Larangan menafsirkan al-qur’an dengan
pendapat sendiri
“barang
siapa yang menafsirkan al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri, hendaklah ia
menyiapkan tempat duduknya dari api neraka” (HR. Muslim)
Allah berfirman:
وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
“janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (al-Isra: 36)
Umar bin Khaththab berkata: “berprasangka
buruklah kepada pendapatmu sendiri dalam urusan agama”
agama bukan ditafsir dengan akal !
Ali bin Abu Thalib berkata: “kalau agama
adalah dengan akal maka tentu bagian bawah khuf lebih layak untuk dihusap dari
pada bagian atasnya”. Dan Syaikh Ibnu Taimiyah berkata: “jika agama tolak
ukurnya adalah akal tentu Allah tidak akan menurunkan al-Quran karena secara
fitrah manusia mampu menggunakan akal”.
Maka jelas bagi kita agama, al-Quran dan
Hadits tidak bisa ditafsirkan dengan akal semata. Sehingga yang bertolak
belakang dengan akal kita tolak, tapi yang wajib bagi kita adalah menjadikan
akal tunduk kepada al-Quran dan as-Sunnah. Maka tidak ada alasan bagi kita
untuk menolak dalil yang shahih apa lagi tsabit dari Rasulullah. Awal dari
sebuah kesesatan adalah dengan penolakan seperti khawarij yang menolak taat
pada pemerintah Utsman bin Affan.
KAIDAH DASAR ILMU TAFSIR
sumber hukum dalam agama islam yang
paling utama adalah al-Quran dan as-Sunnah maka penting bagi kita untuk
memahami kandungannya tersebut dengan ilmu tafsir yang shahih dari Nabi. Adapun
beberapa kaidah dasarnya adalah:
1. Memahami ilmu bahasa Arab, karena
al-Quran dan as-Sunnah memakai b. Arab. Maka penting untuk memahami ilmu ini
karena bahasa Arab adalah bagian dari agama ini.
2. Metode penafsiran pada salaf. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata: “ayat al-Quran ditafsirkan oleh ayat lain pada
tempat lain, karena terkadang ayat al-Quran saling menafsirkan satu sama
lainnya. Apa bila tidak ditemukan ayat lain yang menafsirkannya maka carilah
tafsirnya pada hadits Nabi. Dan apa bila tidak ditemukan tafsirnya pada hadits
Nabi maka carilah tafsirnya pada perkataan para sahabat, karena mereka belajar
langsung tafsirnya pada Nabi dan al-Quran diturunkan di tengah-tengah mereka,
mereka menyaksikan langsung diturunkannya al-Quran. Dan apa bila tidak dijumpai
tafsirnya pada perkataan para sahabat maka tafsirkanlah dengan penafsiran para
tabi’in karena mereka belajar langsung kepada para sahabat” (Majmu Fatawa)
inilah metode penafsiran para salaf yang
menafsirkan merujuk kepada para generasi terbaik, adapun contoh-contohnya:
A. Surat al-Baqarah: 219 ditafsirkan oleh
an-Nisa: 43 dan al-Maidah: 90-91
B. Ali Imran: 103 ditafsirkan oleh
ath-Thagabun: 16
C. Contoh ayat yang saling menafiskan
adalah surat al-Maidah: 44, 45, 47.
3. Mengetahui asbabun nuzul suatu ayat
dan asbabun wurud suatu hadits. Ini penting untuk dapat beristidlal (berdalil)
untuk berhujjah dengan benar sehingga mampu menempatkan dalil pada tempatnya
yang benar.
Inilah sedikit kaidah dasar dalam ilmu
tafsir, maka janganlah kita menafsirkan agama dengan menurut kita sendiri atau
hanya katanya. Ikuti tafsirnya atau tafsirkan sendiri dengan ilmu jika kita
mampu. Jika tidak mampu maka ikuti pemahaman para ulama, dan ulama salaf mereka
adalah sebaik-baiknya generasi.
Alangkah benar perkataan Ibnu Abbas
tatkala beliau mendatangi kelompok khawarij yang memusuhi para ulama dan
menafsirkan al-Quran menurut pendapatnya sendiri, beliau berkata: “aku datang
dari para sahabat Rasulullah, dari kalangan muhajirin dan anshar dan dari anak
paman Nabi serta menantunya (Ali bin Abi Thalib) dan tidak satupun seorang
sahabat yang bersama kalian, padahal kepada mereka al-Quran diturunkan dan
mereka lebih tahu tentang tafsirnya dari pada kalian” (riwayat Abu Dawud: 4037,
ath-Thabary dalam Mu’jam Kabir: 10/257-258).
Maka kembalilah kepada para ulama,
وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ
الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ
“dan kalau mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan ulil amri (pemimpin dan ulama) di antara mereka, tentulah orang-orang
yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka
(yakni dari Rasul dan ulil amri)” (an-Nisa: 83)
“maka bertanyalah kamu kepada ahli dzikir
(ulama) jika kamu tidak mengetahui” (an-Nahl: 43).
“akan muncul di akhir zaman suatu kaun
yang berusia muda dan dangkal ilmu dengan berdalih pada al-Quran. Mereka keluar
dari islam seperti keluarnya busur dari anak panah, iman mereka tak sampai
tenggorokkan mereka.” (HR. Bukhary: 5057)
ditulis secara singkat dan sederhana
oleh:
Omar Ibrahim al-Imanulmuslim
*Sumber: berbagai rujukan Manhaj Salaf
Kaedah Penting dalam Memahami Al Qur’an
dan Hadits
Umat Islam memiliki modal yang sangat
besar untuk bersatu, karena mereka beribadah kepada ilaah (Tuhan) yang satu,
mengikuti nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu, berkiblat …
By Muslim Atsary
Aku Tinggalkan Dua Perkara Hadits
Kutinggalkan Kepadamu Dua Perkara Aku Tinggalkan Kepada Kalian Dua Perkara
Hadis Nabi Aku Tinggalkan Dua Perkara Aku Tinggalkan 2 Perkara
Umat Islam memiliki modal yang sangat
besar untuk bersatu, karena mereka beribadah kepada ilaah (Tuhan) yang satu,
mengikuti nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu, berkiblat
kepada kiblat yang satu. Selain itu, ada jaminan dari Allah dan Rasul-Nya,
bahwa mereka tidak akan sesat selama mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa
Ta’ala, berpegang-teguh kepada Alquran dan al Hadits. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman,
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ
اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى {123} وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى
فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Maka jika datang kepadamu petunjuk
dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan
ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka
sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya
pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (Q.S Thaha: 123, 124).
Dalam menjelaskan kedua ayat ini,
Abdullah bin Abbas berkata, “Allah menjamin kepada siapa saja yang membaca
Alquran dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat
di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” [Tafsir ath Thabari, 16/225].
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا
مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua
perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab
Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim,
al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di
dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
KENYATAAN UMAT
Inilah yang menimbulkan keprihatinan,
kenyataan yang ada menunjukkan bahwa umat Islam telah berpecah-belah menjadi
banyak golongan. Antara satu dengan lainnya memiliki prinsip-prinsip yang
berbeda, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. Kenyataan seperti ini
menjadi bukti kebenaran nubuwwah (kenabian) Rasulullah Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau telah memberitakan iftiraqul ummah (perpecahan umat
Islam) ini semenjak hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun
demikian, kita tidak boleh pasrah terhadap kenyataan yang ada, bahkan kita
diperintahkan untuk mengikuti syariat dalam keadaan apa saja. Sedangkan syariat
telah memerintahkan agar kita bersatu di atas al-haq, di atas Sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya radhiallahu ‘anhum.
Salah satu hal terpenting untuk
menyatukan umat ini ialah, umat harus mengikuti kaidah yang benar dalam
memahami al-Kitab dan as-Sunnah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
rahimahullah berkata, “Pada zaman ini, kita hidup bersama kelompok-kelompok
orang yang semua mengaku bergabung dengan Islam. Mereka meyakini bahwa Islam
adalah Alquran dan as-Sunnah, tetapi kebanyakan mereka tidak ridha berpegang dengan
perkara ketiga yang telah dijelaskan, yaitu sabilul mukminin (jalan kaum
mukminin), jalan para sahabat yang dimuliakan dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan sebaik-baiknya dari kalangan tabi’in dan para pengikut mereka,
sebagaimana telah kami jelaskan di dalam hadits “Sebaik-baik manusia adalah
generasiku”, dan seterusnya.
Oleh karena itu, tidak merujuk kepada
Salafush Shalih dalam pemahaman, pemikiran dan pendapat, merupakan penyebab
utama yang menjadikan umat Islam berpecah-belah menuju jalan-jalan yang banyak.
Maka, barangsiapa benar-benar menghendaki, kembalilah kepada al-Kitab dan
as-Sunnah, yaitu wajib kembali kepada apa yang ada pada para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in dan para pengikut mereka setelah
mereka.” [Manhaj as Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin al Albani, hlm. 27, karya
Syaikh ‘Amr Abdul Mun’im Saliim].
RUJUKAN MEMAHAMI NASH
Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al ‘Aql
hafizhahullah menjelaskan kaidah-kaidah dan rujukan dalam memahami nash-nash
(teks-teks) Alquran dan al-Hadits di kitab kecil beliau, Mujmal Ushul Ahlis
Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah. Beliau menyatakan, rujukan di dalam memahami
al-Kitab dan as-Sunnah adalah nash-nash yang menjelaskannya, juga pemahaman
Salafush Shalih dan imam-imam yang mengikuti jalan mereka. Dan apa yang telah
pasti dari hal itu, tidak dipertentangkan dengan kemungkinan-kemungkinan
(makna) bahasa [Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hlm. 7,
Penerbit Darul Wathan].
Alquran dan as-Sunnah, keduanya merupakan
wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, di antara keduanya sama sekali tidak
terdapat pertentangan di dalamnya. Oleh karena itul, cara memahami al-Kitab dan
as-Sunnah ialah dengan nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah itu sendiri. Karena
yang paling mengetahui maksud suatu perkataan, hanyalah pemilik perkataan
tersebut.
Para ulama menyebutkan kaidah di dalam
memahami dan menafsirkan Alquran sebagai berikut:
Menafsirkan Alquran dengan Alquran
Menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah
Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan
para sahabat
Menafsirkan Alquran dengan
perkataan-perkataan para tabi’in
Menafsirkan Alquran dengan bahasa Alquran
dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab
Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan
yang paling benar dalam menafsirkan Al Quran ialah:
Alquran ditafsirkan dengan Alquran.
Karena apa yang disebutkan oleh Alquran secara global di satu tempat, terkadang
telah dijelaskan pula dalam Alquran secara luas di tempat yang lain.
Jika hal itu menyusahkanmu [yakni Anda
tidak mendapatkan penjelasan ayat dari ayat lainnya, Pen.], maka engkau wajib
me-ruju` kepada as-Sunnah, karena ia merupakan penjelas bagi Alquran.
Jika tidak mendapatkan tafsir di dalam
Alquran dan as-Sunnah, dalam hal ini kita me-ruju` kepada perkataan para
sahabat. Mereka lebih mengetahui tentang hal itu, karena mereka menyaksikan
alamat-alamat dan keadaan-keadaan yang mereka mendapatkan keistimewaan
tentangnya [yaitu hanya generasi sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu dan
yang menjadi penyebab turunnya. Demikian juga Rasulullah bersama mereka,
sehingga para sahabat dapat menanyakan ayat-ayat yang susah difahami. Adapun
generasi setelah sahabat tidak mendapatkan hal-hal seperti di atas, Pen.]. Juga
karena para sahabat memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amal
yang shalih. Terlebih para ulama sahabat dan para pembesar mereka, seperti imam
empat, yaitu khulafaur rasyidin, para imam yang mengikuti petunjuk dan
mendapatkan petunjuk, Abdullah bin Mas’ud, juga al-habrul al-bahr (seorang
‘alim dan banyak ilmunya) Abdullah bin Abbas.
Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di
dalam Alquran dan as-Sunnah, dan engkau tidak mendapatinya dari para sahabat,
maka dalam hal ini banyak para imam me-ruju` kepada perkataan-perkataan
tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, karena beliau merupakan ayat (tanda
kebesaran Allah) dalam bidang tafsir. Juga seperti Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah
maula Ibnu Abbas, ‘Atha bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri, Masruq bin al Ajda’,
Sa’id bin al-Musayyib, Abul ‘Aliyah, Rabii’ bin Anas, Qatadah, adh-Dhahhak bin
Muzahim, dan lainnya dari kalangan tabi’in (generasi setelah sahabat), dan
tabi’ut tabi’in (generasi setelah tabi’in). (Perkataan-perkataan tabi’in
bukanlah hujjah jika mereka berselisih), namun jika mereka sepakat terhadap
sesuatu, maka tidak diragukan bahwa itu merupakan hujjah.
Jika mereka berselisih, maka perkataan
sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap perkataan sebagian yang lain, dan
bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam masalah itu, maka tempat
kembali ialah kepada bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab,
atau perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Adapun menafsirkan Alquran
semata-mata hanya dengan pikiran (akal), maka (hukumnya) haram.” (Tafsir
al-Qur`anul Azhim, Muqaddimah, 4-5).
Adapun kewajiban berpegang sesuai dengan
pemahaman Salafush Shalih, yaitu para sahabat, tabi’in, dan para imam yang
mengikuti jalan mereka, maka dalil-dalilnya sangat banyak, antara lain:
Firman Allah Ta’ala,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا
تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah
jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu
dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya
tempat kembali. (Q.S an-Nisaa` : 115).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata, “Sesungguhnya, keduanya itu (yaitu menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin,
Pen.) saling berkaitan. Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas
kebenaran baginya, berarti dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin. Dan semua orang yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, berarti dia menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya.” (Majmu’
Fatawa, 7/38).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah generasiku
(yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu
generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi
tabi’ut tabi’in). (Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429; Muslim, no.
2533; dan lainnya).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda,
وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى
ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ
مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Sesungguhnya, Bani Israil telah
berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah
menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka kecuali satu agama. Mereka (para
sahabat) bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab, “Siapa saja yang mengikutiku dan sahabatku.” (H.R
Tirmidzi, no. 2565; al-Hakim, Ibnu Wadhdhah; dan lainnya; dari Abdullah bin
’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24).
Berpegang teguh kepada Sunnah (ajaran)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah (ajaran) para khulafaur
rasyidin dan para sahabat inilah solusi di saat umat menghadapi perselisihan,
tidak ada jalan lain!
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي
فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa
kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (ia)
seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, ia akan
melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada sunnahku
dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah, dan
giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama),
karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah
sesat. (H.R Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya
dari al-‘Irbadh bin Sariyah).
Jika suatu istilah telah jelas maknanya
menurut al-Kitab, as-Sunnah, sesuai dengan pemahaman para ulama Salaf, atau
telah terjadi ijma`, maka seorang pun tidak boleh menyelisihinya dengan alasan
makna bahasa.
Sebagai contoh, istilah rasul, secara
bahasa artinya orang yang diutus. Sedangkan menurut istilah syara’ -menurut
al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman ulama- rasul adalah seorang
manusia, laki-laki, diberi wahyu syariat (yang baru), dan diperintah untuk
menyampaikan kepada umatnya (orang-orang kafir). Dan rasul yang terakhir adalah
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam [lihat: ar-Rusul war-Risalat, hlm.
14, 15, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar; Al-Irsyad ila Shahihil Itiqad, hlm. 203,
Syaikh Shalih al Fauzan].
Namun, ada sebagian orang yang menyimpang
memiliki anggapan bahwa setiap mubaligh adalah rasul, dan rasul tetap diutus
sampai hari Kiamat. Alasan yang dikemukakan ialah, karena secara bahasa, rasul
artinya orang yang diutus. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan
menyesatkan [penulis pernah ikut membantah seorang mubaligh dari Gemolong,
Sragen, Jawa Tengah, yang mengaku sebagai rasul. Dia beralasan, rasul artinya
ialah orang yang diutus. Sedangkan orang ini mengaku sendiri, bila ia tidak
mengerti bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya! Lihat juga Aliran dan Paham Sesat di
Indonesia, hlm. 32, Hartono Ahmad Jaiz].
Contoh lainnya, seperti istilah qurban,
secara bahasa artinya mendekat, atau semua yang digunakan untuk mendekatkan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala [lihat Mu’jamul Wasith, Bab ق ر ب]. Sedangkan menurut
istilah syara’, menurut al-Kitab dan as-Sunnah -sesuai dengan pemahaman ulama-
qurban adalah binatang ternak yang disembelih pada hari raya qurban (10
Dzulhijjah) dan hari-hari tasyrik untuk mendekatkan diri kepada Allah [Al-Wajiz
fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz, hlm. 405, Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi,
Penerbit Dar Ibnu Rajab, Cet. 3, Th. 1421H/2001M]. Tetapi, Kelompok al-Zaitun,
dengan alasan arti qurban secara bahasa, kemudian mengusulkan dan mempraktekkan
qurban dengan bentuk uang untuk membangun sarana pendidikan, dan manganggapnya
sebagai qurban yang optimis dan berwawasan masa depan. Pemahaman seperti ini
adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan [lihat Aliran dan Paham Sesat di
Indonesia, hlm. 48, Hartono Ahmad Jaiz].
Ini sebagian contoh kasus tentang
kesalahan memahami istilah agama Islam, karena semata-mata me-ruju` kepada arti
bahasa. Kasus seperti ini sangat banyak. Semua ini menyadarkan kita tentang
perlunya memahami al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush
Shalih. Tentu pemahaman tersebut melalui para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah,
atau para ustadz yang dikenal kelurusan aqidah dan manhaj mereka, serta amanah
mereka dalam menyampaikan ilmu agama. Hal itu dapat secara langsung berguru
kepada mereka, atau lewat tulisan, kaset, dan semacamnya.
Semoga Allah selalu membimbing kita di
atas jalan kebenaran.
Penulis: Abu Isma’il Muslim al Atsari
Sejarah Tafsir dan Perkembangannya
Koreksi Pandangan Prof. Dr. M. Quraish
Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Quran