai menyampaikan hal itu, ayat Al-Qur’an berikut ini turun :

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (Qur’an 5:3)

Ayat di atas mengindikasikan dengan jelas Islam tanpa menjelaskan kepemimpinan sesudah Nabi (s) tidaklah sempurna, dan penyempurnaan dari agama adalah pengumuman dengan segera mengenai pengganti beliau.
Ini adalah bikinan Syi’ah yang lain, Al-Qur’an 5:3 diturunkan pada akhir pidato perpisahan di atas bukit Arafah, hal ini tercatat dalam shahih Bukhari, shahih Muslim, al-Sunan dan lain-lain :
“ini (ayat : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu…”) turun pada hari Jum’at, pada hari Arafah…”
Ayat ini turun di Arafah tanggal 9 Dzulhijjah pada haji Wada` ketika beliau berdiri di Arafah. Dan saat itu adalah merupakan moment yang sangat tepat bagi penutupan risalah agama.
Adapun Ghadir Khum terjadi sepulang beliau dari haji Wada’ menuju Madinah, berarti jarak dengan turunnya ayat ke-3 ini adalah 9 hari. Lantas bagaimana mungkin ayat 67 di atas baru turun setelah Al-Maidah ayat 3 yang merupakan ayat Al-Qur’an yang terakhir/penutup yang turun kepada Rasulullah Shallalahu alaihi wa sallam?!.
Mengapa Al-Qur’an diam seribu bahasa sehubungan dengan penunjukkan Ali ra?, pasti, Allah akan telah menyebutkannya dalam Al-Qur’an jika hal tersebut sebuah perintah yang jelas, Mengapa Allah diduga menurunkan ayat 5:67 dan 5:3 seluruhnya untuk Ali ra dan keimamahannya, tetapi Allah tidak memilih dengan cara yang sederhana dengan memasukkan nama Ali dalam ayat-ayat tersebut dan membuat nya jelas bagi kaum muslimin bahwa Ali ra adalah pemimpin kaum muslimin selanjutnya yang ditunjuk dengan jelas? Dan yang lebih membingungkan, ayat-ayat tersebut sama sekali tidak berbicara soal khalifah maupun imamah. Sungguh hal yang menakjubkan bagaimana Syi’ah selalu mengatakan bahwa ayat-ayat ini berbicara mengenai keimamahan Imam Ali ra sedangkan Allah tidak pernah menyinggungnya sama sekali.
Kesimpulan :
Al-Qur’an surat Al-Maidah : 67 dan Al-Maidah : 3 turun tidak ada hubungannya dengan peristiwa Ghadir Khum dan tidak ada hubungannya dengan penunjukkan terhadap Ali radhiyallahu ‘anhu.  Wallahu A’lam biShowab.

Hadits Ghadir Khum dalam Perspektif Islam (Telaah Kritis Terhadap Pandangan Syiah)

Oleh: Nofriyanto[1]
Umat Islam meyakini bahwa urutan al-Khulafa’u ar-Rasyidun yang empat sepeninggal Rasulullah, yaitu: Abu Bakar, Umar, Utsman kemudian Ali. 
Masing-masing dari khalifah ini, diangkat dan dibaiat melalui Syūra(musyawaroh) para Ahlu Halli wa al-‘Aqdi dari sekelompok kaum Muhajirin dan Anshar, yang kemudian diikuti oleh keseluruhan umat Islam.[2] Namun lain halnya dengan apa yang diyakini oleh Syiah. Menurut mereka khalifah yang syah setelah meninggalnya Rasulullah, adalah Ali. Salah satu dalil yang mereka jadikan landasan dari keyakinan ini,  yaitu hadits Rasulullah di Ghadir Khum dalam perjalanan pulang beliau ke Madinah setelah melaksanakan haji wada’ pada tanggal 10 Dzulhijah tahun 10 H. [3]
Keyakinan Syiah tersebut bukan hanya sekedar wacana, akan tetapi sudah mencapai kepada praktikal, yang terimplementasikan dengan menjadikan hari Ghadir Khum sebagai hari raya selain dua hari raya yang selama ini diyakini kaum muslimin. Sebagaimana yang dirayakan oleh penganut Syiah di Indonesia, tepatnya pada hari Sabtu 26  Oktober 2013, di gedung Smesco Jln. Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Yang sangat disayangkan perayaan ini justru mendapatkan dukungan dari beberapa kalangan akademisi, elit politik, budayawan bahkan Presiden Republik indonesia.[4] Maka, melalui makalah ini, penulis merasa perlu menjelaskan hakikat sebenarnya dari hadits Ghadir Khum yang digunakan oleh Syiah untuk melegitimasi keyakinan mereka terhadap kepemimpinan Ali pasca wafatnya Rasulullah. Ini dilakukan, dengan harapan kaum muslimin tidak salah memahami hadits tersebut, sekaligus sebagai sanggahan terhadap keyakinan Syiah terhadapnya.
Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif dari suatu hadits, salah satu cara yang ditempuh yaitu dengan memahami  sababul wurud (latar belakang munculnya hadits). Begitu pula  dalam hadits Ghadir  Khum ini, kita perlu mengetahui latar belakang mengapa Rasulullah bersabda: ”Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (penolongnya), maka Ali juga sebagai maulanya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.” Adapun latar belakang Rasulullah bersabda dengan hadis ini, yaitu ketika banyaknya kaduan dari beberapa orang yang tidak setuju dengan beberapa keputusan Ali ketika Rasulullah mengutusnya ke Yaman sebelum haji wada’. [5] Melihat hal tersebut, maka Rasulullah mengingatkan mereka untuk saling berwala’ (mencintai dan tolong-menolong) dan tidak boleh saling mencela dan membenci. Nasehat beliau ini berlaku umum bagi setiap mukmin, hanya saja dalam hadis ini, nasehat beliau tujukan terlebih khusus kepada orang-orang yang tidak setuju dengan beberapa keputusan Ali.[6] Berdasarkan keterangan ini, dapat kita simpulkan  bahwa tujuan Nabi menyampaikan khutbah di ghadir Khum, bukan dalam rangka menobatkan Ali sebagai khalifah sepeninggal beliau, sebagaimana yang diyakini Syiah, akan tetapi dalam rangka menasihati umatnya untuk saling mencintai dan tidak saling membenci.
Secara etimologi, kata maula dalam bahasa Arab sendiri tidaklah berartikan pemimpin, melainkan memilki banyak arti. Antara lain, yaitu:  Rabb, raja, yang memberi nikmat, penolong, orang yang mencintai, tetangga, sepupu, orang yang memerdekakan budak, paman dan lain-lain.[7] Melihat kepada arti-arti dari kata maula tersebut, maka sangatlah tidak tepat jika mengartikan kata mauladengan pemimpin, sebagaimana yang diinginkan oleh Syiah. Ketidaktepatan tersebut terlihat jelas dari lawan dari kata maula dalam kelanjutan hadis tersebut yang justru menyatakan: musuhilah orang yang yang memusuhinya. Maka dari itu, arti yang sesuai dan tepat untuk mengartikan kata mauladalam hadis tersebut, baik secara teks maupun konteks, adalah “penolong”, sebab kebalikan dari kata penolong adalah musuh.[8] Sebagaimana di dalam ayat- ayat al-qur’an sendiri kata maula lebih banyak diartikan sebagai penolong, contohnya antara lain firman Allah di dalam QS. At-Tahrim: 66:4

إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ
Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Penolongnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukm`in yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula.[9]
Ini dikarenakan karena kata walayah dengan men-fathah-kan huruf waw artinya melindungi, menolong, mencintai atau arti lainnya yang merupakan antonim dari memusuhi, dan isimnya yaitu maulā dan waliy. Sedangkan wilayah dengan men-kasroh-kan huruf waw artinya pemerintahan, dan isim darinya yaitu wāliy dan mutawalliy.[10]
Dari sisi lain, hadits Ghadir Khum yang diklaim Syiah sebagai nash sharih (jelas) tentang imāmah Ali sepeninggal Rasulullah, jika diteliti dari segi sanad (mata rantai pentransmisian hadits), bukanlah termasuk hadits mutawatir dan bahkan masih diperdebatkan ke-shahih-annya di kalangan ulama hadits. Di antaranya, Abu Dawud as-Sajastani dan Abu Hatim ar-Razi menilai hadits ini batal. Sementara Abu Musan, sebagaimana dikutip Ibnu Atsir dalam Usūd al-Ghabah, menyatakan bahwa hadits ini sangat Gharib. Beliau berkata: “Saya tidak mengetahui hadits ini kecuali dari riwayat Ibnu Sa’id”.[11] Sedangkan Ibnu Hazm mengatakan bahwa hadits tersebut tidak memiliki jalur yang shahihsama sekali.[12] Maka, klaim Syiah terhadap imāmah Ali dengan hadits ini, selain tidak tepat dengan asbab wurud-nya dan makna maula secara etimologi, juga masih menyisakan permasalahan dari keshahihan sanadnya.
Selain itu, kekeliruan konsep imāmah Syiah yang didasarkan kepada hadits Ghadir Khum, juga bisa dilihat dari sikap dan pernyataan-pernyataan baik Ali sendiri terhadap para khalifah sebelum beliau. Di antara contoh sikap baik beliau yang terekam dalam lembaran buku sejarah, yaitu pembaiatan beliau kepada para khalifah sebelum beliau dengan sukarela tanpa paksaan sedikit pun.[13] Ada pun di antara pernyataan-pernyataan baik beliau kepada para khalifah sebelumnya, terlihat jelas dari salah satu pengakuan beliau ketika menyebutkan tingkatan manusia terbaik setelah Rasulullah:

أيها الناس إن خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر ثم عمر ولو شئت أن أسمى الثالث لسميت وعنه أنه قال وهو نازل من المنبر ثم عثمان ثم عثمان
Wahai segenap manusia! Sesungguhnya manusia terbaik dari umat ini setelah Rasulullah yaitu Abu Bakar, kemudian Umar, seandainya aku berkenan menyebutkan yang ketiga, maka akan aku sebutkan. Kemudian diriwayatkan dari Ali ketika ia turun dari mimbar sambil berkata kemudian Utsman, kemudian Utsman[14]
Ungkapan Ali di atas, sangat jelas menggambarkan keridhaan beliau kepada para khalifah sebelumnya. Ungkapan ini tidak akan beliau ucapkan, jika memang benar apa yang dituduhkan Syiah kepada para khalifah sebelumnya, bahwa kekhilafahan mereka tidak syah karena mereka telah merampas hak kepemimpinan dari Ali setelah Rasulullah wafat.[15]    Sebab, Ali sendiri memuji dan menghormati mereka dan mengakui keutamaan mereka. Bahkan, pernyataan beliau bahwa Abu Bakar adalah orang yang paling berhak dan pantas menjadi khalifah setelah Rasulullah, selain tertulis dalam salah satu rujukan utama Syiah sendiri, yaitu buku Nahju al-Balaghah yang di-syarah oleh Ibnu Abil Hadid,[16] juga ditulis dua ulama Ahlussunnah, yaitu:  Yusuf bin Muhammad[17] dan Abdullah bin Muhammad at Tamimi.[18]
Dalam Islam, konsep yang telah ditetapkan untuk menentukan siapa yang berhak menjadi khalifah yaitu melalui konsep Syūra (musyawarah) para Ahlu Halli wa al-‘Aqdi dari para ulama dan pemuka umat. Yang mana, dalam proses pelaksanaanya tidak melibatkan seluruh umat Islam, akan tetapi hanya melibatkan orang-orang yang memang memiliki otoritas dan kapabilitas dalam urusan agama Islam.[19] Konsep ini, telah dicontohkan oleh orang-orang terbaik umat ini terkhusus dari para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar sepeninggal Rasulullah dalam pengangkatan Khulafa’ Rasyidin yang empat. Bahkan Ali sendiri menyetujuinya, tidak sebagaimana yang diyakini oleh Syiah. Persetujuan Ali terlihat jelas dari ungkapanya:

إنما الشورى للمهاجرين والأنصار ، فإن اجتمعوا على رجل وسمّوه إماماً كان ذلك لله رضى
Sesungguhnya syūra bagi sahabat Muhajirin dan Anshar, jika mereka bersepakat terhadap salah seorang yang mereka sebut sebagai Imam, maka hal itulah yang diridhai oleh Allah[20]

Maksud dari pernyataan Ali di atas adalah, bahwa Allah meridhai terhadap apa yang diridhai (disepakati) oleh sahabat Muhajirin dan Anshar. Atinya, Ali juga mengakui kepemimpinan tiga khalifah sebelum beliau, sebab tiga khalifah itu sudah dibaiat oleh sahabat Muhajirin dan Anshar dengan suara bulat. Kesepakatan Ali terhadap tiga khalifah sebelumnya juga dibuktikan dengan pembaiatan beliau terhadap ketiganya.[21]
Dari pemaparan data sejauh ini, kelemahan-kelemahan argumentasi Syiah terhadap hadis Ghadir Khum yang mereka anggap sebagai nash sharih (jelas) terhadap kepemimpinan Ali pasca wafatnya Rasulullah, akan selalu terungkap kekeliruannya dari sudut pandang apa pun, baik dari asbab wurud,konteks pembicaraan nash, segi kebahasaan, periwayatan dan pernyataan Ali sendiri terhadap kebaikan para khalifah sebelum beliau dan persetujuannya dengan konsep Syūra yang dilakukan oleh sahabat Muhajirin dan Anshar. Hal demikian dapat dimaklumi, sebab dalam Islam, konsep imamahsebagaimana yang dimaksudkan oleh Syiah memang tidak pernah ada, baik dari nash al-Qur’an maupun hadits. Yang ada adalah konsep syūra (musyawarah) yang diampu oleh orang-orang yang memiliki kapabilitas dalam hal tersebut  dari golongan para ulama dan pemuka agama. Karenanya, Ahlussunnah selalu mengembalikan urusan kekhilafahan pada konsep syūra ini, sebab kekhilafahan merupakan salah satu permasalahan penting dalam umat Islam. Dan setiap permasalahan umat, memang semestinya diselesaikan dengan cara bermusyawarah, sesuai dengan anjuran yang sangat lugas dan tegas dalam Al-Qur’an.[22] Wallahu ‘Alam Bi Showab.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Karim ‘Akyawy, Juhud Ulama’ al muslimin fi Tamyiz Shahih as shirah an nabawiyah Min Dha’ifiha, (Maktabah Syamilah).
Abi al-Hasan Ali bin Muhammad al-Jaza’iri Ibnu al-Atsir, Usūdu al-Ghobah (Dār al-Fikr, tt).
al-Mishry, Muhammad bin Mukrim bin Manzhur, Lisānul ‘ara,  (Beirut: Dār Shadir, tt).
Al-Qifari, Nashir bin Abdullah bin Ali, Ushūl Madzhabisy Syī’ah al-Imāmiyah al-Itsnā ‘Asyariyah,(Madinah : Jāmi’ah al-islamiyah, , 1994).
Al-Qur’an al-Karim
al-Ruhaily, Ibrahim bin ‘Amir, al-intishar lis Shahabi wa al-Ali min Iftiraat as samawy ad-dhaly(Maktabah al-Ghuroba, tt).
Al-Salafy, Abdullah bin Muhammad, Siapakah Syiah itu?, penterjemah. Muhammad Anshary, (ad-Difa’ ‘an Sunnah, tt).
Al-Shuyuthi, Abdurrahman bin Abi Bakar, Tarikhu al-Khulafa’, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul hamid, (Mesir: Mathba’ah as-Sa’adah, 1952).
Al-Syaukani, Muhammad bin Ali, , as-Sailu al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘Ala Hadaiq al-Azhar , tahqiq. Muhammad Ibrahim Zayid, (Beirut:Dar al-kutub al-ilmiyah, 1983).
Al-Tamimi, Abdullah bin Muhammad, Mukhtashor Sirah Rasul, (Damasqus: Dār al faiha’, 1997).
al-Thaqani , Ismail bin Abad, al-Muhith fi al-Lugoh, tahqiq Muhammad Hasan alu Yasin (Beirut: Dār an-Nasyr, 1994).
Al-Thobari, al Muhib, ar-Riyadh an Nadhrah Fii Manaqib al ‘Usyrah, (Maktabah Syamilah).
Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahj Balaghah, (Dār ar-Rasyad al-Haditsah, tt).
Ibnu katsir , al-Bidayah wa an-Nihayah,  (Beirut: Maktabah al-Ma’ari, 1979). 
Tim Penulis Buku pustaka Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwh? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?), (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2008).
www. Voa-Islam.com.
Yusuf bin Muhammad, Ahadits Muntakhobah min Maghozi Musa bin Uqbah, tahqiq Masyhur Hasan Salman, (Muassasah ar Royan- Dār Ibn Hazm, 1991).
[1] Penulis adalah peserta PKU (Program Kaderisasi Ulama) VII ISID GONTOR no telp. 082333454370.
[2] Lihat:, Muhammad bin Ali al-Syaukani, as-Sailu al-Jarrar al-Mutadaffiq ‘Ala Hadaiq al-Azhar, Tahqiq Muhammad Ibrahim Zayid , (Beirut: Dar al-kutub al-ilmiyah, 1983). Cet. I. Jilid IV. al 511.
[3] Bunyi hadis Ghadir Khum ini adalah
من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاده
”Barang siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya (penolongnya), maka Ali juga sebagai maulanya. Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.”
Lihat:, Nashir bin Abdullah bin Ali Al-Qifari, Ushūl Madzhabisy Syī’ah al-Imāmiyah al-Itsnā ‘Asyariyah,(Madinah : Jāmi’ah al-islamiyah 1994).Cet. II. Hal. 689.
[4] Lihat: Tulisan Dr. Adian Husaini yang bertajuk “Diam-diam SBY Pro-Syiah dalam Merayakan Hari Sesat Idul Ghadir, Kamis, 24 oktober 2013, www. Voa-Islam.com.
[5] Lihat:  Ibnu katsir , al-Bidayah wa an-Nihayah,  (Beirut: maktabah al ma’ari, 1979). Cet. III. Hal.104-105. 
[6] Lihat:, Nashir bin Abdullah bin Ali Al-Qifari, Ushūl Madzhabisy Syī’ah al-Imāmiyah al-Itsnā ‘Asyariyah, (Madinah : Jāmi’ah al-islamiyah 1994). Cet. II. Hal. 694.
[7] Lihat: Muhammad bin Mukrim bin Manzhur al-Mishry, Lisānul ‘arab (Beirut: Dār Shadir). Cet. I. Hal. 4922.
[8] Lihat:, Nashir bin Abdullah bin Ali Al-Qifari, Ushūl Madzhabisy Syī’ah al-Imāmiyah al-Itsnā ‘Asyariyah, (Madinah : Jāmi’ah al-islamiyah 1994). Cet. II. Hal. 693.
[9] Lihat: QS. Muhammad: 47:11, dan QS. At-Taubah: 9: 71.
[10] Lihat: Ismail bin Abad al-Thaqani, al-Muhith fi al-Lugoh, Tahqiq Muhammad Hasan alu Yasin (Beirut: Dār an-Nasyr, 1994). Cet. I. Jilid X. Hal. 380.
[11], Abi al-Hasan Ali bin Muhammad al-Jaza’iri Ibnu al-Atsir, Usūdu al-Ghobah (Dār al-Fikr, tt). Jilid II. Hlm. 65.
[12] Lihat Lihat:, Nashir bin Abdullah bin Ali Al-Qifari, Ushūl Madzhabisy Syī’ah al-Imāmiyah al-Itsnā ‘Asyariyah, (Dār ar-Ridha, 1998) Cet. III. Jilid II. Hal. 839.
[13]Lihat:  , Abdurrahman bin Abi Bakar Al-Shuyuthi, Tarikhu al-Khulafa’, tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul hamid, (Mesir: Mathba’ah as-Sa’adah, 1952),. hal. 63,119 ,138. al Muhib at- Thobari, ar-Riyadh an Nadhrah Fii Manaqib al ‘Usyrah, (Maktabah Syamilah). Jilid I. hal. 109. Abdul Karim ‘Akyawy, Juhud Ulama’ al muslimin fi Tamyiz Shahih as shirah an nabawiyah MIn Dha’ifiha, (Maktabah Syamilah). hal. 34.
[14] Ibnu katsir, al-Bidayah wa an-Nihayah, (Beirut: Maktabah al-ma’arif, tt). Jilid VIII. Hal.13.
[15] Lihat: Abdullah bin Muhammad, Siapakah Syiah itu?, penterjemah. Muhammad Anshary, (ad-Difa’ ‘an Sunnah, tt). Hal. 52,56.
[16]  قال علي ابن أبي طالب ” وإنا لنرى ابا بكر أحق الناس بها “
Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahj Balaghah, (Dār ar-Rasyad al-Haditsah, tt), Juz I. Hal. 132.
[17] Lihat: Yusuf bin Muhammad, Ahadits Muntakhobah min Maghozi Musa bin Uqbah, tahqiq Masyhur Hasan Salman, (Muassasah ar Royan- Dār Ibn Hazm, 1991),. Juz. I. Hal. 94.
[18] Lihat: Abdullah bin Muhammad al-Tamimi, Mukhtashor Sirah Rasul, (Damasqus: Dār al faiha’, 1997) Jilid. I. Hal. 523.
[19] Lihat: Ibrahim bin ‘Amir al-Ruhaily , al-intishar lis Shahabi wa al-Ali min Iftiraat as samawy ad-dhaly (Maktabah al-Ghuroba, tt) hal. 78-80.
[20] Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahj Balaghah, (Dār ar-Rasyad al-Haditsah, tt), Juz III. Hal. 7.
[21] Lihat: Tim Penulis Buku pustaka Sidogiri, Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwh? Jawaban Atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?), (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2008), Cet. Ke II. Hal. 177.
[22] Lihat: QS. As Syura, 42: 38.

Related Articles :

Analisa Terhadap Klaim Syi’ah Atas Hadits Ghadir Khum (Bagian 1/3 )
Analisa Terhadap Klaim Syi’ah Atas Hadits Ghadir Khum (Bagian 2/3 )
Analisa Terhadap Klaim Syi’ah Atas Hadits Ghadir Khum (Bagian 3/3 )
Ahlul-Bait Tidak Mengakui Wasiat Estafet Imamah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – ‘Aliy – Al-Hasan – Al-Husain – ‘Aliy bin Al-Husain – Muhammad bin ‘Aliy
 ‘Aliy bin Abi Thaalib : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Tidak Pernah Berwasiat tentang Kepemimpinan Kepada Dirinya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Tidak Berwasiat tentang Kepemimpinan kepada ‘Ali radliyallaahu ‘anhu [2]
Hadits Tsaqalain : Ahlul-Bait Jaminan Keselamatan Dunia dan Akhirat
Kritik Tafsir Hadits ‘Ithrah Versi Syiah; Runtuhnya Ajaran Ghadir Khum
Abu Bakar Tidak Sah Jadi Khalifah? Paparan Dibawah Ini " Menjungkirbalikkan " Fitnah-fitnah Keji Syi'ah dan Antek-anteknya !
Ahlul-Bait Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam
‘Aliy Berbaiat dan Ridlaa terhadap Kekhalifahan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhum
Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu Mengakui ‘Umar bin Al-Khaththaab sebagai Pemimpin bagi Kaum Mukminiin (Amiirul-Mukminiin)
Aliy bin Abi Thaalib Berbaiat kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa [2]
Keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar yang Disebutkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Depan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum
Keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar yang Disebutkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Depan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum
Ahlul-Bait Menyepakati Keputusan Abu Bakr Ash-Shiddiiq radliyallaahu ‘anhu dalam Masalah Tanah Fadak